Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA ISLAM

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh:
1. ARI PUSPIWATI NIM : 221.02.09709
2. FARAMITHA ANANDA NIM : 221.02.09717
3. M. RAFIQI NIM : 221.02.09646

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM


BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-N
ya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dar
i Ibu Bahjatul Mardhiah, S.Ag,SH,MH pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Bahjatul Mardhiah, S.Ag, SH, MH
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawas
an kami.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Ol
eh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempur
naan makalah ini.

Banjarmasin , Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................2

C. Maksud dan Tujuan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3

A. lslam dan Negara...................................................................................................... 1


B. Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah..................................................
C. Bagaimana Membumikan Islam Di Indonesia........................................................
1. Memahami Corak Keberagaman............................................................................
2. Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam..............................................................
3. Membangun Argumen Tentang Urgensi Pribumisasi Islam.................................

BAB III PENUTUP..........................................................................................................7

A. Kesimpulan...........................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Spirit Islam telah menggelora di bumi Ibu Pertiwi sejak dahulu. Kala
nusantara belum disatukan dalam nama “Indonesia”, beberapa kerajaan telah
menjadikan Islam sebagai dasar pemerintahannya. Hingga pada masa
perjuangan merebut kemerdekaan pun, ajaran Islam turut memberikan
pengaruh yang besar. Nilai Islam yang antidiskriminasi, menjiwai para
pahlawan dalam menumpas penjajah yang zalim.

Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, juga tak lepas dari nuansa
keislaman. Pembacaan teks Proklamasi yang bertepatan dengan hari Jumat, 9
Ramadan 1364 H, dilakukan Bung Karno setelah mengunjungi sejumlah ulama,
antara lain, KH Syekh Musa, KH Abdul Mukti, dan KH Hasyim Asyari.
Dengan dukungan ulama, Bung Karno pun merasa mantap dan tak takut atas
ancaman dan serbuan tentara sekutu pasca Proklamasi.

Tidak berhenti pada perjuangan menggapai kemerdekaan, kontribusi


pendiri bangsa yang berkeyakinan dan berpandangan Islam, juga tampak dalam
penyusunan dasar negara. Taruhlah misalnya KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes
Hadikoesoemo, Kasman Singodimejo, Drs Mohammad Hatta, dan Mohammad
Teuku Hasan. Merekalah yang turut merumuskan Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945.

Uraian singkat di atas membuktikan bahwa sejak dahulu, Islam telah


menjadi spirit perjuangan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islam telah
mengobarkan semangat para pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan.
Sampai akhirnya, Islam sebagai agama rahmatan lilalamin, juga mengilhami
para pendiri bangsa dalam merancang tata negara yang mengayomi semua anak
bangsa yang plural.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan islam dan negara?
2. Bagaimana corak keberagaman islam di Indonesia?
3. Bagaimana membumikan Islam di Indonesia?

C. Maksud dan Tujuan


1. Memahami hubungan antara islam dan negara
2. Memahami corak keberagaman di Indonesia
3. Memahami cara membumikan islam di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Dan Negara

Territorial Persaudaraan umat Islam, memang tak tersekat oleh batas


negara. Penganut agama Islam di belahan dunia manapun, tetap
dipersaudarakan oleh kesamaan akidah. Namun demikian, fragmentasi umat
Islam dalam batas-batas kenergaraan, adalah hal yang tak bisa dihindari. Ini
bukan berarti melencengkan agama dari nilai universalnya, tetapi lebih pada
kepentingan mewujudkan nilai-nilai islam secara kontektual.

Implementasi nilai-nilai keislaman, memang mau tak mau, harus


memperhatikan karekteristik sebuah negara. Negara bangsa yang lahir dari
sejarah yang panjang, jelas memiliki keunikan tersendiri. Karena keadaan ini
pulalah, nilai-nilai Islam perlu dikontekskan secara berbeda-beda. Ringkasnya,
kepribadian negara dan spirit keislaman adalah dua elemen yang harus
dipadupadankan dengan baik.

