Anda di halaman 1dari 35

Masyarakat Indonesia dan

Revolusi Indonesia (Soal-soal


Pokok Revolusi Indonesia)
D.N. Aidit (Juli 1957)

Sumber: Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Soal-soal Pokok revolusi


Indonesia) , D.N. Aidit. Cetakan ke-6. Djakarta: Jajasan "PEMBARUAN", 1964. Scan PDF
Brosur "Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia"

ISI

Introduksi

Introduksi pada Cetakan ke-5

BAB I. INDONESIA DAN MASYARAKATNYA

Pasal 1 – Kedudukan Geografis Indonesia

Pasal 2 – Bangsa Indonesia

Pasal 3 – Masyarakat Feodal

Pasal 4 – Masyarakat Kolonial

Pasal 5 – Masyarakat Indonesia Sekarang adalah Setengah Jajahan dan Setengah Feodal

BAB II. REVOLUSI INDONESIA

Pasal 1 – Gerakan Revolusioner di Indonesia dalam Abad ke-20

Pasal 2 – Soal-Soal Pokok Revolusi Indonesia

----------------------------------------------------------

Introduksi

Kenalkah kita akan Indonesia? Akan hakikat sejarahnya, masyarakatnya, rakyatnya,


revolusinya? Sejak lama kebanyakan dari kita diliputi oleh keganjilan bahwa kita lebih mengenal
Barat daripada mengenal Indonesia, lebih mengenal revolusi negeri-negeri lain daripada revolusi
kita sendiri.
Keadaan ini sudah agak lama terasa, dan oleh sebab itu pimpinan PKI sudah agak lama pula
berusaha mengakhiri keadaan ini, artinya, untuk membikin putra-putra Indonesia kenal akan
masyarakatnya sendiri, untuk membikin orang-orang revolusioner Indonesia kenal akan
revolusinya sendiri. Setiap dokumen, referat, resolusi Partai, sebetulnya adalah suatu langkah
dalam usaha ini. Dan akhirnya, Sidang Pleno ke-5 CC PKI bulan Juli tahun 1957 ini, berhasil
menyusun pengenalan diri Indonesia itu dalam bentuk buku pelajaran Masyarakat Indonesia
dan Revolusi Indonesia. Buku pelajaran ini disusun oleh Kawan D. N. Aidit, dimaksudkan
sebagai buku pelajaran untuk Sekolah-sekolah Partai di pusat dan di propinsi-propinsi, dan
disahkan oleh Sidang Pleno CC di dalam Resolusi Mengenai Tulisan Tentang ‘Soal-Soal
Pokok Revolusi Indonesia’. Agar memahami benar arti dan tujuan buku pelajaran ini, perlu
sekali mempelajari Resolusi Sidang Pleno ke-5 CC Partai tersebut.

Kita menerbitkan tulisan ini dengan keyakinan bahwa tulisan ini akan besar sekali artinya,
bukan hanya bagi kader-kader revolusioner, tetapi bahkan bagi perkembangan gerakan
revolusioner itu sendiri.

Depagitprop CC PKI

Jakarta, September 1957

--------------------------------------------------------

Introduksi pada Cetakan ke-5

Sejak Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia dijadikan buku pelajaran untuk
Sekolah Partai dan digunakan dalam badan-badan pendidikan umum untuk mempelajari
masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia, maka semakin dikenallah teori-teori PKI tentang
revolusi Indonesia. Sementara itu kebulatan Partai serta persatuan semua kekuatan revolusioner
menjadi semakin kokoh.

Dalam mempelajari buku ini patut menjadi perhatian bahwa berkat perjuangan rakyat
Indonesia yang berhasil di berbagai bidang dalam melawan kekuatan imperialis dan feodal,
maka di sana-sini terdapat fakta-fakta yang sudah tersusul oleh perkembangan keadaan,
sehingga tidak sesuai lagi dengan kenyataan, seperti fakta-fakta tentang jumlah penduduk,
tentang perusahaan kapital monopoli asing, tentang perjuangan kaum tani berhubung dengan
adanya Undang-Undang Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria, tentang perjuangan
pembebasan Irian Barat dan beberapa fakta lainnya.

Meskipun demikian, dengan sengaja buku ini diterbitkan praktis tanpa perubahan. Buku
pelajaran ini tetap merupakan salah satu buku terpenting dalam mempelajari soal-soal penting
dan pokok dari masyarakat dan revolusi Indonesia.

Depagitprop CC PKI

Jakarta, 25 Agustus 1962

 
------------------------------------------------------

Kongres Nasional ke-5 Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilangsungkan dalam bulan
Maret 1954 sudah memberi jawaban mengenai semua masalah penting dan pokok dari revolusi
Indonesia. Tetapi sampai sekarang masih banyak anggota Partai yang belum mengetahui
dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan “masalah-masalah penting dan pokok dari revolusi
Indonesia”.

Soal-soal pokok revolusi kita penting diketahui. Mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia
berarti mengetahui sasaran-sasaran dan tugas-tugas revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan
yang mendorongnya, karakternya dan perspektifnya. Untuk mengetahui soal-soal pokok revolusi
Indonesia, pertama-tama kita harus mengetahui masyarakat Indonesia.

BAB I. INDONESIA DAN MASYARAKATNYA

Pasal 1. Kedudukan Geografis Indonesia

Indonesia adalah negeri kepulauan yang terdiri dari ribuan buah pulau kecil dan besar, dan
meliputi daerah daratan seluas hampir dua juta km² (luasnya Indonesia kira-kira 57 kali
Nederland, 5 kali Jepang, 3½ kali Prancis, 2 kali Pakistan). Pulau-pulau yang pokok ada lima
buah, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Barat. Jarak antara ujung
Indonesia yang paling Timur sampai ujung yang paling Barat kira-kira sama dengan jarak antara
pantai Timur dan pantai Barat Amerika Serikat, atau kira-kira sama dengan jarak antara
Kaukasus dan Inggris.

Indonesia dikelilingi oleh tiga lautan besar, yaitu Samudera Pasifik, Samudera Indonesia, dan
Lautan Tiongkok Selatan. Ia merupakan jembatan antara benua Asia dan benua Australia. Dari
kenyataan-kenyataan ini mudah dipahamkan mengapa Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu
sampai sekarang memegang peranan yang penting dalam lalu lintas dunia, dalam ekonomi, dan
dalam politik dunia.

Sebagai negeri katulistiwa (ekuator), iklim Indonesia adalah tropik. Temperatur (suhu)
Indonesia rata-rata 26 derajat Celcius (Jakarta rata-rata 26,4, Bandung 22,6, Semarang 26,9,
Ambon 27,2, derajat Celcius). Sebagai negeri tropik di Indonesia hanya ada dua musim, yaitu
musim kemarau dari bulan Maret sampai bulan September, dan musim hujan dari bulan
September sampai bulan Maret. Turunnya hujan tidak sama banyaknya, di satu daerah lebih
banyak daripada daerah yang lain.

Pulau-pulau Indonesia tanahnya sangat subur. Pulau Jawa termasuk yang paling subur di
dunia. Oleh karena itu sudah sejak zaman dahulu kala perladangan dan persawahan banyak
dilakukan. Gunung dan bukit, lembah dan ngarai, sungai dan air terjun banyak terdapat di
Indonesia. Di dalam bumi Indonesia terdapat banyak macam pelikan. Di dalam lautan Indonesia
terdapat banyak kekayaan. Di tanah yang subur dan kaya ini, yang lalu lintasnya dipermudah
oleh lautan-lautan dan sungai-sungai, nenek moyang bangsa Indonesia berkembang biak.

Indonesia termasuk salah satu negeri yang besar, dilihat dari sudut luas negerinya, maupun
dilihat dari sudut besarnya jumlah penduduk. Sebagai negeri yang kaya dan sebagai negeri
kepulauan yang menghubungkan dua benua serta dilingkungi oleh tiga lautan besar, maka ada
hal-hal yang menguntungkan dan yang merugikan Indonesia sekarang.

Indonesia diuntungkan oleh kedudukan geografisnya, karena Indonesia tidak mungkin


terisolasi dari dunia ramai. Indonesia mempunyai syarat-syarat untuk sepanjang masa menjadi
negeri yang ramai dikunjungi orang. Indonesia mempunyai syarat-syarat yang tidak terbatas
untuk mempunyai perhubungan laut yang luas di dalam negeri dan dengan luar negeri.

Tetapi di pihak lain, jika Indonesia sendiri bukan negeri yang kuat, adalah sangat sulit
mencegah desakan-desakan dari kaum penyerang yang sangat berkepentingan untuk
menguasai Indonesia yang kaya raya. Pantai-pantai Indonesia yang sangat panjang sukar dijaga
dari serbuan-serbuan militer asing dan dari kaum penyelundup.

Pengalaman Revolusi Agustus 1945 mengajar kita, bahwa untuk mempertahankan kedaulatan
Indonesia adalah sangat penting rol dari peperangan gerilya. Indonesia tidak memenuhi semua
syarat yang sangat diperlukan untuk peperangan gerilya, misalnya tidak cukup mempunyai
daerah-daerah luas yang didiami manusia, tidak mempunyai daerah-daerah pegunungan serta
hutan-hutan yang luas dan jauh letaknya dari kota-kota dan jalan-jalan perhubungan. Keadaan
menjadi lebih sukar lagi karena sekarang di sekitar Indonesia berderet benteng-benteng
imperialis yang berupa tanah-tanah jajahan atau setengah jajahan. Di sebelah Utara berderet-
deret Malaya, Singapura, Muangthai, Vietnam Selatan, Serawak, Kalimantan Utara dan Filipina.
Di sebelah Selatan ada Australia dan ada pulau Christmas dan kepulauan Cocos yang dikuasai
oleh Inggris. Di sebelah Timur ada Irian Timur yang dikuasai oleh Australia, sedangkan Irian
Barat masih sepenuhnya dikuasai oleh kaum imperialis Belanda. Indonesia sekarang tidak
berbatasan dengan negeri yang sudah bebas sama sekali dari kekuasaan imperialis. Semua
kenyataan ini lebih mengharuskan kaum revolusioner Indonesia untuk menempuh jalannya
sendiri dalam menyelesaikan revolusi Indonesia.

Pelajaran yang dapat kita tarik dari pengalaman-pengalaman Revolusi Agustus 1945 ialah,
bahwa di Indonesia dapat dilakukan peperangan gerilya. Tetapi, karena negeri kita tidak
memenuhi semua syarat untuk peperangan gerilya, maka revolusi kita pada waktu itu akan lebih
berhasil jika seandainya dapat dikombinasi secara baik tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan
gerilya di desa-desa (terutama terdiri dari kaum tani), aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh di
kota-kota, dan pekerjaan yang intensif di kalangan tenaga bersenjata musuh.

Pasal 2. Bangsa Indonesia

Penduduk Indonesia pada tahun 1955 berjumlah lebih dari 84 juta. Walaupun penduduk
Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, mereka semua merupakan kesatuan, yaitu bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia termasuk bangsa besar yang ke-6 di dunia (1. Tiongkok, 2. India,
3. Uni Soviet, 4. Amerika Serikat, 5. Jepang).

Penduduk Indonesia tersebarnya sangat tidak rata. Pulau Jawa, yaitu pulau yang terkecil dari
“Lima Besar” (Kalimantan, Irian Barat, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa), berpenduduk kira-kira 54
juta (sudah termasuk penduduk Madura). Sumatera, yang hampir 3½ kali Jawa besarnya
berpenduduk kira-kira 12 juta. Sulawesi yang 1½ kali Jawa besarnya berpenduduk kira-kira 6
juta. Kalimantan (bagian Indonesia) yang 4 kali Jawa besarnya, hanya berpenduduk kira-kira
3,5 juta. Selainnya tersebar di pulau-pulau Nusa Tenggara (5,5 juta) dan di pulau-pulau Maluku
(0,7 juta).
Pulau Jawa termasuk salah satu tempat di dunia yang paling padat penduduknya, yaitu kira-
kira 393 orang tiap-tiap kilometer persegi (tahun 1952), sedang di tempat yang terpadat sampai
mencapai 460 orang tiap-tiap kilometer persegi (di Jawa Tengah).

Di Indonesia terdapat lebih dari 100 suku bangsa, mulai yang berjumlah puluhan juta sampai
yang hanya beberapa ribu.

Di antara suku-suku bangsa itu terdapat suku-suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu,
Aceh, Minangkabau, Batak, Palembang, Lampung, Dayak, Banjar, Minahasa, Bugis, Toraja,
Makasar, Bali, Sasak, Maluku, Timor, Sabu, suku-suku bangsa di Irian Barat dan banyak lagi. Di
antara suku-suku bangsa ini, suku bangsa Jawa adalah yang terbesar, kemudian menyusul
Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, dan lain-lain. Suku bangsa Melayu adalah suku bangsa
yang sudah sejak lama paling luas daerah tersebarnya, yaitu di pesisir Timur pulau Sumatera, di
pulau-pulau antara Sumatera dan Kalimantan dan di seluruh pesisir Kalimantan. Tiap-tiap suku
bangsa mempunyai bahasanya sendiri-sendiri, di samping semuanya menerima bahasa
Indonesia, yang dasarnya adalah bahasa Melayu, sebagai bahasa persatuan. Tingkat
kebudayaan suku-suku bangsa ini tidak sama, tetapi semuanya mempunyai sejarah yang sudah
tua.

Jadi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa,
dan banyak tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa, dan
kebudayaan. Mereka terpecah-belah untuk sementara waktu, tetapi dalam proses perjuangan
untuk kemerdekaan nasional dan untuk Indonesia Baru mereka bersatu kembali. Semua suku
bangsa menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, merasa berkebangsaan Indonesia,
menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan menganggap adanya satu
kebudayaan Indonesia di samping kebudayaan suku-suku bangsa. Yang sangat menarik ialah
bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang berasal dari suku bangsa yang terbesar. Dalam
sejarah bahasa ini tidak pernah menjadi bahasa kolonisator, sebaliknya ia adalah bahasa yang
mempersatukan lebih dari 100 suku bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digembleng
dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional, ia adalah bahasa liberator.

