Anda di halaman 1dari 7

KRONOLOGI PEMBERONTAKAN DAN

PENUMPASAN PKI MADIUN


Amir syarifudin merupakan salah satu tokoh penggerak peristiwa
Madiun 1948. Terlibat nya Amir diawali rasa kecewa terhadap
pemerintahan Soekarno-Hatta karena kebijakan nya dianggap terlalu lunak
terhadap Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Amir dikenal sebagai
Perdana Menteri Indonesia yang memimpin kabinet sejak 3 Juli 1947
hingga mundur secara resmi pada periode keduanya, 29 Januari 1948.
Gejolak politik setelah Perjanjian Renville menjadi penyebab mundurnya
Amir.

Setelah keluar dari pemerintahan, Amir mendirikan organisasi


bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR). Kelompok ini gemar mengkritik
pemerintahan yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta
untuk segera membatalkan Perjanjian Renville dan mengganti Kabinet
Hatta dengan kabinet parlementer. Peristiwa ini menjadi awal
pembangkangan FDR terhadap pemerintahan Soekarno-Hatta. Mereka
tidak puas dengan kebijakan terkait perundingan Indonesia-Belanda. FDR
berkeinginan agar wilayah Indonesia tetap utuh di tengah siasat Belanda
yang ingin menguasai Indonesia kembali. Namun, Kabinet Hatta yang saat
itu memerintah tidak mengindahkan usulan-usulan dari FDR. Protes pun
dilakukan oleh simpatisan FDR, salah satunya dengan aksi mogok kerja
organisasi buruh.

Aksi FDR semakin berkembang setelah kedatangan Musso, salah


satu tokoh PKI yang sempat bersembunyi di Moscow, Uni Soviet, karena
dikejar-kejar pemerintah Hindia Belanda. Setelah menguasai FDR, Musso
bersama PKI, menjadi penggerak diproklamasikan nya “Soviet Republik
Indonesia”.

Gerakan separatisme yang ingin menggantikan pemerintahan Soekarno-


Hatta ini dapat ditumpas oleh operasi militer. Pasukan TNI berhasil
memburu para pemberontak dan berhasil menyelesaikan ancaman
separatisme pada akhir tahun 1948.
7 Januari 1948

Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda menimbulkan


perpecahan politik di dalam negeri. Masyumi dan PNI dua partai besar
pendukung Kabinet Amir syarifudin menarik menteri-menterinya dari
kabinet.

23 Januari 1948

Akibat ditinggalkan dua partai besar, Kabinet amir syarifudin goyah. Amir
mengembalikan mandat nya kepada Presiden Soekarno yang segera
menunjuk Mohammad Hatta, wakilnya, untuk membentuk kabinet baru.

26 Februari 1948

Amir syarifudin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang


merupakan gabungan dari Partai Sosialis (PS), Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo), Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia (PKI), Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia
(BTI). FDR menuntut Kabinet Hatta untuk dibubarkan dan diganti dengan
kabinet parlementer, Perjanjian Renville dibatalkan, menghentikan semua
perundingan antara Indonesia-Belanda, dan nasionalisasi semua
perusahaan Belanda/asing.

20 Mei 1948

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan


pertemuan dengan wakil-wakil partai, termasuk dengan FDR mengenai
kemungkinan reshuffle kabinet.

26 Mei 1948

Sebuah radio Moscow, Uni Soviet, mengabarkan bahwa pemerintahan Uni


Soviet meratifikasi perjanjian pertukaran konsul dengan pemerintah
Indonesia. Kabar ini dianggap memperkuat posisi tawar FDR dalam
menghadapi Hatta dan sebagai usaha untuk merusak perjanjian antara
Indonesia-Belanda. Namun, pemerintah Indonesia menunda ratifikasi
perjanjian tersebut sehingga membuat FDR kecewa.
27 Juli 1948

Perdana Menteri Mohammad Hatta menyetujui program-program nasional


yang dibahas dalam pertemuan dengan wakil-wakil partai dan FDR. Isi dari
program nasional tidaklah jauh berbeda dengan tuntutan awal FDR untuk
membatalkan seluruh perjanjian Renville. Namun, FDR bersikukuh agar
program nasional tersebut dijalankan oleh kabinet parlementer bukan
Kabinet Hatta. Usulan FDR ini ditolak oleh Mohammad Hatta.

23 Juni 1948

Terjadi aksi pemogokan buruh yang dikomandoi SOBSI. Diperkirakan


sekitar 15.000 buruh pabrik melakukan aksi mogok di Delangu. Mereka
menuntut agar pembagian bahan pakaian dan makanan tidak hanya
diberikan kepada buruh bulanan dan harian, tetapi juga kepada buruh
musiman. Akibatnya, perekonomian Indonesia terpukul.

16 Juli 1948

Perdana Menteri Hatta turun tangan menyelesaikan aksi pemogokan


dengan melakukan pertemuan langsung dengan SOBSI. Disepakati bahwa
aksi pemogokan akan dihentikan tanggal 18 Juli 1948 dan tuntutan para
buruh dikabulkan.

10 Agustus 1948

Musso, tokoh PKI, tiba di Indonesia dari Moscow, Uni Soviet. Musso
melarikan diri sampai ke Soviet karena menjadi buronan pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Kedatangan Musso memberi angin segar bagi
FDR yang sedang berkonflik dengan Hatta.

23 Agustus 1948

Musso menulis di majalah Revolusioner milik Pesindo yang intinya


mengkritik Soekarno-Hatta yang dinilai salah arah dalam memperjuangkan
revolusi Indonesia. Musso mendesak Indonesia harus membatalkan
Perjanjian Renville dan segera meresmikan hubungan diplomatik dengan
Uni Soviet untuk mengimbangi tekanan dari Amerika Serikat dan Belanda
terhadap Indonesia.
1 September 1948

Musso membentuk politbiro PKI yang merupakan fusi dari partai-partai


yang tergabung dalam FDR. Pemimpin tertinggi berada di tangan Musso.
Amir Sjarifuddin ditempatkan di bagian pertahanan.

2 September 1948

Perdana Menteri Mohammad Hatta menyatakan bahwa pemerintah tidak


akan memihak salah satu kubu, baik kubu Amerika Serikat maupun kubu
Uni Soviet.

13 September 1948

Orang-orang PKI menculik dan menuduh dr. Muwardi tokoh militer dari
Barisan Banteng yang anti terhadap FDR. Akibatnya pecah pertempuran di
Solo antara Barisan Banteng dengan pasukan FDR.

17 September 1948

Presiden Soekarno menyatakan bahwa daerah Solo dalam keadaan


bahaya. Untuk memulihkan keamanan Kolonel Gatot Subroto diangkat
menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang, dan daerah
sekitarnya. Gatot Subroto memerintahkan untuk menghentikan peperangan
di Solo, namun tidak efektif sehingga membuat pasukan Siliwangi dan
pasukan FDR tetap bertempur.

18 September 1948

Setelah menguasai FDR, PKI mempersiapkan kantong-kantong


pertahanan di beberapa kota yang dikuasai nya seperti di Madiun, Kediri,
Ponorogo, Blitar, Nganjuk, Ngawi, dan Purwodadi. Di Madiun kantor-kantor
pemerintahan dan pertahanan dikuasai oleh PKI. Di Balai Kota Madiun,
mereka memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Supardi,
tokoh PKI yang menjadi wakil walikota Madiun diangkat menjadi residen,
sedangk19 September 1948

Kabinet Hatta bersidang untuk menghadapi pemberontakan dengan


kekuatan senjata. Presiden Soekarno juga menyampaikan pidatonya di
radio yang isinya “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa
bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang
insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara RI yang
merdeka, tidak dijajah oleh negara mana pun.” Seruan Soekarno kemudian
dijawab oleh Musso juga lewat radio yang mengatakan, “Soekarno-Hatta
budak-budak Jepang dan Amerika … Musso selamanya menghamba
rakyat Indonesia.”

20 September 1948

Dewan Siasat Militer menyatakan bahwa Madiun harus direbut secepatnya


dan menumpas segala bentuk pemberontakan PKI. Operasi militer yang
akan dijalankan menetapkan tiga sasaran yang harus direbut yakni
Purwodadi, Pacitan, dan Madiun yang merupakan sasaran utama.

21 September 1948

Rapat siasat staf Gubernur Militer menetapkan rencana operasi. Brigade


II/Siliwangi-Kru di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin bergerak dari
arah Surakarta-Karanganyar-Tawangmangu-Sarangan-Plaosan-Magetan-
Maospati dan merebut sasaran pokok Madiun. Brigade II/Siliwangi di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Koesno Oetomo bergerak melalui
Surakarta-Kalioso-Gemolong-Gundih merebut sasaran utama Purwodadi.
Brigade tambahan Siliwangi terdiri dari Batalyon-batalyon Nasoehi dan
Hoeseinsjah bergerak melalui Surakarta-Sukoharjo-Wonogiri-Baturetno-
Giriwoyo-Punung merebut sasaran Pacitan.

22 September 1948

Panglima Besar Jenderal Soedirman di Balai Kota Solo menyampaikan


amanahnya kepada pasukan Siliwangi yang akan merebut Madiun.
Dukungan moral ini juga mengubah sikap masyarakat yang saat itu banyak
mengumpat terhadap FDR.
23 September 1948

Djoko Sujono salah satu perwakilan militer yang mendukung PKI


mengundang para perwira TNI untuk melakukan pertemuan di Balai Kota
Madiun. Namun, Jenderal Soedirman menolak undangan tersebut karena
mendakwa Djoko Sujono dan beberapa perwira TNI yang mendukung PKI
telah melakukan pengkhianatan.

24-26 September 1948

Sejumlah pasukan Siliwangi yang melakukan operasi memenangkan


pertempuran, sehingga wilayah yang dikuasai PKI dapat direbut kembali.
Terjadi penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI setempat dan para
tawanan berhasil dibebaskan. Pasukan Siliwangi semakin mendekat ke
Madiun sebagai sasaran utama yang akan direbut.

28-29 September 1948

Operasi militer Siliwangi memberikan hasil bagus sehingga membuat PKI


di Madiun semakin terdesak posisinya. Hal ini membuat Musso dan
pimpinan PKI mudur dari Madiun menuju selatan ke arah Gunung Wilis.

Setelah Madiun direbut kembali, TNI terus mengadakan pengejaran dan


pembersihan terhadap sisa-sisa pemberontak PKI di sekitar Madiun dan
Gunung Lawu. IPPHOS/1948

30 September 1948

Mayor Sambar Atmadinata dan Batalyon Kian Santang, diikuti satu Peleton
Taruna Akademi Militer, memasuki Kota Madiun tanpa perlawanan dari
pasukan PKI. Mereka menduduki tempat-tempat yang penting untuk
mencegah para pemberontak menguasai kembali Madiun, dan menyusun
rencana pengejaran terhadap pasukan PKI yang melarikan diri.
31 Oktober 1948

Laporan yang diterima oleh Mayor Omon Abdurachman di Desa Sumoroto,


Ponorogo memberitakan bahwa Musso, tokoh penting PKI, tertembak mati
setelah baku tembak dengan pasukan militer.

28 November 1948

Pasukan PKI semakin terjepit setelah Musso pimpinannya tertembak mati.


Sisa-sisa pasukan PKI ditangkap oleh pasukan Batalyon Kemal Idris di
daerah Babalan, Purwodadi.

29 November 1948

Amir Syarifudin beserta para pimpinan PKI menyerahkan diri kepada


pasukan TNI di daerah Babalan, Purwodadi. Peristiwa ini mengakhiri
pemberontakan PKI Madiun.an Kolonel Djoko Sujono menjadi gubernur
militer.

Anda mungkin juga menyukai