Ia kembali ke Yogyakarta tanggal 11 Agustus 1948 dengan nama samaran: Soeparto, dan menjadi
sekretaris pribadi Suripno yang dikirim ke Eropa Timur merundingkan hubungan konsuler Republik
Indonesia dengan Uni Soviet. Pada suatu pertemuan Partai Komunis Indonesia (PKI), Suripno
mengungkapkan Soeparto sesungguhnya Muso, anggota Politbiro PKI awal 1920-an, tokoh terkemuka
dalam pemberontakan PKI 1926 melawan Belanda, pendiri "PKI ilegal" 1935, dan sudah 12 tahun absen
dari Indonesia. Muso disambut antusias dan dengan aklamasi diangkat sebagai sekretaris partai.
Tanggal 29 Agustus 1948 mantan PM Amir Syarifuddin mengumumkan dia anggota Partai Komunis sejak
tahun 1935. Mantan wakil PM Setiajit memberikan pengakuan serupa. PKI dengan cepat mengambil alih
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menggantikan Sayap Kiri sebagai koalisi yang beroposisi terhadap
Kabinet Hatta. FDR diubah dari koalisi yang longgar organisasinya menjadi front komunis klasik. PKI
meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Soekarno-Hatta dan tanggal 18 September 1948 PKI
merebut kota Madiun. Sumarsono, pemimpin pemuda pada pertempuran Surabaya November 1945,
mengangkat dirinya sebagai Gubernur Militer dan menyerukan kepada rakyat Indonesia supaya
bergabung dengan pemerintah komunis.
Malam tanggal 19 September 1948 Presiden Soekarno bicara di depan RRI Yogya dan meminta rakyat
memilih antara Muso-PKI dengan Soekarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di depan radio
Madiun dan mengatakan "rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Soekarno-Hatta adalah budak-
budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus mati."
Pemerintah RI kemudian mengerahkan pasukan Divisi Siliwangi untuk menindas pemberontakan PKI.
Pada akhir November 1948, TNI - tanpa bantuan dari luar - menghancurkan pemberontakan komunis.
Muso tewas dalam suatu pertempuran. Amir Syarifuddin dan Suripno ditangkap dan kemudian dieksekusi
oleh tentara. Soemarsono melarikan diri dan menyamar sebagai guru yang bertahun-tahun lamanya
bekerja di Sumatera Utara. Sesudah G-30-S/PKI, Soemarsono kembali ke Jawa dan kini berdiam di
Australia. Ia sudah warga negara Australia yang mampir ke Jakarta sebagai wisatawan. Itulah sekelumit
cerita tentang Peristiwa Madiun 18 September 1948.
Pemberontakan PKI Madiun 1948, awalnya sekedar konflik sesama golongan kiri yang anti imperialis.
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian
ternyata suatu permulaan keributan besar “ Pemberontakan PKI” . Dipimpin Muso dikota Madiun. Di
zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ ruwet” , walaupun tampaknya keluar saban
malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik
berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “ Murba” (antara lain anggotanya GRR dan
barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai
buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis.
Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara
pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng
yang berbunyi : “ Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi
penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng. Pamflet lain berisi,
Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa
Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947
dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan
perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi
adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka
terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara
simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya :
Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru
ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas
dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka
merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin,
Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso
dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang
runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan
Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan
pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang
dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka
meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang
“ brilliant” . Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya
didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’ kan dapat segera tegak kembali dalam
pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-
tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta.
Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk
menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan
pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat
negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno :
“ Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang
menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini.
Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-
tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “ merah” didirikan dengan Gubernur
Militernya bernama “ pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-
mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera
dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI
digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui,
rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak
menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu
telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih
dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “ Tidak sukar bagi rakyat, “ Pilih Sukarno
Hatta atau Muso dengan PKI nya” . Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat
sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera.
Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para
pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer.
Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang
pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus.
Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak
ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-
korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-
anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “ LUKISAN REVOLUSI RAKYAT
INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan
Desember 1949).
Mengenal Lebih Dalam
Sosok Semaun dan
Pengaruhnya di Indonesia
Kala Itu
Sabtu, 23 September 2017 07:55
Wikipedia.org
Semaun
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Mengenal Lebih Dalam Sosok Semaun dan
Pengaruhnya di Indonesia Kala Itu, http://bangka.tribunnews.com/2017/09/23/mengenal-lebih-dalam-
sosok-semaun-dan-pengaruhnya-di-indonesia-kala-itu?page=all.
Editor: fitriadi
Tan Malaka
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tan Malaka
Kebangsaan Indonesia
(Murba)
atas
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima
Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa
Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang pembela kemerdekaan Indonesia,
tokoh Partai Komunis Indonesia,[1] juga pendiri Partai Murba,[2] dan merupakan salah satu Pahlawan
Nasional Indonesia.[3]
Daftar isi
1Biografi
o 1.1Kehidupan awal
o 1.2Pendidikan di Belanda
1.2.1Mengajar
1.2.2Hidup Membujang
2Madilog dan Gerpolek
3Pahlawan
4Tan Malaka dalam fiksi
5Bibliografi
6Lihat pula
7Catatan
8Referensi
9Pranala luar
Biografi[sunting | sunting sumber]
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-
bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. [4] Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim
Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat
kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan
Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.[5]Semasa kecilnya, Tan Malaka senang
mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.[6] Pada tahun 1908, ia didaftarkan
ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di
sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.[7] Di
sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia
menjadi seorang guru di sekolah Belanda. [8] Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang
bertalenta.[7] Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang
gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. [8] Gelar tersebut
diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.[9]
Pendidikan di Belanda[sunting | sunting sumber]
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk
belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh
para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada
tahun 1915, ia menderita pleuritis.[10] Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul
dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang
sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.[11] Setelah Revolusi Rusia pada Oktober
1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia sering
membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.[12] Friedrich
Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan
terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat
tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar
ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang
asing.[13] Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai
Komunis Indonesia).[4] Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung
dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial
Guru).[14] Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang
disebut hulpactie.[a][15]
Mengajar[sunting | sunting sumber]
Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen
untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera
Utara.[15][16] Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa
Melayu pada Januari 1920.[17][18] Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda
subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor.[16] Selama masa ini, ia mengamati dan
memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.[17] Ia juga
berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa.[4] Salah satu karya
awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal
kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.[19]Ia
juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post.[16] Selanjutnya, Tan
Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri.[20] Namun
ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas.[17] Ia lalu membuka
sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah. Sekolah itu disebut
Sekolah Rakyat. Sekolah itu memiliki kurikulum seperti sekolah di Uni Sovyet, dimana setiap pagi
murid-murid menyanyikan lagu Internasionale". Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh
pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Dalam otobiografinya, Tan menganggap
bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui. Tapi,
Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga
terpecah.
Hidup Membujang[sunting | sunting sumber]
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah tiga
kali jatuh cinta, yaitu ketika ia berada di Belanda, Filipina, dan Indonesia.[21] Di Belanda, Tan Malaka
dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg,
mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya. Sementara di Filipina, ia jatuh hati kepada
seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan Rektor Universitas
Manila. Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi
perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi.[22] Alasan Tan Malaka tidak menikah
adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.[23]
Madilog
Madilog dan Gerpolek, keduanya acapkali dianggap merupakan karya penting dari Tan Malaka.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta
mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan
Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu
bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan
penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling
sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum
dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada
secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum
dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:
Gerpolek
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa
itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang
diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa
Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk
mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek
Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan,
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politikdan Ekonomi,
1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah
kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam
perjuangannya.
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman
picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah,
seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme Belanda.
Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia
internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang
berjudul Spionnage-Dienst. Nama patjar merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang
berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya,
yaitu Musso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan
Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin)
dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di
Indonesia, terutama di Sumatera.[25]
Belakangan, selepas reformasi kemudian muncul pula dua novel yang mengisahkan perjalanan
hidup Tan Malaka. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona, sementara yang keempat dan kelima
ditulis oleh Yusdja.[26]: Sedangkan novel yang keenam dan ketujuh masih-masing ditulis oleh Peter
Dantovski dan Hendri Teja.