Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AGAMA ISLAM

ISLAM DAN KEMAJEMUKAN

1. ABBEL MAULANA (2019.1624.1.01)


2. ABDILLAH FAQIH (2019.1625.1.01)
3. ABIYYU DZAKY (2019.1626.1.01)
4. ALVIRA LISTIA (2019.1646.2.01)
5. AULIA N SHAAFIYAH (2019.1652.2.01
6. M. ARYAGUNA PENAN (2019.1722.1.01)

POLITEKNIK IMIGRASI

2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
2.1 Pengertian dari islam dan kemajemukan………………............................................2
2.2 Pengerttian dari kebhinekaan dan kemajemukan …...................................................3
2.3 Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah…………….…5
BAB III PENUTUP..........................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................9

i
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Karena berkat
rahmat, hidayahnya, kami telah mampu menyelesaiakan sebuah makalah yang berjudul
“Islam dan Inspirasi Kebangsaan”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
matakuliah Agama Islam.
Sebagai makhluk individu  manusia merupakan bagian dan unit terkecil dari
kehidupan sosial atau masyarakat dan sebaliknya sebagai makhluk sosial yang membentuk
suatu kehidupan masyarakat, manusia merupakan kumpulan dari berbagai individu. Dalam
menjalankan peranannya masing-masing dari kedua hal tersebut secara seimbang, maka
setiap individu harus mengetahui dari peranannya masing-masing tersebut. Untuk itu, perlu
kiranya kami menulis sebuah makalah yang mengemukakan wawasan Islam dalam wawasan
kebangsaan. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini kami banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terimakasih.
            Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hasil maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

, 8 April 2020

Kelompok 1

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang mempunyai berbagai latar belakang;
ras, suku dan agama yang mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir tiap-tiap individu.
Kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi daya tarik tersendiri, meskipun tidak
dipungkiri bahwa aspek tersebut juga mempunyai bagian negative yang perlu diwaspadai,
khususnya dalam hal religious diversity Wawasan keislaman penting karena ia
merupakan landasan pokok yang selanjutnya akan menjadi sumber sekaligus spirit dalam
menjalankan dan mengembangkan organisasi dakwah. Sedangkan wawasan kebangsaan
penting karena organisasi dakwah yang dimaksud tumbuh dan berkembang di sebuah
Negara-Bangsa (Indonesia), untuk itu sikap nasionalisme menjadi hal yang tidak bisa
ditawar lagi. Oleh karenanya, setiap SDM (kader) dalam organisasi dakwah harus
memiliki wawasan keislaman dan kebangsaan yang komprehensif, tidak hanya paham
namun juga harus diinternalisasi dan diamalkan disetiap gerak langkah dalam
menjalankan roda organisasi. Wawasan keislaman tanpa disertai dengan wawasan
kebangsaan dapat berdampak pada melemahnya sikap nasionalisme. Tanpa wawasan
kebangsaan yang kokoh, organisasi dapat terjebak pada sikap fanatik berlebihan, yang
pada akhirnya dapat berdampak pada sikap intoleran pada organisasi dan bahkan
keyakinan lain yang tidak sama. Lemahnya sikap nasionalisme juga akan berdampak pada
melemahnya institusi.

1.2 Rumusan masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Islam dan isnpirasi kebangsaan?


b. Apa yang dimaksud dengan kebhinekaan dengan kemajemukan dalam islam?
c. Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah?

1.3 Tujuan
a. mengetahui pengertian Islam dan isnpirasi kebangsaan
b. mengetahui artyi dari kebhinekaan dengan kemajemukan dalam islam
c. mengetahui fungsi dari Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah
insaniyah

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Islam dan inspirasi kebangsaan

Bangsa Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak, tidak hanya


masalah adat istiadat atau budaya seni, bahasa dan ras, tetapi juga termasuk
masalah agama.Walaupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada
beberapa agama dan keyakinan lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khonghucu adalah contoh agama yang juga tidak sedikit dipeluk
oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam
beribadah.Namun  perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu
saudara dalam tanah air yang sama, setiap warga Indonesia berkewajiaban menjaga
kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menajdi suatu kesatuan
yang utuh dan mencapai tujuannya sebagai negara yang makmur dan berkeadilan
sosial. Islam dalam melihat keberagaman merupakan sesuatu yang niscaya dan
menjadi realita kehidupan manusia.Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan realitas
sunnatullah tersebut.

Seperti yang dicantumkan di surat Al maidah ayat 48 yang mana artinya adalah
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”

2
Dan juga di dalam surah Al hujarat ayat 13 yang artinya “Wahai manusia!
Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Jadi Allah menciptakan manusia manusia bersuku suku untuk saling mengenal dan
dari ayat diatas juga menjadi penegasan bahwa perbedaan itu merupakan sunatullah
dan islam memandang realitas kemajemukan itu merupakan takdir dari allah swt.

A. Kebhinekaan dan Kemajemukan dalam Islam


Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meskipun berbeda-beda tapi tetap satu
merupakan motto resmi negara Republik Indonesia. Motto ini muncul dalam lambang
Garuda Pancasila pada sebuah gulungan yang dicengkeram dengan kaki Garuda.
Motto ini muncuk secara eksplisit pada pasal 36A dalam Undang-Undang Dasar yang
menyebutkan bahwa lambang nasional negara Republik Indonesia adalah Garuda
Pancasila dengan motto Bhinneka Tunggal Ika.
NKRI yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam belakangan ini mendapatkan
tantangan yang serius. Banyaknya kasus radikalisme berlatar belakang agama tampak
identik dengan perilaku intoleran terhada perbedaan, ekstrim dalam menanggapi
masalah, lalu menjadikan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah.
Sampai saat in masih ada sebagian kelompok masyarakat yang belum mampu
menerima arti perbedaan, yang akibatnya perbedaan dipaksakan untuk melebur
menjadi satu pemahaman yang dibangun oleh kelompok tertentu.
Tragedi kekerasan kelompok radikalis (dalam hal ini bukan hanya kelompok yang
mengatasnamakan “Islam”, tapi juga kelompok-kelompok lain yang memaksakan
pemahaman) meninggalkan pesan bahwa pemahaman merekalah yang paling benar.
Padahal perbedaan seyogyanya menjadi sebuah dinamika kehidupan yang perlu
didialogkan, tapi justru menjadi alasan untuk melakukan pemaksaan terhadap
kelompok yang kontra. Akibatnya perbedaan selalu identik dengan kekerasan sebagai
solusinya.
Dalam pandangan Gus Dur, kemunculan kelompok-kelompok Islam Radikal
terjadi karena dua faktor. Pertama, karena penganut Islam Radikal ini mengalami
kekecewaan akan “ketertinggalan” umat Muslim terhadap kemajuan Barat dan
pengaruh budaya mereka terhadap dunia Islam. Kerana ketidak mampuan kelompok
radikal ini dalam membendung pengaruh Barat maka kelompok ini memilih
mengunakan tindakan kekerasan sebagai tameng terhadap meterialistik budaya Barat.
Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam Radikal ini terjadi karena
pendangkalan agama di kalangan umat Islam. Kelompok ini mencukupkan diri
dengan penafsiran keagamaan yang didasarkan pada pemahaman mereka secara literal
atau tekstual. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh kelompok ini yang memiliki hafalan Al
Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar dan mengagumkan. Akan tetapi pemahaman
mereka terhadap substansi ajaran dan nilai-nilai Islam sangat lemah karena tanpa
mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, seperti kaidah-kaidah dalam ushul fiqh,
maupun variasi penafsiran terhadap teks-teks yang ada.
3
Dalam Islam berbedaan merupakan sebuah fitrah manusia, pemaksaan terhadap
sebuah sebuah perbedaan justru melanggar fitrah tersebut, apalagi melakukan
