Anda di halaman 1dari 68

KONFLIK

AGAMA -AGAMA
DI
INDON ESIA
 Indonesia adalah sebuah negara yang
penduduknya majemuk dari segi suku bangsa,
budaya dan agama. Mereka memandang bahwa
kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk
mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia.
 Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan bangsa
Indonesia.
 Agama mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi
atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga
harus diterima dengan lapang dada dan dihargai,
termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi
keagamaan.
 Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang
ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat
dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan
benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua
aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang
Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan.
 Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu
konflik fisik antara umat berbeda agama.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap
kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang
muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang
permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang,
saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah
seteru masing-masing, dan sebagainya.
Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal,
tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang
kebenaran yang –boleh jadi- terdapat pada umat.
Umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif
dan ambisius yang bertendensi menguasai segala
aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan
Yesus yang terakhir,
“Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil
kepada seluruh makhluk!” (Mat 16: 15)
 Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan
konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik
utama antara umat manusia. Tidak dapat dipungkiri
bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur
masalah kekerasan dan peperangan.
Dalam tradisi Judeo-Christian, Yahweh –sebutan
Tuhan dalam alkitab - digambarkan sebagai “God of
War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18:
40- 41, “
(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk
berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit
melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang
membenci aku kubinasakan.”[1]

 [1] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588
 Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam
sejumlah hal berarti qital (peperangan).[2] Maka,
sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber
konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi
terhadap berbagai konflik sosial.
 Ferguson (1977) mencatat, “Every major religious
tradition includes its justification for violence”.
 Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama
memberikan ajaran dan contoh-contoh yang
melegitimasi

 2] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya pembunuhan. Dalam tradisi Islam
dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh masyarakat, dan memerintahkan
masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[3]
 [3] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
 Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan
agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan
berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama
dan kemudian dicarikan titik temu pada level
tertentu, dengan harapan konflik di antara umat
manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama”
itu didahulukan.
 Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-
agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris,
semuanya sama saja.
 Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan
yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan,[4]
termasuk Islam dan Kristen.
 [4] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang
bernada “menyamakan” agama mulai diungkapkan
oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar
Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
AGAMA
PERAN PEMERSATU ATAU KONFLIK (?)
 Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak
kepada kebaikan. Namun nyatanya tidak semua yang
dianggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan.
 Bahkan, sekali waktu dapat terjadi pertentangan antara
yang satu dengan yang lain. Alasannya tentu bermacam-
macam. Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu
benar. Juga, apa yang benar menurut manusia belum
tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang
dapat dimunculkan.
 Menurut Joachim Wach (sosiologi agama) terdapat dua
pandangan terhadap kehadiran agama dalam suatu
masyarakat
1. Faktor disintegrasi : Agama hadir dengan
seperangkat ritual dan sistem kepercayaan yang
lama-lama melahirkan suatu komunitas tersendiri
yang berbeda dari komunitas pemeluk agama lain.
Rasa perbedaan tadi kian intensif ketika para
pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan
keyakinan bahwa satu-satunya agama yang benar
adalah agama yang dipeluknya.
2. Sedangkan yang lain salah dan kalau perlu
dimusuhi.
2. Faktor integrasi: Masyarakat hidup dalam
suku-suku dengan sentimen sukuisme yang tinggi,
berlaku hukum rimba, biasanya agama mampu berperan
memberikan ikatan baru yang lebih menyeluruh
sehingga terkuburlah kepingan-kepingan sentimen lama
sumber perpecahan tadi.
Agama dengan sistem kepercayaan yang baku, bentuk
ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam
hubungan sosial mempunyai daya ikat yang amat kuat
bagi integrasi masyarakat.[5]

 [5] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and London, 1971, hlm. 35
 Sebelum Islam datang, bentuk persatuan memang
sudah ada dan terjalin kuat di bumi nusantara ini.
Apa yang mengikat?
 Bisa jadi oleh emosionalitas keyakinan pada agama
Hindu atau Buddha, atau bisa saja karena rasa
sukuisme (ikatan agama dalam sosiologi kadang-
kadang di sejajarkan dengan ikatan kesukuan,
bahkan juga nasionalisme. Misalnya oleh Durkheim).
Tetapi pada hal tersebut kita bertanya, sejauh mana
dan seberapa kuat rasa persatuan (integrasi) tadi
terwujud?
 Tanpa mengurangi rasa homat pada Hayamwuruk
dan Gajah mada dari Majapahit dalam merintis
persatuan nusantara, bagaimana pun juga kehadiran
Islam di nusantara mempunyai andil yang amat besar
dalam
 Dalam kaitan ini, thesis yang amat menarik diajukan oleh Prof. Dr.
Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bahwa berkat Islamlah
maka bahasa Melayu berkembang cepat di nusantara ini, yang pada
akhirnya diresmikan sebagai bahasa Indonesia, bahasa nasional.
Mengapa bahasa Melayu yang relatif digunakan oleh kelompok kecil
sanggup mengeser bahasa Jawa yang dominan? Naquib menjawab,
bahasa Jawa telah dirasuki falsafah Hindu yang feodalistik dan
membagi manusia pada kelas-kelas, sementara Islam yang bersifat
demokratis, tidak mengenal kelas. Satu-satunya alternatif yang
tepat adalah berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Jalinan antara
sifat Islam yang demokratis, bahasa Melayu yang digunakan, lalu
disebarkan oleh para pedagang yang merangkap sebagai juru dak-
wah, maka pada waktu yang relatif singkat tersebarlah bahasa
Melayu ke seantero nusantara ini. Islam memperkuat penyebaran
bahasa, bahasa mendorong serta memperkuat timbulnya persatuan
nusantara, dan pada gilirannya lahirlah kesatuan nasional dengan
Islam sebagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan nasionalisme
sebagai pilarnya.[6]

