Anda di halaman 1dari 15

Para Tokoh Perumus dan Penyusun Undang-Undang Dasar

Panitia Sembilan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh hebat pada jaman


tersebut. Sebut saja Ir Soekarno, Muhammad Hatta, Mr AA Maramis,
Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, H Agus Salim, KH Wahid
Hasjim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin.

Sari Intan Putri - 02/06/2017 08:21


Facebook twitter Google+

Beritacenter.com - Tepat pada tanggal 1 Juni 1945 dikenal dengan hari

lahirnya Pancasila. Namun, apakah semua mengetahui sejarah panjang

dari lahirnya Pancasila tersebut? Dan tidak lama setelah Pancasila

dirumuskan, tokoh pejuang yang kita kenal dengan nama Panitia Sembilan
merumuskan Undang-Undang Dasar sebagai Dasar Negara Republik

Indonesia.

Panitia Sembilan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh hebat pada jaman

tersebut. Sebut saja Ir Soekarno, Muhammad Hatta, Mr AA Maramis,

Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, H Agus Salim, KH Wahid

Hasjim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin.

Berikut ini riwayat singkat dari Panitia Sembilan.

1. Ir Soekarno

Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo, lahir di

Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970

pada umur 69 tahun adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat

pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting dalam

memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah

Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta)

yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang

pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar

negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.


Soekarno juga menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar

yang kontroversial, yang isinya berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas

Besar Angkatan Darat menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk

mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.

Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang

duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara pada sidang umum ke empat tahun

1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada

Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto

menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

2. Muhammad Hatta

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta lahir dengan nama Mohammad Athar,

populer sebagai Bung Hatta. Lahir di Fort de Kock sekarang Bukittinggi,

Sumatera Barat, Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 meninggal di Jakarta,

14 Maret 1980 pada umur 77 tahun. Adalah pejuang, negarawan, ekonom,

dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno

memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari


penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus

1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet

Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun

1956, karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno. Hatta juga

dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-

Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-

jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga

diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan

Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun

1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta

ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal

23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.

3. Mr AA Maramis

Mr. Alexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara. Hindia

Belanda 20 Juni tahun 1897 meninggal di Indonesia tahun 1977; usia 80

tahun) adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Dia pernah jadi anggota


KNIP, anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik

Indonesia dan merupakan orang yang menandatangani Oeang Republik

Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini

menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di

Belanda. Ia mempunyai istri bernama Elizabeth Maramis Velthoed yang

merupakan seorang wanita asal Belanda.

Pada waktu Agresi Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi,

India dan ditugasi untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan. Ia

kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat dimasa

PDRI yang diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara.

4. Abikusno Tjokrokusumo

Abikoesno Tjokrosoejoso, lahir di Kota Karanganyar, Kebumen tahun 1897

meninggal tahun 1968 adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan

Indonesia dan penandatangan konstitusi. Ia merupakan anggota Panitia

Sembilan yang merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal sebagai

Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri


Perhubungan dalam Kabinet Presidensial pertama Soekarno dan juga

menjadi penasihat Biro Pekerjaan Umum.

Kakak Tjokrosoejoso adalah Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin

pertama Sarekat Islam. Setelah kematian saudaranya pada 17 Desember

1934, Abikoesno mewarisi jabatan sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam

Indonesia (PSII). Bersama dengan Mohammad Husni Thamrin, dan Amir

Sjarifoeddin, Tjokrosoejoso membentuk Gabungan Politik Indonesia,

sebuah front persatuan yang terdiri dari semua partai politik, kelompok, dan

organisasi sosial yang menganjurkan kemerdekaan negara itu. Mereka

menawarkan dukungan penuh kepada otoritas pemerintahan kolonial

Belanda dalam hal pertahanan untuk melawan Jepang jika mereka

diberikan hak untuk mendirikan parlemen di bawah kekuasaan Ratu

Belanda. Belanda menolak tawaran tersebut.

Selama masa pendudukan Jepang, Abikoesno Tjokrosoejoso adalah tokoh

kunci dalam Masyumi


5. Abdulkahar Muzakir

Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir, adalah Rektor Magnificus yang dipilih

Universitas Islam Indonesia untuk pertama kali dengan nama STI selama 2

periode 1945 – 1948 dan 1948 – 1960. Ia adalah anggota BPUPKI (Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Tokoh nasional gerakan Muhammadiyah Kotagede. Lahir di Yogyakarta

tahun 1907, putera H. Muzakkir (seorang pedagang terhormat di Kota-

Gede). Ibunya adalah puteri satu-satunya dari lima bersaudara keluarga H.

Mukmin. Salah seorang saudara ibunya yaitu H. Masyhudi tokoh yang

terkenal di Kotagede pada saat itu, karena ikut serta membentuk lahirnya

organisasi Muhammadiyah di Kotagede. Selain itu, H. Masyhudi bersama-

sama dengan Kyai Amir memprakarsai pembangunan Mesjid Perak.

Sedangkan ayahnya H. Mudzakir membantu dana untuk pembangunan

Mesjid Perak Kotagede. Dengan demikian, segala hal yang baik dari

keluarga H. Mukmin, kakeknya itu, telah membentuk pribadi Abdul Kahar

Muzakkir muda menjadi seorang yang tekun dan taat pada agama. Ia

memulai pendidikannya pada SD Muhammadiyah di Selakraman,


Kotagede, sembari memperdalam ilmu agama di beberapa pondok

pesantren. Ia memperkaya ilmu agama dengan masuk Madrasah di Solo.

6. H Agus Salim

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad

Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di

Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah

khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool

(HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS

se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris

pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim

berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di

sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang

masih merupakan pamannya.


Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian

Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi.

Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.

Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya

menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan

Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian

Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau

Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun

dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

7. KH. Wachid Hasyim

Kyai Haji Abdul Wahid Hasjim lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 –

meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun

adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet

pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia,

Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie, salah satu pahlawan

nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang.


Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia),

sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan

Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober

1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia

(Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis

pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam

mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun

1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya

ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945

ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara,

pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi

lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat

tergantikan oleh siapapun.

Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah

negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat

Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali

kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu


agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada

usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan

pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid

memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran

agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi

sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa

Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.

Meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul

Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang

berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25

tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI),

federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian

Wahid menjadi ketua MIAI.

Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga

Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Banyak

kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa.


Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai

pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya"

tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai

tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota

Cimahi tanggal 19 April 1953.

Setelah meninggalnya Wahid Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya

yang tengah hamil anak ke enam. Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi

ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya bekerja.

Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan

besar dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid

pernah menjadi Presiden RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily

Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada

masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang

dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.
8. Achmad Soebardjo

Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat,

tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih

keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari

pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu,

sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan

Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo

bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari

Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan

ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo

ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara

Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan

Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan

pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah


Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang

undang-undang pada tahun 1933.

9. Muhammad Yamin

Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus

1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti

Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang

Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir

keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-

saudara Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik

Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka dan Ramana

Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya,

Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan

Indonesia.

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche

School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene

Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai

mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin,


dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke

Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia.

Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah

Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas

Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana

Hukum) pada tahun 1932.

Anda mungkin juga menyukai