kekerasan untuk memaksakan kehendak menjadi hal yang kontradiktif dengan makna
Islam sendiri. Menurut bahasa, kata Islam berarti tunduk, patuh, berserah diri, dan
damai. Jadi karakteristik dan watak dasar Islam sebenarnya adalah gagasan
komprehnsif tentang perlunya perdamaian dalam hidup dan kehidupan manusia. Islam
diturunkan sebagai agama untuk tujuan mewujudkan salam (keselamatan), kedamaian
dan perdamaian.
Dengan demikan maka segala bentuk tindak kekerasan terorisme, anarkisme dan
ketidak setujuan terhadap perbedaan sebenarnya bertentangan dengan watak dasar,
visi dan misi agama Islam.
Islam pada dasarnya memandang manusia dan kemanusian secara positif dan
optimistis. Dalam pandangan Islam, manusi berasal dari nenek moyang sama yaitu
keturnan Adam dan Hawa. Meskipun berasal dari rahim yang sama, akan tetapi
kemudian manusia menjadi berbeda suku, kaum, bangsa, negara, lengkap dengan
peradaban dan kebudayaan masing-masing. Semua perbedaan ini kemudian
mendorong untuk saling mengenal dan memberikan apresiasi satu dengan lainnya.
perbedaan dalam manusia, menurut pandangan Islam bukan dikarenakan ras, kulit,
dan bangsa, tapi hanya tergantung tingkat ketakwaan masing-masing dan tertulis
dalam al-Hujurat ayat 13. Inilah yang seharusnya menjadi dasar umat Islam untuk
membangun ukhuwah insaniyah atau ukhuwah basyariyah.
Islam sebagai agama damai yang menurut watak dan kodratnya harus disampaikan
oleh para pemeluknya dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Rasulullah dalam
surah an-Nahl: 125 yaitu dengan bijaksana, pelajaran yang baik, dan apabila perlu
perbedatan, maka berdebatlah dengan baik. Inilah karakteristik Islam santun dalam
menyikapi berbedaan karena tentu perdebatan akan timbul karena adanya perbedaan.
Sikap seperti ini perlu dikedepakan mengingat tidak akan ada penerimaan dalam
perbedaan jika disampaikan dengan dengan bersikap keras dan kasar, bahkan itu akan
memperlebar jarak perbedaan antara satu kelompok dengan lainya dan ini tertulis
dalam surah āli-Imrān: 159.
Prinsip-prinsip kebebasan, hak, menghormati perbedaan telah lama dipraktikan
oleh Islam sejak zaman Rasulullah. Implementasi prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat
dalam piagam Madinah yang dikenal dalam sejarah sebagai konstitusi tertulis pertama
di dunia yang membuat dasar-dasar toleransi, harmoni dan kebebasan bagi setiap
penduduk untuk mendapatkan hak-hak dasar manusia. Pada pembukaan piagam
Madinah secara jelas disebutkan bahwa “ Ini adalah piagam dari Muhammad S.A.W
diantara kaum mu’minin dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang
yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka” yang
kemudian dilanjutkan dengan isi pertama piagama dengan menyatakan bahwa “
Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lainya” pernyataan
pertama menunjukan bagaimana Rasulullah mengakui eksistensi umat lain, dan
menghargai perbedaan tersebut dengan istilah satu umat. 47 isi Piagam Madinah jika
disimpulkan akan mendapatkan bahwa setiap individu dan kelompok yang berada di
kota Madinah mendapat jaminan hak, kebebasan, dan perlindungan jiwa, harta dan
agama.
Konsep “Bhineka Tunggal Ika” sebagai identitas bangsa Indonesia yang
kalimatnya diadopsi dari filsafat Nusantara (pada masa Kerajaan Majapahit) untuk

4
menyatukan bangsa sejatinya tidak terlalu perbeda (untuk tidak dikatakan sama)
dengan isi pertama Piagam Madinah. Kemajemukan dan keragaman sudah tentu
membutuhkan “simbol” pemersatu agar tidak terjadi konflik yang merugikan
individu, kelompok, dan negara secara lebih luas.
B. Dalam konteks hubungan antar agama di Indonesia, terbentuknya Pancasila dapat
dikatakan sebagai perwujudan dari keinginan untuk mengembangkan kalîmatun sawâ
dalam Islam, yaitu pengambilan kebijakan yang bersifat win win solution untuk
menjembatani perbedaan pendapat dalam pembentukan Pancasila. Hasil penerimaan
Pancasila itu, sangat jelas menunjukan bahwa para pemimpin Islam sangat
mengutamakan kerukunan dan integritas nasional dibandingkan hanya memikirkan
kepentingan umat muslim belaka. Dalam pandangan mayoritas umat muslim
Indonesia, penerimaan Pancasila menjadi hadiah terbesar umat Islam untuk menjaga
kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang majemuk dari segi agama,
suku, adat istiadat, dan lain-lain.
Sejatinya dalam konsep kebhinekaan, Islam sebagai agama mayoritas telah berhasil
menyatukan berbagai suku yang tersebar di kepulaian Nusantara dan menjadi salah
satu dasar persatuan yang penting. Dan jika melihat kebelakang dalam sejarah
Indonesia, Islam tidak hanya berfungsi sebagaiagama penyang

B. Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah


ada tiga macam ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah(persaudaraan umat manusia).
Ukhuwah basyariyah bisa juga disebut ukhuwah insaniyah.
Pada konsep ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena
sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan
dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara
satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia.
Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis
kelamin, dan sebagainya. Adapun, dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa
saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang
menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama
merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju
luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan
sebagainya. Menurut hemat saya, ukhuwah basyariyah merupakan level ukhuwah yang
tertinggi dan mengatasi dua ukhuwah lainnya: Islamiyah dan wathaniyah. Artinya, setelah
menapaki ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, sudah sepatutnya seseorang
menggapai ukhuwah yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mendasar, yaitu ukhuwah
basyariyah.
Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai
sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan
baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan
karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang

5
dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun
agama dan sukunya.
Dalam ukhuwah basyariyah, seseorang merasa menjadi bagian dari umat manusia yang satu:
jika seorang manusia “dilukai”, maka lukalah seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan
pesan Alquran dalam surah Al-Mâ’idah [5] Ayat 32: barang siapa membunuh seorang
manusia tanpa alasan yang kuat, maka dia bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia.
Sebaliknya, barang siapa menolong seseorang, maka ia telah menolong seluruh manusia.
Betapa sangat indah, kuat, dan mendalamnya pesan yang disampaikan ayat Alquran di atas.
Kemudian, apakah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah--yang masih
mempertimbangkan dan mementingkan identitas formal dan baju luar seseorang--lantas tidak
diperlukan lagi? Tentu saja keduanya masih dibutuhkan. Tetapi, seseorang perlu berhati-hati,
jangan sampai ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang diekspresikannya terjatuh
pada apa yang bisa diistilahkan sebagai “fanatisme” (juga “nasionalisme”) yang sempit dan
picik.
Dalam konteks itu, misalnya, seseorang mau menolong dan mau berteman dengan orang lain
karena faktor agamanya dan kebangsaannya belaka. Seseorang yang beragama Islam hanya
mau “bersentuhan” dengan seseorang yang beragama Islam juga. Atau lebih sempit lagi
hanya mau “bersentuhan” dengan seseorang yang sealiran/semazhab dan segolongan belaka.
Seseorang juga hanya mau “bersentuhan” dan bekerja sama dengan seseorang yang secara
formal diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia.
Ukhuwah wathaniyah yang sempit juga bisa terjatuh pada apologi dan pembelaan seseorang
yang tidak proporsional bagi bangsanya. Padahal, kalau bangsa kita salah dan berbuat jahat
(misalnya mangagresi dan menjajah negara lain), maka menjadi kewajiban dari warganyalah
untuk mengkritik, menyalahkan, dan meluruskannya. Meskipun agama, mazhab, dan
kebangsaannya sama dengan kita, jika seseorang berbuat salah dan zalim, harus kita kritik
dan tunjukkan kesalahannya secara lugas, jujur, dan tegas.
Dalam kasus lain, kadang ada ukhuwah Islamiyah yang dipahami secara sempit dan picik
yang lantas menggerakkan seseorang untuk menempatkan para pemeluk agama di luar Islam
sebagai saingan bahkan musuh yang layak diserang dan dibinasakan. Ukhuwah
Islamiyah yang seperti ini tentu saja kontraproduktif karena diekspresikan secara fanatik dan
dogmatik.
Sebagaimana kita simak dalam lembar-lembar sejarah umat manusia, fanatisme dan
dogmatisme atas nama apa pun (misalnya atas nama “agama” dan ”ideologi” tertentu) bisa
sangat membahayakan karena memunculkan kekerasan dan destruktivitas. Yang terpenting
dalam kehidupan seseorang bukanlah identitas formal semisal agama, suku, bangsa, dan
seterusnya, melainkan apa yang dilakukannya. Hal yang dilakukan seseorang ini secara
sederhana mungkin bisa diidentifikasi sebagai moralitas dan tindakan sosialnya.
Seseorang (meskipun agama, keyakinan, suku, dan bangsanya sama dengan kita) sudah
sepatutnya kita ingatkan, kita kritik, bahkan kita lawan jika apa yang diperbuatnya
merugikan, menindas, dan menggerus hak orang lain. Dalam bahasa yang lain, apa yang
merugikan, menindas, dan menggerus hak orang lain itu bisa diistilahkan sebagai tindakan
jahat dan kriminal.
Lawan kita bukanlah orang yang beragama lain, melainkan orang yang bertindak zalim dan
tidak adil, apa pun agamanya. Orang kafir, menurut cendekiawan Muslim bereputasi
internasional Asghar Ali Engineer, bukanlah orang yang tidak beragama Islam, melainkan