Dalam kehidupan bernegara, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim,


jelas perlu mengawinkan antara jiwa keislaman dan jiwa keindonesiaan.
Wujudnya adalah muslim- nasionalis, yaitu perpaduan spirit keagamaan dan
cinta negara dalam diri anak bangsa. Hanya dengan cara itu, nilai-nilai Islam
akan terwujud secara optimal dalam kehidupan bernegara, tentu dengan
menjaga ciri keindonesiaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Prasyarat utama dalam mewujudkan harmoni antara Islam dan nagara


Indonesia adalah penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar bernegara.
Setiap anak bangsa dengan latar belakang yang berbeda-beda, harus memahami
dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara konsekuen. Apalagi, Pancasila
sebagai hasil musyawarah para pendiri bangsa, telah mengandung nilai
kemanusiaa yang ampuh menjembatani ragam kepentingan.
Demi harmonisasi kepentingan agama dan negara, maka nilai-nilai Islam
dan Pancasila, sudah tak perlu dipertentangkan lagi dengan alasan bahwa
Pancasila tak aspiratif terhadap Islam. Jika masyarakat mengetahui dan
memahami sejarah menjelang proklamasi, serta pencoretan tujuh kata dari
Piagam Jakarta, maka ketidakharmonisan antara negara yang berdasar
Pancasila dan agama Islam, seharusnya tidak perlu terjadi.

Kini, mendudukkan agama dan negara pada posisi yang saling


menguatkan, merupakan jalan terbaik. Sejarah banyak mencatat bahwa agama
dan negara adalah dua entitas yang saling memberi legitimasi, utamanya pada
pemerintahan kerajaan di nusantara dahulu. Bahkan pasca kemerdekaan, sikap
akomodatif semacam itu, ditunjukkan oleh Nahdatul Ulama dalam musyawarah
nasional alim ulama di Situbondo tahun 1983, yang memutuskan untuk
menjadikan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai akidah organisasi.

Kiranya, kita perlu kembali merenungi pesan dalam kitab suci Alquran
Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu…” Ayat ini mengisyaratkan bahwa meskipun
terdapat hirarki ketaatan bagi seorang muslim – mendahulukan Allah dan
Rasul-Nya, tapi selama kekuasaan negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam, maka taat kepada pemimpin negara, juga merupakan sebuah kewajiban.

B. Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah (Membumikan Islam)

Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk


mendakwahkan Islam (membumikam islam ) kepada orang lain, baik Muslim
maupun Non Muslim.Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt,

4
dan berikut dasar dalil kewajiban setiap umat islam untuk berdakwah (menyeru
kebaikan) di Al-Qur’an :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Al-Imran : 104),

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik” (TQS. Al-Imran : 110)

5
” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ” (TQS.
An-Nahl : 125).

Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sharih mengenai kewajiban


dakwah (membumikan islam ) atas setiap Mukmin dan Muslim. Bahkan, Allah
swt mengancam siapa saja yang meninggalkan dakwah Islam (membumikan
islam), atau berdiam diri terhadap kemaksiyatan dengan “tidak terkabulnya doa”.
Bahkan, jika di dalam suatu masyarakat, tidak lagi ada orang yang mencegah
kemungkaran, niscaya Allah akan mengadzab semua orang yang ada di
masyarakat tersebut, baik ia ikut berbuat maksiyat maupun tidak. Kenyataan ini
menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum dakwah adalah wajib, bukan
sunnah. Sebab, tuntutan untuk mengerjakan yang terkandung di dalam nash-nash
yang berbicara tentang dakwah datang dalam bentuk pasti. Indikasi yang
menunjukkan bahwa tuntutan dakwah bersifat pasti adalah, adanya siksa bagi
siapa saja yang meninggalkan dakwah. Ini menunjukkan, bahwa hukum dakwah
adalah wajib.

