Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Setelah memproklamasikah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia


memasuki masa dimana harus berdiri sendiri sebagai negera merdeka. Tantangan awal sebagai bayi
kecil yang baru terlahir, bangsa Indonesia harus menghadapi banyak tantangan. Permasalahan yang
dihadapi bangsa Indonesia berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern). Belanda yang ingin
kembali menguasai Indonesia merupakan masalah utama. Akan tetapi masalah lainnya juga harus
dihadapi adalah masalah disintegrasi bangsa yang baru terbentuk. Di daerah-daerah terjadi
pergolakan yang ingin memisahkan diri dari ibu pertiwi. Pemberontakan yang terjadi setelah
Indonesia Merdeka seperti PKI Madiun 1948, APRA, dan Andi Aziz. Pada makalah ini kami akan
membahas pemberontakan tersebut

B. TUJUAN
Berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita, serta mengetahui lebih
dalam sejarah apa saja yang terjadi pada Indonesia lampau.
BAB 2
KAJIAN TEORI

A. Pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir
Syarifuddin tahun 1948, yaitu tanda tanganinya perundingan Renville, ternyata perundingan
Renville yang sangat merugikan Indonesia. Maka Amir Syarifuddin turun dari kabinetnya dan
digantikan oleh Kabinet Hatta. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk
Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948. FDR selalu berusaha melakukan
kegiatan yang menyebabkan muncul bentrokan fisik dengan para lawan politiknya. Seperti pada
tanggal 5 Juli 1948 kaum buruh yang dibawah pengaruh FDR mengadakan pemogokan di Pabrik
Karung Delanggu, Klaten. 5 hari kemudian terjadi bentrokan dengan Serikat Tani Islam (STII),
dimana pemogokan ini ditentang oleh organisasi tani Masyumi
Pada Agustus 1948, Musso (tokoh Komunis yang tinggal di Moskow sejak 1926)
kembali ke Indonesia dan memberikan doktrin baru bagi kekuatan komunis di Indonesia.
Keadaan ini membuat Amir Syarifuddin dengan FDRnya bersama dengan Partai Buruh
memutuskan untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), pimpinan Muso, Alimin,
Semaun dan Darsono. Bersama PKI, FDR merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Melalui
kampanye-kampanye politiknya Musso mengecam kabinet Hatta, menurutnya hanya PKI yang mampu
menyelesaikan revolusi di Indonesia, ia menuduh pemerintahan Hatta telah membawa Negara
Indonesia pada “penjajahan baru” dalam bentuk lain. Meskipun mendapat kecaman dan
yentangan keras dari Musso dengan FDR tetapi Hatta tetap melaksanakan programnya terutama
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera). Musso menentang karena dengan
program ini menyebabkan berkurangnya kader komunis di TNI. Tetapi upaya Musso mengalami
kegagalan karena kabinet Hatta didukung oleh partai besar seperti PNI dan Masyumi serta
beberapa organisasi pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan Seberang di bawah
pimpinan Mr. Latuharhary.
Puncak dari gerakan PKI ini adalah tanggal 18 September 1948 dengan
memproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia melalui Radio Gelora Pemuda di
Madiun dan Keinginan Amir Syarifudin akan terwujudnya konsep tentara merah. Konsep itu
langsung ditolak secara mentah oleh Jendral Soedirman dan Jendral Oemar Soemoharjo. Kedua
Jendral itu langsung menjelaskan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) adalah tentara rakyat
dan tentara pejuang, bukan tentara model asing apalagi model tentara merah.Menyertai gerakan
ini, mereka mengadakan aksi-aksi kejam, dengan mengadakan penculikan dan pembunuhan
terhadap tokoh-tokoh pemerintah dan agama. Salah satu tokoh pemerintah yang menjadi korban
gerakan ini adalah Gubernur Jawa Timur, R.M. Suryo yang diculik dan dibunuh.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan
menghancurkan pengacau-pengacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan
Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan
Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat
dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang
perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam
dikacau balaukan.
Menindak gerakan tersebut adalah dengan mengajak rakyat Indonesia untuk
menentukan sikap memilih Soekarno-Hatta atau memilih Musso-Amir. Pemerintah melakukan
Gerakan Operasi Militer (GOM) I dengan pemimpin panglima Sudirman yang mengerahkan
kekuatan TNI dan Polri dalam rangka mematahkan kekuatan pemberontak. Operasi ini dapat
dilakukan dalam 2 minggu sehingga pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun berhasil
direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak lari, dan dalam pengejaran Musso tertembak
hingga meninggal. Operasi tersebut dilakukan hingga ke daerah-daerah lain dan dalam waktu 2
bulan operasi penumpasan ini dianggap selesai. Tetapi tokoh-tokoh yang tertangkap belum
sempat diadili. Hal ini dikarenakan, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi
Militer yang kedua sehingga banyak tokoh PKI yang berhasil lolos. Akan tetapi, Amir
Syarifuddin berhasil ditembak mati.

