Anda di halaman 1dari 20

FENOMENA KEBERAGAMAAN DI INDONESIA

Oleh : Fachrul Pattilouw


Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon
Email: Abzan17@ gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk menelusuri perkembangan keberagamaan di
Indonesia yang kerap diselimuti dengan berbagai konflik. Konflik yang terjadi
telah merusak sendi-sendi kehidupan beragama didalam masyarakat. Sepanjang
perjalanan sejarah bangsa ini tidak pernah sepi dengan letupan-letupan
kekerasan. Sehingga keutuhan bangsa ini mulai goyah dan mengancam
disintegrasi bangsa, dengan demikian konsep pluralisme merupakan sebuah
keniscayaan bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, perlu direkonstruksi
ulang cara memandang kehidupan antar umat beragama agar tercipta
harmonisasi yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar.
Kata kunci: Harmonisasi, Pluralisme, Kekerasan, Agama

A. Pendahuluan

Tak bisa dipungkiri, bahwa didalam bumi ini umat manusia itu adalah
satu, dan telah menjadi Sunnatullah, bagi para penghuni bumi ini terdiri dari
berbagai suku, ras, bangsa, profesi, kultur, dan agama1. Oleh karena hal ini
menandakan kemajemukan didunia adalah realitas sosial sebagai kesadaran
pluralitas yang akan terus berkembang seiring dengan pemikiran manusia itu
sendiri.
Kesadaran akan realitas ini dalam perjalanan selanjutnya kemudian akan
berkembang menjadi pluralism, yaitu sebuah pemahaman yang mengakui
keberagaman dalam konteks agama-agama. Pluralitas dewasa ini mengalami
banyak masalah dan tantangan yang cukup serius. Secara fungsional agama-
agama dalam perspektif sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia ini dapat menjadi
faktor disintegrasi dan disharmoni tatanan sosial yang berlaku pada masyarakat,
negara dan bangsa tertentu.
Hal ini dapat kita lihat pada sejarah masa lalu yang diselimuti dengan
berbagai konflik atau perang yang mengatasnamakan agama, seperti pada abad
pertengahan dimana telah terjadi perang salib antara Islam dan Kristen, dan
perang ini mengakibatkan kebencian yang dalam bagi kedua pemeluk agama ini

1
Abd. Moqsith Ghazali, “Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis AL-
Qur’An” (Jakarta: KataKita, 2009) h.1
sampai sekarang kebencian ini masih terjadi, walaupun dalam konteks yang
berbeda.
Indonesia adalah sebuah negara wilayah kepulauan terbesar di dunia2,
dimana bangsa ini sangat majemuk memiliki banyak keanekaragaman suku dan
budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jauh sebelum kedatangan
agama-agama samawi ke Indonesia, bangsa ini telah menganut sebuah
kepercayaan yaitu animesme. Kepercayaan yang diyakini bahwa alam semesta
adalah kekuatan spiritualitas yang mampu menyeimbangkan dan mengarahkan
kehidupan sehari-hari umat manusia.
Daerah yang luas dan memiliki sumber-sumber kekayaan alam yang
melimpah membuat pihak luar datang ke-Indonesia, sehingga membuat Indonesia
menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai, dan menghubungkannya dengan
pusat perdagangan lain diseluruh dunia. Sejak kedatangan orang-orang luar itulah
akhirnya rakyat Indonesia berinteraksi dengan agama-agama besar yaitu Hindu,
Budha, Islam, dan Kristen. Dimana ke-empat agama besar ini menancapkan
pengaruhnya masing-masing dengan derajat yang berbeda-beda. Kedatangan
agama-agama besar membawa perubahan yang sangat signifikan kepada orang-
orang Indonesia dalam hal kepercayaan, bukan itu saja tapi kedatangan ini
merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia3.
Pengaruh Hindu dan Budha yang dibawah oleh para pedagang India
mampu diterima masyarakat Jawa karena berlangsung dengan damai, setelah
kedatangan Hindu dan Budha datanglah agama Islam melalui para Gujarat Arab
yang melakukan kegiatan perdagangan diwilayah Indonesia dimana agama ini
mampu dengan cepat tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian datanglah
Kristen yang dibawah pula oleh orang-orang Eropa dengan sistem kolonialisme
berhasil melakukan penetrasi besar-besaran kepada orang Indonesia.
Kedatangan agama-agama besar ini membuat orang-orang Indonesia pada
akhirnya terpeta-petakan pada keyakinan dan kepercayaan, perbedaan keyakinan
dan kepercayaan akhirnya membawa Indonesia pada kehidupan keberagaman
agama plural. Walaupun penduduk Indonesia mayoritas memeluk Islam dan

2
Indonesia negara terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Dengan wilayah yang
terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, apabila
digabungkan, maka luas indonesia menjadi 1,9 juta mil persegi.
3
M.C. Ricklefs, Sejarah Indoenesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1991)
Hindu, Budha, Kristen adalah minoritas, akan tetapi tidak menjadikan ideologi
Islam sebagai ideologi bangsa Indonesia hal ini terbukti dengan landasan negara
yang dibangun oleh para tokoh bangsa, baik itu yang berlatar belakang agamais
atau sekuler. Akan tetapi semua tokoh mempunyai keseragaman dalam kerangka
berpikir mengikat seluruh elemen bangsa dalam satu negara yaitu Indonesia. oleh
karena itulah para pendiri bangsa (founding fathers) dianggap tepat
mempersatukan rakyat Indonesia dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang memiliki makna (kesatuan dalam
keragaman), serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kekuatan hukum bangsa
ini.
Bangsa yang majemuk dan heterogen membuat pluralitas adalah sebuah
keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pluralitas bangsa Indonesia tentu saja
membawa nilai positif dan negatif4. Fenomena kehidupan pluralitas bangsa ini
diperlihatkan dengan pergaulan dan interaksi antar umat beragama di awal-awal
proses perkembangan bangsa ini yang terajut dengan damai tanpa ada perselisihan
atau konflik yang melanda, akan tetapi semuanya itu menjadi semu ketika Orde
Baru berkuasa.
Orde Baru dengan gaya sistem pemerintahan yang militeristik, kemudian
menjadikan bangsa ini terkungkung. Tidak ada yang boleh menggugat jalannya
pemerintahan sebab akan menjadi subversi. Gaya pemerintahan yang
mengedepankan keamanan ini justru membuat konflik kekerasan atas nama agama
semakin terasa5. Di beberapa kasus umat Islam merasa dirugikan dan aspirasi
mereka tidak tertampung dengan baik, akhirnya muncul kritikan melalui khotbah-
khotbah dan ceramah-ceramah keagamaan sebagai sarana penyaluran aspirasi
mereka yang dialamatkan kepada pemerintah.
Sesungguhnya kritik seperti itu, adalah bagian yang tak terpisahkan dari
kewajiban umat Muslim dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang
harus disampaikan kapan dan dimanapun. Akan tetapi ketika ceramah tersebut
menyinggung pemerintah, maka kritikan tersebut dianggap sebagai hasutan dan
tindakan melawan pemerintah. Olehnya itu pemerintah untuk melegitimasi
kebijakannya, memunculkan istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan antar

4
Ali imron, A.M, “Resolusi Konflik Antar Etnik Dan Antar Agama :Perspektif
Multikultural,” Journal kebudayaan , Vol. 4, No. 1, April (2006) :74
5
Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan,
2000),63
golongan), dengan alasan itulah segala persoalan yang menyangkut SARA yang
berkaitan dengan kerukunan umat beragama dilarang untuk dibicarakan tabu
secara terbuka.
Sementara itu didalam pemerintahan Orde Baru pada saat itu didominasi
oleh elit yang berasal dari kalangan Kristen, seperti Benny Moerdani, Panglima
Kopkamtib Laksamana Sudorno, dan Cosmas Batubara. Sering memprogramkan
dan menginstruksikan kepada walikota dan gubernur agar memfasilitasi pendirian
tempat ibadah (gereja) di berbagai tempat, terlepas dikawasan tersebut ada orang
Kristen ataupun tidak. Padahal, kebanyakan pada saat itu walikota dan gubernur
adalah Muslim6.
Kebijakan ini terasa sangat tidak adil, penguasa lokal yang sudah jelas
Islam mau tidak mau harus mengamini kebijakan tersebut, jika tidak akan dituduh
sebagai anti pembangunan atau dituduh tidak sensitif terhadap SARA. Oleh
karena itu tidak ada yang mampu menolak. Akhirnya timbul kecurigaan dari umat
Islam dimana kebijakan pemerintah adalah bagian dari upaya Kristenisasi, dan
melindungi pihak Kristen, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan bagi umat
Islam yang merasa aneh dengan adanya kebijakan pemerintah, akhirnya puncak
dari ketidak senangan tersebut adalah membakar gereja dan sebagainya7.
Orde Baru menjadi masa yang kelam dimana kehidupan kerukunan umat
beragama sangat jauh dari harapan yang telah ditanamkan oleh pendiri bangsa
yaitu kesatuan dalam keragaman “Bhineka Tunggal Ika”.Padahal rezim Orde Baru
adalah rezim yang sangat mengedepankan Pancasila, Pancasila dikonstruk ulang
dalam rangka perubahan dari masa sebelumnya yang mengalami
“perselingkuhan”8. Kebijakan yang tidak seimbang mengakibatkan hubungan
antarumat bergama retak, hal ini dapat kita telusuri dengan beberapa kasus yang
terjadi selama jalannya pemerintahan Orde Baru.
A. Konflik kekerasan Agama di era Orde Baru

6
Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan, 2000),
64
7
Azyumardi Azra, Islam Subtantif, 64.
8
Sikap luar negeri terhadap Indonesia telah berubah darstis sejak tahun 1950-an. Karena
mencurigai hubungan Presiden Soekarno Partain Komunis Indonesia dengan negara-negara
Sosialis, yang terlibat jauh dalam pemberontakan–pemberontakan melawan pemerintah. Lihat
Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Lembaga untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu
(Stockholm, Sweden: International IDEA: S-103 34) 2000
Kasus Meulaboh yang terjadi di aceh pada tahun 1967. Konflik ini bermula
ketika terjadi pembangunan sebuah gereja di tengah perkampungan Muslim yang
notabene tidak ada pemeluk agama Kristen satupun, masyarakat dan para ulama
merasa keberatan dengan sikap pemerintah ini dan mengajukan ketidaksetujuan
kepada pemerintah kemudian berkembang isu bahwa gereja tersebut dibakar oleh
masyarakat9.
Selain itu kasus yang sangat menghebohkan adalah kasus pembakaran
gereja di Makassar dimana kasus berdampak implikasi politik dan sosial yang
sangat luas, sebab peristiwa diberitakan sehubungan telah terjadi pengrusakan 10
(sepuluh) buah gereja, sekolah teologi, SMA Katolik, dan secretariat Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) pada tanggal 29 September
196710, kasus agama juga terjadi pada bulan April 1969, dimana umat Islam
memberikan reaksi berupa pengrusakan gereja dan sekolah Kristen di kelurahan
Palmerah, Slipi, Jakarta dimana pembangunan gereja dan sekolah Kristen
dibangun di lingkungan yang mayoritas penduduknya beragama Islam11.
Kasus yang mengatasnamakan agama tidak berhenti sampai disitu, di
provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya di daerah Flores yang mayoritas
beragama Kristen, telah terjadi penyiksaan dan pembunuhan yang sangat biadab
terhadap orang-orang Islam. Pada awalnya mereka ditakut-takuti dan dituduh