C. Bagaimana Membumikan Islam Di Indonesia

1. Memahami Corak Keberagaman


Tuntutan, modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman
agama yang saintifiks yang secara serius memperlihatkan berbagai
pendekatan, Pendekatan Islam monodisiplin tidak Iagi memadai untuk
menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat Islam di berbagai tempat.
Agar diperoleh pemahaman Islam yang saintifik di. atas diperlukan
pembacaan teks-teks agama (baca: AI-Qur‟an, Al-Hadits, dan turats)
Meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran Islam yang universal, Di
Jawa permohonan maaf si anak kepada orangtua diekpresikan dengan
"sungkem" sedangkan dalam komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut

6
tidak dikenal. Uraian di atas menunjukkan bahwa ekspresi tentang Islam
tidak bisa tunggal. Hal itu dikarenakan Islam tidak lahir di ruang hampa
sejarah. Tabiat. karakter, tradisi, budaya, lingkungan, dan lain-lain menjadi
penentu dan pembeda corak berpikir, cara bersikap, dan bentuk ekspresi
seseorang, bahkan masyarakat. Islam mengajarkan untuk bertutur kata
halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang Batak atau orang Arab
harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesesuaian dan


ketepatan dalam ekspresi beragama ditentukan oleh konteks budaya,
geografis, dan historis. Perbedaan-perbedaan ekspresi tersebut semakin
memperkaya corak dan model keberagamaan di internal umat Islam itu
sendiri. Beragamnya corak serta model keberagamaan umat Islam ini
semakin memperkaya khazanah budaya Islam, di samping semakin
memperkokoh Islam sebagai rahmatan fil alamin. Justru karena Islam
menerima berbagai perbedaan ekspresi, la mampu menebarkan kasih sayang
di tengah kehidupan umat manusia. Karena dengan menghargai perbedaan,
maka manusia menjadi semakin terbuka, semakin saling percaya, saling
berbagi, dan saling menolong untuk mencapai kemaslahatan bersama.

2. Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam


KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Gus Dur, sejak tahun 1980 yang lalu, menghadirkan konsepsi pemikirannya
mengenai “Pribumisasi Islam”. Ia masih melirik akan pentingnya tradisi,
kebudayaan lokal Indonesia. Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi
Islam, bukannya artikulasi dari keislaman yang harus serba seragam, apalagi
serba arab. Dia seolah yakin bahwa Islam akan lebih mudah dihayati oleh
masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila para da’i atau muballigh
(penyebar agama) terlebih dahulu memperhatikan kebudayaan setempat
pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Keberislaman yang
disampaikan dengan cara seperti ini akan lebih mampu mengakomodir

7
cipta, rasa, dan karsa para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan
budayanya yang sudah terjadi selama berabad-abad.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam,
yang tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam
Pribumi” meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami
sebagai ajaran mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon
perubahan zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai agama yang progresif,
kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman penyimpangan terhadap
ajaran Islam melainkan sebagai pemicu untuk melakukan respon kreatif
secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter membebaskan,
yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem kemanusiaan secara
universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis.
Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang perlunya
negosiasi dan akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas, dan kemodernan
sekaligus. Karena itu, keberislaman dipahami bukan hanya ritualisme, tetapi
lebih dari itu. Akomodasi tradisi dan kultur lokal melakukan “penafsiran
silang” yang saling menghargai dan menyempurnakan. Keberislaman
ditafsirkan untuk kerja kemanusiaan, kemaslahatan, kesetaraan, dan
keadaban.
Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya tidak
sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses
Arabisasi. Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat
Indonesia dari akar budayanya sendiri. Namun, “Prubumisasi Islam”,
menurut Gus Dur, bukan jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi
Islam” hanya mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan
hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan
meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir tahun 80-an itu
menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari
Tuhan diakomodasikan ke dalam budaya yang berasal dari manusia tanpa

8
kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi Islam” menjadikan agama
dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar
keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama,
serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan
antara agama dan budaya. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan
antara agama dan budaya. “Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi
keanekaragaman interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap
wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang
secara tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam
yang di Timur-Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena
Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad
ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil
memasukan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas
walisongo ini melahirkan gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak
harfiah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat
dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo mengakomodasikan
Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan.
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah
kebutuhan praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/
tabligh antar budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran
(berupa kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan
waktu yang berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks
yang melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep “Pribumisasi
Islam” ini. Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya akan sangat
membantu bagi berkembangnya pemahaman Islam yang pantas untuk
diterapkan dalam konteks Indonesia maupun keindonesiaan itu sendiri. Dari
situ, membangun masyarakat yang religius juga kultural akan lebih mudah
terwujud, tanpa kehilangan kebinekaannya, tetap harmonis, toleran dan
menganut pluralisme yang dewasa.