 [6] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu


Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-
Oktober 1991.
AGAMA DAN KONFLIK
 Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di
berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir.
Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama,
seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998),
Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
 Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa
konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena
kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi
politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai
melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh
dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini
bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul
belakangan.
 Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh
faktor keagamaan dan non keagamaan.[7] Berikut ini
keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.

 [7] Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,”
Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.
A. FAKTOR KEAGAMAAN
 Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi.
Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan
atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama
mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan
sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur,
hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam
masyarakat.[8]
 Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.[9] Selain itu,
terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan
disintegrasi,[sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama
menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang
paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau
sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
 Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga
terbuka terhadap aneka penafsiran yang dapat menimbulkan aliran
dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan bertentangan
satu sama lain sehingga memicu konflik.[11]

 [8] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia
Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.
 Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema
tersendiri.
 Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk
pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman
agama dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik
di kemudian hari. Mana diantara potensi tersebut
yang dominan?
 Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang
disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran).
Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-
unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama
sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan
ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow
up menjadi konflik (ajaran) agama.
 Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan
di atas, ada faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak
langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat
beragama. Di antaranya:
 1) Penyiaran agama,
 2)Bantuan keagamaan dari luar negeri,
 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda,
 4) Pengangkatan anak,
 5)Pendidikan agama,
 6)Perayaan hari besar keagamaan,
 7)Perawatan dan pemakaman jenazah,
 8)Penodaan agama,
 9)Kegiatan kelompok sempalan
 10)Transparansi informasi keagamaan dan
 11)Pendirian rumat ibadat.
 Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor
itu. Penyiaran agama merupakan perintah (paling tidak
sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa
disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap
pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan
hidupnya.
 Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan
atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung,
maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat
merusak hubungan antar umat beragama. Untuk
mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan
atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah
mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun
1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama
dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di
Indonesia.
 Faktor lain terkait dengan perkawinan.
 Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar
umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan
dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan
agar berpindah agama.
 Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan
perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung
beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke
agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk
memeluk agama tersebut.[13]
 Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat.
 Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu
hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu
konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas
yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat
dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat
untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan
semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu
kelompok agama.
 Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah
ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak
berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan
penyiaran agama pada komunitas lain. Kasus-kasus
yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi
salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB
Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian
B. FAKTOR-FAKTOR NON KEAGAMAAN

 Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi


sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama meliputi
beberapa hal, antara lain
1)kesenjangan ekonomi,
2) kepentingan politik,
3) perbedaan nilai sosial budaya,
4) kemajuan teknologi informasi dan transportasi.[14]
 Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering
menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka lebih ulet
dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli .
Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat
memicu konflik. Selanjutnya, dalam berbagai kasus,
munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi
keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
 Ketegangan atau konflik di antara elit politik
tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai
pertikaian antar kelompok politik yang berbeda
agama.
 Demikian pula perbedaan nilai budaya juga dapat
menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang
kebetulan menganut agama tertentu mengalami
ketersinggungan karena perilaku atau tindakan
pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda
kurang memahami atau kurang menghargai adat
istiadat, atau budaya yang mereka hormati.[15]
FAKTOR- FAKTOR KONFLIK DITINJAU DARI
ASPEK AGAMA

 Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan


keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga
antar sesama makhluk Tuhan.
 Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut
rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam
semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama
tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial,
agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad
dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri
sebagai sesuatu yang berwajah ganda”[19] Hal ini sama
dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa
agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian,
jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan.
 Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai
sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik
1. ADANYA KLAIM KEBENARAN (TRUTH CLAIM)
 Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada
Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan
wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak
dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang
meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan
secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
 Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya
kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka.
Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme,
ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi
aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual,
eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional,
ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-
lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
 Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang
dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut.
Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya
mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup
kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling
benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan
dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama,
sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat
melahirkan konflik antar agama.
2. ADANYA PENGKABURAN PERSEPSI ANTAR WILAYAH
AGAMA DAN SUKU

 Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan


agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini
bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat
tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperti
dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara
Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden
BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu
agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama
menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah
menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati)
ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali.
Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi
sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.
3. ADANYA DOKTRIN JIHAD DAN KURANGNYA SIKAP
TOLERAN DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA

 Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak


toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal
disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara
memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap
menyimpang.
 Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang
menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam
agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita
akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling
menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang
bertikai tersebut sama-sama palsu.
 Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita
dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan
menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan
menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya
unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di
anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
 Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada
dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti
itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak
berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha
saling menghancurkan antara dia kepalsuan.
 Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu
mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang
semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu
justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak
toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak
mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan
dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi
sumber kebenaran.
4. MINIMNYA PEMAHAMAN TERHADAP IDEOLOGI
PLURALISME
 Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam
komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus
menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada
masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu,
kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah
tidak beralasan.
 Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di
Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya.
Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar
toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang
Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan
dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim,
itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
 Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya,
dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah
Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi
secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa
selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada
tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka
dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu
dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat
alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia
harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik
di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika
pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan,
pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.
PERBEDAAN KONSEPSI DAN SIKAP ANTI AGAMA

 Terhadap konflik yang terjadi antara umat beragama


telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda.
Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa penegasian
dan pengingkaran peran agama dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama
dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus
disingkirkan. Agama dianggap tidak mempunyai
peranan penting dalam kehidupan sehingga harus
disingkirkan. Agama dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinyaa pembunuhan dan kematian di
antara umat manusia, sehingga sudah saatnya
dilenyapkan, sebagaimana dikatakan John Lennon
dalam syair lagunya Imagine, “There is no religion too”.
 Sikap anti agama ini, yang berakar di Eropa, kiranya
dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah Eropa abad
pertengahan yang mengalami ketertinggalan dalam
hampir seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks ini,
agama –yang direpresentasikan oleh para pemuka
agama (Gereja)- dianggap menjadi faktor penghambat
kemajuan Eropa di samping istana dan kaum borjuis.
Menyandarkan peradaban pada nilai-nilai agama
dianggap tidak sesuai dengan semangat Renaissance dan
Humanisme Eropa yang telah mengubah paradigma
Eropa, dari pandangan-pandangan makrokosmos kepada
mikrokosmos, di mana rasionalitas dianggap sebagai
alat pencari dan pengukur kebenaran yang bisa diakui
validitasnya. Paham ini, pada kenyataannya
berkembang terus, di berbagai belahan dunia, baik yang
mayoritas penduduknya Islam maupun Kristen.
WACANA PLURALISME AGAMA
 Gagasan kedua, adalah kelompok yang berupaya “menyamakan” semua
agama. Gagasan ini muncul karena beranggapan bahwa perbedaan
konsepsi agama merupakan sumber konflik umat manusia. Upaya
penyamaan ini biasanya dikamuflasekan dengan paham pluralisme
agama (religious pluralism)
 Adalah John Hick yang dianggap sebagai penggagas pluralisme agama.
Dia mendefinisikan religious pluralism sebagai:
 “Philosophically, however, the term refers to a particular theory of the
relation between these traditions, with their different and competing
claims. This is the theory that the great world religions constitute
variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one
ultimate, mysterious divine reality…Explicit pluralism accepts the more
radical position implied by inclusivism: the view that the great world
faiths embody different perceptions and conceptions of, and
correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and
that within each of them independently the transformation of human
existence from self-conteredness is taking place. Thus the great religious
traditons are to be regarded as alternative esoteriological ‘spaces’ within
which--or ways along which—men and women can find salvation,
liberation and fulfillment.”[23]
 Definisi di atas menyimpulkan bahwa agama-agama besar
mengandung persepsi-persepsi varian dari “yang asal”,
yaitu realitas ketuhanan yang misterius dan respon-respon
terhadapnya. Pada akhirnya John Hick sampai pada satu
kesimpulan bahwa agama pada hakekatnya adalah jalan
yang berbeda-beda menuju tujuan (the Ultimate) yang
sama. The Real atau Yang Ada (Tuhan), hanya Esa,
namun penyebutan dan interpretasi manusia saja yang
berbeda-beda. Pluralisme agama John Hick kelihatannya
adalah bentuk pengembangan dari paham
inklusivisme.[24]
 Dr. J. Verkuil dalam bukunya Samakah Semua
Agama? Memuat kisah Nathan der Weise (Nathan yang
Bijaksana) karya Lessing (1729-1781).
 Kesimpulan dari kisah itu adalah bahwa semua agama
intinya sama saja.
 Intisari agama Kristen, menurutnya adalah Tuhan,
kebajikan, dan kehidupan kekal.Intisari itu, demikian
Verkuil, juga terdapat pd agama Islam, Yahudi, dan
agama lainnya. Konferensi Parlemen Agama-agama di
Chicago tahun 1893,
 Pada level Indonesia, Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla,
dan Prof. Dr. Said Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang
mengusung “pluralitas” dengan tendensi “menyamakan” agama-
agama yang ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, “Semua agama
sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang
paling benar.”[25] Said Agil Siradj menyatakan bahwa agama
Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama yang “sama-sama”
memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid, karena
,secara geneologi, ketiga agama ini, mengakui bahwa Ibrahim
adalah ‘the foundation father’s’[26] Dr. Abdul Munir Mulkhan
menyatakan bahwa agama-agama hanyalah salah satu “pintu”
menuju surga Tuhan yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa
dimasuki dengan keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan,
penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat
agamanya.[27]
 Senada dengan para tokoh pembaharu di atas, Nurcholis Madjid
berpendapat bahwa Islam “bukanlah” nama agama. Dengan
menginterpretasi Q. S. Ali Imran ayat 67, yang menceritakan
tentang polemik kecil antara Yahudi dan Nasrani. Kedua kelompok
ini, demikian Nurcholis, mengklaim Nabi Ibrahim as. masuk ke
dalam golongannya. Lalu Al-Qur’an menegaskan bahwa Ibrahim
adalah “hannifan musliman”. Yang terakhir ini diartikannya
“seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanif), dan
seorang yang berhasrat untuk pasrah”. Ia keberatan bila kalimat
itu diartikan bahwa Ibrahim adalah seorang muslim.[28]
 “Islam” bagi Nurcholis bukanlah nama sebuah agama formal (organized
religion), karena menurutnya, istilah itu muncul pada abad kedua hijrah. Setiap
agama yang mengajarkan sikap tunduk dan berserah diri, dalam pandangannya,
adalah Islam. Karenanya, bukan hanya Islam (sebagai organized religion),
namun Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan lain-lain adalah Islam.[29]
 Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para penganut paham pluralisme
beragama menganggap bahwa, terlepas dari perbedaan-perbedaannya, esssensi
agama-agama adalah sama. Sebab sumbernya adalah sama, yaitu Yang Mutlak
(Tuhan). Jika terjadi perbedaan bentuk, ini disebabkan karena perbedaan
manifestasi dalam menanggapi Yang Mutlak. Sehingga, walaupun pada aspek
eksoterisnya berbeda, namun pada level esoteris, kondisi internal atau batin,
akan didapat titik temu. Dengan paham ini, maka tidak benar (dan tidak
dibolehkan) sikap masing-masing agama yang menganggap memiliki kebenaran
secara mutlak (truth claim).
 Pada level keindonesiaan, cendekiawan yang tergolong pluralis mengindikasikan
betapa banyaknya konflik antar umat beragama (baik antar maupun intern)
disebabkan karena sikap eksklusif para pemeluknya terhadap ajaran agama
mereka. Yang terakhir ini, menurut mereka, cenderung menjadi “pemberhalaan”
konsep ajaran agama itu sendiri, sehingga lupa pada essensi agama yang
sebenarnya yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Karena –mengutip
istilah Nurcholis Madjid- sebaik-baik agama di sisi Allah (baca: Yang Mutlak-
pen) ialah al-hanafiyat al-samhah, semangat kebenaran yang lapang dan
terbuka.[30] Karena itu, dengan perspektif “Teologi Inklusif”, kelompok ini
berpendapat bahwa pandangan subjektif seperti , “Hanya agama sayalah yang
memberi keselamatan, sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan”
akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, dan
berimplikasi serius atas
 terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan.[31]
Kelompok pengusung pluralisme agama, dalam
prakteknya telah bertindak tidak hanya sebatas wacana.
Sejumlah sikap dan tindakan konkret mereka perlihatkan
dalam mewujudkan “sikap toleransi” dan “keterbukaan”
untuk menerima kebenaran dari berbagai “pintu/ jalan”
(baca: agama). Perkawinan antara laki-laki dan
perempuan yang berlainan agama, atau konversi dari
Islam ke Kristen dan sebaliknya adalah hal yang dianggap
mereka “lumrah”, dan tidak harus dipersoalkan. Sebab,
bagi mereka, kebenaran mutlak hanya “satu”, hanya
interpretasi dan implementasinya saja yang berbeda di
tengah-tengah masyarakat.

 Gagasan pluralisme yang cenderung menyamakan agama-agama jelas
merupakan sesuatu yang absurd dan tidak sesuai dengan realitas
bahwa konsepsi masing-masing agama memang berbeda. Tidak hanya
pada level eksoteris, bahkan pada level esoteris pun, jika dikaji lebih
dalam menimbulkan pertanyaan, apakah benar semua agama sama
pada level ini. Adalah sesuatu yang mustahil “mempersatukan”
agama-agama, sementara konsep masing-masing agama tentang
“Tuhan”, misalnya, berbeda antara satu dengan lainnya.
 Walaupun benar bahwa ada konflik-konflik horizontal yang
disebabkan karena perbedaan konsepsi agama, seperti yang terjadi
pada konflik antara Katolik dan Protestan di Eropa (khususnya
Irlandia Utara), dan antara Sunni dan Syi’ah di dunia Islam (misalnya
Irak), atau Perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa Eropa
(1096- 1271). Konflik Ambon, yang pernah terjadi di Indonesia, juga
disinyalir disebabkan karena perbedaan konsep agama (walaupun
faktor-faktor lain, seperti kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya turut
juga berperan). Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang dalam
pertikaian panjang dan melelahkan itu. Namun, jauh lebih banyak
konflik yang terjadi “bukan” karena perbedaan konsep agama. Perang
Dunia I dan II, dan Perang Dingin antara Eropa Barat plus Amerika
Serikat dengan Eropa Timur, serta Perang Saudara di Amerika
Serikat adalah beberapa contoh, di mana
 Konflik Islam- Kristen yang terjadi di beberapa tempat,
jika dianalisa lebih dalam, ternyata tidak disebabkan
karena perbedaan konsepsi keagamaan. Adian Husaini
mengatakan bahwa konflik Islam-Kristen yang pernah
terjadi di Rengasdengklok, Situbondo, dan Tasikmalaya
ternyata terkait dengan masalah politik, ekonomi,
sosial, penyebaran agama, pembangunan rumah ibadah
dan sebagainya. Dibandingkan masa-masa sebelumnya
dalam perjalanan sejarah bangsa ini, ternyata konflik
antara Islam-Kristen lebih banyak terjadi di masa Orde
Baru (juga pada masa pasca Reformasi sekarang), pada
saat mana, negara secara sistematis melaksanakan
program sekulerisasi dan menekan wacana ideologis
dan keagamaan.[32]
 Menyamakan semua agama adalah suatu gagasan
yang jelas-jelas mengingkari kenyataan bahwa
masing-masing agama memang berbeda. Tuhan dalam
Islam tidaklah sama dengan Tuhan dalam Kristen
(dan juga agama lain). Tuhan dalam Islam adalah
Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, serta Maha Kuasa. Dia tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satu
pun yang menyerupai-Nya.[33] Allah tidak terjangkau
panca indra dan akal manusia yang terbatas
kemampuannya. Dia –Allah- jelas tidak sama dengan
pemahaman umat Kristen (Katolik dan Protestan)
tentang Tuhan Yang Maha Esa, namun terdiri atas
tiga oknum yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh
Kudus.
 Konsep-konsep tentang peribadahan dalam Islam
haruslah semua yang ditentukan oleh Allah dan
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Substansi
peribadahan Islam adalah ketundukan dan ketaatan
pada Allah, namun tata cara peribadahan itu diatur
oleh Allah. Jadi bukan dilakukan sesuai dengan
kehendak manusia –apalagi sejarah- untuk
membentuk ritualitas tertentu. Sejarah menunjukkan
bahwa Islam mengecam tata-cara ibadah orang-orang
kafir yang musyrik. Nabi Muhammad SAW. menolak
untuk secara bergantian beribadah dengan cara Islam
dan kafir, walaupun orang-orang kafir menyatakan
bahwa Tuhan-tuhan yang mereka sembah hanyalah
sarana menuju Tuhan Yang Maha Esa.[34]
PERJUMPAAN ISLAM DAN KRISTEN

