Anda di halaman 1dari 12

Potret Radikalisme Agama di Negara Pancasila

Nafik Muthohirin, MA.Hum


nafi_m@yahoo.co.id
Universitas Muhammadiyah Malang

Abstrak
Tulisan ini ingin membahas potret radikalisme keagamaan di Indonesia, dengan corak
pergerakannya yang bervariasi. Setelah sekitar 18 tahun pasca Reformasi, dan gempita aksi
terorisme di awal tahun 2000-an, wajah radikalisme agama mewujud dalam berbagai variasi
gerakan. Pergerakan terorisme tumbuh dengan munculnya sejumlah kelompok kecil tanpa
pemimpin tunggal, tetapi mereka mengklaim terkoneksi dengan jaringan terorisme global.
Sementara organisasi yang masuk dalam kategori fundamentalisme Islam tetap
mempertahankan jalan perjuangannya melalui politik Islam. Kemudian, sejumlah gerakan
Islam muncul dengan tipologi yang baru sebagai respons atas situasi sosial, politik dan
keagamaan yang mengedepankan cara-cara kekeresan dan persekusi. Pada situasi yang
demikian ini, Pancasila sebagai ideologi pemersatu menjadi taruhannya. Artikel ini akan
mengaitkan proses radikalisasi di media sosial yang dilakukan berbagai varian kelompok
radikal Islam tersebut, dan berupaya melihat sejauh mana pengerasan pemahaman keagamaan
bisa terjadi.

Kata Kunci: Radikalisme, Pancasila, Media Sosial dan Terorisme

Pendahuluan
INDONESIA merupakan negara teladan mengenai inisiasi strategi damai
dalam kehidupan antar-umat beragama. Pengalaman buruk konflik antar-agama
yang terjadi di Ambon dan Poso di era awal tumbangnya Orde Baru (1998) memberi
pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk senantiasa hidup rukun dalam
kemajemukan. Meski beberapa kali terjadi aksi kekerasan berbasis agama, namun
eskalasinya hanya berhenti di tingkat lokal, tidak menyebar hingga menjadi masalah
nasional. Begitupun dengan tindak terorisme yang belakangan terjadi, pemahaman
moderasi keagamaan yang dilakukan organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (NU), membuat respons publik terhadapnya tidak lagi merasa
khawatir terlebih selama ini pemerintah telah bersikap tegas menindak jaringan
kelompok teroris.1
Indonesia dapat menjadi negara teladan dalam strategi perdamaian antar-
agama. Pernyataan ini dapat dibenarkan bila melihat negara-negara Islam, baik yang
mayoritas penduduknya beragama Islam maupun sistem pemerintahannya
berbasiskan Islam, yang saat ini tengah mengalami perang saudara akibat perebutan

1Argumentasi ini tentu bisa menjadi perdebatan tersendiri, karena keberhasilan penindakan
terorisme tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik dan sentimen tertentu. Namun, ada baiknya
untuk mengedepankan prasangka baik, apalagi intensitas aksi terorisme terus mengalami
pengurangan sejauh ini. Walau begitu, pemerintah dan semua pihak tetap perlu waspada dan terus
melakukan kerja-kerja moderasi pemahaman keagamaan terhadap warga mengingat sel-sel terorisme
yang tidak mudah mati.
kekuasaan. Fakta yang terjadi di Suriah, Libya, Mesir dan Yaman selama sekitar satu
dekade terakhir mencerminkan buruknya bina damai di sejumlah negara tersebut.
Konflik yang mengemuka di sejumlah negara Timur Tengah itu telah melibatkan
lebih dari masalah politik, tapi juga diperparah dengan perbedaan cara pandang
terhadap keyakinan beragama. Tidak heran bila klaim kebenaran agama kerap
disuarakan oleh masing-masing kubu yang berseteru. Klaim “berjihad di jalan Allah”
dengan membunuh wartawan, perempuan, dan anak-anak yang selama ini
dipertontonkan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) adalah salah satu dari banyak
contoh yang terjadi.
Cultural Survival, sebuah lembaga non-profit berbasis di Amerika Serikat (AS)
yang fokus pada isu-isu hak asasi manusia dan pembelaan atas masyarakat lokal,
dalam laporannya pada 1994 menyebut Indonesia sebagai sebuah negara yang telah
memiliki konsep dan praktik multikulturalisme. Laporan tersebut juga menjelaskan,
bahwa ketika AS dan negara-negara lain di Eropa masih sibuk membicarakan urgensi
multikulturalisme, bagaimana konsep dan aktualisasinya, Indonesia telah hidup
damai dengan nafas Bhinneka Tunggal Ika.2 Pancasila sebagai ideologi negara
merupakan narasi besar yang membingkai berbagai keberagaman bangsa ini. Melalui
Pancasila, rajutan dari bermacam agama, keyakinan, ras, suku, etnis dan golongan
dapat terjalin dengan baik hingga sekarang. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana masa depan Indonesia bila para founding fathers/mothers bangsa ini dulu
tidak menemui kesepakatan mengenai ideologi negara melalui Pancasila. Tanpa
Pancasila, yang menjadi pedoman dalam mengelolah persatuan dan kesatuan warga,
Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, 34 provinsi, 300 etnis, 600 bahasa
daerah, 6 agama resmi dan lebih dari 200 keyakinan lokal itu, belum tentu dapat
hidup damai seperti sekarang.

Pancasila dan Potret Buram


Pancasila adalah solusi terhadap berbagai ancaman disintegrasi. Sebagai
sebuah bangsa yang besar, ditambah dengan modal sosial keberagaman yang
melimpah, konflik akan mudah muncul bila sedikit saja api primordialisme disulut.
Pengalaman memilukan mengenai hal ini dapat disaksikan dalam peristiwa konflik
Islam-Kristen di Ambon dan Halmahera (Maluku) dan Poso (Sulawesi Tengah) yang
meninggalkan luka mendalam hingga saat ini.3 Chris Wilson menyebut konflik antara
umat Muslim dan Kristiani di Maluku Utara merupakan bagian dari perang antara

2 Baca selengkapnya dalam, Aragon Lorraine V. “Multiculturalism: More Lessons From


Indonesia”. Cultural Survival Magazine (Juni 1994). Bisa diakses ke
https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/multiculturalism-some-
lessons-indonesia. Dikutip pada Jum’at (13 Januari 2018)
3 Untuk mengetahui gambaran yang lengkap mengenai konflik agama di Ambon, baca dalam

Noorhaidi Hasan. Laskar Jihad: Islam, Militansi dan Pencarian Identitas Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta,
LP3ES: 2008). Gerakan radikalisme agama terlihat pada peristiwa penyerangan terhadap umat
Kristiani di Halmahera Utara oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai pasukan Jihad Islam
(Jihad Force) di awal tahun 2000-an. Kekerasan berbau agama dan etnis ini melibatkan ribuan orang
yang berdatangan dari penjuru Indonesia. Mereka turut serta memenuhi komando jihad.
pasukan Putih-Kuning, dengan melibatkan ribuan massa dan berakhir pada
pertumpahan darah.4
Yudi Latif dalam karyanya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila menuliskan, Pancasila adalah warisan jenius yang disepakati oleh
para pendiri bangsa ini. Ia sesuai dengan karakteristik alam Nusantara yang kaya
ditaburi ribuan pulau. Sejak jauh-jauh hari, era pra kemerdekaan, pentingnya
Pancasila sebagai konsep sekumpulan ide persatuan dan kesatuan bangsa telah
disuarakan. Pancasila adalah ideologi Negara yang sudah final sehingga perlu dijaga,
dijiwai, dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab
itu, jika masih ada pihak yang berani berbicara ingin mengganti ideologi negara, baik
berasaskan agama maupun dasar negara lainnya, maka pemerintah perlu bertindak
tegas.
Pancasila bukan ideologi sekuler dan bukan juga agama, melainkan hasil dari
integrasi di antara keduanya. Nilai yang terkandung di dalamnya sarat dengan
norma-norma universal, baik yang bersumberkan dari doktrin keagamaan maupun
rasionalitas manusia. Persoalannya, hingga saat ini masih banyak warga negeri ini
mengalami sesat pikir dalam memandang Pancasila. Mereka menilai bahwa Pancasila
hanya berpijak pada sekulerisme, dan tiada memiliki kaitan dengan doktrin Islam.
Pancasila sebagai sebuah kerangka ideologi negara memiliki substansi nilai yang
memadukan relijiusitas dan sekuleritas. Di dalam Pancasila, antara relijiusitas dan
sekuleritas tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Sinergisitas di antara keduanya itu
menjadi alasan kuat Soekarno memandang Pancasila sebagai sebuah asas ketuhanan
yang berkebudayaan. Jika menyimak kelima sila yang terdapat di dalam Pancasila,
semuanya mempunyai pijakan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist. Semua
sila mengandung basis relijiusitas, sehingga untuk dikatakan sekuler an sich sangat
tidak bisa. Pancasila mengandung nilai sekuleritas dan relijiusitas, sebab untuk
mewujudkan relijiusitas membutuhkan sekuleritas.
Kerangka pemikiran Pancasila dicetuskan para founding fathers/mothers negeri
ini sama sekali tidak meninggalkan unsur-unsur keagamaan. Justru landasan moral
keagamaan diprioritaskan sebagaimana dalam lima sila yang memuat nilai-nilai
agama: keesaan Tuhan, keadilan, persatuan, permusyawaratan dan kesejahteraan.
Semua sila ini tidak berbicara agama dan sekuleritas secara sendiri-sendiri, tetapi
membincangkan nilai transendensi dan humanisasi. Sebab itu, untuk membentengi
negeri ini dari kelompok tertentu yang ingin mengganti ideologi negara, maka
kesadaran dan kejujuran pada diri sendiri sangat penting dengan memandang bahwa
Pancasila adalah produk pemikiran yang bersumber dari nilai-nilai universal, yang di
antaranya bersumber dari agama dan sekuleritas.
Pancasila menjadi pemersatu dari berbagai agama dan banyak aliran yang
berbeda. Pancasila merupakan hasil kesepakatan dari seluruh masyarakat Indonesia.
Muhammadiyah, misalnya, sebuah organisasi keagamaan terbesar memandang
Pancasila sebagai sebuah ideologi negara adalah Darul Ahdi Wa Syahadah, yang berarti
bahwa Indonesia berdiri karena kesepakatan atas semua golongan secara sadar dan
melalui dialog serius, sehingga kewajiban dari generasi sekarang adalah mengisinya