6
orang yang melakukan kezaliman, diskriminasi, penindasan, ketidakadilan, korupsi, dan
semacamnya, apa pun agamanya.
Dengan semangat ukhuwah basyariyah/insaniyah, marilah kita tebarkan semangat
“bersaudara” antarsesama manusia untuk mewujudkan kehidupan yang semakin baik, indah,
adil, dan maslahah. Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
mengatakan,“Tidaklah beriman seseorang dari kamu sehingga dia mencintai saudaranya
seperti dia mencintai dirinya sendiri.” Kata “saudara” dalam hadis di atas bukanlah sekadar
sesama Muslim, melainkan sesama umat manusia.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi motto bangsa Indonesia, meskipun tidak
lahir dari falsafah keislaman namun jika dikaji lebih dalam ternyata memuat nilai-
nilai yang terkandung dalam Islam, sehingga jika seorang muslim merasa anti dengan
kebhinekaan tentunya muncul sebuah pertanyaan, apakah dia paham tentang Islam?.
Perbedaan merupakan sebuah fitrah dalam dokrin Islam, sehingga menyikapi
perbedaan dengan arif dan bijak merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam agar
tidak menimbulkan konflik yang disebabkan perbedaan pandangan. Di Indonesia
umat Islam berperan penting dalam menjaga kebhinnekaan yang ada, hal ini dapat
dilihat dari berbagai peran umat Islam dalam sejarah bangsa dalam membentuk dan
merawat kebhinekaan di Indonesia. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak seharusnya
disikapi secara negatif, skeptis, atau bahkan anarkis. Perbedaan merupakan sebuah
rahmat Allah yang harus disyukuri, sehingga kehidupan ini lebih berwarna dan Indah,
dan inilah yang diajarkan agama Islam untuk menciptakan baldatun toyyibah.

8
Daftar Pustaka

Wahid, Abdurrahman. (2006), Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta :The
Wahid Institute.

https://news.detik.com/kolom/d-3485150/kekalahan-ahok-islam-politik-dan-
narasi- demokrasi-di-indonesia

https://www.academia.edu/38137207/
Makalah_keberagaman_dalam_keberagamaan_dalam_islam

https://tafsirweb.com/1932-quran-surat-al-maidah-ayat-48.html

https://www.researchgate.net/publication/
334300151_Islam_Dan_Kebhinekaan_di_Indonesia_Peran_Agama_Dalam_Mera
wat_Perbedaan

9
10

Anda mungkin juga menyukai