Anda di halaman 1dari 4

Misteri Tiga Orang Kiri

indoprogress.com/2011/01/misteri-tiga-orang-kiri/

January 5, 2011

RESENSI BUKU

SEORANG pria berparas dingin, dengan mulut berlumur asap, serius berkata, “Jawa
adalah kunci…”, “Djam D kita adalah pukul empat pagi…”, “Kita tak boleh terlambat…!”

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa dalam film berjudul
Pengkhianatan G-30-S/PKI. Melalui film itu, Syu’bah berhasil menciptakan bayang-
bayang di pikiran masyarakat tentang sosok Aidit: lelaki jahat penuh muslihat, haus
kekuasaan, dan dengan dingin memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Tapi itu dulu saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika tafsir sejarah tentang Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik penguasa. Pasca gerakan
reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat
mempertanyakan kebenaran tafsir itu. Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia
bermunculan. Tak terkecuali tentang Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzzaman, yang coba
ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Liputan Khusus
majalah itu.

1/4
Masa kecil dan muda Aidit tidaklah semengerikan yang digambarkan Orde Baru. Dia lahir
di Belitung, Sumatra Selatan, pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit, dari
keluarga terpandang dan berada. Achmad dikenang sebagai sosok abang yang
pelindung. Di kampung, Achmad muda dikenal pandai bergaul dan jago berenang. Pun,
seperti kebanyakan pemuda Belitung seusianya, dia rajin mengaji. Achmad bahkan
terkenal sebagai tukang azan.

Garis politik Achmad terbentuk sejak dia rajin bergaul dengan buruh-buruh
Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, perusahaan timah milik Belanda,
yang letaknya sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya. Tapi karier politiknya baru
dimulai saat dia bergabung dengan Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan
pemuda yang dimotori oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan
Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Kecerdasan dan keluwesan Achmad
segera membawanya menjadi ketua umum Pertimu. Di saat aktivitas politiknya menanjak
cepat itulah Achmad Aidit mengganti nama depannya menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang proklamasi, Aidit yang tergabung dalam kelompok pemuda Asrama


Mahasiswa Menteng 31, terlibat dalam aksi heroik penculikan Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok. Semangat revolusi Aidit membuncah ketika Musso datang dari Rusia.
Baginya, kehadiran Musso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi. Selang
waktu sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, pecah
Peristiwa Madiun 1948. Aidit buron. Kabar tersiar dia kabur ke Vietnam Utara. Ada pula
yang mengatakan dia hanya modar-mandir Jakarta-Medan.

Dua tahun kemudian Aidit muncul lagi. Bersama Njoto dan Lukman, dia
mengkonsolidasikan kekuatan partai yang sempat limbung dan terpecah-belah. Dalam
waktu cepat, “trisula” ini berhasil mengembalikan kebesaran partai. Tahun 1954 Aidit
mengambil-alih kepemimpinan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta
membawa PKI menjadi partai terbesar keempat dalam pemilu 1955.

Aidit bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Dia punya teori sendiri tentang
Revolusi. Baginya, revolusi bisa berhasil jika disokong setidaknya 30 persen kekuatan
tentara. Tapi teorinya meleset. Gerakan 30 September 1965 yang dia rencanakan gagal.
Aidit tutup buku dengan cara tragis: di Solo tentara menangkapnya dan menghujaninya
dengan satu magazin peluru kalashnikov.

Njoto berbeda dengan kebanyakan orang komunis. Penampilannya necis. Jiwa seninya
cenderung melankolis. Meski akrab dengan pemikiran Marxis dan Leninis, Njoto tak
menganggap “kapitalis” harus selalu dimusuhi. Dia belajar politik secara sembunyi-
sembunyi. Keluarganya nyaris tak mengetahuinya.

Petualangan politik Njoto dimulai ketika terlibat dalam perebutan senjata Jepang di
Surabaya, Bangil, dan Jember. Sampai suatu hari muncul berita: Njoto menjadi anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, sebagai wakil ketua PKI
Banyuwangi.

2/4
Njoto berkenalan dengan Aidit dan Lukman di Yoyakarta. Kesamaan ideologi membuat
ketiganya cepat akrab. Njoto menjabat wakil Sekjen II lalu wakil ketua II CC PKI. Dalam
prahara 30 September 1965, banyak orang tak percaya keterlibatan Njoto. John Rossa
dalam Dalih Pembunuhan Massal menulis, “Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan
sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis.” Aidit
menganggap Njoto lebih Sukarnois ketimbang komunis. Sementara wartawan senior
Joesoef Isak menganggap ketidaksenangan Aidit terhadap Njoto karena Njoto, yang
telah beristri, memiliki kekasih, seorang perempuan asal Rusia. Bagi Aidit, perbuatan
Njoto tak etis dan mengganggu citra partai. Joesoef Isak menambahkan, sejak 1964
Njoto sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partai.

Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan


dasar logika gerakan itu: “Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal
membenarkan adanya suatu coup d’etat?”

Di mata anak-anaknya, Njoto dikenal sebagai sosok ayah penyayang. Di waktu


senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem atau berpakansi ke
pantai. Kebahagiaan keluarga ini sirna pascaperistiwa 1965. Njoto jadi pelarian. Kabar
tersiar dia ditangkap tentara dan kemudian dieksekusi mati. Sayang, keluarga Njoto tak
pernah tahu jasad atau makamnya.

Tokoh PKI lain yang kerap disangkutpautkan dalam peristiwa 1965 adalah Sjam
Kamaruzzaman. Sjam lelaki misterius asal Tuban, Jawa Timur. Polisi militer mencatat
setidaknya terdapat lima nama alias yang dimiliki Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Moechtar,
Ali Sastra, dan Karman. Sjam merupakan mozaik penting dalam prahara itu. Tapi kisah
hidup Sjam lebih mirip mitos ketimbang sejarah. Bahkan banyak petinggi PKI tak tahu
siapa dirinya.

Aidit mengenal Sjam ketika keduanya aktif di Serikat Buruh Kapal Pelabuhan di Tanjung
Priok tahun 1949. Ketika pada 1964 istri Sjam meninggal akibat tifus, Aidit makin dekat
dengan Sjam. Dia meminta Sjam mengetuai sebuah organisasi rahasia PKI, yang disebut
Biro Khusus. Tugas Biro Khusus mempengaruhi dan mengurus kelompok tentara yang
berhaluan kiri.

Dalam operasi G30S, Aidit kurang korektif dengan laporan Sjam yang kerap tak akurat.
Satu batalyon Pasukan Gerak Cepat TNI Angkatan Udara yang direncanakan datang, tak
pernah muncul. Pasukan tank dan panser yang diharapkan datang dari Bandung pun tak
pernah ada. Dan Bung Karno, yang digadang-gadang sebagai dalil aksi, juga menolak
untuk menyetujuinya. Operasi itu dapat dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam.

Kurang lebih dua tahun Sjam menjadi pelarian dengan melakukan penyamaran dari satu
kota ke kota lainnya. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 9 Maret 1967, di tempat
persembunyian di Cimahi, Jawa Barat. Di penjara, Sjam dikabarkan menjadi informan
tentara untuk membocorkan siapa saja anggota militer yang memiliki kaitan dengan PKI.

3/4
Sama seperti Njoto, akhir riwayat Sjam tak pernah jelas. Menurut sebuah versi, Sjam
dieksekusi mati pada September 1986 di Kepulauan Seribu. Tapi toh keluarga Sjam tetap
tak mengetahui kebenaran versi ini.

Kisah Aidit, Njoto, dan Sjam dalam buku ini menunjukan kepada kita bahwa perjalanan
hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah tidaklah bisa ditempatkan secara
hitam dan putih. Dan terlepas dari segala misteri serta kontroversi yang menyelimuti
ketiganya, agaknya tokoh-tokoh kiri ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah
ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”***

Jay Akbar
Wartawan majalah Historia

4/4

Anda mungkin juga menyukai