Baca selengkapnya mengenai keterlibatan etnis dan agama dalam konflik di Maluku Utara
4

dalam Chris Wilson. Ethno-Religious Violence in Indonesia: From Soil to God (New York, Routledge: 2008).
dengan kemajuan, bukan dengan upaya-upaya yang menggerogoti bangunan
Pancasila itu sendiri.
Kurang lebih dalam satu dekade terakhir, kondisi sosial-politik negeri ini
diwarnai dengan berbagai upaya sebagian pihak, khususnya yang mengatasnamakan
agama, yang ingin mengusik dan merubah ideologi Pancasila. Berbagai upaya ini
mewujud dalam berbagai bentuk, cara dan aksi. Salah satu upaya yang secara terang-
terangan ingin merubahnya, yaitu melalui jalan politik Islam. Misalnya, organisasi
keagamaan yang masuk pada kategori ini kita bisa sebut sebagai kelompok
fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Harakah Tarbiyah dan
Jamaah Salafi.5 Meski HTI telah dibubarkan pemerintah belum lama ini, namun
sebagai sebuah organisasi yang berbasiskan keyakinan dan loyalitas, keberadaan
mereka yang mencapai ribuan anggota dan jejaring yang kuat di akar rumput tidak
bisa dihapuskan begitu saja. Tanpa payung besar HTI, hingga kini para aktifisnya
tetap melakukan perkaderan, misalnya dengan menerbitkan buletin Kaafah setiap
Jum’at dan program “Hijrah” yang terus dipropagandakan di banyak perguruan
tinggi.
Penggunaan Politik Islam sebagai jalan untuk menyuarakan aspirasi di negara
beriklim demokrasi seperti Indonesia tidaklah menjadi persoalan. Apalagi, seperti
dijelaskan pada ulasan sebelumnya, sejarah perkembangan bangsa ini tidak pernah
terlepas dari keterlibatan kaum agamawan. Hanya saja, upaya yang sistematis dan
terorganisasi dengan baik untuk mengganti Pancasila dengan ideologi tertentu
merupakan tindakan makar yang bisa merusak kedaulatan negara. Lebih dari itu,
tidak ada yang bisa menjamin kepastian stabilitas politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan dalam negeri bila ideologi negara diganti dengan yang baru. Penerimaan
kelompok satu dengan kelompok yang lain jelas berbeda, dan situasi yang tidak pasti
sebagai akibat dari pergantian ideologi itu berpotensi memicu terjadinya perang
saudara yang berkepanjangan. Jika situasi yang seperti ini benar-benar terjadi, sangat
mungkin pihak ketiga yang memiliki adidaya melimpah (kekuatan militer dan politik
internasional yang kuat) akan mengambil untung dari kekacauan yang terjadi.
Pergerakan sejumlah kelompok fundamentalisme Islam ini masuk pada ranah
radikal secara pemikiran. Proses indoktrinasi pemikiran keagamaan yang dilakukan
adalah dengan mempertentangkan antara agama dengan negara, misalnya dengan
mengatakan bahwa “siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah berarti masuk
pada golongan orang-orang kafir”. Dengan dalil keagamaan ini, lalu pemahaman
keagamaan yang diajarkan kepada anggotanya adalah penolakan terhadap segala
produk pemikiran yang bersumber dari Barat, termasuk demokrasi, HAM, gender,
pluralisme dan Pancasila. Dalam perspektif kelompok fundamentalisme Islam,
Pancasila dikatakan produk pemikiran Barat karena memuat konsep sekulerisme,
internasionalisme, dan nasionalisme yang bersumber dari negeri-negeri Barat.

5 Politik Islam yang dilakukan oleh HTI, Tarbiyah dan Salafi memiliki ciri dan gerakan yang
masing-masing berbeda. Jalan politik Islam HTI dengan membuat partai politik tetapi tidak ikut serta
dalam ajang pemilihan umum; Tarbiyah mewujud dalam gerakan-gerakan kerohanian Islam
mahasiswa dan bertarnsformasi menjadi partai politik PKS; dan Salafi tidak melalui politik praktis tapi
bergerak di akar rumput dengan menjanjikan berdirinya Negara Islam. Mengenai gerakan
fundamentalisme Islam, baca dalam Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi
Aktivis Dakwah Kampus (IndoStrategi, Jakarta: 2014)
Radikalisme di Media Sosial
Radikalisme keagamaan yang secara masif bermunculan sejak awal Reformasi
merupakan bentuk dan cara lain dari upaya sebagian pihak yang ingin mengusik
bangunan Pancasila. Dalam hal terorisme, misalnya, jaringan organisasi ini tidak
pernah mati. Satu pemimpinnya tewas ditembak, yang lainnya tumbuh dengan
mendirikan kelompok teroris yang baru. Begitupun dengan pergerakannya, terus
mengalami transformasi aksi dan target serangan. Pada awal kemunculannya, mereka
melakukan teror dengan bom bunuh diri. Menjadikan simbol-simbol Barat dan warga
sipil sebagai target sasaran. Sementara saat ini, aksi Bom Sarinah (2016) dan bom
bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta (2017) sangat jelas ingin menarget aparat
keamanan. Selama satu dekade terakhir, serangan teror seolah ingin memberikan
pesan bahwa negara merupakan lawan.
Ada tiga faktor yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu medan
operasi bagi serangan kelompok teroris, yaitu: Pertama, bagi kelompok teroris,
Indonesia dianggap sebagai boneka AS yang selalu menuruti kemauan negeri
adidaya tersebut. Pada banyak sektor mulai ekonomi, politik hingga perdagangan
internasional, negeri berpenduduk 255 juta jiwa ini dinilai terlalu tunduk terhadap
AS; Kedua, sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
Indonesia tidak menerapkan Daulah Islam sebagai sistem pemerintahan, tapi justru
mengagungkan demokrasi yang merupakan produk pemikiran Barat; Ketiga, karena
tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan sistem kenegaraan, sehingga umat
Islam kerap mengalami diskriminasi.
Afiliasi gerakan teroris di Indonesia mengalami perluasan dan memiliki
koneksi yang intensif dengan ISIS. Pernyataan ini disimpulkan dari sejumlah
aksiterorisme yang sudah terjadi di Indonesia. Aksi bom bunuh diri yang dilakukan
anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Ahmad Sukri (32 tahun) dan Ikhwan Nurul
Salam (32 tahun) di dekat Halte Bus Kampung Melayu beberapa waktu lalu, yang
diklaim atas instruksi ISIS, cukup menjadi bukti bahwa JAD punya komunikasi
dengan jaringan terorisme global tersebut. ISIS melalui jaringan berbagai kelompok
teroris lokal terus bergeliat melakukan perekrutan terhadap anak-anak muda untuk
dijadikan sebagai calon pengantin bom bunuh diri. Melalui doktrin jihad, janji masuk
surga dan melawan orang kafir, pemuda seperti Sukri dan Ikhwan direkrut dan
dijadikan sebagai pasukan Allah yang berani mati, bahkan perekrutan juga dilakukan
melalui media sosial.
Jejaring sosial seperti Facebook, YouTube, Twitter dan layanan aplikasi gratis
seperti WhatsApp kini telah menjadi ruang bagi cara baru untuk melakukan
propaganda, perekrutan, pelatihan, perencanaan, ajakan pendirian Khilafah Islam
dan ujaran kebencian. Pola perubahan strategi gerakan yang lebih canggih ini bukan
hanya dilakukan oleh kelompok teroris, seperti ISIS, JAD, Jamaah Islamiyah (JI), dan
Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), melainkan juga berbagai organisasi Islam
transnasional, misalnya HTI, Jamaah Salafi, dan Harakah Tarbiyah.6 Ada banyak

6HTI, Jamaah Salafi, dan Tarbiyah masuk dalam kategori sebagai gerakan radikal Islam
sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Khamami Zada. Dia menjelaskan bahwa kategori yang
melekat pada kelompok Islam radikal di Indonesia dapat didasarkan pada empat hal. Pertama, mereka
memperjuangkan Islam secara totalistik (kaffah); syariat Islam sebagai hukum negara, Islam sebagai
akun di jejaring sosial dan blog yang dikelola HTI, Salafi, dan Tarbiyah yang isinya
mengajak pendirian Negara Islam, menerapkan politik Islam, menyingkirkan
demokrasi sebagai sistem pemerintahan nasional, serta menolak produk, ide, dan
pemikiran yang bersumber dari Barat seperti HAM, kesetaraan gender, pluralisme,
sekulerisme dan liberalisme.
Jalan propagandanya dilakukan dalam bentuk pembuatan video kegiatan,
kicauan berkala, dan pokok-pokok keputusan internal organisasi. Akun-akun
tersebut berjalan secara sistematis dan disebarkan dengan sangat luas, hingga ke
lingkungan perguruan tinggi.7 Kemudian, banyak juga portal online yang dengan
sengaja memproduksi narasi provokatif dengan menggunakan dalil agama. Pada
2015, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis sebanyak 22 situs
internet radikal dan telah dilakukan pemblokiran.8 Satu tahun berikutnya, BNPT
memblokir sebanyak 770.504 situs, yang di antaranya 23 situs bermuatan SARA dan
86 situs berkonten radikal dan. Salah satu dari 86 situs radikal yang diblokir adalah
www.portalpiyungan.com.9
Portalpiyungan.com memosisikan diri sebagai representasi dari media yang
memperjuangan umat Islam. Tema dan fokus pemberitaannya diamati hampir
semuanya dengan perspektif keagamaan. Akan tetapi, pilihan judul dan angle
penulisan diambil dengan pilihan negasi bernada propaganda. Dalam menyoroti
majunya Basuki Tjahaja Purnama (biasa dikenal Ahok), misalnya, laman ini berada di
posisi melawan dengan membenturkan Ahok dengan umat Islam. Artikel dan foto
pemberitaan tentang Ahok dapat dipastikan bernada memojokkan dan terksan anti
Islam. Hal ini karena Ahok bukanlah dari kalangan Islam, bahkan ia disebut sebagai
pemimpin kafir dan lalim. Terlebih sejumlah kebijakannya dianggap
memprioritaskan kepentingan pemodal (bukan Muslim) yang merugikan umat
Islam.10

dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik sehingga bukan demokrasi yang menjadi sistem
politik nasional. Kedua, mereka mendasarkan praktik keagamaannya pada orientasi masa lalu (Salafi).
Ketiga, mereka sangat memusuhi Barat dengan segala produk peradabannya, seperti sekulerisasi dan
modernisasi. Keempat, perlawanannya dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah berkembang di
kalangan Muslim. Dikutip dari Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras
(Jakarta: Teraju, 2002), 18.
7Untuk menggali lebih dalam tentang aktivisme kelompok radikalisme Islam di lingkungan

kampus, baca dalam Nafi’ Muthohirin, Fundamentalisme Islam; Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis
Dakwah Kampus (Jakarta: IndoStrategi, 2014)
8 Di antara 22 situs radikal yang telah diblikir Menkominfo pada 2015 adalah yaitu