Di samping warga negara-warga negara yang berasal dari berbagai-bagai suku bangsa, di
Indonesia terdapat juga beberapa juta warga negara dari keturunan asing seperti keturunan
Tionghoa, Eropa, dan Arab, masing-masing mempunyai bahasa dan kebudayaan tersendiri di
samping mengakui bahasa dan kebudayaan Indonesia sebagai kepunyaan sendiri.

Perkembangan ekonomi di berbagai pulau dan daerah adalah tidak sama. Hal ini nampak
dalam soal industri, pertanian, apalagi dalam transpor, dimana di pulau Jawa telah terdapat
jaring-jaring jalan kereta api dan mobil yang luas, sedangkan di pulau-pulau lain masih sedikit
atau sama sekali belum ada. Malahan di berbagai pulau dan daerah masih terdapat sisa-sisa
sistem ekonomi yang lebih terbelakang. Berdasarkan perbedaan keadaan ekonomi ini, di negeri
kita terdapat tingkat-tingkat dan ciri-ciri perkembangan masyarakat yang tidak sama.

Dilihat dari sudut sejarah ribuan tahun yang lalu bangsa Indonesia sekarang bukanlah
penduduk asli Indonesia. Kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi atau kira-kira 3.500 tahun yang
lalu bangsa Indonesia yang sekarang ini belum berada di Indonesia, mereka masih bertempat
tinggal di India Belakang (sekarang Indocina, Muangthai, Birma) dan pada waktu itu namanya
“bangsa Mon Khmer”, yang kini masih terdapat di Tongkin, Muangthai, dan Kamboja. “Bangsa
Mon Khmer” adalah salah satu daripada cabang “bangsa Austro-Asia” (Asia Selatan), cabang-
cabang lainnya ialah “bangsa Kasi” (Asam), “bangsa Munda” (India), dan “bangsa Santali”
(India). Bangsa Indonesia adalah salah satu dari empat cabang “bangsa Mon Khmer” (cabang-
cabang lainnya: Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia). Keempat cabang dari “bangsa Mon
Khmer” ini dinamakan “bangsa Austronesia” (bangsa pulau-pulau Selatan). “Bangsa Mon
Khmer” bukanlah penghuni asli India Belakang, mereka adalah pendatang dari Junan (Tiongkok
Selatan) dan ketika masih di Junan mereka termasuk “bangsa Austria” (bangsa Selatan).

Jadi, bangsa Indonesia yang sekarang ini walaupun terbagi dalam banyak suku bangsa
(termasuk yang di Irian Barat dan Halmahera Utara, yang etnologis tergolong “bangsa
Melanesia” tetapi politis tergolong Indonesia) adalah bangsa yang berasal dari satu rumpun
(rumpun “bangsa Austria”, kemudian rumpun “bangsa Austro-Asia” dan kemudian lagi rumpun
“bangsa Mon Khmer”) yang mempunyai sejarah yang sangat panjang dan mengalami
perjuangan yang berat dalam peperangan dan dalam melawan bencana alam.

Kira-kira 3.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa kita masih mengembara di India
Belakang, mereka bercocok tanam di lembah-lembah sungai Mekong (Indocina), Irawadi, dan
Salwin (Birma). Desakan-desakan yang kuat dari bangsa-bangsa yang datang dari Utara dan
Barat yang menduduki tanah-tanah mereka, yang merampas dan mengacau ketenteraman
hidup mereka, memaksa mereka harus memilih salah satu: diperlakukan sebagai budak atau
mencari kediaman lain. Mereka berpendirian lebih baik menyingkir dan hidup merdeka daripada
diperbudak.

Karena peperangan dan sebab-sebab lain, seperti kekurangan makanan, bencana alam,
banjir besar, dan penyakit menular, dengan perahu-perahu bersayap yang sederhana nenek
moyang bangsa Indonesia meninggalkan daratan Asia, makin lama makin jauh. Mereka
mengerti tentang pelayaran, tegap-tegap tubuhnya, dan pemberani-pemberani. Mereka
mengarungi samudra-samudra raya, ada yang sampai ke Madagaskar, Filipina, Kalimantan,
Sumatera, dan pulau-pulau Indonesia lainnya. Dengan berangsur-angsur dan berbondong-
bondong mereka berpindah ke pulau-pulau Selatan, akhirnya seluruh pantai Indonesia dari ujung
Barat sampai ke ujung Timur mereka duduki. Mereka seakan-akan bala tentara yang menang
dan menduduki daerah baru. Di tempat yang baru mereka bebas memilih tempat bercocok
tanam, berburu, dan meneruskan kebiasaan berlayar. Rumah-rumah mereka dirikan sepanjang
pantai yang mereka duduki.

Tetapi pulau-pulau Indonesia tidaklah kosong ketika nenek moyang bangsa kita tiba. Mereka
menjumpai penghuni “asli”. Penghuni “asli” ini tergolong ras-ras Negrito dan Wedda yang sudah
ribuan tahun bertempat tinggal di kepulauan Indonesia. Penghuni “asli” ini tidak suka didesak
oleh pendatang-pendatang dari Utara, mereka mula-mula mengadakan perlawanan-perlawanan.
Nenek moyang bangsa kita, di samping terpaksa harus mencari penyelesaian dengan penghuni
“asli” untuk mendapat tempat tinggal dan nafkah, mereka juga harus berjuang melawan
binatang-binatang buas, air bah, dan lain-lain. Dibanding dengan penghuni “asli” persenjataan
nenek moyang bangsa kita sudah lebih sempurna, mereka sudah menggunakan senjata tajam
yang terbuat dari besi (pisau, lembing, busur panah). Penghuni “asli” hanya bersenjatakan
sumpit dengan panah kecil yang berbisa. Nenek moyang bangsa kita sudah pandai bercocok
tanam, sedangkan penghuni “asli” hidupnya tergantung dari hasil hutan. Setelah berabad-abad
lamanya penghuni “asli” dan kaum pendatang dapat hidup bersama, sedangkan yang tetap tidak
mau mencampurkan diri lari ke tempat-tempat yang terasing. Pendeknya, nenek moyang bangsa
kita mendapatkan tanah air Indonesia tidak begitu saja, mereka harus berjuang mati-matian,
dengan gagah berani mereka harus mengarungi samudra raya, melawan binatang-binatang
buas, air bah, dan lain-lain.
Bangsa Indonesia yang berasal dari satu rumpun bangsa, satu rumpun bahasa dan
kebudayaan ketika masih di daratan Asia, setelah sampai di Indonesia mereka terpisah-pisah
menurut pulau-pulau dan di pulau-pulau dipisahkan lagi oleh gunung-gunung, sungai-sungai,
dan rawa-rawa yang besar, mereka menjadi terisolasi satu dengan yang lainnya. Isolasi alam
yang berabad-abad menyebabkan mereka tumbuh menurut keadaan sendiri-sendiri, tumbuh
menjadi suku-suku bangsa dengan bahasa dan kebudayaannya sendiri.

Sesampainya di kepulauan Indonesia nenek moyang bangsa kita meneruskan cara hidup
seperti ketika mereka masih berada di daratan Asia, yaitu hidup berkelompok-kelompok,
mendirikan rumah-rumah di atas tiang berjajar berhadap-hadapan, bercocok tanam, berlayar
dan memburu. Perkakas-perkakas produksi mereka yang sangat primitif mengharuskan adanya
kerja yang kolektif. Alat-alat produksi adalah milik bersama, tidak ada pengisapan atas manusia
oleh manusia dan semua penduduk berhak atas kekayaan alam. Pada waktu itu belum ada
kelas-kelas dalam masyarakat. Mereka memilih pemimpin-pemimpin desanya, mereka belum
mengenal raja yang ditetapkan dari atas dan belum mengenal kekuasaan negara. Negara tidak
dibutuhkan pada waktu itu. Ketertiban masyarakat ketika itu diatur berdasarkan kebiasaan, adat-
istiadat, kewibawaan, penghargaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin atau
pengetua-pengetua. Nenek moyang bangsa kita pada waktu itu hidup dalam masyarakat
komune primitif. Restan-restan dari masyarakat komune primitif sampai sekarang masih bisa kita
temukan di negeri kita, misalnya dalam bentuk milik bersama desa atas tanah, bentuk kebiasaan
gotong-royong, sisa-sisa gens matriarkal (seperti di Batak Minangkabau dan pulau Enggano),
sisa-sisa gens patriarkal (seperti di Batak dan Maluku), dan lain-lain.

Dengan makin majunya perkakas produksi dan dengan makin meningkatnya tenaga produktif,
maka hubungan produksi yang lama sudah menghalangi perkembangan lebih lanjut dari tenaga
produktif. Kerja sama secara komune primitif sudah tidak cocok lagi dengan kemajuan perkakas-
perkakas produksi, pembagian kerja kemasyarakatan timbul dan berkembang. Dengan
demikian, maka mau tidak mau hak milik bersama atas alat-alat produksi perlu diganti dengan
hak milik perseorangan. Ternak dan perkakas produksi lainnya menjadi milik perseorangan.
Tetapi sawah dan tegalan, hutan-hutan dan padang-padang rumput serta pengairan masih milik
bersama.

Hak milik perseorangan atas alat-alat produksi tertentu dan atas kekayaan perseorangan
menimbulkan nafsu untuk mengumpulkan alat-alat produksi dan kekayaan sebanyak-banyaknya
dari mereka yang mempunyai kesempatan untuk itu, yaitu mereka yang berkuasa (pengetua-
pengetua yang dibantu oleh panglima-panglima perang dan pejabat-pejabat keagamaan). Milik-
milik umum dijadikan milik sendiri oleh yang berkuasa. Juga timbul nafsu untuk mengadakan
ekspansi, mengadakan peluasan daerah, menaklukkan desa-desa lain dan dengan demikian
timbullah gabungan-gabungan desa yang dikepalai oleh satu pengetua. Peperangan
berlangsung dengan tiada henti-hentinya, karena tiap-tiap pengetua desa (daerah kecil) ingin
meluaskan daerahnya agar dapat lebih banyak menguasai alat produksi dan kekayaan. Mereka
yang ditawan dalam peperangan tidak lagi dibunuh, tetapi dijadikan budak dan dipaksa bekerja
agar hasil pekerjaannya dapat dimiliki oleh golongan yang berkuasa untuk menambah
kekayaannya. Mereka yang tenggelam dalam hutang dan tidak dapat membayar hutangnya juga
dijadikan budak. Tuan-tuan budak bebas berbuat segala sesuatu terhadap budak-budaknya,
termasuk bebas memperjualbelikan dan membunuh budak-budaknya. Nenek moyang bangsa
kita dengan demikian memasuki masyarakat perbudakan.
Perpecahan dalam masyarakat perbudakan makin lama makin jelas antara dua kelas pokok
dalam masyarakat, yaitu kelas tuan budak dan kelas budak, antara yang berkuasa dengan yang
dikuasai. Dengan demikian mulailah perjuangan kelas dalam masyarakat nenek moyang bangsa
kita. Kekuasaan pengetua desa makin lama makin besar sampai ia berhak menunjuk
penggantinya sendiri (tadinya pengetua dipilih). Daerah kekuasaan dari pengetua-pengetua ini
makin lama makin luas, desa yang dikuasainya dan keluarga yang di bawah kekuasaannya
makin bertambah banyak. Pengetua-pengetua yang sudah kaya ini kemudian hidup
memisahkan diri dari rakyat, mereka dengan keluarga dan pembantu-pembantunya hidup
menyendiri dan bermewah dalam keratin (ke-ratu-an) atau kedaton (ke-datu-an). Di samping
sebagai pemimpin, mereka juga dianggap sebagai wakil nenek moyang yang harus dihormati
dan ditaati. Karena adanya perlawanan-perlawanan dari pihak budak, kaum penguasa budak
membutuhkan alat untuk menindas perlawanan budak dan untuk menguasai budak. Dengan
demikian lahirlah untuk pertama kalinya negara, suatu aparat yang memberikan kekuasaan
kepada kaum pemilik budak dan memungkinkan mereka untuk memerintah para budak. Restan-
restan masyarakat perbudakan di negeri kita masih terdapat di berbagai pulau pada awal abad
ke-20 ini, misalnya tuan budak boleh menyuruh bunuh budaknya tanpa hukuman, tuan budak
(“mramba” seperti di pulau Sumba) berhak atas seluruh hasil dari tanah yang dikerjakan oleh
budak-budak (“atta”), anak yang lahir dari perkawinan budak menjadi kepunyaan tuan budak.

Tetapi adanya negara di tangan tuan budak untuk menindas para budak tidaklah
menghentikan perlawanan para budak, baik secara terang maupun tidak. Kerja perbudakan
yang pada mulanya mendorong kemajuan tenaga produktif jika dibanding dengan kerja secara
komune primitif, lama kelamaan terbukti tidak produktif lagi karena orang yang diperbudak tidak
mungkin mempunyai minat atas pekerjaannya dan oleh karena itu tidak mungkin kreatif.

Sebagian dari orang-orang merdeka yang hidup dalam masyarakat perbudakan, yaitu kaum
tani dan kaum kerajinan tangan, karena tidak tahan memikul beban untuk biaya peperangan,
menjadi bangkrut dan jatuh menjadi budak; sebagian melarikan diri ke tempat-tempat pesisir
atau ke tempat-tempat lain yang tidak bisa dijangkau oleh kekuasaan tuan budak dan ikut ambil
bagian dalam perlawanan terhadap negara budak. Peperangan yang terus-menerus untuk
mempertahankan kekuasaan tuan budak ditambah lagi oleh makin merosotnya produksi serta
makin mundurnya perdagangan, menyebabkan kekuasaan perbudakan makin menjadi lemah
dan kebudayaan makin mundur.

Kemajuan tenaga produktif sudah tidak sesuai lagi dengan kekuasaan produksi yang
berdasarkan perbudakan, masyarakat perbudakan sudah menjadi belenggu, oleh karena itu
akhirnya diganti dengan masyarakat feodal. Di Indonesia, terutama Jawa, nenek moyang
bangsa kita memasuki masyarakat feodal kira-kira sejak awal tarikh Masehi. Dalam masyarakat
feodal bekas-bekas budak dapat mengerjakan tanah “untuk sendiri” dengan syarat harus
menyetorkan sebagian yang penting dari hasil kepada tuan tanah feodal. Di sini pembagian
antara hasil kerja perlu bagi kaum tani dan hasil kerja lebih yang dirampas oleh tuan tanah
feodal menjadi jelas. Pertentangan yang pokok dalam masyarakat feodal ialah pertentangan
antara tuan-tuan tanah feodal (raja-raja, bangsawan-bangsawan, pendeta-pendeta, punggawa-
punggawa) dengan kaum tani. Kekuasaan negara ada di tangan tuan-tuan tanah feodal
sedangkan yang dikuasai ialah kaum tani. Kedudukan kaum tani sedikit “bebas” jika dibanding
dengan kaum budak, oleh karena itu kaum tani lebih produktif jika dibanding dengan kaum
budak, tetapi hamba dan bekerja untuk tuan-tuan feodal dalam bentuk bekerja cuma-Cuma (rodi,
corvee), menyetorkan bagian yang sangat terbesar dari hasil panen.
Di samping kaum tani, juga tukang-tukang kerajinan tangan dan para pedagang termasuk
kelas-kelas yang dikuasai dan dirintangi perkembangannya oleh feodalisme.

Sejarah peradaban bangsa Indonesia menunjukkan, bahwa pertanian dan kerajinan tangan
sudah berumur sangat tua, bahwa Indonesia mempunyai filsuf-filsufnya sendiri, sarjana-sarjana,
seniman-seniman besar, ahli-ahli negara, dan ahli-ahli militernya sendiri. Lama sebelum Masehi,
jadi jauh sebelum orang-orang Hindu datang, Indonesia sudah memproduksi secara besar-
besaran perkakas kerja dan senjata yang terbikin dari batu dan besi; kalender yang sangat
dibutuhkan untuk mengatur pekerjaan di sawah juga sudah dikenal, sistem irigasi sudah
dilaksanakan. Dalam tahun 150 sesudah Masehi ahli ilmu bumi dan ahli bintang-bintang bangsa
Yunani dari abad ke-2 yang bernama Ptolomeus menulis, bahwa pulau Jawa sangat subur dan
banyak menghasilkan emas). Dari masa yang sama kita dapat membaca dalam kitab Hindu
(Ramayana): “periksalah dengan teliti Jawadwipa (Jawa) yang mempunyai tujuh kerajaan,
pulau emas dan pulau perak, dimana terdapat kemasan-kemasan”. Tahun 132 dari Jawa
dikirim utusan ke Tiongkok yang membawa tanda kerajaan (segel) dari emas. Kedudukan
Indonesia yang berada di antara India dan Tiongkok membikin Indonesia sejak permulaan
Masehi menjadi pusat perdagangan dunia. Diterangkan bahwa dalam tahun 414 sesudah
Masehi bertolaklah dari Jawa Barat seorang saudagar Tionghoa dengan 200 orang lain lagi,
kebanyakan saudagar-saudagar Hindu, menuju Kanton.

Dari kenyataan di atas jelaslah bahwa sudah sejak sebelum orang asing datang bangsa
Indonesia adalah bangsa yang sudah berkebudayaan, jadi adalah tidak benar pendapat orang
bahwa bangsa Indonesia baru berkebudayaan sesudah bangsa asing datang untuk mengajar
bangsa Indonesia. Kemudian, sesudah orang-orang Hindu datang, timbullah candi-candi yang
megah dan indah, seni tari dan seni wayang yang tersohor. Semuanya ini adalah ciptaan bangsa
Indonesia sendiri. Kedudukan orang-orang Hindu hanya sebagai pembantu dan penasihat. Dari
hasil-hasil kebudayaan ini jelaslah bahwa sudah sejak zaman dahulu kala bangsa Indonesia
tidak segan untuk menerima yang baik dari luar, yang berupa pikiran maupun bantuan para ahli
tetapi dengan sama sekali tidak melepaskan kepribadiannya.

Dalam perdagangan dan politik luar negeri bangsa Indonesia mempunyai peranan yang aktif
dan pandai menggunakan kedudukan geografis Indonesia yang sangat baik. Politik ini yang
telah membikin Indonesia di masa lampau menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.

Tetapi bangsa Indonesia tidak hanya terkenal sebagai bangsa yang rajin dan ulet, yang
beradab dan berkebudayaan, tetapi juga terkenal sebagai bangsa pejuang dan revolusioner.
Sudah sejak masih di daratan Asia bangsa Indonesia sudah biasa berjuang. Ketika akan
mendapatkan tanah air Indonesia mereka juga harus berjuang, demikian juga untuk
mempertahankan tanah airnya dari serangan-serangan asing. Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang cinta merdeka dan bertradisi revolusioner. Hal ini terbukti sampai abad-abad belakangan
ini, sampai abad ke-20, sampai hari ini. Sejarah Indonesia sejak zaman dahulu kala adalah
sejarah pemberontakan tani, sejarah pahlawan-pahlawan, sejarah revolusi-revolusi, sejarah
rakyat pekerja. Abad ke-20 adalah abad dimana perjuangan bangsa Indonesia mendapat
bentuk-bentuk yang modern, yang pada hakikatnya tidak lain daripada melanjutkan tradisi
revolusioner yang sudah belasan abad lamanya.

Pasal 3. Masyarakat Feodal


Walaupun Indonesia adalah negeri yang besar, mempunyai kedudukan geografis yang sangat
baik, tanahnya sangat subur, penduduknya banyak, mempunyai sejarah kebudayaan yang
sudah tua, kaya dengan tradisi revolusioner, tetapi karena berlakunya sistem feodalisme yang
sudah lebih dari 1.500 tahun lamanya, sampai sekarang Indonesia masih terbelakang di
lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan.

Sistem ekonomi dan politik di dalam masyarakat feodal Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Dalam masyarakat feodal ekonominya adalah ekonomi alamiah, yaitu ekonomi dimana
produksi dipakai untuk keperluan sendiri, bukan produksi untuk dijual atau untuk pasar. Sistem
irigasi sudah maju sejak permulaan zaman feodalisme di negeri kita; ini dibuktikan oleh perintah
raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara (di Jawa Barat, meliputi kira-kira daerah Jakarta,
Bogor, dan Karawang) dalam abad ke-4 Masehi untuk membikin kanal sepanjang 15 kilometer.
Tukang-tukang kerajinan tangan pasti sudah ada sejak permulaan zaman ini, karena sudah
sejak sebelum orang Hindu datang orang-orang Indonesia sudah pandai membikin barang dari
besi, tembaga, kulit penyu, tanduk, dan emas. Tetapi barang-barang ini bukan dibikin terutama
untuk pasar. Pertukaran memang sudah ada, yaitu pertukaran di antara penduduk maupun
dengan orang luar, misalnya antara raja dan pembesar-pembesar Indonesia lainnya dengan
saudagar dari Tiongkok, India, dan lain-lain, tetapi ini tidak bersifat menentukan.

2. Dalam masyarakat feodal yang berkuasa ialah kelas feodal yang terdiri dari raja-raja yang
bertempat tinggal di keraton-keraton, bangsawan-bangsawan, pendeta-pendeta, dan punggawa-
punggawa (pegawai-pegawai, amtenar-amtenar). Dasar kekuasaan kaum feodal ialah hak milik
mereka atas tanah dan hak milik mereka yang terbatas atas kaum tani. Raja adalah kekuasaan
tertinggi, ia berhak mengangkat pembesar-pembesar untuk pemerintahan pusat dan pembesar-
pembesar lokal untuk mengurus angkatan perang, pengadilan, perbendaharaan negara dan
gudang-gudang makanan. Raja-raja hanya menguasai sebagian kecil dari daerah kekuasaan
secara langsung, sedangkan selebihnya dikuasakan kepada orang-orang bangsawan lainnya
dan punggawa-punggawa sebagai wakil raja. Wakil-wakil raja inilah yang berkewajiban
mengumpulkan setoran hasil panen kaum tani untuk keperluannya sendiri dan untuk raja
(Pemerintah Pusat). Di samping harus menyetorkan hasil panennya, kaum tani juga diwajibkan
bekerja dengan cuma-cuma (rodi, corvee) untuk para bangsawan dan punggawa, diwajibkan
bekerja untuk membangun keraton-keraton dan candi-candi, untuk membikin saluran-saluran
dan bendungan-bendungan, dan dalam keadaan perang harus mengerahkan segala yang ada
padanya, juga sampai menjadi prajurit untuk memenangkan peperangan. Sesudah ada tentara
tetap, dan ini terutama terjadi sesudah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, kaum tani juga
diwajibkan mengongkosi tentara, yang digunakan terutama untuk menindas kaum tani dan
jarang-jarang untuk melawan serangan musuh dari luar. Atas nama raja para bangsawan dan
punggawa menjalankan kekuasaan pemerintahan, pengadilan dan pembuat undang-undang.
Untuk memperdalam “kebaktian” rakyat kepada raja, rasa keagamaan dipertebal (misalnya Raja
Darmawangsa dari abad ke-10 dan ke-11 memerintahkan kepada para pejuang keraton untuk
menerjemahkan cerita-cerita wayang dari Mahabarata yang berbahasa Sanskerta ke dalam
bahasa Jawa Kuno).

Jadi jelaslah, bahwa masyarakat feodal berdasarkan hak milik tanah oleh tuan tanah,
sedangkan kaum tani bekerja sebagai hamba (kaum tani “hanggaduh” tanah atau “meminjam”
tanah untuk dikerjakan). Tanah yang merupakan alat produksi pokok dalam masyarakat feodal
dimiliki oleh tuan-tuan tanah feodal. Kaum tani hamba memang berbeda dengan kaum budak
yang dapat dibunuh begitu saja. Kaum tani pada umumnya tidak dapat dibunuh seperti dalam
zaman perbudakan, tetapi mereka bisa diperjualbelikan.

Negara feodal adalah kepunyaan tuan-tuan tanah untuk mempertahankan eksploitasi feodal
mereka. Di samping menderita eksploitasi feodal yang berat kaum tani juga menderita tindasan-
tindasan politik. Kaum tani tidak mempunyai hak politik dan tidak mempunyai kemerdekaan
perseorangan, tuan tanah berhak memukul dan menyiksa mereka, malahan juga membunuh
mereka, walaupun yang belakangan ini tidak lagi umum berlaku.

Kemelaratan dan keterbelakangan dari kaum tani sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi dan
penindasan-penindasan politik feodal yang luar biasa, adalah alasan pokok yang menjadi sebab
ekonomi dan kehidupan sosial negeri kita terbelakang berabad-abad jika dibanding dengan
negeri-negeri yang sudah maju sekarang. Dalam masyarakat feodal kelas-kelas pokok yang
menciptakan kekayaan dan kebudayaan ialah kaum tani dan tukang-tukang kerajinan tangan,
sedangkan tuan tanah dan kliknya (raja-raja, bangsawan-bangsawan, pendeta-pendeta, dan
punggawa-punggawa) adalah sama sekali tidak produktif, sebaliknya mereka mengisap dan
menindas golongan yang sangat terbesar dari rakyat.

Eksploitasi ekonomi dan penindasan politik yang luar biasa telah membikin kaum tani
Indonesia memberontak melawan kekuasaan tuan tanah seperti misalnya pemberontakan
terhadap kerajaan Mataram ke-1 (abad ke-8 dan ke-9), pemberontakan terhadap kerajaan Kediri
(awal abad ke-13) di bawah pimpinan anak petani Ken Arok, pemberontakan terhadap kerajaan
Singasari (akhir abad ke-13), pemberontakan-pemberontakan dalam kerajaan Majapahit (abad
ke-14 dan 15), dan lain-lain pemberontakan kaum tani. Pemberontakan-pemberontakan ini
memang hanya berhasil dengan menjatuhkan raja yang satu dan menaikkan raja yang lain,
dengan tidak berakibat perbaikan nasib kaum tani. Tetapi kenyataan ini tidak memungkiri bahwa
pemberontakan-pemberontakan itu adalah pemberontakan-pemberontakan kaum tani.
Perlawanan kaum tani terhadap eksploitasi ekonomi dan penindasan-penindasan politik feodal
menyebabkan adanya pemberontakan-pemberontakan.

Pemberontakan-pemberontakan kaum tani gagal, tidak berakhir dengan kemenangan kaum


tani dan hanya berakibat penggantian raja-raja belaka, adalah karena kaum tani sebagai pemilik-
pemilik perseorangan kecil tidak mewakili hubungan produksi yang baru. Pemberontakan-
pemberontakan meletus secara spontan karena kebencian mereka terhadap tuan tanah, tetapi
mereka tidak mampu menyusun program agraria yang revolusioner. Juga belum ada kelas dan
partai politik yang maju, yang mampu memimpin kaum tani menuju kemenangan. Jadi
pemberontakan dan peperangan-peperangan tani ketika itu dengan sendirinya berakhir dengan
kegagalan, sehingga tidak mengubah hubungan ekonomi dan sistem politik feodal. Tetapi,
adalah tidak benar jika dikatakan bahwa pemberontakan-pemberontakan tani yang gagal itu
sama sekali tidak membawa sekadar kemajuan sosial. Yang sudah terang, kaum tani menjadi
lebih terlatih dalam berperang dan ada juga raja-raja baru yang mereka naikkan ke atas takhta
terpaksa meringankan atau pun menghapuskan beberapa bentuk pengisapan yang paling
kejam. Pemberontakan-pemberontakan itu bersifat menentukan dalam melemahkan dan
akhirnya akan meruntuhkan sama sekali feodalisme.

Pasal 4. Masyarakat Kolonial

Dengan bertambah luasnya perdagangan luar negeri Indonesia dalam abad ke-14, terutama
perdagangan rempah-rempah dengan Eropa, maka kedudukan kota-kota pesisir Indonesia
menjadi sangat penting dan perdagangan dengan Eropa menjadi lebih penting daripada
perdagangan dengan India dan Tiongkok. Rempah-rempah sangat dibutuhkan oleh apotek-
apotek dan dapur-dapur orang Eropa. Dalam perdagangan yang ramai ini Malaka dan Banten
memainkan rol yang sangat penting.

Di Malaka dan Banten banyak bertempat tinggal pedagang asing, terutama pedagang-
pedagang Islam yang datang dari India dan Persia, yang mempunyai pengaruh besar atas raja-
raja lokal. Pedagang-pedagang ini menyediakan barang-barang mewah untuk para raja. Mereka
juga mengislamkan raja-raja lokal yang beragama Hindu dan mendorong kerajaan-kerajaan lokal
menjadi kerajaan Islam yang berdiri sendiri, terpisah dari kekuasaan Maharaja Majapahit yang
berpusat di pedalaman. Untuk mendapat pengaruh, saudagar-saudagar Islam itu juga
mengawinkan anak-anaknya dengan raja-raja lokal. Dengan bertambahnya pengaruh mereka
atas raja-raja lokal bertambah pula keuntungan mereka dalam perdagangan. Gerakan Islam ini
kemudian dipimpin oleh guru-guru yang terkenal dengan nama Wali Songo (Wali Sembilan).

Dengan makin majunya perdagangan dunia maka bertambah besarlah nafsu raja-raja lokal di
pesisir untuk menguasai daerah pedalaman yang berada di bawah kekuasaan Maharaja
Majapahit. Persatuan raja-raja Islam di bawah pimpinan kerajaan Demak merebut Majapahit
dalam tahun 1521. Perebutan ini adalah akibat dari pertentangan antara kerajaan feodal Islam
yang sudah berjalin dengan kepentingan kapital dagang (saudagar-saudagar) melawan kerajaan
feodal Hindu yang masih sepenuhnya agraris.

Dalam keadaan terpecah-belah di dalam negeri, dalam keadaan meruncingnya pertentangan


antara kerajaan-kerajaan pesisir yang sudah ambil bagian di dalam perdagangan dunia dengan
kerajaan pedalaman yang berdasarkan upeti hasil bumi dan pologoro (kebaktian-kebaktian
feodal), datanglah orang-orang Eropa dengan kapal-kapal dan persenjataan yang lebih
sempurna daripada yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Indonesia.

Mula-mula datanglah orang-orang Portugis (1496), yang datang di samping untuk mencari
untung dengan berdagang juga untuk menyebarkan agama Kristen yang sedang berkembang di
Eropa. Untuk mencapai tujuannya orang Portugis menggunakan pertentangan-pertentangan
antara “kerajaan-kerajaan Islam” dengan “kerajaan-kerajaan Hindu”. Untuk melawan serangan
orang-orang Portugis dan untuk menindas pemberontakan kaum tani serta melawan kerajaan-
kerajaan Hindu, kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak membangun tentara tetap, sesuatu yang
tidak dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Hindu.

Dalam tahun 1512 orang-orang Spanyol datang di Tidore dengan dua buah kapal dari
mengelilingi dunia. Di Tidore orang-orang Spanyol berusaha memperkuat kedudukannya dengan
mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang pada waktu itu sedang berjuang melawan
orang-orang Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate. Latar belakang pertentangan
Spanyol-Portugis ialah soal monopoli cengkeh. Pertempuran-pertempuran terjadi antara orang-
orang Spanyol dan kerajaan Tidore di satu pihak dengan orang-orang Portugis dan kerajaan
Ternate di pihak lain, dengan akhirnya kekalahan pihak Spanyol. Dalam tahun 1529 orang-orang
Spanyol meninggalkan Indonesia sesudah menerima ganti kerugian uang 350.000 “crusado”.

Tentara tetap kerajaan-kerajaan Islam lebih baik perlengkapan dan persenjataannya jika
dibanding dengan tentara kerajaan-kerajaan Hindu yang berdasarkan wajib bela umum kaum
petani. Tetapi keunggulan teknik kapal-kapal perang dan persenjataan Eropa adalah melebihi
keunggulan teknik kapal dan persenjataan kerajaan-kerajaan Islam. Inilah sebab-sebab pokok
yang membikin Angkatan Laut Kerajaan Demak di bawah pimpinan Adipati Unus harus mundur
dalam peperangan melawan orang-orang Portugis (1513). Bukan karena kurang keberanian,
bukan karena kurang semangat dan kecakapan yang menyebabkan orang-orang Indonesia
harus kalah, tetapi karena keunggulan teknik Eropa, dan terutama sekali karena kelemahan-
kelemahan kerajaan-kerajaan Indonesia yang disebabkan oleh perpecahan.

Tanggal 22 Juni 1596 berlabuhlah armada Belanda terdiri dari 4 buah kapal di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman di pelabuhan Banten.

Maksud Belanda datang ke Indonesia mula-mula hanya untuk berdagang. Untuk mengatur
perdagangan Belanda di Indonesia dibentuklah di negeri Belanda dalam tahun 1602 sebuah
perkumpulan dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie – Persatuan
Perkongsian Dagang Hindia Timur). Untuk menguatkan dan mengoordinasi segala usaha
Belanda di Indonesia diangkat Gubernur Jenderal (yang pertama tahun 1610) dengan sebuah
Dewan Hindia terdiri dari lima orang. Pada mulanya Belanda sangat sukar bergerak karena
harus berhadapan dengan bangsa Portugis yang masih berkuasa di Asia Tenggara dan dengan
bangsa Indonesia yang masih menguasai laut-laut Indonesia.

Untuk mempertahankan monopoli dagangnya atas rempah-rempah, VOC dengan kejam


melangsungkan “hongitochten” (pelayaran hongi) ke Indonesia bagian Timur (hongi adalah
sejenis kapal yang sangat laju dan digunakan di daerah Maluku. Mengadakan pelayaran “hongi”
berarti merampok, merompak, dan membinasakan musuh). Dengan mengadakan pelayaran
“hongi” ini VOC menyerang, menyiksa, menawan, bahkan membinasakan penduduk di pulau-
pulau Indonesia bagian Timur, apabila mereka melanggar ketentuan-ketentuan monopoli VOC.
Penduduk pulau Banda hampir binasa sama sekali. Tetapi rakyat Maluku tidak pernah diam
menerima nasib terus di-“hongi”. Pada tahun 1635 di Ambon terjadi pemberontakan umum yang
dipimpin oleh Kakiali melawan kekejaman kompeni.

Dalam meletakkan dasar-dasar kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sangat besar


peranan J. P. Coen, Gubernur Jenderal yang memulai meluaskan kekuasaannya dengan
merebut Jakarta (tanggal 4 Maret 1621 oleh Belanda dengan resmi dinamakan Batavia) dan
menjadikan Jakarta pusat perniagaan di Asia Tenggara. Dengan demikian perdagangan
berpindah dari tangan kerajaan-kerajaan Indonesia dan orang-orang Portugis ke tangan
Belanda. Dari Jakarta Belanda meluaskan kekuasaan ke seluruh Indonesia: tahun 1641 Belanda
menguasai Malaka, benteng Portugis di Asia Tenggara, tahun 1667 Belanda menguasai
Makasar, tahun 1677 menguasai pantai utara Jawa sampai ke Jawa Timur, tahun 1692
menguasai Banten. Dengan menguasai Banten dapatlah Belanda mengontrol pintu Barat
Indonesia, dengan menguasai Malaka mengontrol Selat Malaka, dengan menguasai Makasar
mengontrol Indonesia Timur dan dengan menguasai pantai Jawa dapatlah Belanda menutup
kerajaan Mataram (ke-2) dari laut.

Dengan terkurungnya kerajaan Mataram, dengan menggunakan pertentangan-pertentangan


yang ada di antara kerajaan-kerajaan Islam dengan kerajaan-kerajaan Hindu dan pertentangan-
pertentangan di dalam kerajaan Hindu sendiri, kaum penjajah Belanda dengan persenjataan
lebih unggul telah memaksa Mataram menyerah dalam tahun 1749.

Dasar pengisapan kolonial VOC, jadi pengisapan dalam periode kapital dagang berkuasa di
negeri Belanda, ialah sistem pajak tanah yang sangat tinggi (contingenten) dan kewajiban
menyerahkan sebagian hasil dengan harga yang sangat rendah (dwangleveringen). Politik
dalam negeri VOC berdasarkan eksploitasi organisasi-organisasi feodal yang sudah ada.
Dengan sistem ekonomi dan politik ini kaum tani menderita dua macam tindasan, dari raja-raja
dan dari VOC.

Di daerah kekuasaan VOC hubungan kelas yang lama tidak berubah, bedanya hanya
pergantian nama raja dengan nama bupati yang diangkat oleh VOC. Bupati-bupati angkatan
VOC ini jika meninggal dunia umumnya dapat digantikan oleh anaknya yang laki-laki yang
dianggap tercakap. Penderitaan kaum tani sangat berat, karena di samping VOC menuntut
pembagian maksimal dari hasil pengisapan, juga bupati-bupati memeras rakyat untuk
kepentingan sendiri.

Sistem paksaan dan monopoli VOC menyebabkan rontoknya VOC, karena sistem ini tidak
memungkinkan berkembangnya tenaga produktif, memerosotkan ekonomi penduduk, yang
berarti mengancam keuntungan VOC sendiri. Korupsi merajalela di kalangan aparat pemerintah,
baik oleh orang-orang Belanda maupun oleh orang-orang Indonesia. Pemberontakan-
pemberontakan dan perlawanan kaum tani yang sangat menderita karena dua macam tindasan
terjadi di mana-mana dalam abad ke-17 dan ke-18. Karena sudah tidak menguntungkan lagi,
dalam tahun 1800 VOC dibubarkan dan selanjutnya negara Belanda memerintah Indonesia
secara langsung.

Masa VOC merupakan periode penting dalam penimbunan primitif kapital. Kekayaan-
kekayaan yang luar biasa didapat oleh saudagar-saudagar Belanda dengan jalan kekejaman,
seperti yang dikatakan oleh Karl Marx:

“Sejarah ekonomi kolonial Belanda – dan negeri Belanda adalah nasion kapitalis yang
terkemuka pada abad ke-17 – memperlihatkan pengkhianatan, penyuapan,
penyembelihan, dan kekejian-kekejian yang tiada taranya”.

Kekuasaan langsung pemerintah Belanda tidak membawa perbaikan dalam masyarakat


Indonesia. Sebaliknya, ketika negeri Belanda diduduki oleh Prancis dikirimlah ke Indonesia
seorang Gubernur Jenderal yang sangat kejam, yaitu Daendels (tahun 1808-1811). Di bawah
Gubernur Jenderal Daendels tentara Belanda diperluas dari 4.000 menjadi 18.000. Untuk
kepentingan strategi militernya Belanda mendirikan benteng-benteng yang memakan banyak
korban jiwa orang Indonesia. Juga dibangun jalan panjang kira-kira 1.000 kilometer yang
menghubungkan ujung Barat dengan ujung Timur dari pulau Jawa, dalam waktu satu tahun lebih
sedikit, dengan pengeluaran uang yang sangat sedikit dan dengan korban manusia Indonesia
yang sangat banyak. Pajak tanah yang tinggi dan penyerahan hasil panen dengan paksaan
masih berjalan terus, malahan ditambah lagi dengan monopoli beras oleh pemerintah dan
penjualan “tanah-tanah partikelir” kepada hartawan-hartawan Eropa dan Tionghoa. Pengisapan
luar biasa ini menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan baru, terutama di Banten
dan Cirebon. Ketika dalam tahun 1811 tentara Inggris menyerang kedudukan Belanda di Jawa,
maka mudah dimengerti mengapa Belanda tidak mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia;
juga raja-raja dan bupati-bupati yang kecewa karena kesewenang-wenangan Daendels menolak
untuk melawan Inggris.

Selama kekuasaan Inggris antara tahun 1811-1814, Letnan Jenderal Thomas Stamfort Raffles
mencoba melaksanakan prinsip politik kolonial Inggris di Jawa atas dasar kepentingan kapital
industri Inggris yang sedang maju cepat, politik seperti yang dikenalnya di Benggala (India), yaitu
politik persaingan bebas yang dilakukan oleh Inggris terhadap perkembangan kapital industrinya
di India. Inggris berusaha untuk mengubah sistem ekonomi dan politik Belanda yang bersifat
lintah darat dan perampokan, yaitu ciri-ciri sistem kapital dagang Belanda, dengan yang lebih
cocok dengan politik Inggris yang industrinya sudah maju. Tetapi usaha Inggris ini tidak banyak
hasilnya, karena mereka hanya berkuasa 3½ tahun. Kekuasaan Inggris telah meletakkan beban-
beban baru di atas pundak rakyat Indonesia dengan mengadakan monopoli negara atas garam
dan dengan menjual “tanah-tanah partikelir” bersama-sama dengan hak feodal di atas tanah itu
demi keuntungan pembeli dan demi penderitaan kaum tani.

Negara Inggris mengumumkan bahwa semua tanah adalah kepunyaan negara (staatsdomein)
dan atas dasar ini menarik pajak tanah tidak kurang dari dua per lima hasil panen yang baik dan
¼ sampai 1/3 hasil panen tanah yang kurang baik. Politik tanah dari Inggris juga telah
menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan kaum tani, seperti misalnya di
Banten, Cirebon, Yogya, dan lain-lain. Keadaan ini memaksa Raffles membeli kembali atas
nama negara sejumlah “tanah-tanah partikelir” yang sudah dijualnya.

Setelah dalam tahun 1814 Napoleon kalah, maka tahun itu juga oleh Inggris ditandatangani
perjanjian pengembalian koloni-koloni Belanda, termasuk Indonesia. Dengan demikian Belanda
mendapatkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pelaksanaan pengembalian ini baru terjadi
dalam tahun 1816.

Perang Diponegoro tahun 1825-1830 telah menumpaskan kas negara Belanda dengan F.
20.000.000,-. Juga perlawanan Belgia terhadap Belanda tahun 1830-1838 mengharuskan
negara Belanda mengeluarkan banyak ongkos. Keadaan ekonomi negara Belanda sangat jelek
dan mendekati kebangkrutan. Untuk mengatasi kebangkrutan ini diadakan apa yang dinamakan
“cultuurstelsel” (sistem tanam paksa, 1830-1870).

“Cultuurstelsel” adalah kombinasi dari sistem kolonial model VOC, model Daendels, dan
Raffles. Semua yang paling jahat dijadikan satu dan diberi nama “cultuurstelsel”. Menurut sistem
ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani diwajibkan menanam
tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau), dan diwajibkan
menyerahkannya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang ditentukan sendiri oleh
pemerintah kolonial.

Dalam praktiknya “cultuurstelsel” telah mewajibkan kaum tani menanami 1/3 sampai 2/3 dan
ada kalanya seluruh tanah sawah dengan tanaman untuk pasar Eropa. Tenaga kerja yang
dipergunakan untuk tanaman buat pasar Eropa jauh lebih banyak daripada untuk padi. Pajak
tanah, termasuk juga tanah yang harus ditanami dengan tanaman buat pasar Eropa, dinaikkan.
Jika harga hasil tanaman untuk pasar Eropa melebihi jumlah pajak yang harus dibayar petani,
maka kelebihannya tidak dikembalikan kepada kaum tani, tetapi sebaliknya kaum tani sering
harus menjual padinya yang sudah tidak cukup itu buat membayar kekurangan pajak tanah.
Kegagalan panen adalah menjadi tanggungan petani, juga jika gagal karena bencana alam.
Petani harus mengantarkan hasil yang wajib diserahkannya sampai ke gudang-gudang dengan
tidak dibayar. Kaum tani harus bekerja tanpa dibayar untuk pekerjaan umum dan pembangunan
benteng-benteng.

Dalam 40 tahun “cultuurstelsel” Belanda dapat mengeduk kira-kira 800 juta florin (rupiah
Belanda), yaitu hampir sama banyaknya dengan yang dapat dikeduk kapital dagang Belanda
selama dua abad di bawah VOC. Tetapi, jumlah yang sama besarnya dalam zaman imperialisme
abad ke-20 sebelum krisis tahun 1929 dapat diperoleh kaum imperialis Belanda hanya dalam
waktu satu tahun.
Dalam menjalankan sistem perampokan “cultuurstelsel” kaum feodal berkedudukan sebagai
orang perantara, yang juga menarik upeti-upeti dan menikmati pologoro untuk dirinya sendiri.
Amtenar-amtenar dari yang rendah sampai yang tinggi mempunyai tugas-tugas pribadi yang
tidak ada batasnya, sampai-sampai menyediakan rombongan-rombongan orkes dan gadis-gadis
penari untuk menghibur residen-residen selama dalam turnenya. Amtenar-amtenar ini gajinya
sangat kecil, tetapi dengan menggunakan kedudukannya mereka dapat memperkaya diri
dengan hasil kerja kaum tani yang tidak dibayar.

Penderitaan yang berat menyebabkan meratanya perlawanan dan pemberontakan kaum tani,
menyebabkan banyaknya kaum tani yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain,
walaupun oleh pihak yang berkuasa diadakan peraturan bahwa kaum tani tidak boleh
meninggalkan desanya tanpa ijin (sistem surat pas). Perlawanan-perlawanan, pemberontakan-
pemberontakan dan perpindahan-perpindahan kaum tani ini merupakan faktor yang penting
dalam mengobrak-abrik “cultuurstelsel”.

Seorang Belanda, Douwes Dekker yang dalam tahun 1856 menjadi asisten residen di Lebak
(Banten) telah mengeluarkan dalam tahun 1860 bukunya yang terkenal “Max Havelaar”, yang
ditulis dengan nama samaran “Multatuli”. Dalam bukunya “Multatuli” mendakwa kolonialisme dan
orang-orang Belanda sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penindasan politik dan
pengisapan ekonomi yang tidak kenal perikemanusiaan di bawah “cultuurstelsel”. Tulisan-tulisan
“Multatuli” banyak dibaca oleh kaum intelektual generasi muda dan pemimpin-pemimpin gerakan
kelas buruh yang mulai berkembang di negeri Belanda; ia juga telah memberi canang kepada
borjuasi Belanda bahwa zaman perampokan model “cultuurstelsel” harus diakhiri, sudah tidak
perlu dan merugikan.

Zaman “cultuurstelsel” adalah zaman yang paling jelek bagi kaum tani Indonesia. Semangat
memberontak kaum tani tetap tidak bisa dipadamkan, pemberontakan-pemberontakan terus-
menerus terjadi di mana-mana. Tetapi sesudah mengalami kekalahan dalam perang Diponegoro
(1825-1830), kaum feodal yang biasanya “memimpin” pemberontakan kaum tani sudah
sepenuhnya menyerah kepada kaum pengisap kolonial dan sudah tidak mempunyai kemauan
melawan lagi. Di luar Jawa perlawanan-perlawanan masih dilakukan, tetapi bagi kaum kolonialis
Belanda kedudukan di luar Jawa bukan kedudukan yang paling penting. Pada waktu itu
pimpinan dari borjuasi nasional atau dari proletariat Indonesia pada pemberontakan-
pemberontakan tani belum mungkin diharapkan, karena belum ada syarat-syarat sejarahnya.

Perkembangan industri modern di negeri Belanda adalah terlambat, karena Belanda memiliki
Indonesia yang sangat kaya. Dengan memiliki Indonesia mudahlah keuntungan berjuta-juta
mengalir ke kantong kaum kapitalis Belanda. Baru dalam tahun 1870 oleh pemerintah kolonial
diadakan apa yang dinamakan Undang-Undang Agraria, undang-undang yang menjamin
didapatnya tanah di Indonesia untuk kepentingan kapital partikelir Belanda. Dengan undang-
undang ini terbukalah secara definitif bagi kapital partikelir Belanda untuk ambil bagian di dalam
pengisapan kolonial. Ini berarti perpindahan dari politik kolonial yang bersifat monopoli dari
kapital dagang ke politik kolonial “baru” dari kapital industri, perpindahan dari sistem monopoli ke
sistem persaingan bebas. Masa persaingan bebas yang berlangsung dari tahun 1870 sampai
1895, ditandai oleh bertambah besarnya rol dari bank-bank kolonial.

Dalam krisis hebat tahun 1895 sebagian besar dari kapitalis-kapitalis partikelir di negeri
Belanda mengalami kehancuran, sehingga mengakibatkan kapital finansial berkuasa penuh.
Jadi, zaman kapital industri yang berdasarkan persaingan bebas tidak lama di Indonesia, hanya
kira-kira 25 tahun (1870-1895). Kapital industri yang berdasarkan persaingan bebas segera
disusul oleh zaman imperialisme yang dimulai tahun 1895, yaitu zaman dimana kapital finansial,
yaitu perpaduan antara kapital bank dengan kapital industri, memegang monopoli atas
kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.

Untuk menyelamatkan dan menjamin hari depan kapital yang diekspor dari Eropa, maka kaum
imperialis Belanda melakukan dua tindakan penting: menundukkan seluruh daerah Indonesia,
secara politik dan militer, dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai kemungkinan
perkembangan kapital yang tidak terbatas. Tindakan kaum imperialis Belanda ini sesuai dengan
perpindahan kapitalisme pra-monopoli ke tingkat kapitalisme monopoli, yaitu zaman kekuasaan
kapital finansial. Perpindahan ini tak terpisahkan dengan makin intensifnya perjuangan kaum
imperialis untuk membagi-bagi dunia. Kapital finansial berusaha pada umumnya untuk merebut
tanah sebanyak-banyaknya dari macam apa saja, di mana saja, dan dengan semua jalan,
karena memperhitungkan sumber-sumber potensial akan bahan-bahan mentah dan takut
ketinggalan dalam perjuangan sengit untuk mendapat jengkal-jengkal terakhir dari wilayah yang
belum dibagikan atau untuk membagi kembali tanah-tanah yang sudah dibagi.

Untuk menundukkan seluruh Indonesia di bawah kekuasaan Belanda maka dilakukanlah


peperangan kolonial besar-besaran pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 sehingga
dapatlah Belanda meluaskan kekuasaannya ke Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores, Bone,
Banjarmasin, Jambi, Riau, Tapanuli, Aceh, dan lain-lain. Untuk menjamin keuntungan yang luar
biasa, pemerintah Belanda mengadakan pemeriksaan di lapangan ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, dan sebagainya. Juga adat istiadat, bahasa, agama, kesenian,
dan sejarah suku-suku bangsa dipelajari oleh orang-orang Belanda.

Jadi, imperialisme telah menghancurkan monopoli negara yang berbentuk “cultuurstelsel”,


tetapi bersamaan dengan itu telah mendatangkan monopoli yang baru, yaitu monopoli kapital
finansial. Karena kaum imperialis Belanda lemah kedudukannya dalam militer dan tidak mampu
sendirian membela Indonesia dengan senjata, maka sejak tahun 1905 kaum imperialis Belanda
terpaksa menjalankan politik pintu terbuka (opendeur politiek), artinya Indonesia dibuka menjadi
lapangan eksploitasi kaum kapitalis dari segala negara kapitalis, terutama negara-negara Inggris
dan Amerika. Dengan menjalankan politik pintu terbuka kaum imperialis Belanda
memperhitungkan dua keuntungan: 1) berupa kenaikan hasil pajak yang didapat dari
perusahaan-perusahaan imperialis; 2) berupa pertahanan bersama antara negara-negara
imperialis untuk melindungi kepentingan-kepentingannya di Indonesia, dan bersamaan dengan
itu kaum imperialis Belanda juga dapat menjalankan politik keseimbangan antara negara-negara
imperialis agar Indonesia tidak dicaplok oleh negara imperialis yang lain. Imperialisme telah
mengganti perbudakan model “cultuurstelsel” dengan perbudakan model “baru” yang antara lain
berbentuk “poenale sanctie”, yaitu peraturan yang berisi ketentuan hukuman bagi mereka yang
menyalahi kontrak sebagai alat penjamin tenaga kerja murah bagi onderneming-onderneming
asing.

Karena dalam zaman sebelum imperialisme, Indonesia sudah dikuras dan dirusak habis-
habisan, maka imperialisme harus memulai dengan menciptakan dasar-dasar elementer untuk
suatu sistem pengisapan modern, pengisapan yang lebih intensif dan sistematis terhadap rakyat
dan kekayaan Indonesia. Sudah sejak permulaan zaman imperialisme pemerintah Hindia
Belanda menjalankan apa yang dinamakan “politik ethic” (“politik susila”), yaitu politik yang
antara lain mengurangi rodi, mereorganisasi dinas-dinas kesehatan, sedikit meluaskan irigasi,
dan mendirikan sekolah-sekolah rendah, sekolah-sekolah guru normal, sekolah-sekolah teknik,
sekolah-sekolah menengah umum, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan imperialisme
akan kaum buruh dan pegawai bumi putera yang murah tetapi berpendidikan.

Dalam zaman imperialis ini, Indonesia merupakan sumber bahan mentah yang murah buat
negeri-negeri imperialis, sumber tenaga kerja yang sangat murah, pasar untuk menjual hasil
produksi negeri-negeri imperialis dan tempat penanaman kapital asing (Belanda, Inggris,
Amerika, Jepang, Prancis, Italia, dan lain-lain).

Politik kolonial kaum imperialis sama sekali bukan untuk memajukan industri Indonesia, tetapi
untuk memajukan industri negeri imperialis sendiri. Kaum imperialis menentang sekeras-
kerasnya perkembangan industri yang luas di Indonesia, dan inilah sebabnya kerajinan tangan
dari rakyat tidak berkembang menjadi industri modern seperti yang terjadi di Eropa.

Perusahaan-perusahaan bangsa Indonesia sangat terbatas perkembangannya, misalnya


hanya meliputi perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, batik, dan rokok kretek. Yang agak
maju ialah perusahaan-perusahaan batik, di antaranya ada yang mempunyai puluhan sampai
ratusan kaum buruh. Perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada importir-importir asing
yang mendatangkan keperluan perusahaan batik. Perusahaan-perusahaan rokok kretek juga
sangat tergantung pada importir-importir asing dan mendapat saingan berat dari industri-industri
rokok Eropa yang modern. Perusahaan batik atau rokok kretek yang agak besar umumnya
dimiliki oleh orang-orang Arab, Tionghoa, dan Eropa.

Industri nasional di zaman imperialis sangat dihalangi oleh politik imperialis untuk berkenalan
dengan mesin-mesin modern. Hal inilah yang terutama menetapkan Indonesia dalam kedudukan
yang sangat sukar dalam memenuhi kebutuhannya akan barang-barang hasil industri selama
perang dunia ke-2 dan selama revolusi 1945-1948.

Indonesia mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi negeri industri yang modern dan kuat,
karena Indonesia adalah negeri yang kaya dengan pelikan seperti batu bara, besi, minyak tanah,
timah, bauksit, mangan, tembakau, krom, air rasa, iodium, aspal, emas, perak, seng, uranium,
dan lain-lain. Tetapi kaum imperialis tidak menjadikan Indonesia negeri industri. Kaum imperialis
mendirikan perusahaan-perusahaan pengangkutan seperti kereta api, mobil, dan kapal serta
mendirikan pelabuhan-pelabuhan untuk mengangkut barang-barang dagangan yang berupa
hasil-hasil bumi tropis, atau untuk memudahkan gerak-gerik militer guna mengontrol dan guna
keamanan penjajahan mereka. Mereka mendirikan industri-industri pembantu untuk keperluan-
keperluan reparasi dan untuk mengerjakan bahan-bahan mentah buat ekspor. Industri yang
termasuk agak maju yang didirikan oleh kaum imperialis ialah industri pertambangan (minyak,
timah, bauksit, batubara, dan sebagainya), pabrik gula, pabrik remeling, pabrik teh, pabrik kopi,
pabrik minyak kelapa, penggilingan beras, pabrik tembakau, dan sebagainya.

Dengan berkuasanya imperialisme di Indonesia seperti diterangkan di atas maka masyarakat


kolonial Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Dasar dari ekonomi alamiah untuk sendiri (self sufficing natural economy) sudah rusak, artinya
produksi sudah ditujukan untuk pasar, tetapi eksploitasi atas kaum tani oleh kelas tuan tanah –
basis sosial dari eksploitasi feodal – masih tetap berlaku. Eksploitasi ini malahan sudah berjalin
dengan eksploitasi kapital asing, kapital komprador dan lintah darat yang berkedudukan
menentukan dalam kehidupan sosial-ekonomi Indonesia. Indonesia yang feodal sudah menjadi
Indonesia yang semi-feodal.
Kemungkinan berkembang bagi kapitalisme nasional sangat dibatasi sehingga tidak
mempunyai rol yang penting di dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia.
Dalam masa pendudukan Jepang borjuasi nasional dapat sedikit memperkuat diri, karena orang-
orang Jepang terpaksa banyak menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu. Tetapi
walaupun demikian,kelas borjuis nasional Indonesia tetap sangat lemah di dalam hal politik,
ekonomi, dan kebudayaan.

Dalam Indonesia modern kekuasaan raja-raja yang otokratis sudah digulingkan, tetapi ini tidak
berarti bahwa kaum feodal tidak memegang rol dalam kekuasaan kolonial. Kaum feodal, yaitu
kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah, merupakan alat yang penting di tangan kaum imperialis
untuk melangsungkan pengisapan ekonomi dan penindasan politik terhadap rakyat. Kekuasaan
kolonial ialah diktator borjuasi besar asing dan kaum feodal dalam negeri. Dengan diktator ini
kaum borjuis asing tidak hanya menguasai sektor-sektor keuangan dan ekonomi Indonesia,
tetapi mereka juga menguasai keadaan politik dan militer Indonesia.

Kaum imperialis asing juga menggunakan alat kebudayaan untuk mematahkan semangat
perlawanan rakyat Indonesia. Dengan alat kebudayaan ini mereka menanam rasa rendah diri di
kalangan rakyat dan mendewa-dewakan orang asing dan kaki tangannya. Mereka menanamkan
rasa tidak mampu pada rakyat Indonesia, dan mencekokkan bahwa segala yang baik dan
pandai ada pada orang asing. Mereka tanamkan bahwa belajar ke Eropa, terutama ke negeri
Belanda, berarti pangkat, prestise, dan harta benda bagi yang dapat kesempatan.

Penindasan oleh imperialisme dan feodalisme di zaman kekuasaan Belanda, dan lebih-lebih
lagi di zaman kekuasaan Jepang, telah membikin rakyat Indonesia, terutama kaum tani, menjadi
makin lama makin melarat dan kebanyakannya menjadi bangkrut, hidup dalam keadaan lapar,
asing dari perumahan yang pantas dan pakaian yang cukup.

Pasal 5. Masyarakat Indonesia Sekarang adalah Setengah Jajahan dan


Setengah Feodal

Sebagai salah satu puncak dari pertentangan yang pokok dalam masyarakat Indonesia di
zaman modern, yaitu pertentangan antara imperialisme dan nasion Indonesia, maka pecahlah
dalam bulan Agustus 1945 revolusi nasional di Indonesia. Dengan ini bangsa Indonesia
mengambil kemerdekaan di dalam tangannya sendiri. Dalam revolusi ini dengan gagah rakyat
Indonesia berjuang melawan musuhnya yang terpokok, yaitu imperialisme. Tetapi musuh pokok
yang lain, yaitu kelas tuan tanah feodal, yang merupakan basis sosial yang terpenting bagi
kekuasaan imperialisme, tidak digulingkan. Ini berarti bahwa tenaga pokok revolusi Indonesia,
yaitu kaum tani, tidak cukup dibangunkan dan ditarik ke dalam revolusi. Terpisahnya
pelaksanaan dua tugas pokok, yaitu tugas revolusi nasional anti-imperialisme dan tugas revolusi
demokratis anti-feodalisme adalah merupakan sebab pokok dari kegagalan revolusi Agustus.

Di dalam Program PKI antara lain dikatakan bahwa: “Tugas pembebasan nasional dan
perubahan-perubahan demokratis di Indonesia belum lagi terlaksana. Hasrat rakyat
Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan nasional yang penuh, untuk kebebasan-
kebebasan demokratis dan untuk memperbaiki penghidupannya masih belum terpenuhi”.

Selanjutnya Program PKI mengatakan, bahwa “Persetujuan KMB yang ditandatangani oleh
pemerintah Hatta dan pemerintah Belanda pada tanggal 2 November 1949 menetapkan
kedudukan Indonesia sebagai setengah jajahan. Apa yang dinamakan penyerahan kedaulatan
yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949, sesuai dengan persetujuan tersebut di atas,
adalah bertujuan untuk menimbulkan lamunan di kalangan rakyat Indonesia bahwa Indonesia
telah diberi kemerdekaan yang penuh dan bahwa ‘penyerahan kedaulatan’ itu adalah ‘nyata,
penuh, dan tak bersyarat’”. Keadaan yang sebenarnya ialah, bahwa dengan penandatanganan
persetujuan KMB pemerintah Hatta merestorasi kekuasaan kaum imperialis Belanda atas
ekonomi Indonesia.

Dengan persetujuan KMB kaum reaksioner Indonesia, yang sepenuhnya berkapitulasi kepada
kaum imperialis, berusaha untuk mengekang dan menindas gerakan pembebasan nasional dan
gerakan demokratis rakyat Indonesia. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya! Atas desakan
massa rakyat yang kuat dan luas, maka dalam bulan April 1956 secara sepihak (unilateral)
persetujuan KMB dibatalkan dan kemudian juga “hutang” kepada negara Belanda dihapuskan
secara unilateral oleh pemerintah Indonesia. Walaupun tindakan-tindakan ini adalah tindakan-
tindakan politik yang penting dan sesuai dengan semangat anti-imperialisme dari rakyat yang
sedang naik, tetapi ia tidak membawa perubahan yang penting dalam masyarakat Indonesia.

Dengan dibatalkannya persetujuan KMB, rakyat Indonesia pada pokoknya sudah


mendapatkan kemerdekaan politik di 80% dari wilayah negerinya, sedangkan di Irian Barat yang
merupakan 20% dari wilayah Indonesia belum ada sama sekali kemerdekaan politik bagi rakyat.
Irian Barat masih sepenuhnya dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Kemerdekaan politik yang
sekarang sudah dimiliki rakyat Indonesia belumlah kemerdekaan politik yang penuh dan stabil,
tetapi masih setengah-setengah dan masih terus terancam oleh kekuatan-kekuatan reaksioner.
Kaum reaksioner di dalam negeri yang bekerja sama dengan kaum imperialis Belanda, Amerika,
dan lain-lain berusaha keras untuk membatasi dan menghapuskan kemerdekaan politik bagi
kelas buruh dan rakyat progresif lainnya.

Bukti yang sangat jelas dari masyarakat Indonesia yang setengah jajahan ialah masih belum
merdekanya Indonesia di lapangan ekonomi. Kaum imperialis (kapitalis-kapitalis besar asing)
masih berkuasa di Indonesia di lapangan ekonomi. Dengan kekuasaannya di lapangan ekonomi
dan dengan melewati orang-orang bayarannya kaum imperialis juga ikut menentukan jalannya
politik Indonesia. Maskapai-maskapai imperialis seperti B.P.M., Caltex, dan Stanvac menguasai
minyak tanah di negeri kita. Perusahaan-perusahaan perkebunan asing masih menguasai tanah-
tanah onderneming dan sebagian yang penting dari pengangkutan di atas laut masih dikuasai
oleh K.P.M. Perdagangan impor, ekspor, dan perdagangan dalam negeri masih dikuasai oleh
apa yang biasa disebut “Big Five” (“Lima Besar”), yaitu N.V. Internatio, Borsumy, Jacobson van
den Berg, Lindeteves-Stokvis, dan Geo Wehry. Alat-alat penting dalam perdagangan seperti
transpor sebagian atau seluruhnya masih dikuasai oleh kapitalis-kapitalis besar asing. Bank-
bank yang besar masih menguasai ekonomi Indonesia seperti Factory, Handelsbank, Escompto,
Chartered Bank, Great Eastern Bank, dan lain-lain, adalah kepunyaan kaum kolonialis Belanda
dan kaum imperialis lainnya.

Politik kaum imperialis di lapangan perekonomian pada prinsipnya tidak berubah dari waktu
Indonesia masih sepenuhnya jajahan. Mereka meneruskan perusahaan-perusahaan mereka
yang lama dan mendirikan beberapa yang baru. Dengan demikian mereka dapat secara
langsung menggunakan bahan-bahan mentah Indonesia, menggali kekayaan pelican Indonesia
dan menggunakan tenaga buruh Indonesia yang murah. Secara ekonomi mereka langsung
menekan industri nasional, baik kepunyaan negara maupun kepunyaan borjuasi nasional.
Dengan demikian kaum kapitalis besar asing menghadapi perkembangan tenaga produktif di
negeri kita. Bank dan keuangan serta barang-barang dagangan yang ada di dalam kekuasaan
kaum imperialis inilah yang mempunyai kedudukan menentukan di dalam kehidupan ekonomi
negeri kita dewasa ini.

Untuk menjamin keselamatan kapitalnya dan memudahkan eksploitasinya terhadap massa


luas petani dan golongan-golongan rakyat lainnya, kaum imperialis menggunakan komprador-
komprador dan lintah-lintah darat untuk membikin jaring-jaring eksploitasi yang menyebar dari
pelabuhan-pelabuhan dagang di pantai-pantai yang ramai, dari kota-kota sampai ke desa-desa
yang terbelakang jauh di pedalaman. Kelas komprador adalah kreasi kaum imperialis,
pembantu-pembantu mereka dalam mengeksploitasi massa luas rakyat. Kaum komprador tidak
hanya mengabdi kepentingan satu imperialis, tetapi mereka masing-masing melayani
kepentingan imperialis-imperialis yang tertentu. Untuk mendapatkan kekuatan politik kaum
imperialis menempatkan komprador-kompradornya di dalam partai-partai borjuis, dan partai-
partai ini mereka jadikan alat pengabdi mereka yang setia. Dengan menggunakan partai-partai
borjuis dan dengan berkedok untuk kepentingan “agama” dan “ideologi” mereka menggunakan
badan-badan eksekutif dan legislatif serta alat-alat birokrasi pemerintahan untuk melayani
kepentingan-kepentingan kaum imperialis yang mereka pertuan, untuk memecah-belah
persatuan rakyat dan untuk menghalangi perkembangan kekuatan progresif yang dipimpin oleh
Partai Komunis.

Di samping kekuasaan ekonomi kaum imperialis asing, di Indonesia sekarang masih berkuasa
sisa-sisa feodalisme yang penting dan berat, yaitu:

(1) Hak tuan tanah besar untuk memonopoli milik tanah yang dikerjakan oleh kaum tani yang
bagian terbesar tidak mungkin memiliki tanah dan karena itu terpaksa menyewa tanah dari
pemilik-pemilik tanah menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh tuan tanah;

(2) Pembayaran sewa tanah dalam wujud barang kepada tuan-tuan tanah yang merupakan
bagian penting dari hasil panen kaum tani dan yang mengakibatkan kemelaratan bagian
terbesar kaum tani;

(3) Sistem sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan-tuan tanah, yang menempatkan kaum
tani dalam kedudukan hamba;

(4) Yang terakhir ialah tumpukan hutang-hutang yang menjerat batang leher bagian terbesar
kaum tani dan yang menempatkan mereka dalam kedudukan budak terhadap pemilik-pemilik
tanah.

Masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme telah menyebabkan terbelakangnya teknik pertanian,


melaratnya bagian terbesar dari kaum tani, susutnya pasar dalam negeri, dan tidak mungkinnya
mengindustrialisasi negeri.

Penindasan dobel dari imperialisme dan feodalisme telah menyebabkan massa luas rakyat,
terutama kaum tani, menjadi bangkrut, hidup dalam keadaan lapar dan setengah telanjang.
Penindasan dobel, yaitu penindasan imperialisme dan feodalisme, juga telah menyebabkan
sangat tertekannya perkembangan industri nasional dan kebudayaan nasional.

Dalam masyarakat Indonesia modern sekarang, pertentangan antara imperialisme dengan


nasion Indonesia dan pertentangan antara feodalisme dengan massa rakyat yang terbesar,
terutama kaum tani, adalah pertentangan-pertentangan pokok. Sudah tentu ada pertentangan-
pertentangan lain seperti pertentangan antara borjuasi dengan proletariat, pertentangan antara
kelas-kelas reaksioner sendiri dan pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis
yang lain. Tetapi, walau bagaimana pun, pertentangan antara imperialisme dengan nasion
Indonesia adalah pertentangan yang terpokok dari semua pertentangan. Perjuangan yang
meningkat dari pertentangan-pertentangan dan makin dalamnya pertentangan-pertentangan di
dalam masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal sekarang tidak bisa tidak pasti
membawa perkembangan dari gerakan revolusioner. Revolusi Indonesia timbul dan
mengembangkan diri atas dasar pertentangan-pertentangan yang ada dan yang makin tajam di
dalam masyarakat Indonesia sekarang.

Demikianlah kesimpulan-kesimpulan yang dapat kita tarik dari karakteristik-karakteristik


masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Karakteristik-karakteristik dan kesimpulan ini
tidak mempunyai perbedaan hakikat daripada karakteristik-karakteristik dan kesimpulan-
kesimpulan mengenai masyarakat Indonesia sebelum Revolusi Agustus 1945. Ini disebabkan
karena Revolusi Agustus tidak diselesaikan dengan melaksanakan dua tugas pokok revolusi
sekaligus, yaitu tugas revolusi nasional anti-imperialisme dan tugas revolusi demokratis anti-
feodalisme.

Dengan belum diselesaikannya dua tugas pokok Revolusi Indonesia, maka berartilah bahwa
Revolusi Agustus 1945 belum diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Sampai sekarang
imperialisme masih bercokol di Indonesia, sedangkan basis sosial yang terpenting dari
kekuasaan imperialisme, yaitu kelas tuan tanah, belum digulingkan.

BAB II. REVOLUSI INDONESIA

Pasal 1. Gerakan Revolusioner di Indonesia dalam Abad ke-20

Pemerintah Belanda secara langsung dan resmi berkuasa di Indonesia mulai tahun 1800,
yaitu sesudah pembubaran perkumpulan dagang Belanda “VOC”. Sejak tahun 1800, dengan
interupsi kekuasaan Inggris tahun 1811-1814, sampai diusirnya kekuasaan Belanda oleh bala
tentara Jepang pada 9 Maret 1942, pemerintah Belanda secara langsung dan resmi berkuasa
dengan sewenang-wenang di Indonesia.

Proses transformasi Indonesia menjadi sepenuhnya di bawah kekuasaan kolonialisme


Belanda adalah sekaligus proses perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda
dan kaki tangannya. Dengan bersusah payah pemerintah Belanda memadamkan
pemberontakan-pemberontakan bersenjata rakyat di Ambon, Jawa, Sumatera, Bali, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan banyak lagi. Di antara perlawanan-perlawanan yang sengit itu
termasuk perang di Maluku dalam tahun 1817 yang dipimpin oleh Pattimura, perang di Jawa
tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Diponegoro, perang di Minangkabau tahun 1830-1839 yang
dipimpin oleh Imam Bonjol. Perang di Aceh baru berakhir setelah berlangsung terus-menerus
selama kira-kira 40 tahun, yaitu dari tahun 1873-1913.

Pada permulaan abad ke-20, karena dorongan kelas-kelas baru yaitu kelas proletar dan
borjuasi nasional, timbullah bentuk-bentuk baru dalam gerakan revolusioner rakyat Indonesia.
Revolusi Rusia tahun 1905 yang dipimpin oleh kaum Komunis Rusia dengan Lenin sebagai
pemimpin utamanya sangat berpengaruh pada tumbuhnya bentuk-bentuk baru dari gerakan
kemerdekaan nasional rakyat Indonesia. Revolusi Rusia tersebut memberi pukulan pada
kekuasaan Tsar Rusia, sehingga sangat melemahkan kedudukannya. Khawatir melihat
perkembangan revolusioner dalam negeri, Tsar Rusia buru-buru mengadakan persetujuan damai
dengan Jepang, agar dengan demikian dapat memperkuat kedudukannya untuk menghadapi
revolusi dalam negeri. Revolusi Rusia tahun 1905 telah mempunyai peranan yang sangat
penting dalam membangunkan bangsa-bangsa Asia. Juga bangsa Indonesia bangun dan kelas-
kelas yang tertindas mengorganisasi diri.

Dalam tahun 1905 berdirilah serikat buruh pertama di kalangan buruh kereta api dengan nama
SS-BOND (Staatsspoor-Bond). Dalam tahun 1908 berdiri VSTP (Vereniging van Spoor en
Tramweg Personeel), suatu serikat buruh kereta api yang militan. Dalam tahun itu juga sejumlah
orang-orang intelektual di Jawa mendirikan organisasi “Budi Utomo”. Organisasi-organisasi
pemuda dan pelajar yang bersifat kedaerahan timbul di mana-mana.

Pelajar-pelajar Indonesia di negeri Belanda dalam tahun 1908 mendirikan “Indonesische


Vereniging”, dan dalam tahun 1925 berganti nama lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
“Perhimpunan Indonesia” adalah organisasi yang mempunyai karakter politik yang tegas dan
menuntut kemerdekaan bagi Indonesia.

Dalam tahun 1911 kaum borjuis dagang Indonesia mendirikan “Serikat Dagang Islam”, yang
dalam tahun 1912 berganti nama dengan “Serikat Islam”. Dalam bulan Mei 1914 di Surabaya
didirikan “Indische Sociaal-Demokratische Vereniging” (ISDV, Perhimpunan Sosial-Demokratis di
Hindia), organisasi politik yang pertama dari kaum Marxis Indonesia. Revolusi Oktober Besar
Rusia tahun 1917 sangat berpengaruh pada proletariat Indonesia terutama pada ISDV. Pada
pertengahan bulan November 1918 didirikan sebuah organisasi front persatuan nasional dengan
nama “Radicale Concentratie” yang anggota-anggotanya terdiri dari Serikat Islam, Budi Utomo,
Insulinde, Pasundan, dan ISDV. “Radicale Concentratie” ini segera menuntut adanya Undang-
Undang Dasar dan Parlemen.

Pada tanggal 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam waktu yang singkat pengaruh PKI menjadi meluas di kalangan rakyat yang sedang
menderita kemelaratan akibat eksploitasi ekonomi dan penindasan politik imperialisme Belanda.
Krisis makin memuncak di Indonesia, penghidupan rakyat makin lama makin merosot dan
perlawanan-perlawanan rakyat yang tidak terorganisasi terhadap alat-alat pemerintah makin
banyak. Dalam keadaan demikian inilah provokasi-provokasi dari pemerintah kolonial Belanda
datang bertubi-tubi dalam bentuk pemecatan terhadap kaum pemogok, penangkapan terhadap
kaum tani, pembubaran sekolah-sekolah yang didirikan oleh PKI dan Serikat Rakyat, pelarangan
terhadap surat kabar-surat kabar kaum buruh, penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin
kaum buruh, dan lain-lain. Dalam menghadapi kaum tani, Belanda membikin gerombolan-
gerombolan teroris seperti misalnya “Sarekat Hejo”. Semuanya ini menyebabkan timbulnya
pemberontakan rakyat pada akhir tahun 1926 di Jawa dan awal tahun 1927 di Sumatera
terhadap kekuasaan imperialisme Belanda. PKI berusaha dengan sekuat tenaga untuk
memberikan pimpinan pada pemberontakan ini. Karena tidak cukupnya persiapan, karena
kurangnya pengalaman dan belum tepatnya politik proletariat Indonesia dan Partai politiknya,
pemberontakan mengalami kekalahan, PKI diilegalkan dan teror putih merajalela.

Setelah PKI dilarang oleh pemerintah Belanda, borjuasi nasional Indonesia yang dipelopori
oleh kaum intelektual yang revolusioner mendirikan bermacam-macam organisasi dan partai
politik, meneruskan perjuangan revolusioner yang sudah dimulai oleh PKI. Dengan mendapat
inspirasi dari perjuangan rakyat Indonesia yang revolusioner, dalam tahun 1928 lahirlah Sumpah
Pemuda, yaitu kebulatan tekad pemuda Indonesia dari berbagai suku bangsa dan berbagai
aliran politik, yang menyatakan bahwa mereka adalah berbangsa, berbahasa, dan bertanah air
satu, yaitu Indonesia. Peristiwa ini sangat penting bagi pembentukan nasion Indonesia. Ini
adalah jawab yang tepat pada politik pecah-belah kaum imperialis Belanda.

Laksana halilintar di panas terik dalam tahun 1933 meletuslah pemberontakan di dalam kapal
perang Belanda “De Zeven Provincien”, yang selama pemberontakan dipimpin dan dikemudikan
bersama-sama oleh kelasi-kelasi Indonesia dan Belanda. Bom yang dijatuhkan oleh pemerintah
kolonial pada kapal yang memberontak ini tidak berhasil mematahkan semangat dan solidaritas
kelasi-kelasi Indonesia dan Belanda. Pemberontakan ini, walaupun kemudian dapat
dipadamkan, telah menyalakan harapan dan kepercayaan pada kekuatan diri sendiri di hati
berpuluh-puluh juta rakyat Indonesia yang tertindas.

Dalam bulan Maret 1942 kekuasaan Belanda terpaksa angkat kaki dari Indonesia, karena
diserbu oleh imperialisme Jepang. Selama pendudukan tentara Jepang rakyat Indonesia
meneruskan perjuangan revolusionernya dengan mengadakan sabotase-sabotase di
perusahaan-perusahaan (antara lain menggulingkan kereta api-kereta api yang mengangkut
tentara Jepang, meledakkan bangunan-bangunan penting), mengadakan pemberontakan-
pemberontakan tani (antara lain di Blitar) dan perlawanan-perlawanan di kalangan inteligensia,
mahasiswa, pemuda, dan pelajar. Segera sesudah diumumkan bahwa Jepang menyerah kalah
kepada negeri-negeri sekutu dalam perang dunia ke-2, rakyat Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan nasionalnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mendirikan sebuah republik.

Republik Indonesia yang masih muda ini harus menghadapi musuh-musuh yang kuat dan
sedang naik prestisenya karena baru kembali sebagai pemenang dari medan perang dunia ke-2,
yaitu tentara-tentara Inggris dan Belanda yang dibantu oleh imperialisme Amerika. Di samping
menggunakan senjata militer yang jauh lebih baik perlengkapannya daripada angkatan perang
Republik Indonesia, kaum imperialis juga menggunakan senjata politik dan diplomasi. Mereka
mendirikan negara-negara boneka untuk mengepung revolusi Indonesia dan berusaha
memecah kekuatan revolusi dari dalam dengan menggunakan orang-orang reaksioner yang
berkedudukan penting di dalam Republik.

Dengan intrik-intrik dan intimidasi-intimidasi berhasillah kaum imperialis dengan bantuan klik
Hatta dalam bulan Januari 1948 menggulingkan pemerintah Republik yang revolusioner dan
membentuk sebuah pemerintah reaksioner yang dikepalai oleh Hatta, ketika itu Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pemerintah Hatta inilah yang kemudian menjalankan politik pengejaran dan
pembunuhan terhadap kaum Komunis dan orang-orang progresif lainnya. Sesudah kekuatan
revolusioner dapat dipatahkan dalam peristiwa berdarah yang terkenal dengan nama “Peristiwa
Madiun”, maka leluasalah pemerintah Hatta mengadakan kompromi dengan pemerintah Belanda
di bawah pengawasan wakil Amerika Serikat. Pada tanggal 2 November 1949 ditandatanganilah
oleh pemerintah Hatta dengan pemerintah Belanda persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB),
yang pada hakikatnya tidak lain daripada menetapkan kedudukan Indonesia sebagai negeri
setengah jajahan.

Perjuangan nasional revolusioner rakyat Indonesia yang sudah hampir 50 tahun sejak tahun
1908, yang sudah lebih dari 30 tahun sejak pemberontakan tahun 1926, yang sudah hampir 30
tahun sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, dan sudah lebih dari 11 tahun sejak Revolusi Agustus
1945 belum melakukan tugas-tugas sepenuhnya, yaitu kemerdekaan nasional yang penuh,
perubahan-perubahan demokratis dan perbaikan penghidupan rakyat. Revolusi Agustus belum
selesai sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, adalah kewajiban bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan terutama sekali bagi proletariat Indonesia dan PKI, untuk menggenggam dalam
tangannya seluruh pertanggunganjawab guna menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-
akarnya.

Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan-kesalahan dalam melakukan pekerjaan guna


penyelesaian tugas-tugas Revolusi Agustus sampai rampung sama sekali, maka wajiblah kita
mengenal benar-benar apakah yang menjadi sasaran-sasaran revolusi ini? Apakah tugas-
tugasnya? Apakah kekuatan-kekuatan yang mendorongnya? Apakah watak atau karakternya?
Apakah perspektif-perspektifnya? Inilah soal-soal pokok revolusi Indonesia dan tentang inilah
yang akan dibicarakan di bawah ini.