9
H. Himan Hadikusuma, Antropologi Agama, Bag. II, Cet. I, (Bandung: Citra Aditiya Bakti.
1993). 272.
10
Peristiwa tersebut disebabkan oleh penghinaan kepada Nabi Muhammad yang dilakukan
oleh seorang guru agama Kristen yang bernama H.K.Mangombahan dari jawatan pendidikan
agama yang menusuk perasaan umat Islam di depan murid-murid SMEA Negeri Makassar pada
tanggal 29 September 1967. Lihat Lembaga Islam Untuk Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat, “Kristenisasi di Indonesia”, Jakarta. 1980, h 44. dikutip dalam H.M.Arfah Shiddiq
“Konflik Dan Konformitas Antara Islam Dan Kristen: Studi tentang Hubungan Beragama di
Indonesia” Jakarta: UIN, 2000, hlm.149 Disertasi.
11
Penduduk kelurahan Palmerah, Slipi tahun 1969 sebanyak 36.000 jiwa, dimana 35.650
jiwa adalah umat Islam dan sisahnya 350 jiwa adalah umat Kristen (Protestan dan Katolik) untuk
mereka telah tersedia 5 (lima) buah gereja. Jadi untuk setiap 70 jiwa tersedia gereja. Hal ini
dianggap cukup bagi mereka. Namun, di atas tanah yang semula merupakan daerah liar yang
kemudian dibersihkan dan dihuni oleh pedagang-pedagang kecil beragama Islam, ketika
perkampungan itu maju, tiba-tiba saja, tanpa musyawarah dengan penghuni harus dikosongkan
lalu didirikan gereja dan sekolah Kristen di tempat itu. Akibatnya, masyarakat menjadi gelisah,
dan ketika pengaduan mereka tidak ditanggapi yang berwenang terjadilah pengrusakan terhadap
gereja-gereja tersebut. Lihat Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan antar Umat Agama (Surabaya Bina Ilmu, 1991), h
321-322 dikutip dalam H.M.Arfah Shiddiq “Konflik Dan Konformitas,150.
terlibat sebagai G. 30 S/PKI, mereka yang bersedia masuk agama Kristen akan
dijamin keselamatannya.12
Selanjutnya pada tahun 1980-an kita masih ingat peristiwa yang sangat
menghebohkan dimana peristiwa tersebut mengakibatkan ketua MUI Buya
Hamka mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi disebabkan oleh polemik antara
MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Menteri Agama pada saat itu, mengenai
fatwa pelarangan umat Islam dalam merayakan natal bersama13. Yang anehnya
majalah TEMPO fatwa tersebut disampaikan oleh Menteri Agama Alamsjah pada
acara Kegiatan Kerjasama Antarumat Beragama di Jambi pada tanggal 6 Maret
198114.
Sepanjang rejim Orde Baru fenomena keberagaman Indonesia selalu
diselimuti dengan konflik sosial yang benuansa agama tidak berhenti hanya
sampai pada peristiwa yang telah dijelaskan di atas, pada tahun 1992 telah tercatat
beberapa persitiwa konflik, seperti yang terjadi di Pangkalan Brandan desa
Pelawi, kecamatan Babalan. Pengrusakan Gerejan Kristen Protesta Angkola
(GKPA) pada awal Nopember, pengrusakan gereja Pantekosta oleh ribuan orang
di desa Ngopak kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dan
pengrusakan gereja Katolik yang terjadi di desa Reco Wonosobo Jawa Tengah
pada tanggal 21 Nopember 1992, dimana kejadian tersebut, karena rencana
pembangunan gedung gereja tersebut tidak mendapatkan restu dari kalangan umat
Islam. Sehingga Bupati Wonosobo menulis surat kepada panitia pembangunan
agar pekerjaan pembangunan itu ditangguhkan. Akan tetapi, pembangunan
tersebut tetap dilanjutkan.15

12
Pada tanggal 20 April 1969 di Flores mayoritas penduduknya beragama Kristen membuat
tekanan terhadap orang-orang Islam, orang-orang Islam disiksa, bahkan ada yang dibunuh.
Sejumlah 14 tokoh Islam di Flores hilang tampa bekas, entah diculik atau dibunuh. Lihat Umar
Hasyim, Toleransi…h.325 dikutip dalam H.M.Arfah Shiddiq “Konflik Dan Konformitas, 151.
13
H. Rusjdi Hamka, “Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka,” (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1981), 195-196. Sekalipun fatwa itu telah dicabut, menurut Buya Hamka, isi fatwa itu
sendiri tidak menjadi batal karenanya. Dikutip dalam H.M.Arfah Shiddiq “Konflik Dan
Konformitas,153
14
TEMPO, No 11 Tahun XI, Rubrik Agama, “Fatwa dan Kebocoran (Konon), h 74”. Disini
terlihat sekali kalau sesungguhnnya yang menjadi persoalan bukanlah isi fatwa itu sendiri, sebab
ternyata fatwa tersebut sejalan dengan isi pidato Menteri Agama. Agaknya, pemerintah
mengingingkan agar MUI tetap berada dibawah pengaruhnya. Dikutip H.M.Arfah Shiddiq
“Konflik Dan Konformitas, 153.
15
Pengrusakan gereja yang dilakukan oleh kalangaan umat Islam disebabkan karena,
pembangunan gereja pada umumnya tidak memiliki ijin IMB (Ijin Membangun Bangunan) akan
tetapi pembangunan tersebut tetap dijalankan hal ini bertentangan dengan Keputusan Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negri No. 01/BER/Mdn.Mag/1969, tentang Pelaksanaan
Dan di akhir-akhir perjalanan rejim Orde Baru eskalasi konflik sosial yang
bernuansa agama bukannya menurun tetapi malah meningkat, kerusuhan
Situbondo 10 Oktober tahun 1996, kerusuhan Tasikmalaya 26 Desember 1996,
kerusuhan di Karawang 1997, Tragedi Mei tanggal 13, dan 15 1998 yang terjadi
di Jakarta, Surabaya, Palembang, Medan.
Serangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi di atas semasa Orde Baru di
sinyalir tampaknya memiliki keterkaitan kepentingan antara misi kristenisasi dan
rezim yang berkuasa untuk mengeliminasi kekuatan Islam16. Dimana elit Islam,
khususnya mereka yang merupakan mantan-Masyumi yang ditindas oleh rezim
Soekarno, berharap dengan naiknya Soeharto umat Islam dibebaskan oleh
penindasan kekuasaan, tetapi harapan dan impian tersebut sirna sebab rezim Orde
baru traumatik terhadap gerakan Darul Islam (DI) dan (PRRI) Pemerintah
Revolusioner, oleh karena itu terjadi pengawasan ketat terhadap Islam.
Menurut Alwi Shihab17 gerakan Kristenisasi harus dibendung sebagai upaya
membebaskan umat Islam dari pengaruh kekerasan yang ditimbulkan. Persoalan
ini mendapatkan respon yang tajam, dimana reaksi dikalangan muslim
menumbuhkan kelompok-kelompok garis keras. Tetapi beruntunglah tumbuh
suatu pendekatan baru didalam Islam dan Kristen hingga tingkat tertentu, yang
melihat bahwa agama bukanlah suatu kekuatan politik sectarian dan lebih sebagai
kekuatan etis yang memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti yang
dipahami meliputi toleransi, keterbukaan, hak asasi manusia, aturan hukum, dan
bahkan pemisahan negara dan agama.
Tertutupnya kran aspirasi rakyat kepada pemerintah dan dengan
pendekatan “tangan besi”otoriter yang dibangun selama berkuasa menyebabkan
ketika jatuhnya rezim Orde Baru, drama konflik dan tindakan kekerasan
organisasi-organisasi keagamaan seakan lepas atau meletup, menjadi “euforia”
aktifitas politik, dan yang sangat kelihatan pada organisasi-organisasi Islam pada
umumnya. Akibat dari apa yang mereka rasakan selama berkuasanya rezim Orde
Baru yang selalu awasi secara ketat gerakannya. Jatuhnya rezim tersebut pada

Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya. Tanggal 13 September 1969.


Dikutip H.M.Arfah Shiddiq “Konflik Dan Konformitas,154 -157
16
Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan,
2000), 65
17
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi
Misi Kristenisasi di Indonesia (Bandung: Mizan 1998)
tanggal 21 Mei 1998, Indonesia memasuki fase baru, masa reformasi demokratis
di Indonesia.
Fase keterbukaan ini membuat beberapa organisasi-organisasi Islam
muncul kepermukaan secara bebas, kekerasan mengatasnamakan agama semakin
menemukan tempatnya. Ketidakberdayaan umat sebelumnya seakan mendapatkan
angina segar atau kebebasan untuk mengekspresikan ketertindasan yang
dialaminya. Seperti kasus pengusiran para preman Ambon oleh FPI (Forum
Pembelan Islam) yang terjadi di Jakarta, kerusuhan di Ketapang dan Kupang 1999
yang mana tindakan kekerasan yang terjadi merupakan rangkaian awal konflik
sosial yang mewarnai bangsa Indonesia di masa reformasi.
Kejadian yang sangat mendapatkan perhatian publik adalah konflik
berdarah di Maluku (Ambon) dan Maluku Utara yang pecah pada akhir tahun
1999. Konflik yang awalnya hanya bermula dari kesalah pahaman berubah
menjadi konflik yang sangat massif sehingga mengakibatkan ribuan nyawa
manusia melayang di kedua komunitas umat beragama baik Muslim maupun
Kristen.
Konflik atas nama agama yang serupa pun terjadi di Poso Sulawesi Tengah
dimana umat Islam di bantai habis-habisan oleh sekelompok orang Kristen dalam
sebuah pondok pesantren18. Kemudian peritiwa bom Bali I dan II yang
menewaskan ribuan orang, selain itu penyerangan brutal beberapa ormas
keagamaan dan dengan atribut keagamaan di Silang Monas 1 Juni 2008
penyerangan tersebut menuntut agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah dan
menuduh aktivis AKKBB19 membela jemaat Ahmadiyah. Konflik yang terjadi
mengklaim kebenaran satu ajaran terhadap ajaran yang lain. Kekerasan atas nama
agama yang baru saja terjadi yakni peristiwa pembakaran mushola di Tolikara
Papua Barat, pemicunya ialah pelarangan melakukan aktifitas keagamaan oleh
kelompok agama lain.
Inilah wajah fenomena keberagamaan di Indonesia, peristiwa konflik sosial
dan kekerasan mengatasnamakan agama merupakan potret perjalanan sejarah
keberagaman di Indonesia. Kekerasan seolah tidak pernah selesai mencoreng
18
Departemen Agama RI. Konflik Sosial Bernuansa Agam di Indonesia (Jakarta: Departemen
Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian
Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003), 2
19
AKKBB: Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dikutip
dalam KH. Husein Muhammad, “Mengaji pluralism: kepada Mahaguru Pencerahan”. (Bandung:
Mizan 2011), h.4
kemuliaan dan kesucian agama.20 Padahal secara doktrinal semua agama
mengajarkan kedamaian, persaudaraan, kerukunan hidup individu dengan
individu, kerukunan indvidu dengan kelompok, atau bahkan sebaliknya. Seluruh
agama tidak menghendaki perpecahan, pengrusakan, dan pembunuhan untuk
terjadi.
Wajah karakteristik bangsa yang religius itu kini menjadi absurd. Identitas
bangsa religius dan berbudaya santun itu telah terkoyak dan ternodai oleh pelbagai
tindakan kekerasan dan anarkisme di berbagai tempat. Sikap disharmoni yang
ditunjukan sesama antar umat beragama disebabkan karena melemahnya
kesadaran akan kehidupan pluralitas agama, hal ini kemudian menjadi pemicu
konflik kekerasan baik antar agama, maupun didalam agama itu sendiri.
Problem keberagamaan yang terjadi seakan ingin memberitahukan kepada
kita bahwa sikap toleransi dan religiusitas bangsa ini hanya berada pada kulit
luarnya saja belum menyentuh kesadaran terdalamnya, seandainya perilaku ini
telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat sedalam-dalamnya konflik kekerasan
tidak akan pernah terjadi di negeri ini. Negeri yang beragam suku, ras, serta
agama, dan realitas sosialnya.

B. Menatap Masa Depan Keberagamaan di Indonesia.


Indonesia adalah simbol dari keberagamaan di dunia ini, bangsa yang
beragam agama dan kitab suci yang ada merupakan sebuah realitas empris yang
menunjukan adanya pluralitas agama di dalam bangsa ini. Pluralitas tersebut dapat
bernilai postif apabila pemerintah dan rakyat dapat bersatu guna mewujudkan
persatuan dan kesatuan dalam perbedaan dan keragaman. Akan tetapi sebaliknya
apabila tidak mampu dikelola maka konflik yang akan kemudian mewarnai
bangsa ini.
Harus diakui bahwa didalam hidup ini kita tidak akan pernah terlepas
dengan konflik. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa konflik merupakan sebuah
keniscayaan, tetapi konflik selalu dilihat dalam rangka perubahan, masalahnya
adalah ketika konflik tidak mampu diatasi maka konflik tersebut akan merusak
sendi-sendi kehidupan. konflik antar umat bergama di Indonesia harus mendapat

20
Mambaul Ngadhimah “Potret Keberagaman Islam Indonesia : Studi Pemetaan Pemikiran
dan Gerakan Islam” Innovatio, Vol. VII, No. 14 Juli-Desember 2008. h. 266
perhatian yang serius dari pemerintah agar terciptanya kerukunan hidup
beragama.
Konflik kekerasan yang terjadi adalah bukan berasal dari pribadi ajaran
agama itu sendiri, agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini
bersumber dari Tuhan Yang Maha Mengatahui, karena itu ajaran tuhan tidak akan
pernah berubah-ubah sungguhpun manusia itu sendiri mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan zaman.
Permasalahan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, sama seperti
halnya problem umat-umat beragama di negeri lainnya, yang juga sering
terganggu dengan riak-riak konflik sosial. Secara teoritis, setiap agama
mengajarkan sikap toleran, penghormatan, dan pengakuan eksistensi agama-
agama lain, akan tetapi kesemuanya itu dapat menjadi labil ketika masing-masing
umat beragama tidak memahami inti ajaran dari agama yang mereka anut.
Apabila saja seluruh umat beragama memiliki kesungguhan untuk
mempelajari kitab sucinya maka mereka akan menemukan pencerahan bahwa
didalam kitab-kitab suci itu mengajarkan adanya persamaan agama-agama
.
C. Toleransi dalam ajaran Agama
Islam merupakan agama yang diturunkan ke bumi ini untuk menjadi rahmat
yang membawa kebahagiaan bagi umat manusia yang hidup di dalamnya. Oleh
sebab itu, salah satu misi pokok ajaran Islam adalah menjalin hubungan yang baik
antar sesama manusia, al-Qur‟an sebaga kitab suci umat Islam telah banyak
memberikan petunjuk dan prinsip-prinsip dasar bagi manusia dalam menata
hidupnya baik secara internal (hubungan antar sesama Muslim), maupun secara
eksternal hubungan antar umat Islam dengan umat beragama lainnya). Dalam
hubungan umat Islam dengan umat beragama lain, Allah swt, telah menjelaskan
secara gamblang dalam al-Qur‟an beberapa. “Bahwa tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang buruk. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengatahui21, ayat ini jelas dalam ajaran Islam tidak ada pemaksaan kepada
siapapun untuk memeluk agama Islam.

21
Q.s, 2 (Al-Baqarah) ayat 256
Selain itu di ayat yang lain Allah tidak melarang hidup bermasyarakat
dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, selama mereka tidak
memerangimu22. Ayat selanjutnya Allah memerintahkan umat Islam agar menjalin
hubungan yang baik dengan orang-orang yang beragama lain, khususnya ahl al-
kitab,. Agar umat Islam tidak berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara
yang baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.23 Al-Qur‟an pun
menjelaskan agama Tuhan bersifat universal, karena Tuhan telah mengutus rasul-
Nya kepada setiap umat manusia. Pokok pangkalan kebenaran universal itu adalah
tauhid, yaitu konsep Ketuhanan Yang Maha Esa24. Masih di dalam lembaran al-
Qur‟an Allah tegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa agama yang dibawa Nabi
Muhammad adalah kelanjutan dari agama-agama sebelumnya, khususnya yang
secara genelogis agama-agama Abrahamik.25
Berdasarkan uraian di atas maka dapat kita ketahui bahwa Islam begitu
toleran, dan menghargai pemeluk-pemeluk agama yang lain, dimana tidak ada
paksaan, bahkan mengecam kekerasan dalam menjalani kehidupan pergaulan
antar umat beragama.
Islam empat belas abad yang lalu telah mempraktekan kehidupan
beragama pluralitas, nabi Muhammad saw memberikan contoh dengan baik
bagaimana menjalankan kehidupan yang pluralitas di kota Madinah. Untuk
menjaga hubungan yang harmonis diantara umat beragama yang majemuk itu.
Nabi membuat semacam aturan sebagai landasan atau pondasi bagi kehidupan
pergaulan umat pada saat itu yang kita kenal dengan Piagam Madinah26

22
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” ( Q.s., al-Mumtahanah, 60:8)
23
“Dan janganlah kamu sekalian bertengkar berdebat mujadalah dengan para pengikut Ahli
kitab (penganut kitab suci), melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang
melakukan kezaliman. Dan nyatakan kepada mereka, „Kami beriman kepada Kitab Suci yang
diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepadamu sebab Tuhan kami dan Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan kita semua pasrah kepada-Nya (muslimun)”. (Q.s al-
Ankabut, 46)
24
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat rasul (untuk menyerukan),
“Sembahlah Allah (saja)..‟(Q.s al-Nahl, 36)
25
“Dia telah mensyari‟atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa-apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, Isa, yaitu: Tegakkanlah agamamu dan janganlah kamu berpecah-belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya”. (Q.S. al-Syura, 13)
26
Piagam yang dikeluarkan nabi yang menjamin kebebasan Bergama masyarakat Madinah.
Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.
Muhammad mengajarkan semua umat bukan hanya Islam pada saat itu, agar cinta
pada kedamaian, umat Islam harus saling menjaga toleransi, tidak boleh memaksa,
tidak boleh memerangi orang yang lemah dan jangan berbuat kekerasan dan
mengganggu orang lain. Dan ditegaskan oleh al-Qur‟an (Lakum dinukum
waliadin), adalah gambaran sikap penghormatan dan toleransi antar umat
beragama, bukan hanya itu Islam juga mengajarkan kita tentang bentuk perbedaan
(amaliah furu’Iyah) di kalangan umat Islam sendiri dengan prinsip (Lana
a’maluna walakum a’malukum), Islam datang yang dibawah oleh Muhammad
pada intinya adalah merupakan untuk merubah ahlak manusia yang saat itu sangat
jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara itu, Nurcholis Madjid, salah seorang cendikiawan Muslim
melihat segi-segi keuniversalan agama berdasarkan firman Allah sudah menjadi
kesadaran di kalangan kaum muslimin, terutama karena Islam sebagai sikap
pasrah dan tunduk kepada Allah adalah pola wujud seluruh alam semesta. Dengan
kata lain, seluruh alam ini adalah suatu eksistensi ketundukan dan kepasrahan
kepada Tuhan, baik terjadi dengan sendirinya, tanpa ada pilihan lain ialah
ketundukan dan kepasrahan makhluk yang dianugerahi daya pilih seperti
manusia.27
Ajaran Kristiani pun demikian, didalam ajaran Kristen ditemukan nas-nas
yang mengarahkan umatnya mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia
(Mat. 22:37: Rum: 10:Kor;4-7 dan 13).Salah satu ayat yang mengesankan
pentingnya hubungan antar umat beragama dalam Injil Matius 5:43-45: “Kamu
telah mendengar firman: Kasihlah sesama manusia dan bencilah musuhmu.
Tetapi aku berkata kepadamu: kasihlah musuhmu dan berdoalah bagi mereka
yang menaniaya kamu karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak
Bapa yang di Surga. Yang menerbitkan matahari abgi orang yang jahat dan
orang yang baik dan menurunkan hujan bagi yang benar dan orang yang tidak
benar”28.

Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan


keamanan negeri itu dari serangan luar. Lihat Muhammad Husain Haikal, Sejarah hidup
Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa, 1990), h. 199-205
27
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru islam
Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h.x-xi
28
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru,( Korea: The Indonesian Bible
Society, 1978, h 178
Umat dituntun untuk hidup dalam kedamaian dan penuh cinta kasih, inti
ajaran yang terkandung didalam kitab Injil merupakan ajaran yang mengajak
semua umat manusia kepada kehidupan tentram saling mengasihi sesamanya,
sehingga tidak ada lagi terjadi penindasa, pengusiran, balas dendam, dan bentuk
konfrontasi lainnya. Akan tetapi disebagian umat Kristen sama halnya dengan
umat Islam kadang melupakan ajaran yang telah ditanamkan didalam alkitab
sebagai pedoman hidup, sekaligus jaminan hidup mereka ditempat ini dan disaat
ini29. Firman-Nya dalam Galtia 6: 10: “karena itu selama masih ada kesempatan
bagi kita, marilah berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama pada
kawan-kawan kita sendiri ”30. Di ayat yang lain juga menegaskan betapa penting
kita manusia untuk saling menghargai anatar satu dengan yang lain, bahkan kita
diajarkan untuk mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan kita
sendiri. Firman-Nya dalam Philipi 2, 3-4: Hendaklah dengan rendah hati yang
seorang menganggap orang lain lebih utama daripada dirinya dan jangan tiap-
tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan
orang lain juga”31.
Ayat-ayat di atas memperlihatkan bagaimana kitab suci Kristen
mengisyaratkan pentingnya kerelaan berbuat baik dan berfikir jenih terhadap
orang lain, dengan mengambil contoh yang sangat ekstrim yakni “musuh”. Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa umat Kristen sangat menghendaki hubungan
yang baik, karena jangankan terhadap orang yang beragama lain, terhadap seorang
musuh pun umat Kristen disuruh berbuat baik. Konsep ini menunjukan bahwa
ajaran Kristen menghargainya interaksi dengan umat lain. Hal ini menunjukan
pula bahwa hidup sebagai umat yang beriman atau percaya kepada Allah,
merupakan kesalehan itu harus dijewantahkan dalam hidup sesama. Hukum ini
adalah inti dari hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dan
manusia.
Dalam ajaran Budha cinta selalu dipandang sebagai manifestasi wujud
kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap manusia, kehidupan dalam ajaran
Budha selalu dijiawi dengan saling menghargai sesama manusia, Budha semasa

29
J. Verkuyl, Etika Kristen 1 (Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia), 1986, 21.
30
Departemen Agama RI, Kitab Suci Perjanjian Baru. (Jakarta: Lembaga
BiblikaIndoneia,1995), 438.
31
Departemen Agama RI, Kitab Suci Perjanjian Baru. (Jakarta: Lembaga
BiblikaIndoneia,1995), 452
hidupnya memperlihatkan hal itu, ditengah-tengah kekuasaan yang dimiliki
Sidartha Gautama tidak pernah memaksakan keinginannya kepada orang lain, dan
sangat menghargai perbedaan pendapat.
Nilai-nilai ajaran Budha dalam hubungan antar umat beragama sangat
plural, hal ini dapat kita lihat pada ajaran tentang Sila Paramita: yang mengajarkan
bahwa setiap orang jangan melakukan perbuatan jahat dengan pikiran, ucapan,
dan perbuatan sehingga menyebabkan orang lain menderita. Sikap hormat-
menghormati dan bekerja-sama antara pemeluk agama yang berbeda-beda sejak
dulu merupakan sikap hidup umat Budha hal ini terbukti dengan adanya prasasti
Batu Kalingan No. 22 dari Raja Asoka, pada abad ke-tiga sebelum masehi :
“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri, dan mencela agama orang lain
tanpa dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pu hendaknya dihormati atas
dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama orang
lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama kita sendiri,
disamping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu barang siapa
menghormati agamanya sendiri dan mencela agamanya orang lain, semata-mata
karena didorong oleh rasa bakti kepada agama sendiri dengan berpikir:
Bagaimana aku memuliakan agamaku sendiri? Dengan berbuat demikian ia malah
amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu kerukunan yang dianjurkan
dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia
mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”32
Seperti yang telah di kemukakan diatas secara eksplisit tampaknya semua
agama mengajarkan kepada kedamaian, cinta kasih, saling hormat-menghormati.
Oleh karena itu seharusnya konflik kekerasan atas nama agama tidak boleh terjadi
karena semua agama melarangnya. Realitas kebergamaan yang plural sudah
sepatutnya terwujud dalam bingkai kedamaian, sebab pluralitas agama dapat
menjadi perekat bagi umat beragama bila penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
ajaran yang terkandung didalamnya dilakukan secara bertanggungjawab.
Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan tentang permusuhan.
Namun didalam kenyataan yang selalu ada menunjukan bahwa pengaruh
agama selalu menimbulkan konflik. Dalam hal ini para ilmuan sosial menyatakan,
bahwa agama sering mempunyai efek yang negatif terhadap kesejahteraan