arrahmah.com, voa-islam.com, ghu4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com,


kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com,
kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, daulahislam.com,
shoutussalam.com, azzammedia.com, dan indonesiasupportislamicstate.blogspot.com.
9 Laman ini berdiri pertama kali pada 2008. Mulanya, portal ini hanya berbentuk blog dengan

alamat urlpkspiyungan.blogspot.com dan menjadi media komunikasi Dewan Pengurus Cabang (DPC)
PKS di kecamatan Piyungan, Yogyakarta. Gaya pemberitaan yang provokatif dan propagandis
membuat situs online ini menjadi rujukan para anggota PKS. Bahkan, dikatakan bahwa
kepopulerannya mengalahkan situs resmi PKS pusat www.pks.or.id pada waktu itu. Lihat,
http://islamedia.id/situs-pkspiyungan-org-ganti-domain/. Dikutip pada Sabtu, 12 Maret 2016, pukul
14:45.
10Beberapa judul berita yang memojokkan Ahok sebagai anti-Islam, di antaranya: “Korban

Ahok semua Muslimah Berjilbab, Apa Kebetulan Semata”, “Panik, Tim Kampanye Ahok ‘Jualan
Begitupun dengan HTI, ketika dua tahun sebelum dibubarkan, selain
menggunakan strategi publikasi lewat penerbitan buku, tabloid, majalah, dan buletin,
organisasi ini juga gencar mendakwahkan perjuangannya melalui media sosial. Akun
Facebook DPP HTI, misalnya, dengan alamat “Hizbut Tahrir Indonesia”, fanpage ini
mendapatkan tanda Like dari 58.267 orang.11 Jika dibanding dengan jumlah mayoritas
penduduk umat Islam di Indonesia, angka ini relatif kecil mengingat akun ini sudah
dibuat sejak 2010. Sementara akun Twitter-nya, @HizbuttahrirID diikuti oleh 37,2 ribu
(37.2 K) pengikut dan telah melakukan 26,5 ribu (26.5 K) kicauan. Selain aktif bersuara
di Facebook dan Twitter, HTI juga bergerak di Instagram, Google+, dan blog-blog.
Laman resmi DPP HTI yaitu hizbut-tahrir.or.id.12
Strategi berbagai kelompok radikal yang menjadikan media sosial sebagai
basis propaganda dan perekrutan anggota baru sangatlah mengancam masa depan
kebangsaan. Apalagi, target utama mereka adalah kalangan anak muda yang
jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total penduduk di Indonesia. Infiltrasi
nilai-nilai kekerasan, kebencian, dan permusuhan dengan mendasarkan pada dalil-
dalil keagamaan akan mudah diikuti para generasi muda, terlebih mereka tengah
berada pada usia pencarian jati diri. Artikel dan gambar yang seperti ini sekarang
memenuhi semua jejaring sosial dan tampak banyak orang memberi komentar dan
mempercayainya. Setiap artikel bernada kebencian ini muncul, dipastikan ada banyak
orang yang memberi tanggapan. Konten tanggapannya pun beragam, ada yang
sifatnya mengolok-olok, menyertainya dengan dalil agama, dan ada yang berisi
hujatan satu sama lain. Intinya, baik pesan artikel yang beredar maupun isi
komentarnya, sama-sama tidak mencerdaskan.
Gejala apa yang tengah dialami masyarakat beragama di Indonesia,
khususnya umat Islam hari ini, apakah sedemikian mudahnya menangkap dan
percaya terhadap informasi berbau agama? Lantas sebegitu burukkah potret umat
Islam yang tercermin dari berbagai tanggapan/komentar yang bernada pejoratif,
sinis, provokatif, dan penuh ujaran kebencian tersebut? Jauh-jauh hari, filsafat
fenomenologi mengajarkan kepada kita, supaya membenihkan sikap kritis terhadap
berbagai fenomena sosial. Kita tidak dianjurkan menerima informasi, pandangan dan
paradigma pemikiran sebelum menggali kebenarannya secara akurat. “Setiap
pandangan pertama yang kita terima, mesti diikuti dengan pandangan kedua; setiap
first look harus diikuti dengan second look supaya kita dapat menyingkap hijab-hijab
kebenaran yang dimaksud.”13
Fenomena reaksioner sebagian Muslim di Indonesia terhadap berbagai berita
sampah keagamaan tersebut dapat dijadikan sebagai “potret yang tidak utuh”
mengenai cara pandang, corak pemikiran, dan kapasitas pengetahuan umat
beragama di negeri ini. Melalui aktivisme dan berbagai narasi keagamaan yang
mereka tuliskan atau posting di media sosial, kita bisa membaca bagaimana

Agama’ Mengaku Muslim untuk Cari Dukungan”, Sungguh Keji! Ahokers Halalkan Segala Cara”, dan
“Sementara Teman Ahok Bergerak di Mal-Mal, Relawan Muslim ACT Bergerak Bantu Korban Banjir,”.
Lihat dalam, http://www.portalpiyungan.com. Dikutip pada Sabtu, 12 Maret 2016, pukul 15:07
11 Dikutip dari akun Facebook resmi DPP HTI pada Minggu, (13/3/2016), pukul 06:03 WIB.
12 Nafi’ Muthohirin, “Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial” Jurnal

