Anda di halaman 1dari 36

Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi

oleh: Jacques Leclerc


Jacques Leclerc: Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi
Naskah ini pertama kali diterbitkan dalam Angus McIntyre,
Indonesian Political Biography - In Search of Cross-Cultural
Understanding, Monash Papers on Southeast Asia #28, 1993.
Cetakan Pertama, Januari 1996
Terjemahan: Hersri S
Kulit Muka: Amir Sjarifuddin, karya Henk Ngantung
Penerbit:
Jaringan Kerja Budaya
PO Box 6438 JATGD
Jakarta 13064
Pengantar Penerbit
Saat buku ini terbit, baik tokoh yang dibicarakan maupun
pengarangnya, telah meninggal. Amir Sjarifuddin meninggal
tahun 1948, menyusul Peristiwa Madiun yang melibat dirinya.
Ia meninggal dalam arus revolusi yang bergerak begitu
cepat,
melebihi kemampuan tiap-tiap orang untuk
menangkap apalagi mengarahkannya. Seperti ditulis Abu
Hanifah ketika menutup tulisannya tentang tokoh ini dalam
majalah Prisma, "Revolusi memakan anaknya sendiri".
Jejak langkah Amir Sjarifuddin sudah berulangkali berusaha
ditulis orang, tapi selalu saja terasa kekurangannya di sanasini. Menulis tentang tokoh kontroversial seperti Amir
memang bukan barang mudah. Mengambil satu aspek saja
dari dirinya berarti melupakan aspek lain. Melihatnya sebagai
seorang Kristen yang taat saja, dan menelusuri seluruh
perjalanannya dari perspektif ini, akan membuat kita
kedodoran memahami sikap politiknya yang radikal sebagai
"anak revolusi". Di pihak lain, melihatnya hanya sebagai
politisi radikal, pemimpin Partai Sosialis (dengan segala
kekeliruan dan kekacauan tentang paham dan partai ini di
zaman sekarang), juga tidak akan membuahkan apa-apa.
Apalagi mengingat perjalanan politiknya tidak hanya dituntun
oleh pikiran, tapi lebih oleh pergolakan dalam masyarakat
sezaman.
Mungkin paling baik jika kita menempatkannya kembali
dalam zamannya; membiarkan dirinya tampil melalui pikiran
dan tindakannya dalam sejarah.
Jacques Leclerc, meninggal bulan April 1995, setelah
mengidap kanker ganas dalam tubuhnya selama bertahuntahun. Ia juga sosok kontroversial dalam bidangnya, seorang

penulis yang tidak kenal lelah dalam memahami proses


revolusi yang rumit dan berliku.
Jacques mengerahkan banyak tenaganya untuk meneliti dan
menulis tentang kurun yang sulit dan penuh perdebatan,
yakni revolusi Indonesia. Ia menjadi kontroversial karena cara
pikir dan tradisi yang dibawanya tidak lazim dalam studi
tentang Indonesia. la gemar membandingkan kehidupan
politik di tahun 1940-an dengan kisah-kisah revolusi Prancis
yang sangat akrab baginya, dan menyumbangkan tradisi
penulisan sejarah Prancis yang kaya dalam wilayah studi ini.
Sejak tahun 1970-an is mulai menulis tentang gerakan rakyat
tahun 1940-an, dan di situlah ia menyelami kehidupan Amir
Sjarifuddin. Sepagi 1982 ia sudah menulis biografi Amir
Sjarifuddin, dan sejak itu terus membuat penelitian tentang
pemikiran dan perjalanan hidup tokoh ini. Tulisan di hadapan
ini lebih sebuah renungan tentang Amir ketimbang tulisan
ilmiah yang menyajikan fakta dan interpretasi dalam
langgam yang ketat. Mungkin sekali bukan yang terbaik, tapi
di sinilah ia mengerahkan pengetahuan dan kepiawaiannya
dalam menulis, untuk mengambil kesimpulan yang cerdas
tentang seorang manusia, lingkungan dan zamannya.
Januari 1996

I
TANGGAL 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat
desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol pada
kepalanya oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan
khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu
beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan
menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan
sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di
Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu.
Beberapa hari sebelumnya ia, dan beberapa orang lainnya
lagi, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara
ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.
Pada malam itu juga Polisi Militer berkeliling ke rumah-rumah
penjara besar, yang masih bisa mereka datangi, khususnya
di Magelang dan Purworejo, untuk meneruskan rencana
eksekusi-eksekusi mereka. Perintah pembantaian itu turun
langsung dari mantan kepala satuan khusus tersebut, Kolonel
Gatot Subroto, yang pada 17 September 1948 telah diangkat
sebagai Gubernur Militer Surakarta. Barangkali Gatot takut,
bahwa para tahanan akan memanfaatkan keadaan untuk
melarikan diri, seperti yang memang telah terjadi di rumah
penjara di Yogyakarta. Seperti diketahui, pasukan payung

Belanda telah diterjunkan di Yogyakarta pada pagi hari


sebelumnya, dan segera menduduki daerah ini.
Kalangan dekat dengan para korban eksekusi mengatakan,
bahwa tanpa jaminan atasannya Gatot tidak akan mungkin
berani mengambil prakarsa sendiri, membunuh tokoh seperti
Amir, seorang mantan perdana menteri dan juga menteri
pertahanan selama lebih dua tahun. Oleh karena itu tuduhan
lalu mereka lempar kepada perdana menteri pengganti Amir
saat itu, yaitu Mohammad Hatta. Desas-desus juga beredar,
yaitu tentang sidang kabinet terakhir sebelum Yogyakarta
diserang
Belanda,
yang
disusul
dengan
peristiwa
penangkapan Sukarno, Hatta dan beberapa tokoh negara
lainnya. Konon pada sidang kabinet tersebut juga dibicarakan
nasib Amir dan tawanan-tawanan sesama lainnya, yang pada
saat itu masih ada di Yogyakarta; dan bahwa Sukarno
menentang keras dijatuhkannya hukuman mati secara sumir.
Karena itulah, di luar pengetahuan Sukarno, mereka itu
diserahkan kepada Gatot. Barangkali ini merupakan sebuah
rekonstruksi,
sengaja
untuk
membebankan
seluruh
tanggungjawab atas apa yang terjadi pada pundak Hatta
sendiri. Notulen sidang kabinet itu, seandainya pernah ada,
sampai
sekarang
tidak
pernah
ditemukan.
Tetapi
bagaimanapun juga, jika pembicaraan tentang nasib mereka
itu memang pernah terjadi di dalam sidang tersebut, kiranya
tidak akan termasuk sebagai bahan yang boleh disiarkan.
Ketika Gatot meninggal mendadak tahun 1962, sekali lagi
terdengar kabar burung tentang apa penyebabnya. Sejak
malam di bulan Desember 1948 itu, ia terus-menerus hidup
dalam bayangan rasa takut terhadap pembalasan.
Sementara orang bahkan mengatakan: bayangan rasa sesal
yang mendalam. Tetapi semuanya patut kiranya diragukan.
Gatot telah diangkat sebagai dewa pelindung dari sistem,
yang telah disusun sejak Oktober 1965, di bawah pimpinan
Jenderal Suharto. Pada bas-relief untuk memperingati
kemenangan ABRI atas kaum komunis, yang merupakan
bagian sentral dari sebuah monumen simbolis yang dibangun
di Lubang Buaya pada awal tahun 70-an, Gatot dan Suharto
digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang sejajar dan dalam
pose yang sama pula. Di tengah-tengah kemelut politik ini
sebelas makam di Ngalihan, yang dalam bulan November
1950 telah digali oleh keluarga masing-masing, dan yang
setelah diautopsi dimakamkan kembali, semuanya hilang
tanpa bekas. Bahkan ketika majalah Prisma pada hari ulang
tahun Amir Sjarifuddin ke-75, dalam bulan November 1982,

menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis dengan


sangat berhati-hati itu, Menteri Penerangan mengancam
pembreidelan majalah tersebut. Disertasi Pendeta Frederiek
Djara Wellem, di bawah bimbingan Pendeta Belanda Th. van
den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir
Sjarifoeddin, Pergumulan Imannya Dalam Perjuangan
Kemerdekaan, yang telah berhasil terbit oleh penerbit Kristen
Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan
ketika izin peredarannya ditolak pemerintah. "Saya ingin
melihat sejauh mana yang bisa kita lakukan", kata penerbit
W.B. Sidjabat tentang naskah tesis itu setahun sebelumnya.
"Kita ingin tahu, apakah sekarang sudah mungkin berbicara
secara terbuka tentang Amir Sjarifuddin".
Tesis Wellem yang mencerminkan pandangan sementara
orang Kristen Indonesia, yang secara kebetulan mengenal
Amir ini, melukiskan Amir sebagai semacam rasul. Justru
karena cintanya kepada manusia, Amir menjadi terseret oleh
godaan untuk menandatangani perjanjian dengan setan
komunis, yang akhirnya ternyata harus ditebus dengan
nyawanya. Dengan sangat emosional tesis itu bermaksud
memulihkan nama tokoh yang dilaknat ini. Kiranya para
pejabat yang telah menjatuhkan larangan terhadap buku itu
tidak mungkin mengetahui lebih selain dari judulnya saja.
Tetapi usaha untuk mengusir setan dari tokoh yang oleh
Negara telah dinyatakan kerasukan, dan kemudian
menjadikannya semacam Faustus politik ini, sudah
merupakan langkah awal tindak subversi, jika Negara yang
dimaksud di sini ialah negara yang dibayangkan Gatot dan
Suharto.

II

MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh


pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan
dan kegagalan harapan-harapan besar dari jamannya,
seperti yang terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan
nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme". Seperti juga
di mana-mana, di Indonesia pun, bagi barang siapa yang
ambil bagian di dalamnya, semua kata-kata itu dipadatkan
dalam sepatah kata saja: "revolusi".
Amir, seperti beberapa pemuda Indonesia lain yang
seangkatan dan sepergaulan dengannya, disadarkan tentang
arti kata "revolusi" dan janji-janjinya, pertama-tama melalui
apa yang dipelajarinya dari guru-guru Belanda mereka
tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah
menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang lebih banyak

kepada Revolusi Prancis inilah, dan bukan revolusi-revolusi


Amerika atau Rusia, ia selalu memalingkan pandangannya.
Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata kunci Ernst
Bloch)
untuk
Indonesia
pertama-tama
memperoleh
bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: "satu nusa,
satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep-konsep ini
didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-,
Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil
oleh para mahasiswa yang menamakan diri sebagai bangsa
Indonesia, serta mengubahnya menjadi tuntutan Yakobin
dalam tahun 1928. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga
berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang
baru saja dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa
dimengerti dan diterima oleh semua, prinsip ini juga
membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun
telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.
Sepanjang duapuluh tahun, 1928-1948, Amir telah
membaktikan separuh umurnya kepada politik. Dan untuk itu
ia pun harus menempuh sepanjang labirin, untuk
menemukan jalan ke luar daripadanya. Namun tidak jarang
harus menemui jalan buntu.
Bagi Amir labirin itu berbentuk permainan enam orang tokoh,
yang satu sama lain saling berhadapan dalam pasangpasangan yang selalu berubah-ubah. Ada pemain-pemain
utama, yaitu Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan golongan
"partai nasional" (inilah yang dimaksud sebagai "Prinsip
Harapan"), yang tertambat pada perjuangan tak terdamaikan
untuk menguasai kendali. Sifat permusuhan persekutuan itu
mengabadikan mereka dengan sebutan "dwitunggal",
sebagai suatu monumen sejarah yang tak bisa diganggugugat, simbol persatuan Indonesia yang tak terpisahkan,
sejak mereka bersama menandatangani naskah proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya ada persekutuan-persekutuan yang masingmasing tersusun dengan pemain-pemain mudanya, yaitu
Hatta dengan Sjahrir; dan, walaupun dengan cara yang
kurang jelas benar, Sukarno dengan Amir. Ada lagi pasangan
antara dua sesama pemain muda saja, yaitu Amir dan Sjahrir.
Mereka ini hanya dihubungkan sebagai pasangan untuk para
pemain utama, ketika empat pemimpin itu barat empat
pilar penyangga dunia ampil sebagai lambang negara
Indonesia antara November 1945 sampai Juni 1947. Tetapi
terjadi juga formasi berbalikan: pemain muda yang kuat
berpasangan dengan pemain tua yang lemah, yaitu Sjahrir

sebagai perdana menteri dan Hatta sebagai wakil presiden.


Dalam hal ini Amir sebenarnya sudah menjadi semacam
'kartu mati'. Hatta dan Sjahrir praktis tak terpisahkan lagi
sejak mereka pertama kali bertemu, dan mereka pun pernah
tinggal bersama selama di pengasingan dari tahun 1934
sampai 1942. Tetapi Amir, bintang Partindo (Partai Indonesia)
yang tengah marak itu, dijebloskan ke penjara ketika
Sukarno, pimpinan partainya, dibuang ke pulau pengasingan
seperti halnya juga Hatta dan Sjahrir. Terpisah dengannya
sejak tahun 1933, Amir baru bertemu kembali dalam tahun
1942, dan itu pun hanya selama beberapa minggu. Jika
pasangan dua tokoh muda Amir-Sjahrir ini selama bulanbulan terakhir tahun 1945 oleh sementara sejarawan
ditonjolkan, namun tidak dengan kata-kata yang digunakan
pasangan tokoh-tokoh yang tua: kata-kata rujukan pada
sosialisme menggantikan nasionalisme (inilah salah satu cara
bicara tentang arti Perang Dunia II dari sudut sang
pemenang), walaupun tetap di dalam acuan yang ditempa
para tokoh tua itu. Partai Rakyat Sosialis yang diumumkan
berdirinya oleh Sjahrir dalam bulan November 1945 itu
(walaupan hanya hidup di atas kertas, tetapi ini masalah lain
lagi), dapat disepadankan dengan Nationale Volkspartij
(Partai Rakyat Nasional) bentukan Hatta di Negeri Belanda
lima belas tahun sebelumnya, sesudah Partai Nasional
Indonesia didirikan Sukarno di Indonesia. Dari Sukarno ke
Amir dan Partai Sosialis Indonesia, urutan hubungannya pun
sama: "sosialisme" menggantikan "nasionalisme". Kata
"revolusioner" yang, dalam rapat-rapat pendahuluan bulan
Oktober 1945, disarankan agar dicantumkan pada nama
partai sosialis (partai masa depan dari generasi akan
datang), ternyata tidak tercantum. Walaupun hal ini tidak
disebabkan oleh ketakutan terhadap akibat yang bisa timbul
dari sepatah kata itu.
Lalu ada pula pasangan Kanan-Kiri, yang biasa dipakai untuk
mengenali kandungan gerakan kebangsaan, untuk pengganti
pasangan Kolot-Modern. Ini justru timbul dalam tahun-tahun
1936-1940, ketika Amir telah bebas dari penjara dalam bulan
Juni 1935, dan dipandang sebagai sisa hidup dan saksi dari
jaman kepahlawanan. Strategi heroisme, yaitu strategi yang
dinamakan "nonkoperasi" dengan pemerintah kolonial, telah
mengalami kegagalan. Oposisi radikal terhadap pemerintah
menjadi lumpuh, oleh karenanya terlalu lemah untuk
berhadapan dengan represi yang keras. Dalam debat tentang
strategi jangka panjang untuk mengusir Belanda (karena

"kaum loyalis" juga menginginkan kekuasaan), masalah


nonkoperasi dan koperasi lalu tersisih (menurut istilah saat
itu koperasi ialah "loyalitas"). Masalah beralih pada usaha
mencari cara-cara aksi yang lain, sehingga karenanya citacita sosial dari aksi-aksi politik menjadi jelas, dan bentukbentuk identifikasi baru pun ditemukan. Golongan yang
menempuh jalan nonkoperasi menamakan diri mereka
sebagai "Kiri", dan menyebut golongan "loyalis" sebagai
"Kanan". Kaum Kiri baru ini diidentifikasi pada pribadi Amir,
dan berdasar ini juga tahun-tahun 1936-1940 merupakan
"tahun-tahun Amir". Tetapi juga kaum Kanan mempunyai
tokoh simbolnya, yang baik oleh para pejabat Belanda
maupun sementara tokoh Kiri sebagai lawan berdebat, yaitu
Thamrin. Pada akhir tahun '30-an gerakan anti-kolonialisme
yang luas beraneka macam, seperti yang pada tahun 1939
tergabung dalam GAPI atau Gabungan Partai-Partai Politik
Indonesia itu, mempunyai dua kepala: Amir dan Thamrin. Ini
sungguh keterlaluan. Ternyata kedua-duanya memang
digeser, masing-masing ditarik oleh partainya dari sekretariat
GAPI. Namun sebenarnya ini hanya suatu krisis baru dalam
gerakan, yang diakibatkan oleh invasi Jerman atas Negeri
Belanda. Krisis ini berakibat tragis. Oleh alasan-alasan yang
sama sekah tidak jelas, Amir menarik diri atau minggir dari
percaturan. Langkah ini dilakukannya sesudah terjadi
polemik yang panjang dan ramai dengan Thamrin, yang
berlangsung melalui seorang wartawan (yaitu Tabrani,
pemimpin redaksi Pemandangan, yang ingin membuat
perhitungan pribadi dengan Thamrin). Thamrin, yang
dicurigai melakukan hubungan gelap dengan Jepang itu,
dalam bulan Januari 1941 meninggal oleh serangan jantung
pada umur 47 tahun, yaitu sesudah rumahnya digerebek dan
digeledah oleh polisi Belanda.
Kemudian ada tokoh keenam, yaitu Musso. Beberapa bulan
sesudah disingkirkan Sukarno, Amir diberi tanggungjawab
(atau, tergantung bagaimana orang melihatnya, dibiarkan
mengambil tanggungjawab sendiri), untuk atas nama
Indonesia menandatangani perundingan gencatan senjata
Renville yang sangat buruk itu. Ini terjadi bulan Januari 1948.
Beberapa bulan sesudah itu Amir menyatakan dirinya
sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, yang menurut
sejarah resmi partai ini telah "dibangun kembali" oleh Musso
dalam tahun 1935.
Dalam bulan Agustus 1948, setelah bertahun-tahun dalam
pengasingannya di Moskow, Musso kembali ke Indonesia.

Segera sesudah tiba ia berusaha menempatkan dirinya


sebagai pengasuh citarasa politik bangsa Indonesia. Dengan
demikian pernyataan keanggotaan Amir pada Partai Komunis
yang retroaktif, pada periode kritis pencarian strategi yang
menjelaskan tentang sambutan terhadap kedatangan Musso
saat itu, juga harus diartikan bahwa yang disebut "tahuntahun Amir" sebenarnya adalah "tahun-tahun Musso".
Artinya, bahwa sejak 1935 Amir tidak lagi sebagai anak-buah
Sukarno, melainkan anak-buah Musso. Tetapi justru Hatta
yang melempar ide pasangan Musso-Amir ke tengah
gelanggang, sebagai alternatif pasangan Sukarno-Hatta.
Yaitu pada tanggal 20 September 1948, ketika ia
mengumumkan pernyataan seperti yang diucapkan Sukarno
sehari sebelumnya, bahwa sebuah republik soviet baru saja
diproklamasikan di Madiun. "Malahan kabarnya, saya tidak
tahu benar dan tidaknya, bahwa Musso akan menjadi
presiden republik serobotannya ini, dan Amir menjadi
perdana menterinya."1) Sukarno mengecam kup golongan
Musso itu, tetapi tanpa menyebut-nyebut nama Amir. Secara
fungsional memang Musso yang sama dengannya.
Sedangkan Amir adalah masalah Hatta. Dan bukankah Hatta
juga yang telah mengambil alih dua jabatan Amir, sebagai
perdana menteri dan menteri pertahanan?
Empat tokoh yang memimpin negara Indonesia selama
bulan-bulan pertama, yaitu Sukarno-Hatta-Sjahrir-Amir,
menurut urutan kehormatan institusional, naik-turun kursi
perdana menteri beriring-iringan seperti angka-angka sebuah
arloji otomatis. Satu demi satu mereka turun, angka-angka
masing pun berkurang. Akhirnya formasi segi-empat itu
hancur, dengan Sukarno dan Hatta saja tersisa. Angkatan
muda lenyap. Dan bersama itu, untuk jangka waktu yang
lama, juga impian mereka tentang sosialisme, serta harapan
mereka tentang kehidupan politik Indonesia sebagai bagian
dari sejarah dunia Kiri.
Generasi muda tampil bersama-sama mengecam kekuasaan
berlebihan, yang diberi oleh Undang Undang Dasar 18
Agustus 1945 pada presiden Republik, yang sekaligus juga
perdana menteri. Tentu saja pendirian itu mendapat
tumpuannya yang kuat pada Wakil Presiden. Maka sudah
dalam bulan November 1945, pemerintah Sukarno diganti
pemerintah yang dipimpin Sjahrir. Mungkin sekali justru
hubungannya dengan wakil presiden inilah yang telah
memudahkan pengangkatan baginya. Sejak itu dewan
menteri bertanggung jawab kepada suatu majelis yang

diangkat dari wakil-wakil berbagai organisasi, dan yang sifat


perwakilannya tidak diketahui. Orang hanya mengharap
bahwa kelak, pada suatu ketika, majelis ini dapat diganti
suatu badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum.
Amir yang mengganti Sjahrir memimpin pemerintahan
selama enam bulan hanyalah merupakan suatu parentesis.
Sekalipun masa enam bulan ini merupakan bulan-bulan
perang dan perundingan gencatan senjata. Situasinya
eksplosif, dan terasa sedang mencari-cari kambing hitam.
Seketika Amir telah dikorbankan, demi dirinya Hatta
merestorasi sistem presidentil (yang dahulu ia sendiri
membantu menghapusnya itu), dengan dukungan mereka
yang selalu melawan pemerintah apa pun sejak November
1945. Dialah pemenang besar dalam permainan ini. Dan
seperti Sukarno yang telah meninggalkan Amir, Hatta pun
dapat berjalan sendiri tanpa Sjahrir, yang memang tidak lagi
tampil di dalam pemerintahan.
Dari Empat Serangkai itu Amir yang paling lemah. Satusatunya kekuatan padanya hanyalah karena ia pernah
dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Kecuali itu
sebagai menteri ia bisa dipakai sebagai jaminan pemerintah
(tetapi yang sekaligus menimbulkan rasa tidak enak), yang
risau ingin memperlihatkan kedekatannya pada Sekutu yang
pada 29 September 1945 telah mendarat. Amir ialah
jaminan, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945 bukanlah tanda-mata perpisahan dari Jepang.
Secara eksplisit Amir tidak pernah mengatakan, bahwa
nyawanya telah disambung berkat campur-tangan Sukarno
atau Sukarno dan Hatta, sebagai pemimpin-pemimpin
pemerintah Indonesia saat di bawah Jepang itu. Tetapi ketika
masalah ini diangkat oleh pers, ia juga tidak membantahnya.
Dengan demikian Amir telah ikut membantu menyebar citra
Sukarno dan Hatta sebagai pelindung-pelindung gerakan
bawah tanah, yang untuk saat itu diperlukan dan bahkan
sangat penting. Namun demikian, walaupun sementara itu
Amir sudah diangkat sebagai menteri, ia baru dibebaskan
dari penjara pada tanggal 1 Oktober, enam minggu sesudah
proklamasi kemerdekaan; karena Sekutu sudah mendarat,
maka menjadi sangat penting tokoh Amir ditampilkan. Hal ini
menimbulkan beberapa tanda tanya: sejauh mana
sesungguhnya pengetahuan Sukarno dan Hatta tentang
nasib Amir selama masa pendudukan Jepang; dan
selanjutnya juga tentang kapasitas mereka mengintervensi
penguasa Jepang di dalam masalah ini. Selain itu, sekali

percaturan politik telah beralih dari masalah perlawanan


terhadap Jepang, dan kisah tentang gerakan bawah tanah itu
pun sudah tidak terlalu diperlukan lagi, maka tanpa malumalu Sjahrir berbicara sarkastis tentang kegiatan anti-Jepang
Amir (misalnya jika kita baca bagian terakhir Out of Exile).
Lebih dari itu Sjahrir bahkan melukiskan Amir tidak lebih
sebagai seorang kacung Belanda belaka. Jelas, juga Sjahrir
pribadi mempunyai citra "pejuang bawah tanah" yang
hendak dibelanya. Karena masing-masing orang angkatan
tua harus mempunyai "tokoh pejuang"-nya sendiri-sendiri,
jika Amir untuk Sukarno, maka Sjahrir untuk Hatta. Tetapi
karena citra "pahlawan" pada dirinya itu agak kabur, tentu
saja Sjahrir hanya akan berhasil membelanya dengan jalan
mendiskreditkan citra tokoh-tokoh lain yang lebih jelas
gambarannya.

III

BERBEDA dengan Sukarno, Hatta dan Sjahrir, yang ditahan


jauh dari Jakarta karena exorbitante rechten Gubernur
Jenderal, Amir tidak pernah diasingkan. Tetapi gelombanggelombang penahanan besar-besaran, yang membawa
banyak korban pada gerakan kebangsaan dalam tahun 19331934, juga menyeret dirinya. Saat itu ia sebagai salah
seorang di antara aktivis mahasiswa yang sangat dikenali
polisi, dan juga sebagai salah seorang pembantu terdekat
Sukarno di dalam Partindo. Oditur Jenderal sebenarnya sudah
menyusun tuntutan untuk "menginternir" (pengasingan di
dalam negeri), ketika ia pada tahun 1933 dijatuhi hukuman
18 bulan penjara karena pelanggaran undang-undang pers.
Tetapi hukuman penjara itu menyebabkan keputusan internir
tersebut menjadi tertunda. la dipenjarakan di rumah penjara
politik pusat Sukamiskin di dekat Bandung, semacam
"Bastille" Indonesia., tempat segala macam tokoh menarik
dapat dijumpainya. Namun sesudah Amir dibebaskan, Oditur
Jenderal segera mengambil langkah untuk membuangnya
jauh-jauh.
Maka pengasingannya ke Digul
kembali
diperbincangkan. Setelah berunding dengan Dewan Hindia
Belanda, Gubernur Jenderal menolak tuntutan mahkamah
pengadilan, dan memutuskan pembebasan bersyarat untuk
Amir. Tampaknya sedikit pun tidak ada jaminan pada Amir
untuk memenuhi syarat tersebut. Namun Schepper dan
Mulia,
yang
memohonkan
pengampunan
bagi
pembebasannya kepada Gubernur jenderal, menjamin Amir
akan bertingkah-laku baik. Orang tersebut pertama ialah
bekas guru Amir di Sekolah Hukum, dan pejabat tinggi di

10

departemen kehakiman; dan yang kedua ialah saudara


sepupu Amir, dan anggota Volksraad. Kedua mereka
terutama mempunyai pengaruh besar di kalangan misi
Kristen.
Tidak lama sesudah itu diduga Amir berusaha menjalin
hubungan dengan Musso, tetapi waktu tidak memungkinkan
hal itu. Musso tidak hendak mengambil resiko, apalagi Amir.
Di samping itu, kawan-kawan yang mengatur pertemuannya
dengan
Musso
mempunyai
banyak
alasan
untuk
mencurigainya sebagai perangkap; atau menduga-duga,
bahwa pembebasannya itu disebabkan oleh karena Amir
telah menyeberang ke pihak sana.
Masalah yang dihadapi Amir dalam bulan-bulan terakhir
tahun 1935 tersebut, juga dirasakan oleh siapa saja yang
dari sudut tinjauan politik mempunyai pandangan yang
sama. Yaitu bahwa perjalanan gerakan sepanjang tahuntahun sebelum 1935 mereka pandang sebagai telah
membentur tembok represi. Oleh karenanya masalah yang
mereka hadapi ialah bagaimana mencari jalan baru untuk
maju, baik secara praktis maupun secara intelektual. Strategi
konfrontasi yang ditempuh Partindo ternyata telah
menghancurkan kehidupan partai itu sendiri, sehingga
sarana politik pokok ini perlu dibangun kembali dengan dan
demi strategi yang lain. Selama bulan-bulan yang serba tak
menentu dan menggelisahkan ini banyak dibicarakan orang
tentang "partai baru" dan tentang "reorientasi". Amir sajalah
yang, dari kalangan kelompoknya, memprakarsai adanya
sebuah harian baru Kebangoenan, yang hanya bisa terbit
berkat bantuan kelompok Cina Siang Po. Redaktur kelompok
ini ialah penyair dan dramawan Sanusi Pane, yang dalam
awal tahun 1937 menerbitkan serangkaian karangan berjudul
"Herorientatie".
Dari pergolakan pikiran-pikiran itu lahirlah putusan untuk
membentuk partai baru Gerindo, Gerakan Rakyat Indonesia.
"Gerindo bukan hanya partainya Amir dan Yamin saja",
berkata suatu ketika Asmara Hadi, salah seorang muda
pimpinan partai ini. la menjadi jengkel terhadap kesan "kaum
reduksionis" (sekali lagi memandang suatu kelompok sebagai
terdiri dua orang saja!), yang suaranya bergema di dalam
tubuh Gerindo. Bagaimanapun memang segera ternyata,
bahwa partai itu bukanlah milik Yamin. la belakangan
memasuki Gerindo karena hatinya yang masih tertambat
pada Partindo, dan kemudian segera pula meninggalkannya
untuk kembali kepada partainya sendiri itu. Ketika berdirinya

11

Gerindo diumumkan Amir masih tinggal di Sukabumi bekerja


di sebuah kantor pengacara, yang dalam bulan Agustus
1938, tak lama sesudah kongres partai yang pertama
ditinggalkannya, untuk kembali ke Jakarta. Di sini ia pun
mendapat pekerjaan di kantor pengacara yang dipimpin oleh
Lie Tjiong Tie. Tokoh ini baru saja terpilih sebagai wakil
golongan Cina untuk dewan kota Jakarta, guna menghadapi
gembong-gembong, yang sampai saat itu tak terlawan, dari
Perserikatan Cina di bawah pimpinan H.H. Kan, seorang
anggota terkemuka Volksraad. Ini merupakan pertanda
datangnya kemungkinan-kemungkinan baru yang sangat
penting. Sambil memimpin partai Amir mencurahkan
perhatiannya terutama pada masalah-masalah komunikasi
dan pendidikan politik, bahasa, pers dan kantor berita,
sekolah dan pendidikan civik. Sebenarnya sudah sejak awal
karir politiknya bidang kegiatan tersebut selalu ditekuninya,
terutama bidang pers, penerbitan dan pendidikan. Walau
secara simbolik ia ikut mengusahakan penerbitan beberapa
majalah; dan tidak selalu majalah yang terang-terangan
politik. Beberapa di antara majalah penerbitannya itu,
misalnya Poedjangga Baroe, cukup menjadi terkenal
walaupun bertiras kecil saja. Dalam konteks pencarian
bentuk-bentuk baru komunikasi itulah, ia mulai memikirkan
tentang kampanye pemilihan, dan di atas prinsip-prinsip ini
pulalah Gerindo mengarahkan pandangannya ke depan.
Orisinalitas strategi fundamental partai baru ini terletak pada
dua hal. Pertama pada analisisnya mengenai perkembangan
hubungan-hubungan internasional dan sistem-sistem politik
global, dan kedua pada idenya bahwa krisis ekonomi kolonial
yang di Indonesia ditandai dengan runtuhnya perkebunanperkebunan, dapat mengakibatkan terjadinya krisis bagi
politik kolonial. Dan krisis politik kolonial ini akan
menimbulkan persoalan tentang pemilikan tanah-tanah
jajahan oleh negara-negara kolonial. Strategi ini menegaskan
tentang kemungkinan dilakukannya dialog antara Belanda
dan Indonesia tentang masalah demokrasi, dan tentang
hubungan komplementer antara pembelaan demokrasi di
Negeri Belanda menghadapi fasisme yang sedang bangkit di
Eropa, dengan memasukkan prinsip-prinsip demokrasi di
Indonesia, khususnya tentang "hak-hak manusia dan warga
negara" seperti yang dalam bentuknya yang klasik
dinyatakan
oleh
Revolusi
Prancis.
Strategi
partai
menegaskan, bahwa Indonesia merupakan sasaran ekspansi
Jepang, seperti halnya Belanda sasaran Jerman; dan bahwa

12

pertahanan bersama melawan ambisi-ambisi negara-negara


Poros di semua bidang, menuntut dilaksanakannya prinsipprinsip demokrasi di segala bidang, baik politik, ekonomi,
sosial maupun kebudayaan. Khusus untuk Indonesia hal ini
menuntut terbentuknya dewan-dewan yang dipilih dan
berlakunya prinsip pemilihan umum. Tidak ada masalah jalan
tengah, dalam arti berusaha mencari kompromi yang bisa
diterima kedua belah pihak, yang berdasar atas ketakutan
terhadap perebutan kekuasaan. Strategi ini berdasarkan teori
mengenai analisis terhadap krisis hubungan internasional
(Amir menulis banyak karangan tentang ini), dan mengenai
hubungan antara negeri jajahan dan negara penjajah yang
merupakan bagian integral daripadanya. Tetapi strategi ini
pun dapat dipandang sebagai sekedar langkah taktis belaka,
suatu
sikap
mundur
untuk
mengurangi
tuntutan
kemerdekaan. Maka karenanya lalu dapat dituduh sebagai
meninggalkan prinsip-prinsip para pendiri pergerakan,
bertekuk-lutut
di
depan
kesulitan
perjuangan
anti
kolonialisme, dan de facto memang melakukan kerjasama
dengan kaum penjajah. Tuduhan pokok terhadap Amir
sebagai "intel Belanda" oleh lawan-lawannya dari segala
pihak, kaum ultra-nasionalis ataupun bukan, sedikit banyak
bersumber dari penafsiran mereka yang demikian itu.
Strategi
front
persatuan
untuk
membela
dan
mengembangkan hak-hak dan prinsip-prinsip demokratis itu
mengingatkan pada apa yang ketika itu diajukan dengan
nama "Front Rakyat" oleh kaum kiri, khususnya oleh partaipartai yang dekat dengan Komunis Internasional. Strategi ini
terjadi khususnya di Eropa, tetapi juga di seluruh bagian
dunia lainnya. Perkataan Belanda "Volksfront" (front rakyat)
muncul dalam penerbitan-penerbitan Gerindo, dan tetap
tertera dalam kosakata politik bangsa Indonesia selama satu
dasawarsa, yang diberi arti menurut pandangan masingmasing partai tentangnya. Konon untuk membuktikan dirinya
sebagai komunis sejak lama itu, konon Amir dalam tahun
1948 pernah mengatakan bahwa inspirasi garis politik
Gerindo ditariknya dari analisis Komunisme Internasional.
Memang Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pun sejak
tahun 1936 selalu berbicara tentang strategi demikian. Dan
ketika dalam tahun 1936 itu juga Dr. Sutomo berkunjung ke
Eropa, Perhimpunan Indonesia mengajukan usul kerjasama
dengan Parindra yang didirikan setahun sebelumnya oleh Dr.
Sutomo tersebut. Bagaimanapun juga strategi yang
ditempuh dan dikembangkan oleh Gerindo dilaksanakan juga

13

oleh kaum aktivis, yang pada umumnya termasuk golongan


kiri (seperti mereka sendiri menyatakannya). Dari sudut
intelektualitas mereka berbeda-beda, tetapi semuanya
mempunyai kebutuhan yang sama untuk memulai lagi dari
awal. Front Rakyat sebagai bentuk resam persatuan nasional,
baik jika kita berbicara tentang Gerindo maupun tentang
suatu aliansi dengan Gerindo terlibat, merupakan suatu
pihak yang mendapat solidaritas demokrasi dari gerakan
internasional.
Pemerintah kolonial dan Negeri Belanda tidak sedikit pun
mengacuhkan Gerindo. Satu-satunya mitra bicara yang
diacuhkannya ialah Parindra, walaupun apa yang dinamakan
pemimpin-pemimpin tradisional itu tidak mempunyai wibawa
di kota-kota. Pada pemilihan dewan kotapraja tahun 1938,
"pribumi" yang berhak ambil bagian (sekitar 2% penduduk
kota-kota bersangkutan) sebagian besar diwakili oleh orang
Parindra. Pemerintah tidak mau memperluas jumlah pemilih
pribumi, karena hal ini akan membuka kesempatan bagi
Gerindo untuk mengajukan calon-calonnya. Juga pemerintah
tidak bersedia memberi kursi pada Gerindo di dalam
Volksraad, dengan jalan menunjuk salah seorang dari
pimpinan mereka, seperti yang lazim berlaku bagi organisasiorganisasi yang dipandangnya sebagai "loyal". Terbentuknya
badan-badan perwakilan, khususnya Parlemen sejati untuk
menggantikan Volksraad yang ada, menjadi tuntutan pokok
dari komite penghubung di mana Gerindo duduk di
dalamnya, seperti yang dilakukan oleh komite pusat
pendukung petisi Sutardjo (1936) dan GAPI, Gabungan Politik
Indonesia (1939).
Sesungguhnya antara Parindra dan Gerindo, sebagai elemenelemen pokok dalam setiap kesatuan nasional itu, pada
dasarnya saling bertentangan terutama dalam sepak-terjang
ketimbang prinsip. Pertentangan itu bertolak dari analisis
mereka tentang situasi internasional, dan dalam pemahaman
mereka yang bertolak belakang dalam hal konflik SinoJepang. Walhasil pendirian mereka dalam hal kedudukan
orang-orang yang oleh hukum Belanda digolongkan sebagai
"bangsa Timur Asing" (dalam hal ini Cina) di tengah
masyarakat dan lembaga-lembaga Indonesia juga saling
bertentangan. Bagi Parindra hanyalah mereka yang oleh
Belanda digolongkan sebagai "pribumi" itulah yang Indonesia
sejati. Baik ke dalam maupun ke luar Parindra berpandangan
anti Cina. Karena itu pula Parindra mendapat cap sebagai
pro-Jepang, dan dalam pada itu penerbitan-penerbitan

14

mereka pun umumnya memperlihatkan sikap yang sama


sekali tidak kritis terhadap fasisme, termasuk fasisme Eropa.
Dari sudut ini barangkali Gerindo lebih mewakili perasaan
umum di kalangan kaum nasionalis Indonesia saat itu.
Bagaimanapun juga Amir, yang sebagai ahli hukum dan
jurnalis bekerja bersama-sama orang Cina rekan-rekannya,
mempunyai konsep tentang kewarganegaraan Indonesia atas
dasar tempat kediaman dan bukan darah, seperti sudah
dikemukakan juga oleh Tjipto Mangunkusumo dan sementara
tokoh lainnya. Konsep kewarganegaraan yang demikian ini
diajukan dalam kongres ke-2 Gerindo tahun 1939. Apakah
konflik ini, yang diperburuk oleh wakil-wakil Gerindo dan
Parindra dalam sekretariat GAPI yaitu Amir dan Thamrin,
yang mengakibatkan terjadinya krisis antara kedua partai
bersangkutan? Sehingga pimpinan mereka masing-masing
berusaha mengatasinya dengan mengganti Amir dengan
Gani dan Thamrin dengan Sukardjo? Ataukah semata-mata
karena pertentangan antara kedua tokoh itu, sehingga
masing-masing saling caci-mencaci?
Sudah dalam bulan Juli 1940 suasana di Jakarta menjadi
terasa sangat tegang. Ketika itu Negeri Belanda sudah
diduduki Jerman, dan pemerintahnya pun sudah mengungsi
ke London. Konflik antara Amir dan Thamrin terjadi untuk
pertama kali pada waktu menghadapi pemilihan dewan kota
praja yang direncanakan tanggal 12 Juni. Dalam awal bulan
Mei Gerindo mengusulkan Amir sebagai calon bersama GAPI,
dan semua partai menerimanya kecuali Parindra (Partai
Indonesia Raya). Karena pemilihan ini untuk dewan kota
praja Jakarta, maka yang menentang Amir sebagai calon
bersama GAPI itu pun pimpinan Parindra Jakarta, yaitu
Thamrin. Amir tampil sebagai calon koalisi berhadapan
dengan calon Parindra, dan mendapat sepertiga jumlah
suara. Perolehan suara yang kecil ini, sekitar seribu suara,
merupakan pertanda yang tidak baik. Apakah benar karena
Thamrin berusaha menghalangi terpilihnya Amir, yang
dipandangnya dapat menjadi saingan berbahaya baginya di
dalam dewan? Komunike Gerindo tentang penarikan Amir
dari pengurus GAPI menyebut usul Amir, tentang langkah
yang harus diambil berkaitan dengan didudukinya Belanda
oleh Jerman, tetapi usul itu ditolak GAPI. Bagaimana isi
setepatnya usul itu tidak dijelaskan. Tetapi apakah memang
demikian? Dalam bulan Juni hanya Parindra yang menolak
mendukung pencalonan Amir dalam pemilihan dewan kota.
Tetapi kemudian perhatikanlah, pada pemilihan untuk

15

pimpinan baru Gerindo, baik Amir sebagai ketua lama


maupun Wikana dan bahkan sesudah penghitungan kembali
suara ternyata juga Adam Malik, termasuk tokoh-tokoh yang
tidak lagi dicalonkan. (Wikana dan Adam Malik, keduaduanya anggota pimpinan partai). Pemilihan ini dilakukan
melalui surat menyurat, oleh karena adanya pelarangan hak
berkumpul berkenaan dengan dilakukannya keadaan darurat.
Menurut komunike yang ditandatangani Gani dan agak
membingungkan Gerindo, hal itu terjadi atas permintaan
mereka yang bersangkutan sendiri. Dalam bulan Juni Amir
dan Wikana diinterogasi lama oleh polisi politik, untuk
menyidik pamflet-pamflet komunis yang mereka dapati di
daerah Bandung. Isi pamflet itu sendiri tidak diumumkan.
Apakah Amir dan Wikana sudah masuk dalam jaringan
perjuangan bawah-tanah? (Gerindo memang merupakan
partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang
terlarang).
Apakah
karena
inilah
mereka
sendiri
memutuskan, atau atas permintaan jaringan tersebut,
menarik diri dari kehidupan umum agar tidak menarik
perhatian polisi? Kepada orang-orang yang dekat dengannya
Amir mengatakan, dalam interogasi itu ia diperingatkan pada
syarat-syarat pembebasannya lima tahun yang lalu, dan
diancam bisa segera dibuang ke Digul atau karena pimpinan
harian Gerindo mulai menjadi panik, di tengah-tengah
"keadaan darurat" dan menghadapi pada satu pihak konflik
dengan Parindra dan pada lain pihak pemeriksaan polisi,
yang kedua-duanya terpusat pada diri Amir? Pendamping
Gani waktu itu ialah Sartono, tokoh yang sesudah Sukarno
dipenjara dalam tahun 1929 telah membubarkan PNI.
Namun kenyataan yang terjadi ialah, bahwa Amir yang
sampai bulan Juni 1940 masih ketua Gerindo, dalam bulan
Juli tidak lebih selain sebagai anggota biasa. Dalam bulan
September ia meninggalkan pekerjaan sebagai pengacara
dan memasuki lapangan pemerintahan. Dalam hubungan ini
Amir sama sekah bukan saja sekedar seorang militan
angkatan lama, tetapi juga salah satu dari sebagian besar
calon-calon pimpinan pemerintahan sipil Indonesia merdeka
kelak. la bekerja pada bagian ekspor Departemen
Perekonomian yang dikepalai H.J. van Mook, yang
pengangkatannya pada jabatan ini mendapat sambutan
hangat dari Sanusi Pane di dalam Kebangoenan (ia
menyebutnya sebagai "seorang merah"). Dalam tahun 1945
kelak H.J. van Mook kembali ke Jakarta, sebagai Letnan
Gubernur Jenderal untuk berusaha membangun kembali

16

kekuasaan Belanda. Bahwa ia menduduki jabatan demikian,


dan dipimpin atasan yang demikian pula, menjadi bukti
tambahan tentang keterlibatan Amir yang ultranasionalis itu
dengan kolonialisme. Dalam tahun 1940 Amir menjelaskan,
bahwa dalam asas-asas Gerindo tidak ada sepatah kata pun
yang melarangnya bekerja sebagai pegawai negeri.
Pekerjaan dalam bidang ekspor justru akan memberi
kesempatan baginya, untuk memperdalam pengetahuannya
tentang perekonomian kolonial dan hubungan-hubungan
perekonomian internasional.
Tetapi sesungguhnya menarik diri dari kehidupan politik tidak
mungkin. Kalangan diskusi Kristen mengundangnya hadir
pada pembahasan-pembahasan yang tidak selalu tentang
teologi. Amir seorang ahli dalam pembentukan dan
pengorganisasian partai. Gerindo tampaknya tidak lagi
menghendaki dirinya, bahkan juga sesudah keadaan darurat
perang dicabut. Partai cabang Jakarta usul, agar dia dan
Wikana duduk lagi dalam komite eksekutif partai, tetapi usul
ini tidak diterima kongres bulan Oktober 1941. Beberapa hari
kemudian ia mengikuti konperensi tahunan Perhimpunan
Misi, yang antara lain membahas masalah pembentukan
Partai
Kristen
Indonesia.
Tidak
diketahui,
apakah
kehadirannya pada konperensi ini berkaitan dengan
kekalahannya di dalam Gerindo. Tampaknya Amir tidak
melihat adanya kebutuhan mendesak untuk mendirikan
partai Kristen, kecuali seandainya ada partai Islam yang kuat,
dan yang akan mengancam kebebasan beragama. Beritaberita sangat singkat dalam pers berbahasa Belanda seperti
menabur sekam pada bara api. Polemik berkecamuk
sepanjang
satu
bulan
penuh,
memenuhi
seluruh
halamanhalaman pada kebanyakan harian-harian berbahasa
Indonesia. Dalam pada itu golongan Islam menolak
pendapat, bahwa adanya partai Islam akan membahayakan
bagi kebebasan beragama. Sedangkan dari kalangan kaum
sekuler tidak seorang pun mengerti, mengapa urusan
mempertahankan kemerdekaan beragama harus dilakukan
oleh partai-partai agama, dan terutama tidak dapat diterima
bahwa pandangan demikian dari seorang seperti Amir. Ketika
Gani mengundangnya untuk menjelaskan masalah tersebut
pada pimpinan Gerindo, Amir menyatakan bahwa ia sematamata menyumbangkan pendapatnya dalam suatu pertukaran
pikiran tanpa mengaitkan dirinya dengan sesuatu kedudukan
apa pun. Maka Gerindo pun menyatakan, masalahnya telah
selesai. Tetapi perdebatan itu masih terus berbekas sampai

17

tahun 1945. Sejak berdirinya Masyumi memandang Amir


sebagai salah seorang musuhnya yang paling jahat.
Kenyataan asal-usul pribadinya yang dari keluarga Islam
justru memperburuk persoalan.
Hanya beberapa bulan sesudah perselisihan itu Amir
berusaha, setelah dihubungi oleh anggota-anggota kabinet
Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis
untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam
menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak
mendapat sambutan. Sesama aktivis rekan-rekannya masih
belum pulih kepercayaan mereka terhadapnya, yang sudah
hilang sejak tahun 1940 itu.
Selama paroh kedua tahun 1942 Amir, mewakili organisasiorganisasi Kristen, menyusun pranata-pranata peralihan
yang dipaksakan oleh Jepang. Pada bulan Januari 1943 ia
tertangkap, di tengah gelombang-gelombang penangkapan
yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan
sebagai
terbongkarnya
jaringan
suatu
kelompok
terorganisasi, yang sedikit banyak mempunyai hubungan
dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah
Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat
para pembantunya yang terdekat. Tetapi barangkali
kelompok ini baru terbentuk belakangan, sesudah mereka di
dalam penjara. Namun demikian identifikasi penting kejadian
Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidangsidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat
dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo
Surabaya. Hal ini barangkali dapat diartikan, bahwa
penerimaan mereka terhadap gagasan front anti-fasis dan
terhadap pembentukan persekutuan dengan Belanda antiporos, mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso
dalam tahun 1936.

IV
PERISTIWA Madiun yang membersihkan FDR (Front
Demokrasi Rakyat) pada akhir 1948, dan Peristiwa 3 Juli 1946
yang memusnahkan Persatuan Perjuangan, bagaimanapun
juga terjadi menurut pola yang sama. Seperti dikatakan, jika
sejarah berulang maka cenderung menjadi dagelan. Tetapi
dalam hal ini bukan menjadi dagelan, melainkan suatu
malapetaka dengan ribuan korban yang luasnya sama sekali
berbeda. Pemerintahan tandingan yang buru-buru disusun di
Madiun, barangkali bisa dipandang juga sebagai salah satu
"Komune" dalam sejarah revolusi-revolusi abad ke-20, yang
sedikit-banyak mengingatkan kita pada Komune Paris tahun

18

1871. Dalam banyak hal Hatta mengingatkan kita pada


Thiers. Perebutan meriam-meriam Garda Nasional di Paris
tahun 1871, di bawah tatapan rasa puas orang-orang Prusia,
serupa dengan dilucutinya pasukan rakyat Pesindo tahun
1948, demi ketenteraman hati Amerika. Tetapi semuanya itu
hanyalah sekedar analogi-analogi.
"Peristiwa" tahun 1946 seperti halnya "peristiwa" tahun
1948. Yaitu terjadi sebagai akibat pemerintah menolak
mentoleransi terhadap setiap oposisi, yang berusaha
berbicara kepada rakyat secara langsung. Kaum oposisi lalu
bertindak menurut kepentingan sendiri, dan bukannya
berunding dalam ruang tertutup bersama pemerintah. Pada
setiap
kesempatan
pemerintah
menegaskan,
bahwa
pengakuan internasional terhadap Indonesia merupakan
pertaruhan. Artinya, pengakuan itu hanya akan diperoleh jika
pemerintah dapat membuktikan adanya dukungan luas, yang
berupa kemampuannya menguasai situasi di dalam negeri.
Dalam pada itu perlu dikemukakan bahwa pemilihan umum,
sebagai bukti keabsahan yang diterima Konstitusi satusatunya, hanya dapat berlangsung dalam suasana dalam
negeri yang damai dan aman. Belanda selalu berbicara
tentang "rust en orde". Itulah alasan tetap suatu "pemerintah
yang kuat", yang saling diperolok-olokkan oleh kedua belah
pihak. Pemerintah mengatakan posisinya dibikin lemah oleh
cara-cara oposisi, dan oposisi mengatakan bahwa politik
pemerintah yang mencontoh Belanda itu suatu pertanda
kelemahan. Pemerintah mengatakan konsolidasi kekuasaan,
sedangkan oposisi mengatakan mempercepat jalannya
Revolusi. Akibatnya ialah konfrontasi.
Dalam bulan Maret 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin
dan Menteri Dalam Negeri Sudarsono, kedua-duanya tokoh
penting Partai Sosialis, menemukan alasan bersama bahwa
ide "masa genting" untuk memungkinkan penahanan Tan
Malaka itu sama sekali tidak sah. Tan Malaka, kalau bukan
pemimpin Persatuan Perjuangan yang sebenarnya setidaktidaknya secara intelektual, adalah tokoh penentang politik
berunding dengan Belanda. Walaupun merupakan suatu
masalah penting namun barangkali tidak pernah diketahui,
mengapa pada 19 September 1948 Sukarno memutuskan
untuk mengubah kejadian-kejadian yang terjadi di Madiun
tersebut menjadi suatu perang saudara, yaitu dengan
menyatakannya sebagai proklamasi berdirinya sebuah
Republik Soviet di sana. Padahal proklamasi seperti itu tidak
seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak

19

seorang pun berminat membuktikan kebenaran kabar yang


diucapkannya itu.
Terlebih-lebih lagi, dalam dua kejadian tersebut, pemerintah
pun telah memutuskan untuk menampakkan kemampuannya
menguasai keadaan. Oleh karena kejadian-kejadian ini
berlangsung di bawah pengawasan pengamat-pengamat
yang sangat kuat, yang dukungan mereka sangat diperlukan,
yaitu Inggris untuk kejadian tahun 1946 dan Amerika untuk
kejadian tahun 1948. Bahwa drama kecil tahun 1946 itu telah
menjadi drama besar tahun 1948, barangkali bisa
diterangkan dengan perbedaan besarnya taruhan untuk dua
kejadian itu masing-masing.
Perpindahan alat-alat pemerintah yang penting ke
Yogyakarta pada tahun 1946, sementara Sjahrir tetap berada
di Jakarta, menyebabkan peranan Amir sebagai Menteri
Pertahanan menjadi lebih menonjol, dan praktis menjadi
tokoh kedua pemerintah secara tidak resmi. Oleh karenanya
dialah juga dan bukan Perdana Menteri, Menteri Dalam
Negeri atau Menteri Kehakiman, yang dipandang sebagai
orang yang bertanggungjawab terhadap penahanan Tan
Malaka dan kawan-kawannya. Maka ketika ia harus mundur
dalam tahun 1948, orang-orang yang telah meragukannya
itu pun, segera melihat datangnya saat pembalasan.
Persaingan antara pemerintah dengan Persatuan Perjuangan
(yang semula juga disebut sebagai "Volksfront", suatu
referensi sejarah yang diikuti juga oleh kaum sosialis) tidak
banyak bersumber pada analisis yang bertentangan
(menurut wacana Persatuan Perjuangan, dengan meminjam
kata-kata Lenin, tidak ada "analisis kongkret tentang situasi
kongkret"), melainkan lebih banyak pada rumusan-rumusan
yang berbeda mengenai revolusi, demokrasi, negara, dan
Indonesia. Sehingga pemerintah, seperti yang pernah
diperbuat Hatta tahun 1945 sesudah terjadinya berbagai
peristiwa, tergerak untuk menjawab slogan-slogan mereka:
revolusi bukanlah sekedar konflik bersenjata, demokrasi
bukanlah pembagian kekuasaan terus-menerus. Berbicara
tentang perjuangan diplomasi Amir, dalam bulan November
1945 mengatakan, bahwa Indonesia harus menempuhnya
jika ingin kemerdekaannya diakui pihak Belanda. Bagi para
pendukung "perjuangan" kesempatan menjadi terbuka untuk
membantah kata-kata yang diucapkan Amir tersebut.
Walaupun merupakan kata-kata biasa di dalam bahasa
militan
saat
itu,
bagi
lalu
digunakan
untuk
mempertentangkan kata "perjuangan", menurut artinya yang

20

positif, dengan kata "diplomasi", menurut artinya yang


negatif. Dengan demikian kata "perjuangan" lalu mendapat
arti absolut, yang dengan cara apa pun tidak dapat dirincirinci.
Dalam gayanya sendiri represi juga merupakan persoalan
semantik, oleh karena pasal 28 Undang Undang Dasar
berbicara tentang kemerdekaan berserikat, kemerdekaan
berkumpul, dan kemerdekaan mengeluarkan pikiran. Benar
bahwa komunike Jaksa Agung Kasman Singodimedjo 16
Januari 1946 telah memberikan penjelasannya tentang
macam-macam
kemerdekaan
itu.
Komunike
itu
memperingatkan para pembacanya, dalam melaksanakan
kemerdekaan tersebut, tidak mengabaikan akibat- akibat
yang terkandung di dalamnya. Di atas segala-galanya
keamanan dan ketertiban itulah yang harus diutamakan.
Amir yang, sesuai dengan wewenangnya, dalam bulan April
1946 dibebani tugas sulit untuk meredakan ketegangan yang
memuncak di Sumatra, tentang penahanan-penahanan yang
terjadi di Jawa dalam bulan sebelumnya menerangkan di
Medan sebagai berikut. "Marilah kita jadikan sebagai
semboyan bersama: Bagaimanapun pemerintah itu, selama
masih pemerintah kita, harus kita taati dan kita dukung
seratus persen". Kata-kata ini diucapkan seorang Amir yang
sama, yang dua bulan kemudian mengucapkan pidatonya di
depan para utusan Kongres Pemuda ke-2 di Yogyakarta. Di
situ ia menyerukan agar para pemuda meneruskan revolusi
yang telah mereka mulai, dan tidak membiarkannya jatuh ke
tangan para calo-calo politik dan koruptor yang berjiwa dari
jaman lain. Pemerintah memerlukan semangat para
pemuda... Salah satu resolusi Kongres dirumuskan
berdasarkan kata-kata tersebut: "Tugas para pemuda ialah
memperbarui semua kekuatan, agar mereka dapat bertindak
sesuai dengan tuntutan Revolusi. Dalam masa sekarang ini
sikap yang korektif-konstruktif merupakan sikap yang paling
sesuai dengan semangat pemuda. Korektif berarti berani
mengubah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Konstruktif oleh karena kita perlu membangun
dan menempatkan kekuatan-kekuatan yang menegakkan
dan mempertahankan Negara".
Yang sukar ialah bagaimana menemukan cara yang bisa
mempertemukan antara Negara dan Revolusi, antara
stabilitas dan perubahan, dan antara yang lama dan yang
baru. Ide tentang "sikap korektif-konstruktif" agaknya
dirumuskan untuk menentang sikap kaum oposisi yang

21

destruktif. Masalahnya ialah, bahwa dengan mengirim


pasukan untuk melawan "PKI-Musso" dalam bulan September
1948, seperti dikatakannya sendiri, Sukarno menggunakan
kata-kata "tindakan korektif" melawan kaum pengacau yang
mengancam ketertiban umum dan keamanan nasional.
Sementara itu mereka yang dikecamnya, antara lain
termasuk Amir dan Suripno, membela diri dengan
mengatakan justru mereka telah melakukan "tindakan
korektif demi menyelamatkan kemerdekaan tanah air.
"Koreksi" itu tidak secara "konstruktif". Sistem dan kritiknya
satu sama lain saling berlawanan.
Justru di Kementerian Pertahananlah, dalam usaha menyusun
tentara rakyat nasional, Amir jelas dapat menilai lebih baik
betapa sulitnya mengintegrasikan Revolusi dengan aparatur
Negara. la memang dalam posisi untuk menarik pengalaman
Revolusi Prancis, ketika suatu "amalgam" antara antusiasme
pemuda dengan kemampuan militer dari bekas anggota
pasukan kerajaan melebur dalam "leve en masse". Model
Tentara Merah yang tidak dikenal umum, pun Amir telah
mengenalnya. Tetapi ia hampir tidak mempunyai kesempatan
untuk menggunakannya. Ketika pada 14 November 1945 ia
ditunjuk memangku jabatan Menteri Pertahanan, sebagai
entitas administratif kementerian ini sebenarnya tidak ada.
Lagi pula pada 11 November 1945 di Yogya diselenggarakan
konperensi, yaitu di markas besar barisan kelasykaran, untuk
memilih panglima tertinggi dan juga menteri pertahanan.
(Pasukan Sukarela yang terdiri dari berbagai pasukan yang
bergabung bersama-sama, di tengah suasana vakum
kekuasaan itu, dan menyatakan diri sebagai tentara
pemerintah). Sebagai menteri pertahanan terpilih saat itu
ialah Sultan Yogya, yang berperanan selaku pelindung
konperensi tersebut. Amir yang baru diangkat tiga hari
sesudah itu tentu saja berada dalam kedudukan yang sulit.
Bagaimanapun golongan tentara pastilah tidak pernah
menerima, jika mereka tidak diberi hak untuk memilih
menteri pertahanan mereka sendiri.
Bagi Amir tentara adalah batu-alang utama. Inilah juga
penyebab kekalahannya secara politik dan militer dalam
bulan Juli 1947. Bahkan sesudah kementeriannya pindah ke
Yogyakarta pun, bulan Januari 1946, hubungannya dengan
markas besar angkatan perang tetap sulit. Tiba-tiba golongan
tentara menghadapi masalah dalam gabungannya dengan
lasykar-lasykar lain, yang telah tumbuh di dalam keadaan
yang berbeda dan tidak mau ikut serta bersikap memusuhi

22

Kementerian Pertahanan. Pembentukan badan koordinasi


kelasykaran, Biro Perjuangan, di bawah kementerian
pertahanan dan bukannya markas besar angkatan perang,
ditanggapi oleh golongan tentara sebagai usaha Menteri
Pertahanan untuk membangun pasukan pribadinya. Ide
"tentara masyarakat" yang merupakan ide sentral bagi politik
militer, dan yang di dalam sejarah Prancis dilambangkan
melalui pertempuran di Valmy, tidak pernah bisa
berkembang menjadi semangat korps di kalangan tentara
Indonesia. Bersamaan dengan perjalanan waktu justru ide
"dwifungsi" yang telah meresapinya, dan mengangkatnya
menjadi golongan "supra-masyarakat". Segala daya-upaya
Kementerian Pertahanan untuk memberi jiwa politik pada
tentara, menanamkan ide "kemasyarakatan", membuang
paham
korporatisme,
patronase,
faksionalisme
dan,
meminjam kata-kata Jenderal A.H. Nasution sendiri, segala
macam "vertikalisme" memang telah selalu dirintangi oleh
markas besar angkatan perang. Terbentuknya Staf
Pendidikan Tentara di dalam Kementerian Pertahanan dalam
bulan Januari 1946, dengan hebat telah diboikot oleh
berbagai kesatuan tentara. Alasan pemboikotan mereka ialah
bahwa pemerintah, dalam hal ini menteri yang bersangkutan
atau pihaknya, hendak berusaha mengindoktrinasi tentara,
dan mengganti fungsi perwira tentara dengan komisaris
politik.
Sejak pengangkatan Sjahrir, tuntutan Partai Masyumi yang
tak kunjung henti untuk posisi puncak dalam kekuasaan dan
disingkirkannya Amir, berkat bantuan Hatta akhirnya
berhasil. Ketika semuanya itu telah terjadi, angkatan muda di
dalam partai ini pun beramai-ramai di depan kantor-kantor
pemerintah menyerukan yel yel "Allahu Akbar, Kabinet Amir
bubar". Dan sulit bagi Amir untuk menempatkan dirinya
dalam oposisi. Sejak pemerintah republik yang pertama
terbentuk, ia terus-menerus menjadi menteri. Lebih dari itu
dialah juga yang, dalam saat-saat sulit, telah selalu
menegaskan tentang perlunya menyatukan kekuatan di
belakang pemerintah. Pada waktu Pesindo (Pemuda Sosialis
Indonesia) yang selalu mempunyai hubungan istimewa
dengan Amir, mengorganisasi demonstrasi besar-besaran
menentang penyingkiran Amir dari kedudukannya itu, ia
justru membantu Hatta untuk melicinkan jalannya saat
peralihan. Bersama Hatta ia pergi ke Sumatra selama
beberapa hari. Di depan rapat pertama FDR (Front Demokrasi
Rakyat) di Solo tanggal 26 Februari 1948, Amir mengritik

23

pemerintah baru lebih banyak dari wataknya yang otoriter


ketimbang dari program politiknya. Satu bulan kemudian,
ketika harus memberi kesaksian di depan pengadilan
terhadap para pengatur "komplotan" 3 Juli 1946, Amir tetap
mempertahankan
pendiriannya
seperti
yang
telah
dikemukakan pada saat peristiwa itu terjadi. Namun secara
pribadi tanpa bimbang ia mengatakan, bahwa masalahnya
berkenaan dengan pemberian jaminan kepada pihak Inggris,
yang ketika itu bertindak sebagai juru damai antara pihak
Indonesia dan Belanda. Janganlah kepada Inggris diberi
kesempatan untuk memenangkan pihak Belanda, dengan
berdasar pada dalih "bahaya kaum ekstremis". Dengan katakata lain, sedikit banyak merupakan ulangan dari peristiwa
bentrokan bersenjata di Surabaya, yang terjadi dalam bulanbulan Oktober dan November 1945.
Perubahan pendirian 180 derajat yang dialami Amir itu
berkaitan dengan suasana ketegangan Timur-Barat yang
memburuk, dan perkembangan peranan diplomasi Amerika
di Indonesia. Barangkali memburuknya hubungan TimurBarat tersebut juga merupakan sebab-musabab jatuhnya
pemerintah Amir, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
partai komunis itu. Sejak bulan Oktober 1947 sejumlah
lusinan penasihat dan wartawan Barat tiba di Indonesia,
bersama-sama dengan para anggota Komisi Jasa-Jasa Baik
PBB, yang menyebarkan seruan pembasmian kaum komunis,
dan sejalan dengan itu mendesak para pengambil wewenang
politik di Indonesia untuk segera mengambil tindakan. Dari
bulan April 1948 dan seterusnya kampanye anti FDR yang
luar biasa kasar dilancarkan oleh koran-koran Masyumi dan
GRR (Gerakan Rakyat Revolusioner), suatu organisasi
berkecenderungan teroris yang tumbuh dari tubuh Persatuan
Perjuangan. Saat inilah ketika Amir mulai ditetapkan sebagai
pengkhianat par excellence, yang pada masa kanakkanaknya mengkhianati Islam untuk masuk Kristen agama
penjajah, dan yang dalam masa mudanya meninggalkan
nasionalisme untuk bekerjasama dengan Van Mook. Saat
inilah juga ketika Amir, melihat Mao Ze-dong di Cina hampir
memperoleh kemenangan dan Vietnam masih terus dalam
perlawanan
(yang
di
Indonesia,
setelah
perjanjian
Fontainebleau, dikecam luas), mulai berpikir tentang
kemungkinan menempuh jalan perjuangan lain. Untuk itu, is
berpikir, kiranya akan lebih baik jika ia pun ikut melibatkan
diri di dalam pemerintahan dan negerinya.
V

24

TIDAK seperti Sukarno, Hatta dart Sjahrir, Amir tidak banyak


menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya
di sana-sini. Ia tidak meninggali autobiografi, memoar,
renungan, kumpulan pidato, dan catatan-catatan. Pihak
keluarganya menyebut-nyebut tentang adanya sebuah buku
harian, yang diduga selamat dari penggrebegan di rumah
tinggalnya di Yogya dalam bulan September 1948, tetapi
kemudian buku itu entah di mana. Ia memang seorang orator
yang, agaknya, tidak pernah menyiapkan sebelumnya
pidato-pidatonya. Para wartawan setidak-tidaknya tidak
pernah menerima salinan pidato-pidatonya, sehingga
masing-masing berbeda-beda dalam pemberitaannya. la
seorang orator besar yang, menurut semua saksi, bisa
disejajarkan dengan Sukarno. Tetapi menurut Surjono, yang
bekerja pada bagian pers Pesindo, sebagai orator Amir tidak
mempunyai gaya yang sama seperti Sukarno yang
mendasarkan kiat pidatonya pada irama bahasa dan dampak
suaranya. Gaya pidato Amir terletak pada permainan citracitra. Jika bicara tentang Surabaya dipakainya kata-kata: kota
Kalimas, kota Tanjung Perak, kota Gang Ringgit, kota
kemelaratan. Laporan Belanda tahun 1933 menggambarkan
Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka
membumbui
penalaran-penalarannya
dengan
humor
sarkastis, sehingga karenanya ia menjadi sangat populer.
Pemerintah
Belanda
menaruh
hormat
terhadapnya.
Barangkali karena citra tokoh muda Kristen ini menjanjikan
sebagai juru khotbah pada kemudian hari, suatu gema
kerinduan pada Politik Etis tentang konvergensi Timur-Barat.
Dalam suratnya tertanggal 10 November 1933, Gubernur
Jawa Barat membandingkan antara Yamin dengan Amir.
Tentang yang pertama dilukiskannya sebagai anak-panggung
yang hingar-bingar dan demagog, ekstremis di gedung
kesenian, pribadi yang tak berwatak, tak berpengaruh dan
tak punya minat, yang bisa ditinggal sendirian tanpa
khawatir. Adapun Amir, seorang ekstremis dengan sepenuh
hati, tegas, yakin dan mantap, yang bagaimanapun juga
harus ditahan. Pendapat Gubernur itu agaknya bertolak dari
alasan, karena Amir sebagai redaktur, menolak menyebut
nama pengarang anonim sebuah artikel berjudul "Massa
Actie" yang diterbitkannya. Sementara itu, walaupun Yamin
sendiri tidak pernah mengakui, semua orang tahu dialah
yang menulisnya. Penolakan Amir itu berakibat pelarangan
baginya untuk menulis dan juga memimpin sebuah
penerbitan. Sekali lagi, dalam bulan Juli 1948 lima belas

25

tahun kemudian, barangkali dengan harapan samar-samar


untuk menarik Amir kembali, harian Belanda Nieuwsgier
menulis sebuah karangan. Ditulisnya bahwa ia tidak seperti
Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah
kalangan intelektual dan menyukai menulis di atas segalagalanya. Tetapi Amir memang seorang pemimpin rakyat yang
senang berbicara di tengah-tengah massa, dan juga tabu
bagaimana berbicara dengan mereka itu.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces
Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van
Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir, "ia
mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang
yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu
bahwa kultus terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari
cerita para tahanan sesamanya, bagaimana ia menghadapi
siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang terhadapnya.
Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para
penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas...
Dalam salah satu dari ceramahnya yang terakhir (Choises
and Circumstances, 1988) Soedjatmoko berbicara tentang
Amir: "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan
kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Para
penginjil yang dalam tahun 1941 pernah minta bantuan
kepadanya mengatakan, bahwa mereka memerlukan
seseorang yang "berpikir horisontal". Orang-orang yang
pernah mengunjungi Amir di rumahnya di Menteng Pulo,
sebuah kawasan di Jakarta yang sangat sederhana, teringat
pada sambutannya yang langsung dan lugas. Sesama pelajar
teman-temannya dari Gymnasium di Haarlem juga
mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang
bergaul.
Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang
sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak
berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti
pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan
sewenang-wenang. "la. suka memukuh istrinya", kata Hatta
(Bung Hatta Menjawab,1978: 23).
Mereka yang tidak percaya bahwa ia telah diperdayakan oleh
setan, karena sedikit banyak dia sendiri pun setan, akan
mengatakan: "Lihat dalam tahun 1927 ia kembali dari
Belanda. Padahal di sana ia bisa belajar hukum, tetapi
mengapa ia tidak melakukannya? Ia kembali tahun 1927,
mengapa justru tahun ini? Karena Partai Komunis Indonesia
baru saja dipukul hancur, dan ia mendapat mandat dari

26

Partai Komunis Belanda untuk membangunnya kembali.


Partai Komunis Indonesia yang baru bukanlah partainya
Musso, tetapi partainya Amir."
Hanyalah pada medan angan-angan, legenda hitam menjadi
sangat dekat pada legenda keemasan: Amir Sang
Pembangun.
oo0oo

Ikhtisar Riwayat Amir Sjarifuddin2)

27 April 1907: Hari bulan lahirnya Amir Sjarifuddin di Medan,


menurut catatan yang disimpan keluarga. Ia anak sulung
Djamin gelar Baginda Soripada (lk. 1885-1949) dari marga
Harahap, dengan Basunu (lk. 1890-1931) dari marga Siregar.
Dua marga ini termasuk dalam golongan masyarakat Batak
Angkola. Ayah Baginda Soripada, yaitu Ephraim gelar Sutan
Gunung Tua (lk. 1840-1916) keturunan keluarga kepalakepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.
Ia bersekolah di sekolah yang dipimpin seorang penginjil
Kristen A. Schreider di Parausorat antara 1868-1873. Sesudah
dipermandikan Ephraim meniti karir sebagai djaksa di Sipirok
dari 1875 sampai 1885. Kemudian menjadi hoofddjaksa di
Padang Sidempuan sampai 1907, dan di Sibolga sampai
1909. Sesudah pensiun ia kembali ke Padang Sidempuan, ke
rumah keluarga yang masih ada di sana. Soripada, anaknya
yang ke-4, pindah ke Medan. Pada saat perkawinannya
dengan seorang gadis, dari keluarga Batak yang telah
membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli, sesuai
dengan hukum adat yang berlaku, ia pun memeluk Islam.
28 Maret 1912: Soripada diangkat menjadi asisten
hoofddjaksa di Medan.
1914 (?): Amir masuk sekolah dasar Belanda di Medan (ELS:
Euroeeshe Lagere School).
4 Desember 1915: Berkat ayahnya Soripada mendapat
kedudukan sebagai hoofddjaksa di Sibolga, dan di sini Amir
masuk sekolah dasar.
Agustus 1921: Atas undangan saudara sepupunya, Mulia,
Amir datang di Leiden, yang belajar di kota ini sejak 1911.
Mulia baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, tak
lama sebelum kedatangan Amir. Ia tinggal di rumah guru
pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia
menumpang.
September 1921: Amir masuk Gymnasium di Leiden.
September 1925: Pindah dari Leiden, masuk Gymnasium di
Haarlem.

27

Maret (?) 1926: Soripada dipecat, karena pada bulan April


1925 memukul seorang tahanan di penjara Sibolga.
25 Mei 1926: Soripada dijatuhi hukuman penjara 3?tahun,
ditambah 5 tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai
negeri. Hukuman itu kemudian diperingan.
1926-1927: Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan
siswa Gymnasium di Haarlem.
September 1927: Sesudah lulus ujian tingkat kedua, karena
masalah keluarga, Amir kembali ke kampung halaman,
walaupun
teman-teman
dekatnya
mendesak
agar
meneruskan pendidikannya di Belanda itu. Ia masuk Sekolah
Hukum di Batavia (sekarang Jakarta). Mula-mula menumpang
di rumah Mulia, direktur sekolah pendidikanguru di
Jatinegara. Kemudian pindah ke asrama pelajar Indonesisch
Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung teman sependidikan
yang beberapa tahun lebih tua darinya, Mr. Muhammad
Yamin.
Oktober 1928: Sebagai wakil "Pemuda Batak" (Jong Batak)
Amir duduk sebagai bendahara panitia penyelenggara
Kongres Pemuda Ke-2 yang berlangsung di Jalan Kramat 106.
1928-1930: Pemimpin Redaksi Indonesia Raja, majalah
Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI).
24 Mei 1929: Baginda Soripada diangkat sebagai juru tulis
pemerintah daerah Batak di Tarutung.
1929-1930: Amir duduk dalam pengurus Jong Sumatranen
Bond (Persatuan Pemuda Sumatera).
1931: Menjadi propagandis Partindo sejak berdirinya partai
ini. Ia mulai lebih giat mengikuti kelompok-kelompok diskusi
Kristen.
14 Juni 1931: Ibu Amir meninggal menggantung diri di dapur
rumahnya di Tarutung.
15 Juli 1931: Amir menjadi wakil ketua Partindo cabang
Jakarta urusan penerbitan.
1931-1933: Amir menggantikan Arnold Mononutu, pendiri
universitas rakyat Perguruan Rakyat, sebagai kepala
pendidikan.
Januari 1932: Ikut serta dalam Kongres ke-3 Indonesia Muda
di Surabaya.
15-17 Mei 1932: Kongres ke-1 Partindo (Jakarta). Sartono
dipilih sebagai ketua, dan Amir pengurus bagian "sekolah dan
pendidikan".
4-19 April 1933: Kongres ke-2 Partindo (Surabaya). Sukarno
ketua, Sartono wakil ketua ke-1, Amir wakil ketua ke-2 dan
wakil ketua "komite tetap" (sekretariat politik). Ia

28

penanggung jawab komisi sekolah dan pendidikan. Ia


membantu
gerakan
perlawanan
terhadap
peraturan
pelarangan terhadap yang dinamakan "sekolah liar".
30 Maret 1933: Terbit karangan anonim berjudul "Massa
Actie" dalam Banteng, majalah Partindo cabang Jakarta yang
di bawah pimpinan Amir. Penulis karangan ini sebenarnya
Muhammad Yamin.
10 Oktober 1933: Penuntut Umum melalui Gubernur Jenderal
menuntut hukuman internir bagi Amir, yaitu pengasingan di
dalam negeri.
25 Oktober 1933: Soripada dinaikkan jabatannya di kantor
register Balige.
5 Desember 1933: Amir lulus ujian akhir.
7 Desember 1933: Amir dijatuhi hukuman 18 bulan penjara
karena kejahatan pers (karangan "Massa Actie" tersebut di
atas). Ia ditahan 6 bulan di penjara Struiswijk (Salemba,
Jakarta), dan 1 tahun di Sukamiskin (Bandung). Hukuman
penjara ini membatalkan tuntutan hukuman internir tersebut.
22 Maret 1935: Departemen Kehakiman minta Gubernur
Jenderal agar Amir diinternir begitu bebas dari penjara.
5 Juni 1935: Amir dibebaskan sesudah Dewan Hindia
memeriksa berkas perkaranya. Kepadanya diperingatkan,
sewaktu-waktu bisa diinternir jika ternyata ia mengulang
melakukan kegiatan politik.
16 Oktober 1935: Menyimpang dari hukum adat Batak, Amir
mengawini gadis sesama marga bernama Djaenah (19111987), di gereja Kristen Gang Kernolong Jakarta. Amir dan
Djaenah (anak dari suami-istri beragama Islam) konon
dipermandikan menjelang saat perkawinan mereka.
Medio 1935-medio 1936: Musso di Surabaya mencari kontak
dengan pimpinan Partindo setempat, mungkin juga dengan
sementara tokoh lain termasuk Amir.
9-13 April 1936: Kongres Perguruan Rakyat (Jakarta);
Sumanang dipilih sebagai ketua, dan Amir wakil ketua.
5 Juni 1936: Nomor perdana harian Kebangoenan. Dewan
redaksi: Muh. Yamin (pimpinan umum), Sanusi Pane (ketua
redaksi), Liem Koen Hian dan Amir (staf redaksi).
September 1936: Nomor perdana berkala bulanan Ilmoe dan
Masjarakat yang memuat karangan Amir "Pemberontakan di
Spanyol dan Hukum Internasional".
24 Mei 1937: Berdirinya Gerindo, A.K. Gani ketua. Amir
anggota pimpinan urusan propaganda.
5 Oktober 1937-11 Mei 1939: Amir duduk di komite pusat
"Petisi Sutardjo".

29

3 Desember 1937: Terdaftar sebagai pengacara pada


Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Praktek pengacara di
Sukabumi sampai Agustus 1938, kemudian kembali ke
Jakarta.
13 Desember 1937: Terbit buletin pertama kantor berita
Antara, yang didirikan oleh Sumanang dan A.M. Sipahutar.
Amir sebagai koresponden politik dan konsultan hukum
kantor berita ini.
25-28 Juni 1938: Kongres Bahasa Indonesia di Solo. Amir
berbicara dengan makalah tentang "Adaptasi kata-kata asing
dan konsep-konsep ke dalam bahasa Indonesia". Ia duduk
sebagai wakil ketua panita kongres urusan pelaksanaan
keputusan kongres.
20-24 Juli 1938: Kongres pertama Gerindo (Jakarta). Gani
ketua, Amir wakil ketua (sementara itu ia masih di
Sukabumi).
Oktober 1938: Kembali ke Jakarta Amir menjadi ketua komite
tetap Partindo.
Oktober 1938: Nomor perdana majalah bulanan politik
Toedjoean Rakjat; dewan redaksi: Amir Sjarifuddin, Asmara
Hadi, A.M. Sipahutar, dan Wikana.
November 1938: Amir dan Sanusi Pane menjadi calon
Partindo di Volksraad untuk daerah pemilihan Jakarta. Tetapi
tidak seorang pun dari calon partai ini dipilih atau diangkat.
1938-1941: Amir sebagai salah seorang ketua redaksi
majalah sastra Poedjangga Baroe, menulis karangankarangan tentang politik internasional.
2 April 1939: Amir dicalonkan Partindo untuk pemilihan
dewan kotapraja Jakarta tanggal 26 April 1939. Yamin, calon
terpilih dari Sumatra Barat untuk Volksraad, menentang
pencalonan Amir.
26 April 1939: Amir mendapat 241 suara (dari 1430);
namanya dihapus pada pemilihan babak ke-2, dan Yamin
mendapat 170 suara.
21 Mei 1939: Pembentukan GAPI, Amir duduk di sekretariat.
21 Juli 1939: Yamin mendirikan Parpindo (Partai Persatuan
Indonesia).
24-30 Juli 1939: Kongres ke-2 Gerindo (Palembang), Amir
dipilih sebagai ketua, Wilopo wakil ketua komite tetap.
Kongres memutuskan, membuka kesempatan semua
penduduk Indonesia, termasuk keturunan Cina, duduk dalam
pimpinan partai.

30

23-25 Desember 1939: Kongres Rakyat Indonesia. Makalah


Amir berjudul "Adat dan pergerakan". Ia menandatangani
manifesto kongres sebagai Ketua Gerindo.
10 Mei 1940: Amir diinterogasi sehari penuh oleh intelijen
pilitik Belanda (PID; Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas
Pengawasan Politik).
12 Juni 1940: Pemilihan dewan kotapraja Jakarta baru. Terjadi
perundingan-perundingan untuk menggagalkan pencalonan
Amir oleh GAPI, karena Parindra menolak pencalonannya itu.
Amir mendapat 359 suara, dan calon Parindra 698 suara.
20-27 Juni 1940: Amir ditangkap dan ditahan, sehubungan
dengan penyelidikan yang sedang dilakukan terhadap
tersiarnya buletin-buletin Komunis.
28 Juni-20 Juli dan 25-27 Juli 1940: Kampanye menentang
Thamrin dilancarkan Moh. Tabrani di dalam korannya
Pemandangan. Thamrin dituduh tidak membantu Amir
selama ia di dalam tahanan.
21 Juli 1940: Gani mengganti Amir sebagai wakil Gerindo
dalam sekretariat GAPI.
Agustus 1940: Kongres ke-3 Gerindo yang direncanakan di
Semarang diundur, karena berlakunya SOB (Staat van Oorlog
en Beleg; Keadaan Darurat Perang). Dalam daftar calon
anggota komite eksekutif, yang akan dipilih dengan kartu
suara melalui pos, tidak tercantum nama-nama Amir dan
Wikana. Edaran partai menyatakan, tidak tercantumnya
nama mereka karena permintaan yang bersangkutan.
September 1940: Amir bekerja di kantor perdagangan luar
negeri Departemen Perekonomian, untuk urusan informasi
dan dokumentasi. Di sini ia menerbitkan majalah mingguan
Economisch Weekblad (Berkala Mingguan Ekonomi).
Oktober 1940: Pemungutan suara Gerindo melalui pos
memilih Gani sebagai ketua partai dan Sartono ketua komite
tetap.
1940-1941: Amir duduk di dewan redaksi penerbitan Marcel
Koch, Kritiek en Opbouw (Kritik dan Pembangunan).
10-12 Oktober 1941: Kongres ke-3 Gerindo (Jakarta).
Kedudukan Gani dan Sartono pada pimpinan partai
dikukuhkan lagi. Tetapi pencalonan Amir dan Wikana, yang
diusulkan cabang Jakarta, untuk duduk di komite partai
ditolak.
20-24 Oktober 1941: Konperensi Perhimpunan Misi di Hindia
Belanda (NIZB) diadakan di Karangpandan. Amir bicara
tentang perlu dan tidaknya partai Kristen berdiri. Masalah ini
menimbulkan polemik dalam pers. Amir tetap di dalam

31

Gerindo, sesudah ia mempertanggungjawabkan pendiriannya


di depan pengurus.
Desember 1941 (?): Amir menerima tawaran sekretaris
kabinet Gubernur Jenderal, P.J. Idenburg, dan juga C.o. van
der Plas untuk menyusun jaringan informasi sekitar invasi
Jepang.
Maret-Juni 1942: Amir menyembunyikan diri.
Juli 1942: Amir muncul di Jakarta. Ia mengajar sosiologi,
psikologi dan filsafat ketimuran pada kader-kader muda
pergerakan, Angkatan Baru Indonesia, di Jalan Menteng 31
Jakarta.
September 1942: Amir mengetuai panitia pembentukan
Persatuan Kaum Kristen.
Desember 1942: Amir menjadi anggota kelompok "7 S" wakil
Kristen, atas penunjukan Shimizu Hitoshi.
30 Januari 1943: Amir ditangkap Kempetai (intelijen politik
Jepang).
Januari 1943-Desember 1944: Ditahan di penjara Cipinang
Jakarta dan penjara Kalisosok Surabaya.
29 Februari 1944: Dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah
Militer Jepang di Jakarta. Hukuman tidak dilaksanakan
(karena intervensi Sukarno dan Hatta?).
17 Desember 1944-1 Oktober 1945: Di dalam penjara Lowok
Waru Malang.
4 Desember 1945: Diangkat sebagai menteri penerangan in
absentia oleh Sukarno.
2 Oktober 1945: Kembali ke Jakarta. Memangku jabatan
sebagai menteri.
17 Oktober 1945: Pembentukan BP-KNIP (Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat). Amir dipilih sebagai wakil
ketua (Sjahrir ketua).
24 Oktober 1945: Sebagai menteri, melalui radio, ia
membuka Kongres Pemuda di Yogyakarta 10-11 November
1945.
26 Oktober 1945: Rapat umum pemuda "revolusioner" di
Yogyakarta dengan maksud mendirikan partai sosialis. Namanama yang dipilih sebagai pimpinan akhirnya ialah Amir,
Sjahrir, dan Hindromartono.
12-13 November 1945: Kongres fraksi Partai Sosialis
Indonesia (PARSI) di Yogyakarta memilih Amir sebagai ketua.
14 November 1945: Pembentukan pemerintah Sjahrir; Amir
sebagai menteri penerangan dan pertahanan.
Desember 1945: Konperensi di Cirebon melebur PARSI dan
PARAS (Partai Rakyat Sosialis, yang didirikan Sjahrir pada 20

32

November 1945). Partai baru ini dinamakan Partai Sosialis;


Amir salah seorang di antara para pimpinannya.
28 Desember 1945: Mobil Amir dibakar, di luar rumah
Sukarno.
1 Januari 1946: Amir diganti Moh. Natsir sebagai menteri
penerangan.
4 Januari 1946: Karena Jakarta tidak aman lagi, Amir pindah
ke Yogyakarta, untuk memangku jabatan sebagai menteri
pertahanan. Ia bergabung dengan Sukarno, Hatta, dan
beberapa pimpinan pemerintahan lainnya, Sjahrir tetap di
Jakarta.
24 Januari 1946: Dibentuk Staf Pendidikan Tentara dalam
Kementrian Pertahanan. Timbul ketidak-senangan pada
sementara
kalangan
perwira
panglima,
karena
memandangnya sebagai staf pendidikan politik.
17 Maret 1946: Tan Malaka dan Sukarni ditangkap, dengan
tuduhan
mengganggu
ketirtiban
umum,
menjelang
berlangsungnya kongres Persatuan Perjuangan di Madiun.
Dikeluarkan komunike bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan, "Tindakan dalam Masa Genting",
berkenaan dengan masalah ketertiban umum itu.
10 April 1946: Pidato Amir di Medan, tentang penangkapan
bulan Maret tersebut, menekankan perlunya masyarakat
mendukung negara, pemerintah dan tentara sebagai
institusi.
25 Mei 1946: Pembentukan Biro Perjuangan, yang
memungkinkan Menteri Pertahanan melakukan kontrol dan
koordinasi terhadap berbagai kesatuan lasykar bersenjata.
Pimpinan tentara pemerintah menerima badan baru ini
dengan enggan.
9 Juni 1946: Kongres Pemuda Ke-2 di Yogyakarta. Amir
memperingatkan pemuda, sebagai pelopor revolusi, agar
tidak sampai dipisahkan revolusi itu.
27 Juni-6 Juli 1946: "Peristiwa 3 Juli". Beberapa pengikut Tan
Malaka menculik atau mencoba menculik sementara menteri
dan pejabat tinggi, termasuk Amir dan Sjahrir. Tujuannya
untuk memaksa Sukarno agar menyusun pemerintahan,
dengan Persatuan Perjuangan sebagai unsur pokok. Usaha ini
akhirnya mengalami kegagalan.
6-10 September 1946: Kongres Partai Sosialis di Yogyakarta.
Kongres memilih tiga tokoh ketua, yaitu Sjahrir, Oei Gee
Hwat, dan Amir.
Maret-Juni 1947: Sesudah Persetujuan Linggajati, krisis di
kalangan pimpinan negara dan pimpinan Partai Sosialis

33

semakin tajam. Masalah penyebabnya ialah, cara bagaimana


menghadapi tuntutan-tuntutan baru dari pihak Belanda.
27 Juni 1947: Pemerintah Sjahrir jatuh.
30 Juni 1947: Sukarno menghendaki terbentuknya
pemerintah koalisi, dan menunjuk sebagai formatur Amir
(Sosialis), Gani (PNI), Setiadjit (Partai Buruh), dan Sukiman
(Masjumi). Karena tuntutan-tuntutan Sukiman, akibatnya
terbentuk pemerintah tanpa Masjumi.
3 Juli 1947: Dalam kabinet baru ini Amir sebagai Perdana
Menteri, dan Menteri Pertahanan; Gani dan Setiadjit WakilWakil Perdana Menteri. Terjadi perpecahan di kalangan
pimpinan Partai Sosialis. Golongan Sjahrir menolak duduk
dalam kabinet. Dibentuk sekretariat darurat untuk
menyelamatkan keutuhan Partai.
21 Juli 1947: "Aksi polisionil" Belanda.
4 Agustus 1947: Seruan gencatan senjata dari PBB.
27 Oktober 1947: Komisi Jasa-Jasa Baik PBB tiba di Jakarta.
11 November 1947: Wakil-wakil Masjumi duduk dalam
kabinet.
8 Desember 1947: Perundingan gencatan senjata di atas
kapal "Renville". Amir ketua delegasi Indonesia.
23 Desember 1947: Karena perundingan menghadapi jalan
buntu, Amir kembali ke Yogyakarta.
Awal Januari 1948: Tersiar desas-desus kabinet akan segera
jatuh.
7 Januari 1948: Delegasi kembali ke Jakarta.
13 Januari 1948: Konperensi semua pimpinan partai politik
dan departemen-departemen pemerintah berlangsung di
Yogyakarta.
15 Januari 1948: Menteri-menteri Masjumi mengundurkan
diri, diikuti para menteri PNI.
16 Januari 1948: Perdana Menteri memberi laporan pada BPKNIP.
17 Januari 1948: Konperensi pers Perdana Menteri:
"Pengunduran itu hanya untuk sementara. Saya tidak akan
mengangkat menteri baru seorang pun". Penandatanganan
naskah gencatan senjata dengan pihak Belanda di atas kapal
"Renville".
22 Januari 1948: Deklarasi menteri-menteri Sayap Kiri/Front
Demokrasi Rakyat, yang disiapkan oleh komite penghubung
tetap partai-partai kiri (disiarkan radio sehari kemudian).
Sukarno mengumumkan pengunduran diri pemerintah Amir,
dan menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta membentuk
pemerintah baru.

34

23-29 Januari 1948: Dengar pendapat untuk pembentukan


kabinet baru. Hatta menawarkan memberi tiga kursi kelas
dua pada Sayap kiri, antara lain jabatan Menteri Pemuda
untuk Amir. Sayap Kiri menolak tawaran itu.
24 Januari 1948: Gelombang pertama demonstrasi
mendukung Amir di Yogyakarta. Kemudian juga satu kali di
Madiun.
4 Februari 1948: Amir hadir pada upacara pelantikan kabinet
Hatta.
4-9 Februari 1948: Amir mengikuti Hatta meninjau Sumatra
dan Jakarta.
10 Februari 1948: Sidang pertama kabinet Hatta.
26 Februari 1948: Rapat umum pertama FDR (Front
Demokrasi Rakyat) di Solo. Rapat menyerang karakter
kabinet presidentil.
21 Maret 1948: Amir memberi kesaksian dalam pengadilan
Peristiwa 3 Juli 1946; ia tetap pada pendirian yang pernah
dikemukakannya pada saat peristiwa terjadi.
11 Agustus 1948: Musso di Yogyakarta. Menganjurkan agar
partai-partai dalam FDR bersatu di bawah pimpinan Partai
Komunis.
29 Agustus 1948: Pemimpim-pemimpin Partai Sosialis
menerima anjuran Musso, dan mengadakan kongres luar
biasa pada 29-30 September 1948.
30 Agustus 1948: Amir menyatakan telah menjadi anggota
Partai Komunis sejak partai ini dibangun kembali Musso tahun
1935. Mengingat pertanggungjawaban masalah perlawanan
dalam peta organisasi PKI sementara setelah dipersatukan.
7 September 1948: Amir meninggalkan Yogyakarta bersama
Musso, Harjono (ketua SOBSI; Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), dan beberapa tokoh lainnya lagi untuk
menghadiri beberapa rapat. Tanggal 7 September di Solo
menghadiri kongres serikat buruh gula; taanggal 8
September di Madiun; tanggal 10 dan 11 September di
Kediri; tanggal 13 September di Jombang; tanggal 14
September di Bojonegoro; tanggal 15 September di Cepu;
tanggal 17 September di Purwodadi, dan di sini Amir
bermalam.
17-18 September 1948 malam: Sumarsono, ketua komite
tetap Kongres Pemuda yang bertempat di Madiun, melucuti
semua kesatuan tentara yang dianggapnya mengganggu
keamanan umum di kota; dan Residen Sumadikun yang
sedang tidak di tempat digantinya dengan Wakil Walikota
Supardi (FDR).

35

18-19 September 1948 malam: Amir dan rombongan di


Madiun, memenuhi permintaan pimpinan FDR setempat.
19 September 1948 petang: Pidato Sukarno mengutuk
kudeta "PKI-Musso", dan berseru pada golongan loyalis untuk
merebut kembali Madiun.
23 September 1948: Pidato Amir melalui radio Madiun
menolak tuduhan kudeta kaum Komunis di Madiun, dan
berusaha meredakan suasana.
30 November 1948: Amir ditangkap batalyon Kemal Idris di
Kelambu, Purwodadi, bersama Harjono dan Suripno (bekas
menteri). Kemudian dibawa ke penjara Kudus.
2 Desember 1948: Interviu Amir di penjara Kudus, terbit di
Hidup tanggal 18 Desember. Di situ ia menyangkal tuduhan
kudeta yang telah sengaja direncanakannya.
4 Desember 1948: Ditahan di Benteng di Yogyakarta, setelah
bersama dua kawannya diarak keliling kota.
Medio Desember 1948: Diam-diam Amir dibawa ke Solo.
19 Desember 1948: "Aksi polisionil" Belanda ke-2. Yogyakarta
diduduki tentara Belanda.
19-20 Desember 1948 malam: Sebelas orang tahanan
dieksekusi dengan cepat di Ngalihan dekat Solo. Mereka yang
mati ialah Amir, Suripno, Harjono, Maruto Darusman dan
Sardjono, semuanya anggota pimpinan sementara PKI baru;
Oei Gee Hwat dari Badan Harian SOBSI; S. Karno dari
pimpinan Pesindo; Djokosujono, mantan kepala Biro
Perjuangan di Kementrian Pertahanan; serta tiga orang
tahanan lainnya, yaitu Katamhadi, D. Mangku, Ronomarsono
(kacau dengan Sumarsono?). Para mantan menteri dalam
kabinet Amir dan beberapa teman dekatnya dieksekusi di
berbagai tempat.
Catatan:
1)
Mendayung Antara Dua Karang, hal. 97.
2)
catatan: Ejaan nama-nama diri dan peristilahan lama
seperti "hoofddjaksa" berasal dari jamannya, walaupun "oe"
Belanda telah diubah menjadi "u", jika bukan soal kutipan,
berasal dari dokumen tertulis.
oo0oo

36

Anda mungkin juga menyukai