Anda di halaman 1dari 1

Meluruskan Sejarah (Bagian 1)


Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, dan
pemerintah Belanda sendiri dipaksa mengungsi,
meninggalkan negerinya sendiri, hilanglah sudah "hak
sejarah” Belanda atas jajahannya yang terbesar dan
terkaya: Hindia Belanda
27 Oktober 2019 | 11:39

Pertempuran Sekutu dan Jepang di Papua pada Perang Dunia II/Istimewa

Koran Sulindo – Di antara mahasiswa Irian Barat


yang terlibat dalam separatisme, ada yang
berpendapat perlunya pelurusan sejarah, berkaitan
dengan pulau di mana sampai sekarang masih terus
terjadi pelanggaran berat HAM. Sebuah keinginan
yang sangat masuk akal, apalagi di bawah sebuah
rezim yang terbukti telah memutar balik dan
menyembunyikan fakta sejarah yang tidak
menguntungkan dan tidak sesuai dengan
kepentingannya.

Sementara orang mengajukan Perjanjian New York


1962, atau operasi Trikora 1961 atau Pepera 1969
sebagai titik tolak dan fakta untuk membuktikan
“pencaplokan” dan “penjajahan kolonial” Indonesia
terhadap Irian Barat. Fakta-fakta ini hanya sebagian
saja dari kejadian sejarah yang masih harus
diungkap latar belakang dan hubungannya dengan
sikap serta kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Masalah batas-batas wilayah Republik Indonesia


timbul ketika dan karena pemerintah kolonial Belanda
menolak mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Usaha gigih Belanda untuk kembali menjajah,
tercermin dalam politik pecah belah dan adu
dombanya, bahkan dua kali agresi militer, tahun 1947
dan 1948. Bagian ini hampir tidak pernah disinggung
oleh para pendukung separatisme.

Jepang Berkuasa

Pada 1937, dalam menghadapi bahaya fasisme, atas


inisiatif Amir Syarifudin, tokoh-tokoh komunis dan
nasionalis lainnya seperti, Sartono, A.K. Gani,
Wikana dan lain sebagainya mendirikan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo merupakan
partai nasionalis pertama yang menerima anggota
dari kalangan kaum peranakan Tionghoa. Keputusan
itu diambil dalam Kongres II di Palembang pada
1939.

Pada tahun yang sama, Gerindo mengambil inisiatif


untuk mendirikan sebuah federasi dari berbagai
partai politik yang ada ketika itu, dengan nama
Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Di dalamnya
terdapat Gerindo, Parindra, Partai Sarekat Islam
Indonesia, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik
Indonesia, Partai Arab Indonesia, Pasundan dan
Persatuan Minahasa.

Perubahan musuh pokok telah mengubah taktik


perjuangan. Gerindo dan GAPI mengajak Belanda
untuk bekerja sama menghadapi bahaya agresi
Jepang. Tapi, Belanda menolak.

Salah satu sumber alam yang selalu dicari untuk


dikuasai oleh kaum imperialis adalah minyak.
Persaingan dan rebutan sumber alam itu merupakan
salah satu penyebab perang antar-imperialis. Salah
satu sumber alam yang dicari Jepang di Hindia
Belanda juga minyak. Tidak heran kalau pulau
pertama yang disasar ada-lah Tarakan, di Kalimantan
Timur, di mana Belanda sudah menemukan minyak
pada akhir abad ke-19.

Sejak itu Belanda melakukan pengeboran minyak


mentah dari perut buminya. Jepang berhasil
menduduki Tarakan tanggal 12 Januari 1942.
Balikpapan merupakan sumber minyak kedua yang
jatuh ke tangan Jepang, 24 Januari 1942.

Setelah pertahanan dan perlawanan Belanda di


Pontianak, Samarinda dan Banjarmasin ditundukkan,
Jepang mengarahkan serangannya ke Sumatera
dan14 Februari 1945, Jepang menduduki
Palembang, di mana juga terdapat sumber minyak.

Di samping terus meluaskan kekuasaannya ke


daerah Sumatera lainnya, sasaran serangan Jepang
berikutnya adalah Pulau Jawa, pusat pemerintahan
kolonial di Hindia Belanda. Jepang mendaratkan
balatentaranya hampir sekaligus di Banten, Eretan
(sebelah barat Cirebon) dan Kragan di Jawa Tengah.
Usaha Belanda untuk merebut kembali Subang tak
berhasil. Setelah pertempuran singkat, bandar udara
Kalijati jatuh ke tangan Jepang. Lalu, pada 5 Maret
1942, Jepang menduduki Batavia. Setelah Bogor dan
Lembang tak dapat dipertahankan, Panglima
Tertinggi Tentara Hindia Belanda, Letjen Hein ter
Poorten, di bawah ancaman Bandung akan dibom,
terpaksa menyerah tanpa syarat. Dengan begitu,
tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan
kolonial Belanda di Hindia Belanda. Dimulailah
kekuasaan fasisme Jepang di bumi Nusantara.

Sementara itu di Hindia Belanda bagian timur,


Jepang mendaratkan tentaranya di Fakfak tanggal 1
April 1942. Dari situ, serangan ditujukan ke Ternate,
Sorong dan Manokwari. Tentara Belanda dipukul
mundur dan tanggal 19 April 1942, Jepang berhasil
merebut Hollandia (sekarang Jayapura). Secara garis
besar dan pada pokoknya, Hindia Belanda dari
Sabang sampai Merauke jatuh ke tangan Jepang.
Jepang tidak membatasi atau mengecualikan Irian
Barat dalam penaklukannya terhadap Belanda.

Di Eropa, 10 Mei 1940, tentara Nazi Jerman


menyerbu Belanda. Dalam waktu tiga hari Belanda
tekuk lutut. Pemerintah Kerajaan serta Ratunya
melarikan diri ke Inggris.

Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang,


dan pemerintah Belanda sendiri dipaksa mengungsi,
meninggalkan negerinya sendiri, hilanglah sudah
“hak sejarah” Belanda atas jajahannya yang terbesar
dan terkaya: Hindia Belanda. Ini juga kenyataan yang
harus diingat dalam menganalisa kejadian-kejadian
sejarah berikutnya. “Hak sejarah” Belanda atas
Nusantara telah dihancurkan oleh fasisme Jepang
dan Jerman Nazi.

Selama Jepang menduduki Irian Barat, rakyat


melakukan perlawanan dengan senjata yang
sederhana seperti parang dan panah. Misalnya,
perlawanan terbuka terjadi bulan Oktober 1942, di
pantai Manswan, Biak Selatan, dengan korban
sangat besar di pihak rakyat. Mereka yang selamat
meneruskan perlawanan dalam kelompok-kelompok
kecil untuk mengganggu kegiatan Jepang.

Silas Papare, salah seorang tokoh Irian Barat,


pembela kemerdekaan Indonesia, memainkan peran
penting dalam perlawanan terhadap Jepang.
Sumbangan besarnya telah dihargai melalui
pemberian Bintang Perunggu dari Ratu Wilhelmina, 5
April 1945. Penghargaan juga diberikan oleh Biro
Intelijen Tentara Sekutu, yang ditandatangani oleh
Mayor Jenderal G.A. Willongby, 31 Oktober 1945,
berkat jasa-jasanya dalam membantu Sekutu
melawan Jepang.

Sebelum proklamasi diumumkan, tentara Sekutu


telah membebaskan Irian Barat. NICA (Pemerintahan
Sipil Hindia Belanda) membonceng Sekutu untuk
menguasai kembali jajahannya. Di bawah kondisi
negerinya yang hancur, Belanda tidak punya
kekuatan militer sendiri untuk mengusir Jepang. AS
dan Australialah yang membantu Belanda berkuasa
kembali di kepulauan Nusantara bagian Timur, yaitu
Irian Barat, kepulauan Maluku, Sunda kecil dan
Sulawesi.

Kembalinya kekuasaan Belanda di Irian Barat tidak


mendapat tantangan serius dari rakyat, karena
memang tidak ada kekuatan rakyat yang
terorganisasi secara memadai.

Jelang Kemerdekaan

Soal wilayah yang didiskusikan di Badan Penyelidik


Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 10
hingga 11 Juli 1945, sudah dibahas dalam “Rasisme
dan Separatisme di Papua” (Koran Sulindo, 8
Oktober 2019). Karena terdapat perbedaan
pendapat, dalam kaitannya dengan Papua, antara
Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta, maka
dilakukan pemungutan suara. Hatta yang ingin
menggantikan Papua dengan Malaya dan Borneo
Utara hanya mendapat 6 suara. Artinya mayoritas
setuju bahwa wilayah Indonesia meliputi Papua.

Akhirnya, diputuskan bahwa wilayah Indonesia


adalah wilayah bekas Hindia Belanda termasuk
Papua. Ini sesuai dengan hukum internasional yang
mengakui prinsip Uti Possidetis Juris. Anehnya,
Martin Sitompul, dalam “Debat Pendiri Bangsa Soal
Papua”, menganggap konsep Hatta-lah yang paling
rasional. Apakah menggantikan Papua dengan
Malaya dan Borneo Utara, rasional? Di mana
rasionalnya? Konsep itu justru bertentangan dengan
hukum internasional. Borneo Utara dan Malaya
bukan jajahan Belanda.

Pendukung separatisme dan media propagandanya


sering mengangkat Hatta dengan konsep Indonesia
tanpa Papua, seolah-olah itu suara mayoritas dan
seolah-olah masalah wilayah masih belum selesai
pendiskusiannya. Padahal Hatta pun ikut dalam
proklamasi kemerdekaan dan menjadi wakil presiden
Republik Indonesia. Artinya dia pun akhirnya
menerima suara mayoritas. Mengapa kaum separatis
terus menggugat dan menguar-uarkan sesuatu yang
sebetulnya sudah bukan masalah lagi? Seperti
Benny Wenda yang ngotot mengatakan Papua tidak
pernah menjadi bagian dari Indonesia (Aljazeera, 4
September 2019). Ini salah satu pandangan yang
harus diluruskan, karena tidak sesuai dengan fakta
sejarah.

Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, menganggap


forum BPUPKI bukan wadah yang representatif,
karena tidak ada wakil dari Papua. Apakah tiap suku
bangsa yang hidup di kepulauan Nusantara ini punya
wakil di BPUPKI ? Apakah suku bangsa Dayak,
orang Toraja atau orang Sasak ingin memisahkan diri
dari Indonesia, karena merasa tidak turut serta dalam
diskusi itu. Seandainya, ketika itu sudah ada
kesadaran politik yang rata di semua suku bangsa
Nusantara, dan ada penolakan terhadap partisipasi
wakil suku bangsa tertentu, barulah kita dapat
memprotes BPUPKI sebagai badan yang
diskriminatif.

Adalah satu fakta bahwa jumlah wakil yang berasal


dari Jawa merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Ini
menjadi dasar untuk menuduh seolah-olah
kemerdekaan Indonesia diperjuangkan hanya oleh
orang Jawa untuk kepentingan sukunya sendiri
dengan mengorbankan kepentingan suku-suku
bangsa lain.

Tapi, anggota BPUPKI yang berasal dari Maluku pun,


oleh akademisi, Hendry Reinard Apituley SH, tidak
dianggap sebagai wakil dari Maluku. Ia
menganggapnya sebagai orang Indonesia terkemuka
di Pulau Jawa. Begitu juga orang-orang Maluku yang
ditemui Bung Karno dalam rangka kemerdekaan,
antara lain, Piet de Queljoe dan Dolf Jans dari
Jakarta, Dr. Latumeten dari Lawang, Dr. Augustien,
Piet Matulessy dan Mias Supusepa dari Bandung,
Tjaka Riupassa dari Semarang, M. Ruhupatty dari
Magelang, Dr. Thom Pattiradjawane, Librek Nanlohy
dan Dr. S. Latupeirissa dari Malang, Dr. Siwabessy
dan Sasabone dari Surabaya.

Oleh karena itu, Apituley tetap menganggap Maluku


tidak diwakili dalam BPUPKI. Kalau kita ikuti
logikanya, yang dianggap wakil dari Maluku adalah
orang yang menentang Sukarno dan anti-orang
Jawa. Sedangkan mereka yang sadar dan turut serta
dalam pembangunan bangsa Indonesia, tidak
dianggap orang Maluku. Dengan begitu, kehadiran
Poreu Ohee, kepala kampung di Sentani, yang diutus
Sultan Tidore untuk bergabung dengan Jong Ambon
dalam Kongres Pemuda Kedua, 1928, tidak akan
diakui sebagai wakil Papua oleh para pendukung
separatisme. Karena dia setuju dengan Satu Nusa,
Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Para perintis dan pembela kemerdekaan RI ketika


itu, sadar bahwa keberpihakannya kepada RI sama
sekali tidak berarti mereka mengkhianati suku
bangsanya. Dr. Van der Plas menganggap semua
orang Ambon pro-Belanda. Maka dicobanya
meyakinkan Dr. Siwabessy supaya bekerja sama
dengan Belanda. Usaha saudara kandungnya
sendiri, seorang perwira KNIL, juga gagal
meyakinkan Siwabessy untuk turut membentuk
Negara Maluku, boneka Belanda.

Belanda menjadikan Jawa sebagai pusat kehidupan


politik, ekonomi dan kebudayaan Hindia Belanda.
Bersama dengan rakyat kepulauan Maluku sebagai
penghasil utama rempah-rempah, rakyat Jawa
merupakan sasaran pertama pengisapan dan
penindasan Belanda. Jangan lupa perkebunan tebu,
kopi dan sistem tanam paksa di Jawa.

Masuknya modal dan unsur-unsur kapitalisme yang


mendobrak tanpa menghancurkan seluruh struktur
feodalisme di Jawa, melahirkan kebutuhan akan
tenaga pribumi yang terdidik. Sarana pendidikan
yang terpusat di Jawa melahirkan kaum intelektual
pribumi. Putera-putera suku bangsa lain, yang
keadaan ekonomi keluarganya memungkinkan,
berdatangan ke Jawa untuk menuntut ilmu. Mereka
inilah yang kemudian memulai gerakan kemerdekaan
dengan membentuk berbagai macam organisasi.
Dengan demikian, dimulailah proses nation building,
yang tidak diakui oleh para pendukung separatisme.
Apakah munculnya banyak tokoh kemerdekaan di
Jawa dibanding dengan pulau-pulau lain merupakan
kemauan dan kesalahan orang Jawa? Tempat
kegiatan politik putera-putera suku bangsa lain pun
terutama di Jawa, itu bukan keinginan subjektif
mereka, tapi terdapat kondisi material yang
melahirkan kenyataan itu.

Hendry Apituley, dalam “Kita ‘Orang Maluku’ Pernah


Juga Disebut Anjing” menyatakan “Bangsa Indonesia
muncul dari ketiadaan! (entah dari mana?) mungkin
dari antah berantah secara tiba-tiba dan dengan
secara tidak terduga dapat berkuasa atas seluruh
golongan etnis/bangsa/suku dalam wilayah Hindia-
Belanda.” Inilah seorang intelektual yang buta
sejarah. Karena itu, menolak mengakui perjuangan
para perintis kemerdekaan dalam membangun
bangsa Indonesia atau nation building. Ia menutup
dirinya rapat-rapat dalam tempurung suku bangsanya
sendiri, maka tidak bisa menerima orang Maluku
yang pro-Indonesia sebagai wakil dari Maluku.

Dalam pengorganisasian dan administrasi Belanda,


Papua dimasukkan ke dalam residensi Maluku
dengan pusatnya di Ambon. Ini menunjukkan, ketika
itu Belanda menganak-tirikan Papua. Papua tidak
dianggap penting. Belanda “kaget” dan ingat akan
kekayaan serta posisi strategis Papua ketika
diproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. [Tatiana Lukman]

4.119

BAGIKAN

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Industri Nikel Pasca


Indonesia Kalah di WTO

PT Pupuk Iskandar Muda


(PIM) Ramaikan KTT G20
dengan Produk UMKM

Ketum Akurindo Emir Moeis:


MSP Expo Amazing Bali For
G20 Bangkitkan UMKM

Terpopuler

Kisah Pabrik Gula di Tanah Jawa

Arsitektur Rumah Lanting; Rumah


Terapung Suku Banjar

‘Happy Xmas (War is Over)’ Sikap


Politik John Lennon Terhadap Perang

Saling Bantah Kasus Korupsi Minyak


Goreng

Bakamla : Tahun 2023 Potensi


Ancaman di Laut China Selatan
Meningkat

Ekonomi Kerakyatan

Emir Moeis: Setiap Perubahan Zaman Selalu Ada Peluang bagi


UMKM

   

Beranda Pedoman Media Siber Tentang

Anda mungkin juga menyukai