Anda di halaman 1dari 28

Anti-Imperialisme dan Front

Nasional
D.N. Aidit (1962)

Sumber: Anti-imperialisme dan Front Nasional. Seri Kursus Rakyat No. 2. Depagitprop, CC
PKI, Jakarta, 1962.

 ISI
Irian Barat – Kemenangan yang harus dikonsolidasi

Perjuangan anti-imperialisme dan front nasional

Sambutan kepada ulang tahun ke-XIII SBPP

Tarik sebanyak mungkin wanita muda ke dalam gerakan revolusioner

Front Nasional dan beberapa soal revolusi Indonesia

Sekedar Pengantar

Seri Kursus Rakyat no. 2 ini memuat 1 tulisan, 2 pidato, dan 1 sambutan tertulis Kawan D. N.
Aidit, Ketua CC PKI/Wakil Ketua PBFN yang ditulis/diucapkan dalam bulan Oktober 1962, dan 1
pidato yang diucapkan dalam bulan Desember 1962. Sesuai dengan intisari yang menjiwai
tulisan-tulisan/pidato-pidato itu maka nomor ini kami beri judul Anti-Imperialisme dan Front
Nasional.

Semoga penerbitan bahan-bahan ini dapat merupakan sekedar sumbangan untuk lebih
memperdalam dan memperluas pengertian tentang Sembilan Wejangan, terutama wejangan
mengenai Revolusi dan mengenai Persatuan Nasional Revolusioner.

Jakarta, Desember 1962

IRIAN BARAT – KEMENANGAN YANG HARUS DIKONSOLIDASI

                      Sejak ditandatanganinya Persetujuan Konferensi Meja Bundar antara pemerintah


Hatta dan kaum kolonialis Belanda pada akhir tahun 1949, masalah Irian Barat – 20% dari
wilayah Indonesia – menjadi masalah kolonialisme yang paling hangat bagi Rakyat Indonesia,
sebab Belanda menolak pemasukan wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia dan terus
mengangkanginya.

Walaupun, menurut persetujuan itu sendiri, Belanda menyanggupi untuk membicarakan


penyelesaian status Irian Barat dalam waktu satu tahun sesudah ditandatanganinya persetujuan
KMB, kaum kolonialis Belanda menolak mengadakan perundingan, mereka menghianati janjinya
dan meneruskan penjajahannya.

Bertentangan dengan garis politik Presiden Sukarno serta kemauan keras Rakyat Indonesia
untuk memasukkan Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia, pemerintah-pemerintah
Indonesia yang sebelum tahun 1954 hanya berpura-pura menjalankan usaha-usaha  untuk
membebaskan Irian Barat, menggantungkan diri pada “kesukarelaan Belanda” dan “kebaikan
hati Amerika Serikat”.

Baru sesudah terbentuknya Pemerintah Ali Sastroamidjojo yang kedua, usaha-usaha untuk
merebut kembali Irian Barat mulai dijalankan dengan sungguh-sungguh. Masalah Irian Barat
dibawa ke PBB, tetapi berkali-kali kaum kolonialis Belanda dengan disokong penuh oleh kaum
imperialis Amerika Serikat berhasil mentorpedo resolusi yang menguntungkan Indonesia. Sikap
kepala batu kaum imperialis Belanda itu mengakibatkan Rakyat Indonesia menjadi hilang
kesabaran serta kepercayaannya pada PBB dan semangat anti-kolonialis dari Rakyat Indonesia
yang sudah kuat itu menjadi meluap-luap. Perjuangan pembebasan Irian Barat mulai memasuki
fase baru, fase dimana rakyat sudah bosan melihat permainan kotor kaum imperialis di dalam
PBB dan menuntut dikembalikannya Irian Barat dengan segera dan dengan segala jalan.

Gelombang anti-kolonialisme Belanda melanda seluruh negeri, gelombang mana mencapai


puncaknya pada bulan Desember tahun 1957 sewaktu kaum buruh Indonesia melancarkan aksi-
aksi pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda setelah ternyata bahwa dari PBB tak
dapat diharapkan apa-apa. Semua perusahaan Belanda, perusahaan pelayaran, pabrik-pabrik,
pertambangan-pertambangan, perkebunan, perkebunan, dan lain-lain diambil-alih oleh kaum
buruh untuk kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai milik negara. Aksi-aksi
kaum buruh itu sangat mendorong Pemerintah Indonesia untuk memperhebat perjuangan anti-
imperialisme sebab telah membikin jelas bahwa imperialis, jika dilawan pasti mundur.

Perjuangan untuk Irian Barat di PBB serta aksi-aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan


Belanda juga membikin sangat terang siapa memihak dan siapa memusuhi Rakyat Indonesia
dalam perjuangan menghapuskan kolonialisme di sebagian wilayahnya.

Negeri-negeri Sosialis dan sebagian besar negara-negara yang baru saja melemparkan
belenggu-belenggu kolonialisme serta semua tenaga progresif di seluruh dunia dengan
konsekuen memihak perjuangan Rakyat Indonesia dan menyatakan solider terhadap aksi-aksi
Rakyat dan Pemerintah Indonesia. Terutama pembelaan Uni Soviet dan negara-negara Sosialis
lainnya di PBB terhadap aksi-aksi yang dijalankan oleh Rakyat dan Pemerintah Indonesia dan
yang menuntut agar PBB mendesak Belanda mengembalikan Irian Barat memberi bukti-bukti
tambahan bagi Rakyat Indonesia bahwa negara-negara Sosialis adalah sahabat-sahabat yang
dapat dipercaya.

Sebaliknya, sikap membantu kaum imperialis Belanda dan celaan-celaan yang dilontarkan ke
alamat Republik Indonesia serta Presiden Sukarno oleh kaum imperialis Amerika Serikat dan
kaum imperialis lainnya, sikap yang menuduh pihak Indonesia sebagai perampok dan entah apa
lagi, memberi bukti tambahan pula kepada rakyat kami bahwa imperialis adalah imperialis yang
tidak akan meninggalkan kedudukannya secara sukarela.

Karena disokong oleh semua kekuatan gelap, semua kekuatan kolot, kaum imperialis Belanda
tetap berkepala batu dan mulai melontarkan provokasi-provokasi militer dengan memperkuat
dan memperbesar kekuatan militernya di Irian Barat. Makin jelas bahwa pihak Belanda
mempersiapkan aksi-aksi militer terhadap Republik Indonesia. Kekurangajaran Belanda itu
mencapai puncaknya waktu Menlu Belanda Luns mengumumkan akan dibentuknya apa yang
dinamakannya “Negara Papua”. “Negara Papua” dimaksudkan untuk secara definitif
memutuskan hubungan antara Republik Indonesia dan Irian Barat, memelihara imperialisme
Belanda di Irian Barat dengan meminjam tangan-tangan pribumi. Terang-benderang bahwa
“Negara Papua” sedemikian itu merupakan ancaman tetap terhadap keamanan serta kedaulatan
Republik Indonesia, terlebih-lebih jika diingat bahwa SEATO sudah siap-sedia memasukkan
“Negara Papua” itu ke dalam lingkungannya.

Trikora

                      Dalam menghadapi move-move Belanda ini, Presiden Sukarno, sesuai dengan


kehendak serta desakan Rakyat Indonesia mengumumkan Trikomando Rakyat di Yogyakarta
pada tanggal 19 Desember 1961. Trikomando Rakyat – atau Trikora sebagaimana rakyat
menyebutnya – adalah sederhana dan jelas: pertama, menggagalkan niat Belanda untuk
membentuk Negara Papua; kedua, mengibarkan bendera nasional Indonesia, merah-putih di
Irian Barat; dan ketiga, mengadakan mobilisasi total. Semboyan Presiden Sukarno “Bebaskan
Irian Barat dalam tahun 1962 ini juga”, semboyan yang didengungkan oleh PKI “Kibarkan
tinggi-tinggi Tripanji Bangsa”, yaitu Demokrasi, Persatuan Nasional, dan Mobilisasi, serta
semboyan, “Satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul” untuk
membebaskan Irian Barat dan mengatasi kesulitan ekonomi sangat mengilhami Rakyat
Indonesia.

Periode delapan bulan sesudah Trikomando dimaklumkan adalah periode penuh kegiatan-
kegiatan intensif dari Rakyat Indonesia untuk membantu Pemerintah Indonesia melaksanakan
janjinya mengembalikan Irian Barat sebelum 1 Januari 1963. Berjuta-juta pemuda dan pemudi
Indonesia mendaftarkan diri sebagai sukarelawan untuk dikirim ke daerah front Irian Barat guna
merintis untuk penancapan kekuasaan Republik Indonesia di Irian Barat. Mereka membanjiri
pusat-pusat latihan militer untuk mendapat pendidikan militer seperlunya agar lebih baik dapat
mengabdi tanah air dalam rangka membebaskan Irian Barat. Lebih daripada 2000 pemuda
Indonesia didrop sebagai gerilyawan di daratan Irian Barat dimana mereka diterima dengan
hangat sekali oleh penduduk di sana. Pasukan-pasukan gerilya penduduk Irian Barat
menggabungkan diri pada gerilya-gerilya yang baru datang dan serangan-serangan sistematis
diadakan terhadap pos-pos dan pusat-pusat militer Belanda. Adalah berkat heroisme dan
pengorbanan yang tak mementingkan diri dari patriot-patriot Indonesia yang sejati ini maka
kekuasaan de facto Republik Indonesia menjadi kenyataan di sebagian wilayah Irian Barat.

Kemajuan-kemajuan militer yang telah dicapai oleh Republik Indonesia dalam delapan bulan
sesudah Trikora dikomandokan tak dapat dibayangkan tanpa bantuan yang sungguh-sungguh
tidak mementingkan diri dari pihak negeri-negeri Sosialis terutama Uni Soviet. Bantuan tersebut,
berupa senjata-senjata termodern dan sokongan moral yang sepenuh-penuhnya amat
meninggikan daya tempur angkatan bersenjata Republik Indonesia sehingga menjadi lawan
yang sungguh-sungguh ditakuti oleh kaum imperialis.
Kemenangan belum selesai

Hal-hal sebagai diterangkan di atas ini perlu diketahui untuk menilai persetujuan antara
Republik Indonesia dan Negeri Belanda mengenai penyerahan Irian Barat kepada Republik
Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962. Perlu, karena kaum imperialis,
yang selama ini dengan nekad menentang claim nasional Indonesia ini, terutama kaum
imperialis AS, dengan giat melancarkan propaganda palsu seolah-olah persetujuan itu tercapai
berkat peranan PBB, dan khususnya, peranan Amerika Serikat. Digembar-gemborkan seolah-
olah “perubahan” sikap Amerika Serikat dari menentang menjadi “menyokong” claim Indonesia,
merupakan kekuatan utama yang memaksa Belanda untuk mengalah pada Indonesia. Lebih
jauh lagi, kaki tangan imperialis Amerika Serikat berbisik-bisik mengatakan bahwa berkat
Amerika Serikat maka soal Irian Barat dapat diselesaikan secara damai, sedangkan kalau
“menurut keinginan Soviet” harus diselesaikan dengan peperangan. Sekali lagi, imperialis adalah
imperialis, dan bukan lagi imperialis jika tidak membohong dan mendusta. Hanya orang-orang
yang tidak mengikuti perkembangan perjuangan pembebasan Irian Barat, hanya orang yang
tidak mau mengerti watak imperialisme, akan terpedaya oleh bualan-bualan kaum imperialis ini.

Fakta-fakta menunjukkan, bahwa jika tidak karena semangat anti-imperialis Rakyat


Indonesia, jika tidak karena Trikora yang dapat dijalankan karena bulat didukung oleh
segenap Rakyat Indonesia dan karena disempurnakannya segi militernya oleh bantuan
nyata kubu Sosialis, jika tidak karena sokongan moral semua kekuatan yang termasuk the
new emerging forces maka kaum imperialis Belanda dan Amerika Serikat tidak pernah
akan dapat dipaksa untuk menyetujui pemasukan Irian Barat ke dalam kekuasaan
Republik Indonesia.

Maka dari itu persetujuan yang dicapai pada tanggal 15 Agustus 1962 merupakan suatu
kemenangan, suatu kemenangan prinsipil, satu kemenangan yang dicapai oleh “the new
emerging forces” atas “the old established forces”.

Orang-orang progresif di Indonesia menganggap persetujuan tersebut sebagai suatu langkah


maju karena ia mengandung prinsip penyerahan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia dalam jangka waktu yang relatif tidak terlalu lama hingga mendekati
keinginan rakyat. Demikian pula apa yang tersurat dalam persetujuan ini tidak mengandung
suatu ikatan politik, ekonomi, maupun militer dengan negara mana pun, hal mana merupakan
faktor yang penting sekali untuk tetap menjaga kedaulatan Republik serta kebebasan politik luar
negeri Indonesia.

Persetujuan ini memang satu kemenangan, akan tetapi kemenangan yang belum selesai.
Rakyat Indonesia mempunyai pengalaman-pengalaman cukup banyak bahwa jika ada sesuatu
yang direbut dari kaum imperialis, maka kaum imperialis akan berusaha dengan sekuat tenaga
untuk merebut kembali apa yang terpaksa mereka lepaskan.

Lagi pula, Rakyat Indonesia cukup mengetahui apa yang diperbuat PBB di Konggo dan
mereka bertekad untuk jangan memberi kesempatan pada badan UNTEA – yakni badan PBB
yang menerima administrasi Irian Barat dari tangan Belanda untuk kemudian diserahkan kepada
Indonesia – untuk mengulangi permainan imperialis AS di Konggo di Irian Barat. Oleh karena itu
tepat sekali sikap Parlemen Indonesia yang dinyatakan dalam sidang plenonya tanggal 1
September, yaitu disamping menerima persetujuan tersebut Parlemen menyerukan kepada
seluruh Rakyat Indonesia untuk lebih memperkuat persatuan dan mempertinggi kewaspadaan
nasional.
Persetujuan telah tercapai, tapi Rakyat Indonesia sadar bahwa persetujuan itu mengandung
cukup banyak lobang bagi kaum imperialis untuk menyabot atau pun menyelewengkannya.
Beberapa pasal dari persetujuan tersebut patut mendapat perhatian serta kewaspadaan
sepenuhnya dari Rakyat Indonesia sebab, jika lengah, dapat digunakan oleh kaum imperialis
yang menguasai PBB untuk praktek-praktek neo-kolonialisme. Pasal IX dari persetujuan
menyatakan bahwa taraf pertama pemerintahan PBB akan berakhir pada tanggal 1 Mei 1963.
Tidak dikatakan kapan taraf selanjutnya akan berakhir. Pasal XII dari persetujuan itu hanya
menentukan bahwa kekuasaan badan itu akan selesai jika administrasi Irian Barat sepenuhnya
diserahkannya pada Indonesia. Dan belum tentu dan tidak ada jaminan dalam persetujuan yang
mengharuskan UNTEA menyerahkan seluruh administrasi Irian Barat itu pada tanggal 1 Mei
1963. Dalam aide memoire Pd. Sekjen U Thant kepada Indonesia dan kepada Nederland
tentang ini dikatakan, bahwa penyerahan kekuasaan kepada Indonesia akan dilaksanakan
secepat mungkin sesudah 1 Mei 1963. Disamping itu pasal VII amat merugikan Indonesia
karena memberi kesempatan kepada pihak-pihak neo-kolonialis untuk menggunakan pasukan-
pasukan asing “menurut kebijaksanaan UNTEA” di wilayah Indonesia. Sekali lagi, Konggo
menjadi contoh yang tragis bagaimana “kebijaksanaan” PBB dalam menggunakan pasukan-
pasukan asing.

Menurut pendapat kaum progresif Indonesia, kekuasaan yang diberikan oleh persetujuan
tersebut kepada administrator PBB (pasal III) merupakan sumber potensial untuk memasukkan
jarum neo-kolonialisme atau kolonialisme kolektif ke dalam tubuh Republik Indonesia.

Dalam menerima persetujuan tersebut Rakyat Indonesia sadar sekali bahwa perjuangannya
untuk Irian Barat samasekali belum selesai. Mereka mengetahui bahwa perjuangan berat masih
harus dijalankan untuk melaksanakan persetujuan menurut kehendak mereka. Mereka tahu
banyak kemungkinan terbuka bagi kaum imperialis untuk menghalang-halangi pelaksanaan
persetujuan secara menguntungkan Indonesia dan “the new emerging forces”. Maka dari itu
kemenangan ini belum selesai dan memerlukan pengertian, solidaritas, dan sokongan
dari rakyat di seluruh dunia, terutama dari kelas buruh dan rakyat pekerja di semua
negeri.

Bahaya-bahaya masih mengancam, tapi Rakyat Indonesia yakin bahwa dengan persatuan
dan kewaspadaan nasionalnya yang terus-menerus diperkuat, dengan bantuan yang tidak
mementingkan diri sendiri dari negara-negara Sosialis dan semua yang termasuk dalam “the
new emerging forces”, maka Rakyat Indonesia akan dapat menyelesaikan masalah Irian Barat
secara sepenuhnya, dan akan dapat menggagalkan usaha-usaha kaum imperialis di Irian Barat
dan di bagian mana pun dari Republik Indonesia. Ini merupakan sumbangan besar bagi usaha-
usaha memelihara perdamaian dunia.

(Tulisan D. N. Aidit untuk suratkabar Comite Central Partai Komunis Uni Soviet
“PRAVDA”, dimuat tanggal 13 Oktober 1962)

PERJUANGAN ANTI-IMPERIALISME DAN FRONT NASIONAL

Revolusi Indonesia Merupakan Bagian Mutlak Daripada Revolusi Sosialis Dunia

Oleh Sekjen Pengurus Besar Front Nasional saya diminta memberikan ceramah kepada para
Peserta Kursus Kader FN gelombang ke-2 ini, tentang “Perjuangan anti-imperialisme dan
Front Nasional”. Waktu yang diberikan 2 jam. Jadi, dapatlah dibayangkan betapa sulitnya
memenuhi permintaan ini. Tapi, mari kita mulai berbuat apa yang mungkin dalam waktu singkat
ini.

Apakah imperialis itu?

Imperialisme, yang oleh Bung Karno suka juga disebut “imperialisme modern”, bukanlah
gejala dunia yang sudah sangat lama. Imperialisme adalah gejala yang muncul pada akhir abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20, yaitu masa kapitalisme memasuki tingkat baru daripada
perkembangannya, yaitu tingkat imperialis. Untuk jelasnya di bawah ini saya kutipkan apa yang
pernah saya tulis dalam brosur Tentang Marxisme mengenai apa yang dimaksudkan dengan
imperialisme:

“Sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia, musuh terpokok nasion
Indonesia adalah imperialisme. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk mengetahui secara ilmu
apa sesungguhnya imperialisme itu. Hanya dengan mengetahui hakekat (essence) dari
imperialisme, kita bisa mengenalnya dalam segala bentuk manifestasinya, mengenal
hubungannya dengan kolonialisme dan neo-kolonialisme. Pengetahuan ini akan membantu kita
untuk menjaga agar pukulan dari perjuangan revolusioner kita selalu diarahkan kepada musuh
yang pokok ini”. (halaman 88).

Pada awal abad 20 pembagian wilayah dunia sudah selesai. Sebagai akibat perkembangan
ekonomi dan politik yang tidak sama di antara negeri-negeri kapitalis itu, pembagian daerah
jajahan itu tidak merata. Negeri-negeri kapitalis tua telah dapat merebut wilayah-wilayah jajahan
yang luas, sedangkan negeri-negeri kapitalis muda hanya kebagian sedikit. Tetapi dalam zaman
imperialisme, teknik sudah mencapai tingkat perkembangan yang sangat tinggi, sehingga
memungkinkan negeri-negeri kapitalis yang muda mengejar serta melampaui negeri-negeri
kapitalis yang tua secara cepat dan melompat. Mereka dapat mendesak negeri-negeri itu dari
pasarnya dan memaksakan pembagian kembali wilayah dunia dengan kekerasan senjata, maka
timbullah perang-perang imperialis dan perang-perang kolonial. Oleh sebab itu imperialisme
selalu menjadi sumber akan ketegangan-ketegangan internasional dan peperangan.

Pada zaman imperialisme ini sistem ekonomi kapitalis meliputi seluruh dunia berdasarkan
penghisapan dan perbudakan. Sejumlah kecil negeri-negeri imperialis menindas dan menghisap
jumlah terbesar negara-negara jajahan. Segala tanah jajahan dan negeri-negeri tergantung yang
ditindas oleh negara-negara imperialis merupakan sistem kolonial daripada imperialisme.

“Tanah-tanah jajahan merupakan tempat penanaman kapital, sumber bahan mentah, sumber
tenaga murah, pasar hasil industri negara-negara imperialis, dan juga sebagai pangkalan perang
dan sumber umpan meriam bagi kepentingan negara-negara imperialis. Tapi penindasan
imperialisme ini membangkitkan perlawanan dari rakyat-rakyat yang dijajah, sehingga di semua
negeri jajahan dan negeri tergantung lahir gerakan dan perjuangan melawan kolonialisme untuk
kemerdekaan nasional. Perjuangan ini sering memuncak dalam pemberontakan-pemberontakan
dan revolusi-revolusi yang akhirnya melahirkan negara-negara yang merdeka dan
mengakibatkan kehancuran sistem kolonial daripada imperialisme”. (halaman 91).

“Peruncingan pertentangan setajam-tajamnya dalam kubu imperialisme, bentrokan-bentrokan


di antara negara-negara imperialis yang berakibat perang-perang imperialis, berkembangnya
perjuangan kelas proletar di negeri-negeri kapitalis, bangkitnya rakyat jajahan melawan
penjajahan, ini semua sangat melemahkan sistem dunia kapitalis. Dengan demikian tertimbun
syarat-syarat bagi krisis umum kapitalisme.

“Krisis umum kapitalisme ini dimulai sejak masa perang dunia pertama dan terutama sejak
kemenangan Revolusi Sosialis Oktober 1917 di Rusia yang melahirkan negeri sosialis yang
pertama di dunia. Sejak saat itu ramalan ilmiah Marx telah berubah menjadi kenyataan dan
kapitalisme bukan lagi satu-satunya sistem ekonomi dunia yang meliputi segala-galanya.
Setelah perang dunia kedua krisis umum kapitalisme bertambah lebih dalam lagi. Sosialisme
muncul ke luar batas-batas satu negeri dan menjadi sistem dunia, krisis sistem kolonial daripada
imperialisme menjadi lebih parah dan kehancurannya menjadi tak terelakkan.

“Krisis umum kapitalisme ialah krisis yang bukan saja menyangkut sistem ekonomi, melainkan
juga meliputi segala lapangan dari sistem dunia kapitalis seluruhnya dan dicirikan oleh
peperangan dan revolusi, oleh perjuangan antara kapitalisme yang sedang mati dengan
Sosialisme yang sedang tumbuh.

“Ciri-ciri pokok dari krisis umum kapitalisme ialah: terpecahnya dunia menjadi dua sistem –
yang kapitalis dan yang sosialis – serta perjuangan antara kedua sistem itu; kehancuran sistem
kolonial daripada imperialisme yang terwujud dalam tercapainya kemerdekaan nasional di
banyak negeri bekas jajahan dan tergantung; bertambah gentingnya masalah pasar bagi negeri-
negeri kapitalis, perusahaan-perusahaan kapitalis secara kronis bekerja di bawah kapasitas dan
terjadi pengangguran massal yang kronis. Dalam kehidupan politik, kita melihat dengan jelas
kecenderungan pemfasisan pemerintahan dan penghapusan kebebasan-kebebasan demokratis
bagi rakyat. Guna mempertahankan penguasaannya atas tanah jajahan, kaum imperialis banyak
menyelubungi politik-politik kolonialnya yang lama dengan taktik-taktik dan bentuk-bentuk baru
yang sudah biasa kita namakan neo-kolonialisme. Kita sendiri di Indonesia mengalaminya dari
dekat, tadinya dalam bentuk KMB, dan sekarang pun masih menghadapinya, terutama dalam
bentuk kekuasaan ekonomi imperialis atas negeri kita. Pihak Belanda berusaha menipu kita
dengan memberikan status neo-kolonial dengan baju ‘self-determination’ kepada Irian Barat.
Oleh sebab itu kita perlu tetap waspada, imperialisme memang sudah sangat dilemahkan, tapi
sebagaimana sering dinyatakan oleh Bung Karno, imperialisme belum mati dan imperialisme
adalah tetap imperialis.

“Dalam pada itu, pengalaman kita pun menunjukkan bahwa asal kita berani melawan,
imperialisme bisa didesak mundur dan dikalahkan. Segala tipu-dayanya tidak bisa
menyelamatkannya dari nasib sejarah yang pasti. ‘Zaman sekarang adalah zaman
menghancurkan sistem kolonialis-imperialis, zaman sekarang adalah zaman pengalihan ke
Sosialisme’. (Djarek)” (halaman 92-93).