32
Lihat Hartono, “Agama Buddha dan Nilai-Nilai Demokrasi”. Dalam Agama Demokrasi
dan Tranformasi Sosial (Yogyakarta: LKPSM 1993), h. 72
manusia, sehingga isu-isu keagamaan dapat dengan mudah digunakan untuk
menimbulkan konflik. Keyakinan yang fanatik dalam suatu agama sering
membuat sikap manusia menjadi tidak toleran, loyalitas dalam agama hanya dapat
menyatukan beberapa orang saja dan memisahkan dari kebanyakan orang
lainnya.33 Dengan demikian timbulnya perilaku kekerasan agama lebih
disebabkan karena pemahaman agama dari hasil pikiran yang kemudian
termanifestasikan dalam bentuk gerakan yang nyata. Disini salah satu faktor
pemicu konflik bilamana agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir
manusia yang hanya ingin mengingkan keuntungan dan kekuasaan dengan
menggunakan media agama34.
Oleh karena itu apa yang harus dilakukan agar dapat menciptakan kembali
harmonisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sebab persoalan kekerasan
atas nama agama tidak boleh lagi tumbuh dan berkembang disaat bangsa ini lagi
berada pada posisi untuk menemukan alam demokratisasi yang substansial.
Menurut hemat saya pertama yang harus kita lakukan adalah
mengkonstruksi pemikiran kita terhadap pola keberagamaan. Persoalan yang
sering kita hadapi dalam kehidupan beragama kita sehari-hari kecenderungan para
penganut agama yaitu selalu memandang pemeluk agama antara satu dengan yang
lain atas sikap yang cenderung ekslusif. Dimana selalu merasa bahwa agama yang
mereka dianutnya adalah yang paling benar, kemudian didalam agamanyalah
keselamatan itu ada, ada juga yang sering kita dengar didalam masyarakat bahwa
kitab suci yang ada pada agama lain itu dianggap tidak asli (otentik) karena
banyak mengandung perubahan. Bahkan yang sangat ekstrim adalah timbul sifat
kecurigaan bahwa ketika bersahabat dengan orang yang berlainan agama maka
kita juga akan diajak untuk memeluk agamanya.
Sikap ekslusif ini sangat tidak cocok tumbuh di negara ini, sebab
pandangan ini sangat negatif dan sangat merendahkan orang lain, dan bahayanya
lagi adalah sikap ekslusif ini akan berujung pada malapetaka bagi kerukunan antar
umat beragama. Sikap seperti ini bukanlah sikap kekokohan dasar yang sejati
dalam beriman, tetapi kegoyahan, dalam konteks tersebut, ketertutupan adalah
cerminan dari ketakutan. Kekokohan dasar dalam beriman bagi seseorang justru

33
Thomas F.O‟dea. Sosiologi Agama. (Jakarta, Rajawali Pers, 1987), h. 139
34
Amir Tajrid, Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai Media Integrasi Sosial: Ikhtiar
Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa. The 9th (ACIS). Surakarta, 2-5 November 2009
terbukti ketika ia berani berhadapan dengan orang lain yang berbeda pandangan
dengannya dalam satu agama dan orang –orang lain yang berbeda agama
dengannya35.
Konteks keberagaman yang ada pada budaya kita sudah sepatutnya
membuat kita sadar akan hal ini. Olehnya itu paradigma seperti ini tidak boleh
lagi hidup bebas berkembang dalam pikiran (mind) kita. Untuk mengubah itu
semua kita memerlukan peranan aktif lembaga-lembaga agama untuk memainkan
peran dan fungsinya sebagai jembatan untuk mewadahi seluruh masyarakat
Kedua yang dilakukan adalah penguatan lembaga-lembaga agama yang
berperan sebagai sarana meyampaikan nilai-nilai universalitas kehidupan
beragaman yang baik, agar tidak terjadi degradasi nilai keagamaan umat secara
menyeluruh. Penguatan kelembagaan dimana lembaga-lembaga agama yang ada
saat ini baik yang berasal dari Islam, Kristen Hindu, Buddha, dan Konghucu,
mampu memainkan peranannya dengan baik, artinya bahwa lembaga-lembaga
yang ada saat ini sudah seharusnya keluar dan tidak terpolarisasi dengan
kepentingan politik. Karena lembaga-lembaga agama secara tidak langsung telah
disusupi oleh keepentingan politik dari segilintir elit yang selalu masuk melalui
pintu lembaga keagamaan sebagai cara untuk dikenal oleh masyarakat luas, tanpa
memberikan pencerahan (numpang tenar).
Selain itu lembaga keagamaan harus menjadi jembatan dari kekakuan
masyarakat yang kurang memahami ajaran-ajaran agama agar dapat memberikan
pencerahan dengan menekankan dialog antar umat beragama yang melibatkan
masyarakat secara menyuluruh. Dialog menjadi sebuah metodelogi yang efektif
ketika dilakukan bukan pada tataran elit saja, tetapi harus melibatkan masyarakat
akar rumput (grass root). Dialog yang dilakukan adalah menanamkan sikap
toleran, akomodatif, terbuka terhadap gagasan perbedaan, dan kemajemukan yang
menjadi sesuatu yang nyata yang tidak dapat dihindari olehnya itu harus
menumbuhkan sikap saling menerima sebagaimana adanya. Nah untuk itu apabila
komunikasi ini dilakukan secara intensif, saya kira masyarakat secara perlahan-
lahan akan mengalami perubahan. Dan akan tumbuh sikap bersama yang sehat
untuk saling menghargai antara umat beragama.

