Anda di halaman 1dari 19

PEMBERONTAKAN DI/TII

Kelompok 2 :
-

Andhika Setyawan P.
Nur Salsabila
Nurfitria Rahmasari
Nursyifa Azizah
Nurul Qamariah

XII IPA 1
SMAN 1 MARABAHAN
2016

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya-lah maka kami telah menyelesaikan makalah berjudul "PEMBERONTAKAN DI/TII" dengan
tepat waktu.
Makalah ini kami susun sebagaimana materi yang terdapat di dalam mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Materi tersebut kami ambil dari berbagai sumber dan beberapa situs dari internet.
Dengan demikian, para pembaca bisa memperluas wawasannya, memahami dan mengaplikasikan isi
makalah dalam kehidupan sehari-hari.
Kami berharap makalah ini bisa membantu siswa-siswi lain untuk memahami tentang
pemberontakan DI/TII. Kritik dan saran yang membangun selalu kami harapkan dalam pembuatan
makalah berikutnya. Dan kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dalam penyusunan
makalah ini.

Marabahan, Oktober 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Darul Islam (juga dikenal dengan Negara Islam Indonesia/NII) yang artinya adalah "Rumah
Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12
Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa
Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan
saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema
sebagai presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan
kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara
teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang
berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undangundangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al
Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban
negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang
keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum
kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat
(berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan
Kalimantan . Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi
terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh
pemerintah Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.

Apa itu gerakan DI/TII?

2. Siapa yang mempelopori berdirinya gerakan tersebut?


3. Apa upaya Pemerintah dalam menertibkan gerakan DI/TII?

4. Kapan masa berakhirnya gerakan DI/TII


C. TUJUAN PENULISAN
Menjelaskan hal-hal mengenai gerakan DI/TII yang terjadi pada pasca kemerdekaan
Republik Indonesia, dan para tokoh pelopornya.
D. METODE PENULISAN
Makalah ini ditulis dengan melakukan kajian pustaka pada sumber-sumber bacaan yang ada.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Bendera NII

Bendera NII adalah bendera bergambar bulan dan bintang di tengahnya dengan latar
merah putih. Warna merah putih melambangkan negara Indonesia, sedangkan bulan
bintang merupakan simbol umat Islam.
B. GERAKAN DI/TII
Kata Darul Islam yang sering disingkat DI berasal dari bahasa arab Dar al-Islam
yang secara harfiah berarti rumah atau keluarga Islam. Dengan begitu Darul Islam
dapat diartikan sebagai dunia atau wilayah Islam. Dimana keyakinan Islam dan peraturanperaturan berdasarkan syariat Islam merupakan sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan. Dimana lawan dari Darul Islam itu sendiri adalah Darul Harb yang berarti
wilayah perang, atau dunia kaum kafir, yang berangsur-angsur ingin dimasukan ke dalam
Darul Islam.
Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk gerakan-gerakan sesudah
tahun 1945 yang berusaha merealisasikan cita-cita mereka untuk mendirikan sebuah
Negara Islam. Meski sebenarnya pada awalnya sempat beredar kabar, bahwa sebenarnya
DI itu adalah singkatan dari Daerah I, dan artinya tidak dipahami secara umum. Menurut
Alers, kata itu seakan-akan Negara kesatuan. Namun, berbeda dengan Alers, Pinardi
mengemukakan bahwa latar belakangnya adalah suatu pembedaan terhadap daerah dalam
negara Islam. Daerah I adalah daerah pusat negara, yang sepenuhnya dikuasai Oleh
suatu pemerintahan Islam dan diatur sesuai dengan hukum Islam. Daerah II terdiri dari