Bung Karno dalam tulisannya Mencapai Indonesia Merdeka (1933) telah mengungkapkan
apakah imperialisme itu, khususnya politik imperialis di Indonesia. Dengar apa yang beliau
katakan dalam bukunya itu tentang penyerbuan imperialisme ke Indonesia:

“Sebagai angin yang makin lama makin meniup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin
membanjir, sebagai gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka
sesudah Agrarische wet dan Suikerwet-de-Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten
Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir di Indonesia, – mengadakan pabrik-
pabrik gula di mana-mana, kebon-kebon teh di mana-mana, onderneming-onderneming
tembakau di mana-mana, dan lain sebagainya; tambahan lagi modal partikelir yang membuka
macam-macam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta api, tram, kapal, atau
pabrik-pabrik yang lain-lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, makin lama makin mati,
imperialisme modern mengganti tempat-tempatnya: Cara pengambilan rezeki dengan jalan
monopoli dan paksa makin lama diganti cara pengambilan rezeki dengan jalan persaingan-
merdeka dan buruh-merdeka, cara pengambilan rezeki yang menggali untung bagi ‘negeri’
Belanda makin lama makin mengerut, terdesak oleh pengambilan rezeki secara baru yang
mengayakan modal partikelir”. (Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 263-264).

Selanjutnya ingin saya tambahkan dengan apa yang pernah saya tulis dalam brosur Sejarah
Gerakan Buruh Indonesia, sebagai berikut:

“Dalam tahun 1870 diadakan Undang-Undang Agraria, yaitu undang-undang yang menjamin
didapatnya tanah untuk kepentingan kapital partikelir. Ini adalah pembukaan pintu yang definitif
bagi kapital industri partikelir untuk ambil bagian dalam penghisapan kolonial. Dengan demikian
tahun 1870 adalah permulaan perpisahan dari politik kapital dagang monopoli ke politik kolonial
“baru” daripada kapital industri, perpindahan dari sistem monopoli ke sistem persaingan
merdeka. Dalam tahun 1870 itu juga diadakan Undang-Undang Gula, yaitu undang-undang
yang memberi kebebasan pada kapital partikelir untuk mengusahakan gula.

“Karena kapital bank memegang rol yang sangat penting dalam peralihan dari zaman kapital
dagang monopoli ke zaman imperialis (zaman peralihan itu di Indonesia ialah dari tahun 1870
sampai 1895), maka penting diketahui rol bank-bank kolonial di Indonesia.

“Yang sangat penting ialah rol dari Javasche Bank sebagai bank setengah resmi dengan hak-
hak istimewanya. Bank ini didirikan tahun 1828, jadi tepat ketika menghadapi zaman
‘cultuurstelsel’ dan monopoli negara. Kepada Javasche Bank diberi hak untuk mengeluarkan
uang kertas. Kapital partikelir kurang perhatiannya pada Javasche Bank, karena di bawah
kekuasaan monopoli negara, fungsi daripada bank adalah sangat terbatas dan sifatnya yang
setengah resmi tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat kapitalis yang modern. Baru
tahun 1889 fungsi Javasche Bank diperluas, artinya dibolehkan membeli dan menjual wissel luar
negeri, boleh memberikan kredit, dan boleh memasukkan kapitalnya ke dalam perdagangan
effect dan hipotik. Sebelum tahun 1889, Javasche Bank mempunyai sifat bank emissie yang
setengah feodal. Dan sifat ini kemudian juga masih terus dipertahankan yang antara lain
kelihatan dari kenyataan bahwa presiden Javasche Bank harus diangkat oleh gubernur jenderal
dengan persetujuan raja Belanda.

“Hampir bersamaan waktunya dengan didirikannya Javasche Bank, dalam tahun 1824
didirikan Nederlandse Handel Maatschappij (NHM) atau FACTORIJ, yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi salah satu bank kolonial yang terpenting di Indonesia. Pada
mulanya maskapai ini adalah satu perusahaan dagang dan perkapalan yang erat hubungannya
dengan pemerintah Belanda dan dengan kaum istana Belanda. Teranglah, bahwa maskapai ini
mendapat hak-hak monopoli dan seluruh hasil bumi yang didapat negara dari ‘cultuurstelsel’
jatuh ke dalam tangan maskapai ini. Dan karena hasil-hasil bumi ini sangat penting bagi industri
di negeri Belanda dan di Indonesia (pabrik teh, gula, dan sebagainya), maka jelaslah bahwa
NHM mempunyai pengaruh yang besar atas industri-industri itu.

“Bertambah besarnya pengaruh kapital partikelir di Indonesia kelihatan pada bagian kedua
dari abad ke-19 dengan didirikannya sejumlah bank-bank kolonial, antara lain: Tahun 1857
didirikan Nederlands-Indische Escompto Maatschappij, yaitu bank yang tertua yang didirikan
dalam periode perkembangan kapital industri partikelir. Pekerjaan bank ini ialah menggerakkan
kapital yang ada di Indonesia. Kewajibannya ialah membikin operasi-operasi di lapangan kredit
dan wissel. Dalam tahun 1863 didirikan Nederlands-Indische Handels-bank (NIHB), yang
sejak tahun 1950 bernama Nationale Bank, dimana di dalamnya, kecuali kapital Belanda juga
ikut serta kapital Jerman dan Perancis. Bank ini bertujuan memberi persekot (uang muka) dan
memberi dorongan pada perusahaan-perusahaan perkebunan, perdagangan, dan industri. Oleh
bank ini dalam tahun 1885 didirikan Nederlands-Indische Landbouw Maatschappij, dan
dengan perantaraan maskapai ini NIHB menguasai onderneming-onderneming kolonial. Dalam
tahun 1863 itu juga didirikan Internationale Credit en Handels-vereniging Rotterdam, sebagai
bagian daripada Rotterdamse Bank yang sangat terikat pada kapital Jerman. Mula-mula yang
diutamakan oleh bank ini ialah soal perdagangan dan komisi, di Indonesia maupun di negeri-
negeri lain, tetapi ternyata kemudian perhatian bank ini terutama ditujukan kepada menguangi
dan mengontrol secara langsung perusahaan-perusahaan dagang dan perkebunan di Indonesia.
Dalam tahun 1881 didirikan Koloniale Bank dengan program “menguangi perusahaan-
perusahaan pertanian dan industri”.

“Demikianlah kita lihat, bahwa dalam bank-bank kolonial di Indonesia tidak hanya ada kapital
Belanda, tetapi juga kapital negeri-negeri lain. Disamping bank-bank kolonial di atas, juga
mengadakan operasi di Indonesia agen-agen bank asing bukan-Belanda di antaranya Oriental
Bank Corporation dan Chartered Bank of India, Australia and China, yang terutama
mengadakan operasi-operasi di lapangan kredit. Pengaruh yang terpenting daripada kapital luar
negeri dilakukan dengan melewati bank-bank dan konsern-konsern finansial-industri Belanda.
Sudah cukup terkenal bahwa maskapai minyak Royal Dutch (Koninklijke Petroleum
Maatschappij) pokoknya adalah onderneming Inggris, sedangkan dalam perkebunan karet di
Sumatera berkuasa kapital Amerika.

“Pada umumnya bank-bank kolonial di atas timbul pada permulaan zaman munculnya kapital
industri partikelir sebagai badan yang mengurus kredit dan keuangan. Tetapi dapat dipastikan,
bahwa segera perusahaan-perusahaan kolonial jatuh di dalam kekuasaannya, ia
menjalankan kontrole yang menentukan atas perusahaan-perusahaan kolonial itu”.
(Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, 1952, halaman 16-17-18-19-20).

Demikianlah dengan singkat apa yang dimaksudkan dengan imperialisme yang sudah dan
sedang kita lawan itu. Tiap-tiap pejuang anti-imperialisme yang sedar harus mempunyai
pengetahuan tertentu tentang hakekat imperialisme, tentang masa lahir dan perkembangannya,
tentang masa menurunnya, dan terutama sekali tentang praktek-praktek kongkrit daripada
imperialisme di negeri dimana mereka berjuang.

            Sekarang sudah tentu imperialisme tidak lagi seperti waktu baru lahirnya dulu. Dulu
perkasa, merajai seluruh dunia. Tapi sejak Revolusi Sosialis yang pertama (1917), kapitalisme
tidak lagi merupakan satu-satunya sistem sosial di dunia. Perang dunia kedua, yang seperti juga
perang dunia pertama, ditimbulkan oleh imperialisme, telah lebih mempertajam dan
memperdalam krisis umum kapitalisme dan mengakibatkan suatu taraf baru dalam
perkembangannya. Tanda-tanda yang paling penting daripada taraf baru krisis umum
kapitalisme adalah sebagai berikut:

1. Perubahan dasar dalam hubungan kekuatan antara sistem sosialis dan sistem imperialis,
khususnya sebagai akibat memisahkan dirinya sejumlah negeri-negeri Eropa dan Asia dari
kapitalisme dan berubahnya Sosialisme menjadi sistem dunia.
2. Keruntuhan lebih lanjut sistem kolonial daripada imperialisme dan pertajaman daripada
kontradiksi antara negeri-negeri imperialis, di satu pihak, dan negeri-negeri koloni, semi-
koloni, dan bekas-bekas koloni, di pihak lain.
3. Perkembangan daripada kontradiksi-kontradiksi baru dalam kubu imperialis, pertama-
tama sekali antara Amerika Serikat dan negeri-negeri kapitalis yang maju lainnya sebagai
akibat ekspansi yang intensif daripada imperialisme Amerika Serikat dan usahanya untuk
menguasai dunia.
4. Tambah meluas dan mendalamnya antagonisme-antagonisme kelas di negeri-negeri
kapitalis yang maju.

Dalam masa antara perang dunia pertama dan kedua sistem sosialis hanya terdapat di satu
negeri, dan hanya kira-kira 8% daripada seluruh penduduk dunia. Sekarang di Eropa dan Asia
sudah ada 12 negara Sosialis dengan penduduk kira-kira 1000 juta, yaitu kira-kira 35% daripada
penduduk dunia. Di benua Amerika sudah muncul negara Sosialis yang pertama, yaitu Kuba.

Dengan rontoknya sistem kolonial, lebih daripada 1.200 juta rakyat membebaskan diri dari
kekuasaan langsung imperialis.

Sekarang menjadi jelas sejelas-jelasnya, bahwa krisis umum kapitalisme pertama-tama


adalah krisis sistem imperialis. Sekarang, makin lama makin bertambah banyak negeri-negeri
yang membebaskan diri dari tindakan imperialis. Juga jelas bahwa perjuangan rakyat-rakyat
melawan imperialisme untuk kemerdekaan nasional merupakan bagian mutlak, bagian
yang tak terpisahkan, daripada perjuangan untuk dunia baru, dunia Sosialis. Gerakan
kemerdekaan nasional tidak lagi hanya merupakan cadangan revolusi sosialis dunia,
tetapi sudah merupakan bagian yang maha penting daripada revolusi sosialis dunia.
Perspektif daripada gerakan kemerdekaan nasional yang revolusioner adalah Sosialisme.

Sebagaimana sering dikatakan oleh Bung Karno dan pemimpin-pemimpin Rakyat Indonesia
lainnya, Revolusi Indonesia adalah bagian daripada revolusi dunia. Sedangkan jikalau kita bicara
tentang revolusi dunia, maka pastilah bukan revolusi anti-feodal untuk kemegahan kapitalisme,
tetapi revolusi anti-kapitalisme untuk kemegahan Sosialisme di seluruh dunia, revolusi Sosialis
dunia.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa di dunia kita memang pada pokoknya hanya ada dua
kekuatan, yaitu:

1. Kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh (“the new emerging forces”), yang terdiri
dari kubu Sosialis, negeri-negeri anti-imperialis yang baru merdeka, dan kekuatan-kekuatan
anti-imperialis lainnya.
2. Kekuatan-kekuatan kolot yang masih bercokol (“the old established forces”) yang terdiri
dari negeri-negeri imperialis dan kekuatan-kekuatan reaksioner lainnya.

Yang pertama, kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh, mempunyai perspektif: dunia
Sosialis. Sedangkan yang kedua, kekuatan kolot yang masih bercokol, mempunyai “perspektif”:
lenyap dari muka bumi. Indonesia termasuk dalam kekuatan-kekuatan baru yang sedang
tumbuh; perspektif revolusi Indonesia adalah Sosialisme.

Kekuatan ketiga, kekuatan “netral” yang berdiri di antara dua kekuatan raksasa dunia ini tidak
ada. Tepat sekali apa yang pernah dikemukakan oleh Presiden Sukarno, bahwa tidak ada blok
ketiga di dunia.

Perjuangan anti-imperialisme untuk kemerdekaan nasional dari Rakyat Indonesia sudah


memakan waktu lebih dari setengah abad. Gerakan kemerdekaan nasional Indonesia ditandai
oleh 2 hal: yaitu oleh 3 aliran pokok (NASAKOM) dan oleh front nasional.

