Anda di halaman 1dari 11

KAITAN PANCASILA DENGAN NILAI-NILAI ISLAM

Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam


Bismillahirrahmanirrahim 1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia. 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. 5. Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak

Pancasila sebagai dasar negara merupakan keputusan final dan sudah menjadi pegangan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, Pancasila yang menjadi pegangan hidup sejalan dengan agama Islam sehingga tidak menimbulkan perbedaan di tengah-tengah masyarakat. Hal itulah dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pasaman Barat, Ramlan dalam dialog terbuka Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pasaman

barat bekerjasama dengan Forum Masyarakat Peduli Sumbar. Dialog tersebut mengangkat tema "Menuntaskan Hubungan Islam dengan Pancasila sebagai Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia", di Simpang Ampek, Senin. Ia mengatakan, para tokoh agama seharusnya memahami agama dengan melihat kondisi objektif bangsa Indonesia yang majemuk sehingga pemahaman keagamaan lebih bersifat moderat tanpa mengorbankan ajaran dasar agama. Pemahaman yang moderat akan menghasilkan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), dan toleransi (tasamuh) dalam hubungan antar manusia serta tidak melakukan politisasi agama untuk kepentingan masingmasing. "Semua elemen harus memandang Islam tersebut secara menyeluruh bukan setengah-setengah. Islam selalu beriringan dengan kondisi masyarakat saat ini dan sesuai dengan dasar pancasila. Bahkan sejak dulu pancasila mengandung muatan Islam," katanya. Penasehat Konsultasi Hukum Syariah PCNU Kabupaten Pasama Barat, H. Sirril Masri menegaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam lima butir Pancasila kesemuanya tidak ada yang keluar dari dasar Islam, yakni Al Quran dan Hadits. Ia menjelaskan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa terdapat dalam Q.S Al-Ikhlas ayat 1 yang artinya "Katakan Muhammad bahwa Allah itu Esa". Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab terdapat dalam Q.S Ar-Rahman ayat 8 yang artinya tegakkanlah timbangan dengan keadilan dan jangan sekali-kali kamu berlaku curang dalam timbangan. Sila Persatuan Indonesia terdapat dalam Q.S Ali-Imran ayat 103 yang artinya berpegang teguhlah kamu dengan agama Allah dan jangan kamu berpecah belah. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan dan perwakilan terdapat dalam Q.S An-Nahl ayat 125 yang artinya Ajaklah atau Dakwahilah mereka itu kepada agama Tuhanmu dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia terdapat dalam hadits sahih AlBukhari, Rasulullah SAW bersabda Setiap pemimpin Itu diminta pertanggungjawabannya. Perwakilan Kementrian Agama Kabupaten Pasaman Barat, Rahmadi, menjelaskan perdebatan dasar negara RI telah lama menjadi perdebatan terutama antar kelompok Islam dan Pancasilais (Nasionalis). Bahkan wacana ini, bagi kaum Islamis fanatik masih belum padam dengan fakta terkini, kembali marak wacana syariatisasi tatanan hukum seiring dengan euforia reformasi. Kegagalan pembangunan dan krisis moral nasional pasca rezim Soeharto menjadi momentum kaum Islamis untuk menyatakan mosi tidak percaya pada Pancasila. Pancasila dianggap gagal menjadi dasar kenegaraan dan kebangsaan RI oleh kelompok Islamis. Bukti yang paling nyata yakni dengan mengusung romantisisme Negara Islam Indonesia (NII) dengan cita rasa baru

yakni bukan mencitrakan NII namun Indonesia Nan Islami. Menurut Rahmadi, Pancasila dan Islam memiliki hubungan yang harmonis.Menggugat Pancasila sebagai ideologi negara hanya akan membawa ketidakpastian baru dan akan menimbulkan kesalahan yang memecah belah eksistensi NKRI dan pada gilirannya Indonesia akan terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Sejarah Indonesia pada awalnya merupakan kumpulan kerajaan yang berbasis agama dan suku. Pancasila yang diperjuangkan merupakan suatu pengikat dari agama dan suku tersebut untuk tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku. Ketua Panitia, Bakri Arifai, SH mengatakan bahwa inti substansi dari diadakannya dialog terbuka ini sebagai bentuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah dan memberikan pencerdasan kepada umat demi menuju Islam Rahmatan Lil Alamin dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada dialog terbuka ini, akan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih meningkatkan pendalaman agama dan memperkuat nilai wawasan kebangsaan untuk mencegah dan mengantisipasi pergerakan militan dari kelompok Islam garis keras yang selama ini selalu mengaku dan merasa Islam yang paling benar serta terus melakukan kaderisasi paham radikal dengan tujuan akhir menggantikan Pancasila dan UUD 1945. Bakri pun menambahkan, dengan semangat Fisabilillah dan terus menerapkan implemantasi empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI serta melakukan perbaikan moral dan akhlak merupakan salah satu cara menangkal sedini mungkin dari upaya menggantikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan Negara dan penyimpangan agama yang tidak sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadist. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari
kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya. Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.Tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi. Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara).Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa pihak mungkin masih dirasa ambigu, apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem ideologi

suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri negara ini. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution, 1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta abbud. Tanpa tujuan ta abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945. Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998: 62).Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).Menurut Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme, serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang

berPancasila juga bukan negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut. 1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama. 2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.

3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam. Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini. 1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah. 2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat 8. 3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam AlQuran Surat Ali Imron ayat 103.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). AlQuran dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Quran Surat Ali Imron ayat 159. 5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Quran dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Quran Surat alNahl ayat 90. Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dengan demikian sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu masa ketika PANCASILA BERTASBIH. Menurut Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Pancasila merupakan karya brilian Bung Karno. Benarkah demikian? Hal itu diucapkannya pada sebuah teve swasta dalam acara memperingati Sewindu Reformasi, Mei 2006 silam. Bagaimana Pancasila dapat dikatakan sebagai karya brilian Bung Karno yang telah menggali nilai-nilai lokal kemudian diperahnya menjadi lima sila, dan salah satunya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal hanya Islam yang Tuhannya Maha Esa. Agama selain Islam yakni Kristen (Protestan dan Katholik), Hindu, Budha dan Kong Hucu (bila diakui sebagai agama), semuanya adalah politheis, tidak Maha Esa. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia bergama Hindu dan animis. Ini adalah fakta sejarah. Lalu darimana dasar berargumen BK yang mengatakan bahwa ia mengambil saripati nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Nusantara, dan memerahnya menjadi Pancasila. Padahal, animisme tidak ber-Tuhan Yang Maha Esa. Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah. Doktrin tersebut disosialisasikan pada setiap penataran P-4. Sehingga, kalau ada yang berani mengemukakan wacana lain, pasti akan dilibas habis. Tetapi, setelah Orba ambruk, berbagai teori yang menggugat asal muasal Pancasila yang konon sakti itu, justru banyak bermunculan.

Di antara teori yang muncul itu mengatakan, bahwa sila-sila pada Pancasila ternyata memiliki kemiripan yang tak terbantahkan dengan asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Menurut Abdullah Patani, sang pemilik teori, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Juga Ki Hajar Dewantara, yang diklaim sebagai bapak pendidikan nasional. Bahkan Ki Hajar Dewantara sudah memasukkan paham Freemasonry melalui lembaga pendidikan Taman Siswa yang sekuler. Sejak awal Taman Siswa menunjukkan kecenderungan yang sangat antipati terhadap agama Islam. Antara lain, penolakannya untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum, dan menggantikannya dengan pendidikan budi pekerti. Bung Karno adalah murid -non formal- dari Ki Hajar Dewantara dan A. Baars. Sebagai murid, ia patuh mengikuti teori yang dicanangkan sang guru. Bahkan, A. Baars sebagai guru Bung Karno, dikenal sebagai seorang Belanda yang menjadi anggota Partai Komunis pada zaman Semaun. Maka bisa dimengerti, bila Pancasila yang kemudian digagas Bung Karno, bagai bersaudara kembar dengan pancasila milik kalangan zionis dan freemasonry. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Kemal Attaturk, salah seorang anggota freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, yaitu melakukan tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam. Karena itu, Pancasila yang digagas Soekarno bersama penyair Soneta Mohamad Yamin dan Soepomo merupakan tipudaya yang sangat nyata. Melalui Pancasila, Bung Karno dan tokohtokoh nasionalis sekuler ini menciptakan landasan pembenaran untuk menerapkan floatisme (salah satu doktrin freemasonry). Maksud floatisme pada dasarnya menisbikan nilai-nilai agama, mengambangkan keyakinan umat beragama, dan mendorong pemeluk agama mencari titik persamaan dari agama-agama yang mereka anut. Sehingga yang muncul ke permukaan bukan ajaran murni agama, namun sekedar budi pekerti, atau semacam aliran kepercayaan yang tidak mempunyai syariah meski mengaku bertuhan yang maha esa. Pada masa Soekarno, terjadi perpindahan agama secara besar-besaran (ribuan orang) dari Islam ke Kristen (Protestan). Padahal seharusnya pemerintah harus mencegah setiap orang yang ingin murtad dari agama islam dengan menerapkan hukuman mati bagi yang murtad dari agama islam. Selain keberpihakannya kepada kristenisasi, Soekarno juga sangat membela komunis. Soekarno tahu, komunisme tidak bisa subur di Indonesia karena faktor Islam. Karena itu, pertama-tama yang harus dilumpuhkan adalah kekuatan revolusioner yang benar-benar hidup di masyarakat, yaitu kekuatan revolusioner Islam.

Caranya, mengirimkan tokoh-tokoh partai Masyumi dan Syarekat Islam ke dalam penjara. Karena, mereka selama ini telah menjadi kekuatan revolusioner yang paling nyata di dalam menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Bila Belanda dan Jepang bisa dilawan, apalagi cuma komunisme. Langkah Soekarno selanjutnya menerapkan doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan neo kolonialisme, neo penjajah. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itu konsep Nasakom diperlukan. Ternyata, bahaya neo kolonialisme cuma omong kosong, hanya tipu daya Soekarno. Karena konsep Nasakom sesungguhnya hanya untuk membuat komunisme berkembang semakin pesat. sila-sila yang diperkenalkannya itu sama dengan sila-sila yaang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Dan sila-sila itu mungkin hanya karya contekan dari asas Zionisme dan Freemasonry yang diperolehnya dari berbagai literatur. dengan mengintrodusir Pancasila, Soekarno berusaha meredam pertumbuhan kehidupan beragama yang sehat. Sebab Pancasila pada dasarnya hanyalah floatisme yang diterapkan di Indonesia dengan nama lokal. Ketiga, melalui Pancasila Soekarno membawa bangsa Indonesia menerima paham komunis, melalui doktrin Nasakom. Upaya ini akhirnya gagal total. Maka, lahirlah Orde Baru dengan semangat floatisme yang sama. PANCASILA tidak bisa dikatakan sebagai karya otentik Bung Karno. Karena, sebelum BK pada 1 Juni 1945 menyampaikan rumusan Pancasila, Prof. M. Yamin sudah lebih dulu mengenal dan menyampaikan rumusan ini. Setidaknya, BK bukanlah satu-satunya, karena selain BK dan Yamin, Soepomo juga merupakan salah satu founding fathers yang memperkenalkan Pancasila kepada rakyat Indonesia. Pancasila juga tidak bisa dikatakan merupakan perahan dari nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Alasan pertama, sila-sila yang ada pada Pancasila, persis sama dengan asas Zionisme dan Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, BK, Yamin dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia. Alasan kedua, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Dari semuanya itu, hanya agama Islam memiliki konsep Berketuhanan Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Selainnya, menganut paham dan konsep bertuhan banyak. Sebelum Islam masuk ke Indonesia sejak tahun pertama Hijriah, penduduk di kawasan Nusantara ini beragama Hindu dan penganut animisme, yang tidak punya konsep Berketuhanan Yang Maha Esa. Alasan ketiga, pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di kawasan Nusantara ini kebanyakan merupakan kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, tidak dikenal konsep Musyawarah untuk Mufakat tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus

tunduk dan patuh kepada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, tidak ada demokrasi, karena kedudukan raja dijabat turun-temurun. Pada masa kerajaan Hindu, tidak ada persatuan, terjadi perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah. Tidak ada nasionalisme. Lantas, dari mana dasar berpijak BK yang mengatakan bahwa Pancasila adalah hasil perahan dari saripati nilai-nilai yang ada dan hidup di kawasan Nusantara? Ironisnya, justru BK-lah orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Atas nama Pancasila BK berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, seni, dengan memaksakan kehendak. Ideologi Nasakom dipaksakan dengan despotis. Bahkan kesenian yang dibolehkan hanya kesenian gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Hamka, malah dipenjarakan karena melawan Lekra. Sejak awal, nampaknya Pancasila memang tidak ditujukan untuk menjadi alat pemersatu, dan untuk mengakomodir ke-Bhinneka-an yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi, untuk menjegal peluang syariat Islam. Hingga kini, para nasionalis sekular, dan non Muslim, menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang ada pada Pancasila tidak sama dengan konsep berketuhanan banyak yang mereka anut. Faktanya, non Muslim lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya di dalam menjalankan ibadahnya dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi masyarakat yang menganut anarkisme ideologis seperti ini? Sekali lagi, Pancasila sudah kian terbukti tidak dapat diandalkan menjadi alat pemersatu. Ia cuma alat politisi busuk yang anti Islam namun mengatas-namakan ke-Bhinneka-an. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multi etnis, multi kultural dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhineka-annya mereka tidak perlu Pancasila. Begitu juga dengan Malaysia. Faktanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia. Kondisi rakyat Indonesia di bawah naungan rezim Pancasila, justru bagai berdiri di pinggir jurang, di malam gelap gulita. Digoyang berbagai bencana, dan dipenuhi sampah maksiat. Sementara hantu birokrasi yang korup, menyebabkan rakyat Indonesia hanya mampu mengigau tentang kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan. Inilah fakta sejarah yang betapapun pahitnya, haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Padahal sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan. Dalam memperingati hari lahir Pancasila, pada tanggal 4 Juni 2006 di Bandung muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhinneka Tunggal Ika, mereka memposisikan agama seolah-olah perampas hak dan

kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan, mereka menganggap agama tidak mampu memberi solusi terhadap kompleksitas problema negara. Dalam pandangan mereka, segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama sebagai hal yang tidak dibenarkan. Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan, kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung, Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan. Kebencian pada agama menyebabkan parameter kebenaran porak poranda, kemungkaran akhlaq merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kemaksiatan. Negeri ini, kian menjauh dari rahmat Allah! Jangan ada lagi pihak yang sok bersih, merasa menjadi tokoh pemersatu di negeri ini. Jika berpegang pada asas ke-Bhinneka-an, maka hukum pidana di Indonesia tidak boleh hanya satu, tapi harus beragam guna menaungi masing-masing golongan, agama, budaya dan adat istiadat Dengan demikian, hukum pidana Islam harus menjadi hukum positif. Ketika bangsa Indonesia mengadopsi sistem hidup sekuler dan menyingkirkan syariat Islam, yang terjadi adalah malapetaka yang terus menerus. Adalah fakta, bahwa Pancasila telah gagal membangun moral, pertahanan keamanan ringkih, kesejehatraan bagi rakyat miskin, mengatasi kriminalitas, kemiskinan, pendidikan murah. Yang berhasil dibangun justru birokrasi korup, penguasa yang menyalah-gunakan wewenang, pejabat yang berkhianat kepada rakyat. Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia, tapi diperlakukan secara tidak adil dan diskrimintaif. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, almarhum Dr. Kuntowijoyo, dalam bukunya Identitas Politik Umat Islkam. Jasa Islam bagi kebaikan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain: Pertama, Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh Tata Negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku Tata Negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas. Kedua, Solidaritas nasional, terjalin karena peng-Islaman Nusantara menjadikan seluruh Indonesia sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasionalisme. Ketiga, syariat jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada tahun 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihad-lah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan terhadap komunisme pada tahun 1965-1966 adalah berkah ideologi jihad. Keempat, kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan

peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan, jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu punya banyak Satpam. Jika tidak ada Islam yang melarang tradisi kawin sesama saudara kandung, mengharamkan pelacuran, perjudian, miras, korupsi, seperti apa Indonesia hari ini? Sayangnya, bangsa Indonesia belum pernah secara obyektif mengakui dan kemudian mengoreksi kesalahannya. Ada banyak alasan kondisional, dimana seseorang atau suatu bangsa terjerumus pada kesesatan tanpa menyadari bahwa mereka tersesat jalan. Mereka rela berkorban apa saja, demi bangsa, demi persatuan, demi hak asasi manusia, tanpa memahami bahwa itu semua adalah sia-sia. Al-Quran menginformasikan hal ini, sejak 15 abad lalu

Anda mungkin juga menyukai