daerah-daerah di Jawa Barat yang hanya sebagian saja dikuasai oleh Negara Islam,
sedangkan dalam Daerah III untuk daerah yang belum dikuasai oleh Negara Islam.
Lepas dari apa yang diungkapkan oleh Alers maupun Pinardi sendiri, Darul Islam
telah dicatat dalam sejarah sebagai sebuah gerakan pemberontakan yang berusaha
mendirikan Negara Islam, sementara saat itu Indonesia telah berdiri dan merdeka sejak
tanggal 17 Agustus 1945.
C. BERDIRINYA DI/TII
Dibalik kemunculan dari Darul Islam itu sendiri sebenarnya ada dua tokoh yang
tercatat berperan dalam membentuk gerakan ini. Tokoh pertama adalah Kiai Jusuf
Tauziri, ia sebutkan sebagai pendiri gerakan Darul Islam pada tahap pertama, sebagai
gerakan Islam yang damai. Yang kemudian ia menarik dukungannya dari Kartosuwirjo
dikarenakan memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Namun, tokoh yang benar-benar identik dengan gerakan Darul Islam ini adalah
Kartosuwirjo, sosok yang bernama lengkap Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo ini adalah
keturunan Jawa. Meski hampir seluruh karirnya banyak terjadi di Jawa Barat. Ia
bukanlah pribumi Jawa Barat. Ia lahir di Cepu ( Jawa Tengah), antara Blora dan
Bojonegoro, di perbatasan dewasa ini antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada 7
Februari 1905.
Ia mendapat pendidikan Barat pada sekolah dasar dan sekolah menengah yang
menggunakan bahasa Belanda. Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren.
Bahkan diceritakan ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang Bahasa
Arab dan Agama Islam. Dari tahun 1923 sampai tahun 1926 ia mengikuti kursus persiapan
pada Nederlands Indische Artsen School (NIAS), yaitu Sekolah Ketabiban Hindia
Belanda di Surabaya. Di Kota itu kemudian ia bertemu dengan H. Oemar Said
Tjokroaminoto, yang kemudian menjadi ketua PSII, serta menjadi bapak angkatnya.
Menurut Pinardi, Kartosuwirjo berhasil memulai studinya dalam ilmu kedokteran
dalam tahun 1926, tetapi setahun kemudian ia dikeluarkan dikarenakan kegiatan politik
yang dilakukannya. Dari tahun 1927 sampai tahun 1929

menjadi sekretaris pribadi

Tjokroaminoto. Dan disebutkan dari pengalaman yang didapatkan dari pemimpin PSII
inilah, terbesit niat Kartosuwirjo untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan
Islam.
Tahun 1929 Kartosuwirjo pindah ke daerahMalangbong dekat Garut, bagian timur
Jawa Barat, daerah asal istrinya. Ia kemudian bekerja pada PSII di daerah tersebut.

Dan sewaktu berusia 26 tahun ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PSII pada tahun
1931. Dan kemudian setelah meninggalnya Tjokroaminoto (1934), Wondoamiseno terpilih
menjadi ketua PSII, dan Kartosuwirjo sebagai wakilnya pada tahun 1936.
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya terjadi pertentangan ditubuh PSII
sendiri, berkaitan dengan kerjasama dengan pemerintah kolonial. Kartosuwirjo berada
pada pihak nonkooperasi, ia kemudian dianggap radikal dan dikeluarkan dari PSII.
Namun Kartosuwirjo tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian membentuk PSII
tandingan pada tanggal 24 April 1940 di Malangbong bersama Kamran, yang kemudian
menjadi komandan Darul Islam. Pada saat itu Kartosuwirjo juga mendirikan pesantren di
daerah Malangbong. Bernama institute Supah atau Institut Suffah. Semula institute ini
dimaksudkan sebagai latihan kepemimpinan dalam bidang politik-keagamaan. Namun
kemudian berubah menjadi suatu pusat latihan untuk pasukan gerilya dimasa mendatang
(seperti Hizbullah dan Sabilillah) dikarenakan pada masa pendudukan Jepang, semua
kegiatan partai politik dibekukan. Dimana hal ini sebenarnya merupakan bentuk
penyebaran propaganda dari Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam
Berkaitan dengan Darul Islam Kartosuwirjo dikatakan sempat memproklamirkan
Negara Islam Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945, karena gagasan mendirikan
Negara Islam Indonesia itu sendiri sebenarnya telah dicanangkan oleh Kartosuwirjo
sejak tahun 1942. Namun ia dan gerakannya kemudian kembali ke Republik, saat
Indonesia diproklamirkan. Ia juga kemudian menjadi anggota pengurus besar partai
Masyumi. Ia merangkap sebagai Komisaris Jawa barat, dan sekretaris I partai tersebut.
Selain itu pada masa jabatan cabinet Amir Sjarifuddin tanggal 3 Juli 1947, Kartosuwirjo
sempat ditawari sebagai menteri muda pertahanan kedua, yang kemudian ditolak oleh
sosok itu.
Pada saat agresi militer pertama Belanda, Kartosuwirjo bersama gerakan DI-nya
bergerak mendukung Republik untuk menghancurkan kekuatan Belanda. Tapi kemudian
saat dilakukan persetujuan perjanjian Renville, 8 Desember 1947. Pasukan TNI harus
meninggalkan wilayah Jawa Barat,

