Anda di halaman 1dari 4

Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin

Editor: Habib Muzaki

Indonesia dengan negara yang dijuluki sebagai negara majemuk akan corak bentuk yang berbeda, telah
membuktikan bahwa banyaknya kekayaan yang ada di Indonesia untuk tidak boleh kita acuhkan. Agar
warisan budayanya masih tetap terjaga. Namun, saat ini kita dihadapkan dengan terjadinya dekadensi
yang cukup signifikan mengingat dinamika kehidupan manusia yang terus berubah (Nur Kholis, 2019: 1).

Suatu keniscayaan, antara agama dan budaya saling mempunyai hubungan erat. Sejarah agama
manapun telah membuktikan adanya suatu keadaan yang esensial terkait adanya keterikatan antara
agama dan kehidupan manusia. Pembuktian ini bisa kita lihat ketika agama terus hidup dan berkembang
saat terdapat interaksi dalam kehidupan manusia.

Pembicaraan tentang agama seyogyanya dilakukan dengan hati-hati. Di Indonesia terdapat enam agama
yang disahkan, meliputi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Hindu dan Konghucu. Meskipun agama
merupakan persoalan lingkup sosial, namun buah dari persoalan tersebut penghayatannya sampai ke
individual. Masih ada kemungkinan untuk membicarakan tentang agama sebagai bentuk sesuatu yang
umum dan objektif yang diharapkan dapat terjadinya kesepakatan para penganut agama.

Pada umumnya, antaragama yang ada di Indonesia memulainya dengan cukup baik. Meskipun kita tidak
dapat memungkiri bahwa permasalahan yang terjadi antaragama selalu ada, khususnya terjadi setelah
reformasi 1998. Pada kisaran tahun setelah era reformasi timbul berbagai sumber permasalahan yang
terjadi antaragama dengan skala besar. Terdapat dua permasalahan besar yang sering terjadi, yaitu
mudahnya menyesatkan orang dan pembangunan rumah ibadah (Zainal Abiddin, dkk, 2011: 12).
Islam merupakan agama yang notabene selalu mengedepankan atau mengutamakan perdamaian umat
di muka bumi ini, dengan ungkapan yang masyhur dikenal sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin.
Walaupun dengan begitu, pemeluk agama Islam sendiri, khususnya yang ada di Indonesia masih
terdapat banyak adanya kesalahpahaman mengenai konsep antara agama dan negara. Seperti beberapa
peristiwa belakangan ini mencuat wacana bahwa keislaman dan keindonesiaan adalah dua hal yang
saling bertentangan. Kelompok ini memahami Pancasila sebagai antitesis terhadap Islam. Tidak hanya
itu, narasi-narasi yang dihembuskan sudah mengoyak keislaman dan keindonesiaan bahwa Pancasila
terbukti tidak becus mengatasi persoalan kebangsaan yang sudah sedemikian akutnya. Sehingga, masih
menurut mereka, jika Indonesia ingin berubah, maka solusi satu-satunya adalah penerapan syari’at
(khilafah).

Memang tidak ada yang salah dengan khilafah, namun dalam konteks Indonesia, penerapan khilafah
tidak hanya sekedar sebuah paksaan, melainkan mencerminkan langkah mundur. Sebab, para founding
fathers sudah sepakat bahwa Pancasila sebagai common denominator, Konsensus Nasional atau
kalimatun sawa’ yang menjadi basis bagi persatuan, kesejahteraan dan kemajuan nasional (Masykuri,
2014: 282).

Sekali lagi, Pancasila adalah legacy terbesar para founding Fathers, termasuk tokoh Islam. Jadi,
sesungguhnya tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Itulah
sebab, relasi Islam dan keindonesiaan sangat apik. KH. Ahmad Shiddiq merumuskan hubungan keduanya
dengan konsep Ukhuwah Insaniyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Islamiyyah. Yaitu bagaimana
ajaran Islam dielaborasikan dengan karakteristik dan budaya lokal. Tidak ada salahnya dengan langkah
seperti ini, wahai saudaraku. Ingatlah, betapa ulama kita dahulu menyebarkan Islam dengan menyelami
budaya lokal untuk kemudian “di-Islamkan”. Rujuklah kisah-kisah Walisongo dan lain sebagainya.

