BAB I
A. Istilah Agraria
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian,
Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan,
persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam UUPA (UU No. 5 tahun 1960) tidak memberikan pengertian agrarian.Ruang lingkup agrarian
menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya
(BARAKA).
Diatur dalam pasal 1 ayat 2 yang meliputi bumi, air, dan ruang Angkasa.
bumi (pasal 1 ayat4 UUPA) meliputi: permukaan bumi, tubuh bumi dan bawahnya, tubuh bumi, yang
berarti dibawah air
Pengertian air (pasal 1 ayat 5 UUPA) meliputi: perairan pedalaman, laut wilayah Indonesia hal
tersebut diatas diatur dalam Pasal 1 ayat 4,5 UUPA
Pengertian ruang angkasa (pasal 1 ayat 6), adalah ruang diatas bumi serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya(UU No. 7 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan)
diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUPA yaitu " Tanah " dalam pasal 4 ayat 1 ditentukan, bahwa adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut.
Jadi pengertian agraria dalam arti sempit adalah permukaan bumi yang disebut tanah.
C. Pengertian Hukum Agraria
Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria adalh keseluruhan kaedah hokum, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur agrarian.
Menurut Budi Harsono, Hukum agrarian merupakan satu kelompok berbagai bidang hokum, yang
masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atau sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agrarian. MIsal Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan, Hukum
Atas Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa.
Menurut E. Utrecht, Hukum Agraria dalam arti sempit sama dengan Hukum Tanah.Hukum Agraria dan
Hukum Tanah menjadi bagian Hukum Tata Usaha Negara.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu”Atas dasar hak menguasai
dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hokum”.
Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak-hak atas tanah hak atas
sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua panjang dan lebar. Sedangkan Ruang
dalam pengertian yuridis, yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan tinggi yang dipelajari
dalam Hukum Tata Ruang.
Yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya
untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “mempergunakan”
berarti hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Perkataaan “mengambil
manfaat” berarti tanah itu digunakan untuk kepentinga bukan mendirikan bangunan, misalnya ,
pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hokum,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang
merupakan lembaga-lembaga hokum dan hubungan-hubungan hokum yang kongkret.
Objek Hukum Tanah adalah Hak Penguasaan Atas Tanah, yang berarti hak yang berisi serangkaian
wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki.
Hierarkhi Hak-hak Penguasaan Atas Tanah dalam Hukum Tanah nasional adalah:
Hak-hak perseorangan, meliputi: Hak-hak atas tanah, Wakaf tanah hak milik, Hak jaminan atas tanah
(hak tanggungan), Hak Milim atas satuan rumah susun.
Hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada dua macam asas dalam ukum
Tanah yaitu:
Asas Accesie atua Asas Perlekatan, Yaitu bangunan dan tanaman yang ada diatasnya merupakan suatu
kesatuan
Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal, Dalam asas ini bangunan dan tanaman
yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah.
BAB II
ADMINISTRASI PERTANAHAN
A. Administrasi Pertanahan
Menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi (general and over allpolicies).
Administrasi pertanahan dijalankan berpedoman pada politik hokum pertahan colonial pada waktu itu.
Dasar peraturan yang berlaku dengan berpedoman pada pasal 163 (1) IS (Indische Staatsregeling), yang
membagi tiga golongan masyarakat:
Golongan Indonesia
Golongan Eropa
Akibat adanya penggolongan masyarakat diatas, menimbulkan hukum yang beraneka ragam yang
berlaku.Dari pasal 163 dan pasal 131 IS berlaku dua macam hukum yaitu: Hukum tertulis atau hukum
undang-undang. Sebagian besar terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW)
Hukum yang tidak tertulis atau hukum agrarian yang terdapat dalam hukum adapt.
Adapun hukum agararia yang berlaku pada zaman pemerintah Belanda adalah:
Agrarische Wet (S. 1870 - 55 )
Koninklijk Besluit/ keputusan raja tgl 16 april 1872 no 29 S. 1872-117 dan peraturan pelaksanaannya.
memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan memberikan tanah2 negara Dg
hak Erfpacht s/d 75 th
memberi kesempatan pd rakyat ash untuk memperoleh hak tanah baru ( Agrarische Eigendom )
Asas " semua tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya hak eligendom atas tanah tsb oleh orang lain
adalah domein negara "
Jadi Berdasar hukum adat: tidak mempunyai bukti otomatis menjadi tanah negara ( Domein Negara ) j
adi tidak sama dengan ps 570 BW
Hak yang bertujuan memberi kpd pribumi suatu hak yang kuat atas sebidang tanah
Administrasi Pertanahan pada masa sesudah kemerdekaan sebelum berlakunya UUPA (1945-1960).
Pada masa ini semula urusan agraria menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri.Tanggal 29 Maret
1955 dengan Kepres No. 55/1955, dibentuk Kementerian Agraria.Perlu diketahui bahwa pada masa ini
yang berlaku adalh UUDS 1950 dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini berlaku sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945 dan sejak saat itu
berlaku ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Administrasi Pertanahan menurut UUPA (UU No. 5 tahun 1960). Untuk mengakhiri politik, tujuan,asas-
asas hukum agraria jajahan, maka dibentu hukum tanah nasionalyang berdasar hukum adat tentang
tanah dengan memberikan wewenang hak menguasai negara atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Hak Menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi air dan
ruang angkasa
BAB III
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-
batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah: hakmilik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang
tidak termasuk dalm hak-hak yang tidak tersebut diatas.
Hak milik (ps 20 ). Adalah hak turun temurun, terikat dan terpenuh (psikologis emosional ) yang dapat
dipunyai orang atas tanah yang mengingat ps 6.