35
Kautsar Azhari Noer, “Passing Over. Memperkaya Pengalaman Keagamaan” dalam
Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF, Passing Over: Melintas Batas Agama, h. 256 dikutip
dari Abd. Moqsith Ghazali, “Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis AL-
Qur’An” (Jakarta: KataKita, 2009) h.60
Ketiga mengembalikan peranan tokoh-tokoh agama kepada asalnya. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa saat ini banyak diantara kalangan para
tokoh agama entah itu ulama, pendeta, biksu, dan sebagainya telah terperangkap
pada wilayah politik. Seharusnya tokoh-tokoh agama harus menjauh dari
percaturan politik agar tidak membingungkan umat secara menyeluruh bahwa
mana yang disampaikan itu benar untuk dijalani mana pula pesan yang salah
untuk dikritisi.
Konteks Indonesia pada masa ini merupakan alam yang bebas bagi semua
tokoh-tokoh agama yang pada masa Orde Baru terkungkung oleh ketatnya sistem
pengawasan yang dilakukan oleh rezim Orde baru, sehingga ketika rezim ini
runtuh maka kebebasan itu semakin menjadi tidak terkontrol dan hal inilah
sebenarnya yang memicu konflik kekerasan atas nama agama.
Harus perlu disadari bahwa kepentingan sesaat untuk kepentingan pribadi
harus ditangguhkan ketika berhadapan dengan umat. Ada harapan yang besar
kepada para tokoh–tokoh agama karena mampu meyakinkan masing-masing
umatnya agar tidak terjebak pada konflik kekerasan yang mengatasnamakan
agama. Apabila para tokoh ini menyadari akan betapa pentingnya peranan mereka
dalam rangka membangkitkan upaya kehidupan beragama yang baik maka konflik
yang kita lihat hari ini mewarnai layar kaca televise kita tidak akan terjadi lagi
pada hari yang mendatang.
Keempat upaya pemerintah dalam mendukung terwujudnya pluralisme
agama. Semua konsep tawaran yang dijelaskan diatas akan menjadi sesuatu yang
tidak bearti ketika tidak ada itikad baik oleh pemerintah dalam rangka
membangun perubahan keberagamaan.
Selama ini pemerintah kurang menaruh perhatian serius dalam rangka
perubahan sikap keberagamaan masyarakat. Kecenderungan yang terjadi
pemerintah seakan-akan melepas tangan dalam mengurusi umat. Oleh karena itu
pemerintah sudah saatnya berbenah kalau ingin kehidupan bergaman di Indonesia
menjadi lebih baik.
Pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah reevaluasi proses
pendidikan dan pengajaran akidah baik ditingkat sekolah dasar, menengah,
maupun perguruan tinggi. Reeavaluasi ini menyangkut kurikulum proses belajar
yang cenderung sangat mengandung radikalisme, oleh karena itu harus dibuat
kurikulum yang baru dimana kurikulum ini mengajarkan sikap menerima
keberagamaan yang plural, mengedepankan nuansa toleransi, dan akomodatif
terbuka terhadap segala perbedaan yang ada.
Impian hidup harmonis dan ketentraman akan terwujud ketika semua yang
dilakukan diatas dapat berjalan dengan baik. Indonesia tidak akan lagi dicap
sebagai negara yang tidak toleran bagi rakyatnya apabila kebijakan-kebijakan
pemerintah dapat mengayomi seluruh masyarakat tanpa harus melihat perbedaan
dan tendensius terhadap segala dinamika yang terjadi. Dan impian menatap masa
depan yang cerah menjadi keniscayaan.
D. Kesimpulan
Kesadaran umat beragama terhadap perbedaan di Indonesia masih rendah,
hal ini dapat kita lihat dengan konflik kekerasan yang terjadi sejak dahulu sampai
sekarang. Oleh karena itulah diperlukan perubahan sikap atau cara pandang yang
sangat ekslusif menjadi pluralitas karena sudah menjadi realitas dunia dan sosial .
Peranan tokoh-tokoh agama sangat dibutuhkan untuk melakukan
perubahan. Dengan harapan para tokoh agama tidak terjebak lagi pada percaturan
politik. Agar mampu mengelola pembudayaan sikap prilaku individual dan sosial
kepada pembenaran kepentingan dan keyakinan keagamaanya sendiri tanpa
mempedulikan kepentingan umat agama yang lain.
Harapan terbesar bertumpuk pada bahu pemerintah sebagai otoritas dalam
menjalankan proses dinamisasi kehidupan beragama, melalui perubahan metode
pengajaran dan kurikulum yang akomodatif, toleran dan pluralitas.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung:
Mizan, 2000.
Azhari, Kautsar Noer, “Passing Over. Memperkaya Pengalaman Keagamaan”
dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF, Passing Over: Melintas Batas
Agama, h. 256 dikutip dari Abd. Moqsith Ghazali, “Argumen Pluralisme
Agama Membangun Toleransi Berbasis AL-Qur’An” Jakarta: KataKita, 2009.
h.60
Ghazali, Abd. Moqsith, “Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi
Berbasis AL-Qur’An” Jakarta: KataKita, 2009
Departemen Agama RI, Kitab Suci Perjanjian Baru. Jakarta: Lembaga
BiblikaIndoneia,1995
Hadikusuma, H. Himan Antropologi Agama, Bag. II, Cet.I, Bandung: Citra
Aditiya Bakti. 1993
Hartono, “Agama Buddha dan Nilai-Nilai Demokrasi”. Dalam Agama Demokrasi
dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta: LKPSM 1993
Haikal, Husain. Sejarah hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antarnusa, 1990
Hamka, H. Rusjdi. “Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka,” Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1981
Hasyim, Umar.”Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai
Dasar menuju Dialog dan Kerukunan antar Umat Agama” Surabaya Bina
Ilmu, 1991
Imron, Ali. A.M, “Resolusi Konflik Antar Etnik Dan Antar Agama :Perspektif
Multikultural,” Journal kebudayaan, Vol. 4, No. 1, April 2006
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru,( Korea: The Indonesian
Bible Society, 1978
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi
Baru islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995
Muhammad, KH. Husein. “Mengaji pluralism: kepada Mahaguru Pencerahan”.
Bandung: Mizan
Ngadhimah, Mambaul “Potret Keberagaman Islam Indonesia : Studi Pemetaan
Pemikiran dan Gerakan Islam” Innovatio, Vol. VII, No. 14 Juli-Desember
2008.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indoenesia Modern Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991
Shiddiq, H.M.Arfah “Konflik Dan Konformitas Antara Islam Dan Kristen: Studi
tentang Hubungan Beragama di Indonesia” Jakarta: UIN, 2000. Disertasi
Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia Bandung: Mizan 1998
Tajrid, Amir Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai Media Integrasi Sosial:
Ikhtiar Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa. The 9th ACIS.
Surakarta, 2-5 November 2009
Thomas F.O‟dea. Sosiologi Agama, Jakarta, Rajawali Pers, 1987
Verkuyl, J. Etika Kristen Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia 1986

Anda mungkin juga menyukai