 A. Sejarah Singkat Masuknya Agama Islam di


Indonesia
 Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam datang
ke Indonesia pada abad ke-13, yang dibawa oleh
para pedagang India yang menganut paham
sufisme (mistik Islam).1454
 Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih
menekankan pada pengertian agama sebagai
urusan pribadi seseorang dalam usahanya untuk
mencari hubungan yang intim dengan Allah
Hubungan pribadi ini mencari suatu keakraban
hidup dengan Allah, dan yang berpusat pada
kepuasan dan kehangatan hati atau perasaan.
 Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya adalah
religion of the heart atau agama hati, dan bukan
religion of the law atau agama hukum. Atas dasar ini,
maka memang berbeda dengan perjumpaan Islam -
Kristen di Eropa pada abad-abad pertama Hijriyah,
yang ditandai oleh konfrontasi dan kekerasan, maka
penyebaran agama; Islam ke dunia timur, termasuk ke
Indonesia adalah melalui jalan dagang dan jalan damai.
Sebagai kekuatan, Islam pada mulanya mengambil
posisi di daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai
utara Jawa dan pantai timur Sumatera. Dari daerah
pantai dan pusat dagang ini, Islam menyebar secara
berangsur-angsur dan secara damai ke daerah-daerah
pedalaman.
 Memang para sufi inilah, menurut para ahli. yang telah
berhasil membuat Islam para raja dan menjadikan
mereka sultan yang mengepalai pemerintahan dalam
suatu daerah Islam. Begitu raja menjadi Islam, maka
rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang
sultan. Proses pengislaman seperti ini merupakan hal
yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala yang
sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi
abad ke-16. Jika kita mengamati perkembangan Islam
di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar ke
seluruh nusantara. Dan untuk kurun waktu kira-kira
600 tahun, keadaan Islam versi sufi ini tetap
berlangsung tanpa gangguan yang berarti.
 Sufisme memiliki keluwesan sebagai agama pribadi,
maka dengan mudah berbaur dengan unsur-unsur
kepercayaan pribumi, dan pembauran antara unsur
inilah yang disebut sebagai abangan dalam keagamaan
jawa. Dengan demikian dapat pula kita mengerti bahwa
versi abangan seperti ini telah mengambil kedudukan
yang sukar digoyahkan di hati sebagian besar umat
Islam di Indonesia. Sebab itu, walau di abad ke-19, versi
Islam Sunni atau Islam ortodoks yang disebut golongan
santri tiba di nusantara ini, kemudian mengadakan
gerakan pemurnian (reislamisasi), kelihatannya sampai
pada saat inipun belum berhasil untuk mengambil alih
kekuatan golongan abangan ini terkecuali di beberapa
tempat di luar Jawa dan di Jawa Barat.1455
B. SEJARAH SINGKAT MASUKNYA AGAMA
KRISTEN DI INDONESIA

 Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah mendapat jalan


laut ke timur: Vasco De Gama tiba di pantai India pada tahun
1498. Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal Portugis
mengunjungi kepulauan rempah-rempah, Maluku, untuk
pertama kali, dan sejak tahun 1522 mereka tinggal tetap di
Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk
berdagang.
 Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan Portugis, maka
salah satu syaratnya ialah raja-raja harus memajukan misi
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada
mereka. Tuntutan ini memang sesuai dengan pertalian rapat
antara negara dan gereja pada zaman itu, dan raja-raja
dengan rela hati melayani kepentingan gereja.
 Misionaris yang pertama-tama menginjakkan kakinya
di pulau-pulau Maluku, ialah beberapa rahib
Franciskan yang mendarat di Ternate pada tahun
1522, tetapi karena rupa-rupa perselisihan di antara
orang Portugis sendiri, mereka segera terpaksa
berangkat pulang. Lalu, mereka mulai bekerja di
Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan
pembesar Portugis, rakyat bermufakat untuk mengusir
semua orang kulit putih dan memaksa orang yang
sudah masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz,
seorang pater Franciskan, mati dibunuh selaku syahid
pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini ditindas,
dan kemudian pater lain berusaha lagi untuk
menanamkan bibit agama Roma di Halmahera. Di
Ambon sebagian rakyat dibaptiskan, karena ingin
mendapat pertolongan Portugis terhadap orang Islam.
 Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan misionaris
Yesuit yang masyhur, yaitu Franciscus Xaverius ke Maluku.
Setelah mempersiapkan diri beberapa bulan lama di Maluku
dengan mempelajari bahasa Melayu, Xaverius tiba di Ambon
pada bulan Februari 1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana,
ia mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai. Setelah 15
bulan bekerja di Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.
 Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa
bencana yang hebat. Sultan Hairun dari Ternate dibunuh
dalam benteng Portugis dengan pengkhianatan yang keji.
Akibatnya ialah banyak kampung Kristen dibakar oleh orang
Islam, Bacan dikalahkan oleh Ternate, sehingga hilang bagi
misi, dan di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat
Kristen bertambah berbahaya sehingga banyak orang murtad.
Kedudukan misi makin hari makin sukar, orang Portugis
dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang
Kristen berkurang. Kebanyakan mereka secara nama saja.
Jumlah para misionaris yang tinggal cuma sedikit dan mereka
menderita pelbagai sengsara. Makin sukar kuasa Portugis,
maka makin lenyaplah pengaruh misi.
 Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan Portugis,
orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka mengambil
alih daerah yang dikuasai Portugis. Orang-orang Kristen
dijadikan Protestan. Itulah awalnya Gereja Protestan
memasuki wilayah nusantara ini.
 Para Pendeta Protestan datang bersama-sama dengan
kekuasaan Belanda dengan kongsi dagangnya yaitu VOC.
Gereja terlalu erat berhubungan dengan negara (VOC) dan
dikuasai olehnya.
 Karena kepentingan gereja harus mengalah terhadap
kepentingan negara (VOC), maka pekabaran Injil kepada
orang-orang non Kristen tidak dapat berkembang.
 Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu gerakan yang
membawa hidup baru, yaitu revival (kebangunan) yang besar.
Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan gereja di Indonesia. Abad ke-19 ini menjadi
abad "Pekabaran Injil" bagi Indonesia. Dalam abad ke-19 dan
awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang ada
sekarang ini.1456
C. KONFLIK ISLAM - KRISTEN DI INDONESIA

 Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya


dalam suasana yang kurang bersahabat, terutama
berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama,
khususnya agama Islam.
 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16,
terjadi konflik yang disertai dengan penindasan fisik dan
mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di
Maluku.
 Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut
berubah dalam hubungan Islam - Kristen di Indonesia.
Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang
memberikan keleluasaan yang besar kepada Islam untuk
turut mendukung berbagai rencana pengukuhan
kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
 Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri
sejak awal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilihat
sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus
merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam
umat.
 Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi
Selatan adalah penampakan ketidakpuasan sebagian santri
terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di
Indonesia.
 Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank,
beberapa gereja, dan Sekolah Teologia. Walaupun
pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang
tersangkut dalam peristiwa itu, namun adalah jelas dalam
kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum Islam
fundamentalis terlibat.
 Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di
Indonesia bahwa bangkitnya oposisi keras Islam mengambil
bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti
Kristen.
 Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai
dengan berbagai kerusuhan di berbagai tempat di
Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah
kota di sebelah timur ibu kota DKI Jakarta
mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara
SARA, dimana berapa gedung gereja dan SD Kristen
dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa
serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah
Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April, beberapa
Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa,
bahkan ada anggota jemaat yang dipukuli oleh massa
yang marah dan brutal.
 Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa
Barat itu ternyata berkembang dan menjalar ke kota
Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10
gedung gereja dirusak oleh massa.
 Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan
lebih luas menimpa kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari
20 gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen dihancurkan
dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota
Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk
dan menghancurkan berbagai fasilitas umum, kantor polisi,
dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung
gereja dihancurkan sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan
Katolik dibakar.
 Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali
terjadi kerusuhan di daerah Jawa Barat, yaitu kota
Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah
Kristen dihancurkan dan sebagian dibakar massa.
 Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya
kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun
berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat
sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat
beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.
SEBAB TIMBULNYA KONFLIK
MASYARAKAT BERAGAMA
 Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi
masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat
kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain,
agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat
beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa
tempat di Indonesia.
 Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar
masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam
perspektif sosiologi agama.
 Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal
pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari
agama.1457
 Dengan menggunakan kerangka teori Hendropuspito, penulis
ingin menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam -
Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
A. PERBEDAAN DOKTRIN DAN SIKAP MENTAL