AFKARUNA. Vol. 11 No.2 (Yogyakarta: UMY, Des 2015), 240 -258


13 Dikutip dari Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer (PT. Raja Grafindo:

Jakarta, 2016), 184-185


sesungguhnya pola keberagamaan umat Islam hari ini. Paling tidak, ini hanya
pendapat pribadi penulis, bahwa ada pergeseran pemikiran dari laku keagamaan
yang moderat ke arah konservatisme Islam.
Penilaian sejumlah media, seperti Times dan Newsweek yang dulu menyebut
Muslim di negeri ini ibarat “wajah yang penuh dengan senyuman” (Muslim with a
smiling face), kini tampaknya sebutan yang dibangga-banggakan itu mulai luntur.
Perwujudan watak Islam yang demikian ini bisa dengan mudah ditemui dengan
hanya melihat berbagai perbincangan di media sosial yang terjadi akhir-akhir ini.
Potret Islam Indonesia yang dahulu penuh dengan keramahan, toleran dan moderat
itu menjadi kabur seiring dengan perilaku sebagian Muslim yang suka mengolok-
olok apabila terjadi perbedaan pandangan, serta lebih mendahulukan ancaman
dibanding memilih jalan dialog. Fenomena tersebut menjadi indikasi kuat yang
menggerus watak moderatisme Islam di negeri ini.
Pudarnya moderatisme Islam di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini,
paling tidak disebabkan oleh dua hal; Pertama, iklim politik yang serba terbuka seperti
sekarang ini memberikan tempat bagi kelompok Islam skripturalis/literalis untuk
keluar dari “kantong-kantong persembunyiannya,” yang kemudian
mendesiminasikan corak pemikirannya yang khas: kaku, tertutup dan literatif dalam
memahami teks keagamaan. Penilaian tersebut sama halnya dengan yang pernah
diungkapkan William R. Liddle dalam melihat prospek keberagamaan umat Islam di
Indonesia sejak jauh-jauh hari. Dia menjelaskan, bahwa “dalam iklim politik yang
lebih terbuka, ekspresi Islam yang lebih skripturalis akan muncul ke permukaan”.14
Kedua, Periode modern yang ditandai dengan kemajuan sektor industri, oleh banyak
sarjana Barat, secara otomatis akan meminggirkan umat Muslim. Tetapi kenyataan
yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Negara-negara Islam (termasuk yang
mayoritas penduduknya Muslim) tidak mengalami kemunduran dengan kemajuan
yang dialami Barat, melainkan memunculkan kelompok Islam dengan varian yang
baru.
Kelompok dengan varian yang baru tersebut adalah umat Islam yang
menghadirkan simbol-simbol agama ke ruang publik. Tak ayal, pada satu sisi, dalam
beberapa tahun terakhir, fenomena komodifikasi Islam sangat mewarnai dalam
perkembangan laku keberagamaan umat Islam di Indonesia. Wujudnya, seperti yang
kita lihat layaknya perbankan syariah, fashion syariah atau properti syariah.
Sementara, pada sisi yang lain, kelompok Muslim dengan varian yang baru tersebut
memanfaatkan berbagai atribut keagamaan demi kepentingan politik. Misalnya,
dengan mengatasnamakan membela Islam, lalu memobilisasi massa dalam jumlah
besar untuk berkumpul di masjid dan melaksanakan sholat Jum’at, kemudian
digiring berdemonstrasi untuk menyuarakan tuntutan politik.
Wujud yang lain adalah hadirnya organisasi masyarakat berbasis Islam, seperti
Front Pembela Islam (FPI) yang mengiterupsi kerukunan hidup beragama. Kathleen
Azali dalam laporan risetnya menyebut FPI telah melakukan aksi persekusi sebanyak