namun, Kartosuwirjo yang memimpin Hizbullah dan

Sabilillah tidak hijrah, dan bertahan di Jawa Barat. Sehingga kemudian ia membentuk
Darul Islam dan mengganti tentaranya menjadi TII (Tentara Islam Indonesia), yang
bermarkas di Gunung Cepu. Pada akhirnya ini berujung pada sebuah proklamasi
pembentukan Negara Islam Indonesia, dengan Kartosuwirjo sebagai Imamnya.

Menurut C.A.O. Van Nieuwenhuijze menyebutkan bahwa seorang Kiai bernama


Jusuf Tauziri sebagai pemimpin kerohanian gerakan DI (Darul Islam) selama tahap
pertama. Kemudian seperti yang dikatakan oleh Hiroko Horikoshi, Kiai Jusuf Tauziri
menarik dukungannya ketika Kartosuwirjo memberontak terhadap Republik 1949. Setelah
memutuskan hubungan dengan Kartosuwirjo, dia menjadi pemimpin Darul Islam, Dunia
Perdamaian, suatu gerakan untuk mendirikan negara Islam dengan cara damai.
Namun, banyak literatur sejarah mengungkapkan bahwa Kartosuwiryo-lah
pemimpin atau pendiri dari Darul Islam. Ia jugalah yang memproklamirkan Negara Islam
Indonesia pada hari-hari sekitar menyerahnya Jepang.
Pembentukan Darul Islam dan TII (tentara Islam Indonesia) sendiri disebutkan sebagai
respon negative yang diberikan oleh pihak Kartosuwirjo atas adanya perjanjian Renville,
antara pemerintah dan pihak Belanda. Kesepakatan yang mengharuskan TNI menarik diri
dari Jawa Barat, hal ini ditolak oleh Kartosuwirjo, dan Pasukannya, yang kemudian
membentuk gerakan Darul Islam dengan pasukan yang berganti nama menjadi TII
(tentara Islam Indonesia)
D. PEMBERONTAKAN DI/TII
Menurut Alers, sebenarnya pada tanggal 14 Agustus 1945, Kartosuwirjo sudah
memproklamirkan suatu negara Darul Islam yang merdeka. Tetapi setelah tanggal 17
Agustus 1945 ia memihak Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.
Kemudian pada saat Belanda melancarkan agresi militer I terhadap Republik Indonesia
pada tanggal 21 Juli 1947, Kartosuwirjo menyerukan Perang suci menentang Belanda pada
tanggal 14 Agustus.
Kartosuwirjo beserta gerakan DI-nya sebenarnya mendukung Republik dalam
perjuangan melawan Belanda, seperti juga yang dilakukan oleh pasukan Hizbullah dan
Sabilillah yang ada di Jawa Barat, di bawah pimpinan Kamran dan Oni. Namun masalah
kemudian muncul ketika Indonesia melakukan perjanjian Renville dengan pihak belanda.
Darul Islam kembali bergejolak, hal itu sendiri disebutkan sebagai reaksi
negative dari adanya persetujuan akan perjanjian Renville pada bulan Januari 1948.
Menurut perjanjian tersebut pasukan TNI harus ditarik dari dari daerah Jawa Barat
yang terletak dibelakang garis demarkasi Van Mook. Dan ketentuan itu harus
dilaksanakan pada bulan Februari. Namun sekitar 4000 pasukan Hisbullah dibawah
pimpinan Kartosuwirjo, bekas anggota PSII sebelum perang dan bekas anggota Masyumi
menolak untuk berhijrah.

Reaksi keras dari Pihak Kartosuwirjo yang menentang hasil perjanjian Renville
inilah yang dianggap sebagai sebuah pemberontakan bagi para sejarawan. Dikarenakan
sebagai warga negara, Kartosuwirjo beserta pasukannya bisa menerima dan menjalankan
hasil dari perjanjian Renville sendiri. Bukan malah melakukan perlawanan dengan pihak
pemerintah.
Apalagi pada akhirnya Darul Islam sendiri memproklamasikan kemerdekaannya
sebagai Negara Islam Indonesia, sementara saat itu, Indonesia sudah merdeka. Itu sama
saja berarti Darul Islam ingin mendirikan negara di dalam sebuah negara. Jelas saja itu
dianggap sebagai bentuk dari sebuah gerakan pemberontakan.
Meski

sebenarnya

diungkapkan

bahwa

Negara

Islam

Indonesia

tidak

diproklamirkan pada negara Indonesia melainkan diproklamirkan di daerah yang dikuasai


oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara
Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri
dari