9
3. Membangun Argumen Tentang Urgensi Pribumisasi Islam
Secara bahasa, Urgensi berasal dari bahasa Latin yaitu “urgere” yang
berarti mendorong. Adapun secara istilah, Urgensi yaitu menunjuk pada
sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk menyelesaikan
suatu hal. Urgensi dapat diartikan yaitu pentingnya. Sebagai contoh, urgensi
kepemimpinan berarti pentingnya kepemimpinan.
Pribumisasi Islam adalah rekonsilasi antar budaya dan agama.
Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan faktor- faktor kontekstual termasuk kesadaran hukum
dan rasa keadilannya.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran
yang normatif berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan kemurnian dari
Islam itu sendiri.Menurut Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu
pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan - kebutuhan lokal di
dalam merumuskan hukum-hukum negara. Sejak itu, Islam pribumi menjadi
perdebatan menarik dalam lingkungan para intelektual. Tujuan gagasan
pribumisasi Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan
sehingga keduanya dapat saling menerima dan memberi.
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling
mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak
lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan
jembatan yang selama ini melintas antara agama dan budaya. Islam Pribumi
justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan
beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian
Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam.
Tidak lagi ada anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang
murni dan yang paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut.
Islam pribumi yang telah dicetuskan Gus Dur ini sesungguhnya
mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Wali Songo dalam

10
dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 M di pulau Jawa.
Dalam hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal
dalam Islam yang khas keindonesiaan. Kreatifitas Wali Songo ini
melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak harfiyah meniru Islam
di Arab. Tidak ada nalar arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam
awal di Nusantara. Para Wali Songo justru mengakomodir dalam Islam
sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan.
Misalnya ytang dilakukan sunan Bonang dengan mengubah gamelan Jawa
yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan trascendental. Tombo Ati salah satu
karya Sunan Bonang dalam pentas perwayangan, Sunan Bonang mengubah
lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Pribumisasi Islam juga bukan pembaharuan, karena pembaharuan
berarti hilangnya sifat asli agama, sementara Gus Dur menginginkan agar
islam tetap pada sifat Islamnya. Misalnya, Al-Qur’an harus tetap dalam
berbahasa Arab terutama dalam hal sholat, sebab hal itu merupakan norma.
Adapun terjemahan Al-Qur’an bukan menggantikan Al-Qur’an, melainkan
sekedar untuk mempermudah pemahaman tehadap sholat.

Islam Pribumi memiliki sifat-sifat berikut:

a. Islam Pribumi bersifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai


ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.

b. Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan


dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran
dasar agama (Islam), tetapi didliaht sebagai pemicu untuk melakukan
respon kreatif secara intens.

c. Islam Pribumi bersifat karakter bebas, yakni Islam menjadi ajaran


yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara
universal tanpa nmelihat perbedaan agama danetnik.

11
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh
manusia hingga akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk
membumikan Islam sudah tertera dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran.
Banyak cara yang dapat ditempuh dalam membumikan Islam di Indonesia.
Kebangkitan atau kemajuan umat Islam, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama sungguh sangat bergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan
berpegang teguh pada petunjuk -petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, etika-
etika dan norma-norma yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan
manusia di mana pun.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/
http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-
nusantara-sebuah-tinjauan-kritis-1

Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos WacanaIlmu

Noer Derlier.1995.Gerakan Modern Islam Di Indonesia1900-1942. Jakata: PT


Pustaka LP3ES Indonesia

https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.
htmlhttp:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam

Anda mungkin juga menyukai