14 Lihat dalam William R. Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political
Thouht and Action in New Order Indonesia”, dalam toward a New Paradigm: Recent Development in
Indonesian Islamic Thought, (ed.) Mark R. Woodward. (Arizona: State University, 1996).
59 kasus yang terlaporkan sepanjang Januari hingga Juni 2017.15 Paling tidak ada dua
kejadian penting yang patut menjadi pusat perhatian bersama kaitannya dengan
tindak persekusi yang dilakukan FPI belum lama ini. Dua kasus yang memilukan
tersebut, yaitu: Pertama, persekusi atau perburuan terhadap Fiera Lovita (40 tahun),
seorang dokter di RSUD Solok, Sumatera Barat. Wanita berjilbab ini mengalami
ancaman dan intimidasi serius setelah menulis status di akun Facebook-nya yang berisi
sindiran terhadap pemimpin FPI, Habib Rizieq atas kasus perbincangannya dengan
Firza Husein karena berbau pornografi; Kedua, kasus persekusi yang menimpa PMA
(15 tahun), anak laki-laki keturunan Tionghoa yang berasal dari Jakarta Timur, setelah
menulis status yang bernada melecehkan FPI dan pimpinan mereka.
Teror persekusi menyebar di dunia nyata dan media sosial. Anggota dan
simpatisan FPI menebar kebencian dan melakukan ekstrimisme kekerasan melalui
berbagai komentar di media sosial secara terorganisir. Menurut Kathleen, anggota
dan simpatisan FPI semakin memiliki pemahaman yang luas dalam penggunaan
media sosial. Mereka bisa mengidentifikasi secara sistematis akun siapa saja yang
dianggap bernada melecehkan atau tidak setuju terhadap pergerakan anggota,
organisasi dan pimpinan FPI. Cara sweaping di media sosial ini dilakukan untuk
mengidentifikasi pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pendapatnya, terutama
untuk beberapa kasus yang menjadi konsen pergerakan mereka, seperti menghujat
kelompok minoritas LGBTQ, Syiah, Ahmadiyah dan etnis Tionghoa.
Dengan mencermati pola keberagamaan Muslim di Indonesia yang seperti itu,
sangat wajar bila kondisinya begitu menggelisahkan. Upaya menghadirkan politik
identitas Islam ke ruang publik memperlihatkan dengan jelas mengenai adanya
pergesaran corak pemikiran dan pergerakan ke arah konservatisme. Watak
keberagamaan yang seperti ini mencerminkan varian Islam baru, yang menginterupsi
kerja-kerja moderasi Islam yang telah lama dilakukan Muhammadiyah dan NU.
Mereka hadir dengan lebih mementingkan penampilan luar agama daripada
menunaikan esensinya. Kemunculan mereka menolak agenda-agenda besar yang
mendorong terciptanya sipil Islam dan Islam pluralis (Hefner: 2005).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan yang memiliki
peran besar dalam menentukan wajah keagamaan umat Islam di negeri ini, perlu
berbenah diri dengan mempromosikan nilai-nilai perdamaian, keramahan, toleransi
dan kerukunan sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Islam. Dengan berbagai
kejadian akhir-akhir ini, jangan sampai publik secara luas malah menyemati MUI
sebagai pihak yang secara intensif menyemaikan ide-ide konservatisme Islam.
Berbagai gejala konservatisme Islam ini kiranya perlu mendapat perhatian
serius dari seluruh pihak, tak terkecuali oleh pemerintah. Sebab, bila tidak
diantisipasti mulai sekarang, intensifikasi pemikiran dan gerakannya bisa
mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Olok-olok berbau etnis, agama dan
golongan tertentu yang marak di berbagai saluran media sosial belakangan ini adalah
satu fakta tak terbantahkan di mana dampak negatif perkembangan konservatisme
keagamaan itu terjadi. Situasi yang demikian ini akan terus dijumpai selama praktik
politik populisme Islam berjalan seperti sekarang. Alih-alih ingin memperjuangkan
suara umat Islam, yang terjadi malah sebaliknya menggunakan klaim kebangkitan

15Kathleen Azali, “Fake News and Increased Persecution in Indonesia”, PERSPECTIVE.


Number, 16 (Singapore, ISEAS-Yusof Ishak Institute: Agustus 2017)
umat Islam untuk kepentingan politik sesaat. Tesis ini sesungguhnya dapat dijumpai
dari perjalanan Pilkada DKI Jakarta yang memenangkan pasangan Anies Baswedan
dan Sandiago Uno.
Sebab itu, sebelum ujaran kebencian yang marak di dunia maya meluber ke
dunia nyata dan berubah menjadi konflik komunal, pemerintah melalui ormas-ormas
keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU perlu menggelorakan kembali semangat
kebhinekaan dan moderatisme Islam. Pasca aksi intoleransi marak terjadi di beberapa
daerah, akibat praktik politik yang mempolitisasi agama, pemerintah
mengantisipasinya cukup cepat dengan menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila secara
berkelanjutan. Wujud nyata dari kepedulian pemerintah terhadap problem ini adalah
terbentunya Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang
dikepalai Yudi Latif. Sejauh ini, UKP-PIP tengah bekerja melakukan sosialisasi
dengan menggali nilai-nilai Pancasila, dan diajarkan ke kampus-kampus dan
berbagai elemen sosial lainnya. Kerja-kerja menghidupkan kembali nilai-nilai
Pancasila tersebut masih panjang untuk bisa dilihat hasilnya, sebab Pancasila tidak
cukup hanya dengan diajarkan di kelas, dikhutbahkan di seminar atau berbagai
forum diskusi, tetapi yang juga penting adalah keteladanan dari elit negeri ini. Jika
kebanyakan pejabat kita masih korupsi, mementingkan kelompoknya sendiri dan
mengedepankan pencitraan daripada sungguh-sungguh memikirkan persoalan
rakyat, maka nilai-nilai Pancasila senantiasa akan tetap terkubur.