Yogyakarta

dan

kurang

lebih

Kabupaten

saja

menurut

fakta-fakta

perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947


hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada
tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta).
Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai
oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara
Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara
Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi itu
berarti gerakan Darul Islam tidak bisa dikatakan sebagai suatu gerakan pemberontakan.
Sementara bagi pemerintah Indonesia itu sendiri tampaknya tidak berkeinginan
memandang aksi dari Kartosuwirjo ini sebagai suatu pemberontakan terhadap Republik
Indonesia, tetapi hanya dianggap sekedar sebagai suatu gerakan-gerakan tingkat daerah
terhadap Negara Pasundan buatan Belanda. Karena perlu dijelaskan bahwa pada bulan
Maret 1948 kebijakan pembentukan negara federal yang dianut oleh Belanda telah
menghasilkan terbentuknya negara Pasundan di daerah-daerah yang diduduki Belanda di
Jawa Barat. Artinya Jawa Barat menjadi salah satu dari negara boneka Belanda. Meski
sebagian besar dari daerah Jawa Barat itu sendiri telah dikuasai oleh pihak Darul Islam,
dengan Tentara Islam Indonesianya.

Ini menjadi pembantahan bahwa Darul Islam bukanlah sebuah pemberontakan,


dikarenakan lebih mengarah pada sebuah gerakan untuk mengambil alih negara Pasundan,
bukan membentuk negara dalam negara, yaitu Indonesia.
Namun, tidak sepenuhnya alasan di atas bisa diterima, meski Darul Islam
membentuk negara Islam di negara boneka Belanda, seorang tokoh bernama Kahin
mencatat bahwa baru pada akhir bulan Desember 1948 Darul Islam bersikap antiRepublik secara terang-terangan
Kemudian pada saat Belanda melancarkan agresi militer ke II (19 September
1948) Kartosuwirjo mengulangi seruannya untuk melakukan perang suci terhadap pihak
Belanda. Dengan begitu, pihak Darul Islam sudah secara terang-terangan tidak terikat
dengan Perjanjian Renville lagi.
Dan pada akhirnya pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo sebagai Imam dari
DI mendeklarasikan berdirinya negara Islam Indonesia. Sekali lagi ia secara resmi
mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, yang kali ini sebagai pengganti
terhadap Republik Indonesia (Yogya). Inilah yang kemudian menjadi catatan terbesar
untuk menyatakan Darul Islam sebagai sebuah gerakan pemberontakan. Dimana bunyi dari
proklamasi itu yaitu sebagai berikut :

PROKLAMASI
Berdirinya
Negara Islam Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih
Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah
Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia
MENYATAKAN :
BERDIRINYA
NEGARA ISLAM INDONESIA
Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia
IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA

ttd
S.M. KARTOSOEWIRJO
Madinah - Indonesia,
12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949

Proklamasi kemudian menjadi awal bagi Darul Islam sendiri untuk mempertahankan
keberadaannya. Namun bagaimana juga tetap saja pembentukan Negara Islam Indonesia
didalam sebuah Negara, tetap saja tidak bisa dibenarkan. Apalagi banyak korban dalam
peristiwa ini. Selain itu keberadaan gerakan yang lengkap dengan tatanan atau jajaran
dari sebuah negara ini, tentu menjadi alasan bahwa gerakan ini bisa dikatakan sebagai
gerakan pemberontakan terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia.
E. DI/TII DI WILAYAH-WILAYAH.
Gerakan DI/TII Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh
bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam
Kartosuwirjo pada tanggal 20 September1953.

Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah


Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.
Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai
seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan
bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh
juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai
sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi
pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota
besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir
Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda,
Kolonel Jendral Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di
Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan
pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi
gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada
Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi
anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali
melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya
menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun
1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir Fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah.
Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung
Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,
terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu
keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para
pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di
daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu
perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah

RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu
di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer
II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah
penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai
pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.
Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS)
dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu
brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak
karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps
Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara
dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan
dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar
mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai
bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus1953. Tanggal 3 Februari1965,
Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku
tembak.