Jika kita belajar lebih jauh, maka akan kita dapatkan pemahaman bahwa Islam tidak bertentangan
dengan ke-Indonesiaan. Sekalipun Indonesia bukan negara agama, tetapi negara Pancasila, bukan
berarti Islam dinomorduakan. Adalah benar dan sudah seharusnya Islam ditempatkan yang paling atas
dan utama ketimbang Pancasila. Akan tetapi, sekali lagi, bukan berarti harus mengingkari Pancasila.
Umat Islam Nusantara harus yakin bahwa dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, Islam
menyatu (sinergi) dan bahkan sinergi dengan kebangsaan. Dari sini pula, ahli agama merumuskan suatu
paradigma luar biasa, yakni nasionalisme religius.

Nasionalisme model ini berbeda dengan nasionalisme yang dikembangkan di Eropa. Pun sejarah
nusantara memotret betapa konsep nasionalisme religius mengalami pergeseran paradigma. Di awal
kemerdekaan, nasionalisme religius dimaknai sebagai penerapan Islam dalam tatan negara secara
formal. Pascareformasi, nasionalisme ini berubah menjadi lebih fleksibel, yakni bagaimana membangun
bangsa dan negara berdasarkan spirit Islam.

Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang harus ditekankan oleh semua kalangan terhadap
kelompok yang selalu mempertentangkan Islam dan keindonesiaan. Suatu kenyataan yang sulit dibantah
adalah tidak ada ulama asli Indonesia yang mempertentangkan Pancasila, kalau toh ada, yang
ditentangkan bukanlah subtansi atau nilai Pancasila, melainkan lebih pada penerapan nilai Islami atau
nilai-nilai Islami dijadikan inspirasi dan menjiwai kehidupan bangsa dan negara.

Ibnul Ibrohin (2013), mencoba meyakinkan masyarakat Indonesia. Kesilaman dan Keindonesiaan selalu
menunjukkan hubungan yang positif, bahkan Islam mampu mengakomodasi nilai-nilai kenegaraan dan
kearifan lokal yang menjadikan Islam semakin luas dan megah, sehingga jiwa Islam yang rahmatan lil
alamin semakin dapat dilihat.

Nurcholis Madjid banyak menyoroti ihwal relasi Islam dan Keindonesiaan. Salah satu pemikiran beliau
terkait hal ini dituangkan dalam sebuah karya yang berjudul Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(1987). Secara mendalam, Cak Nur menguliti ideologi-idologi yang acapkali dijadikan pedoman oleh
masyarakat Indonesia, seperti sekulerisme, komunisme, dll. Dalam salah satu poin pentingnya adalah,
penumbuhan dan penemuan nilai-nilai keindonesiaan akan mempunyai dampak strategis dalam
membangun politik nasional kita, yaitu adanya sumber legitimasi kultural bagi kekuasaan yang ada.
Lebih lanjut, Cak Nur menegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka.
Keterbukaan Pancasila mengisyaratkan persatuan tanpa memandang keturunan dan kelompok mana.
Semua menyatu dalam Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Maka, semboyan yang digaungkan adalah
Bhinneka Tunggal Ika. Konsep Bhinneka Tunggal Ika, secara harfiah, tidak ada dalam ajaran Islam. Akan
tetapi, secara spirit, ajaran Islam mengatakan demikian. Tengok saja sejarah Nabi ketika hijrah ke
Madinah. Salah satu langkah besar yang diambil adalah mempersaudarakan kaum Ashar dan Muhajirin.

Jadi, cara beragama kita sesungguhnya sangat erat diperanguhi oleh sosial, politik dan budaya masing-
masing wilayah. Sehingga, orang yang mempertentangkan Islam dan Indonesia itu salah kaprah. Untuk
itu, sekarang yang kita butuhkan adalah Pancasila yang berfungsi penuh sebagai pemantik semangat
untuk memacu masa depan. Bukan malah mempertentangkannya dengan ideologi lain

Anda mungkin juga menyukai