Anda di halaman 1dari 22

Muso & Pemberontakan PKI Madiun 1948

Ia kembali ke Yogyakarta tanggal 11 Agustus 1948 dengan nama samaran: Soeparto, dan menjadi
sekretaris pribadi Suripno yang dikirim ke Eropa Timur merundingkan hubungan konsuler Republik
Indonesia dengan Uni Soviet. Pada suatu pertemuan Partai Komunis Indonesia (PKI), Suripno
mengungkapkan Soeparto sesungguhnya Muso, anggota Politbiro PKI awal 1920-an, tokoh terkemuka
dalam pemberontakan PKI 1926 melawan Belanda, pendiri "PKI ilegal" 1935, dan sudah 12 tahun absen
dari Indonesia. Muso disambut antusias dan dengan aklamasi diangkat sebagai sekretaris partai.

Tanggal 29 Agustus 1948 mantan PM Amir Syarifuddin mengumumkan dia anggota Partai Komunis sejak
tahun 1935. Mantan wakil PM Setiajit memberikan pengakuan serupa. PKI dengan cepat mengambil alih
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menggantikan Sayap Kiri sebagai koalisi yang beroposisi terhadap
Kabinet Hatta. FDR diubah dari koalisi yang longgar organisasinya menjadi front komunis klasik. PKI
meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Soekarno-Hatta dan tanggal 18 September 1948 PKI
merebut kota Madiun. Sumarsono, pemimpin pemuda pada pertempuran Surabaya November 1945,
mengangkat dirinya sebagai Gubernur Militer dan menyerukan kepada rakyat Indonesia supaya
bergabung dengan pemerintah komunis.

Malam tanggal 19 September 1948 Presiden Soekarno bicara di depan RRI Yogya dan meminta rakyat
memilih antara Muso-PKI dengan Soekarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di depan radio
Madiun dan mengatakan "rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Soekarno-Hatta adalah budak-
budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus mati."

Pemerintah RI kemudian mengerahkan pasukan Divisi Siliwangi untuk menindas pemberontakan PKI.
Pada akhir November 1948, TNI - tanpa bantuan dari luar - menghancurkan pemberontakan komunis.
Muso tewas dalam suatu pertempuran. Amir Syarifuddin dan Suripno ditangkap dan kemudian dieksekusi
oleh tentara. Soemarsono melarikan diri dan menyamar sebagai guru yang bertahun-tahun lamanya
bekerja di Sumatera Utara. Sesudah G-30-S/PKI, Soemarsono kembali ke Jawa dan kini berdiam di
Australia. Ia sudah warga negara Australia yang mampir ke Jakarta sebagai wisatawan. Itulah sekelumit
cerita tentang Peristiwa Madiun 18 September 1948.

Pemberontakan PKI Madiun 1948, awalnya sekedar konflik sesama golongan kiri yang anti imperialis.
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian
ternyata suatu permulaan keributan besar “ Pemberontakan PKI” . Dipimpin Muso dikota Madiun. Di
zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ ruwet” , walaupun tampaknya keluar saban
malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik
berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “ Murba” (antara lain anggotanya GRR dan
barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai
buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis.
Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara
pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng
yang berbunyi : “ Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi
penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng. Pamflet lain berisi,
Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa
Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947
dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan
perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi
adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka
terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara
simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya :
Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru
ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas
dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka
merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin,
Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso
dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang
runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan
Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan
pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang
dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka
meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang
“ brilliant” . Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya
didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’ kan dapat segera tegak kembali dalam
pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-
tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta.
Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk
menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan
pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat
negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno :
“ Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang
menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini.
Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-
tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “ merah” didirikan dengan Gubernur
Militernya bernama “ pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-
mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera
dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI
digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui,
rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak
menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu
telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih
dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “ Tidak sukar bagi rakyat, “ Pilih Sukarno
Hatta atau Muso dengan PKI nya” . Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat
sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera.
Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para
pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer.
Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang
pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus.
Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak
ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-
korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-
anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “ LUKISAN REVOLUSI RAKYAT
INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan
Desember 1949).
Mengenal Lebih Dalam
Sosok Semaun dan
Pengaruhnya di Indonesia
Kala Itu
Sabtu, 23 September 2017 07:55