F. PENANGKAPAN DI/TII PUSAT


Sebelumnya perlu diketahui bahwa penumpasan DI dilakukan oleh TNI dari Divisi
Siliwangi. Sebenarnya berkaitan dengan Gerakan Darul Islam yang kemunculannya
bersamaan dengan agresi Militer II, TNI sendiri memiliki rencana tertentu untuk
menghadapi agresi militer Belanda II. Dimana TNI menyusun rencana umum yang terkenal
dengan nama Perintah Siasat No.1 atau instruksi Panglima Besar pada November 1948
yang telah mendapat pengesahan dari Pemerintah RI. Rencana ini didasarkan atas
peraturan pemerintah No. 33 tahun 1948 dan peraturan pemerintahan No 70 tahun 1948.
Gerakan TNI atas perintah ini lebih dikenal dengan sebutan Wingate TNI.
Berkaitan dengan hal itu, Divisi Siliwangi juga memulai gerakan Wingate-nya, pada
tanggal 19 Desember 1948, setelah mendengar Perintah kilat dari Panglima Besar
Sudirman yang merupakan perintah bergerak menyusun Wehrkreise-wehkreise di

tempat-tempat dalam perintah Siasat No.1, seperti telah disinggung di muka yang antara
lain, mengatur :
1.

Cara perlawanan, ialah bahwa kita tidak lagi akan melakukan pertahanan liniar

2.

Melakukan siasat /politik bumihangus

3.

Melakukan pengungsian atas dasar politik non-kooperasi.

4.

Pembentukan Wehkreise-wehkreise.
Perintah kilat ini disambut dengan gembira oleh anak-anak Siliwangi yang

bagaimanapun juga sudah sangat merindukan kampung halaman mereka di Jawa Barat.
Letnan Kolonial Daan Yahya, Kepala Staf Divisi segera pergi ke Istana untuk melaporkan,
bahwa Siliwangi akan memulai gerakan kembali ke Jawa Barat sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perintah siasat No.1.
Kemudian, TNI, Divisi Siliwangi, memulai long march-nya berpindah dari Jawa
Tengah ke Jawa Barat. Hal ini kemudian dianggap oleh pihak Kartosuwirjo sebagai
ancaman bagi kelangsungan dan cita-cita Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam.
Maka dari itu Pasukan tersebut harus dihancurkan agar tidak memasuki daerah Jawa
Barat.
Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata utuk pertama kalinya antara
pihak TNI, Divisi Siliwangi dan Tentara Islam Indonesia. Bahkan pada akhirnya terjadi
perang segitiga antara DI/TII-TNI-Tentara Belanda.
Pemimpin Masyumi sendiri Moh. Natsir, yang menjadi menteri penerangan dalam
Kabinet Hatta pada tanggal 29 Januari sampai awal agustus 1949, berusaha menghubungi
Kartosuwirjo melalui sepucuk surat pada tanggal 5 Agustus 1949. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk mencegah timbulnya keadaan yang semakin buruk. Dikarenakan
kemelut ini mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Jawa Barat. Bahkan banyak orangorang tak berdosa tewas pada pertikaian ini. Moh. Natsir juga kemudian membentuk
sebuah komite yang dipimpin oleh dirinya sendiri di bulan September 1949, sebagai upaya
kedua untuk mengatasi hal ini. Namus sekali lagi ia gagal.
Operasi militer untuk menumpas gerakan DI/TII dimulai pada tanggal 27 Agustus
1949. Operasi ini menggunakan taktik Pagar Betis yang dilakukan dengan menggunakan
tenaga rakyat berjumlah ratusan ribu untuk mengepung gunung tempat gerombolan
bersembunyi. Taktik ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak mereka. Selain itu,
juga dilakukan operasi Tempur Bharatayudha dengan sasaran menuju basis pertahanan
mereka. Walaupun demikian, operasi penumpasan ini memakan waktu yang cukup lama.

Baru pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwirjo terkurung dan berhasil ditangkap di Gunung
Geber di daerah Majalaya oleh pasukan Siliwangi. Yang kemudian selanjutnya ia diberi
hukuman mati.

