Anda di halaman 1dari 26

Pemberontakan G 30 S PKI

PENGERTIAN G 30 S PKI

G 30 S PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September sampai 1
Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang kemudian dituduhkan kepada
anggota Partai Komunis Indonesia.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara polisi dan para pemilik tanah. Pada permulaan
1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.

SEJARAH SINGKAT G 30 S PKI

Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang
terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan
diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun
oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan
saat itu, Amir Sjarifuddin.

Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun
Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di
era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik
itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.

Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI
yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian
pelaku Orde Lama).

TOKOH – TOKOH DISINTEGRASI

D.N. Aidit, ketua PKI (meninggal dibunuh 1965).

Lettu Doel Arif, tokoh kunci dalam penculikan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang diduga akan
membentuk Dewan Jenderal oleh PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (hilang).

Lukman Njoto, Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang
sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang).

Ibnu Parna, politisi fraksi PKI, pemimpin Partai Acoma, dan aktivis buruh (dibunuh).

M.H. Lukman, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia. (dihukum mati 1965)

Ir. Sakirman, petinggi Politbiro CC PKI dan kakak kandung dari Siswondo Parman, salah satu korban
yang diculik meninggal dalam peristiwa G30S (hilang).

Sudisman, anggota Politbiro CC PKI (dihukum mati).


Syam Kamaruzzaman, tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Politbiro PKI yang bertugas
membina simpatisan PKI dari kalangan TNI dan PNS (dijatuhi hukuman mati 1968, dieksekusi 1986).

TOKOH – TOKOH INTEGRASI

Chaerul Saleh, pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil
perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu pemuda yang
menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (meninggal 1967 sebagai tahanan).

Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer" (dibunuh).

Brigjen Soepardjo, Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat yang memiliki peran penting dalam
peristiwa Gerakan 30 September (dihukum mati).

Letkol Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September
pada tahun 1965 (dihukum mati 1969).

Trubus Soedarsono, pematung dan pelukis naturalis Indonesia (dibunuh).

Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan Sukarni termasuk
dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (hilang).

Tawaran bantuan dari Belanda

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera
memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata
Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun
kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai


organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain
tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat
kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang
tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil
seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan
bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan
Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi
Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul
Latief dan Kapten Untung Samsuri.

Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari
Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi
di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung
dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.

Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok
pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan
mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan
mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan
dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang
menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen
yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.

Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS
yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara
jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan
komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam
memerangi komunis di seluruh dunia.

Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje"
Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri,
Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir
Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang
mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan
dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia
menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo
Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell
yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta,
sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency – CIA.

Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di
Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun.
Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia
mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia
bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat.

Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau
Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun
Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah
kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.

Peristiwa :

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal,
yang mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan
berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno memerintahkan pasukan
Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili. Namun secara tak terduga,
dalam operasi penangkapan tersebut para jenderal tersebut terbunuh.
Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew Gilchrist.
Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini oleh beberapa pihak
dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, dokumen ini
menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi daftar
nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".

Keterlibatan Soeharto

Menurut isu yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan
Pembinaan)

Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.Leimena)

Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca Kejadian

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua
sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30
September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965
Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-
organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata.

Penangkapan dan Pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan
ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa
dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur
(bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui
dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain
menyebut dua sampai tiga juga orang). Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban
dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-
kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan
Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.

Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai
di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu
juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan
tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan
pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI, Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakanlah pertemuan antara


para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss. Korporasi multinasional
diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di
seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa
Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era
Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.

Pada 29 September 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia.
Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan
1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica, Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965,
antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi
II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II
(Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan
dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat
menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade
Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas
pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-
pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang
dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun.
Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan
diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau
dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan
Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
PEMBERONTAKAN PRRI/ PERMESTA
2.1 Latar belakang peristiwa PRRI/PERMESTA

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan


salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang
dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.

Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada
tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih
luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi
lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi
pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca-agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi
hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam
pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.

Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang
pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatra Tengah waktu itu yang mencakup wilayah
provinsi Sumatra Barat, Riau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi
sekarang.

Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh pemerintah pIusat,
yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan, dan kemudian
ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer
Indonesia. Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI.
Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957;
Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

2.2 Rangkaian Peristiwa PRRI/PERMESTA

Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah
di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat.
Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer. Tujuan dari pemberontakan PRRI
ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara
menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah
Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat.

Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi
pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan,
sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut
menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan
tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat
sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan
pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :


Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen
Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956

Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I
(TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.

Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian.

Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.

Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar,
Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta
(Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia
bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer
pemberontak.

Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan
Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah.
Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan
perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka
diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga
Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai
dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan
Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil
pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.

Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak
semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan
pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh
sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam
pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah
pusat yang berisi:

Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.

Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken
Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).

Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum
yang akan datang.

Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.

Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan
mengambil kebijakan sendiri.

Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan
memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan
sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel
Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan
Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.

Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana
menterinya. Kabinet PRRI terdiri dari:

Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,

Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum
Mr. Assaat sampai di Padang,

Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,

Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,

Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,

F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,

Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,

Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,

Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,

Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,

Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang

Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa
yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel
D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara
dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung
PRRI.

Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk
melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17
Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke
Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru
berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4
Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-
daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.

Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat
Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah KDMSUT
diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta,
pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol
Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian:

Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran
Sulawesi Utara bagian Tengah.

Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi
Utara bagian Selatan.
Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran
kepulauan Sebelah utara Manado.

Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat


dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.

Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pieters dengan daerah sasaran Jailolo; dan

Operasi Mena II di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara
Morotai di sebelah utara Halmahera.

Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya
pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di
Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan
tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.

2.3 TOKOH- TOKOH PENTING DALAM PERISTIWA PRRI/PERMESTA

Tokoh Penting

Gerakan yang dianggap pemberontakan namun sebenarnya hanya suatu upaya untuk membenahi
kinerja dan konstitusi pemerintah pusat pada saat itu pastinya memunculkan beberapa tokoh
penting didalamnya, terutama didalam kabinet PRRI. Beberapa tokoh PRRI atau Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia diantaranya seperti:

1. Letnan Kolonel Ahmad Husein

Kolonel Ahmad Husein sebenarnya merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia. Namun tidak hanya itu saja, Ahmad Husein juga menjadi tokoh penting
dalam PRRI, karena menjadi pemimpin militer PRRI. Terlebih lagi Ahmad Husein merupakan orang
yang mendeklarasikan pembentukan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958 dan menjadi pemimpin
Dewan Banten yang didirikan di Sumatera Barat. Ahmad Husein juga mengambil alih jabatan
Gubernur Sumatera Tengah dan menuntut pemerintah pusat untuk memenuhi tuntutan dar Dewan
Banteng dengan membentuk Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KMDST). Terlebih lagi
dalam pemberontakan PRRI, Ahmad Husein juga dianggap ikut serta dalam penyelundupan senjata
dari Amerika Serikat sebagai salah satu bentuk bantuan terhadap PRRI.

2. Sjafruddin Prawiranegara

Mr. Sjafruddin Prawiranegara juga merupakan tokoh penting PRRI karena menjabat sebagai Perdana
Menteri dalam kabinet tandingan PRRI di Sumatera Tengah pada tahun 1958. Selain itu,
dalam sejarah kemerdekaan Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara merupakan seorang pejuang
kemerdekaan yang menjabat sempat menjabat sebagai Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil
Perdana Menteri, dan juga menjadi ketua yang setingkat presiden dalam Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI).

3. Assaat Dt. Mudo

Sebelum bergabung dengan PRRI, Mr. Assaat Dt. Mudo menjadi seorang politisi dan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Selain itu Mr. Assaat Dt. Mudo juga sempat menjabat sebagai pemangku
jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dan
juga sempat menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri Indonesia.

4. Maluddin Simbolo

Maluddin Simbolo juga merupakan tokoh PRRI yang memiliki peran penting didalamnya. Dimana
memegang jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk Kabinet PRRI pada masa itu. Sedangkan pada
dasarnya Maluddin Simbolo merupakan seorang tokoh militer dan juga pejuang kemerdekaan
Indonesia.

5. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo

Soemitro Djojohadikoesoemo bergabung menjadi anggota PRRI pada tahun dideklarasikannya PRRI
yaitu 1958, dan menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Walaupun pada akhirnya
memutuskan untuk tinggal di luar Indonesia sebagai seorang konsultan ekonomi di Malaysia, Hong
Kong, Thailand, Prancis, dan Switzerland. Dalam pemerintahan Indonesia sendiri, Soemitro
Djojohadikoesoemo sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan
Menteri Riset karena pada dasarnya memang merupakan seorang ekonom Indonesia.

Moh. Syafei

Moh. Syafei sendiri merupakan tokoh pendidikan Indonesia yang bergabung dengan PRRI, dan
berperan sebagai Menteri PPK dan Kesehatan dalam Kabinet PRRI. Moh. Syafei juga merupakan
tokoh masyarakat di Sumatera Barat, dan merupakan pendiri dari INS Kayutanam sebuah lembaga
pendidikan menengah swasta.

7. F. Warouw

F. Warouw merupakan seorang perwira militer yang berperan pula dalam Perang Kemerdekaan
Indonesia. J. F. Warouw bahkan juga sembat menjabat sebagai Komandan Tentara dan Teritorium
(TT) VII/ Indonesia Timur, dan Atase Militer di Beijing sebelum bergabung dalam pemberontakan
PRRI/Permesta. J. F. Warouw bergabung dengan PRRI juga untuk memperjuangkan otonomi daerah,
dan menjabat sebagai Menteri Pembangunan dalam kabinet PRRI.

8. Saladin Sarumpaet

Dalam kabinet PRRI, Saladin Sarumpet memiliki peran atau menjabat sebagai Menteri Pertanian dan
Perburuan. Dimana juga berperan penting dalam upaya PRRI memperjuangkan keseimbangan
pembangunan dan otonomi daerah.

9. Muchtar Lintang

Tokoh PRRI selanjutnya adalah Muchtar lintang, dimana menjabat sebagai Menteri Agama. Muchtar
Lintang memang aktif dalam melakukan dakwah islam di daerah-daerah Indonesia.
10. Saleh Lahade

Saleh Lahade merupakan seorang tokoh militer di Indonesia, dimana sempat juga menjadi seorang
pemimpin dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi. Permesta sendiri memang mendukung PRRI,
sehingga perbedaan PRRI dan Permesta tidak terlalu terlihat dan bahkan pemberontakan PRRI juga
sering disebut sebagai pemberontakan PRRI/Permesta. Didalam kabinet PRRI sendiri, Salah Lahade
menjabat sebagai seorang Menteri penerangan, dan menjadi salah atau tokoh yang menandatangani
Piagam Permesta pada Februari 1957.

11. Ayah Gani Usman

Ayah Gani Usman merupakan tokoh perjuangan yang aktif dalam dunia politik dan sosial di
Indonesia. Oleh sebab itu, dalam kabinet PRRI, Ayah Gani Usman diangkat atau diberi peran untuk
menjadi seorang Menteri Sosial.

12. Dahlan Djambek

Tokoh PRRI yang terakhir didalam kabinet PRRI adalah Dahlan Djambek, dimana merupakan seorang
tokoh militer yang juga bergabung sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Sedangkan didalam
kabinet PRRI, Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi, dimana
diangkatnya Dahlan Djambek tersebut setelah Mr. Assaat tiba di Padang.

Tidak tertinggal juga dengan peranan masyarakat yang membantu maupun mendukung
pembentukan PRRI dan aksi pemberontakan PRRI yang berlangsung, sehingga mengharuskan
pemerintah pusat menggunakan operasi militer besar untuk menghentikan aksi pemberontakan)
yang terjadi, sekaligus sebagai upaya pemerintah menumpas Permesta.
Peristiwa Republik Maluku Selatan
RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang diproklamasikan tanggal 25 April 1950.
Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh rujukan] RMS di Ambon dikalahkan
oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai
Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram,
kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika
pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966,
presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan
dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

Pemberontakan ini didalangi oleh Soumokil mantan seorang Jaksa Agung yang bermaksud untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan republik Indonesia. Gubernur Sembilan Serangkai
yang memiliki anggota pasukan KNIL dan Partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan berbagai
propaganda.Sebelum memproklamasikan Republik Maluku Selatan, Yang mana ini dilakukan agar
wilayah Maluku bisa terlepas dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Disisi lain, Soumokil telah berhasil meyakinkan masyarakat dan membentuk kekuatan di daerah
Maluku Tengah. Sementara itu orang yang tidak mendukung dan menyatakan mendukung negara
Kesatuan Republik Indonesia maka akan diancam atau dimasukkan ke dalam penjara.

Akhirnya pada tanggal 25 April tahun 1950, Republik Maluku Selatan diproklamasikan. Kala itu yang
menjadi presiden adalah J.H Manuhutu dengan perdana menteri Albert Fairisal. Sementara
beberapa menteri terpilih antara lain adalah Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j Gasperz, J.B Pattiradjawane,
J.Toule, S.j,H Norimarna, P.w Lokollo, H.f pieter, A.Nanholy, Z.Pesuwarissa dan Ir.J.A Manusama.

Sementara pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P nikijuluw diangkat menjadi wakil presiden dari
Republik Maluku Selatan untuk wilayah di luar negeri dan berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Pada tanggal 3 mei 1950, Soumokil menggantikan Manuhutui sebagai presiden Republik Maluku
Selatan. Pada tanggal 9 mei 1950 dibentuk angkatan perang Republik Maluku Selatan (APMRS) yang
dipimpin oleh panglima sersan Mayor KNIL, D.J Samson. Sedangkan untuk kepala staff dipimpin oleh
sersan Mayor Pattiwale. Beberapa anggota staff lainnya adalah sersan Mayor Aipasa, sersan Mayor
Pieter dan Sersan Mayor Kastanja.

Pemberontakan terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, mereka menolak bergabung dengan


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya Republik Maluku Selatan (RMS). RMS
didirikan pada 25 April 1950, salah satu pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dibalik pembentukan
RMS yakni Christian Robert Soumokil, saat itu ia menjabat sebagai Menteri kehakiman dan Jaksa
Agung pada pemerintahan NIT.

RMS lahir atas adanya krisis politik di Ambon. Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM
mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik
Indonesia. Adanya hal teresebut Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang anti-RI melakukan
provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan hijau asal Ambon ini.

Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan pergolakan Republik Maluku Selatan
adalah:

Mengupayakan perdamaian dengan mengirim Johannes Leimana untuk berunding


Setelah upaya damai gagal, pemerintah melakukan tindakan militer berupa Operasi Pasupati untuk
memberantas RMS

Tokoh-tokoh dalam peristiwa:

Dr.Soumokil (Dalang dari pemberontakan Andi Aziz)

Dr. J. Leimena

Soumokil

Kolonel Alex Kawilarang (Pemimpin pasukan yang dikirim oleh Pemerintahan Indonesia)

Mayor Achmad Wiranatakusumah (Pemimpin pasukan APRIS di Ambon dalam Gelombang pertama)

Letkol Slamet Riyadi (Pemimpin pasukan APRIS di Ambon dalam Gelombang kedua)

Mayor Suryo Subandrio (Pemimpin pasukan APRIS di Ambon dalam Gelombang ketiga)

Latar belakang penyebab peristiwa:

Soumokil tidak menyetujui terbentuknya NKRI dan penggabungan daerah-daerah NIT dalam wilayah
RI. Dia ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk Negara sendiri terpisah dari RIS.
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN
PKI Madiun

Banyaknya partai di Indonesia melahirkan warna tersendiri dalam dunia politik. Tidak seperti
sekarang, zaman dahulu hanya terdiri dari beberapa partai yang ada di Indonesia, misalnya pada
tahun 1955, Indonesia didominasi oleh 4 partai yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Jika kita mendengar
kata PKI, tentunya kita mengingat sejarah PKI yang tentunya terlihat kompleks.

PKI yang juga disebut Partai Komunis Indonesia merupakan sebuah partai politik yang saat ini sudah
bubar. Partai ini adalah partai komunis terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok. Dan pada
tahun 1965, partai ini dinyatakan sebagai partai terlarang.

Banyak orang yang mengenal PKI karena kejadian tahun 1965 dan bahkan memberi pengaruh besar
terhadap Indonesia. Setidaknya ada sekitar 3 Juta rakyat Indonesia bergabung setelah kemerdekaan.
PKI hancur setelah peristiwa G30S PKI.

Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun

Pemberontakan PKI di Madiun berpuncak pada tanggal 18 September 1948, berpusat di wilayah
sekitar kota Madiun, Jawa Timur.

Pemberontakan PKI di Madiun tidak lepas dari jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Aksi
Ini merupakan reaksi terhadap hasil perjanjian Renville yang dianggap merugikan Indonesia, karena
banyaknya wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda. Hal ini membuat Amir Syarifuddin turun
dari Kabinetnya dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Kemudian ia membentuk Front Demokrasi
Rakyat (FDR) tanggal 28 Juni 1948. PKI juga menolak resionalisasi jumlah prajurit TNI, karena dapat
mengurangi jumlah kader PKI di TNI.

Kedatangan Muso dari Moskow pada tanggal 11 Agustus 1948, mengakibatkan bersatunya kekuatan
PKI dan FDR, dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin yang memuncak pada tanggal 18
September 1948.

Para pemberontak merebut kendali atas kota Madiun dan membunuh pejabat yang setia pada
pemerintah Indonesia. Mereka kemudian mendirikan Pemerintah Front National Daerah Madiun.

Salah satu korban pemberontakan PKI di Madiun ini adalah Gubernur Jawa Timur, RM Suryo dan
dokter pejuang kemerdekaan, dr, Mawardi.

Tujuan Terjadinya Pemberontakan PKI Madiun

 Mengganti Dasar Negara

Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sedangkan PKI menginginkan dasar negara yang berbeda
yaitu komunisme. Dimana ini akan menganti semua hal yang diberlakukan di Indonesia dengan
sebuah kebebasan yang mengancam banyak rakyat yang tak bersalah. Negara dan dasar komunis
yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang memuja pada kekuatan dan kekuasaan. jadi siapapun
yang berkuasa dan memiliki kekuatan akan berjaya dan dihargai kala itu.

 Membentuk Negara Republik Soviet Indonesia


Pemberontakan yang diketuai oleh Muso beserta pasukannya di dalam nama PKI adalah hal yang
dilakukan untuk mendapatkan negara republik soviet indonesia tersebut. Dimana negara yang akan
dibentuk oleh mereka ini akan menjadi negara yang pro terhadap komunis dan soviet. Karena ini
akan mengancam kedaulatan negara Indonesia maka presiden Sukarno yang memerintah kala itu
menolak rancangan mereka dan ini dikarenakan ideologi dan sistem pemerintahan di Indonesia
bukanlah sistem komunis.

 Mempengaruhi Petani dan Buruh

Seperti yang tercatat pada sejarah bahwasanya PKI terdiri dari banyaknya buruh dan para petani.
Pemimoin mereka kala itu menghimbau para buruh dan petani untuk bekerja sama dan melakukan
pemberontakan. Bahkan tak heran ada banyak hal aneh yang terjadi kala itu seperti berhentinya
para buruh dan para petani yang mogok kerja. Ini merupakan hal yang memang menjadi keinginan
para pemimpin pki yang mendominasi sebagian wilayah di Indonesia.

 Melakukan Kekejaman

Tindakan komunis yang dilkakukan oleh para antek antek PKI tidak hanya berniat memberontak dan
melakukan pemaksaan terhadap lahirnya aliran komunisme. Namun mereka juga melakukan
tindakan kekerasan yang tentu saja tidak baik dan merugikan banyak pihak. Mereka melakukan
tindakan semena-mena ini atas dasar kesadaran dan keinginan yang tidak lagi bergantung pada
hukum apapun. Alasan mengapa PKI sangat dilarang dan dibenci oleh pemerintahan adalah karena
kegiatan semena-mena yang mereka lakukan.

 Menghimpun Banyak Massa

Kala itu PKI sedang mencari dan menghimpun banyak sekali anggota untuk bergabung dan
melakukan pemberontakan. Hal ini sangat merugikan dan menakuti para pemerintah karena akan
mengancam jalannya sistem pemerintahan kala itu.

PKI dianggap sudah bisa menguasai para petani dan para buruh. Siapun yang menentang dan
menghambat pergerakan mereka akan diancam dimusnahkan atau dibunuh. Ini merupakan tindakan
kekejaman dan semena mena yang sangat bertentangan dengan peradaban, HAM dan peraturan
pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, tetap saja PKI akan terus berdiri dan berhasil menghasut
banyak pengikutnya yang lain.

Pemberontakan PKI Madiun

Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada
18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan
pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR
mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal
yang sama pula di Pati, Jawa Tengah. Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM
Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Pemerintah Indonesia Presiden Soekarno dan Moh Hatta mengatasi pemberontakan PKI di Madiun
dengan mengerahkan pasukan dari Divisi Siliwangi yang dipimpin Jenderal Abdul haris Nasution dan
Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer. Juga melancarkan operasi penumpasan dengan GOM
(Gerakan Operasi Militer).

Panglima Jendral Soedirman kemudian mengeluarkan perintah harian untuk menunjuk Kolonel
Gatot Soebroto sebagai Gubernur Jateng dan Kolonel Sungkono Gubernur Militer Jatim.
diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan pasukan untuk menumpas pemberontakan PKI

Pada tanggal 10 September 1948 keadaan di Madiun segera dapat dikendalikan oleh pemerintah
Indonesia. Muso tewas di Ponorogo, Amir Syarifuddin tertangkap di Purwodadi.

Tokoh – Tokoh pada Pemberontakan PKI Madiun

Tokoh Disintegrasi

1. Musso

Musso alias Munawar Muso adalah tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis
Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Ia memproklamirkan Pemerintahan Republik Soviet Indonesia
pada 18 September 1948 di Madiun. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan Negara Komunis.

2. Amir Syarifuddin

Saat Indonesia baru merdeka, Amir Syarifuddin menempati sejumlah posisi penting di
pemerintahan. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan bahkan Perdana
Menteri RI.

3. DN. Aidit

Dipa Nusantara (DN) Aidit adalah Ketua Umum Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia. Ia
mengambil alih partai itu dari komunis tua -- Alimin dan Tan Ling Djie -- pada 1954. Aidit hanya
butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI.

4. MH. Lukman

Muhammad Hatta (HM) Lukman, adalah orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit.
Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. Lukman
mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah
pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan
Mohammad Hatta, proklamator RI.

5. Nyoto

Njoto atau Lukman Njoto adalah Wakil Ketua II Comite Central (CC) PKI. Orang ketiga saat PKI
menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Njoto
menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk
menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno.
Tokoh Integrasi

 Soekarno

Selaku Presiden Indonesia pada saat itu, Soekarno memimpin rapat mengenai rencana penumpasan
PKI dan membuat keputusan Presiden yang berupa perintah kepadaa Angkatan Perang Republik
Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap
tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya, atau simpatisannya.

 A.H. Nasution

Selaku Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dialah yang segera dipanggil Presiden
Sukarno menghadapnya di Gedung Agung. Dia memaparkan rencana untuk memberantas PKI di
Madiun. A.H. Nasution bergerak pada malam itu juga, dan menyampaikan laporannya keesokan
harinya. Maka malam itu juga, tentara berhasil melucuti persenjataan Front Demokrasi Rakyat
Yogyakarta. Di samping itu, menangkapi sejumlah pentolan yang berafiliasi ke PKI, seperti Alimin,
Djoko Sudjono, Abdulmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan. A.H. Nasution
merupakan pemimpin gerakan pemberantas PKI Madiun dan hanya membuuhkan waktu 2 minggu,
PKI Madiun berhasil dibereskan

Tokoh – Tokoh Lain

Jenderal Soedirman, memberikan komando atas persetujuan presiden kepada A.H. Nasution untuk
memberantas PKI Madiun

Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Menko Keamanan memberika persetujuan juga

Letkol Soeharto, membantu memberantas PKI Madiun

Kolonel Sungkono, sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang baru mengirim . Ia mengirim
Brigade II Siliwangi untuk menumpas sisa PKI Madiun.

Letnan Kolonel Sadikin, memimpin Brigade II Siliwangi guna merebut kembali Madiun.

Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi untuk merebut Purwodadi, Blora, Pati,
dan Kudus.

Akhir Peristiwa dari Pemberontakan PKI Madiun

Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi
Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur
militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H.
Nasution.

(i) September 1948, Proses introgasi terhadap simpatisan PKI. ( ii ) September 1948, tampak TNI
bersenjata dan masyarakat yang menangkap terduga simatisan PKI..( iii ) Interogasi yang dilakukan
oleh seorang prajurit TNI kepada simpatisan PKI.

Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda, namun
dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan lainnya
yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat dimusnahkan.
( iv ) September 1948, Foto setelah dilakukannya eksekusi terbuka kepada terduga simpatisan PKI. (
v ) Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak.

Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto,
sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir
Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri
tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak
tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur.
PEMBERONTAKAN ANDI AZIZ

2.1 A. Sejarah Biografi Andi Aziz

Andi Abdul Azis (lahir di Simpang binangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 19 September 1924;
umur 91 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya
dalam Peristiwa Andi Azis.

Andi Azis lahir dari keluarga keturunan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada awal tahun 1930-an Andi Azis
kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda keBelanda. Pada
tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938 lalu meneruskan ke Lyceum sampai
tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri
Belanda untuk menjadi seorang prajurit tetapi niat itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II.
Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk Leger dan bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah
melawan Tentara Pendudukan Jerman (Nazi). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis
dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari
dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis
dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman — walaupun
sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.

B. Tokoh Pemberontakan Andi Azis

Pasukan yang terlibat diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan.
Pasukan yang dipimpin oleh A.E Kawilarang dikirim untuk melakukan operasi militer di Sulawesi
Selatan. Atas desakan Sukawati, Andi Azis pergi ke Jakarta untuk melapor pada 15 April 1950. Akan
tetapi ia ditangkap karena terlambat melapor dan diadili untuk mempertanggung jawabkannya.
Ketahui juga mengenai sejarah lahirnya TNI, pertempuran medan area dan sejarah hari ABRI.

1. Andi Azis

Andi Abdoel Azis lahir pada 19 September 1924 di Simpangbinal, Kab. Barru, Sulawesi Selatan
darikeluarga keturunan Bugis. Pada tahun 1930an ia dibawa ke Belanda oleh seorang pensiunan
Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Ia sangat menginginkan untuk masuk sekolah militer
Belanda namun perang dunia II mengurungkan niatnya. Ia lalu masuk Koninklijk Leger dan bertugas
di bawah tanah melawan Nazi. Dari situ ia menyeberang ke Inggris, sempat ditempatkan di India, lalu
ia memilih bertugas di Indonesia dengan pertimbangan untuk bertemu orang tuanya.

Pada tahun 1947 ia mengakhiri dinas militer, mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo dan
kembali dipanggil masuk KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Setelah menguasai Makassar, ia
mengeluarkan pernyataan untuk mempertahankan Negara Indonesia Timur.. Tentara KNIL digabung
ke dalam APRIS berdasarkan sejarah konferensi meja bundar, namun para anggota KNIL menolaknya
dan merasa didominasi oleh para tentara TNI yang berasal dari Jawa. Karena itulah mereka
menuntut agar anggota APRIS mantan KNIL yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah
Indonesia timur
2. Kolonel A.E. Kawilarang

Kolonel Infanteri Alexander Evert Kawilarang adalah pemimpin empat angkatan pasukan yang
diperintahkan oleh pemerintah RIS untuk melakukan operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis
di Makasar. Ia lahir pada 23 Februari 1920 dan meninggal di Jakarta pada 6 Juni 2000 pada usia 80
tahun. Ia juga turut mendirikan Kesko TT yang sekarang menjadi Kopassus.

3. Kolonel Soeharto

Pemimpin Brigade 10 Garuda Mataram di Jawa Tengah yang menjadi bagian dari operasi militer
pimpinan Alex Kawilarang untuk memberantas pemberontakan Andi Azis. Lahir di Kemusuk Jawa
Tengah pada 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta pada 27 Januari 2008, adalah presiden kedua RI
yang turut menorehkan sejarah besar dalam pemerintahan RI.

4. Letnan Kolonel Warouw

Joop Warouw, tokoh pemberontakan Andi Azis adalah pemimpin pasukan Angkatan Udara yang juga
merupakan mantan tentara KNIL. Pasukannya turut serta dalam operasi militer untuk menumpas
pemberontakan Andi Azis.

5. Kapten Udara Wiriadinata

Raden Atje Wiriadinata lahir di Situraja, Sumedang, Jabar pada 15 Agustus 1920. Ia mengawali karir
militer di Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) AURI berpangkat OMO (Opsir Muda Oedara) II. Ia
memimpin Angkatan Udara dan pasukannya pada saat terjadinya berbagai pemberontakan di
Indonesia.

6. Kapten Bohar Ardikusumah

Pemimpin Batalyon I Brigade 14 Siliwangi, Jawa Barat menjadi tokoh pemberontakan Andi Azis yang
turut dalam operasi militer dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang untuk menumpas
pemberontakan Andi Azis.

7. Letkol Suprapto Sukowati

Pemimpin Brigade 16/I di Jawa Timur adalah tokoh pemberontakan yang memimpin pasukannya
sebagai anggota dalam operasi militer pimpinan Alex Kawilarang untuk memberantas
pemberontakan tersebut. Ketahui juga mengenai siapa saja tokoh g30SPKI.

Pada tahun 1953 pasukan Andi Azis yang masih terus melakukan pemberontakan walaupun tokoh
pemberontakan Andi Azis tersebut sudah ditangkap, dapat dihancurkan oleh pasukan RI dan
Makassar dapat dikuasai kembali. Pada 5 Agustus 1950 pertempuran antara APRIS dan KL-KNIL
berhasil memukul mundur KL-KNIL dan mengepung tangsi – tangsi KNIL. Tanggal 8 Agustus 1950 KL-
KNIL meminta perundingan ketika menyadari kedudukannya sudah tidak menguntungkan.
Perundingan dilaksanakan oleh Kolonel Kawilarang dan Mayjen Scheffelaar dari KNIL, dengan hasik
kedua pihak setuju untuk menghentikan baku tembak dan pasukan KNIL dalam waktu dua hari harus
meninggalkan Makassar.

Banyak orang yang berpendapat bahwa Andi Azis sebenarnya adalah orang buta politik yang
terjebak dalam propaganda Belanda sehingga melakukan pemberontakan. Ia adalah seorang militer
sejati yang hanya mencoba mempertahankan kesatuan NKRI, namun dari sudut pandang yang salah.
Sebagai pribadi, ia dihormati oleh masyarakat Bugis Makassar di Tanjung Priok Jakarta dan dianggap
sebagai sesepuh yang selalu dimintai nasehat mengenai kehidupan masyarakat Bugis. Pentolan dari
tokoh pemberontakan Andi Azis ini meninggal dunia pada 30 Januari 1984 dalam usia 61 tahun di
Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung. Andi Azis meninggalkan seorang istri.
Jenazahnya dibawa dengan pesawat terbang dari Jakarta ke Sulawesi Selatan dan dimakamkan di
pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan di desa Tuwung, Kab. Barru, Sulsel.

C. Latar Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya
konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini
terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak
NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik
dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah
mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut.
Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-
federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah
pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah
keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :

1. Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung


jawab pasukan bekas KNIL saja.

2. Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat)
terhadap konflik di Sulawesi Selatan.

3. Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

D. Dampak Pemberontakan Andi Aziz

Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia
(TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol
Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT)
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia
digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat
sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia).

E. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz

Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950
pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan
diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan
yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan
semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk
melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara
NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor
H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan
ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di
daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama
karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari
Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya
bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota
Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya
peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS
berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap
tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa
kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan.
Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor
Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk
menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut,
dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

F. Meninggalnya Kapten Andi Azis

Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam
karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia
meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis
meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu
dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa
Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie
beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI
turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.

G. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis

Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah menyakiti dan
membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban propaganda dari Belanda,
karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba
untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam
kesehariannya, seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis
Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah
satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana cara menjadikan
suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.
Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu berpesan kepada
anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis
manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain perempuan.

Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita selama hidup di dunia
ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan
terlalu percaya sama orang lain karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar
dan mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita
harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.

JANGAN BUTA POLITIK

Kenapa golput? Barangkali kemuakan kita pada ulah politikus. Dalam politik , kata Napoleon,
kebodohan bukanlah cacat. Maka di Indonesia pun politikus ngawur berjibun. Sudah ngawur bodoh
pula. Bahaya tumpuk undhung. Seorang penulis Skotlandia, Robert Louis Stevenson (1859-1894)
menguraikan, “Politik barangkali menjadi satu-satunya profesi yang tidak membutuhkan persiapan
pemikiran yang memadai."

Alangkah menyedihkannya.

Namun nasehat Pericles mungkin jadi akan terasa getir, “Hanya karena Anda tidak mengambil minat
dalam politik, tidak berarti politik tidak akan mengambil minat pada Anda,…"

Sementara seperti kutbah Hitler, sang pemimpin Nazi itu, “Alangkah beruntungnya penguasa, bila
rakyatnya tidak bisa berpikir. Aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah.” Dan
dalam praksis politik, tidak penting beda antara tidak berfikir, diam saja, atau pura-pura tak
mendengar, berlagak netral dan sok filosofis. Dalam konsep one man one vote, ketidakhadiran
adalah nihil.

Belum lagi jika “bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan
pembunuhan terhormat , dan memberikan penampilan soliditas angin murni,” sebagaimana kata
novelis George Orwell.

Maka mereka yang mendiamkan, adalah mempercayai, atau setidaknya meloloskan politikus busuk
lewat di depan hidung. Dan itu menyedihkan, karena sebagaimana dikatakan Charles de Gaulle,
Presiden Perancis Pertama: “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah
mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.”

Dan setelah mereka terkejut, mereka berkuasa, tanpa persetujuan kita, dan mereka akan
menentukan masa depan atau hajat hidup kita? Disitulah kita percaya omongan getir Will Rogers,
Pelawak Politik. Bahwa politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak
uang.

Biaya itulah yang kemudian kita tanggung, sebagai rakyat. Kita akan terkena imbasnya, bahkan
sampai pada anak-cucu. Padahal, pada hakikinya seperti dibilang Milan Kundera, “Orang selalu
berteriak mereka ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Itu tidak benar. Satu-satunya
alasan orang ingin menjadi tuan dari masa depan adalah untuk mengubah masa lalu.”

Celakanya, “Salah satu hukuman karena menolak untuk berpartisipasi dalam politik," kata Plato,
"adalah bahwa Anda berakhir diperintah oleh bawahan Anda.” Siapa bawahan Anda? Seperti yang
dibilang Napoleon, atau Robert Louis Stevenson, atau Pericles di atas. Maukah Anda dipimpin oleh
orang bodoh?
Siapa itu orang bodoh? Lihat saja sejarah hidup seorang capres, atau caleg, atau cagub, cabup, dan
sebagainya. Bagaimana pemikirannya, track-recordnya. Gimana kalau yang ditemui hanya
pencitraan, berita hoax, dan sejenisnya? Ya, kenapa juga menyerah begitu saja, padahal akses
informasi begitu mudahnya?

Itu namanya menghina diri-sendiri dengan mempercayai berita-berita abal-abal. Kebodohan diri-
sendiri jangan kemudian disalahkan pada orang, pihak lain, atau sistem. Apalagi masih menganggap
pandangannyalah yang paling pintar dan paling benar. Sombong kok rendah hati, hanya karena takut
dikatakan bodoh tanpa berjuang. Aneh.

Berthold Brecht (1898 – 1956), seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan
marxis, nasehatnya penting kita renungkan; "Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak
mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa
biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua
tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan
membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari
kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi
buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri."

Anda mungkin juga menyukai