Ps 6 : semua hak atas tanah mempunyai fungsi social. Hak Milik tidak terbatas jangka waktunya. Hak
Milik dapat beralih ex pewarisan dll. Hak Milik dapat menjadi jaminan utang yang di bebani Hak
Tanggungan. Biaya tanah milik yang dapat diwakafkan ( ps 49 UUPA ). Biaya tanah milik setelah bukan
HM. Yang dapat mempunyai HM : MNI. BH dengan syarat. Terjadinya HM : pewarisan, hibah ybs jual beli
Hapusnya HM : (ps 27 )
karena diterlantarkan
karena ps 21 ayat 3 yi : orang asing ... ps 26 ayat 2 yi : jual bell, hibah, dsb
Tanahnya Musnah
HGU (Ps 28)
adalah hak untuk mengukuhkan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, selama jangka waktu yang
tersebut dan ps 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, peternakan.
Ps 29:
WhTI
Terjadinya HGU karena penetapan pemerintah HGU dapat dijadikan/ dibebankan hak tanggungan
Hapusnya HGU
tanah musnah
HGB: (ps 35 )
yi : hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan2 atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun, hal ini atas peraturan penanggung hak bisa diperpanjang 20 tanhun.
Yang dapat mempunyai HGB
WNI
Badan hokum yang didirikan menurut hokum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
WN asing yang bertempat tinggal di Indonesia, dibatasi luas dan jumlah bidang tanah yang dikuasai,
khusus untuk bertempat tinggal.
BH yang didirikan menurut hokum asing dan mempunyai perwalian di Indonesia untuk kegiatan yang
menguntungkan bagi kepentingan Nasional.
HGB terjadinya :
mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
berangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu yang bermaksud menimbulkan halt
tersebut.
HGB dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (ps39)
Hapusnya HGB
diterlantarkan
tanah musnah
adalah : hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dan perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa- menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UU 'Mi.
selama j angka waktu yang tertentu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
pemberian hak pakai tidak boleh dan disertsi syarat2 yang mengandung pemerasan
Catatan :
tanah yang dikuasai Negara: hak pakai kalau mau dialihkan dengan izin pejabat yang berwenang
hak pakai atas tanah milik : dapat dialihkan asal dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan
Hak atas dimulai dari pengkajian terhadap bentuk-bentuk penguasaan tanah yang diakui sebagai
miliknya dari segi riwayat perolehannya, kekuatan hubungan hukumnya dengan tanah tersebut. Pemilik
tanah akan menunjukkan dimana letak tanahnya,batas-batasnya, dan dimana tanah tersebut diperoleh.
karena title hokum umum seperti warisan,hibah, hadiah, jual beli, tikar menukar
konsolidasi tanah
berdasarkan buku kedua tentang konversi terhadap hak-hak lama yang sudah ada sebelum berlakunya
UUPA (pasal 22 ayat 3) missal Hak Epacht dikonversi menjadi hak guna usaha, Hak postal dikonversi
menjadi hak guna bangunan, hak eigendom dikonversi menjadi hak milik
Pengaturan hak atas tanah tersebar dalam berbagai aturan peraundang-undangan antara lain:
Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1961 tentang penetapan terhadap Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah termasuk penghapusannya.
Hak Pengelolaan masih tersebut dalam Permendagri No. 1 tahu 1977 jo PMNA/KBPN No. 9 tahun
1999, sedangkan pengaturan Hak Milik belum ada pengaturannya.
Tahap-tahap proses penetapan hak atas tanah secara garis besar adalah:
Pemohon mengajukan bukti dan riwayat perolehan serta hubungan hukum penguasaan dengan tanah
yang dimohonnya
Pemohon menunjukkan dimana letak dan pengakuan titik-titik batas tanah yang dimohonnya tersebut
Pengujian letak dan batas-batas tanah tersebut dengan kegiatan pengukuran yang meliputi:
mengukur dan menetapkan batas-batas tanah yang ditunjukkannya
menguji dengan data-data fisik, yuridis, administrasidi kantor BPN yang bersangkutan
pengujian mengenai kecocokan bukti pemohon dengan objek tanah. Serta kepentingan orang lain atas
permohonen tersebut (oleh Panitia Pemeriksa Tanah).
proses pendaftaran:
Dalam pasal 3 UUPA, hukum tanah nasional mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa dengan itu
dari masyarakat hokum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada.
Realita yang ada banyak didaerah-daerah terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum
adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat
setempat dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.Untuk itu
pemerintah mengeluarkan suatu pedoman yaitu PMA/Kep BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Pelaksanaan hak ulayat dianggap masih ada bila dicirikan sebagai berikut:
terdapat sekelompok orang yang masih terasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang
berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Terkait dengan bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini
merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang
digunakan berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan
untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.
Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku
di Indonesia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat
merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang
bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari
objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta
menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas
tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau
perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan
hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk
memakai. sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah
dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.
Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau
adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk
hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan
kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat
bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan
masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam
penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang
tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius.
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari
lembaga – lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas
tanah. Pasal 5 UUP mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan
yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam
undang – undang ini, dan denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang
tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang
berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh
rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.[1]
Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan
menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional.
Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang
bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk
menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara,
dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja,
tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang
diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,S bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan
atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar-benar akan
mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang
bersifat kedaerahan.
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetap juga terdapat dalam
peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian – perjanjian ataupun
transaksi – transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan
Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat
secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah
(penguasa).
Bahkan dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam
Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional
tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai
agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian
utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi
dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan
yang tepat dalam hal ini.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang
dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan
tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa
diatur dalam UUPA. 1960.
Pengadaan Tanah
Sistem pengadaan tanah secara umum terbagi dalam dua pengertian yaitu dalam arti sempit dan dalam
arti luas.
karena Undang-undang (UU No. 86 tahun 1956 Nasionalisasi dan UU N0. 3 Prp tahun 1960);
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara)
berdasarkan penyerahan Kedaulatan Negara (Surat Edaran Depdagri No. H.20/5/7 tahun 1950 tentang
Tanah yang diambil oleh balatentara Jepang)
karena Penyerahan/Hibah
karena Peraturan Tata Cara Pengadaan Tanah (Permendagri No. 5 tahun 1987 tentang Fasum Fasos;
Melalui acara pencabutan hak atas tanah (UU No. 20 tahun 1961 jo. PP no. 39 tahun 1971)
Melalui tata cara pengadaan tanah (Perpres No. 36 tahun 2005 jo. Keppres No. 55 tahun 1993)
Pengadaan tanah tersebut diatas akan menjadi barang milik Negara karena berkaitan dengan system
pengelolaan kekayaan/barang milik Negara.
Dasar Hukum : PP No 10 Tahun 1961 dan sejak 8 Oktober 1977 disempurnakan dengan PP No 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah diberlakukan milai tanggal 24 September
1961berdasarkan pasal 19 UUPA.
Tujuan Memberi kepastian hokum dalam bidang pertanahan yaiti hak atas tanah Output dari
pendaftaran tanah adalah Menghasilkan tanda bukti hak yaitu sertifikat hak atas tanah sebagai realisasi
salah satu tujuan UUPA
Pelaksana Dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap dengan pertimbangan ketersediaan peta
dasar pendaftaran.
data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bangunan
data yuridis (status tanah dan bangunan yang didata, pemegang hak atas tanah dan beban-beban
yang lain yang ada diatasnya.
memprkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan pihak lain untuk kegiatan
pembangunan
pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Pendaftaran tanah dimulai tgl 24 September 1961 berdsar ketentuan ps 19 UUPA yaitu untuk menjmin
kepastian hukum tentang HAT.
Yaitu mempermasalahkan sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yg disajikan oleh
negara sehingga hasil kegiatan pendaftaran yg dilaksanakan dan apa akibat hukumnya apabila dalam
melaksanakan perbuatan hokum dengan tanah tsb tidak terbukti benar.
Dlm system ini, negara menjamm kebenaran data yg disajikan. Hal ini sbg perwujudan ungkapan : "
TI'T'LE BY REGISTRATION (DENGAN PENDAFTARAN DICIPTAKAN HAK ).DAN pendaftaran menciptakan
suatu " INDEFEASIBLE TITLE " (HAK YG TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT dan THE REGISTER IS
EVERYTHING (untuk memastikan adanya suatu hak, dan pemegang haknya cukup dilihat buku
tanahnya). Sekali didaffar pasti benar, hanya bisa menuntut pemberian ganti kerugian/ compensation
berupa uang. Jadi negara menyediakan "ASSURANCE FOUND "Hal di atas tidak dikenal dlm UUPA.
Kalau system pendaftaran dengan system publikasi negatif yang murni menggunakan " Sitem
Pendaftaran Akta "/ Regitration of deeds , jadi akta merupakan tanda bukti haknya. Kalau dalam PP
10/1961 dan PP 24/1997, sebagai halnya pendaftaran dengan dengan system publikasi positif, maka
menggunakan yg disebut " system pendaftaran Hak " / Registration Of Title ". Jadi akta hanya
merupakan sumber data yuridis. Pembukuan dilaksanakan dalam bentuk dokumen yang disebut buku
tanah (register). Dokumen tanda buktinya berupa Sertifikat "Certificate Of Title " yg menurut PP
10/1961 jo PP 24/1997 terdiri salinan buku tanah dan surat ukur.
Sedangkan dalam system publikasi Positif : hal diatas tidakn mungkin terjadi, karena pendaftaran tanah
tidak menciptakan hak yang dapat diganggu gugat.
Dengan lembaga ;
VERJARING, Pada masa Hindia Belanda, yaitu ps 584 KUHPerdata berdasar KUHP perdata
tidak berlaku lagi
VERJARING ; pihak yang menguasai tanah karena lampaunya waktu menjadi Pemiliknya.
RECHTSVERWERKING ; pihak yang mempunyai tanah karena Lampaunya waktu kehilangan haknya untuk
memperoleh kembali. Contoh : menterlantarkan tanah
Lembaga RECHTSVERWERKING dalam PP 24/1997 menjadi pelengkap untuk mengatasi System Publikasi
Negatif.
Peningkatan system publikasi menjadi positif secara bertahap, yaiti melalui pasal 32 ay 1,2 PP 24/1997
yaitu HAT hasil pendaftaran yang tidak mengalami gugatan, gugatan tidak diterima hakim, maka setelah
5 tahun se j ak diterbutkan sertifikat, maka oleh UU diterbitkan sehingga terdaftar dengan system
publikasi positif.
Penanganan masalah pertanahan merupakan bagian tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan
Nasional. Masalah yang ditangani yaitu:
Sengketa dan masalah pertanahan dalam segi administrasi. Sengketa dan masalh yang masih dapat
diselesaikan sesuai dengan lingkup kewenangan administrasi. PP No. 40 tahun 1996, suatu hak atas
tanah hapus dengan pembatalan peapabila ternyata kewajiban dan syarat-syarat tidak dipenuhi oleh
penerima/pemegang hak atas tanah (pasal 17, 35, dan 55 PP tersebut, sepanjang pemegang hak atas
tanah masih original.
Sengketa dan masalah pertanahan yang menjadi obyek perkara di Pengadilan Negeri tergugat atau
saksi. Senketa-sengketa di pengadilan dimana BPN menjadi pihak berperkara (tergugat). Kehadiran di
pengadilan dilakukan sebagai pelaksana tugas pokok dan fungsi yang hadir langsung mempertahankan
haknya sendiri di Pengadialn(Kep. KA. BPN No. 1 tahun 1989)
Pelaksanaan putusan-putusan Pengadilan yang perlu dan ditindaklanjuti oleh BPN. Melaksanakan
putusan-putusan pengadilan (PTU, umum/perdata, pidana bahkan Pengadial Agama). Baik yang diajukan
sendiri dari pengadilan yang bersanmgkutan maupun pihak yang perkaranya dikabulkan oleh
pengadilan.
Kendala-kendala dalam melaksanakan tugas dan fungsi diatas adalah: adanya dua putusan pengadilan
berkekuatan administrasi tetap yang isi/substansinya saling bertentangan atas satu lokasi tanah obyek
perkara, adanya putusan pengadilan yang berkekuatan administrasif tetap atas suatu lokasi tanah yang
secara fisik dilapangan, sudah tidak sesuai dengan keadaan pada saat diajukan gugatan, tidak
diadakannya pengembalian batas pada obyek perkara ketika perkara berjalan, sehingga menimbulkan
kesulitan pada saat eksekusi atas obyek yang salah.
BAB IV
Hal ini perlu dilakukan agar tersedia perangkat hokum yang secara lengkap dan jelas memuat
ketentuan-ketentuan hokum yang dapat menghindarkan penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya.
Pelaksanaan pembangunan diharapkan benar-benar didasarkan pada kebijakan baru, yang kembali pada
semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan dari UUPA
Usaha penyempurnaan hukum tanah nasional akan berhasil mencapai tujuan bila pembangunan dalam
era reformasi dilaksanakan dengan kebijakan baru seperti yang dinyatakan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kebijakan
pertanahan berbeda dan tidak mengacu kepada Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, karena isinya disitu adalh “pembaruan” bukan
“penyempurnaan”
Penyempurnaan mengandung arti membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Usaha
penyempurnaan Hukum Tanah Nasional adalah:
Melengkapi isi UUPA yang merupakan peraturan dasar Hukum Tanah nasional dan memperbaiki
rumusan-rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang
berbentuk Undang-undang dengan mempertimbangkan:
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Hukum adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan lembaga-lembaga hukum baru dalam
memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang, menghadapi era globalisasi dan pelaksanaan kebijakan
pemberian otonomi pada daerah
Semangat, tujuan, konsepsi, asas-asas dasar lembaga-lembaga hokum dan system serta tata
susunannya
Obyek pengaturan UUPA berdasar pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak terbatas pada tanah saja, tetapi bumi,
air, ruang ankasa, maka dalam perkembagannya masing-masing sudah mendapat pengaturan sendiri-
sendiri antara lain:
Perairan UU No. 4 tahun 1960 tentang Wilayah Indonesia, UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas
Kontinen Indonesia, UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
Pertambangan UU No. 44 tahun 1960 tentang Pertambangan minyak dan Gas umi
Kehutanan UU No. 5 tahun 1967 jo 41 tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan
Sumber daya alam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Penataan Ruang UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan UUPA dalam ayat 2 menyatakan “Tiap WNI, baik pria
maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri maupun keluarganya”.
Dalam kenyatannya, akses yang dijamin oleh UUPA sebagai yang tersebut dalam pasal 9 ayat 2 tersebut
belum memperoleh makna yang kongkret. Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah
yang relative luas untuk berbagai keperluan (industry, pemukiman prasarana ) memaksa alih funfsi
tanah pertanian menjadi tanah nonpertanian dengan segala konsekuensinya.
Sementara dikalangan petani jumlah mereka yang mempunyai tanah kurang dari 2 ha sejumlah 8 kali
lipat dibandingka denga yang mempunyai tanah dibawah 2 ha.Pemilikan tanah yang minimum ini masim
dimungkinkan menyusut lagi, karena adanya pewarisan.
dengan alih fungsi tanah pertanian, gejala yang diwaspadai lebih dari 20 tahun kenyatannya secara
kuantitatif terus bertambah.
Upaya pencegahannya untuk tidak terjadinya alih fungsi tanah adalh melalui kebijakan pemberian ijin
lokasi yang sudah terlanjur diberikan maupun yang belum diberikan, dan perlu penyempurnaan RTRW
dibeberapa kabupaten.
perkotaan, tidak jauh beda dengan tanah di pedesaan, akses tanah untuk rakyat sulit didapat. Tetapi
disisi lain terdapat badan hokum atau perorangan ada yang memiliki tanah berlebihan untuk investasi
atau spekulasi.Walaupun sudah diatur dalm UU 56 Tahun1960 tentang batas pemilikan tanah agar
diatur dengan PP, tetapi kenyataannya PP dimaksud sampai sekarang belum terwujud.
Dalam bidang usaha real estate, agar dalam rangka masuknya peningkatan modal dan investasi dari luar,
dimungkinkan perusahaan-perusahaan asing dan orang-orang asing menguasai tanah dengan hak-hak
atas tanah yang menurut ketentuan Hukum Tanah Nasional sekarang hanya dapat dipunyai oleh
perusahaan-perusahaan Indonesia dan WNI.
Dalam rangka meningkatkan penanaman modal dibuka kemungkinan pemberian Hak Guna Usaha dan
Hak Guna Bangunan, yang dalam ketentuan peraturannya dibatasi 30-35 tahun, dengan kemungkinan
diperpanjang maksimal 20-25 tahun, pada pemberiannya untuk pertama kali ditetapkan selama sekitar
25-30 tahun, tetapi sekaligus disertai jaminan, bahwa pada waktunya akan diperpanjang jangka waktu
berlakunya, diikuti denga pemberian hak baru, hingga akan terjamin penguasaan tanahnya untuk HGU
selama 120 tahun dan untuk HGB 100 tahun.
Rus globalisasi tidak mungkin dicegah, antisipasinya adalah tersedianya perangkat hukum yang pada
satu pihak dapat menciptakan situasi yang memungkinkan dimanfatkannya kelebihan pihak asing
tersebut bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.
Pada pihak lain dapat member perlindungan kepada rakyat banyak, terutama para petani sebagai
golongan terbesar rakyat Indonesia yang pada realitanya kedudukannya masih lemah, terutama dalam
menghadapi pihak luar.
Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional diperuntukkan untuk mendukung otonomi daerah. Terkait
dengan Otda sesuai dengan pasal 2 UUPA bahwa “Hak menguasai dari Negara pelaksanannya dapat
dikuasakan kepada Daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hokum adat”.
Dalam Penjelasan dinyatakan bahwa “ketentuan tersebut adalah bersangkutan dengan asas otonomi
dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Soal agraria menurut sifatnya dan
pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Dengan demikian maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak Penguasaan Negara atas tanah itu adalah merupakan
medebewind”.
Masalah pelaksanaan kebijakan otonomi atau dengan sentralisasi di bidang agrarian dalam Tap
MPR/IX/MPR/2001 yaitu “mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah (pusat,
daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu.
Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat “berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya
agrarian/sumber daya alam”. Dan ini tetap dalam rangka “memelihara dan mempertahankan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Tanah Sebagai Sumber Daya Alam Utama Dalam TAP MPR IX/MPR/2001
Tanah sebagai sumber daya alam utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur . Dalam
TAP MPR IX/MPR/2001, “tanah” disejajarkan dengan sumber daya alam lainnya. Sebenarnya sifat
sumber daya alam yang berupa tanah dan sumber daya alam lainnya adalah berbeda. Semua rakyat
memerlukan tanah, Tanah terdapat dalam seluruh wilayah RI, dan tanah berfungsi langsung dalam
mewujudkan masyarakat adil makmur.
Oleh karena itu sumber daya alam tanah disebutkan bersamaan dengan sumber daya air, dan ruang
angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu penyempurnaan UUPA
sebaiknya menggunakan “Undang-undang tentang Pokok-pokok Hukum Tanah”
Kebijakan “pembaruan” dan” pengelolaan” ditetapkan dalam satu Ketetapan. Padahal sifat dan lingkup
kegiatan serta tujuannya berbeda seperti yang tampak pada rumusan cakupan pengertia “pembaruan
agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam”, dalam pasal 2 dan 3. Maka prinsip-prinsip bagi
pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam yang dirumuskan bersamaan satu pasal, yaitu
pasal 4 menjadi tumpang tindih. Hal ini masalahnya memang berbeda, dalam pasal 5 penetapan arah
kebijakannya dipisahkan masing-masing dalam ayat 1 dan ayat 2.
BAB V
Dalam pasal 1 Perpres No. 65 tahun2006 yang dimaksud “pengadaan tanah” adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.
Pasl 2 ayat 1 menyatakan: “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah”.
Pasal 2 ayat 2 Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang
disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
Dalam Peraturan Kep BPN tentang Pelaksanaan Perpres No 36 tahun 2005 yang dirubah dengan Perpres
65 tahun 2006 dalam Bab I disebutkan:
Instansi Pemerintah adalh Lembaga Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemilik adalah pemegang hak atas tanah, dan/atau pemilik bangunan, dan/atau pemilik tanaman,
dan/atau pemilik benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga professional dan independen yang mempunyai keahlian
dan kemampuan di bidang penilaian harga tanah.
Tim Penilai Harga Tanah adalh tim yang di bentuk dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur
untu Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk menilai harga tanah, apabila di wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan atau sekitarnya tidak terdapat Lembaga Peniali Harga Tanah.
Perencanaan
Untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, instansi
pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat 1 (satu)
tahun sebelumnya, yang menguraikan:
maksud dan tujuan pembangunan
sumber pendanaan
Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembanguna Untuk Kepentingan Umum.
Pertama-tama sesuai dengan pasal 15 Perpres 36 tahun 2005 dan diubah dengan Perpres 65 tahun
2006, maka dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota paling banyak 9 orang dengan susunan
sebagai berikut:
Menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan, tanaman dari Lembaga dari Tim Penilai
Harga Tanah
Mengadakan musyawarah dengan pemilik tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah
untuk dalam menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi
Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota menunnjuk Lembaga Penilai Harga Tanah yang telah
ditetapka oleh Bupati/Walikota, dan lembga ini harus sudah mendapat lisensi dari BPN RI.Sedangkan
keanggotaan Tim Penilai Harga Tanah adalaH:
akademisi yang mampu menilai harga tanah dan/atau banguna dan/atau tanaman dan/atau benda-
benda yang berkaitan dengan tanah. Hal ini bias ditambah dari unsure Lembaga Swadaya Masyarakat
)LSM).
Pengadaan tanah yang luas tanahnya tidak lebih dari 1 hektar dilaksanakan secara langsung melalui jual
beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah
tingkat Kabuparten/Kota atau dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Kabupaten/Kota. Dan
untuk tanah yang sudah bersertifikat cukup dengan pelepasan/penyerahan hak atas tanah dengan
membuat pernyataan pelepasan hak bahwa tanah digunakan untuk instansi pemerintah yang
membutuhkan tanah. Dan instansi pemeri ntah memberikan ganti rugi.Pelaksanaanya bias di hadapan
Kepala BPN Kota /Kabupaten, PPAT, Camat.
Prosedur Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Instansi Pemerintah dan
Upaya Hukum
Pemilik tanah yang keberatan terhadap keputusan penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang
diterbitkan oleh Panitia Pengadaan Tanah tingkat Kabupaten/Kota, dapat mengajukan keberatan kepada
Bupati/Walikota disertai dengan penjelasan-penjelasan dan sebab-sebab serta alasan keberatannya
paling lambat 14 hari. Selanjutya Bupati/Walikota paling lama 30 hari sesuai dengan kewenangannya
harus memberiakan putusan. Bentuk keputusa Bupati/Walikota dapat mengukuhkan, atau merubah
bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Apabial upaya penyelesaian yang ditempuh Bupati/Walikota tetap
tidak diterima oleh pemilik dan lokasi pembangunan tidak bias dipindahkan, maka Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya mengajukan usul penyelesaian dengan cara Pencabutan Hak Atas Tanah
berdasarkan UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda –benda yang
Ada di Atasnya.
Tanah, bangunan,dll sedang menjadi obyek perkara di pengadilan yang belum memperoleh kekuatan
hokum tetap
Tanah, bangunan dll sedang diletakkan sita oleh pihak yang berwenang
BAB VI
pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya
Senketa dalam hak atas tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pada umumnya sengketa pertanahan yang bersifat politis tidak didasarkan pada alasan yuridis,
melainkan cenderung memanfaatkan isu populis sehingga terbentuk opini masyarakat, yang bermuara
terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Keadaan demikian selanjutnya akan
mengganggu social, ekonomi, maupun keamanan.
Unjuk rasa
Penekanan-penekanan kepada institusi pemerintah, ini dapat dialkukan dengan:
Menyalurkan aspirasi masyarakat melalui LSM,DPR, Komnas HAM, Komisi Ombudsman dan lembaga
peradilan.
Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah partikelir yang diduduki rakyat
Tuntutan pengembalian tanah sebagai akibat pembebasan tanah untuk pembangunan di masa lalu
Tuntutan tanah masyarakat hokum adat atas tanah hak ulayat di wilayahnya
Tuntutan pengembalian tanah yang dikuasai rakyat dalam skala besar yang diambil alih pihak tertentu
Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaanaya tidak sesuai denga ijin lokasi
Masalh ini timbul sebagai akibat ketimpangan dan kecemburuan social dalam pemilikan tanah antara
masyarakat denga pemilik tanah luas (perusahaan).Hal ini bias terjadi penyerobotan tanah yang bukan
miliknya.
Faktor pendoronya adalah pemilik tanah tidak memperhatikan kewajibannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan, umpamanya:
Mengusahakan tanahnya secara aktif
Penyebab yang lain adalah, kurang adanya pemertaan penguasaan dan pemilikan tanah dan kurang
tersedianya lapangan kerja.
Sengketa ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan baik subyek maupun pihak lain yang
berkepentingan terhadap obyek haknya (tanah). Yang menjadi pokok persoalan adalah berkaitan denga
kepastian hokum atas tanahnya.
Perlu diketahui bahwa proses penetapan suatu hak atas tanah, termasuk penerbitan dan keputusan dan
sertifikatnya tergantung data fisik, yuridis, dan pengadministrasiannya. Bila ini mengandung kelemahan
maka, kualitas kepastian hokum mengeani hak atas tanah mengandung kelemahan juga, yang
berimplikasi suatu saat dapat dibatalkan apabila terbukti cacat administrasi atau cacat hukum.
Sistem publikasi dalam pendaftaran tanh adala menganut stelsel negative, ini tidak memberikan jaminan
kepastian hokum secara mutlak. Kepastian hokum dicapai bila data fisik, data yuridis dan administrasi
sesuai dengan realita dilapangan, bila ini tidak dicapai maka, hak atas tanag dimungkinkan untuk
dibatalakan.
Sengketa Pertanahan yang bersifat administrasi disebabkan adanya kesalahan penetapan hak dan
pendaftarannya. Hal ini disebabkan:
Kekeliruan penerapan peraturan
Dll
Melalui pengadilan
Dalam PEnjelasan Umum dijelaskan supaya tidak merugikan kepentingan umum pemilikan dan
penguasaan tanah dibatasi. Dalm UU No. 56 Prp 1960 ditentukan
Bagi tanah-tanah yang melebihi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undanga maka jumlah
kelebihan itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi, yang selanjutnya tanah tersebut nantinya
akan dibagi kepada petani sebagai upaya Landreform.
Sedangkan luas minimum adalah 2 hektar untuk tanah pertanian, baik sawah maupun tanah kering.
Disamping itu ada Perubahan dan Tambahan Pertauran Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Dalam Penjelasa Umum disebutkan, prinsip bahwa setiap orang atau Badan Hukum yang mempunyai
hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif
dengan mencegah cara-cara pemesan.
Dalam PP 224 tahun 1961 ditentukan “pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat diluar kecamatan
tempat letak tanah, selama 2 tahun dan ia melaporkannya, maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu tersebut, diwajibkan memindahkan hak milik atas tanah kepada orang lain
yang bertempat tinggal dalam 1 kecamatan letak tanah itu.
Pasal 3d disebutkan “Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah
pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar
Kecamatan dimana ia bertempat tinggal”.
BAB VII
Mediasi adalah salah satu proses alternative penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga
(mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak dimana mediator memfasilitasi untuk dapat
tercapai suatu solusi (perdamaian) yang saling menguntungkan para pihak.
Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk jajaran BPN RI yang disepakati oleh para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya.
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa tanah tidak pernah surut.Bahkan mempunyai kecenderungan
yang semakin meningkat, baik kompleksitas permasalahannya maupun kuantitas seiring dinamika di
bidang ekonomi, social dan politik.
Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-
lain
Terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain, berdasarkan
pengalaman, tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalh melaui jalur nonperadilan yang pada
umumnya ditempuh melaui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga
yang netral atau tidak memihak.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil
akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Jadi dengan
penyelesaian win-win solution. Upaya untuk mencapai win-win solution ditentukan menurut Bevan,
1992:3-4 diantaranya:
Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan
memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan, pendekatan itu harus menitikberatkan
pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak .
Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-
menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lainnya.
Penyelesaian sengketa melalui ADR secara implicit dimuat dalam Perpres No. 10 tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional(BPN). Dalam struktur organisasi BPN, dibentuk satu kedeputian, yakni
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan.BPN telah pula menerbitkan
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melaui Keputusan Kep BPN RI No.
34 tahun 2007.Dalam menjalankan tugasnya menangani senketa pertanahan BPN melakukan upaya
antara lain melaui mediasi. Selanjutnya dikeluarkan peraturan yaitu Petunjuk Teknis Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.
Dalam perjalanan waktu upaya untuk melembagakan kembali cara penyelesaian sengketa alternative
seperti mediasi, konsiliasi, dan lain-lain dengan memasukkannya dalam peraturan perundang-undangan.
Pelembagaan kembali cara penyelesaian sengketa alternative sanga tergantung pada factor budaya.
Perbedaan kondsi sosisl budaya menyebabkan perbedaan terhadap proses penataan dan penggunaan
serta penguatan cara-cara tersebut.
Didaerah-daerah tertentu missal di Sumatera Barat yang masih mempertahankan tradisi sejak dahulu,
penggunaan penyelesaian sengketa alternative telah diperkuat melaui peraturan daerah dengan
menekankan bahwa setiap sengketa di bidang pertanahan hendaknya diselesaikan terlebih dahulu
melaui Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebelum diajukan ke lembaga penyelesaian sengketa yang lain
seperti pengadilan. TEtapi didaerah lain yang kelekatan tradisinya sudah mulai menurun, penggunaan
ADR lebih bersifat pilihan, yaitu tergantung kemauan dari pihak yang bersengketa.
Tokoh-tokoh masyarakat/informal missal: ulama, atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dll
Penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai social yang berlaku: nilai keagamaan/religi, adat kebiasaan,
sopan santun, moral dll.
Tokoh formal missal: pejabat-pejabat yang mempunyai kompetensi di bidang sengketa yang ditangani
Mediator professional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi untuk melakukan
negosiasi-negosiasi dalam mediasi
Undangan
Kegiatan mediasi
Identifikasi kepentingan
Negosiasi akhir
Para pihak melakukan negosiasi final yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati
bagi penyelesaian sengketa dimaksud.
Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang
bersengketa, kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi opsi yang diterima, hak dan kewajiban para
pihak.
Penegasan / klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi akan dipilihnya untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela melaksanakannya
DEngan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut
pelaksanaanya menjadi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara (TUN)
Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak lanjuti sesuai peraturan yang
berlaku
Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung
Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator
Tanah Kaum (Hak Milik Komunal) telah diberikan kepada anggotanya, yaiyu seorang kemenakan, Tanah
tersebut kemudian dijual oleh pihak kemenakan kepada orang lain. Hasil penjualan seluruhnya diambil
oleh kemenakan tersebut, padahal menurut Mamak Kepala Warisnya, ia berhak memperoleh sebagian
dari hasil penjualan tersebut. Ketika jual beli tanah tersebut diproses pensertifikatannya, Mamak Kepala
Waris mengajukan permohonan kepada BPN setempet untuk menghentikan proses sertifikasi sampai
ada penyelesaian hak-hak Mamak Kepala Waris.
Sengketa antara pemilik tanah yang sedang digadaikan denga pemegang Hak Gadai atas tanah tersebut.
Sengketa terjadi karena, tanah yang sedang dibebani Hak Gadai dijula kepada orang lain. Menurut
ketentuan hokum adat, tanah yang dibebani Hak Gadai berada dibawah kekuasaan pemegang Hak
Gadai. Karena penjualan tersebut tidak diberitahukan kepada pemegang Hak Gadai, maka ketika jual
beli didaftarkan, pemegang Hak Gadai mengajukan keberatan dan menuntut agar prosesnya dihentikan
sampai utang yang dijamin dengan tanah dilunasi.
Sengketa pertanahandi Lamung didominasi sengketa yang bersifat vertiakl disbanding horizontal.
Sengketa vertical terjadi antara masyarakat disatu pihak denga pemerintah dipihak lain. Konflik
pertanahan secara vertiakl disebabkan:
Sengketa dipicu denga kebijakan pertanahan yang mengandung potensi berkembangnya konflik. Misal
sengketa warga dengan PT Dharmala Hutan Lestari. Di tingkat daerah warga diberi ijin penggarapan atas
tanah yang disengketakan. Di tingkat pusat, diambil kebijakan memberikan tanah yang digarap
masyarakat kepada PT tersebut.
Kebijakan pertanahan yang kurang memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan, missal dalam obyek
tanah Landreform yang seharusnya tidak berhak menerima , menjadi menerima tanah.
Adanya fenomeba intensifnya keterlibatan pemerintah yang bersaing dengan masyarakat, untuk
menguasai tanah yang bersangkutan. Misal sengketa tanah eks perkebunan Way Ratay antara Korem
dan warga.
Terjadinya tumpang tindih pemilikan tanah sengketa, disebabkan terjadinya pemilikan tanah oleh dua
pihak dalam kurun waktu yang berbeda dan terjadi tumpang tindih kepemilikan karena perbedaan
dalam sertifiakat dengan tanah yang secara fisik dikuasainya.
BAB VIII
PENATAGUNAAN TANAH
Penatagunaan Tanah
Dasar peraturan yaitu dalam Perpres RI No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah
yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait engan pemanfaatan tanah sebagai
satu kesatuan system untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Asas dan tujuan penatagunaan tanah adalah keterpaduan, berdayaguna, dan berhasilguna, serasi,
selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hokum.
Dalam rangka pemanfatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola
pengelolaan tata guna tanah
Penataan tanah meruopakan kegiatan di bidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
tanah Negara yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara yang bukan tanah ulayat
tanah ulayat masyarakat hokum adapt sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Terhadap hal-hal diatas maka penggunaan serta pemanfatannya harus sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah.
Penertban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur dalam Perpres RI No. 36 tahun 1998. Hal ini perlu
dialkukan mengingat:
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungus social, maka setiap orang dan badan hokum atau
instansi yang berhubungan hokum dengan tanah, wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara
tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guan dan
bermanfaat bagi masyarakat
dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hokum
atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan haknya
Hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan sesuai denag UUPA
Terkait denga penertban dan pendayagunaan tanah terlantar maka ada beberapoa ketentuan berdasar
UUPA bahwa:
Pasal 15 UUPA, bahwa, memelihara tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hokum atau
insatansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah
Pasal 27 UUPA, Hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena diterlantarkan
Penyebab tanah terlantar bermacam-macam, hal ini tidak bias disalhkan kepada salah satu pihak saja ,
yaitu pemegang haknya atau pihak yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah. Keadan
kemampuan pemegang hak bermacam-macam. Oleh karena itu pemerintah menerapakan
Untuk pemegang hak yang tidak dapat menggunakan tanahnya sesuai ketentuan yang berlaku karena
tidak mempunyai kemampuan ekonomi, maka tanahnya tidak akan dinyatakan sebagai tanah terlantar,
melainkan akan dibantu untuk pendayagunaan tanah itu.
Untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar, maka diperlukan pernyataan
tertulis dari Menteri atau atas nama Menterimbahwa sebidang tanah telah terlantar
Kepada pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hokum denga tanah diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang
berlaku untuk menghindarkan tanahnya dinyatakan sebagai tanah terlantar.
Izin Lokasi
Peraturan tentan izin lokasi diatur dalam PMA/Kep BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Hali
dilakukan denga pertimbangan bahwa :
Dalam rangka penanaman modal terkait denga perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan
untuk melaksanakan penanaman modalnya maka perlu izin lokasi
Pemberian izin lokasi merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan rencana
pananaman modalnya.
Pemberian izin lokasi ini, diperluas sehinggga tidak terbata pada penanaman modal saja
Arti Izin Lokasi adalah sesiau pasal 1 PMA tersebut diatas adalah, izin yang diberikan kepada perusahaan
untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai
izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman
modalnya.
Tanah yang dapat ditunjuk dengan izil lokasi adalah, tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah
yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan
dilaksanakan pleh perusahaan menurut persetujuan penanaman yang dipunyainya.
Hak dan kewajiban pemegang izin lokasi:Pemegang izin lokasi dizinkan membebaskan tanah dalam areal
izin lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasar kesepakatan dengan pemegang hak dengan cara
jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai peraturan
Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang izin lokasi, sesuai hak dan kepentingan
pihak lainyang sudah atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui.
Pemegang izil lokasi wajib menghormati kepentingan pihak lain atas tanah yang dibebaskan
Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan lain, maka kepada pemegang
izin lokasi dapar diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk
menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman
modalnya.
Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan diatur dalam PMA/Kep BPN Nomor 3 tahun 1998
tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan.
Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan perlu dilakukan dengan pertimbangan:
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, maka setiap orang, badan hokum, atau instansi yang
mempunyai hubungan hokum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya sehingga lebih berdaya guna
dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat
Banyak bidang-bidang tanah yang sementara menunggu digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong, sehingga tidak memberikan
manfaat bagi masyarakat
Dalam rangka memelihara pertahanan pangan nasional perlu menetapkan kewajiban setiap pemegang
hak atas tanah untuk memanfatkan tanah kosong
Tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Banguna dan Hak Pakai
tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai
ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
perorangan atu badan hokum yang menjadi pemeganh hak atas tanah
perorangan atau badan hokum yang telah memperoleh penguasaan atas tanah, akan tetapi belum
memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Instansi pemerintah, Pemda, atau badan lain yang diberi pelimpahan kewenangan pelaksanaan sebagian
hak menguasai dari Negara atas tanah Negara dengan pemberian hak pengelolaan.
BAB IX
Makna Keadilan
Makna keadilan seperi yang dijelaskan oleh Aristoreles, dan juga konsep keadilan (social) yang
tercantum dalam sila ke 5 Pancasila serta oleh para pemikir sebelumnya, memang tidak mudah untuk
dipahami, terlebih bila harus berhadapan pada kasus yang kongkret.
Bagi Indonesia kiranya dengan falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk
mengimplementasikan asas keadilan social. Makna keadilan itu sendiri bersifat universal, jauh di dalam
lubuk setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
Dalam pengertian keadilan, secara umum diberikan pengertiansebagai keadilan “membagi” atau
distributive justice , yang secara sederhana menyatakan, bahwa kepada setiap orang diberikan bagian
atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Perlu dipahami,
keadilan bukanlah hal yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis dan selalu bergerak diantara
berbagai factor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.
Dalam realitanya, setiap orang berbeda dalam hal kemampuan dan kebutuhannya bila dibandingkan
orang lain. Dalam situasi dimana orang lebih banyak membutuhkan sesuatu, namun kemampuan untuk
memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadialn.
Perkecualian ini mendapat perlakuan yang khusus dapat dialkukan, asalkan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal inilah disebut corrective justice atau positive discrimination.
Tidak mudan untuk menentukan pilihan antara memutuskan sesuatu yang secara formal memenuhu
syarat, namun tidak memenuhi syarat keadilan secara substansian, atau mengutamakan terpenuhinya
keadilan secara substansial namun secara formal tidak memenuhi syarat.
Pada tanggal 10 Desember 1994, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia, ini penting dalam rangka
kita memikirkan hak ekonomi setiap manusia, khususnya hak pemenuhan kebutuhan dasar terhadap
papan dan pangan, yakni hak untuk memperoleh kesempatan yang sama atas perolehan sumber daya
tanah serta pembagian hasilnya yang adil
UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2). Untuk mencapainya setiap warga Negara dalam hal ekonomi harus
diperhatikan , dihormati danm dilindungi.
Masalh tanah dari segi yuridisnya merupakan sesuatu hal bersifat kompleks. Dalam seuatu kasus, tidak
jarang terlibat beberapa instansi yang berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan.
Kesamaan konsep diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang menghasilkan keputusan yang
solid, adil bagi pihak-pihak yang meminta keadialn.
konsepsinya
criteria berlakunya
tanah Negara
Penggarapan rakyat atas tanah-tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan dal lain-lain yang meliputi
status tanah, penguasaan defacto rakyat, prinsip penyelesaian yang sesuai ketentuan yang berlaku
Pemindahan hak atas tanah jual beli, yang tetrkait dengan syahnya jual beli, funfsi pendaftaran hak atas
tanah, perlindungan terhadap pihak ketiga dan lain-lain.
Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang cenderung reaktif karena mendasarkan
penilain lebih pada apa yang tersurat atau bersifat harfiah semata. Memahami undang-undang
merupakan proses berpikir reflektif yang menunjukkan upaya untuk tidak sekedar berhenti pada hal-hal
yang bersiafat harfiah semata, namun berusaha menemukan makna yang tersirat yang justru tidak
tampak dari bunyi pasal tersebut.
Cara berpikir reflektif yang selalu mengaitkan antara konsep dan operasional yang akan menghasilkan
penilain yang obyektif merupakan tugas yang memakan waktu lama dan pikiran yang barangkali kurang
sesuai bagi mereka yang terbiasa dengan budaya instant.
Pemikir reaktif melihat suatu peristiwa hokum dan menghubungkan dengan pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan dengan lebih menitikberatkan pada penemuan jawaban terhadap “apa”
hukumnya dan “bagaimana” menerapkan dalam peristiwa konkret tersebut. Sedangkan pemikir reflektif
berusaha menghubungkan antara apa yang dimaksudkan oleh bunyi pasal tersebut dengan “mengapa”,
yakni konsep/asas yang mendasarinya. Kemudian, berupaya “bagaimana” menerapkannya dalam
pe5ristiwa konkrit, sesuai denga pesan yang termuat dalam konsep/asas yang mendasarinya, yang
secara umum bertujuan untuk memberikan keadilan bagi setiap orang. Tampaknya pertanyaan
“mengapa” ini cenderung dihindari, padahal wacana moral dan etika justru erat kaitannya dengan
pemahaman tentang konsep/asas yang tersembunyi di balik suatu pasal.