Wikipedia.org
Semaun

BANGKAPOS.COM - Semaun dilahirkan di Mojokerto pada 1899, sebagai putra


bapak Prawiroatmodjo yang berputra 9 orang anak.
Salah seorang saudara kandungnya adalah Puger yang pernah menjadi
anggaota DPRGR.
Dalam usia 7 tahun ia masuk Hollandsch Lagere School (Sekolah Dasar Belanda
) di Surabaya.
Kecerdasan dan ketajaman otaknya telah nampak pada masa pendidikan ini.
Pada 1912, waktu ia duduk dikelas VI, berkat kecakapannya, ia diperkenankan
menempuh ujian “Klein Ambtenaar” (Pegawai Pamongpraja Rendah), ternyata
dapat lulus dengan hasil baik.
Ia tidak melanjutkan pelajarannya karena keadaan orangtuanya tidak mampu,
dan dengan ijazahnya itu ia kemudian diterima bekerja di kereta api S.S. (Staats
Spoor Maatschapi = Perusahaan Kereta Api Negara).
Namun demikian hasratnya untuk belajar tidak pernah padam di sore hari di
samping kegiatan-kegiatan lainnya ia masih sempat belajar, sehingga ia berhasil
mencapai ijazah “Hollandsche Komis" (Komis A), suatu prestasi yang pertama-
tama berhasil dicapai oleh seorang Bumiputra di Surabaya pada saat itu.
Baca: Macan-macan Loreng Berbaret Merah Menyusup ke Daerah Halim
yang Penuh Misteri
Beberapa waktu kemudian ia bahkan berhasil mencapai ijazah “Komis C”suatu
ijazah yang pada saat itu dihargai setingkat dengan ijazah HBS.
Dengan ijazah dan kedudukannya sebagai pegawai kereta api S.S. itu
sebenarnya masa depan Semaun telah terjamin.
Tetapi panggilan rasa kemanusiaannya dan panggilan rasa kebangsaannya
menyebabkan ia tak bisa menutup telinga dan menutup mata terhadap
penderitaan dan perilaku tidak adil yang dialami bangsanya sebagai akibat
penjajahan.
Ia lepaskan kemudian kariernya sebagai pegawai, dan terjun dalam pergerakan
nasional.
Menjadi anggota Sarekat Islam
Pada tahun 1913, dalam usia 14 tahun, ia telah diterima menjadi anggota
Sarekat Islam (S.I.) cabang Surabaya, suatu hal yang sebenarnya belum
mungkin bagi seorang anak semuda itu.
Sarekat Islam yang didirikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1912 adalah
penjelmaan dari sebuah organisasi kaum pedagang Islam yang semula bernama
Sarekat Dagang Islam (S.D.I).
Salah satu dorongan yang membuat kaum pedagang bersatu adalah rasa
senasib menghadapi tekanan-tekanan kaum leverancier pedagang-pedagang
Tionghoa.
Karena itu pada tahun-tahun pertama berdirinya Sarekat Islam (SI), salah satu
kegiatannya antara lain masih ditujukan untuk melakukan pemboikotan-
pemboikan terhadap pedagang-pedagang Tionghoa.
Baca: Heboh Isu PKI Bangkit Lagi tapi Kok Tak Muncul-muncul
Di Surabaya, toko-toko Tionghoa tertentu yang hendak dijadikan sasaran boikot
SI diberi tanda “Kode Rahasia” yang hanya diketahui artinya oleh para anggota
SI saja.
Tiap-tiap anggota SI diwajibkan memegang teguh rahasia kode-kode tersebut
yang dikuatkan oleh sumpah pada saat pelantikannya menjadi anggota.
Secara kebetulan saja, pemuda Semaun mengetahui "Kode Rahasia" SI
tersebut, sehingga dalam usia semuda itu ia terpaksa diterima jadi anggota SI.
Rasa kemanusiaannya tergugah
Sejak Semaun masih duduk di bangku sekolah ia sudah gemar membaca,
terutama buku-buku yang menyangkut masalah-masalah kemanusiaan seperti
kitab Injil, walaupun ia seorang Islam yang taat.
Salah satu ajaran kitab Injil yang paling berkesan dihatinya adalah ajaran Isa Al
Masih yang berbunyi: “Sayangilah sesama manusia- seperti engkau menyayangi
dirimu sendiri.”
Rasa kemanusiaannya yang perasa, menyebabkan pemuda Semaun itu tak bisa
diam berpangku tangan, waktu ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan
penderitaan kaum petani di daerah tanah partikelir yang diperlakukan tidak adil
oleh para pemilik.
Pada saat itu di Surabaya dan di daerah sekitarnya masih banyak terdapat
tanah-tanah partikelir, yaitu sebagai warisan dari zaman Gubernur Jenderal
Daendels yang menjual tanah-tanah tersebut kepada pihak partikelir, yaitu
kepada orang-orang Tionghoa atau orang Belanda kaya.
Di daerah-daerah tanah partikelir itu, tuan tanah mempunyai kekuasaan seperti
seorang raja kecil. la dapat mengangkat dan memberhentikan Iurah-lurah di
daerahnya, dan mempunyai wewenang menuntut semacam kerja rodi pada