B. Pemberontakan APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil


Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat muncul gerakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten Raymond Westerling dalam dinas tentara kerajaan
Belanda (KNIL). Gerakan ini memanfaatkan kepercayaan rakyat akan datangnya Ratu Adil.
Westerling memahami penderitaan rakyat Indonesia selama masa penjajahan Belanda dan
Jepang yang mendambakan adanya kemakmuran seperti yang terdapat dalam Ramalan
Jayabaya. Menurut ramalan tersebut akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil
yang akan memerintah dengan adil dan bijaksana.
sehingga rakyat menjadi makmur dan sejahtera. Adapun tujuan sebenarnya dari gerakan APRA
adalah :
1.Tetap berdirinya Negara Pasundan
2.APRA sebagai tentara Negara Pasundan
Hal tersebut bertentangan dengan hasil konferensi Antar Indonesia dimana Angkatan Perang
Nasional adalah APRIS.
Westerling berusaha untuk mempertahankan adanya negara-
negara federal dalam Republik Indonesia Serikat melawan kesatuan Republik Indonesia yang
dipimpin oleh Sukarno dan Hatta yang dianggapnya didominasi oleh orang Jawa. APRA direkrut
dari 18 faksi anti-Republik yang beragam, termasuk personel mantan gerilyawan
Republik, DarulIslam, Ambon, Melayu, Minahasa,KNIL yang telah didemobilisasi, Regiment
Speciale Troepen (Resimen Pasukan Khusus KNIL), dan Tentara Kerajaan Belanda. Tahun 1950,
APRA telah berevolusi dari serangkaian unit pertahanan diri pedesaan menjadi kekuatan tempur
berjumlah 2.000 personil.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai
negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA
sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalam waktu 7 hari dan
apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan
kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld,
Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet
RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak
nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk
menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak
Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika
Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta
untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling
mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember
1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun
dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak
membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan,
Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni
Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan
kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld
menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA atau Westerling meluncurkan kudeta menentang
pemerintah Republik Indonesia. Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara menduduki Bandung,
mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Mereka telah merencanakan untuk
menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka termasuk Menteri
Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Kegagalan kudeta
ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa melarikan
diri ke Singapura. Tanpa pemimpin yang kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari
1950. Tindakan APRA tersebut pada akhirnya menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan justru
mempercepat pembubaran Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, mengubah
Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.

C. Pemberontakan Andi Aziz


Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali dengan
adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena
adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera
menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung
terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di
masyarakat.

Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :


 Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara
Indonesia Timur.
 Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
 Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur
Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan
1 batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok
masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk “Pasukan
Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi
Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan
berhasil menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana
Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan diganti Ir.
Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa
NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950
mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan
diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim
pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh
Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili
sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di
Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan
dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat
di Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama karena
keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari
Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota
Makassar pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur
pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL. 8 Agustus
1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah
sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral
Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju untuk dihentikannya tembak
menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus meninggalkan Makassar.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin dan
juga berdirinya Soviet Republik Indonesia dan Keinginan Amir Syarifudin akan terwujudnya konsep
tentara merah. Konsep itu langsung ditolak secara mentah oleh Jendral Soedirman dan Jendral
Oemar Soemoharjo. Kedua Jendral itu langsung menjelaskan bahwa Tentara Republik Indonesia
(TRI) adalah tentara rakyat dan tentara pejuang, bukan tentara model asing apalagi model tentara
merah. Menindak gerakan tersebut, pemerintah mengerahkan kekuatan TNI dan Polri dalam rangka
mematahkan kekuatan pemberontak. Sehingga pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun
berhasil direbut kembali oleh TNI.
Pemberontakan APRA yang dipimpin Westerling bertujuan untuk menetapkan negara
pasundan, APRA sebagai tentara Pasundan, dan juga negara-negara federal dalam bentuk RIS.
Westerling mengirimkan ultimatum terhadap pemerintah RIS, jika dalam 7 hari tidak ada jawaban
maka akan menimbulkan perang besar. Westerling dibantu juga oleh Sultan Hamid II. Pada
tanggal 23 Januari 1950, Westerling meluncurkan kudeta. Walaupun milisi ini berhasil untuk
sementara menduduki Bandung, mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Kegagalan
kudeta ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa
melarikan diri ke Singapura dan Sultan Hamid II di tahan.
Pemberontakan Andi Azis terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang
anti-federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi
demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Untuk mengatasi
pemberontakan tersebut pemerintah mengeluarkan perintah dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,tetapi Andi Aziz
terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili.

Saran
Persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dalam menghimpun kekuatan sangat penting untuk
melawan pemberontakan. Dengan adanya pemberontakan diharapkan pemerintah Indonesia juga
segera tanggap dalam menghadapinya agar tidak menimbulkan pemberontakan lain. Oleh karena
keberadaan negara yang masih berkembang ini diharapkan siap menghadapi segala tantangan yang
datang dari dalam maupun luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai