NAMA
Kelas
MaPel
:D
: XII MIPA 4
: Sejarah Wajib
SMAN 33 Jakarta
Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam
Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul
Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949
(12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa
yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada
saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang
bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di
Negara Pasundan tersebut.
1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia
adalah Hukum Islam atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis
bahwa Negara Berdasarkan Islam dan Hukum tertinggi adalah Al Quran dan
Hadist. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa
kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syariat Islam, dan
menolak keras terhadap ideologi selain Al Quran dan Hadist, atau yang sering
mereka sebut dengan hukum kafir.
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke
beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962,
gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap
sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diamdiam di Jawa Barat, Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa
Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang
disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan
TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa
Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah
dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk,
membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang
dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi
menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus
berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik
yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng
Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah
pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baikbaik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi,
penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan
TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun
melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke
Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan
Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi
hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.
6. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi
Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam
sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin
oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut
mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung
sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah
tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi
kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk
pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah
sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa
daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah
yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa,
setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah
menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan
ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh
membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara
Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh
bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kotakota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk
memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin
oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan
operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang
di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada
penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan
kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28
Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel
M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah
yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.
7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin
oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut
baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas
organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi
medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat
menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa
kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah
dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik
Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara
Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh
pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada
saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku
dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa
kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di
jadikan hukum negara.
Pemberontakan G 30 S PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948 pernah melakukan
pemberontakan terhadap Pemerintah RI di Madiun. Tujuannya ingin mendirikan
negara komunis dengan jalan kekerasan dan pembunuhan. Pada waktu itu banyak
para ulama, TNI, tokoh masyarakat serta rakyat yang tidak berdosa lainnya menjadi
korban kebiadabannya. Meskipun PKI waktu itu telah berhasil ditumpas oleh TNI
bersama rakyat yang setia kepada Pancasila, namun diyakini mereka yang tersisa
masih tetap berbahaya, dan akarnya bisa tumbuh sewaktu-waktu.
Sejak tahun 1950. PKI berhasil ikut dalam kehidupan partai politik, terutama pada
masa Demokrasi Terpimpin. Setelah berhasil dengan usahanya tersebut, mereka
berhasil pula mempengaruhi negara dan rakyat dengan tipudaya, bujukan dan
hasutan yang tidak betanggung jawab.
Pada tahun 1965 PKI semakin giat melancarkan segala bentuk propagandanya. PKI
melancarkan pula aksi-aksi sepihak dan tindakan pisik lainnya. Yang mereka anggap
menghalangi atau lawan, mereka bunuh dan yang mereka anggap teman mereka
rangkul dan dilindungi.
Pada tahun 1965 ini juga, Presiden Soekarno menderita sakit. Ketika itu dokter yang
sengaja didatangkan dari RRC setelah memeriksa beliu menyatkan bahwa penyakit
Presiden semakin parah keadaannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh dokter
tersebut bahwa kemungkinan Presiden akan menjadi lumpuh dan bahkan dapat
segera meninggal dunia.
Mengetahui keadaan demikian. DN Aidit, tokoh pimpinan PKI memutuskan akan
segera melancarkan kudeta atau perebutan kekuasaan terhadap Pemerintah RI
yang sah. Untuk itu mereka melatih kader-kadernya seperti Pemuda Rakyat,
Gerwani guna mempersiapkan diri ikut pemberontakan. Selain itu mereka juga
menyebarluaskan desas desus atau kabar bohong dengan memberitakan bahwa
Dewan Jenderal akan melakukan perebutan kekuasaan pemerintah. PKI juga telah
membentuk Biro Khusus dan mengirim agen-agennya menyusup ke dalam tubuh
ABRI. Tugas khusus ini seperti dilakukan oleh Brigjend Supardjo dan Letkol. Untung.
Sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan 30 September PKI mulai
melancarkan aksinya. mereka melakukan penculikan terhadap beberapa perwira
TNI Angkatan Darat. Penculikan dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa. Pasukan ini
dikenal sebagai Pasukan Pengawal Presiden. Para Jenderal yang mereka culik itu
dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh. Setelah itu jenazahna mereka masukan
ke dalam sumur tua di daerah Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Diantara para Jenderal yang menjadi korban kekejaman G 30 S/PKI antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemberontakan APRA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa
yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA) yang ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling
yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL,
masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka
temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh
Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan,
bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut
sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh
pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling
adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST.
Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti
Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden,
apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta
terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai
kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya
Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran
"penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling
agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera
memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah
RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka
akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS,
namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman),
Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang
membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi
dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret
merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak
buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum
deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling
melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon
Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan
Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka
temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk
Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota
pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk
menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang
diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan
satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling
sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa
Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga
menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di
Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh
dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir
pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis
Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan
skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika
Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara
licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan
oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Pemberontakan PRRI/PERMESTA
1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng
diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini
pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini
memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX
Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan
Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang
berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat
kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu
Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember
1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX
Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal
dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel
Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I
BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan
karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang
perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut,
Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih
pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan
Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat
juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara
dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan
terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI
terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada
daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak
terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet
Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut
Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI).
Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan
kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan
tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan
pemerintahan Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI
membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah,
dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein
memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia
bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan
PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan
bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan
Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan
mendukung PRRI.
3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan
yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para
mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut
untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu,
untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya
perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI
memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan
Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansiinstansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di
bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera.
Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para
Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan
Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil
dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada
tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI.
Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area
perhutanan yang berada di daerah tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah
membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi
Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto
Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara
asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan
oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon
pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan
diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam
gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
4. Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak
besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara
Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara
Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika
Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat
pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada
tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir.
Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga
terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka
pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan
wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula
dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung
gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah
pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini
mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun
PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa
trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.
Pemmberontakan RMS
Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Latar Belakang,
Penyebab, Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak - Pada tanggal 25 April 1950,
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan
prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian
Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur.
Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk Negara
sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang
mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis.
Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil
meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan
anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.
dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok
orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H
Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para
menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna,
J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A.
Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS
untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei
1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan.
Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan
Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang
tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan
anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan
Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini
dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan
mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr.
Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya
misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus,
dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan
mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh
seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi
militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14
Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa
Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28
September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan
menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah
Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil
dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini
membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada
tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat
pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada
tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap
di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke
Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di
Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya
dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi
hukuman tehadap :
J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman
5 Tahun
D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 Tahun
J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama
5 Tahun
D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman
selama 3 Tahun
F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7
tahun
D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman
selama 10 Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang
berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963.
Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil
berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu
memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim
Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda.
Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun
1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010
dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang
berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga
dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti
kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah
merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan,
diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23
orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur
Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana
pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus
dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera
RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada
di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah
sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan
keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan
untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo
Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM)
yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun
2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang
menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya,
pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggungtanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.