3 aliran pokok tersebut, yang telah memainkan peranan yang sangat penting dalam
perjuangan Rakyat Indonesia ialah:

Pertama: aliran Nasionalisme

Pada tanggal 20 Mei 1908 di kota Jakarta telah didirikan organisasi nasionalis yang pertama,
yaitu Budi Utomo. Pengambil inisiatifnya ialah Dr. Wahidin Sudirohusodo yang bercita-cita
memajukan bangsanya dengan menganjurkan perluasan pengajaran. Walaupun pemimpin-
pemimpin organisasi ini banyak yang berasal dari golongan feodal, tetapi B. U. bukanlah
gerakan feodal, melainkan bentuk permulaan daripada gerakan nasionalis. B. U. tidak bercita-
cita untuk mendirikan negara kerajaan atau memperkuat kerajaan yang masih ada.

Bentuk gerakan nasionalis yang lebih maju ialah Nationaal Indische Partij yang didirikan di
Bandung dalam tahun 1912 dan dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan
Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Partai nasionalis ini mempunyai tujuan politik yang jelas, yaitu membentuk negara nasional
yang merdeka atas dasar kerjasama dan hak sama di kalangan semua golongan Rakyat
Indonesia dengan tidak memandang ras. Propagandanya tentang “Indische Nationalisme”
adalah sumbangan yang sangat berharga dalam pertumbuhan nasion Indonesia, dalam
perjuangan melawan rasialisme dan dalam membangkitkan kesadaran nasional. Pengalaman
perjuangan bangsa kita menunjukkan, bahwa pembinaan nasion berlangsung bersamaan
dengan perjuangan melawan rasialisme, disamping perjuangan melawan imperialisme.

Dalam bulan Juli 1927 di Bandung didirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang disamping
mengadakan tuntutan demokratis seperti hak-hak berkumpul dan bersidang, penghapusan kamp
Digul, dan lain-lain, juga menuntut Indonesia Merdeka. Terhadap kaum kolonialis sikapnya non-
koperatif. Atas inisiatif PNI (Bung Karno) dibentuk PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia).

Setelah pemimpin-pemimpin PNI ditangkapi oleh pemerintah kolonial Belanda, maka


pemimpin-pemimpin PNI yang tidak ditangkap mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dalam
bulan April 1931, sedangkan sebagian lagi mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia yang
kemudian dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo, berkat pimpinan Bung Karno, telah meletakkan
dasar-dasar yang kuat bagi gerakan nasionalis yang revolusioner.

Sangat menarik ialah teori Marhaenis daripada kaum nasionalis revolusi Indonesia. Menurut
teori ini, kaum proletar tidak hanya termasuk dalam golongan kaum Marhaen, yaitu rakyat
pekerja menurut pengertian Marxis, tetapi malahan diakui sebagai barisan pelopor. Tentang ini
dikatakan oleh Bung Karno sebagai berikut: “……… tentara kita adalah benar tentaranya
Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum
tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum
proletar”. (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 256, vet DNA).

Kedua: aliran Islamisme

Gerakan modern yang berdasarkan Islamisme dimulai dengan didirikannya Sarekat Dagang
Islam dalam tahun 1911 yang dalam tahun 1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI).
Dalam waktu yang singkat SI berkembang menjadi organisasi yang besar dengan anggota
ratusan ribu orang. Kongresnya yang ke-3, dihadiri oleh 80 cabang dari berbagai pelosok tanah
air dan mewakili 360.000 anggota. Kongres ke-3 ini disebut Kongres “Nasional”, sebagai tanda
bahwa SI menginginkan persatuan semua golongan dan semua suku bangsa, tentunya dengan
syarat beragama Islam. Tidak dapat dibantah bahwa SI ambil bagian dalam mendobrak tembok-
tembok batas antara suku-suku dan ikut menggalang kesatuan nasion Indonesia. Setelah
mengalami beberapa kali perpecahan dan penggantian nama, maka penerus yang wajar dari SI
adalah PSII sekarang ini.

Gerakan Islam mempunyai banyak sekali cabang-cabang usaha yang berupa organisasi-
organisasi di lapangan pendidikan dan sosial, di antaranya terdapat organisasi-organisasi yang
tidak kecil dan yang berperanan dalam kehidupan politik Indonesia.

Nahdlatul Ulama, yang sekarang merupakan salah satu partai politik yang besar, pada
mulanya adalah organisasi Islam yang bukan partai.

Dalam menyebutkan hanya SI-PSII dan NU, tidak berarti bahwa saya mengurangi arti penting
partai-partai politik Islam lainnya. Dan dengan mengemukakan aliran Islamisme, tidak berarti
bahwa saya mengurangi arti penting daripada aliran-aliran keagamaan lain (Protestantisme,
Katolisisme, Budhisme, Hinduisme, dan lain-lain). Pada kesempatan ini yang disebut hanya
aliran-aliran pokok saja.

Ketiga: aliran Komunisme

Perkembangan aliran Komunisme (Marxisme) didahului oleh berdirinya serikat buruh yang
pertama, yaitu SS-Bond (1905), yang kemudian disusul oleh VSTP (Vereniging van Spoor en
Tram-personeel – 1908) dan serikat-serikat buruh lainnya, dan oleh organisasi Marxis yang
pertama, yaitu ISDV (Indische Sociaal Demokratische Vereniging – 1914). Dalam tahun 1920
ISDV berubah menjadi PKI.

Perkembangan aliran Komunis di Indonesia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan


serikat-serikat buruh dan vaksentral-vaksentral. Tentang ini pernah saya jelaskan sebagai
berikut:

“Sesudah ISDV didirikan, di mana-mana timbul serikat buruh sebagai jamur di musim hujan.
Dalam tahun 1916 pegawai bangsa Indonesia dari Jawatan Pegadaian Negeri mengorganisasi
diri dalam serikat buruh pegadaian dengan nama PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian
Bumiputera). Kejadian ini ialah tiga tahun sesudah pegawai-pegawai bangsa Belanda
membentuk perkumpulannya sendiri.

“Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya PPPB, didirikan serikat buruh BOW
(Burgelijke Openbare Werken, Pekerjaan Umum) dengan nama VIPBOW (Vereniging
Inheemse Personeel BOW); juga didirikan serikat buruh guru bangsa Indonesia seperti PGHB
(Perserikatan Guru Hindia Belanda), PGB (Perhimpunan Guru Bantu), dan PGAS
(Perserikatan Guru Ambachtsschool); buruh jawatan candu berserikat dalam de
‘Opiumregiebond van Nederlands-Indie’ (1915) dan de ‘Opiumregiebond Luar Jawa-
Madura’ (1917); buruh douane berserikat dalam Perhimpunan Bumiputera Pabean dan
banyak lagi serikat-serikat buruh yang kecil-kecil. Sebagian besar dari serikat-serikat buruh ini
diakui sebagai ‘rechtspersoon’.
“Pada umumnya yang menjadi anggota-anggota serikat-serikat buruh yang disebutkan di atas
ialah buruh-buruh rendahan, karena pada waktu itu boleh dikata sangat jarang orang Indonesia
menduduki tempat yang penting dalam jawatan. Dan jika ada yang menduduki tempat yang
penting, maka ia pun memisahkan diri dari masyarakat bangsanya sendiri dan dalam
pergaulannya menggolongkan diri pada orang-orang Barat.

“Adanya kehidupan berserikat secara modern dalam masyarakat Indonesia, seperti yang
tumbuh di kalangan pegawai-pegawai negeri, menggugah golongan-golongan buruh partikelir
untuk juga mengorganisasi diri dalam serikat buruh. Demikianlah dalam tahun 1919 di
Yogyakarta didirikan PFB (Personeel Fabrieks Bond) yang mula-mula hanya bertujuan
memberi bantuan kepada keluarga buruh pabrik gula di Yogyakarta. Tetapi kemudian PFB
meluas ke seluruh Jawa dan tujuannya juga diperluas, tidak lagi hanya terbatas memberi
bantuan pada keluarga. Pemimpin PFB yang terkemuka yaitu Raden Mas Surjopranoto,
terkenal dengan julukan ‘stakingskoning’ (‘raja pemogok’), karena di bawah pimpinan PFB dalam
tahun 1920 telah terjadi pemogokan besar yang diikuti oleh ratusan ribu kaum buruh gula”.
(Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, halaman 39-40).

Selanjutnya:

“Walaupun ada perbedaan-perbedaan pendapat, tetapi ISDV maupun SI pada waktu itu
sependirian tentang perlunya ada satu vaksentral. SI mengusahakan nama PPBK (Persatuan
Pergerakan Kaum Buruh) sedangkan kaum sosialis kiri dari ISDV menginginkan nama
Revolutionaire Socialistische Vakcentrale. Tentang nama ini kaum sosialis kiri akhirnya
mengalah dan menerima nama PPKB. Akhir Desember 1919, jadi tidak lama sesudah akhir
perang dunia pertama, dalam pertemuan wakil-wakil serikat buruh di Yogyakarta, berdirilah
vaksentral PPKB, dimana di dalamnya tergabung serikat-serikat buruh yang di bawah pengaruh
ISDV dan SI”. (Sejarah Gerakan Buruh Indonesia, halaman 42).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa perjuangan anti-imperialisme Rakyat Indonesia ditandai
oleh adanya 3 aliran pokok, yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme (Marxisme). Dalam
tulisan Bung Karno “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926) antara lain dikatakan
bahwa inilah asas-asas dan roh daripada gerakan Rakyat Indonesia. Dalam pidato “Djarek”
dengan tegas Bung Karno mengatakan, bahwa “Di Indonesia ini memang telah ada tiga
golongan besar ‘revolutionaire krachten’ yaitu Islam, Nasionalis, dan Komunis. Senang atau
tidak senang, ini tidak bisa dibantah lagi! Dewa-dewa dari kayangan pun tidak bisa membantah
kenyataan ini!”

Dengan demikian jelaslah, bahwa gagasan Nasakom sudah mempunyai akar sejarah
(historical root) sejak awal abad ini (1908 Budi Utomo; 191 SDI, dan 1912 SI; 1905 SS-Bond,
dan 1908 VSTP), dan diresmikan dalam tahun 1926 dengan adanya tulisan Bung Karno yang
berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, jadi sudah 36 tahun sampai sekarang.

Dalam mencapai tujuannya, yaitu kemerdekaan nasional negerinya, Rakyat Indonesia tidak
pernah berhenti-hentinya berdaya-upaya menyatukan segenap potensi nasional untuk
digempurkan kepada imperialisme. Hal ini antara lain dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan
sebagai berikut:
Dalam bulan November 1918 didirikan organisasi front nasional dengan nama Radicale
Concentratie, yang anggota-anggotanya terdiri dari Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde,
Pasundan, dan ISDV. RC mengajukan tuntutan supaya di waktu yang singkat dibentuk Parlemen
yang bertanggung jawab pada rakyat.

Dalam tahun 1927, atas inisiatif Bung Karno (PNI) didirikan front nasional yang bernama
PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang anggota-anggotanya
terdiri dari PNI, PSI (Partai Serikat Islam), Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Kaum
Betawi, Indonesische Studieclub.

Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yaitu sumpah tentang satu bangsa, satu tanah
air, dan satu bahasa, yaitu Indonesia, merupakan sumbangan yang sangat besar bagi persatuan
nasional, bagi usaha melikuidasi propinsialisme, suku-isme, dan rasialisme bagi memupuk
kesadaran nasional.

Dalam bulan Mei 1939 lahirlah Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yaitu front nasional yang
terdiri dari partai-partai politik guna menuntut Indonesia berparlemen. Dalam GAPI tergabung
Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Parindra, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, Partai
Islam Indonesia (PII), dan Persatuan Politik Katolik Indonesia.

Selama pendudukan fasis Jepang bermacam-macam bentuk front persatuan anti-fasis


didirikan, seperti Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka), Angkatan Muda Indonesia, Angkatan
Baru Indonesia, dan sebagainya.

Sejak meletusnya Revolusi Agustus 1945 juga didaya-upayakan pembentukan front nasional
seperti misalnya pembentukan Konsentrasi Nasional pada tahun 1947 di Yogyakarta dan
penandatanganan Pernyataan Bersama 20 Mei 1948.

Dalam bulan Maret 1951 dibentuk BPP (Badan Permusyawaratan Partai-Partai) di Jakarta.

Menjelang berdirinya organisasi Front Nasional kita sekarang, oleh Bung Karno pernah
dibentuk Kongres Rakyat guna menghimpun segenap potensi bangsa untuk digempurkan
kepada imperialisme.

Jadi, walaupun terdapat banyak aliran politik di Indonesia, tetapi jika diperas maka
hanya ada tiga, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, atau Nasakom. Sejarah
membuktikan, bahwa Rakyat Indonesia tidak pernah berhenti berdaya-upaya
mempersatukan segenap aliran revolusioner untuk digempurkan kepada imperialisme,
dan …

(kurang halaman 34 & 35 – tidak ada)

Indonesia! Dan, alangkah celakanya menjadi kaum buruh kulit sawo matang.

Soalnya, bukanlah membantah kenyataan segede gajah tentang adanya kelas-kelas dan
adanya perjuangan kelas. Tetapi, soalnya ialah, di mana menempatkan perjuangan kelas dalam
keadaan kita masih dihadapkan pada musuh-musuh asing, yaitu kaum imperialis yang
beroperasi secara lama maupun secara baru (neo-kolonialisme).
Dalam tahun 1932, dalam artikelnya Kapitalisme Bangsa Sendiri, Bung Karno telah
menjawab persoalan ini antara lain sebagai berikut:

“Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjuangan kelas
alias klassenstrijd?

“Dengan tertentu di sini saya menjawab: Ya, kita harus juga anti kepada kapitalisme bangsa
sendiri itu! Kita harus juga anti isme yang ikut menyengsarakan Marhaen itu. Siapa mengetahui
keadaan kaum buruh di industri batik, rokok kretek, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana
saya sering melihat upah buruh yang kadang-kadang hanya 10 sampai 12 sen sehari, – siapa
mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu – ia
mestilah juga menggoyangkan kepala dan dapat rasa-kesedihan melihat buahnya cara-produksi
yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke
Tulung Agung, pergilah ke Blitar, – dan orang akan menyaksikan sendiri ‘rahmat-rahmatnya’
cara-produksi itu”. (Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 182).

Selanjutnya:

“………… perjuangan kita untuk mengejar Indonesia-Merdeka, – jikalau kita ingin lekas
mendapat hasil – , haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, yakni pertama-
tama mengutamakan perjuangan nasional. Kita anti segala kapitalisme, kita anti-kapitalisme
bangsa sendiri, – tetapi kita untuk mencapai Indonesia-Merdeka, yakni untuk mengalahkan
imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan.

“Mengutamakan perjuangan kebangsaan itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan
ketamaan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik rakyat juga benci
kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan di mana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus
melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional, –
itu adalah berarti bahwa pusarnya, titikberatnya, aksennya kita punya perjuangan haruslah
terletak di dalam perjuangan nasional. Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah di
dalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga kita nasional, – dengan segala
tenaga-kebangsaan, yang hidup di dalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin
merdeka! Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah di dalam dynamisering, – yakni
membangkitkan menjadi aksi dan perbuatan – daripada rasa-kebangsaan alias nationaal
bewustzijn kita, – nationaal bewustzijn yang hidup di dalam hati-sanubari tiap-tiap rakyat sadar
yang tak merdeka”. (Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 184).

Jadi jelaslah, bahwa seluruh Rakyat Indonesia harus mengutamakan perjuangan nasional.
Dengan ini tidak berarti bahwa kita tidak ada perjuangan kelas. Perjuangan kelas antara kaum
tani dengan tuan tanah, antara kaum buruh dengan majikan asing, antara kaum buruh dengan
majikan bangsa sendiri, berjalan terus. Kaum tani dan buruh serta rakyat pekerja lain yang tidak
dibela kepentingannya oleh negara tidak mungkin membela kepentingan negara dengan
sepenuh hati. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia serta segenap alat kekuasaannya
harus membela kepentingan kaum buruh, kaum tani, dan seluruh rakyat pekerja, harus memihak
mereka dalam perjuangannya melawan kaum penghisap.

Jika kita berbicara tentang kepentingan nasional, maka haruslah senantiasa ingat bahwa
jumlah yang sangat terbesar dari nasion Indonesia adalah kaum buruh, kaum tani, dan rakyat
pekerja lainnya. Jadi, mengutamakan perjuangan nasional dan membela kepentingan rakyat
pekerja bukanlah sesuatu yang antagonis, tetapi yang penyelesaiannya harus ditemukan dalam
permusyawaratan dan permufakatan.

Yang benar ialah, seperti juga pernah sering diperingatkan oleh Bung Karno ialah kita tidak
boleh meruncing-runcingkan perjuangan kelas dimana kita sedang melakukan perjuangan
nasional. Jadi, bukan “meniadakan” perjuangan kelas. Malahan Bung Karno sering
menganjurkan supaya tidak henti-hentinya kaum buruh mempertinggi kesadaran kelas. “Saya
malahan minta kepada kaum buruh Indonesia, kepada kaum buruh seluruh dunia supaya
kaum buruh seluruh dunia dan kaum buruh Indonesia sadar akan kelasnya”, demikian
antara lain kata Bung Karno dalam pidato 1 Mei 1962. Meningkatkan kesadaran kelas dapat
dilakukan dengan jalan pendidikan politik, dengan memberi pelajaran teori revolusioner dan
dengan melalui perjuangan sehari-hari untuk perbaikan nasib dan untuk hak-hak politik.

(Pokok-pokok pidato D. N. Aidit sebagai Wakil Ketua PB FN di hadapan Kursus Kader


Front Nasional pada tanggal 19 Oktober 1962)

SAMBUTAN KEPADA ULANG TAHUN KE-XIII SBPP

Atas nama Comite Central Partai Komunis Indonesia dan atas nama saya sendiri, saya
ucapkan selamat dan menyampaikan salam seakrab-akrabnya kepada Pimpinan Pusat SBPP
dan dengan perantaraan Saudara-Saudara kepada segenap kaum buruh pelabuhan dan
pelayaran Indonesia serta kepada semua kader SBPP, berhubung dengan Hari Ulang Tahun
SBPP yang ke XIII. Dijiwai oleh semangat kepahlawanan “Kapal Tujuh”, di bawah panji-panji
SBPP, kami yakin kaum buruh pelabuhan dan pelayaran Indonesia akan terus bergerak maju
memperjuangkan perbaikan nasib, melawan pengekangan hak-hak demokrasi, dan menentang
kekuasaan modal monopoli asing di lapangan perhubungan laut.

Dalam membangun dan memperkuat armada niaga yang sesuai dengan kedudukan Indonesia
sebagai negeri maritim, seluruh Rakyat Indonesia tidak akan lupa untuk selama-lamanya akan
tindakan-tindakan patriotik yang telah diambil oleh kaum buruh pelabuhan dan pelayaran dalam
memboikot kapal-kapal Belanda yang menuju ke Irian Barat dan mengambil alih kapal-kapal
serta instalasi-instalasi KPM di seluruh pelabuhan di Indonesia untuk selanjutnya diserahkan
kepada Pemerintah Republik Indonesia. Tindakan-tindakan patriotik ini telah mengakhiri
kekuasaan monopoli KPM di Indonesia.

Tindakan-tindakan patriotik lainnya adalah kesiap-siagaan kaum buruh pelabuhan dan


pelayaran untuk keperluan operasi-operasi militer pada waktu menumpas pemberontakan
kontra-revolusioner PRRI-Permesta dan pada waktu melaksanakan Trikora guna pembebasan
Irian Barat.

Semua tindakan patriotik itu membuktikan, bahwa kaum buruh pelabuhan dan pelayaran
Indonesia tidak hanya memiliki, tetapi juga meneruskan tradisi revolusionernya yang tinggi.
Partai Komunis Indonesia mengharapkan agar ulang tahun ke XIII SBPP diperingati untuk terus
mengobarkan tradisi revolusioner yang gemilang itu.

Seluruh kekuatan nasional sekarang ini sedang bergerak maju melanjutkan ofensif Manipol
untuk mengkonsolidasi kemenangan-kemenangan nasional yang telah tercapai di bidang
pemulihan keamanan dan perjuangan pembebasan Irian Barat, untuk menanggulangi kesulitan-
kesulitan ekonomi dan melawan setiap bentuk neo-kolonialisme yang dicoba dipaksakan oleh
imperialis Amerika Serikat, musuh yang paling berbahaya bagi rakyat dan Republik Indonesia
serta bagi rakyat-rakyat sedunia yang cinta kemerdekaan dan perdamaian dunia.

Pada permulaan bulan Oktober 1962 ini, Politbiro CC PKI telah mengeluarkan sebuah
pernyataan, mengusulkan berbagai tindakan yang harus diambil oleh Pemerintah untuk
menyembuhkan keadaan ekonomi keuangan yang luka parah sekarang.

PKI berpendapat bahwa kepincangan-kepincangan sosial dan ekonomi tersebut bukanlah


pertama-tama karena soal pemulihan keamanan dan perjuangan pembebasan Irian Barat, tetapi
terutama sekali adalah sebagai akibat daripada pengurusan yang salah (mismanagement) di
bidang ekonomi-keuangan. Pengurusan yang salah ini ditandai oleh kenyataan-kenyataan
adanya pemborosan uang, tenaga, dan alat-alat, serta ongkos-ongkos produksi yang tinggi
sekalipun upah tetap rendah. Di antara mereka yang bertanggung jawab atas pengurusan
(management) ekonomi-keuangan tidak sedikit terdapat kaum kapitalis birokrat dan orang-orang
yang komunisto-phobia, buruh-phobia, rakyat-phobia, dan phobia-phobia lainnya, yang kerjanya
mengekang demokrasi dan menghambat perkembangan tenaga-tenaga produktif kaum buruh
dan kaum tani.

Karena susunan organisasi ekonomi yang birokratis dan karena bercokolnya kaum kapitalis
birokrat maka sangat sulit pekerjaan merombak pengurusan (management) yang buruk.
Pengawasan yang demokratis dari massa ditekan, pembentukan Dewan-Dewan Perusahaan
dan Dewan Produksi dihambat. Hal-hal ini dengan tandas telah diperingatkan oleh Presiden
Sukarno dalam Pidato Tahun Kemenangan. Semboyan atau program negara termasuk pula
amanat-amanat dan instruksi-instruksi yang baik-baik di bidang ekonomi dalam pelaksanaannya
mengalami rintangan-rintangan atau disabot. Masih banyak orang-orang yang bertanggung
jawab atas pengurusan ekonomi-keuangan, baik di pusat maupun di daerah-daerah, yang tidak
berorientasi kepada rakyat, kepada tenaga-tenaga produktif, yang pada pokoknya tidak
mengabdi kepada Amanat Penderitaan Rakyat.

Termasuk pula satu pengurusan yang salah (mismanagement) di bidang perdagangan luar
negeri ialah tergantungnya kurang lebih 70% dari ekspor-impor kepada pasaran negara-negara
imperialis Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pasaran Bersama Eropa (PBE) adalah alat kaum
imperialis untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi imperialis dalam bentuk neo-kolonialisme
di negeri-negeri A-A-A dan untuk memperkuat dasar ekonomi dari blok militer agresif NATO.
Praktek-praktek PBE sangat merugikan Indonesia sebagai negeri penghasil bahan mentah dan
negeri yang industrinya masih belum maju.

Untuk mengatasi krisis ekonomi-keuangan sekarang ini, Politbiro CC PKI antara lain
menekankan perlunya ada retuling radikal di bidang aparat-aparat ekonomi-keuangan; perlunya
pembantrasan secara kongkrit dan sistematis segala komunisto-phobia, buruh-phobia, rakyat-
phobia, dan phobia-phobia lainnya dalam segala bentuk dan manifestasinya baik di kalangan
sipil maupun di kalangan militer; perlunya dijamin hak-hak demokrasi bagi kaum buruh dan kaum
tani serta seluruh rakyat agar dapat bercancut-taliwondo untuk menanggulangi krisis ekonomi
sekarang; perlunya ada jaminan bagi perkembangan tenaga produktif di bidang pertanian,
perkebunan, dan pertambangan; perlunya politik pembangunan didasarkan atas pengertian
bahwa pertanian dan perkebunan adalah dasar, sedangkan industri adalah tulang punggung
untuk perkembangan ekonomi nasional.
Selanjutnya ditekankan dalam pernyataan itu, bahwa Rakyat Indonesia harus dengan teguh
melawan penyelewengan ke kanan, yaitu kecenderungan untuk “melakukan kerjasama teknik
dan ekonomi” dengan kaum imperialis yang hakekatnya adalah bentuk-bentuk neo-kolonialisme,
baik penanaman modal secara klasik maupun dalam bentuk baru seperti sistem “contractor”.
Neo-kolonialisme Pasaran Bersama Eropa (PBE) yang merugikan ekonomi negara-negara A-A-
A harus dilawan dan Pemerintah perlu mengadakan persiapan untuk membahas masalah neo-
kolonialisme di konferensi A-A ke II yang akan datang, antara lain dengan memasukkan soal
PBE sebagai salah satu acara konferensi.

PKI yakin, bahwa dengan menyalakan terus Api Trikora sehebat-hebatnya, dengan
memperkuat persatuan nasional yang berporoskan Nasakom, dengan melaksanakan secara
konsekuen pidato Tahun Kemenangan Presiden Sukarno dan dengan melaksanakan politik
retuling yang revolusioner dan sungguh-sungguh, kesulitan-kesulitan ekonomi sekarang ini akan
dapat ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Kepada SBPP, atas nama Comite Central PKI, saya harapkan kegiatan-kegiatan yang
sebesar-besarnya dalam pelaksanaan ofensif Manipol tersebut.

Maju terus dengan semangat Trikora menanggulangi soal ekonomi!

Ritul aparatur ekonomi untuk mengatasi krisis sandang-pangan!

Kobarkan terus tradisi revolusioner kaum buruh pelabuhan dan pelayaran!

SBPP, hidup!

Rakyat dan Republik Indonesia, hidup!

(Sambutan tertulis Ketua CC PKI, D. N. Aidit, kepada Pimpinan Pusat Serikat Buruh
Pelabuhan dan Pelayaran, tanggal 25 Oktober 1962)

TARIK SEBANYAK MUNGKIN WANITA MUDA KE DALAM GERAKAN


REVOLUSIONER

Kibarkan Tinggi-Tinggi Panji-Panji Sumpah Pemuda Dalam Mengkonsolidasi Nasion


Indonesia

Pertama-tama atas nama Comite Central Partai Komunis Indonesia dan atas nama saya
snediri, dari mimbar ini saya menyampaikan ucapan selamat dan menyatakan rasa gembira
kepada Pemuda Rakyat yang telah berhasil menyelenggarakan Seminar Nasional Wanita Muda
yang pertama ini. Kegembiraan ini lebih-lebih lagi, karena kami tahu bahwa seminar ini
dilangsungkan sesudah terlebih dahulu di daerah-daerah diadakan penelitian-penelitian dan
diselenggarakan seminar-seminar tentang nasib dan kedudukan wanita muda.

Saya mengetahui dan kawan-kawan pun menyadarinya, bahwa penelitian-penelitian yang


sudah kawan-kawan adakan belum cukup mendalam. Ini tidak usah membikin kita berkecil hati.
Tidak apa. Yang menggembirakan ialah bahwa kawan-kawan sudah berusaha untuk “mengenal
keadaan” yang harus kawan-kawan kenal, agar pekerjaan dan pengabdian dapat diperbaiki. Ini
berarti bahwa kawan-kawan mulai bekerja secara ilmiah, memadukan pekerjaan organisasi dan
politik dengan pekerjaan penelitian, mulai bekerja secara Marxis. Jika pekerjaan semacam ini
diteruskan, dan saya mengharap agar diteruskan, maka pasti hasil pekerjaan kita di masa
datang akan lebih baik.

Saya tidak akan mengatakan bahwa hasil pekerjaan penelitian dan seminar-seminar di
daerah-daerah tidak baik. Tidak, hasil yang kawan-kawan capai sudah baik. Kalau ada orang
mengatakan tidak baik, mungkin ada tiga sebabnya:  pertama, mungkin mereka berat sebelah
dalam menilai hasil-hasil pekerjaan kawan-kawan; kedua, mungkin telinga mereka kurang sedap
mendengar fakta-fakta tentang suka duka dan kedudukan wanita muda yang kawan-kawan
paparkan dalam seminar ini; ketiga, mereka ngeri melihat kebulatan tekad kawan-kawan dalam
melawan gangsterisme imperialis, “bandotisme”, tuan tanah, kapitalis dan centeng-centengnya.

Hasil pekerjaan kawan-kawan sudah baik, oleh karena itu sekali lagi saya mengucapkan
selamat, menyatakan kegembiraan, dan juga menyampaikan salut. Bekerjalah terus
melaksanakan semboyan “Tahu Marxisme dan kenal keadaan”. Padukanlah pekerjaan
organisasi dan politik dengan pekerjaan penelitian!

Seminar Nasional Wanita Muda yang pertama ini dilangsungkan dalam suasana peringatan
Hari Sumpah Pemuda. Kita semua memberi hormat yang tinggi kepada generasi yang telah
mencetuskan Sumpah Pemuda 34 tahun yang lalu. Sumpah Sakti ini telah memainkan peranan
yang sangat besar dalam pembinaan nasion Indonesia, dalam penciptaan Indonesia yang
bersatu, dalam melawan propinsialisme, sukuisme, dan rasialisme. Semua orang dengan tidak
pandang perbedaan suku dan keturunan, yang menganggap dirinya berbangsa Indonesia,
bertanah air Indonesia, dan berbahasa Indonesia adalah termasuk nasion Indonesia.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan 34 tahun yang lalu adalah cetusan perasaan dan pikiran
Rakyat Indonesia yang maju ketika itu dari suku bangsa-suku bangsa dan dari berbagai asal
keturunan yang tersebar di seluruh persada tanah air, yang dipengaruhi oleh gerakan rakyat
yang beraliran Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme.

Sumpah Pemuda lahir sesudah Rakyat Indonesia mengalami adanya gerakan Nasionalis,
Islam, dan Komunis. Kerjasama antara ketiga gerakan inilah yang dicita-citakan dan didorong-
dorongkan oleh Bung Karno dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”
dalam tahun 1926. Tulisan ini merupakan konsepsi persatuan nasional yang cemerlang,
merupakan peristiwa kelahirannya bayi absah yang sekarang sudah menjadi jejaka perkasa
yang bernama Nasakom. Oleh karena itulah saya menganjurkan kepada para pemuda untuk
mempelajari tulisan Bung Karno ini, karena dengan mengerti ini para pemuda dapat memahami
secara baik soal-soal politik yang penting yang terjadi di negeri kita sekarang. Kepada badan-
badan penerbitan, baik resmi maupun swasta saya anjurkan untuk menerbitkan sebanyak-
banyaknya tulisan ini, terpisah dari buku Di Bawah Bendera Revolusi yang tebal itu, dalam
bentuk brosur kecil agar murah harganya sehingga banyak yang dapat memilikinya. Kuasailah
isi, jiwa, dan semangat tulisan ini, yaitu isi, jiwa, dan semangat ingin mempersatukan seluruh
Rakyat Indonesia dalam front persatuan yang berporoskan Nasakom agar dapat menggempur
imperialisme dan kolonialisme sehebat-hebatnya. Isi, jiwa, dan semangat ini harus dijadikan isi,
jiwa, dan semangat Sumpah Pemuda oleh generasi sekarang.

Saya mengharap agar Pemuda Rakyat, segenap anggota putera dan puterinya, ya, agar
segenap pemuda Indonesia tanpa terkecuali tetap setia dan terus-menerus memperkuat
kesetiannya kepada Sumpah Pemuda. Pemuda generasi sekarang bukan hanya harus menjadi
penerus pembina nasion Indonesia, tetapi harus membina nasion Indonesia sesuai dengan
Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu ada dua tugas kita dalam pembinaan nasion.

Pertama, mengkonsolidasi nasion yang sudah terbentuk sekarang di segala aspeknya. Kita
harus melawan tiap gerakan separatis, yaitu gerakan yang distimulir oleh kaum imperialis dan
yang mendasarkan diri pada sisa-sisa feodalisme setempat, pada kegiatan barter-liar dan
penyelundupan-penyelundupan. Sisa-sisa feodalisme setempat, barter-liar, dan penyelundupan-
penyelundupan adalah basis ekonomi daripada gerakan separatis, karena keadaan dan
kegiatan-kegiatan ini membawa pengingkaran terhadap kewibawaan pemerintah pusat. Hal ini
sudah dibuktikan dengan jelas oleh gerakan separatis PRRI-Permesta. Bersamaan dengan itu,
dengan semangat Trikora, yaitu semangat persatuan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme
yang tinggi, kita harus mempercepat penyelesaian soal Irian Barat demi keutuhan wilayah negeri
kita. Tidak kalah pentingnya ialah soal menyempurnakan bahasa Indonesia, agar sempurna
gramatikanya, besar perbendaharaan kata-katanya dan dapat digunakan secara aktif oleh
semua orang Indonesia. Kita harus lebih hebat bekerja untuk perkembangan kebudayaan
nasional, harus mengembangkan secara kritis kebudayaan semua suku dan menerima secara
kritis pengaruh kebudayaan progresif dari luar.

Kedua, sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan Manipol, kita harus
menjadikan nasion kita satu nasion Sosialis. Pembentukan nasion saja bukanlah tujuan.
Sesudah nasion itu terbentuk maka timbul persoalan nasion yang bagaimana, yang kapitalis
atau yang Sosialis. Di dunia sekarang banyak bangsa yang syarat selengkap-lengkapnya
sebagai nasion, tetapi di tengah-tengah bangsa itu merajalela kemiskinan, kepapasengsaraan,
pengangguran, gangsterisme, dan segala yang tidak pantas bagi perkembangan maju
kemanusiaan. Ini adalah nasion-nasion kapitalis, dan nasion semacam ini bukanlah tujuan
daripada Sumpah Pemuda 34 tahun yang lalu. Lagi pula zaman sekarang bukanlah lagi
zamannya bagi Rakyat Indonesia untuk membentuk nasion semacam itu. Untuk menjadikan
nasion kita satu nasion Sosialis, maka tugas urgen kita ialah melikuidasi sama sekali sisa-sisa
feodalisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme dari muka persada tanah air kita. Hanya jika kita
berhasil melaksanakan tugas urgen ini, barulah terbuka pintu bagi kita untuk membina nasion
Sosialis, nasion yang sepenuhnya sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat kita.

Demikianlah kawan-kawan, sambutan singkat yang saya rasa perlu saya kemukakan kepada
Seminar Wanita Muda yang berlangsung dalam suasana hangatnya peringatan Hari Sumpah
Pemuda. Marilah kita kibarkan terus tinggi-tinggi panji-panji Sumpah Pemuda! Di bawah kibaran
panji-panji Sumpah Pemuda kita mengkonsolidasikan nasion Indonesia di segala aspeknya,
menciptakan syarat-syarat untuk terbentuknya nasion Indonesia yang modern dengan isi
Sosialisme, untuk terbentuknya nasion Sosialis Indonesia.

Sebelum saya lanjutkan berbicara tentang seminar ini, ingin saya terlebih dahulu
mengemukakan sesuatu yang sering memberi tambahan kekuatan kepada saya dan kawan-
kawan lainnya dari pimpinan Partai dalam kami memimpin Partai sehari-hari. Apakah yang saya
maksudkan kawan-kawan?

Yang saya maksudkan ialah kesetiaan Pemuda Rakyat kepada PKI. Saya dan kawan-kawan
pimpinan lainnya mengikuti dari jarak yang sangat dekat perkembangan dan pekerjaan Pemuda
Rakyat. Kami mengetahui dengan baik suka dan duka Pemuda Rakyat, dan baik dalam suka
maupun dalam duka Pemuda Rakyat tetap setia kepada PKI, tetap setia kepada perjuangan
Rakyat pekerja. Adakah yang lebih menggembirakan daripada ini kawan-kawan? Pemuda
Rakyat tidak hanya dalam kata-kata setia kepada kelas buruh dan rakyat pekerja dan kepada
Partai kelas buruh, tetapi juga setia dalam perbuatannya.

Ada kalanya di tengah-tengah kesibukan pekerjaan sehari-hari aku meminjam dan membaca
buku harian anggota Pemuda Rakyat. Sungguh-sungguh mengharukan, kawan-kawan. Di
tengah-tengah kesibukan mempertahankan hidup sebagai pekerja, atau sebagai pelajar yang
oleh Pemuda Rakyat diwajibkan menjadi pelajar yang baik, menurut catatan dalam buku harian-
buku hariannya anggota-anggota Pemuda Rakyat telah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak dilakukan oleh pemuda-pemuda biasa. Buku harian-buku harian itu berbicara bahwa
pemilik-pemiliknya adalah pejuang-pejuang muda, orang-orang revolusioner muda. Mereka
melakukan berbagai kegiatan organisasi, membantu aksi kaum buruh dan kaum tani, melakukan
kerja bakti, ambil bagian dalam demonstrasi, dalam gerakan 1001, dalam kegiatan olah raga dan
kesenian, dalam kegiatan untuk pembebasan Irian Barat, mendiskusikan keputusan-keputusan
Kongres Pemuda Rakyat, editorial Harian Rakyat, pernyataan PKI, mengikuti kursus Manipol,
kursus tentang Marxisme-Leninisme, dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam buku harian-buku
harian kubaca bahwa mereka mengumpulkan uang karena ada teman tiba-tiba dipecat dari
pekerjaan, karena ada rumah teman terbakar, karena teman lain sakit keras. Dalam catatan
buku harian juga kubaca tentang rekreasi, tentang piknik, dan sebagainya, dan sebagainya.

Dalam sebuah buku catatan ada ditulis begini: “Hari ini aku keluar dari tahanan seminggu,
karena ambil bagian dalam demonstrasi. Apakah masuk tahanan dalam seminggu sudah cukup
bagiku untuk menjadi orang revolusioner?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat wajar,
karena kawan muda ini melihat pada pemimpin-pemimpin revolusioner sejati yang boleh dibilang
semua pernah masuk penjara.

Ya, segala macam isinya, dan jika disimpulkan buku-buku catatan itu berbicara tentang: kerja,
kesetiaan, pengabdian, dan solidaritas. Semuanya ini diperlukan bagi perkembangan
pemuda-pemuda itu untuk menjadi orang-orang revolusioner yang dewasa. Dan mereka
memang akan menjadi orang-orang revolusioner dewasa, jalan lain yang lebih baik bagi mereka
tidak ada.

Kongres Nasional ke VII PKI dalam bulan April tahun ini telah mengambil beberapa
kesimpulan mengenai Pemuda Rakyat, antara lain bahwa Pemuda Rakyat harus tekun
melaksanakan semboyan “Jadikan Pemuda Rakyat organisasi yang besar dan
terkonsolidasi!”, dengan terus melakukan kegiatan-kegiatan besar untuk meluaskan organisasi
dan keanggotaan serta mendidik barisannya dalam semangat Marxisme-Leninisme. Seperti juga
disebut dalam pidato pembukaan seminar oleh Kawan Sukatno, Kongres Nasional ke VII PKI
menginstruksikan supaya keanggotaan Pemuda Rakyat “bukan hanya harus diperbanyak,
tetapi juga komposisinya harus diperbaiki, harus lebih banyak pemuda-pemuda buruh
dan tani masuk di dalam badan-badan pimpinan, dan jumlah anggota wanita harus
ditingkatkan karena sekarang jumlahnya baru 87.000 atau 7% daripada seluruh anggota”.

Seminar ini diadakan sebagai usaha kawan-kawan untuk memperbaiki pekerjaan Pemuda
Rakyat di kalangan wanita muda, agar presentase keanggotaan puteri Pemuda Rakyat dapat
ditingkatkan.
Memperbaiki pekerjaan di kalangan wanita muda, artinya mengenal dengan baik nasib dan
kedudukan wanita muda serta menemukan cara-cara yang tepat guna membangkitkan wanita
muda dalam perjuangan untuk demokrasi, perbaikan nasib, dan emansipasi, tidak hanya penting
bagi wanita-wanita muda yang tergabung dalam Pemuda Rakyat, dan juga tidak hanya penting
bagi Pemuda Rakyat saja, tetapi penting sekali bagi gerakan revolusioner kita pada umumnya.
Wanita muda adalah bagian yang paling gairah dan dinamis daripada massa wanita kita, dan
kita tidak akan berhasil menarik massa wanita yang luas ke dalam gerakan revolusioner jika
tidak menarik massa wanita muda ke dalamnya.

Tentang betapa besarnya peranan wanita dalam gerakan politik, Lenin pernah menulis
sebagai berikut: “… Tetapi massa tidak bisa ditarik ke dalam politik tanpa menarik pula
kaum wanita. Karena wanita, separo umat manusia, tertindas dobel di bawah kapitalisme.
Kaum wanita buruh dan tani tertindas oleh kapitalisme dan lebih-lebih lagi, di dalam
republik-republik borjuis yang paling demokratis sekalipun, mereka tetap tidak
mempunyai hak-hak yang penuh, karena undang-undang tidak menjamin bagi mereka
persamaan dengan kaum pria……” Dengan demikian jelaslah betapa pentingnya pekerjaan di
kalangan wanita buruh dan tani, karena di sanalah terdapat bagian yang sangat terbesar
daripada wanita, dan di sanalah pula terdapat penindasan yang paling hebat. Oleh karena itu
pulalah orientasi kita dalam mengorganisasi dan memobilisasi massa wanita harus kepada
wanita buruh dan wanita tani, sudah tentu dengan tidak boleh mengabaikan pekerjaan di
kalangan wanita dari golongan-golongan lain. Oleh karena itulah Pemuda Rakyat harus lebih
banyak bekerja di kalangan wanita-wanita muda buruh dan tani.

Saya mengharap dan yakin, bahwa Seminar Wanita Muda ini akan memberi sumbangan yang
besar pada usaha menarik sebanyak mungkin wanita muda ke dalam barisan revolusioner,
sebagai usaha untuk mempercepat langkah perkembangan gerakan revolusioner pada
umumnya, khususnya Pemuda Rakyat. Hanya jika Pemuda Rakyat berhasil menarik ratusan ribu
wanita muda ke dalam barisannya, Pemuda Rakyat akan dapat melaksanakan semboyan
“Jadikan Pemuda Rakyat organisasi yang besar dan terkonsolidasi!”. Oleh karena itu,
pergilah ke desa-desa, ke pabrik-pabrik, dan perkampungan-perkampungan kaum buruh dan di
sana Pemuda Rakyat akan menjadi besar dan terkonsolidasi.

Kawan Mudjiatun dalam laporannya berbicara tentang wanita yang berkepribadian tipe baru,
yang maksudnya berkepribadian berbeda dengan kepribadian wanita-wanita borjuis atau feodal.
Memang, saya mengharapkan agar kader-kader wanita Pemuda Rakyat memiliki kepribadian
yang lain daripada kepribadian wanita-wanita borjuis atau feodal, yang berbeda dengan wanita-
wanita dari kalangan oleh Bung Karno suka disebut “gerakan den ayu-den ayu” atau “ladies
movement”.

Kader-kader wanita Pemuda Rakyat haruslah membentuk diri menjadi wanita-wanita yang
cerdas, yang dengan inteleknya tidak hanya pandai memaparkan kekurangan-kekurangan
masyarakat sekarang, bagaimana masyarakat sekarang tersusun dan berkembang, tetapi juga
bagaimana seharusnya bekerja untuk mendatangkan dan membina masyarakat baru.

Kader-kader wanita Pemuda Rakyat haruslah membentuk diri menjadi wanita-wanita yang
kemauannya dapat memberi dorongan untuk bersatu, untuk beraksi dan bekerja guna
melenyapkan sebab-sebab yang membikin manusia hidup tidak berbahagia.
Kader-kader wanita Pemuda Rakyat haruslah membentuk diri menjadi wanita-wanita yang
berperasaan seadil-adilnya, suka mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya,
solider dan ingin adanya persatuan semua manusia yang bekerja untuk membangun dunia baru
dimana terdapat penghargaan terhadap manusia dan terhadap kerja.

Intelek (pikiran), kemauan dan perasaan ini harus saling mengisi sehingga merupakan
kesatuan dan menimbulkan kepribadian tipe baru pada kader-kader wanita Pemuda
Rakyat, yang membedakan mereka dari wanita-wanita borjuis dan feodal. Dengan
kepribadian demikian secara wajar mereka akan memainkan peranan yang makin lama makin
penting dalam kehidupan organisasi dan politik. Kepribadian yang baik demikian tidak turun dari
langit, tapi walaupun demikian dapat dimiliki oleh tiap-tiap wanita revolusioner yang mempunyai
kesetiaan tanpa batas pada perjuangan Rakyat Pekerja, yang tekun mengabdi pada
perjuangan ini dan menggunakan tiap-tiap kesempatan yang ada untuk memperdalam
kesadaran dan menguasai prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme.

Kawan-kawan, demikianlah harapan-harapan saya kepada Seminar Wanita Muda ini dan
kepada segenap kader wanita Pemuda Rakyat.

Dengan pergi ke desa-desa, ke pabrik-pabrik dan perkampungan-perkampungan kaum buruh


Pemuda Rakyat akan menjadi organisasi yang besar dan terkonsolidasi. Dengan makin
banyaknya kader-kader wanita Pemuda Rakyat yang memiliki kepribadian tipe baru, Pemuda
Rakyat akan lebih terkonsolidasi lagi.

Seminar Nasional Wanita Muda, hidup!

Pemuda Rakyat, hidup!

Pemuda Indonesia, hidup!

(Pokok-pokok pidato Ketua CC PKI, D. N. Aidit, di hadapan Seminar Wanita Muda di


Jakarta, tanggal 30 Oktober 1962)

FRONT NASIONAL DAN BEBERAPA SOAL REVOLUSI INDONESIA

1. Garis Indoktrinasi.

Para peserta coaching diminta mempelajari “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) setebal
958 halaman, belum terhitung buku-buku dan bahan-bahan tambahan. Oleh karena itu sangat
dirasakan perlunya ada petunjuk yang cekak-aos atau padat tentang apa yang harus
diindoktrinasikan. Adanya garis yang cekak-aos ini lebih-lebih penting untuk melakukan
indoktrinasi kepada massa yang luas. Dan garis ini perlu ditegaskan dalam setiap coaching
indoktrinasi, apalagi yang hanya memakan waktu 2 atau 3 hari.

Amanat Presiden Sukarno “Tahun Kemenangan” (Takem) pada tanggal 17 Agustus 1962
merupakan juga permulaan kemenangan di bidang indoktrinasi. Pada halaman 12 buku “Tahun
Kemenangan” penerbitan khusus Deppen No. 225 Presiden Sukarno dengan cekak-aos
menggariskan hal-hal apa yang sesungguhnya harus diindoktrinasikan bagi suksesnya
pelaksanaan Triprogram. Dikatakan sebagai berikut:
“…… sejak 1959, tiap pidato 17 Agustus saya selalu berpangkal dan berputar sekitar
indoktrinasi. Sejak tahun 1959 itu, maka boleh dikatakan tiap pidato 17 Agustus, dari halaman
pertama sampai ke halaman terakhir, mengandung wejangan. Wejangan mengenai Revolusi;
wejangan mengenai Pancasila dan progresifisme; wejangan tentang kepribadian Indonesia yang
berpusat kepada gotong-royong, musyawarah dan mufakat; wejangan tentang persatuan
Nasional Revolusioner; wejangan memberantas komunisto-phobi; wejangan mutlak perlunya
poros Nasakom; wejangan mengenai jahatnya liberalisme; wejangan mengenai perlunya Satu
Pimpinan Nasional; wejangan mengenai sosialisme, sosialisme, sosialisme, dan sekali lagi
sosialisme”.

Selanjutnya Presiden Sukarno menandaskan:

“Hanya jika landasan-landasan ini menjadi milik bersama daripada Rakyat, milik
bersama daripada para pemimpin, milik bersama pun daripada seluruh Angkatan
Bersenjata, maka dapatlah dicapai hasil-hasil gemilang dalam Revolusi Indonesia, hasil
gemilang pula dalam pelaksanaan Triprogram”.

Dengan adanya garis indoktrinasi ini maka kemungkinan nyeleweng atau ngelantur dalam
mengindoktrinasi bisa dikurangi.

Musyawarah Pengurus Besar Front Nasional dengan pucuk pimpinan partai-partai dan ormas-
ormas (organisasi-organisasi massa) serta golongan-golongan karya, kemudian dengan
Pengurus-Pengurus Daerah FN, mufakat bulat untuk meratakan tema-tema indoktrinasi yang
digariskan dalam “Takem” itu, sekarang dikenal dengan sebutan “Sembilan Tema Indoktrinasi”
atau “Sembilan Wejangan”.

Sesuai dengan garis indoktrinasi itu semua pemilik buku “Tubapi”, buku Manipol dan
pedoman-pedoman pelaksanaannya, perlu membaca kembali buku-bukunya dengan kacamata
“Sembilan Wejangan”. Bagi seluruh rakyat maupun alat-alat negara yang taat kepada Revolusi
dan Presiden Sukarno menjadi jelas bahwa indoktrinasi yang tepat adalah yang menanamkan
keyakinan tentang kebenaran “Sembilan Wejangan” itu. Terutama semua juru indoktrinasi harus
benar-benar menyesuaikan diri dengan garis indoktrinasi “Sembilan Wejangan”.

Hanya dengan setia pada garis “Sembilan Wejangan” penggalangan Front Nasional
akan berjalan lebih lancar. Front Nasional pada hakekatnya adalah kesatuan aksi. Oleh
karena itu, dalam Front Nasional harus senantiasa diusahakan penanaman kesetiaan
pada “Sembilan Wejangan”. Hanya dengan demikian akan tercapai kesatuan pikiran
tentang soal-soal penting mengenai Revolusi Indonesia. Hanya dengan adanya kesatuan
pikiran dapat dijalankan kesatuan aksi.

