Anda di halaman 1dari 25

FORTOOFOLIO SEJARAH

NAMA
Kelas
MaPel

:D
: XII MIPA 4
: Sejarah Wajib

SMAN 33 Jakarta

Pemberontakan PKI Madiun


PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau
situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September Desember 1948.
Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia
pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai
Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir
Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan
pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di
Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh
masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan
bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah
Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan
untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh
pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan
memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk
melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia.
Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul
berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan
golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain
Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk,
Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil
seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari
kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko
Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto
(Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III,
dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan
Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali
dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera
menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi
sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir

Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.


Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak
menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi,
pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan
dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo)
dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang
tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi
dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak
lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol.
Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di
tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat
untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S.
Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman
menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis,
maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti
layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam
memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje
Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman,
Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi
Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik
Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam
Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal
sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia
menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan
bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan
untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada
Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central
Intelligence Agency - CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio
di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi
Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang
mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah
(FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai
perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui
radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir
Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada
waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde

Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai


pemberontakan PKI Madiun.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh
pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi
Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta
pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari
Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur
Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade
Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat
menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang
benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam
waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan
Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat,
bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta
beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah,
sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung
Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr.
Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20
Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam
Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul
Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949
(12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa
yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada
saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang
bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di
Negara Pasundan tersebut.
1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia
adalah Hukum Islam atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis

bahwa Negara Berdasarkan Islam dan Hukum tertinggi adalah Al Quran dan
Hadist. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa
kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syariat Islam, dan
menolak keras terhadap ideologi selain Al Quran dan Hadist, atau yang sering
mereka sebut dengan hukum kafir.
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke
beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962,
gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap
sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diamdiam di Jawa Barat, Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa
Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang
disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan
TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa
Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah
dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk,
membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang
dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi
menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus
berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik
yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara


Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para
pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi
Bratayudha dan Pagar Betis untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada
Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di
tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di
Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan
TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.
3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi
menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan
kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang
melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak
senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama
peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan
antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan
penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima
terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga
merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak
adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir
Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946,
menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di
Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan
cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara
menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir
Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia
memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan,
Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan
bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa
Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI)
yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman.
Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII)
dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini
sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion

423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng
Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah
pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baikbaik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi,
penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan
TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun
melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke
Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan
Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi
hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.
6. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi
Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam
sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin
oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut
mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung
sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah
tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi
kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk
pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah
sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa
daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah
yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa,
setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah
menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan
ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh
membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara
Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh

bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kotakota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk
memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin
oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan
operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang
di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada
penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan
kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28
Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel
M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah
yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.
7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin
oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut
baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas
organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi
medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat
menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa
kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah
dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik
Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara
Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh
pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada
saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku
dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa
kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di
jadikan hukum negara.

Pemberontakan G 30 S PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948 pernah melakukan
pemberontakan terhadap Pemerintah RI di Madiun. Tujuannya ingin mendirikan
negara komunis dengan jalan kekerasan dan pembunuhan. Pada waktu itu banyak
para ulama, TNI, tokoh masyarakat serta rakyat yang tidak berdosa lainnya menjadi
korban kebiadabannya. Meskipun PKI waktu itu telah berhasil ditumpas oleh TNI

bersama rakyat yang setia kepada Pancasila, namun diyakini mereka yang tersisa
masih tetap berbahaya, dan akarnya bisa tumbuh sewaktu-waktu.

Sejak tahun 1950. PKI berhasil ikut dalam kehidupan partai politik, terutama pada
masa Demokrasi Terpimpin. Setelah berhasil dengan usahanya tersebut, mereka
berhasil pula mempengaruhi negara dan rakyat dengan tipudaya, bujukan dan
hasutan yang tidak betanggung jawab.
Pada tahun 1965 PKI semakin giat melancarkan segala bentuk propagandanya. PKI
melancarkan pula aksi-aksi sepihak dan tindakan pisik lainnya. Yang mereka anggap
menghalangi atau lawan, mereka bunuh dan yang mereka anggap teman mereka
rangkul dan dilindungi.
Pada tahun 1965 ini juga, Presiden Soekarno menderita sakit. Ketika itu dokter yang
sengaja didatangkan dari RRC setelah memeriksa beliu menyatkan bahwa penyakit
Presiden semakin parah keadaannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh dokter
tersebut bahwa kemungkinan Presiden akan menjadi lumpuh dan bahkan dapat
segera meninggal dunia.
Mengetahui keadaan demikian. DN Aidit, tokoh pimpinan PKI memutuskan akan
segera melancarkan kudeta atau perebutan kekuasaan terhadap Pemerintah RI
yang sah. Untuk itu mereka melatih kader-kadernya seperti Pemuda Rakyat,
Gerwani guna mempersiapkan diri ikut pemberontakan. Selain itu mereka juga
menyebarluaskan desas desus atau kabar bohong dengan memberitakan bahwa
Dewan Jenderal akan melakukan perebutan kekuasaan pemerintah. PKI juga telah
membentuk Biro Khusus dan mengirim agen-agennya menyusup ke dalam tubuh
ABRI. Tugas khusus ini seperti dilakukan oleh Brigjend Supardjo dan Letkol. Untung.
Sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan 30 September PKI mulai
melancarkan aksinya. mereka melakukan penculikan terhadap beberapa perwira
TNI Angkatan Darat. Penculikan dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa. Pasukan ini
dikenal sebagai Pasukan Pengawal Presiden. Para Jenderal yang mereka culik itu
dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh. Setelah itu jenazahna mereka masukan
ke dalam sumur tua di daerah Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Diantara para Jenderal yang menjadi korban kekejaman G 30 S/PKI antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Letnan Jenderal Ahmad Yani


Mayor Jenderal Soeprapto
Mayor Jenderal M.T. Haryono
Mayor Jenderal S. Parman
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Brigadir Jenderal D.I Panjaitan
Letnan Satu Pierre Tendean

Sedangkan usaha penculikan terhadap diri Jenderal AH. Nasution mengalami


kegagalan karena ia berhasil meloloskan diri. Tetapi putrinya bernama Ade Irma
Suryani yang berusia 5 tahun gugur akibat terkena tembakan Pasukan Cakrabirawa
yang mengepung rumahnya. Demikian pula ajudannya Letnan Satu Pierre Tendean
juga menjadi korban penculikan dan dibawa gerombolan G 30 S/PKI ke Lubang
Buaya kemudian dibunuh.
Dalam aksinya PKI juga membunuh seorang polisi yaitu Peltu Politis Karel Sasuit
Tubun yang berusaha mencegah Gerombolan PKI itu masuk ke dalam rumah Dr.
Leimena.
Di Jawa Tengah, G 30 S/PKI berhasil merebut Markas Kodam VII Dikonegoro di
Semarang dan Markas Korem 072 di Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letnan
Kolonel Sugiona telah pula menjadi korban keganasan PKI.
Setelah kejadian penculikan itu, Mayor Jenderal Soeharto yang meneriman laporan
tentang adanay penculikan terhadap para perwira TNI AD, segera bertindak dengan
melakukan langkah-langkah yang perlu guna mengatasi keadaan yang gawat dan
membahayakan keamanan negara dan pemerintah. Pada tanggal 1 Oktober 1965
Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto dapat menguasai situasi. Kemudian
Mayor Jenderal Soeharto menugaskan Kolonel Sarwo Edi Wibowo, Komandan
Pasukan RPKAD memimpin pasukannya guna merebut dua tempat yang telah
dikuasai oleh PKI. Kedua temapt yang telah dikuasai PKI ialah Pangkalan udara
Halim Perdana Kusuma dan Kantor Pusat Pemberitaan RRI. Berkat kesiagaan dan
keberaniaan Pasukan RPKAD ini, maka lapangan terbang Halim Perdana Kusuma
dan RRI berhasil direbut kembali dari penguasaan gerombolan PKI.
Sementara itu DN Aidit, tokoh pimpinan PKI yang juga dalang pemberontakan G 30
S/PKI tertewas di Surakarta sewaktu berusaha akan melarikan diri ke Rusia. Dengan
terjadinya peristiwa tersebut, jelas bahwa PKI masih merupakan bahaya nyata yang
ingin terus berusaha merebut kekuasaan Pemerintah RI yang sah. Karena itu PKI
harus lenyap dan tidak boleh hidup di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Untuk memperingati dan menghargai jasa para pahlawan revolusi yang gugur
akibat kekejaman G 30 S/PKI maka Pemerintah membangun Tugu Peringatan
Monumen Pancasila Sakti di daerah Lubang Buaya (tempat terjadinya peristiwa).
Pemerintah kemudian menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian
Pancasila.

Pemberontakan APRA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa
yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA) yang ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling
yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL,

masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka
temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh
Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan,
bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut
sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh
pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling
adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST.
Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti
Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden,
apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta
terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai
kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya
Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran
"penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling
agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera
memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah
RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka
akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS,
namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman),
Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang
membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak


Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum
itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan
Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante
rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di
Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember
1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin
gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi
Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari
Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak
jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya,
Mmoires, yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk
Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena
itu dia harus merahasiakannya
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.
J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni
Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta
menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian
untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari
1950 menyampaikan kepada Menteri Gtzen, agar pasukan elit RST yang
dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu,
satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17
Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Gtzen bahwa
Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah
menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota
pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan
meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi
"Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan
bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh
komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm
besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles
juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol
Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00
Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di
Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di

Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi
dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret
merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak
buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum
deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling
melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon
Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan
Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka
temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk
Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota
pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk
menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang
diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan
satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling
sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa
Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga
menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di
Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh
dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir
pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis
Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan
skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika
Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara
licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan
oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Pemberontakan PRRI/PERMESTA
1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng
diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini
pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini
memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX
Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan
Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang
berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat
kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu
Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember
1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX
Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal
dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel
Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I
BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan
karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang
perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut,
Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih
pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan
Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat
juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara
dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan
terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI
terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada
daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak
terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet
Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut
Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI).
Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan
kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan

Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa Piagam


Jakarta yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus
segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan
kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. Tuntutan tersebut antara lain :
Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang
disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga
pemilihan umum yang akan datang.
Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 524 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan
anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI
memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara
Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia
(PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada
hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua
kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut
PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang
diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan
Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.
2. Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu
pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa.
PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan
untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah
pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa
tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi
pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi,
jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang

tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan
pemerintahan Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI
membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah,
dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein
memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia
bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan
PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan
bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan
Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan
mendukung PRRI.
3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan
yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para
mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut
untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu,
untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya
perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI
memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan
Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansiinstansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di
bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera.
Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para
Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan
Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil
dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada
tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI.
Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area
perhutanan yang berada di daerah tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah
membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi
Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto
Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara

asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan
oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon
pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan
diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam
gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
4. Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak
besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara
Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara
Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika
Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat
pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada
tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir.
Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga
terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka
pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan
wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula
dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung
gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah
pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini
mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun
PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa
trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.

Pemberontakan Andi Aziz


Peristiwa Pemberontakan Andi Azis di Makassar, Latar Belakang, Tujuan, Dampak Tokoh utama pada Pemberontakan kali ini adalah Andi Abdoel Azis. Andi Abdoel Azis
atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal 19 September 1924 di
Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1930-an Andi Azis
dibawa ke Belanda oleh seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda, dan
pada tahun 1935 Andi memasuki Leger School dan lulus dari sekolah tersebut tahun
1938.
Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan
perjalanannya ke Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya
ingin memasuki sekolah kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit.
Akan tetapi niatnya untuk masuk ke dalam sekolah militer tidak terlaksana karena
pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya untuk masuk kemiliteran,
akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan untuk masuk ke
dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman (Nazi).

Dari pasukan bawah tanah kemudian ia dipindahkan ke garis belakang pertahanan


Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena semakin
sempitnya kedudukan Sekutu di Eropa, maka secara diam-diam Azis bersama para
kelompoknya menyeberang ke daratan Inggris di mana daerah tersebut adalah
sebuah daerah yang paling aman dari serangan tentara Jerman, meskipun pada
tahun 1944 daerah tersebut sering di bom oleh pasukan udara tentara Jerman.
Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di
sebuah kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di
kamp tersebut, akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan
pujian sebagai seorang Prajurit Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di
mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis mengikuti pendidikan Sekolah calon
Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan Kadet. Pada Bulan Agustus
1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang Sekutu di India,
berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta. Sama
seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia
yang turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis
diperbolehkan untuk memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk
ke dalam satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke
dalam kelompok yang akan ditugaskan di gugus selatan Negara Indonesia. Setelah
di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa dengan orang tuanya di Sulawesi
Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut satuan yang akan
bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali
bersama orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa
(Jakarta), waktu itu Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di
tugaskan di Cilinding. Pada tahun 1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti
panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia
mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti
pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun 1947, ia dipanggil
lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan Dua.
Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan
setelah hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia
ditugaskan menjadi seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada
tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan
kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125 anak buahnya (KNIL) yang sudah
berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara Nasional Indonesia). Di dalam
barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya menjadi seorang
kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut tidak
banyak mengalami perubahan anggotanya.

Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka


memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda.
Pada saat itu di daerah Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang
sedang dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua
macam pasukan khusus Belanda yang sedang dilatih. Di antara pasukan khusus itu
adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan penerjun (Baret Merah). Sesuai
dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis melatih para
pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.
1. Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali
dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang
berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok
masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera
menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari
kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April
1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk
mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai
mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para
kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan
Pasukan Bebas di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa
masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :
Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung
jawab pasukan bekas KNIL saja.
Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.
2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz
Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara
Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil
menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis.
Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju
dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena
yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali
Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia).

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz


Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal
8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x
24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam
pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan
semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E.
Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati,
Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi
Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus
melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan
ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang
mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatanpun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang
menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL
memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara
pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5
Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang
sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL
dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan
lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentaratentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari
bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan
melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh
Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KLKNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku
tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan
dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.
4. Meninggalnya Kapten Andi Azis
Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka
yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang
sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena
serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan
jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di

pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa


Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden
RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno
dan para anggota perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman
Andi Azis.
5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis
Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah
menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban
propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis
adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan kesatuan
Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya, seorang Andi
Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang
bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah
satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana
cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan
sejahtera.
Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu
berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa Siapapun boleh dibawa masuk ke
dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain
perempuan.
Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita
selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan,
percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain karena orang
itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan mungkin malah
mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita harus
berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.

Pemmberontakan RMS
Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Latar Belakang,
Penyebab, Tujuan, Upaya Penumpasan, Dampak - Pada tanggal 25 April 1950,
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan
prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian
Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur.
Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk Negara
sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang
mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis.
Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil
meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan
anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.

1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS


Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan
yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan
Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur
KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB.
Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat
semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha
untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan
kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang
telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang
dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di
Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut
bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi
pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para
biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa
penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari
sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari
ancaman bahaya tersebut.
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap
parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan
akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan
pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan
berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para
anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung
di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya
daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu
seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun,
usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang
melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala
Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir
pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur
Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar
terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain,
dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan

dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok
orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H
Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para
menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna,
J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A.
Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS
untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei
1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan.
Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan
Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang
tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan
anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan
Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini
dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan
mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr.
Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya
misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus,
dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan
mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh
seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi
militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14
Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa
Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28
September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan
menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah
Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil
dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini
membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada
tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat
pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada

tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap
di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke
Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di
Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya
dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi
hukuman tehadap :
J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman
5 Tahun
D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 Tahun
J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama
5 Tahun
D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5
Tahun
Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman
selama 3 Tahun
F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4
Tahun
T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7
tahun
D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman
selama 10 Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang
berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963.
Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil
berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu
memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim

mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya


pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun
dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada
di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda.
Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun
1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010
dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang
berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga
dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti
kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah
merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan,
diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23
orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur
Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana
pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus
dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera
RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada
di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah
sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan
keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan
untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo
Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM)
yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun
2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang
menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya,
pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggungtanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.

Anda mungkin juga menyukai