G. PARA PEMIMPIN DI/TII


Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)
Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah
seorang bekas Letnan Dua TNI yang kemudian memberontak
dan menyatakan gerakannya sebagai bagian DI/TII
Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan
Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos
kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakantindakan pengacauan pada bulan Oktober1950. Untuk menumpas
pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya
damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer.
Pada saat itu pemerintah Republik Indonesia
memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar

masih
untuk

menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia


menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa
peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi
setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan
pemberontakannya. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk
masuk Negara Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan.
Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan
untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun
1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat
ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli1963. Ibnu Hajar dan anak
buahnya menyerahkan diri secara resmi dan pada bulan Maret1965 Pengadilan Militer
menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar.

Daud Beureueh (Jawa Tengah)

Teungku Muhammad Daud Beureu'eh (lahir di


Beureu'eh,
kabupatenPidie,
Aceh,
17
September1899 meninggal di Aceh, 10 Juni1987
pada umur 87 tahun) atau yang nama lengkapnya
adalah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh adalah
mantan Gubernur Aceh, pendiri NII di Aceh dan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Ketika PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan untuk
menentang pendudukan Belanda, Daud Beureu'eh terpilih sebagai ketuanya. Pada masa
perang revolusi, Daud Beureu'eh menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Sejak 21
September1953 sampai dengan 9 Mei1962, ia melakukan pemberontakan kepada
pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas pemerintahan
Soekarno. Namun akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah dibujuk
kembali oleh Mohammad Natsir.
Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan)
Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang
menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar

Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24


Maret1921 meninggal 3 Februari1965 pada
umur 43 tahun; nama kecilnya Ladomeng) adalah
seorang figur karismatik dan legendaris dari
tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara
Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang
prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau
Overste pada masa itu. Ia tidak menyetujui
kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno
pada masanya, sehingga balik menentang
pemerintah pusat dengan mengangkat senjata.
Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak. Pada awal tahun
1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI),
hingga di kemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari1960, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati
dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal
Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan
para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah,
jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari,sulawesi tengara. Tapi sampai
saat ini banyak yang tidak percaya atas kepergiannya karena belum ada bukti nyata
tentang keberadaannya di sana.
Amir Fatah (Jawa Tengah)
Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah, adalah salah satu pimpinan
Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki, Jawa Timur sebelum bergolaknya pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah. Ketika Perjanjian Renville ditanda tangani oleh pihak Belanda

dan Indonesia, maka semua kekuatan


Republik diharuskan hijrah ke Jawa
Tengah, termasuk kesatuan Hizbullah
dan Fisabilillah yang dipimpinnya. Pada
tahun 1950,
wilayahnya

ia memproklamirkan
merupakan
bagian

DI/TIIKartosuwiryo. Melalui operasi


yang dilakukan oleh TNI untuk
sementara waktu kekuatan mereka
melemah tetapi akibat ada pembelot,
kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali
kuat. Pada akhirnya pasukan Amir
Fatah dapat ditaklukkan di perbatasan Pekalongan - Banyumas .

Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)


Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI)
dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia.
Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya
dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya
penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi
Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4
juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan
Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat.
Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus
1962.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.

Pada awalnya gerakan DI/TII bukanlah gerakan pemberontakan, melainkan menyerupai


organisasi yang berlandaskan hokum Islam.

2. Gerakan DI/TII berdiri di Jawa Barat pada tahun 1945 oleh Kiai Jusuf Tauziri,
sedangkan dinyatakan sebagai Gerakan Pemberontak pada tahun 1949, setelah adanya
Proklamasi oleh Kartosuwiryo.
3. Awal mula gerakan DI/TII menjadi pemberontak adalah disetujuinya perjanjian Renville,
yang menyatakan secar de-facto wilayah Indonesia hanya meliputi Yogyakarta.
4. Gerakan DI/TII pusat dihentikan oleh Divisi Siliwangi, dan Kartosuwiryo dihukum mati.

DAFTAR PUSTAKA

Habib.M Mustapa. 2006. Sejarah. Jakarta : Yudhistira


H.Nasution.A.

1979.Sekitar

Perang

Kemerdekaan

Indonesia ,Agresi

Militer

Belanda

II.

Bandung :Angkasa.
Moedjanto.G. 1989.Indonesia Abad ke 20, dari Perang Kemerdekaan I sampai pelita III .
Yogyakarta : Kanisius
Van.C Dijk. 1993.Darul Islam, Sebuah Pemberontakan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
Wajan. I Badrika. 2004. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta : Bumi Aksara.
http://elrufhy.blogspot.com/2012/11/biografi-singkat-5-pemimpin-ditii_21.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai