Anda di halaman 1dari 39

A.

LATAR BELAKANG

1. SITUASI INDONESIA

Pada pertengahan tahun 1947, Partai Sosialis terpecah menjadi dua


faksi yang satu faksi dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin dan faksi yang lebih kecil
dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Sjarifoeddin sangat menekankan keselarasan
mereka dengan Rusia dan kesejahteraan kelas. Namun berbeda dengan
sjarifoedin, Sjahrir lebih percaya bahwa doktrin Marxis tentang kesejahteraan
kelas tidak dapat diterapkan di Indonesia, dan bahwa Indonesia harus
mempertahankan netralitas positif untuk dapat berkontribusi dalam
perdamaian dunia. Lalu pada 28 Januari 1948 berakhirlah jabatan perdana
menteri Amir Sjarifoedin. Sebelumnya, Sjahrir dan beberapa aktivis politik
mendekati Hatta dan memintanya menjadi perdana menteri berikutnya. Hatta
setuju dengan syarat mendapat dukungan PNI dan Masyumi. Didorong oleh
kebutuhan untuk membentuk kabinet dengan dukungan nasional (baik sayap
kanan maupun sayap kiri), kemudian Hatta maju membentuk kabinet baru.
Hatta sempat menawarkan kepada fraksi Sjarifoeddin beberapa posisi namun
Perundingan gagal karena pihak Amir Sjarifoedin menginginkan posisi kunci.
Lalu pada 31 Januari 1948, Hatta akhirnya membentuk kabinet tanpa
golongan sayap kiri. Program pemerintahan Hatta didasarkan pada dua
prioritas yaitu pelaksanaan Perjanjian Renville dan rasionalisasi tentara
Indonesia. Kecewa mengetahui tidak ada golongan sayap kiri yang masuk
kabinet Hatta lalu pada rapat massa di Surakarta pada 26 Februari 1948,
Golongan sayap kiri mengalami reorganisasi dan muncul sebagai Front
Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin yang terdiri
dari Partai Sosialis, PKI, PBI, Pesindo, dan federasi serikat buruh SOBSI.
Dalam perkembangannya, FDR berubah menjadi radikal dan programnya
fokus untuk menentang program Kabinet Hatta. FDR memiliki dua basis
kekuatan utama, yaitu di dalam tentara dan diantara buruh (SOBSI) yang
merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota. Lalu
sebulan setelah pembentukan kabinetnya, Hatta memulai program
rasionalisasi berdasarkan Keputusan Presiden No.9 tahun 1948.  Tujuan
utama dari rasionalisasi adalah untuk menata kembali organisasi-organisasi
militer dan untuk memobilisasi tenaga kerja produktif dari sektor pertahanan
ke sektor produksi. Namun ternyata demobilisasi TNI-Masjarakat membuat
pengaruh FDR di pemerintahan semakin melemah dan ini memperdalam
kebencian FDR terhadap pemerintah. Selain FDR ada juga satuan militer
divisi senopati yang juga menentang rasionalisasi Hatta. Kecewa dengan
rasionalisasi Hatta, FDR/PKI mulai mencari dukungan dari petani dan buruh
dengan mengadvokasi reformasi pertanahan dan mengorganisir pemogokan
buruh. Pemerintah marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang
membahayakan Republik. Situasi semakin memanas saat Musso, tokoh
komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet, kembali dan
mereka membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.
Kembalinya Musso ini menjadi titik balik perjalanan politik FDR.  Anggota biro
politik baru ini diketuai oleh Musso. Pengangkatan kembali ini dijadikan
alasan yang sah oleh musuh-musuh FDR/PKI untuk melancarkan "kampanye
anti-PKI". Mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah
dan Jawa Timur untuk menyebarkan komunisme. Peristiwa inilah yang
dijadikan alasan untuk melancarkan kampanye anti-PKI dan melakukan
penculikan perwira kiri. Memasuki September 1948, pemerintah dan
golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik. Pada 16 September,
markas Pesindo diserang. Solo, kota kedua Republik setelah Jogjakarta,
menjadi tempat konflik yang kompleks antara pemerintah dan kelompok kiri
selama dua minggu. Solo sekarang di dominasi oleh sayap kanan pro-
pemerintah. Hal ini menjadikan Madiun sebagai benteng terakhir FDR. Hal itu
membuat pimpinan FDR lokal di Madiun khawatir lalu melaporkan kepada
pimpinan FDR di Kediri sehingga pecahlah pemberontakan pada 18
September 1948.

2. SITUASI MADIUN

Kembalinya Musso menjadi katalisator Peristiwa Madiun dan menjadi


titik balik perjalanan politik FDR. Mereka membentuk badan baru yang terdiri
dari partai-partai sayap kiri. Para pemimpin FDR melakukan perjalanan
propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tujuannya untuk
mempromosikan ide-ide politik Musso. Pemimpin PKI lainnya tetap berada di
Jogjakarta mencoba berunding dengan pemimpin PNI dan Masyumi untuk
membentuk kabinet baru yang akan mencakup perwakilan FDR. Selama
periode ini, terjadi bentrokan kecil yang melibatkan kelompok militer pro-Hatta
di satu sisi dan kelompok bersenjata pro-FDR di sisi lain. Setelah pembunuhan
Kolonel Sutarto, perkembangan politik di Solo semakin intens. Munculnya Divisi
Siliwangi yang loyal kepada pemerintah dan anti-kiri, juga menjadi salah satu
penyebab ketidakstabilan politik di Solo yang menjadi basis Divisi Senopati.
Setelah itu terjadi banyak penculikan dan pembunuhan di Solo dan
Yogyakarta. Lalu di Blitar, Malang Selatan, satuan pemerintah menangkap
sejumlah anggota Pesindo. Tiga hari kemudian, markas Pesindo diserang.
Solo, kota kedua Republik setelah Jogjakarta, menjadi tempat konflik yang
kompleks antara pemerintah dan kelompok kiri selama dua minggu. Solo
sekarang didominasi oleh sayap kanan pro-pemerintah. Hal ini menjadikan
Madiun sebagai benteng penting terakhir FDR setelah Jogjakarta dan Solo
dikuasai oleh Republik Indonesia. Sayangnya, kelompok antikomunis dan
pemerintah pro-Hatta sudah menyusup ke Madiun sejak awal September.
Khawatir dengan apa yang terjadi di Solo, para pemimpin FDR lokal di Madiun
mulai merasa tidak nyaman dan mereka melaporkan hal ini kepada para
pemimpin FDR di Kediri. Kemudian ia mendapat perintah untuk melucuti
senjata para agitator di Madiun untuk menghindari potensi pertumpahan darah
di daerah tersebut. Namun ternyata di tanggal 18 September 1948 tetap
terjadi pemberontakan setelah Musso dan Sjarifoedin karena melihat
pertempuran yang terjadi di wilayah Madiun.

B. KRONOLOGI PERISTIWA MADIUN

Pada Tanggal 18 September 1948 telah di Proklamasikan Negara


Republik Soviet Indonesia. Di bawah komando tokoh pemberontak Partai
Komunis Indonesia ( PKI ) Musso dan Mentri Pertahanan Amir Syarifuddin,
rakyat Madiun dibawah genggaman komunisme. Pemberontakan PKI mulanya
diawali dengan perjanjian Renville yang akhirnya membuat cabinet Amir
Syarifuddin terpaksa mundur dari Pemerintah. Setelah itu beliau membentuk
Front Demokrasi Rakyat ( FDR ) , FDR merupakan jelmaan dari golongan kiri
yang program jangka pendeknya adalah menuntut pembatalan Linggajati dan
Renville yang justru dihasilkannya sendiri sementara program jangka panjangnya
adalah mendominasi pemerintahan, dalam hal ini FDR memiliki basis massa dan
dukungan yang cukup besar. Proklamasi diucapkan oleh Supradi, tokoh pesindo
di halaman Karesidenan Madiun. Pada pagi hari, melalui radio Gelora Pemuda,
Musso meproklamasikan pengalihan kekuasaan Negara scra sepihak dan
menyatakan berlakunya Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun. Berita
tentang Peristiwa Madiun terdengar di Ibu Kota Yogyakarta. Presiden Soekarno
menyampaikan pidato dari Yogyakarta sehubungan pidato radio dari Yogyakarta
sehubungan dengan pengangkatan Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer Solo. Di sekitar wilayah Kawedanan Gorang Gareng, sekarang Kecamatan
Kawedanan, Magetan, disana terdapat sumur sumur tus dan lubang pembantaian
untuk menghabisi nyawa lawan mereka, beberapa peristiwa ini adalah

1. Pembantaian Massal di Batokan, Banjarejo

Ketika Republik Soviet Indonesia diproklamasikan pada tanggal 18


September 1948,lascar merah bersenjata yang tergabung dalam FDR/PKI
segera melakukan aksi aksi untuk menguasai pos pos terpenting. Dalam
aksinya itu, PKI menggunakan para preman, bandit bandit, perampok,
warok untuk mengacaukan situasi. Selain merebut pos pos Militer dan
Pemerintahan, FDR/PKI juga mengincar tokoh tokoh dari pesantren
Takeran, Pesantren Sabili Mutaqien, yang dianggap sebagai musuh mereka.
Kiai Imam Mursjid diculik oleh FDR/ PKI untuk diajak bermusyawarah
tentang Repubik Soviet , sebelumnya FDR/ PKI sudah mengancan apabila
tidak mau, maka Pesantren Takeran akan dibakar. FDR/PLI tidak bersedia
melepas Kiai Imam Mursjid, bahkan mereka mengirimkan kurir meminta
Muhammad Imam Noer untuk menjemput Kiai Imam Mursjid. Kiai Imam
Noer secara diam diam mendatangi markas FDR/PKI. Akhirnya kedua Kiai
itu dibawa dan disekap di Gorang Gareng, penangkapan pesatren pesantren
pun terus berlanjut dan mereka akhirnya tida kembali dan menjadi sasaran
pembantaian

2. Pembantaian Massal di Pabrik Rejosari

Pada pukul 03.00 dini hari 18 asaeptember 1948, tangsi polisi Gorang
Gareng diserang eribu ribu lascar FDR/PKI, mereka membawa senjata pistol,
tetapi ada juga yang bersenjata kelewang dan bambu runcing. Orang orang
PKI menangkap para polisi dan melucuti, orang yang ditangkap dan dilucuti
kemudian digiring beramai ramai ke kawasan pabrik Gula Rejosari diGorang
Gareng. Pembantaian ini dilakukan di Pabrik oleh algojo algojo FDR/PLI.
Malam hari sebelum dibunuh mereka disuruh berpuasa dan setelah pukul
09.00- 11.00 mereka yang berada di kamar kamar loji diberondong dengan
tembakan dari luar melalui celah ruji ruji jendela, korban pembantaian massal
ini 23 orang

3. Pembantaian Massal di Desa Soca, Kec Bendo

Disamping pembantaian di Batokan dan Rejosari, di desa Soca juga


masuk wilayah Kawedanan Gorang Gareng juga terdapat 2 sumur
pembantaian, di dalam sumur pertama terkubur korban sebanyal 108 orang,
namun hanya teridentifikasi hanya 67 orang, sedang di sumurr lainnya
terkubur 30 orang, tetapi nama nama tidak teridentifikasi. Penggalian sumur
Soca baru terlaksana pada tahun 1950. Untuk penggalian sumur tersebut,
dikumpulkan 12 orang penggali yang dibagi dalam dua kelompok. Penggalian
lubang pembantaian tersebut cukup lama “ Sumur itu sudah berisi tanah
biasa, tetapi bagian dalam ada lubang seperti gua, disitulah mayat mayat
tersebut ditumpuk”

4. Pembantaian Massal di Desa Cigrok

Seperti halnya di Desa Soca, FDR/PKI Juga menggunakan sumur tua


di Cigrok sebagai tempat untuk mengubur para korbannya. Sumur tua
tersebut terletak dibelakang rumah To Taruno, seorang warga Desa Cigrok
yang bukan orang PKI dialah yang melaporkan kegiatan FDR/PKI disumur tua
itu kepada kepala desa. Pada saat itu masyarakat Desa Cigrok sudah tidak
berdaya lagi, FDR/PKI mengadakan jam malam, apabila ada yang keluar
malam hari akan ditembak langsung. Pada malam itu todak ada yang berani
keluar karena FDR/PLI membawa senapan

5. Pembantain Massal di Dungus, Kec Kanigoro

Kresek yang terletak di daerah Dungus, Kecamatan Kanigoro, Madiun


seperti di GorangGareng. Lokasi ini dijadikan tempat pembantaian massal
yang dilakukan oleh para FDR/PKI , ada banyak korban dalam pembantaian
ini Pada 19 September, Di Yogyakarta CC PKI mengadakan rapat untuk membahas
masalah penerapan rencana koreksi Musso.  Kolonel Soengkono diangkat sebagai
Gubernur Militer Jawa Timur serta ketetapan Jawa Timur sebagai daerah Militer I
diumumkan melalui radio.Pengangkatan Soengkono ini merupakan upaya
pemerintah guna mengatasi kemelut dan kekosongan kepemimpinan TNI Jawa
Timur, dalam rangka menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Pada pukul 04.30
dinihari, Moh.Yasin memerintahkan anak buahnya dari Mobiele Brigade Besar (MBB)
Jawa Timur untuk melucuti pasukan Brigade XXIX yang berada di Hotel Lestari,
dilanjutkan dengan penangkapan Oknum PKI Blitar. Untuk menggerakkan rakyat
agar membantu Pemerintah RI dalam membasmi pemberontakan PKI, maka
berturut-turut berpidato Presiden Soekarno, Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri
Sukiman dan Jenderal Soedirman.

Dalam pidatonya tanggal 19 September 1948, Presiden Sukarno


mengatakan bahwa Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri.
Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang
diatur dari Yogyakarta, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga
terjadilah pertempuran antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang
pro- dan yang anti-penculikan-penculikan serta pembunuhan-pembunuhan di
Solo, yaitu pertempuran pada tanggal 18 September 1948
malam. Pemerintah RI mengeluarkan pengumuman tentang perebutan
kekuasaan oleh PKI di Madiun yang dilakukan dengan menggunakan
kesatuankesatuan TNI. Alat-alat pemerintahan di dalam kota telah mereka
rebut dengan kekuatan senjata dan dengan cara yang tidak sah.  Kolonel
Nasution sebagai Kepala Staf Operasi MBAP, disertai tugas pembersihan di
Yogyakarta oleh Panglima Besar.Malam itu juga Kol. Nasution mengadakan
pertemuan dengan Komandankomandan yang berada di Yogyakarta antara
lain: Komandan CPM dan Komandan KMK (Komando Militer Kota) tentang
operasi dan tindakan yang perlu segera diambil untuk daerah Yogyakarta.
Letkol Latief Hendraningrat, selaku Komandan KMK dengan cepat menangkap
tokoh-tokoh PKI/FDR yang berada di Yogyakarta seperti : Tan Ling Djie,
Abdul Madjit, Djokosujono, Maruto Darusman, Ir. Sakirman, dan Ngadiman
serta yang lainnya. Pada Pukul 00.01 TNI di Yogyakarta bertindak cepat dan
berhasil melucuti Brigade Martono (PKI) sebelum mereka beraksi.

20 September, Panglima Besar Soedirman memerintahkan kepada


Angkatan Perang Republik Indonesia untuk menumpas pemberontak PKI di
Madiun. Kolonel Soengkono Gubernur Militer Jawa Timur mengumpulkan para
pembantu terdekatnya guna membicarakan tindakan yang akan dilaksanakan
dalam rangka menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Pasukan PKI dan
beberapa tokohnya mulai meninggalkan Madiun menuju ke timur ke arah
Dungus (basis).Rencana pelarian ke Dungus rupanya memang telah
dipersiapkan sebelumnya, apabila Madiun sudah tidak dapat dipertahankan
lagi. Gubernur Militer II melakukan tindakan pertama dengan mengeluarkan
instruksi kepada semua satuan bersenjata di Solo untuk menghentikan
tembak-menembak mulai pukul 12.00 malam dan besok harinya tanggal 21
September 1948 agar semua komandan kesatuan yang saling bermusuhan
harus melaporkan diri. Mereka yang tidak melapor dianggap sebagai
pemberontak. Komandan Brigade 12 Letkol Kusno Utomo mendapat perintah
langsung dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, merebut dan
membebaskan daerah utara Jawa Tengah dari tangan pasukan PKI. 20
September, Tokoh-tokoh FDR/PKI di Blitar ditangkapi. Di daerah Surabaya
telah dilakukan penangkapan dan pelucutan terhadap PKI oleh Letnan
Kolonel Kretarto. Bantuan pasukan dari Polri mulai datang melapor kepada
Gubemur Militer I di Kediri.Pasukan dari Polri ini berkekuatan satu batalyon (4
kompi).Bantuan ini di maksudkan untuk membantu operasi penumpasan PKI
di Madiun dari arah timur. 21 September, Kolonel Soengkono menemui Mayor
Sumarsono, Komandan Batalyon Sumarsono yang berasal dari Laskar (BPRI)
di Purwosari (Kediri) untuk menanyakan sikapnya.Sumarsono menyatakan
kesetiaannya kepada Pemerintah.  Brigade XXIX di Kediri telah dapat dilucuti
dan dilumpuhkan, yang berakibat larinya Batalyon Maladi Jusuf yang, pada
waktu itu didislokasi di Ngadirejo. Panglima Besar Jenderal Soedirman dan
Komandan Pertahanan Jawa Tengah Kolonel B. Sugeng mengunjungi kedua
kesatuan yang bertikai, yaitu Siliwangi dan Panembahan Senopati.Pada
kesempatan tersebut Panglima Besar menegaskan bahwa dalam pertikaian
itu tidak ada yang salah.Pertikaian itu terjadi karena sengaja dibuat oleh
pihak PKI.Pertikaian itu ternyata tidak dapat di selesaikan secara tuntas. Hari
H Gerakan penumpasan dari arah timur adalah tanggal 21 September
1948.Dari arah selatan mulai di gerakkan dua batalyon, yaitu Batalyon
Mudjajin danBatalyon Harsono. Batalyon A. Kosasih yang berkedudukan di
Magelang, di Yogyakarta melaporkan kedatangan Batalyonnya kepada
Komandan Brigade Letkol Kusno Utomo.Komandan Brigade kemudian
memerintahkan agar pasukan ini segera bergerak ke Solo dalam rangka
operasi menumpas pemberontak PKI. 22 September, Djokosujono
mengundang sejumlah Komandan TNI untuk berkonferensi di Madiun.
Undangan disampaikan 22 September 1948 malam, melalui siaran “Radio
Gelora Pemuda”.Yang diundang ialah Panglima Pertahanan Jawa Timur,
Komandan Brigade Mobil J awa Timur dan Komandankomandan militer
lainnya di seluruh daerah Republik di Jawa Timur.Mereka diharap datang di
Balaikota Madiun tanggal 24 September 1948 pukul 11.00 guna
merundingkan keadaan.  Asrama TRIP di jalan Ponorogo, Madiun, digrebek
dan diduduki PKI Senjata pasukan TRIP berusaha dilucuti, anggota TRIP
menolak dan melakukan perlawanan, akibatnya seorang anggota TRIP
bernama Moeljadi gugur. Pasukan MaladiJusuf sore hari berusaha menyerang
dan menduduki kota Trenggalek, tetapi tidak berhasil. Batalyon Mudjajin
bertindak lebih cepat menduduki Trenggalek. 23 September, Komunike
Brigade Sadikin yang pertama mengatakan bahwa Sarangan dan Walikukun
telah direbut kembali oleh TNI dari tangan kaum pemberontak. 23
September, Kapten A. Kosasih dari Yogyakarta berangkat ke Klaten untuk
menemui Mayor Sunitieso dengan menggunakan jeep dan dikawal oleh
beberapa orang prajurit. Kapten A Kosasih menjelaskan bahwa pasukannya
akan bergerak ke Solo, dan menanyakan kepada Mayor Sunitioso dengan alat
angkut apa agar pasukannya bisa dibawa dengan aman. Pasukan-pasukan
TNI mengadakan pemeriksaan dari rumah ke rumah di dalam kota
Yogyakarta, untuk mencari tokoh-tokoh PKI yang bersembunyi. Pasukan
Subandono dari Randublatung berangkat ke Cepu untuk memperkuat
pasukan Chris Sudono yang mempertahankan kota Cepu. Polit Biro PKI
menyerukan melalui Radio Madiun, bahwa “berhubung dengan Serangan
Umum yang telah dilakukan oleh pemerintah penjual romusha, Soekarno-
Hatta”, supaya “rakyat dengan aktif memberikan perlawanan terhadap
serangan-serangan itu”. Untuk membalas undangan Djokosuyono, Panglima
Besar Soedirman mengumumkan bahwa Kejaksaan Tentara Republik telah
mendakwa sejumlah opsir tinggi yang telah “memberontak”. Antara lain, Kol.
Djokosuyono, Panglima Militer Daerah Madiun, Kol. Ir. Sakirman, Letkol
Martono Brotokusumo, Mayor Anas, Mayor Pramuji, Mayor Banumahdi, Mayor
Usman dan Kapten Misbach. Orang-orang ini berada di daerah pendudukan
komunis. Jika keadaan mengizinkan, mereka akan dituntut di muka
Mahkamah Tentara.

24 September, Terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah


dengan para pemberontak selama beberapa jam di Sawangan, 20 km di
sebelah timur laut Magelang. PKI menyerbu Kantor Polisi Parakan. Saat
Malam hari, di Tuban dilakukan penangkapan terhadap semua pemimpin FDR
oleh Polisi. 25 September, Pagi hari pukul 08.00, Kantor Kabupaten Sukoharjo
berhasil diduduki. Pada hari itu seluruh kota Sukoharjo dapat dikuasai
Batalyon A. Kosasih. Pasukan pemberontak TLRI yang bertahan di Sukoharjo
mundur dengan meninggalkan banyak korban. PKI melancarkan aksi-aksinya
di Parakan yaitu dengan melakukan penculikan 60 orang, di antaranya
Wedana Parakan, Wedana Kretek dan Asisten Wedana Kretek, seorang
pemilik sekolah, penghulu Candiroto, Kapten Sumantri dan Letnan Muda
Suwadji. Dalam rangka pembebasan kota Madiun dari arah Barat. Batalyon
Sambas yang terdiri dari 3 kompi, berangkat dari Tasikmadu menuju
Tawangmangu lewat Karangpandan. Pada hari itu juga Batalyon Sambas
yang berkekuatan 760 orang bergerak dari Tawangmangu menuju Madiun
dengan tugas utama Menguasai Madiun dalam waktu singkat, menguasai RRI
dan melaporkan kembali setelah Madiun direbut. Ex Letnan’ Kolonel Suyoto,
di Purwodadi di Pendopo Kabupaten, memproklamirkan berdirinya
pemerintahan Front Nasional daerah Semarang.Suyoto sendiri yang menjadi
pemimpin militer tertinggi pemerintahan PKI itu.
C. AKHIR PEMBERONTAKAN

Setelah Madiun direbut kembali oleh Pasukan TNI, keamanan telah


terjamin dan tiap rumah berkibar bendera merah putih. Maka pada 1 Oktober
1948, presiden Sudiro menuju Wonogiri untuk menyelesaikan segala sesuatu
terutama pengembalian keamanan. berita kembalinya Madiun disiarkan ke daerah
kedu, Yogyakarta, Surakarta dan daerah Jawa lainnya seperti Jawa tengah dan
Jawa timur. Dengan dipukul mundurnya kau pemberontak penduduk Madiun aman
kembali. Sutopo adalah pelajar Madiun yang menjadi korban karena
kedatangannya ke Madiun yang turut aktif melawan pasukan pemberontak k dan
ia dapat ditangkap dan dibunuh dibungkus pada tanggal 4 Oktober 1948. Pada
tanggal 1 Oktober dilakukan pengejaran terhadap pasukan pemberontak dungus
yang tidak berjalan lama karena pasukan pemberontak segera mengundurkan diri
ke sebelah Selatan. selama nunggu dikuasai pasukan pemberontak mereka
melakukan pembunuhan kejam, kurang lebih 1000 orang dibunuh dan mati
ditembak. gadis masjid seorang wartawan wanita dari harian siasat yang mengikuti
perjalanan divisi Siliwangi dari Surakarta ke Tawangmangu dan sarangan untuk
menyerbu Madiun. Mereka bertahan selama 6 hari dari ngebel kemudian pada 7
Oktober 1948 mereka menuju Balong, dari Balong ke Siloam karena ada serangan
gencar pasukan TNI. pada 11 Oktober 1948 mereka ke Tegalombo dan bertahan
agak lama. Abdul Muthalib mengakui bahwa mereka melakukan pembunuhan
kejam tetapi yang melakukan adalah tentara PKI. Dari Tegalombo rombongan
dibagi dua, satu bagian maju bandar bersama Abdul Muthalib kemudian ke
Kismantoro dan di sana bertemu dengan rombongan PKI Wonogiri yang dipimpin
oleh Jadau, sebagian rombongan yang dikirim ke Purwantoro kembali ke
Kismantoro karena mendapatkan serangan TNI. Musso dengan beberapa orang
menuju ke pegunungan selatan Ponorogo. kan Amir merupakan pasukan paling
kuat bersenjataannya dan pengirimannya juga lengkap, seperti Djoko Sujono,
Abdul Muthalib, Batalyon Abduk Rachman, Marotu Darusman Suripno, Sumarsono
dan pemimpin besar PKI. Alimin tidak ikut karena ia berada di Surakarta bersama
pasukan PKI di Wonogiri. Daerah Pati, Semarang, Surakarta, Madiun merupakan
daerah militer sesuai dengan penetapan presiden nomor 13 tahun 1948 tanggal 28
September 1948. gubernur mengumumkan pemberian ampun bagi mereka yang
ikut-ikutan dan terseret dalam peristiwa pemberontakan PKI Musso kekuasaan
dapat dipulihkan kembali. operasi penumpahan tokoh pemberontakan tersebut
tetap dijalankan sehingga mereka tidak merasa aman karena terus dikejar oleh
pasukan TNI, mereka pun terpaksa pindah ke tempat lain dan ada pula yang
menyerahkan diri Selama PKI Musso berkuasa di Jepon terjadi pembunuhan
kejam. Mereka juga menduduki Banjarejo. Banyak korban di Ngawen tetapi di
Kunduran lebih banyak lagi yaitu 65 orang dewasa. kaum pemberontak sebelum
melarikan diri telah membunuh tawanan mereka di Blora. Yang telah gugur yaitu
Mr. Iskandar Surjaatmadja, Dr. Susanto, Gunandar, dan Abu Umar. Pada 5
Oktober 1948 TNI merebut Purwodadi, selanjutnya Cepu dan Blora. Cepu selama
12 hari merupakan kota pertempuran tetapi dapat dikuasai kembali dengan
memakan banyak korban. terjadi pertempuran sengit Cepu dapat direbut dari
pasukan pemberontak laskar minyak dan pesindo. Randublatung dapat diduduki
kembali. operasi ini gugur Letkol Sunandar dan kepala kepolisian Pati, Agil. di
Doplang pasukan pemberontak melarikan diri karena daerah tersebut kembali
dikuasai oleh pasukan TNI. Dari Cepu melarikan diri ke Sambong. karena
mendapat serangan dari pasukan TNI mereka mengundurkan diri dari Sambong ke
Jiken. Pada tanggal 13 Oktober Blora dapat direbut kembali setelah mendapat
serangan dari dua jurusan yaitu dari Cepu oleh Batalyon kemal Idris dan dari
Kudus oleh batalyon Daeng. pasukan Siliwangi dan Ronggolawe menamatkan
pemerintah komunis di Blora segera melakukan penangkapan orang yang terlibat
pemberontakan, beberapa orang yang memimpin mengepalai pembunuhan
dihukum mati dan dihukum kerja paksa. PKI Dipati telah melakukan pembunuhan
di daerah hutan Blora terhadap PKI sendiri yang dianggap lemah. Di Pati pasukan
pemberontak tidak dapat bertahan lama karena pasukan TNI dapat merebut
kembali daerah tersebut. Daerah Purwodadi, Cepu dan Bojonegoro kaum
pemberontak melakukan pembunuhan kejam. Banyak gedung yang di hancurkan
serta hutan yang dibakar. Daerah kediri, kaum pemberontak membakar hutan jati
dan 180.000 ton kayu bakar. Di Ngawi bibit padi mereka musnahkan. Pada 22
Oktober 1948, Pacitan dan Pati dapat dikuasai TNI. Pasukan Amir meluruskan
perjalanan dari lereng gunung Lawu melalui desa jeruk, ngrete, watosono dan
Kebang. pengiringan kira-kira 2000 orang yang bersenjata lengkap dan ikut
meninggalkan Madiun dengan membawa harta benda yang banyak. mereka
mendapat serbuan dari pasukan TNI di kebang, sehingga rombongan yang
dipimpin oleh Abdul Muthalib terpisah dari induk pasukannya. Abdul Muthalib
bersama nona sriyatin ditangkap penduduk setempat di Girimarto. ada 15 Oktober
1948 Abdul Muthalib menjalani hukuman mati. Pasukan Amir bergerak ke
Purwodadi melalui Tawangmangu untuk bertemu dengan pasukan Sujoto yang
masih kuat dan duduki daerah Purwodadi. di Tawangmangu Mereka mendapat
serangan dan sebagian kembali ke selatan. Karena di Sarangan tidak ada
penjagaan TNI sehingga mereka beristirahat selama 2 hari disana. Hingga
kemudian melanjutkan ke utara sampai di Ngrambe dan Walikukun. ketika
pasukan melintasi jalan raya Solo Madiun bertemu rombongan mobil dari
Yogyakarta menuju Madiun kemudian mereka sergap membunuh penumpangnya.
Penumpang yang dibunuh ialah pembantu komisaris besar polisi Durjat, Surjo,
Mayor Samsu Darsono, Letnan Sumarto, Mayor Suhadi, Komari I Soeroko, Kepala
Penilik Kepolisian Jawa Timur di Blitar dan Kepala Karasidenan Bojonegoro. Untuk
menghormati mereka yang gugur, dikibarkan bendera setengah tiang pada 4
November 1948 dan sebagai pengganti Surjo diangkatlah Sutardjo
Kartohadikusumo. Pada 17 Oktober 1948 3 kompi mobil Jawa tengah bergerak dari
solo menuju Jundi dan Tlawah untuk menumpas pasukan musuh yang terpecah.
Pada tanggal 21 oktober 1948 melanjutkan gerakan ke Wirosari dan menyerang
Batalyon Poernawi yang pro PKI dan kembali ke Tlawah. pada 28 Oktober 1948
menyerang truko yang dikuasai dua kompi yang pada akhirnya dipukul mundur ke
daerah Blora dan sebagian masuk ke hutan jati. pada 25 Oktober 1948 dari truko
kembali ke Purwodadi dan pada 1 November dari Purwodadi menduduki Kudus
melakukan penyerangan terhadap Batalyon Senopati yang pro PKI dan merampas
kurang lebih 100 pucuk senjata. Musso tertembak mati pada 31 oktober oleh
brigades yang dipimpin kapten Sunandar di daerah ponorogo. Kemudian mayat
Musso di potret dan diperlihatkan pegawai pemerintah yang dipanggil dari madiun.
Mayat Musso dikubur di salah satu tempat di rahasiakan. Induk pasukan amir
melakukan perjalanan dari Ngawi melintasi Bengawan Solo dan menuju Cepu.
Pasukan Sujoto tidak ada lagi disana, karea Cepu, Blora, Pati dan Purwodadi jatuh
ke tangan TNI. Pasukan Sujoto mendapat serangan TNI kemudian berencana
mengadakan perjalanan ke Madiun. Pasukan Sujoto sudah menyeberangi
Bengawan Solo menuju Madiun. Di dekat madiun pasukan Sujoto menyerah pada
25 November 1948. Pada 12 November 1948 pasukan Amir terlibat tembak
menembak di Wonosari dengan pasukan TNI dari Lebak. Pasukan Amir mundur
melarikan diri ke arah timur, yang akhirnya dikejar pasukan TNI. tertangkap 11
orang dan dibawa ke Sragen. Pada 20 November 1948 terjadi tembak menembak
dengan 7 pemberontak di Pitakenceng Caruban. Pada 20 November 1948 Pasukan
Amir menuju Tambakromo yang terdiri dari kurang lebih 500 orang, diantara
mereka ingin melarikan diri tetapi rakyat selalu siap mengangkap mereka. Pasukan
Amir dan Djoko Sujono dikejar TNI dan akhirnya mereka diserang dan melarikan
diri masuk ke hutan menuju gratil. pasukan terdepan mereka telah sampai di
tanduan dan mendapat serangan TNI dari timur, mereka melarikan diri ke
Karangasem. mereka berkeliaran di Karangasem dan Gedungsari. selama di
gedung Sari mereka mengancam penduduk yang tidak mau membantu mereka.
tetapi mereka menghiraukan ancaman tersebut dan memberitahukan kepada TNI
terdekat. Pasukan TNI berhasil menangkap 2 orang Sekko dan 15 pasukan Amir
yang melakukan penyamaran pun ditangkap. pada 20 November berhasil
ditangkap oleh pasukan TNI yaitu Komandan Pasukan Pemberontak ex Kolonel,
Djoko Sujono, anggota politbiro PKI, Moruto Darusman, Sarjono, Fransisca
Fangidai, dan beberapa puluh pesindo. Pasukan Amir tidak terperikan betapa
sengsaranya mereka. pada tanggal 26 November rombongan mereka sampai di
Brazil tetapi pasukan TNI lebih cepat bergerak terjadi pertempuran di desa brati
sebelum mereka masuk garis status qou mereka diserbu TNI. Pasukan TNI
mengadakan taktik mengirim ke titik buntu pada akhirnya pasukan pemberontak
terjepit di rawa rawa. Amir menyerahkan diri beserta pasukannya pada 19
November 1948. kemudian pada 4 Desember 1948 Amir Syarifuddin, Djoko
Sujono, Maroto Darusman, Suripno dan lain gembong FDR dibawa ke Yogyakarta.
Dengan ditangkapnya Amir dengan pasukannya di daerah Klambu maka
berhentilah riwayat Pemberontakan PKI Musso. Dalam gerakan Operasi Militer ini
dari TNI tercatat 159 orang gugur.

A. TOKOH-TOKOH PERISTIWA MADIUN

1. MUSSO
a. RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Musso atau Paul Mussotte bernama lengkap Muso Manowar atau
Munawar Muso lahir pada 12 Agustus 1898 di Pagu dekat Gurah, sekitar
15 kilometer di timur laut Kediri, Jawa Timur, dari pasangan Datar dan
Kasanah. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang petani,
sedangkan ibunya adalah pembatik. Musso adalah anak dari tujuh
bersaudara. Fakta menariknya yaitu ternyata Muso  adalah keturunan
pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Ia adalah anak dari KH
Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan
Diponegoro yang menikah dengan Nyai Juru. Sebagai anak seorang kyai
dan berada di lingkungan pesantren, sejak kecil tentu saja Muso kecil rajin
nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq,
pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, Muso selain
masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kyai,
penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya
Pada usia 16 tahun Musso melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di
Batavia. Di Batavia Musso diangkat anak oleh G.A.J. Hazeu. Musso juga
bertemu Alimin Prawirodirdjo yang nantinya menjadi pentolan PKI.
Setamatnya sekolah guru Mussso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg
( Bogor ). Versi lain menyebut Musso bersekolah di Hogere Burger School.
Sewaktu berada di Surabaya, Musso kos di rumah Tjokroaminoto, guru
sekaligus bapak kosnya, di jl. Peneleh VII No. 29-31 dan bertemu dengan
H.J.F.M. Sneevliet. Selain Musso, di rumah kos itu juga ada insinyur
soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Musso, Alimin, dan Semaun
dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir,
menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat
dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam
setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan
Belanda, " Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di
antara bangsa-bangsa. "
Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso
aktif di dalamnya. Musso juga aktif di ISDV bentukan Sneevliet yang
menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Selama di Surabaya
Sneevliet sering berdiskusi dengan murid murid Haji Oemar Said
Tjokroamino termasuk Muso. Muso bersama Alimin, Semaoen, Darsono,
Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kade Sneevliet.
Setahun kemudian Sneevliet mendirikan sekolah yang bernama Indische
Sociael Democratische Vereeniging ( ISDV ) yang berhaluan Marxisme.
Musso menjadi anggota Politbiro CC PKI yang diumumka pada 1
September 1948, memimpin Sekretarit Umum bersama Maruto Darusman,
Tan Ling Djie, dan Ngadiman. Sesudah memberikan petunjuk-petunjuk
mengena Kongres ke-V PKI yang akan diselenggarakan akhir bulan
Oktober 1948, Musso memutuskan untuk mulai mengadakan rapat-rapat
propaganda di daerah. Dalam rapat-rapat yang direncanakan itu Musso
akan membeberkan tugas-tugas pokok PKI, terutama yag menyangkut
akan diadakannya kongres penggabungan tiga partai. Perjalanan
propaganda akan dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia
meninggalkan Yogyakarta taggal 7 September 1948, dan menurut rencana
perjalanan akan diakhiri di Wonosobo, dimana ia akan disambut dengan
meriah. Musso adalah seorang pemimpin yang berpandagan jauh dan
banyak pengalaman. Ia tidak jemu-jemunya menjelaskan, bahwa revolusi
Indonesia adalah revolusi nasional di Negeri jajahan yang sudah menjadi
bagian dari revolusi proletar di seluruh dunia. Perspektifnya tidak boleh
tidak adalah sosialisme. Karena di Indonesia masih berlangsung agresi
bersenjata oleh imperialisme, maka tugas yang utama dari revolusi
Indonesia adalah mengusir kaum agresor. Muso juga menyetujui
pemberontakan di tahun 1976 sebagai konsekuensi Persetujuan
Prambanan. Untuk memperkuat PKI Muso dan Alimir bertolak menuju
Moskwa untuk meminta bantuan. Tetapi rencana pemberontakan yang di
rencanakan Muso sudah tercium oleh tentara indonesia lalu tentara
indonesia dapat menggagalkan rencana Muso saat Muso dan Alimir masih
berada dalam perjalanan ke Moskwa. Selanjutnya Muso dan Amilir tidak
dibenarkan untuk kembali ke Indonesia.
Setelah Madiun direbut tentara, Musso bersama Amir Sjarifoeddin dan
pentolan PKI lain melarikan diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan
Amir dan memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya dikawal dua
orang, sementara Amir melanjutkan ke Pacitan. Musso dan pengawalnya
kabur dengan menaiki sebuah delman sementara tentara mengejarnya.
Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak.
Musso berlari dan bersembunyi di sebuah kamar mandi di sebuah
pemandian umum. Satu peleton tentara mengepung dan kembali terjadi
baku tembak. Ketika keluar kamar mandi, Musso tertembak dua kali.
Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo untuk diawetkan sebelum
kemudian dibakar secara diam-diam.

b. PERANAN DALAM PERISTIWA MADIUN

Muso adalah salah seorang yang memiliki peranan penting dalam


pemberontakan PKI di madiun. Muso sendiri dalam pemberontakan PKI
berperan sebagai pemimpin. Ia berkeinginan untuk membangun negara
baru yang berlandaskan komunis.
Dalam masa kepimpinannya Muso mencari sekutu agar
pemberontakannya di Madiun mendapatkan keberhasilan dan pasukan
yang banyak untuk mencapai tujuannya yaitu mendirikan negara komunis.
Dia mencari sekutu dengan cara berpidato di daerah-daerah dan saat
Muso berpidato Muso mengancam siapa yang tidak mau menjadi pasukan
Muso akan di bunuh oleh Muso. Dalam gebrakannya Muso menyebarkan
luaskan partai komunis di daerah madiun dan sekitarnya di tengah tengah
masyarakat madiun, yang mayoritas masih buta huruf dan tidak
memahami bahasa indonesia. Tepat pada tanggal 15 agustus 1948 Muso
mengadakan pidato yang berada di alun-alun Madiun.
Dalam pidatonya Muso mengatakakan bahwa presiden Soekarno
dan Mohammad Hatta tidak bisa memimpin negara Indonesia. Pidato
tersebut dihadiri oleh ribuan masyarakat kota Madiun dan sekitarnya.
Sebelumnya masyarakat telah mendapatkan kabar dari agitate dan
propagandis PKI bahwa akan diadakan pidato akbar yang bertemakan “
Nabi Muso dari Moskow ” yang akan memimpin rakyat kearah revolusi
Indonesia Merdeka. Pemberontakan yang terjadi di Madiun, Jawa Timur
PKI memproklamasikan berdirinya “ Republik Soviet Indonesia “ di Madiun
pada tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Muso sebagai presiden
dan Amir Syarafudin sebagai pedana menteri. Akan tetapi pemberontakan
dapat dipadamkan oleh pihak militer.
Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari
divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang
dipenjarakan. Diantara yang terbunuh adalah Muso yang mati tertembak di
Ponorogo pada tanggal 31 Oktober, ketika rombongannya bertemu dengan
pasukan TNI yang memburunya. Itulah peran tokoh Muso dalam
pemberontakan Madiun tahun 1948.

2. AMIR SYARIFUDDIN
a. RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Amir Syarifuddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, pada
tanggal 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap, adalah
seorang kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan seorang
jaksa di Medan. Ibunya bernama Basunu Siregar keturunan Batak-Melayu.
Pada saat itu orang batak pindah secara besar besarkan ke Deli untuk
bekerja di perkebunan.
Pada masa hidupnya Amir Syarifuddin bersekolah di ELS
(Europeesche Lagere School ) pada tahun 1914 dan lulus pada tahun 1921.
Selama di Leiden, Amir dan saudaranya tinggal di gurunya yang beragama
kristen yaitu Drik Smink. Selanjutnya Amir melanjutkan sekolahnya di
Indonesia yakni di Recht Hooge School 9 Sekolah Tinggi Hukum Batavia.
Pada saat sekolah di Recht Hooge School Amir Syarifuddin akrab dengan
seorang guru yang bernama Profesor J.M.J. Schepper.
Pada awalnya Amir Syarifuddin merupakan umat muslim yang taat
dengan agama islam. Tetapi ia bersahabat dengan Ferdinad yang beragama
kristen pada saat di Leiden. Amir Syarifiddin selalu melihat dan ikut
berdiskusi tentang masalah sosial, politik, fisafat, kapitalisme, dan
imperialisme. Sejak itu Amir Syarifuddin memutuskan untuk mendalami
agama kristen dan ia memutuskan untuk dibaptis di indonesia. Pada saat ia
mendalami agama kristen di Belanda, ia merupakan pengurus perhimpunan
siswa Gymnasium di Haarlem, Belanda. Ia merupakan orang yang
mempelopori lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ( GMKI ). Pada
tahun 1928-1930 dia menjadi pemimpin redaksi majalah perhimpinan
pemuda pelajar Indonesia ( PPPI ). Amir Syarifuddin pindah ke asrama
pelajar Indonesisch Clubgeboew. Ia ditampung oleh Muhammad Yamin,
pada tahun 1931 Amir Syarifuddin ikut mendirikan Partai Indonesia
( Partindo ). Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia ( Gerindo ).
Semenjak amir Syarifuddin mengenal banyak tokoh pejuang salah satunya
Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin mempunyai semangat untuk semakin
berjuang. Amir Syarifuddin dikenal dengan tokoh yang radikal dan
kontroversial karena ia menolak dengan gigih untuk berkaloborasi dengan
jepang seperti rekan-rekan aktifis yang lain yang berharap Jepang dapat
memberikan kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah Belanda
dikalahkan. Pada saat itu Amir Syarifuddin melakukan gerakan rahasia untuk
menentang jepang. Tetapi pada usia muda 41 tahun karir politik Amir
Syarifuddin telah berakhir karena Amir Syarifuddin tertangkap oleh jepang
karena dituduh sebagai pemimpin gerakan fasis bawah tanah. Lalu Amir
Syarifuddin akan di hukum mati oleh Jepang tetapi dengan intervensi dari
Ir. Soekarno Amir Syarifuddin dapat bebas dan mendirikan jong batak, Amir
Syarifuddin merupakan politisi pergerakan nasional yang berwawasan
negarawan ia memiliki kemampuan untuk keluar dari Sekat.
Pada tanggal 3 Juli 1947, Amir Syarifuddin menjadi perdana
menteri menggantikan Sutan Syahrir sebelum kemerdekaan RI, ia
tercantum dalam kabinet presidensial sebagai menteri keamanan rakyat dan
menteri pertahanan. Pada saat perjanjian renville yang di tanda tanganinya
sendiri, kabinet Amir Syarifuddin jatuh dan di gantikan oleh Kabinet Hatta.
Karena kebencian dan kekecewaannya Amir Syarifuddin dengan Hatta ia
bertemu dengan Muso dan menjadi salah satu orang kepercayaan dan
dijadikan sebagai kepala pemerintahan Republik Soviet yang didiran PKI.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pada masa pemerintahan Hatta PKI
berupaya membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang
terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang
pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam
rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api ( SBKA ) turut ditangkap beserta
beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam
desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang
letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata
Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat
diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan
sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang
pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan
beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindah ke rumah penjara
Benteng Yogyakarta. Amir Dia tidak menerima tanda jasa dan keluarganya
juga tidak mendapat santunan apa pun. Kehidupan keluarga Amir sangat
memprihatinkan. Namun, 2 tahun setelah meninggal, tepatnya pada tanggal
15 November 1950, atas perintah Presiden Soekarno, pusaranya digali
kembali dan dilakukan proses identifikasi. Setelah itu, diadakan serah terima
kerangka kepada keluarga dan dimakamkan kembali.

b. PERANAN DALAM PERISTIWA MADIUN


Amir Syarafuddin adalah pendiri Negara Republik Soviet Indonesia
di Madiun. Amir Syarifuddin sebagai Menteri Perhatahanan. Alasan mereka
mendirikan negara adalah untuk menciptakan negara yang adil, makmur,
dan tanpa ada kesenjangan dalam masyarakat. Mereka mengganggap
bahwa pemerintahakan Moh. Hatta lebih mengutamakan watak yang
otoriter daripada program politiknya.
Negara Republik Soviet Indonesia diproklamasikan oleh Supardi,
seorang tokoh FDR dari PESINDO dengan diiringi pengibaran bendera
merah. Dengan adanya proklamasi tersebut, maka Kota Madiun dan
sekitarnya dinyatakan resmi sebagai daerah yang merdeka dan tidak lagi
menjadi bagian dari Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila ( Dasar Negara Indonesia ) dan
menggantinya dengan negara komunis. Republik Negara Soviet Indonesia
ini hanya dapat bertahan 10 hari ( 2 minggu ), dan berakhir dengan tewas
pemimpinnya.
Kelompok Amir Sjarifuddin sering melakukan aksi-aksi. Beberapa
aksi antara lain, melancarkan propaganda anti pemerintahan, mengadakan
pemogokan kerja dan melakukan pembunuhan. Salah satu korban
kekejamannya yaitu Gubernur Jawa Timur R. Suryo, yang dibunuh di
tengah hutan Jati di Ngawi. Pemberontakan PKI Madiun dilakukan
bersamaan dengan pembacaan proklamasi yang dibacakan oleh Supardi.
Banyak pejabat-pejabat pemerintahan dan tokoh agama diculik dan
dibunuh secara sadis, yang kemudian dikenal dengan sebutan Madiun
Affairs. Madiun Affairs ini dimulai pada pukul 03.00 setelah terdengan
tembakan pistol tiga kali. Hal itu sebagai tanda gerakan non parlementer
oleh kesatuan komunis yang disusul gerakan pelucutan senjata kepada
aparat Madiun. Kemudian kesatuan PKI menduduki tempat-tempat penting
di Madiun. Puncak gerakan PKI pada tanggal 18 September 1948.

E. JEJAK PERISTIWA MADIUN

1. PATUNG KOLONEL MARHADI


Monumen Kolonel Marhadi adalah monumen bersejarah yang
merupakan peninggalan dan sebagai saksi atas Peristiwa Madiun.Monumen
Kolonel Marhadi terletak di sebelah selatan alun – alun kota Madiun.
Monumen Kolonel Marhadi berbentuk patung, dibuat dari perunggu dengan
landasan dari beton dan marmer. Monumen ini diresmikan pada tanggal 17
Februari tahun 1973 oleh bapak Mayor Jenderal TNI Soengkono.Nama
monumen ini diambil dari nama salah satu prajurit TNI yang berperan dalam
peristiwa PKI tahun 1948 yang bernama Kolonel Inf Marhadi.
Letkol Marhadi ditunjuk sebagai kepala staf dalam SPDT yang
berkedudukan di Kediri itu. Jabatan itu diduduki Marhadi sekitar bulan Juni
1948. Nama Marhadi ternyata diterima oleh para komandan divisi di Jawa
Timur. Penerimaan itu tentu tidak lepas dari akar dan peran Marhadi yang
cukup dikenal sebagai mantan PETA dan pejuang di palagan Surabaya. SPDT
sesungguhnya merupakan embrio dari Divisi Jawa Timur yang nantinya
dinamakan Divisi Brawidjaja.
Agustus 1948, Brigjen Baay, Komandan Divisi A Pasukan Belanda di
Jawa Timur mengeluarkan ultimatum agar TNI tidak menyusup ke daerah
yang dikuasai Belanda. Oleh Marhadi, ultimatum itu dimaknai sebagai alasan
Belanda untuk menyerang.
Diketahui bahwa ada banyak tank baru buatan Amerika ditangkan
Belanda. Pada badan tank terdapat tulisan " Naar Jogja ". Militer Belanda
sudah menyiapkan diri menuju Jogja yang menjadi ibukota Republik
Indonesia. Marhadi melihat bahwa poros utama ke Jogja adalah jalur
Mojokerto - Madiun. Jalur penting itu hanya dijaga oleh satu batalion saja.
Sebagai komandan gabungan, Marhadi meminta agar beberapa
batalion yang bertumpuk di Kediri mau dipindah ke wilayah sekitar Kertosono
hingga Madiun. Ternyata yang menyambut usulan Marhadi hanya batalion
yang berasal dari Pesindo. Marhadi kemudian memindahkan markasnya ke
Madiun pula.
Kolonel Marhadi merupakan prajurit TNI berpangkat tinggi dari Staf
Pertahanan Djawa Timur ( SPDT ) yang menjadi salah satu korban sekaligus
saksi mata bersama Kiai. R. Kartidjo, yang pernah menjabat sebagai ketua
DPD RI. Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya membela warga yang ada di
sekitar Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun kala itu agar
tidak ada lagi pembantaian dan pembunuhan yang sadis dan berakhir tragis.
Ia juga membela agar tidak ada lagi partai komunis di Indonesia.
Semangat yang membara membuat Kolonel Marhadi dan rekan -
rekannya berjuang mati - matian mengalahkan PKI. Berbagai usaha sudah
dirancang dan dibuat sedemikian rupa. Banyak usaha yang berhasil
diwujudkan, dan banyak juga yang mengalami kegagalan. Tetapi, meski
begitu Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya tidak patah semangat. Semua
itu dilakukan tanpa rasa pamrih dan berjuang hingga titik darah penghabisan.
Di Madiun Marhadi terjebak dalam konflik yang dipicu oleh
kedatangan Muso. Pimpinan PKI itu selanjutnya memproklamasikan
berdirinya Republik Soviet Indonesia. Pasukan yang mengikuti Marhadi ke
Madiun kemudian diketahui menjadi inti kekuatan PKI.
Melihat banyaknya usaha yang dilakukan, Partai Komunis Indonesia (
PKI ) sangat marah dan merasa terganggu dengan aksi yang dilakukan
Kolonel Marhadi. Lalu, Kolonel Marhadi dan rekan - rekannya ditangkap dan
diculik oleh PKI di sekitar Desa Kresek selama berminggu - minggu. Akhirnya
Kolonel Marhadi bersama dengan rekan - rekannya berhasil melarikan diri
dari tawanan PKI.
Saat ia bersama rekan - rekannya bersembunyi dan menyelamatkan
diri dari tawanan PKI, mereka berhasil ditangkap kembali. Lalu, diasingkan
dan disekap di rumah - rumah warga yang berada di sekitar Desa Kresek,
Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Akhirnya Kolonel Marhadi bersama
rekan - rekannya berhasil dibunuh dan ditembak hingga meninggal dunia.
Jasad korban dikuburkan dalam satu liang sebelum ditinggal
melarikan diri. Kuburan itu dapat diketahui dan jasad korban diangkat pada
tanggal 4 Oktober 1948. Pada tempat kubur mereka di desa Kresek, Dungus,
Madiun, kemudian dibuatkan sebuah Monumen mengenang kekejaman PKI
Tanggal 5 Oktober 1948, tepat pada hari peringatan Hari Angkatan
Perang, jenazah Letkol Marhadi dimakamkan kembali setelah dikafani. Dari
luka yang terliat ditubuhnya, Marhadi meninggal setelah ditembak dari jarak
dekat di dadanya. Nama Marhadi kemudian diabadikan sebagai sebutan jalan
utama di Madiun. Pada ujung jalan dekat alun - alun kota Madiun tersebut
juga didirikan patung dirinya dengan menggenggam sebilah samurai.
Sebagai bentuk rasa hormat terhadap jasa - jasa beliau, maka
pemerintah kota Madiun membangun patung besar yang ada di area alun -
alun kota Madiun. Dengan memakai seragam militer lengkap, tangan
kanannya menunjuk kearah selatan tepat di Pasar Sleko yang jauhnya kira-
kira 2 km.
Namun banyak yang menyebut bahwa patung Kolonel Marhadi
menunjuk ke arah SMP Negeri 2 Madiun, karena menurut sejarah SMP
Negeri 2 Madiun merupakan tempat atau markas dari Mastrip, di SMP 2
Madiun sendiri juga terdapat tugu yang berisi nama nama korban Mastrip.
Cerita legendaris yang paling terkenal adalah cerita tentang Mulyadi,
pahlawan heroik dari MASTRIP. Patung yang berada di Alun – alun tersebut
sering disebut juga monumen Kolonel Marhadi. Pemerintah Madiun juga
menjadikan namanya sebagai sebagai salah satu nama jalan di kota Madiun.
Sosok Kolonel Marhadi yang patut dicontoh dan dapat dijadikan
motivasi hidup untuk terus membela dan berjuang mati - matian demi
Bangsa dan Negara Indonesia. Meski banyaknya rintangan dan juga cobaan
yang dilalui, tetapi semangat, kerja keras, usaha serta tekad yang bulat akan
membuat sesuatu yang tidak mungkin, menjadi sesuatu yang mungkin.

2. MONUMEN MASTRIP

Monumen Mastrip menggambarkan patung Moeljadi yang dibangun


atas nama teman - teman seperjuangan TRIP Jawa Timur bertepatan pada
peringatan Hari Pahlawan, 10 Nopember 1985. Monumen Mastrip Eks. TNI
Brigade 17 Detasemen 1 Tentara Republik Indonesia Pelajar ( TRIP ) Jawa
Timur yang terwakili dengan keberadaan patung Moeljadi ini terletak di Jalan
Mastrip, Kelurahan Klegen, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.
TRIP ( Tentara Republik Indonesia Pelajar ) adalah kumpulan
pelajar dengan usia sangat muda ( belasan tahun ) yang berani
mengorbankan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Kegagahan dan jiwa patriotisme mereka sudah teruji dalam setiap
pertempuran melawan kaum penjajah yang akan merongrong kemerdekaan
Indonesia. Bahkan tentara Inggris yang menjadi pemenang perang dunia ke
2 pun dibuat kewalahan menghadapi kiprah para pelajar dalam pertempuran
heroik di depan Gedung Internatio.
Markas TRIP Komando I bertempat di gedung SMP Negeri 2 Madiun.
Sesuai dengan tujuan dari TRIP, disamping bertempur melawan penjajah
juga mengutamakan belajar. Untuk itu SMP dan SMA pertahanan yang
didirikan oleh TRIP di Mojokerto dilanjutkan lagi di Madiun.
Di kota Madiun cita - cita TRIP sebagai pelajar pejuang diteruskan
dalam ikatan TRIP Jawa Timur. Semasa perang Kemerdekaan anggota TRIP
mendapatkan sebutan “ Mas " dari masyarakat, karena jika dipanggil “ Pak ”
masih sangat muda dan belum pantas, tetapi jika dipanggil ” Nak ” mereka
sudah berani mengangkat senjata melawan kaum penjajah. Dan itu
menunjukan bahwa mereka bukanlah anak - anak lagi, meskipun rata - rata
usia mereka antara 12 hingga 20 tahun. Sehingga sesuai budaya Jawa yang
menjaga kesopanan dalam pergaulan, maka disebutlah anggota TRIP dengan
panggilan “ Mas “. Sampai sekarang dikenal dengan sebutan MasTRIP.
Setiap daerah memiliki penyebutan tersendiri terhadap kesatuan
tentara pelajar yang ada di wilayahnya. Secara umum, di Jawa Barat mereka
dikenal dengan Corps Pelajar Siliwangi ( CPS ), di Jawa Tengah dikenal
dengan Tentara Pelajar ( TP ), dan di Jawa Timur dikenal dengan Tentara
Republik Indonesi Pelajar ( TRIP ).
Namun pada skop kesatuan yang lebih kecil di daerah - daerah,
mereka memiliki sebutan yang lebih banyak lagi. Misalkan di Jogja dan
beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terdapat Tentara Genie
Pelajar ( TGP ), di Boyolali ada Sturm Abteilung ( SA ), di Banyumas ada
Pasukan Pelajar IMAM ( Indonesia Merdeka Atoe Mati) , di Solo dan Surakarta
ada Mastepe, di Pati ada Pasukan T ( Pasukan Tjadangan Ronggolawe ), dan
lain sebagainya. Jadi jelaslah bahwa “ Mas ” bukan merupakan singkatan
tapi panggilan akrab masyarakat kepada para anggota pasukan TRIP.
Monumen MasTRIP tersebut dibangun sebagai bentuk rasa hormat
dan untuk mengenang jasa - jasa beberapa pasukan TRIP yang gugur,
seperti Moeljadi, Soetopo, Soemadi, Djoewito, Joewono, Soegito, Ngadino.
Mereka semua membela bangsa dan Negara dari PKI yang kejam.
Mereka berjuang mati - matian agar banyak diantara warga Madiun yang
tidak menjadi korban dari keganasan PKI. Jangan kira tokoh - tokoh
pahlawan yang gugur dalam melawan PKI ( anggota TRIP ) Jawa Timur
tersebut itu gugur dalam peperangan melawan tentara kolonial sebagaimana
banyak kisah kepahlawanan di kota lain. Tetapi kenyataannya mereka tewas
dalam konflik internal bangsa yang disebut sebagai pemberontakan
keganasan PKI Madiun, September tahun 1948.
Dinas Pekerja Umum ( DPU ) Kota Madiun sudah merenovasi
infrastruktur bangunan Monumen Mastrip yang dilakukan bersamaan dengan
proyek renovasi trotoar jalan Mastrip Madiun. Bangunan patung Moeljadi
dahulu tertutup oleh daun - daun dan dahan pepohonan yang berada di
sekitar Monumen Mastrip. Sehingga tampak kotor, lingkungan disekitar
monumen pun menjadi kumuh, dan tidak terawat.
DPU Kota Madiun merenovasi infrastruktur bangunan Monumen
Mastrip tanpa mengubah bentuk patung Moeljadi dan batu prasasti.
Pemerintah Kota Madiun hanya ingin menata bagian depan patung agar bisa
dijadikan ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat.
Karena Monumen Mastrip letaknya juga dekat dengan Stadion Wilis yang
kerap menjadi pusat kegiatan masyarakat. Monumen Mastrip dicat ulang dan
dirapikan kembali agar dapat dikenal sebagai salah satu ikon di Kota Madiun.
Sekarang ini, Monumen Mastrip menjadi lebih dikenal oleh banyak
masyarakat Madiun sebagai pengingat adanya peristiwa pemberontakan PKI
di Madiun yang banyak memakan korban.
3. MONUMEN KRESEK

Monumen Kresek, adalah monumen bersejarah yang merupakan


peninggalan dan sebagai saksi atas Peristiwa Madiun. Lokasi peninggalan
sejarah dengan luas 2 hektar ini, berada 8 km ke arah timur dari kota
Madiun, tepatnya berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten
Madiun, Jawa Timur, dan terdiri dari monumen dan relief peninggalan sejarah
tentang keganasan PKI pada tahun 1948 di Madiun. Monument kresek terdiri
dari monument dan relief peninggalan sejarah tentang keganasan partai
komunis Indonesia tahun 1948 di dalam monumen terdapat pendopo tempat
istirahat, tamanan langka dan lain-lain monument ini diresmikan pada tanggal
10 Juni 1991 oleh Gubernur Jawa Timur Bapal Soelarso
Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah Monumen
sejarah yang diresmikan oleh H. Sularso, Gubernur Jawa Timur pada tahun
1991. Monumen ini dibangun sekitar tahun 1987 dengan menghabiskan
waktu 4 tahun dan selesai pada tahun 1991. Lokasi ini merupakan saksi bisu
di dalam ganasnya para anggota PKI, dimana pada waktu itu para anggota
TNI dan Pamong desa dibantai dan disiksa dengan biadab oleh PKI pada
tahun 1948. Dulu pendopo hanya satu, tetapi tiga. Di pendopo itu tempat
menyekap tawanan yang diculik.
Menurut cerita, sebenarnya yang ada di tiga itu akan dibunuh satu-
persatu PKI dan memasuki kawasan ini, kita akan melihat sebuah dinding
sepanjang 2 Meter yang bertuliskan nama-nama ( lengkap dengan
jabatannya kala itu ). Korban keganasan PKI yang berjumlah 17 orang,
lengkap dengan patung mayat-mayat bergelimpangan disampingnya.
Adapun, tujuan didirikannya monumen ini adalah sebagai penghormatan
terhadap para korban kekejaman PKI sejarah tentang keganasan PKI yang
terjadi di Madiun pada tahun 1948 serta mengenang korban - korban akibat
keganasan PKI pada tahun 1948. Adapun fasilitas wisata yang ada di tempat
ini, antara lain, pendopo tempat istirahat, taman tanaman langka dan
dilengkapi pula areal parkir.
Di dekat monumen ini juga terdapat prasasti batu yang mengukir
nama nama prajurit TNI dan pamong desa yang gugur dalam pertempuran
melawan PKI di desa kresek maupun karena dibantai oleh PKI. Kolonel Inf
Marhadi adalah prajurit TNI berpangkat tertinggi yang gugur dalam
pertempuran desa Kresek, namanya lalu diabadikan menjadi salah satu nama
jalan di Kota Madiun dan didirikan pula patungnya di alun - alun kota Madiun
sebagai bentuk penghormatan.
Selain itu juga terdapat sumur tempat pembuangan korban
keganasan PKI yang telah tertutup dan dibuat relief korban - korban di
atasnya. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menunjukkan kepada
masyarakat atau khususnya pengunjung, tentang betapa kejamnya PKI yang
telah membantai 17 orang tersebut. Namun kalau pemerintah mau konsisten,
pemerintah orde baru sebenarnya juga harus membangun dinding yang
mungkin panjangnya akan mencapai ratusan meter untuk menuliskan nama -
nama ribuan simpatisan PKI ( banyak dari mereka yang sebenarnya tidak
tahu apa – apa ) yang juga menjadi korban keganasan tentara dan rakyat
yang anti - komunis, lengkap dengan tanah puluhan meter persegi untuk
membangun replika mayat - mayat yang berserakan.
Adapun nama - nama tokoh tersebut yaitu Kolonel Marhadi, Letkol
Wiyono, Insp. Pol. Suparbak, May Istiklah, R.M Sarojono ( Patih Madiun ),
Kyai Husen ( Anggota DPRD Kabupaten Madiun ), Abdul rohman ( Asisten
Wedono ), Sosro Diprodjo ( Staff PG Rejo Agung ), Suharto ( Guru sekolah
pertanian Madiun ), Sapirin ( Guru sekolah Budi Utomo Madiun ), Supardi
( Wartawan Freelance Madiun ), KH Sidiq, Sukadi ( Toko Masyarakat ), R.
Charis Bogio ( Wedono Kanigoro ), KH Barokah Fachrudin ( ulama ), Maidi
Marto Disomo ( Agen Polisi ).
Menurut warga setempat area monumen kresek dahulu adalah
bekas rumah warga yang dijadikan PKI sebagai ajang pembantaian, warga
sekitar dikurung di dalam rumah tersebut lalu rumah tersebut dibakar
bersama warga yang ada di dalamnya. Di sebelah utara monumen kresek
terdapat monumen kecil yang terbuat dari batu kali yang mengukir nama-
nama prajurit TNI dan para pamong desa yang dibantai oleh PKI.
Sebelum ke atas, terdapat anak tangga untuk masuk ke monumen
Kresek dimana anak tangga tersebut memiliki filosofi yang menunjukkan
tanggal hari Kemerdekaan RI yaitu 17 – 8 – 1994.
Bangunan patung paling atas adalah Patung Muso yang membawa
pedang yang ingin memenggal kepala seorang kyai. Patung ini
menggambarkan adegan seorang pria bertubuh besar, kumis tebal, dan
bermuka bengis sedang mengayunkan pedangnya ke leher seorang kyai yang
sedang berlutut. Kyai ini terlihat mengenakan sarung, surban dan kopyah.
Kyai ini dikenal dengan nama Husen. Kyai Husen adalah seorang kyai yang
arif dan bijaksana, beliau adalah anggota DPRD Kabupaten Madiun pada
tahun 1948.
Adegan ini berkaitan erat dengan isu Pembunuhan pimpinan-
pimpinan pondok pesantren oleh kelompok PKI karena tidak mau mendukung
ideology komunis yang diusungnya. Walaupun kebenaran isu ini masih
menjadi bahan perdebatan, namun provokasi ini terbukti sangat berhasil
menanamkan stigma buruk terhadap PKI kepada masyarakat. Bahkan
sampai anak cucu seorang PKI yang tidak tahu apa-apa bisa menjadi korban
diskriminasi akibat stigma negatif ini. Terhadap Partai Komunis Indonesia
(PKI) kepada masyarakat. Bahkan sampai anak cucu seorang Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang tidak tahu apa-apa bisa menjadi korban diskriminasi
akibat stigma negative ini. Di belakang patung ini terdapat sebuah relief yang
menggambarkan peperangan dan pembunuhan oleh sesama orang
Indonesia. Juga di sebelahnya terdapat sebuah prasasti yang isinya
mengingatkan para pemuda untuk senantiasa waspada terhadap bahaya
komunisme.
Patung ini jelas sekali ingin menunjukkan bagaimana seorang
pemuka agama Islam yang akan dipancung dengan kejinya oleh seorang
gembong PKI berwajah garang. Adegan ini berkaitan erat dengan isu
pembunuhan terhadap pimpinan - pimpinan pondok pesantren oleh kelompok
PKI karena tidak mau mendukung ideologi komunis yang diusungnya.
Selain itu terdapat pemuka agama lainnya, bernama Mbah Ronggo
Jati, Ronggo Jati berasal dari Banyuwangi yang digelandang ke Madiun oleh
para PKI karena dipaksa untuk menunjukkan seseorang yang konon
bersembunyi di Madiun. Namun karena beliau setia terhadap kepada
pemerintahan sehingga beliau tidak mau buka mulut karena hal itu PKI
menyiksa beliau dengan menembak, memukul, menendang, di penggal, dan
dibacok yang intinya beliau disiksa habis-habisan.
Tapi ada keistimewaan pada beliau tidak mengalami cedera
sedikitpun karena kecewaannya PKI memilih untuk mengubur hidup-hidup
yang makamnya terletak di bawah seberang jalan. Saat ini menjadi taman
rekreasi yang tidak jauh dari lokasi monumennya. Selain itu terdapat sebuah
relief yang menggambarkan peperangan, dan pembunuhan oleh sesama
orang Indonesia, disebelahnya terdapat sebuah prasasti yang isinya
mengingatkan para pemuda untuk senantiasa waspada terhadap bahaya
komunisme.
Di sebelah barat bangunan Patung Muso ada bangunan relief yang
menggambarkan proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI sekaligus
penumpasannya. Penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh Divisi Siliwangi
yang dipimpin oleh Kolonel Sadikin dan Divisi Jawa Timur dipimpin oleh
Kolonel Sungkono.
Di sebelah timur bangunan patung Muso ada bangunan patung
anak -anak korban PKI yang menuntut belas kepada Pemerintah Republik
Indonesia agar menumpas kegiatan PKI di Madiun.
Dibagian bawah terdapat pendapa yang dimana tempat tersebut
merupakan bekas rumah penduduk / warga yang dijadikan Markas PKI
sebagai ajang pembantaian para korban keganasan PKI.
Monumen bersejarah ini merupakan peninggalan dan sebagai saksi
atas Peristiwa Madiun. Monumen ini merupakan monumen yang didesain dan
dibangun untuk meninggalkan kenangan atas peristiwa berdarah dengan
terjadinya penyerbuan Desa Kresek oleh pergerakan dengan paham politik
ekstrim untuk memberikan efek politis dan perubahan ideologi politik di
tingkat pemerintahan pusat. Namun hal ini berdampak panjang dan
menyakitkan bagi penduduk yang mengalami, baik sebagai pelaku maupun
korban. Bagi para korban, hilangnya nyawa anggota keluarga mereka
menyisakan dendam dan kesedihan yang amat mendalam, sedangkan bagi
pelaku menanggung dosa dan anggapan buruk yang parahnya ditanggung
juga oleh anak keturunanya.
Monumen Kresek merupakan kenangan pahit yang ditimbulkan oleh
PKI yang tidak boleh terlupakan dan harus diingat oleh generasi muda
bangsa dalam memperjuangkan tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
Di samping sebagai pengenalan anak sekolah untuk mengenang
kejadian waktu itu, Monumen Kresek sekarang dijadikan objek wisata yang
banyak dikunjungi masyarakat sebagai tempat rekreasi yang telah dilengkapi
dengan berbagai fasilitas seperti mainan anak, balai pertemuan / pendapa
dan kios masakan kuliner.
Dengan mengunjungi monumen ini kita diingatkan untuk tidak
melupakan sejarah. Bangsa sudah melewati beragam ujian dan cobaan yang
berat. Ujian tersebut bukan berasal dari bangsa lain melainkan bangsa
sendiri. Makar dan pemberontakan berulang kali terjadi, merongrong
pemerintahan yang sah namun rakyat Indonesia selalu mengatasinya karena
memegang teguh kesatuan dan persatuan dan ingatlah untuk meneladani
jasa dan perilaku pahlawan dalam membela keutuhan Negara Republik
Indonesia tercinta ini
4. MONUMEN SOCO
Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, terdapat tempat bekas pembantaian
dan pembuangan ratusan pejuang, ulama, tokoh masyarakat, dan warga yang
dibunuh orang-orang Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pimpinan Muso tahun
1948. Salah satunya di Desa Soco, Kecamatan Bendo.
Di tempat yang kini dibangun monumen itu, terdapat bukti gerbong maut
dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban.
Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil
gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat
pembuangan sudah ditutup dan diatasnya dibangun sejenis tugu kecil.
Letak Sumur Soco yang strategis dan terletak hanya beberapa ratus
meter di sebelah selatan lapangan udara Iswahyudi dan dipenuhi tegalan  yang
kadang-kadang ditanami tebu. Di desa inilah sebuah sumur tua yang dijadikan
tempat pembantaian oleh PKI. Ratusan korban pembunuhan keji yang dilakukan
PKI ditimbun jadi satu di lubang sumur yang tak lebih dari satu meter persegi itu.
Menurut warga yang biasa menjaga kawasan monumen setempat,
Nyamin, sumur tersebut adalah sumur milik orang tuanya yang bernama Kasan
Kimpul dan Dinem. Setelah diselidiki dan diinterogasi, akhirnya dia menunjukkan
letak sumur tersebut. Sekalipun letak sumur telah ditemukan, namun penggalian
jenazah tidak dilakukan pada saat itu juga. Sekitar awal tahun 1950 - an, barulah
sumur tua desa Soco digali. Hal ini disebabkan oleh kesibukan pemerintah RI
dalam melawan agresi Belanda yang kedua.
Salah seorang penggali sumur bernama Pangat menuturkan, penggalian
sumur dilakukan tidak dari atas, namun dari dua arah samping sumur untuk
memudahkan pengangkatan dan tidak merusak jenazah. Penggali sumur dibagi
dalam dua kelompok yang masing - masing terdiri dari enam orang.
Menurut Pangat, mayat - mayat yang dia gali pada waktu itu sudah
dalam keadaan hancur lebur. Daging dan kulit jenazah hanya menempel sedikit
diantara tulang - belulang. Di kedalaman sumur yang sekitar dua belas meter,
regu pertama menemukan 78 mayat, sementara regu kedua menemukan 30
mayat. Semua jenazah dihitung hanya berdasarkan tengkorak kepala, karena
tubuh para korban telah bercampur-aduk sedemikian rupa.
Di dekat sumur juga dibangun prasasti nama - nama korban. Dari 108
korban yang diperkirakan, hanya 67 korban yang diketahui namanya. Sedangkan
41 lainnya tidak dikenali. Kawasan bekas sumur maut itu diresmikan pada 15
Oktober 1989 oleh mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Republik Indonesia ( MPR / DPR RI ), M. Kharis Suhud.
Ayah Kharis, Kyai Suhud, juga jadi korban saat itu. Kharis adalah tokoh
militer dan politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR / DPR
pada masa Orde Baru dari tahun 1987 - 1992. Tahun 1982 - 1987 ia memimpin
Fraksi ABRI dan tahun 1975 - 1978 ia menjabat sebagai Duta Besar Republik
Indonesia untuk Thailand. Dari keluarga PSM ini, tercatat sejumlah 14 orang
menjadi korban. Mereka selengkapnya adalah Kiai Imam Mursyid Imam Muttaqien
putra pendiri PSM KH Imam Muttaqien. Kemudian sesepuh pesantren yaitu Kiai
Noor, Kiai Achmad Baidlo Wr dan Kiai Muhammad Nurun. Para ustadz diantaranya
Ustadz Imam Faham, Ustadz Hadi Addaba, dan Ustadz Moech. Maidjo. Kemudian
para keluarga dekat dalam lingkungan pesantren, diantaranya Moech Soehoed,
Rekso Siswojo, Hartono, Kadimitr, Prijo Oetomo, Rofi’i Tjiptomartono dan Hussein.
Desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu ke Pabrik Gula
Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan Pabrik Gula Gorang Gareng. Gerbong kereta lori
dari Pabrik Gula Gorang Gareng itulah yang dijadikan kendaraan mengangkut para
tawanan untuk dibantai di sumur tua. Setelah sampai di Desa Soco, korban
dibawa dan dibuang ke sebuah sumur milik warga. Beberapa orang yang masih
hidup ditimbun hidup - hidup dengan batu besar. Korban pembunuhan keji yang
dilakukan PKI ditimbun jadi satu di lubang sumur tersebut.
Di Soco sendiri terdapat dua buah lubang utama yang dijadikan tempat
pembantaian. Kedua sumur tua itu terletak tidak jauh dari rel kereta lori
pengangkut tebu. Salah satu gerbong maut yang dinamakan Gerbong Kertapati
( kereta kematian ) juga diletakkan di dekat lokasi sumur. Menurut salah satu
pelaku sejarah waktu itu, Ibrahim, para korban ditangkap dari berbagai desa di
Kabupaten Madiun dan Magetan. Lalu dibawa ke kawasan Pabrik Gula ( PG )
Rejosari, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Kawedanan ( dulu Gorang Gareng),
Kabupaten Magetan.
Para korban ditempatkan di bangunan pabrik setempat dan ditembak
dalam satu ruangan yang berjubel. Lalu para tawanan yang disekap di Pabrik Gula
Rejosari diangkut secara bergiliran untuk dibantai di Desa Soco. Selain membantai
para tawanan di sumur Soco, PKI juga membawa tawanan dari jalur kereta yang
sama ke arah Desa Cigrok. Kini, desa Cigrok dikenal dengan nama Desa Kenongo
Mulyo.
Selain bekas sumur dan gerbong maut, di kawasan ini juga dibangun
sebuah pendopo yang dinamakan Pendopo Loka Pitra Dharma yang diresmikan
mantan Bupati Magetan Soedarmono tepat pada peringatan Hari Kesaktian
Pancasila 1 Oktober 1992. Disitu juga terdapat lapangan yang biasa digunakan
untuk upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Di samping sumur Tua Soco, di Madiun juga terdapat sumur tua lainnya
sebagai kuburan massal yakni Sumur Tua desa Bangsri, Sumur Tua Desa Cigrok,
dan Sumur Tua Desa Kresek yang juga dibangun Monumen diatasnya. Terdapat
sebuah tetenger ( penanda ) jika tempat tersebut adalah Monumen Soco yaitu
tugu yang tingginya sekitar dua meter dan di puncaknya ada lambang negara. Di
samping kanan tugu tersebut terdapat prasasti yang berisi daftar nama korban
keganasan PKI di Soco.

Anda mungkin juga menyukai