 Semua pihak umat beragama yang sedang


terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin
itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.
 Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai
gambaran tentang ajaran agamanya,
membandingkan dengan ajaran agama lawan,
memberikan penilaian atas agama sendiri dan
agama lawannya. Dalam skala penilaian yang
dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan
kepada agamanya sendiri dan agama sendiri
selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan
lawan dinilai menurut patokan itu.
 Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama
samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari
wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai
agama yang berasal dari Tuhan.
 Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok
masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi
golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan
dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam
adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam
sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian
pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi
itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai
masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih
berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat
Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang
toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis
keras.1458
 Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan
kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil
sebagai pemicu konflik.
B. PERBEDAAN SUKU DAN RAS PEMELUK AGAMA

 Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama


memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan
suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi
penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar
kelompok dalam masyarakat.
 Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku
Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam
dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu
hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam
konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman
dan keamanan.
 Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti:
Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang
mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di
Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan
yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok
pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari
Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras
disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
C. PERBEDAAN TINGKAT KEBUDAYAAN
 Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia.
Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa
di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua
kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional
dan budaya modern.
 Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok
masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu,
nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu.
Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang
sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang
memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu
bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang
mewah.
 Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda
agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor
pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar
kelompok agama di Indonesia.
D. MASALAH MAYORITAS DA MINORITAS
GOLONGAN AGAMA

 Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab.


Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab
terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas
golongan agama.
 Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang
mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok
mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan
mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang
Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak
kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas
daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni
orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang
Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami
kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran
gedung-gedung ibadat.
DIALOG SEBAGAI SARANA
MENGATASI KONFLIK
 Pada bagian ini akan diuraikan peranan dialog
sebagai salah satu alternatif pemecahan dan
pencegahan konflik antar kelompok agama di
Indonesia.
A. Kepentingan Dialog
 Dialog menjadi suatu kebutuhan dan keharusan
dalam kehidupan kebersamaan dari segenap
warga dunia ini disebabkan oleh pelbagai faktor
yang dapat ditemukan baik dalam
perkembangan dunia sendiri maupun dalam
perkembangan dan perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam pandangan agama-agama
sendiri.
 Ada berbagai faktor kepentingan dari dialog, antara lain:
pertama, kenyataan dunia ini semakin menjadi majemuk
dalam kawasan keagamaan dewasa ini. Serentak dengan itu,
dalam diri agama-agama dunia sendiri telah tumbuh dan
berkembang pemahamannya tentang dunia ini sebagai
keseluruhan, bersamaan dengan itu telah timbul semangat
misioner dari masing-masing agama dunia. Kedua, dalam
konteks Indonesia, agama Islam dan agama Kristen
menghadapi tantangan yang sama saat ini yaitu
materialisme dot sekularisme. Sehingga wajar jika saling
memperkuat satu sama lain dan mengadakan pendekatan
suka damai dan suka membangun. Keempat, kenyataan
konflik yang terjadi di Indonesia antara Islam Kristen
banyak disebabkan diantaranya adalah karena salah
pengertian dan miskomunikasi, perasaan curiga, dan
cemburu antar kelompok dalam masyarakat.
B. Batasan Dialog
 Dialog adalah suatu percakapan yang bertolak pada upaya
untuk mengerti mitra percakapan dengan baik, saling
mendengar pendapat masing-masing. Karena itu, dialog
merupakan pertukaran pikiran yang di dalamnya peserta
mengungkapkan pendapat atau keyakinannya,
mempertimbangkannya, dan berusaha memahami
pendapat orang lain.
 Dialog dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama:
Dialog Formal, yaitu suatu dialog yang membahas suatu
tema tertentu dalam suatu pertemuan, yang
pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing.
Kedua: Dialog Informal, yaitu suatu dialog yang terjadi
dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerjasama, dan hubungan
sosial antar umat yang berbeda agama. Melalui
kesempatan itu, mereka saling mengenal satu sama lain.
C. SIKAP DALAM DIALOG