penduduk di daerahnya.
Dan yang paling dirasa tidak adil oleh pemuda Semaun adalah peraturan
pembagian hasil panen. Di daerah tersebut para petani penggarap hanya
kebagian seperlima dari hasil sawah garapannya. Empat perlima harus
diserahkan kepada sang pemilik tanah.
Baca: Tangis Soekarno Pecah di 3 Peristiwa Bersejarah
Untuk menghadapi perlakuan yang tidak adil itu, Semaun kemudian
mengorganisir para petani di daerah tanah partikelir yang umumnya adalah
anggota SI untuk melakukan pemogokan, menuntut pembagian hasil panen yang
adil, yaitu separuh hasil untuk petani penggarap.
Tindakan tersebut adalah aksi pemogokan pertama yang dipimpinnya, yang di
kemudian hari akan berkali-kali ia lakukan. Aksi pemogokan itu ternyata
membawa hasil jang diharapkan.
Sejak itu namanya menjadi terkenal di kalangan anggota SI.
Kegiatan Semaun itu segera menarik perhatian pimpinan SI setempat.
Semaun yang masih muda belia itu lalu diangkat mendjadi sekretaris lokal SI di
Surabaya.
Sebagai pengurus SI ia makin bertindak aktif di lapangan sosial. Usahanya untuk
memperbaiki nasib para petani di atas kini ditingkatkan dengan jalan menuntut
kepada pemerintah, agar dihapuskan semua tanah partikelir, dan
membagikannya kepada para petani penggarapnya.
Tetapi tokoh Semaun waktu itu masih terlalu kecil. Tuntutannya dianggap sepi. Ia
kemudian mencari jalan lain untuk menarik perhatian pemerintah Belanda.
Semaun tahu bahwa pada saat itu ada usaha dari pihak Jepang untuk mencari
simpati rakyat Indonesia.
Ia kemudian menghubungi seorang bankir Jepang di Surabaya dan memberi
anjuran agar pihak Jepang mau melikuidasi tanah-tanah partikelir di Surabaya,
dan kemudian melakukan perbaikan-perbaikan sosial para petani di daerah itu.
Agar nanti Jepang akan memperoleh simpati dari para petani Indonesia.
Anjuran Semaun itu mendapat tanggapan positif dari bankir Jepang itu, dan yang
lebih panting lagi, usahanya itu kemudian dapat pula menarik perhatian
pemerintah dan parlemen Belanda.
Parlemen Belanda yang merasa cemas kalau-kalau Jepang sampai mendapat
keuntungan dengan adanya kepincangan-kepincangan di tanah partikelir itu lalu
menuntut kepada pemerintah agar tanah-tanah partikelir dihapuskan.
Tuntutan tersebut secara berangsur-angsur kemudian dilaksanakan oleh
pemerintahs Belanda.
Berkenalan dengan Sneevliet
Ketenaran Semaun di Surabaya segera menarik perhatian seorang sosialis
Belanda, Sneevliet, ketua, I.S.D.V (Indische Sosiaal Democratische Vereniging)
dan V.S.T.P. (Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel = Persatuan Buruh
Kereta api dan Trem) di Semarang.
Sneevliet menyadari bahwa I S.D.V dan V.S.T.P. yang tak mempunjai massa
rakyat itu membutuhkan seorang tokoh propagandis Indonesia yang bisa
memikat hati rakyat banyak.
Itulah sebabnya, Sneevliet kemudian mendekati pemuda Semaun dan mencoba
memikatnya. Perkenalan pertama Semaun dan Sneevliet terjadi di Surabaya
pada tahun 1915 dan dari padanya Semaun kemudian belajar berkenalan
dengan ajaran sosialisme.
Baca: Istri Jenderal Achmad Yani Sering Menangis Pegangi Baju Suami
yang Ada Bekas Darahnya
Anak muda yang baru berusia 16 tahun itu, karena kurang pengalamannya, dan
didorong pula oleh semangat mudanya yang menyala-nyala, segera tertarik
kepada ajaran dan semboyan-semboyan yang menarik seperti: "Sama rata sama
rasa"— "Semua orang adalah sama, tak ada perbedaan antara orang kulit putih
dan orang kulit berwarna" dan sebagainya.
Di tengah-tengah orang-orang Belanda yang bermental kolonial yang
menganggap dirinya superior itu, maka tokoh Sneevliet yang bersemboyankan
persamaan itu, cepat menarik simpati pemuda Semaun.
Semaun adalah orang Indonesia dan anggota SI yang pertama-tama
mempelajari ajaran-ajaran sosialisme.
Menurut Semaun, ia tertarik kepada ajaran-ajaran sosialisme bukan karena
filsafatnya tetapi karena sikap adilnya dalam memecahkan masalah-masalah
kemasyarakatan.
Pada saat itu ia sendiri, begitu juga orang-orang SI lainnya yang kemudian
menjadi PKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialismenya Marx itu
terkandung pula prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
Itulah sebabnya pada saat itu banyak pula haji-haji dan kiai-kiai yang tertarik pula
menjadi pengikut Semaun.
Atas ajakan Sneevliet, Semaun kemudian menjadi anggota ISDV dan VSTP. Ia
tertarik semata-mata karena sikap organisasi tersebut yang bersimpati kepada
perjuangan bangsa Indonesia, dan menentang berbagai penjajahan.
Dalam suatu kongres yang kemudian diadakan, Semaun terpilih menjadi wakil
ketua ISDV dan VSTP. Sejak itu Semaun lalu pindah ke Semarang dan
melepaskan kariernya sebagai pegawai kereta api S.S. di Surabaya.
Keanggotaan Semaun dalam kedua organisasi tersebut tidak pula mengurangi
kegiatannya dalam SI. Bahkan dalam kongres SI cabang Semarang tahun 1917,
anak muda yang baru berusia 18 tahun itu kemudian terpilih pula menjadi ketua
cabang SI Semarang.
Baca: Angkat Tangan! Sukitman Lemas tapi Akhirnya Lolos dari Lubang
Buaya, Begini Kisahnya
Berkat kepandaiannya berorganisasi dan kepopulerannya di bawah
pimpinannya, SI Semarang berkembang pesat. Jumlah anggotanya sampai
ratusan ribu, tersebar sampai jauh di luar kota Semarang, di pelosok-pelosok
desa.
Kalau ia sedang berpidato, ribuan orang tertarik dan terpesona oleh pancaran
matanya yang tajam dan ucapan-ucapan katanya yang penuh gaya dan emosi.
Demonstrasi "Caping cekutuk "
Pada tahun 1918, SI cabang Semarang melangsungkan suatu rapat tertutup di
salah satu gedung di dekat alun-alun Semarang.
Rapat itu memutuskan untuk mengumumkan putusan program perjuangan SI di
rapat terbuka yang akan diselenggarakan di suatu lapangan luas di dekat stasiun
kereta api Tawang.
Agar dengan demikian program perjuangan itu bisa diketahui oleh massa rakyat.
Setelah rapat tertutup itu selesai, para anggauta SI yang hadir diperintahkan
untuk bersama-sama pergi menuju ke lapangan tersebut.
Untuk membedakan antara orang-orang anggota S.I. dan yang bukan, maka
orang-orang S I. diwajibkan mengenakan "Caping cekutuk " dalam perjalanan
tersebut.
"Caping cekutuk" atau sering juga disebut caping keropak adalah sejenis topi
berbentuk kerucut lebar yang dibuat dari daun nipah biasa dipakai petani di
musim panen dapat dibeli di warung-warung, dan murah harganya.
Tanpa direncanakan dan dipersiapkan, perjalanan para anggota S.I. bercaping
cekutuk menuju ke lapangan itu kemudian ternyata berubah menjadi suatu
demontrasi S.I. pertama yang unik.
Dengan penuh gembira dan bersemangat dalam perjalanan tersebut mereka
meneriakkan semboyan seperti "Hidup SI.", "Hidup Semaun", "Hidup Sosial
Demokrat", bahkan disaat itu telah pula terdengar teriakan "Merdeka".
Baca: Tiba-tiba Bung Karno Menangis Tersedu Sambil Memeluk Sukmawati
Demontrasi yang tidak direncanakan itu makin lama makin menjadi panjang dan
ramai, karena secara spontan kemudian diikuti pula oleh rakyat umum di
sepanjang jalan yang mula-mula hanya berdiri sebagai penonton.
Lalu lintas di jalan-jalan raya yang dilalui hampir-hampir menjadi lumpuh
karenanya. Maka bisa dibayangkan betapa terkejut dan repotnya polisi-polisi
kolonial di Semarang pada saat itu. Polisi ternyata tak mampu membubarkan
demonstrasi tersebut.
Menteri keterangan bapak Semaun, semboyan "Merdeka” baru pertama kali
itulah diperdengarkan.
Dalam rapat tertutup sebelumnya, pernah ia menanyakan kepada para hadirin,
apa terjemahan Belanda " Vrij" dalam bahasa Melayu? Secara spontan
kemudian ada seorang yang menjawab "Merdika" dengan ejaan Djawa "di"
bukan "de" pada kata itu.
Kata itu kemudian dipergunakan pula oleh Semaun untuk menamai surat kabar
TSDV berbahasa Melayu yang dia pimpin, bernama "Suara Merdeka", sebagai
terjemahan kata "Het Vrije Woord" yang mendjadi nama harian ISDV yang
berbahasa Belanda.
Pengaruh Semaun dalam tubuh S.I.
Berkat kepopulerannya, maka Semaun (20 tahun) pada tahun 1919 telah terpilih
menjadi anggota pimpinan Central S.I. ( C.S.I. ), di samping jabatannya sebagai
ketua cabang S.I. Semarang.
Semaun yang diharapkan Sneevliet mendjadi propagandis sosialisme itu
ternyata benar-benar memenuhi harapannya.
Dengan berkembangnya zaman, dan Iebih-lebih setelah berhasilnya revolusi
Rusia tahun 1917, maka sikap Semaun makin bergeser ke kiri. Hal ini
berpengaruh pula terhadap perkembangan S.I.
Sikap politik S.I. yang mula-mula masih bersifat lunak dan loyal pada pemerintah
Hindia Belanda itu makin lama makin cenderung ke sikap keras, bercorak
nasionalisme radikal dan sosialisme kiri.
Sementara itu para pemimpin S. I. lainnya yang sebenarnya bukan orang-orang
sosialis, tetapi demi untuk mengimbangi pengaruh Semauntersebut kemudian
ikut-ikut pula berlomba-lomba dalam hal sikap "kiri".
Sampai-sampai S.I. yang semula pendirinya adalah kaum pedagang itu, jadi
orang-orang "kapitalis kecil", terseret pula ke semboyan "anti kapitalisme'.
Walaupun oleh H.O.S. Tjokroaminoto kemudian diberi pula predikat, "Anti
kapitalisme yang zondig" (yang jahat), yang dimaksud adalah kapitalis asing.
Bahkan orang-orang kaya raya seperti Niti Semito yang terkenal sebagai raja
rokok kretek Kudus itu, begitu juga halnya Haji Busro orang terkaya di kota
Semarang pada saat itu, ikut mendukung S.I. Semaun.
Di waktu-waktu Semaun melancarkan aksi-aksi mogok, maka merekalah
terutama yang menjadi sumber bantuan material SI yang tiada sedikit.
Begitu besar pengaruh Semaun dengan paham sosialisnya itu sampai-sampai
H.O.S. Tjokroaminoto dalam usahanya mengimbangi pengaruh itu menulis buku
berjudul "Islam dan sosialisme".
Dengan usaha tersebut, H.O.S. Tjokroaminoto hendak menegaskan, bahwa bagi
orang Islam sebenarnya tak perlu menganut ajaran sosialisme lain, karena
dalam ajaran Islam sendiri sebenarnya telah terkandung pula ajaran sosialisme.
Namun demikian, rahasia kekuatan pengaruh Semaun itu sebenarnya tidak
bertolak pada paham sosialisnya, tetapi justru terletak pada sepak terjang dan
sikapnya yang tegas-tegas anti imperialisme dan kolonialisme.
Pengaruh Semaun yang makin meluas itu akhirnya disadari pula bahayanya oleh
sementara pemimpin S.I. yang masih tetap memperhatikan kemurnian S.I. yang
berazaskan ke Islaman.
Lebih-lebih setelah Semaun pada tanggal 23 Mei 1920,mendirikan Perserikatan
Komunis India (P.K.I.) sebagai pendjelmaan ISDV maka pengaruh Semaun oleh
mereka tak bisa ditolerir lagi.
Demikianlah, pada kongres S.I. di Surabaya pada bulan Oktober 1921, kemudlan
diambil resolusi "Partai disiplin", yang maksudnya melarang tiap anggota
S.I.merangkap menjadi anggota organisasi/partai lain.
Resolusi itu jelas ditujukan terhadap Semaun dan pengikut-pengikutnya. Waktu
itu Semaun tidak hadir dalam kongres tersebut, karena sedang menghadiri
kongres Kaum Buruh Timur Jauh di Moskow, ia baru kembali ke Tanah air pada
tanggal 24 Mei 1922.
Sebagai reaksi dari Partai disiplin itu, cabang-cabang S.I. yang pro Semaun lalu
melangsungkan kongres terpisah di Semarang, pada tanggal 24 Desember
1921.
Mereka memutuskan untuk keluar dari CSI dan membentok cabang S.I. yang
pro Semaun menjadi Central S.I. Merah, sebagai tandingan C.S.I. Tjokroaminoto
yang kamudian sebagai C.S.I. "Putih".
Waktu Semaun kembali ke Tanah air, ia masih mencoba untuk mempersatukan
kembali dua macam S.I. yang telah pecah itu; namun usahanya tak berhasil.
Bahkan dalam kongres SI. di Madiun dalam bulan Februari 1923 kemudian,
resolusi partai disiplin tersebut kembali dipertegaskan.
Semaun bergeser "ke kanan"?
Suatu hal yang menarik adalah perubahan sikap Semaun sekembalinya dari
kunjungannya ke Moskow; ia bukannja bertambah revolusioner tetapi malah
bersikap lebih moderat.
Dalam suatu rapat di Semarang pada tanggal 4 Juni 1922, antara lain ia berkata
bahwa metode-metode kekerasan yang digunakan kaum Bolsjewik di Rusia
untuk merebut kekuasaan itu tak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia,
karena kondisi Indonesia tidak sama dengan Rusia.
la kemudian memperingatkan kawan-kawannya agar supaya bertindak tenang
dan sabar, serta mempertahankan persatuan dan disiplin, mempertimbangkan
berhati-hati segala soal dan menghindarkan diri dari pada keputusan-keputusan
yang tergesa-gesa.
Atas sikap Semaun tersebut, beberapa pembicara dalam rapat itu menuduh
Semaum telah bertolak "ke kanan".
Dikemudian hari waktu PKI merencanakan pemberontakan pada tahun
1926, Semaun yang pada saat itu telah berada dalam pengasingan di luar negeri
tak bisa menyetujui rencana tersebut; karena beranggapan bahwa waktunya
kurang tepat, dan belum masak-masak dipersiapkan.
Ia pun tak bisa pula menerima rencana Muso untuk melancarkan gerakan anarki
di Indonesia, karena gerakan demikian dianggapnya bertentangan dengan azas-
azas sosialisme.
Di antara tokoh-tokoh PKI yang sepaham dengan pendirian Semaun itu adalah
Tan Malaka dan Darsono.
Akibat dari sikap mereka itu, maka mereka lalu disisihkan dari pimpinan PKI, dan
dituduh sebagai orang-orang Trotzky.
Dan berpangkal pada perbedaan pendapat tersebut, maka di kemudian hari
sewaktu Semaun pulang ke Tanah Air pada tahun 1956, ia tidak diterima
menjadi anggota PKI-nya Aidit; Semaun kemudian masuk menjadi anggota
Partai Murba, yaitu partai yang didirikan oleh Tan Malaka di awal kemerdekaan.
Pemogokan dan pembuangan
Nama Semaun tak bisa pula dipisahkan dari sejarah perserikatan buruh di
Indonesia. Peranannya sebagai tokoh perserikatan buruh telah dimulai sejak ia
masih bekerja di jawatan kereta api S.S. di Surabaya di tahun 1915.
Dikala itu ia telah mengadakan gerakan menuntut penghapusan perbedaan gaji
antara pegawai Belanda dan pegawai Indonesia yang mempunyai tugas sama,
tetapi tak berhasil.
Nama Semaun makin dikenal dalam dunia perburuhan, sewaktu ia menjadi ketua
serikat buruh
Kereta api (V.S.T.P.) di Semarang.
Kepopulerannya di dunia perburuhan terbukti pula waktu diselenggarakan
kongres Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang mewakili 22 serikat
sekerja, pada tanggal 1 Agustus 1920, ia terpilih menjadi ketuanya; sedang
sebagai ketua mudanya terpilih Suryopranoto, seorang tokoh S.I yang terkenal
pula di bidang perburuhan.
Perpecahan dalam tubuh S.I., akhirnya merambat pula dalam tubuh organisasi
perburuhan. PPKP pecah jadi dua, antara PPKB pimpinan Suryopranoto dan
PPKB pimpinan Semaun.
Pada tahun 1923, Semaun mulai melancarkan pemogokan yang bertujuan
politis; diantaranya ia menuntut agar pemerintah mencabut pasal 153 bis dari
kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang oleh kaum pergerakan dibencinya
sebagai “Pasal Karet".
Pasal tersebut merupakan senjata pemerintah kolonial untuk menangkap
seorang pemimpin yang berani menyindir atau mengecam pemerintah, dengan
dalih bahwa tindakan itu membahayakan kepentingan umum.
Pemerintah Belanda makin lama makin cemas, memperhatikan
tindakan Semaun yang makin berani itu.
Pada awal bulan Mei 1921, pemerintah Belanda memperingatkan Semaun, agar
jangan mengancam pemogokan, bila tuntutannya tak dipenuhi.
Peringatan tersebut dibalas Semaun dengan peringatan pula, apabila
pemerintah Belanda menangkap salah seorang pemimpin serikat sekerja, maka
pemogokan justru akan dimulai.
Di sini nampak adanya aksi gertak menggertak dan adu kekuatan antara
pemerintah Belanda dengan Semaun. Untuk menjaga prestisenya, maka
sebagai reaksinya, pemerintah Belanda kemudian menangkap Semaun, pada
tanggal 8 Mei 1923.
Sesuai pula dengan peringatan Semaun sebelumnya, maka pada hari itu terjadi
pemogokan di Semarang.
Penangkapan itu bertepatan dengan saat kelahiran putra Semaun yang kedua,
seorang wanita, yang kemudian diberi nama Axioma.
Putranya yang pertama bernama Logika Sudibyo, dahulu juga lahir di saat
sedang ada ribut-ribut pemogokan.
Dari perkawinannya dengan seorang wanita Rusia bernama Valentina
Iwanowa, Semaun memperoleh pula dua orang putera, yang pertama pria
bernama Rono Semaun, sekarang bekerja di Moskow sebagai wartawan, telah
menikah dengan wanita Rusia; yamg kedua wanita, bernama Elena Semaun,
ikut pulang ke Tanahair, kemudian belajar di fakultas Sastra Jakarta.
Penangkapan itu akhirnya diikuti pula dengan pembuangan.
Semula Semaun akan diasingkan ke Timor, tetapi putusan itu kemudian
diubah, Semaun harus meninggalkan Tanahair.
Mula-mula Semaun memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingan,
kemudian hari pindah menetap di Rusia, dan baru pulang ke Tanah air pada
tahun 1956.
Semaun kemudian masuk menjadi anggota Partai Murba, yaitu partai politik yang
didirikan oleh Sukarni di awal kemerdekaan dan didukung sepenuhnya oleh Tan
Malaka.

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Mengenal Lebih Dalam Sosok Semaun dan
Pengaruhnya di Indonesia Kala Itu, http://bangka.tribunnews.com/2017/09/23/mengenal-lebih-dalam-
sosok-semaun-dan-pengaruhnya-di-indonesia-kala-itu?page=all.

Editor: fitriadi
Tan Malaka
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Tan Malaka

Tan Malaka di autobiografinya

Lahir 2 Juni 1897

Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera

Barat, Hindia Belanda

Meninggal 21 Februari 1949 (umur 51)

Kediri, Jawa Timur

Kebangsaan Indonesia

Almamater Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda


Pekerjaan Guru dan Pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak

(Murba)

Dikenal Pahlawan Nasional Indonesia

atas

Orang tua Rasad Caniago (ayah)

Sinah Simabur (ibu)

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima
Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa
Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang pembela kemerdekaan Indonesia,
tokoh Partai Komunis Indonesia,[1] juga pendiri Partai Murba,[2] dan merupakan salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia.[3]

Daftar isi

 1Biografi
o 1.1Kehidupan awal
o 1.2Pendidikan di Belanda
 1.2.1Mengajar
 1.2.2Hidup Membujang
 2Madilog dan Gerpolek
 3Pahlawan
 4Tan Malaka dalam fiksi
 5Bibliografi
 6Lihat pula
 7Catatan
 8Referensi
 9Pranala luar
Biografi[sunting | sunting sumber]
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Rumah kelahiran Tan Malaka

Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-
bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. [4] Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim
Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat
kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan
Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.[5]Semasa kecilnya, Tan Malaka senang
mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.[6] Pada tahun 1908, ia didaftarkan
ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di
sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.[7] Di
sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia
menjadi seorang guru di sekolah Belanda. [8] Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang
bertalenta.[7] Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang
gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. [8] Gelar tersebut
diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.[9]
Pendidikan di Belanda[sunting | sunting sumber]
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk
belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh
para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada
tahun 1915, ia menderita pleuritis.[10] Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul
dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang
sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.[11] Setelah Revolusi Rusia pada Oktober
1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia sering
membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.[12] Friedrich
Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan
terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat
tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar
ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang
asing.[13] Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai
Komunis Indonesia).[4] Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung
dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial
Guru).[14] Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang
disebut hulpactie.[a][15]
Mengajar[sunting | sunting sumber]
Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen
untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera
Utara.[15][16] Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa
Melayu pada Januari 1920.[17][18] Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda
subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor.[16] Selama masa ini, ia mengamati dan
memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.[17] Ia juga
berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa.[4] Salah satu karya
awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal
kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.[19]Ia
juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post.[16] Selanjutnya, Tan
Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri.[20] Namun
ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas.[17] Ia lalu membuka
sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah. Sekolah itu disebut
Sekolah Rakyat. Sekolah itu memiliki kurikulum seperti sekolah di Uni Sovyet, dimana setiap pagi
murid-murid menyanyikan lagu Internasionale". Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh
pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Dalam otobiografinya, Tan menganggap
bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui. Tapi,
Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga
terpecah.
Hidup Membujang[sunting | sunting sumber]
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah tiga
kali jatuh cinta, yaitu ketika ia berada di Belanda, Filipina, dan Indonesia.[21] Di Belanda, Tan Malaka
dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg,
mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya. Sementara di Filipina, ia jatuh hati kepada
seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan Rektor Universitas
Manila. Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi
perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi.[22] Alasan Tan Malaka tidak menikah
adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.[23]

Madilog dan Gerpolek[sunting | sunting sumber]


Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

Madilog

Madilog dan Gerpolek, keduanya acapkali dianggap merupakan karya penting dari Tan Malaka.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta
mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan
Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu
bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan
penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling
sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum
dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada
secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum
dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

Gerpolek

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa
itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang
diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa
Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk
mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek
Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan,
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politikdan Ekonomi,
1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah
kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam
perjuangannya.

Pahlawan[sunting | sunting sumber]


Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri. Ia juga terlibat
dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan Perjuangan dan disebut-sebut sebagai
otak dari penculikan Sutan Syahrir yang pada waktu itu merupakan perdana menteri. Karena itu ia
dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus
pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir
Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.
Di sisi lain, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian
Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan
Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7
November 1948 di Yogyakarta.
Setelah pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka
menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri, dari
situ ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. Pada bulan Februari 1949, Tan Malaka
ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri, Jawa Timur dan mereka
ditembak mati di sana. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan
siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan pengikutnya. Tapi akhirnya misteri tersebut
terungkap dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa
yang menangkap dan menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan
TNI dibawah pimpinan Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan
Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
Pada 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari Kediri ke Sumatra
Barat. Hal ini diupayakan oleh keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan
Malaka Institute. Karena gagal membawa jenazah Tan Malaka secara utuh, mereka memutuskan
untuk memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa tanah dari pekuburan Tan
Malaka.[24]

Tan Malaka dalam fiksi[sunting | sunting sumber]

Sampul Majalah Tempo dengan Tan Malaka

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman
picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah,
seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme Belanda.
Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia
internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang
berjudul Spionnage-Dienst. Nama patjar merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang
berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya,
yaitu Musso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan
Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin)
dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di
Indonesia, terutama di Sumatera.[25]
Belakangan, selepas reformasi kemudian muncul pula dua novel yang mengisahkan perjalanan
hidup Tan Malaka. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona, sementara yang keempat dan kelima
ditulis oleh Yusdja.[26]: Sedangkan novel yang keenam dan ketujuh masih-masing ditulis oleh Peter
Dantovski dan Hendri Teja.

Anda mungkin juga menyukai