Selanjutnya pada kesempatan ini saya ingin berbicara tentang beberapa soal Revolusi
Indonesia.

2. Tentang dua tahap Revolusi Indonesia

Mengenal secara tepat siapa kawan dan siapa lawan dalam revolusi adalah syarat mutlak
untuk menjalankan dan memenangkan revolusi. Presiden Sukarno pun sering menyatakan hal
ini.

Untuk itu perlu ada kebulatan antara lain tentang adanya dua tahap revolusi. Lihat “Tubapi”
halaman 171 bawah. Di situ tidak hanya dikatakan dua tahap, tapi juga dua tujuan.
Tiap tahap mempunyai tugas sendiri. Seperti nampak dalam halaman 171 “Tubapi” itu, tahap
pertama bertugas membersihkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dari bumi Indonesia,
sedangkan tahap kedua bertugas membersihkan bumi Indonesia dari kapitalisme atau
penghisapan oleh manusia atas manusia guna mencapai Sosialisme Indonesia. Tanpa
memahami adanya dua tahap ini berarti tidak memahami Revolusi Indonesia, tidak memahami
apa yang dikatakan dalam Manipol bahwa Revolusi Indonesia berbeda dengan Revolusi borjuis
Perancis 1789 dan berbeda dengan Revolusi Sosialis Rusia 1917. Revolusi Perancis 1789
adalah revolusi untuk kemenangan kapitalisme, sedangkan Revolusi Indonesia berperspektif
Sosialisme. Revolusi Sosialis Rusia 1917 adalah revolusi yang sekali pukul berwatak Sosialis,
sedangkan Revolusi Indonesia berwatak nasional-demokratis dengan perspektif Sosialisme.

Jika tentang dua tahap Revolusi tidak cukup dipahami, ada bahaya, bahwa kawan dipukul dan
lawan dirangkul, misalnya pada tahap pertama sekarang sisa-sisa feodalisme dipertahankan dan
imperialisme diundang, tetapi kaum buruh, kaum tani, pengusaha-pengusaha kecil dan
pengusaha nasional ditendang.

Dalam pidato 1 Mei 1962 Presiden Sukarno pun menegaskan bahwa disamping harus
menggalang persatuan kaum buruh dan kaum tani, burjuasi nasional yang progresif harus ditarik
ke dalam persatuan yang berporoskan Nasakom, sebagai syarat mutlak bagi kemenangan
revolusi.

Tetapi harus diingat, bahwa antara tahap pertama dan tahap kedua tidak ada “tembok
Tiongkok”. Tahap pertama menyiapkan tahap kedua, dan tahap kedua menyelesaikan tahap
pertama (perspektif tahap pertama adalah Sosialisme).

3. Indonesia dalam barisan “the new emerging forces”

Tubapi halaman 169-170-171 menerangkan bahwa Revolusi Indonesia adalah bagian dari
Revolusi Dunia yang dilaksanakan sekarang oleh ¾ umat manusia. Sesudah KTT non-blok ¾
umat manusia ini dirumuskan sebagai “the new emerging forces”.

Berkali-kali misalnya dalam salah satu pidatonya di depan SESKOAD, Presiden Sukarno
menguraikan bahwa revolusi-revolusi sosialis dan revolusi-revolusi nasional keluar dari satu
buaian, yaitu buaian “the new emerging forces” melawan “the old established forces”. Ini tidak
bisa lain karena perspektif Revolusi kita adalah Sosialisme, dan bukan kapitalisme.

Pengertian tentang hal ini penting pula untuk mengenal siapa kawan dan siapa lawan revolusi
kita secara internasional.

4. Basis kekuatan Revolusi dan FN

Tentang kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia, Manipol antara lain menerangkan:


“Dengan tidak mengurangi arti dari kelas-kelas dan golongan-golongan lain, sebagaimana sudah
sering ditekan-tekankan oleh Presiden Sukarno, kaum buruh dan kaum tani, baik karena vitalnya
maupun karena sangat banyak jumlahnya, harus menjadi kekuatan pokok dalam Revolusi dan
harus menjadi sokoguru masyarakat adil dan makmur di Indonesia”. (Tubapi, halaman 82).

Disamping itu, juga dihitung 7 modal yang sekarang sudah menjadi milik Rakyat Indonesia.
(Tubapi, halaman 115-116).

FN ini hanya bisa kuat jika berbasiskan “kekuatan pokok dalam Revolusi” dan “sokoguru
masyarakat adil dan makmur”, yaitu kaum buruh dan kaum tani. Kaum buruh dan tani adalah
“kekuatan pokok” dan “sokoguru” tidak hanya karena jumlahnya yang banyak, tetapi karena
vitalnya. Vital, karena kaum buruh dan tani adalah golongan yang produktif, sedangkan
tanpa produksi tidak mungkin ada masyarakat.

5. “Tanah untuk tani” syarat mutlak

Menghapuskan sistem tuan tanah, menghapuskan sisa-sisa feodalisme dan melaksanakan


semboyan “Tanah untuk tani”, dalam beberapa halaman Tubapi dikemukakan sebagai syarat
mutlak bagi kemenangan revolusi, misalnya di halaman 183 dan 184. Tetapi jarang sekali
indoktrinator-indoktrinator resmi yang suka menerangkan hal ini!

Dalam Tubapi halaman 184 dapat dibaca antara lain:

“Melupakan tugas melawan keterbelakangan feodal, berarti tidak membebaskan kaum tani
dari penghisapan kaum lintah darat dan tuan tanah, berarti tidak menarik sebagian besar dari
Rakyat Indonesia ke dalam geloranya revolusi. Jalan ini adalah jalan yang salah, ibarat orang
bertarung memakai satu tangan”.

Selanjutnya dalam “Tubapi” itu dikatakan:

“Membebaskan kaum tani dari beban-beban feodal dan memberikan kepada mereka sebidang
tanah garapan, menghapuskan sistem tuan tanah, akan menimbulkan elan revolusioner di
kalangan kaum tani serta dapat membawa mereka ke dalam arus revolusi untuk menyelesaikan
tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945”.

Sebelum semboyan “Tanah untuk tani” terlaksana, sebagai latihan revolusioner dan persiapan
ke arah itu, penting sekali aksi untuk pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil.

Hingga sekarang, dalam mengkritik orang-orang penderita phobi, Presiden Sukarno


menyatakan dalam Takem bahwa baik perjanjian bagi hasil yang agak menguntungkan kaum
tani maupun landreform belum melaksanakan betul-betul sebagaimana mestinya (Takem,
halaman 39). Betapa aneka-ragamnya rintangan dan keganjilan-keganjilan dalam hal ini pada
pertengahan bulan November yang berlalu dilaporkan dan disimpulkan dalam musyawarah kerja
PBFN dengan daerah-daerah yang dikunjungi oleh utusan-utusan kaum tani yang duduk atas
nama FN dalam Dewan-Dewan Pertimbangan.

6. Tentang pimpinan FN dan pimpinan revolusi

Dalam “Tubapi” diterangkan akibat-akibat buruk apabila ada dualisme berbentuk pimpinan
yang revolusioner disamping yang reaksioner.

Diadakannya organisasi FN merupakan salah satu cara yang penting untuk menghapuskan
berbagai dualisme.

Di atas segala-galanya pimpinan revolusi harus seperti yang dikatakan dalam “Jarek”:
dilakukan oleh “orang-orang revolusioner yang sejati” (Tubapi, halaman 202). Pimpinan FN pun
harus di tangan orang-orang demikian pula.

Ketika melantik PBFN, Presiden menentukan dua syarat untuk menjadi pimpinan FN, pertama:
harus orang revolusioner; kedua, harus pandai menggerakkan massa. Dan orang-orang
revolusioner “yang sejati” pada umumnya tentu memiliki sekaligus dua syarat itu.
Berbicara mengenai adanya berbagai kelas dan golongan dalam masyarakat, perlu pula dilihat
siapa yang seharusnya menjadi pelopor dalam revolusi. Dalam buku “Di Bawah Bendera
Revolusi”, Bung Karno menerangkan bahwa kelas proletar adalah rasional apabila menjadi
pandu, “voorloper”, “pelopor” (lihat DBR halaman 255). Bung Karno juga berkata “…… tentara
kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak
mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh,
barisannya kaum proletar” (DBR, halaman 256). Alasannya? “Sebab kaum proletarlah yang kini
lebih hidup di dalam ideologi modern”, karena lebih “selaras zaman”, lebih “nyata pikirannya”,
lebih “kongkrit”, “lebih besar harga perlawanannya (gevechtswaarde-nya) dari kaum yang lain-
lain”. (DBR, halaman 254).\

7. Mutlak perlunya poros Nasakom

Di dalam “Sembilan Wejangan” sebagai garis indoktrinasi yang tercantum dalam Takem antara
lain terdapat “wejangan mutlak perlunya poros Nasakom”.

Ada yang mengira seolah-olah Nasakom merupakan gagasan baru. Ini disangkal oleh
Presiden Sukarno sendiri, yang terdapat pula dalam Tubapi, halaman 216: “Bukalah tulisan-
tulisan saya dari jaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang lebar dalam majalah ‘Suluh
Indonesia Muda’ tahun 1926, tahun gawat-gawatnya menentang Belanda. Di dalam tulisan itu
pun saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya persatuan antara Islam,
Nasionalisme, dan Marxisme”. Jadi, gagasan Nasakom sudah mempunyai akar sejarah
(historical root) paling kurang 36 tahun.

8. Mutlak perlunya rituling

Revolusi tidak bisa menang dengan menggunakan alat-alat yang lama. Dalil ini pun sering
dinyatakan oleh Presiden Sukarno.

Cara menghapuskan alat-alat yang lama adalah harus seperti yang ditegaskan dalam Jarek:
revolusi dari atas dan dari bawah. Dari atas, dengan adanya rituling terhadap aparat dan
sistem; dari bawah, karena rituling aparat dan sistem itu dilakukan sesuai dengan
desakan rakyat dan didukung pula oleh rakyat. (Tubapi, halaman 241)

Yang terpenting sekarang adalah melaksanakan apa yang dikatakan dalam Tubapi halaman
239, yaitu bahwa “orang-orang yang diberi tugas, tetapi tidak berhati penuh atau tidak becus
untuk melaksanakan Manifesto Politik-Usdek, harus diretool!”. Keharusan ini tentu berlaku untuk
tubuh organisasi FN sendiri, bahkan lebih baik jika FN berhasil lebih dulu memelopori rituling
yang dimaksudkan itu.

Disamping rituling personalia (sekarang inilah yang paling urgen) memang diperlukan pula
rituling organisasi dan rituling mental. Tetapi seperti dikatakan dalam Manipol, juga hal ini
terutama tergantung kepada siapa pelaksananya, jadi kembali lagi kepada yang paling urgen,
yaitu rituling personalia.

Adalah tepat bahwa pembuat-pembuat kejahatan besar, di bidang politik dan ekonomi maupun
kebudayaan diumumkan seluas-luasnya kepada rakyat lewat surat kabar-surat kabar, plakat-
plakat yang dipasang  di pasar-pasar dan sebagainya, untuk menghalangi orang-orang lain
melakukan kejahatan besar semacam itu. Ada yang mengira bahwa ini bertentangan dengan
perikemanusiaan. Justru sebaliknya: yang tidak berperikemanusiaan adalah orang-orang yang
menentang diumumkannya pembuat-pembuat kejahatan besar itu, sehingga akibatnya mereka
tidak kapok dan memberikan angin kepada orang-orang lain untuk mengikuti jejaknya.

Hanya orang yang tersangkut dalam kejahatan besar yang kuatir kalau kejahatan besar
diberitahukan kepada rakyat banyak.

Dalam rangka mendobrak salah urus (mismanagement), yang sekarang merupakan perintang
utama bagi kelancaran pemerintahan, produksi, dan distribusi, maka rituling di segala bidang
adalah mutlak perlu. Dalam hubungan dengan ini adalah penting seruan Bung Karno untuk
kesekian kalinya kepada pemuda pada peringatan Hari Sumpah Pemuda (pidato tanggal 30
Oktober 1962), supaya pemuda melakukan kontrolnya dan bertindak terhadap kaum koruptor
dan segala ketidakbecusan.

(Pokok-pokok pidato D. N. Aidit sebagai Wakil Ketua PB FN di hadapan Coaching


Indoktrinasi PB FN untuk kader-kader partai dan ormas-ormas tanggal 5 Desember 1962)

Sejarah Marxisme di Indonesia | Seksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Anda mungkin juga menyukai