 Yang menentukan dalam hubungan antar agama adalah sikap


dasar manusia di hadapan Tuhan. Karena sikap mendasar
dalam dialog adalah sikap rendah hati di hadapan Tuhan dan
keterbukaan hati.
 Orang Kristen mengambil bagian di dalam dialog dengan orang
Islam dengan sikap: pertama, kita ambil bagian dalam dialog
dengan Islam dalam keyakinan kita semua memiliki sifat umum
(common nature) sebagai yang diciptakan oleh Allah yang satu,
yang adalah Bapa bagi semuanya. Kita semua hidup dari
anugerah-Nya, dan kita semua bertanggung jawab kepadaNya.
Kedua, kita berdialog dengan keyakinan bahwa kita anggota
tubuh Kristus yang diutus Allah Bapa untuk melanjutkan misi
Kristus. Dialog merupakan panggilan misi kristiani. Karena
Allah datang ke dalam dunia melalui Kristus yang menjadi
manusia dan berdialog dengan bahasa manusia. Ketiga, kita
ambil bagian dalam dialog dengan Islam, dalam keyakinan dan
pengharapan bahwa Roh Kudus dapat dan akan menggunakan
dialog ini untuk melakukan karya-Nya.
D. SARAN PRAKTIS UNTUK DIALOG
 Ada hal-hal praktis yang perlu diperhatikan dalam dialog
antara lain: pertama, kita memerlukan pendalaman
tentang isi kepercayaan atau agama kita sendiri. Kita
mesti mampu menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman
kita, tradisi gereja, dan lain-lain yang berkaitan dengan
gereja kita sendiri. Kedua, kita memerlukan pemahaman
tentang agama mereka (Islam). Ketiga, kita harus bersikap
saling menghormati tanpa memandang latar belakang,
mayoritas atau minoritas, dan lain-lain. Keempat, dialog
tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau menuju
sinkretisme. Dialog bukanlah pengganti atau identik dari
misi namun melalui dialog kesaksian kristiani bisa
diungkapkan.
 Dalam dialog informal, selain kaidah-kaidah agama secara
umum, maka nilai-nilai budaya, sikap etis, dan penampilan
kita akan sangat berperan dalam membantu proses dialog.
 Konflik antar kelompok beragama khususnya Islam dan
Kristen di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang
dan disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks.
Warisan sejarah datangnya Islam dan Kristen ke Indonesia,
ikut mempengaruhi terjadinya konflik. Di samping masalah
suku dan ras, doktrin, dan mental penganut, tingkat
kebudayaan masyarakat serta masalah mayoritas dan
minoritas.
 Cara pencegahan yang penting untuk dikembangkan
mengatasi konflik antar kelompok agama yaitu melalui
dialog. Dalam dunia yang semakin maju dan tanpa batas,
kita tidak bisa lagi hidup sendiri lepas dari pertemuan
dengan umat yang berbeda agama. Karena itu wacana
dialog antar kelompok masyarakat, khususnya dialog umat
Islam dan Kristen harus terus diupayakan dan
dikembangkan.
KESIMPULAN

 Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama


Islam, bukanlah alasan dan sebab utama yang
memicu konflik antar umat Islam dan Kristen (serta
umat beragama lain). Sejumlah kajian dan penelitian
menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya
terletak pada faktor internal dan eksternal umat.
Tidak hanya di negara-negara yang penduduknya
minoritas Muslim (misalnya: Filipina), bahkan di
negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti
Indonesia gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam
harus “berhadapan” dengan peradaban global yang
sekuler, kapitalistis, dan bersemangat hedonistis.
 Politik Islam negara-negara Barat yang berabad-abad
menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh upaya
pembangunan di masing-masing negara dengan patron
mengikuti Barat yang pernah menjajahnya membuat peran
umat ini (Muslim) semakin lama semakin berkurang.
Marginalisasi peran politik, ekonomi dan kebudayaan,
menyebabkan kaum muslim mengalami disposisi dan
disorientasi.
 Untuk level Indonesia, faktor di atas, diikuti dengan upaya
pemerintah memberikan “kebebasan” berbuat kepada umat
Kristen , sehingga walaupun secara kuantitatif jumlah
mereka kecil, namun secara kualitatif, peran politik, ekonomi,
dan menentukan arah nilai-nilai moral –bahkan peradaban
masa depan bangsa ini yang diberikan kepada mereka relatif
besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka dapat dilihat
pada berkembangnya cara hidup kebaratbaratan di tengah
umat.
 Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini
diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada
Islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi
juga menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok
ini, yang nota bene adalah penganut pluralisme agama,
mudah tersengat dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam
fundamentalis”, yang dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal,
bangkitnya “Islam fundamentalis”, menurut G. H. Jansen,
“adalah reaksi terhadap masalah bagaimana mengahadapi
tantangan cara hidup Barat yang telah menjadi cara hidup
dunia.”[40] Kelompok terakhir ini, yang senantiasa
termarginalkan, didorong oleh semangat membebaskan umat
dari materialisme yang sesat, yang mendorong pada suatu
kesadaran hakiki, bahwa agama merupakan suatu kebutuhan
batiniah dan sekaligus kebutuhan intelektuil manusia.
Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi, mereka
adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk
melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban
kontemporer yang rapuh. Sehingga, seandainya pun terjadi
benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis,
 Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini
diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada
Islam) yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga
menjangkiti sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang
nota bene adalah penganut pluralisme agama, mudah tersengat
dan curiga pada gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”, yang
dinilai “ekstrem” dan “militan”. Padahal, bangkitnya “Islam
fundamentalis”, menurut G. H. Jansen, “adalah reaksi terhadap
masalah bagaimana mengahadapi tantangan cara hidup Barat
yang telah menjadi cara hidup dunia.”[40] Kelompok terakhir ini,
yang senantiasa termarginalkan, didorong oleh semangat
membebaskan umat dari materialisme yang sesat, yang
mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama
merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus kebutuhan
intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh
jadi, mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja
keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan
peradaban kontemporer yang rapuh. Sehingga, seandainya pun
terjadi benturan dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis,
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 Eliade (ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New
York, 1987, Vol. 12
 Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar
Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15
 Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 2004
 Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003
 Jansen , G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980
 Kurtz, Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.
 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
 Madjid, Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001
 Mische, Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork:
Peter Lang Publishing Inc., 2001)
 Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta,
2002
 Mulkhan, Abdul Munir, Dr., Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2002
 Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001
 Rasyid, Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta, 2002
 Syalaby, Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag.,
Pustaka Da’i, Jakarta, 2004
 Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan
(PKSK), Jakarta, 1997

Anda mungkin juga menyukai