Penutup
Radikalisme keagamaan merupakan sebuah tren pergerakan global. Dalam
komunitas Muslim, radikalisme yang paling keras mewujud dalam bentuk
islamisme/salafi jihadis dan terorisme. Sementara dalam rupa yang lebih populis
tergambar dengan keberadaan sejumlah gerakan fundamentalisme Islam. Bagi
kelompok-kelompok yang terkategorisasi dalam Islam fundamentalis, maka politik
Islam menjadi satu dari sekian lajur yang dipilih. Bassam Tibi melihat kebangkitan
radikalisme Islam ini bertujuan untuk menciptakan keteraturan dunia yang baru,
bukan sungguh-sungguh ingin menghidupkan nilai-nilai Islam seperti yang mereka
perjuangkan selama ini.
Tren radikalisme global yang menguat ini juga menggejala di Indonesia. Dalam
dua dekade terakhir, beberapa fenomena yang mengindikasikan terjadinya
penguatan gerakan radikalisme agama di dalam negeri tampak dari sejumlah
peristiwa, di antaranya: tindak terorisme berskala besar dan kecil yang terjadi secara
berulang-ulang. Target aksi terorisme menyasar berbagai hal, mulai dari yang
dianggap menjadi simbol negera-negara Barat, aparat kepolisian, Negara dan warga
sipil; dipaksakannya kemauan sejumlah pihak secara terorganisir dan sistematis
dalam pemberlakuan Perda Syariah di beberapa daerah; dijadikannya masjid,
mushalla, kos mahasiswa dan perguruan tinggi sebagai basis persemaian ide-ide
fundamentalisme Islam; hadirnya sejumlah ormas keagamaan seperti FPI, FUI, dan
MMI yang mendasarkan cara-cara kekerasan dan persekusi sebagai upaya
membisukan liyan; dan yang terakhir adalah kesadaran kelompok-kelompok radikal
Islam dalam memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk melakukan ]’’6455b
gpropaganda, agitasi politik identita k=l:[s, perekrutan, hingga persekusi terhadap
pihak-pihak yang dianggap memiliki perspektif keagamaan dan pilihan politik yang
berbeda.
Semaraknya portal online dan akun media sosial yang mempropagandakan
narasi kebencian berbau agama, ras, etnis dan golongan yang akhir-akhir ini banyak
dijumpai, menyebabkan seluruh saluran jejaring pertemanan yang ada sesak dengan
berita bohong. Banyak artikel dan gambar yang tersebar di media sosial sulit
diverifikasi kebenarannya. Artikel ditulis seolah-olah ilmiah dan penuh data, tapi
sesungguhnya palsu belaka. Ironisnya, merebaknya berita palsu ini dengan cepat
dikonsumsi publik tanpa mendahulukan cara berfikir yang kritis. Walhasil, provokasi
terjadi di dunia maya dan berakhir pada tindak persekusi, baik di dunia nyata
maupun maya. Hanya karena berbeda pilihan politik tertentu, lalu dicibir dengan
ujaran kebencian penuh emosional di media sosial.
Situasi sosial-keagamaan seperti ini dapat menggerus watak moderatisme
umat Islam di Indonesia jika terjadi secara terus-menerus. Seperti dijelaskan
sebelumnya, pemerintah dapat mengantisipasinya dengan menghidupkan kembali
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Dengan
terus menyuarakan keluruhan Pancasila, potret berbangsa dan beragama warga
negeri ini tidak akan lagi tampil secara buas. Kita berharap wajah umat Islam bisa
kembali seperti sedia kala yang penuh dengan keramahan. Dengan menjaga
terwujudnya pola keberagamaan yang moderat, toleran, dan nirkekerasan,
kehidupan umat Islam yang bersanding dengan pemeluk agama-agama lain di
Indonesia, bisa menjadi teladan sekaligus model bagi pembangunan perdamaian di
berbagai negara yang tengah dilanda konflik keagamaan atau kesukuan, seperti yang
sekarang terjadi di Suriah, Irak dan Libya.

Daftar Pustaka
Azali, Kathleen. “Fake News and Increased Persecution in Indonesia”,
PERSPECTIVE. Number, 16. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, Agustus
2017.
Bassam, Tibi. The Challange of Fundamentalism: Political Islam the New World Disorder.
London: University of California Press, 1998.
Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi dan Pencarian Identitas Indonesia Pasca
Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 2008.
Liddle, William R. “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political
Thouht and Action in New Order Indonesia”. Arizona: State University, 1996.
Lorraine V, Aragon. “Multiculturalism: More Lessons From Indonesia”. Cultural
Survival Magazine. Juni 1994.
Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Aktivis Dakwah Kampus.
Jakarta: IndoStrategi, 2014.
Muthohirin, Nafi’. “Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial”. Jurnal
AFKARUNA. Vol. 11 No.2. Yogyakarta: UMY, Des 2015.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Cet. Ke-
6. Jakarta, Gramedia: Agstus 2017.
Wilson, Chris. Ethno-Religious Violence in Indonesia: From Soil to God. New York:
Routledge, 2008.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras. Jakarta:
Teraju, 2002.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. PT. Raja Grafindo: Jakarta, 2016

Identitas Pribadi
NAFIK MUTHOHIRIN adalah Dosen di Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM), sekaligus sebagai Direktur Riset di Pusat Studi
Agama dan Multikulturalisme (PUSAM UMM). Pendidikan magisternya di jurusan
Kajian Agama dan Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014). Minat
kajiannya berpusat pada tema-tema Islam dan Perdamaian; Radikalisme dan
Kekerasan Ekstrimisme, serta Multikulturalisme. Beberapa karyanya yang sudah
diterbitkan, di antaranya adalah: (1) Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi
Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus (IndoStrategi, Jakarta: 2014); (2) Mahasiswa di Pusaran
Fundamentalisme Islam Kampus: Studi Kasus di Universitas Indonesia (Maarif Institute,
Jakarta: 2014); (3) Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial (Jurnal Afkaruna,
UMY: 2015); (4) Reproduksi Salafi: Dari Kesunyian Apolitis Menuju Jihadis (Jurnal Sosial-
Budaya UIN Sultan Syarif Kasim Riau). Nafi’ memiliki pengalaman di bidang
jurnalistik, di antaranya pernah bekerja di: (1) MATAN (PW Muhammadiyah Jawa
Timur, Surabaya: 2009-2010); (2) Rakyat Merdeka (Jawa Pos Grup, Jakarta, 2010-2012);
(3) Koran SINDO (MNC Grup, Jakarta: 2011-2015); (4) MONDAY Magz (Jakarta, Okt
2015 – Agt 2016). Banyak artikelnya tersebar di beberapa media massa, seperti di Radar
Surabaya, Koran SINDO, Malang Post, Suara Muhammadiyah, Radar Banten, dan
GeoTimes.

Anda mungkin juga menyukai