Pasal 2. Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia

Berdasarkan analisa bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan
setengah feodal, maka PKI dalam Kongres Nasionalnya yang ke-5 (Maret 1954) telah
menetapkan apa yang menjadi sasaran-sasaran revolusi Indonesia pada tingkat sekarang, apa
yang menjadi tugas-tugasnya, kekuatan-kekuatan pendorongnya, karakter dan perspektif-
perspektifnya. Pengertian yang jelas tentang masyarakat Indonesia adalah syarat mutlak untuk
mengerti semua soal pokok dan penting dari revolusi Indonesia. Salah satu arti yang terpenting
dari Kongres Nasional ke-5 PKI ialah, bahwa kongres ini, berdasarkan pengertian yang tepat
tentang masyarakat Indonesia telah dapat memecahkan masalah-masalah pokok dan penting
dari revolusi Indonesia, yaitu sebagai berikut:

A. Tentang Sasaran-Sasaran Pokok atau musuh pokok revolusi Indonesia pada tingkat
sekarang dinyatakan dalam program PKI adalah imperialisme dan feodalisme. Tentang sasaran-
sasaran pokok revolusi Indonesia Program PKI antara lain mengatakan: “Selama keadaan di
Indonesia masih tetap tidak berubah, artinya, selama kekuasaan imperialisme belum
digulingkan dan sisa-sisa feodalisme belum dihapuskan, rakyat Indonesia takkan
mungkin membebaskan diri dari keadaan melarat, terbelakang, pincang, dan tak berdaya
dalam menghadapi imperialisme. Kekuasaan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme tidak
akan hapus di Indonesia selama kekuasaan negara di negeri kita dipegang oleh tuan-tuan
tanah dan komprador-komprador yang berhubungan erat dengan kapital asing karena
mereka mau mempertahankan penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di
negeri kita, karena mereka paling takut kepada rakyat Indonesia”.

Dengan menyatakan bahwa sasaran-sasaran pokok revolusi Indonesia adalah imperialisme


dan feodalisme, maka berartilah bahwa musuh-musuh pokok rakyat Indonesia dalam tingkat
revolusi sekarang adalah borjuasi besar negeri-negeri imperialis dan kelas tuan tanah di dalam
negeri. Kelas-kelas inilah yang berkomplot menindas rakyat Indonesia. Karena penindasan oleh
imperialisme atas rakyat Indonesia adalah yang paling kejam, maka imperialisme adalah musuh
yang paling penting dan paling sengit dari rakyat Indonesia.

Revolusi Indonesia tidak hanya harus melawan borjuasi besar negeri-negeri imperialis dan
kelas tuan tanah di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kaum komprador atau agen-agen
imperialisme asing yang terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri. Melawan imperialisme asing
dengan tidak melawan kaum komprador yang menjadi kaki tangannya adalah pekerjaan sia-sia,
karena kaum imperialis asing tidak akan mungkin berkuasa di Indonesia sekarang jika tidak
mempunyai jaring-jaring kaki tangan-kaki tangan yang diselundupkan di mana-mana, seperti di
dalam pemerintahan pusat dan daerah, di dalam jawatan-jawatan, di dalam badan-badan
ekonomi dan keuangan, di dalam partai-partai politik, di dalam organisasi-organisasi massa, di
dalam pers, di dalam badan-badan kebudayaan, universitas-universitas, angkatan perang dan
kepolisian, di dalam macam-macam panitia resmi dan tidak resmi, di dalam badan-badan
penyelidik, di kalangan keagamaan, dan di kalangan gerombolan-gerombolan bandit. Di antara
agen-agen imperialisme asing ini ada yang mempunyai persekutuan kapital dengan kaum kapital
besar asing, tetapi ada juga yang tidak, dan yang demikian ini mendapat bayaran dari dana-
dana istimewa atau bentuk-bentuk suapan lainnya dari kaum imperialis.

Jadi teranglah, bahwa revolusi Indonesia mempunyai musuh-musuh yang masih kuat, yang
masih sangat berbahaya, yaitu kombinasi dari kaum imperialis, kaum komprador, dan kaum tuan
tanah feodal yang memandang rakyat Indonesia sebagai musuhnya. Keadaan musuh-musuh
revolusi Indonesia yang masih kuat ini tidaklah berarti bahwa mereka dalam keadaan
berkembang, tetapi sebaliknya, mereka dalam keadaan runtuh dan sekarat. Meskipun demikian,
adalah keliru jika kita mengecilkan kekuatan musuh-musuh revolusi Indonesia ini.

Karena musuh-musuh revolusi Indonesia masih kuat, maka perjuangan untuk mengalahkan
musuh-musuh ini adalah perjuangan yang sengit, berat, dan makan waktu panjang.
Menganggap enteng perjuangan revolusioner rakyat Indonesia adalah keliru, demikian juga
adalah keliru menganggap bahwa perjuangan ini bisa dilakukan dalam waktu singkat dan dalam
suasana yang terburu-buru.

Dalam memimpin perjuangan rakyat yang sengit, berat, dan makan waktu panjang ini, kita
harus menjalankan taktik membawa maju perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dengan
perlahan dan berhati-hati, tetapi pasti. Dalam melakukan perjuangan yang makan waktu panjang
ini, kita harus tidak henti-hentinya melawan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan-
kecenderungan menyerahisme dan avonturisme yang bersumber pada ketidakuletan borjuis
kecil.

Karena musuh-musuh rakyat menggunakan semua bentuk perjuangan, maka kita juga harus
pandai menggunakan semua bentuk perjuangan. Kita harus pandai menggunakan semua
bentuk kegiatan yang terbuka dan legal, yang diperbolehkan oleh undang-undang dan
peraturan-peraturan, oleh kebiasaan-kebiasaan, dan adat-istiadat di dalam masyarakat. Sidang
Pleno ke-4 CC PKI antara lain memperingatkan bahwa kita “harus waspada dan harus
senantiasa mempersiapkan diri dan mempersiapkan rakyat di segala lapangan agar kaum
reaksioner tidak bisa menghalangi keinginan rakyat untuk mencapai perubahan-
perubahan sosial yang fundamental secara damai, secara parlementer”. Dengan sendirinya
pekerjaan PKI bukan hanya pekerjaan parlementer saja, tetapi juga dan terutama pekerjaan-
pekerjaan di kalangan massa, yaitu massa kaum buruh, kaum tani inteligensia, dan massa
pekerja serta massa demokratis lainnya. Semua pekerjaan ini, yang di dalam maupun di luar
Parlemen, ditujukan untuk mengubah imbangan kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan
tanah dan borjuasi komprador di satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak lain. Dalam
menggunakan bentuk-bentuk perjuangan ini, agar tujuan-tujuan Partai dapat dicapai, kita harus
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan, menguntungkan dan tahu batas. Yang terpenting
bukannya besarnya hasil, tetapi bahwa perjuangan itu berhasil, dan bahwa hasil itu merupakan
basis untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dan lebih banyak.

Pendeknya, dalam pekerjaan menumpuk kekuatan yang makan waktu panjang untuk
mengalahkan musuh-musuh yang masih kuat, jeritan-jeritan yang keras-keras dan aksi-aksi
yang keburu nafsu tidak akan membawa revolusi Indonesia kepada penghancuran sasaran-
sasarannya. Keuletan dan ketekunan bekerja yang terus-menerus, inilah yang dituntut oleh
Partai kita dari tiap-tiap anggotanya, terutama dari kader-kadernya.
B. Tentang Tugas-Tugas Revolusi Indonesia dikatakan dalam program PKI bahwa tugas
revolusi Indonesia ialah menciptakan pemerintah rakyat yang “bukannya harus melaksanakan
perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis. Ia akan
merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga anti-feodal dan
anti-imperialis, yang mampu memberi tanah dengan cuma-cuma kepada kaum tani, yang
mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi rakyat; suatu pemerintah yang mampu
membela industri dan perdagangan nasional terhadap persaingan asing, yang mampu
meninggikan tingkat hidup materiil kaum buruh dan menghapuskan pengangguran.
Dengan singkat, ia akan merupakan suatu pemerintah rakyat yang mampu menjamin
kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan”.

Jelaslah, bahwa tugas-tugas terpenting ialah berjuang terhadap dua musuh yaitu menjalankan
revolusi nasional untuk menggulingkan kekuasaan imperialisme, musuh dari luar, dan
menjalankan revolusi demokratis untuk menggulingkan kekuasaan tuan-tuan tanah feodal di
dalam negeri. Yang primer dari dua tugas terpenting ini ialah revolusi nasional untuk
menggulingkan imperialisme.

Dengan mengatakan bahwa tugas primer ialah menggulingkan imperialisme, tidaklah berarti
bahwa dua tugas penting dari revolusi Indonesia dapat berjalan sendiri-sendiri. Tidak! Dua tugas
penting ini saling berhubungan. Tanpa menggulingkan kekuasaan imperialisme, kekuasaan
kelas tuan tanah tidak mungkin diakhiri, karena imperialisme adalah penyokong yang terpenting
dari kelas tuan tanah. Di pihak lain, karena kaum tuan tanah feodal adalah basis sosial yang
terpenting dari kekuasaan imperialisme atas Indonesia, maka kekuasaan imperialisme tidak
mungkin digulingkan tanpa menggulingkan kekuasaan kaum tuan tanah feodal. Yang terakhir ini
hanya dapat digulingkan jika proletariat mampu membangunkan kekuatan pokok dari revolusi,
yaitu massa kaum tani, dengan jalan membantu mereka menggulingkan tuan tanah-tuan tanah
feodal. Dengan demikian, jelaslah bahwa front buruh dan tani anti-feodalisme adalah basis dari
front persatuan nasional anti-imperialisme. Jadi, dua tugas pokok revolusi Indonesia adalah
berbeda, tetapi bersamaan dengan itu ia juga saling berhubungan satu dengan lainnya.

Pikiran ingin “menyelesaikan revolusi nasional lebih dulu” dan kemudian “sesudah
revolusi nasional selesai”, baru melaksanakan “revolusi demokratis anti-feodalisme”
adalah pikiran yang keliru dan berbahaya. Pikiran ini keliru dan berbahaya karena “ingin
menyelesaikan revolusi nasional” tanpa memperjuangkan pembebasan kaum tani dari
penindasan sisa-sisa feodalisme, berarti tanpa menarik kaum tani ke pihak revolusi. Pikiran yang
keliru ini pada hakikatnya didorong oleh maksud supaya kedudukan tuan tanah-tuan tanah
feodal tidak diganggu-gugat. Mereka berdalih, bahwa kalau diganggu-gugat kaum tuan tanah
akan meninggalkan front nasional anti-imperialisme dan akan menentang revolusi. Tetapi
apakah benar demikian? Sama sekali tidak benar! Jika pikiran ini diterima maka hasilnya tidak
lain ialah, bahwa pihak tuan tanah tetap tidak akan memperkuat front nasional secara sungguh-
sungguh; sedangkan kaum tani, kekuatan pokok revolusi kita, tidak akan dapat dibangkitkan dan
dimobilisasi untuk melawan imperialisme, karena musuh pokok dan langsung dari kaum tani,
yaitu kaum tuan tanah feodal, tidak diapa-apakan dan tetap bebas melanjutkan pengisapan
ekonomi dan penindasan politik terhadap kaum tani. Tanpa membangunkan dan menarik kaum
tani di dalam revolusi, tidak mungkin revolusi nasional diselesaikan sampai ke akar-akarnya!

Untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya Partai telah


mempunyai Program Umum, yaitu dasar kerja sama antara PKI dengan semua partai, dengan
semua golongan dan perseorangan yang demokratis dan patriotik dalam menyelesaikan seluruh
tuntutan Revolusi Agustus. Di samping mempropagandakan program umumnya, PKI
mempersatukan rakyat berdasarkan tuntutan-tuntutan politik dan ekonomi yang konkret
sekarang dan menjadikan tuntutan konkret sekarang sebagai alas untuk bekerja sama waktu
sekarang dengan semua partai, semua golongan dan perseorangan yang demokratis dan
patriotik. Tuntutan politik yang urgen untuk sebanyak mungkin mempersatukan rakyat pada
tingkat sekarang ialah tuntutan pelaksanaan Konsepsi Presiden Sukarno seratus persen,
sebagai langkah yang penting dalam mencapai tujuan strategis dari revolusi Indonesia, yaitu
pelaksanaan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya.

C. Tentang Tenaga-Tenaga Penggerak atau Kekuatan-Kekuatan Pendorong Revolusi


Indonesia di dalam Program Umum Konstitusi Partai Komunis Indonesia (PKI) dikatakan bahwa
“tenaga penggerak revolusi Indonesia adalah kelas buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil
dan elemen-elemen demokratis lainnya yang dirugikan oleh imperialisme”. Semuanya ini
merupakan kekuatan progresif dalam masyarakat Indonesia. Persoalan kekuatan-kekuatan
pendorong atau tenaga-tenaga penggerak dari revolusi ialah persoalan kelas-kelas dan lapisan-
lapisan manakah di dalam masyarakat Indonesia yang merupakan kekuatan-kekuatan yang
konsekuen berjuang melawan imperialisme dan feodalisme. Problem taktik-taktik pokok revolusi
Indonesia hanya bisa secara tepat dipecahkan jika ada pengertian yang jelas tentang soal itu.

Program PKI menyatakan bahwa “kelas buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi
nasional harus bersatu dalam satu front nasional”. Front nasional adalah gabungan antara
kekuatan progresif dan kekuatan tengah. Kekuatan tengah pada pokoknya ialah kekuatan
borjuasi nasional.

Dalam program PKI juga dikatakan bahwa jalan keluar dari keadaan setengah jajahan dan
setengah feodal terletak “dalam mengubah imbangan kekuatan antara kaum imperialis,
kelas tuan tanah, dan borjuasi komprador di satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak
yang lain. Jalan keluar terletak dalam membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi
massa, terutama kaum buruh dan kaum tani”. Dalam Sidang Pleno ke-4 Comite Central
(akhir Juli 1956) antara lain dinyatakan, bahwa di dalam masyarakat Indonesia sekarang ada
tiga kekuatan, yaitu kekuatan kepala batu, kekuatan tengah, dan kekuatan progresif. Selanjutnya
dikatakan, bahwa pada waktu sekarang kekuatan rakyat, yaitu gabungan antara kekuatan
progresif dan kekuatan tengah berusaha untuk membentuk negara Indonesia yang merdeka di
lapangan politik dan ekonomi. Tetapi usaha ini ditentang keras oleh kelas-kelas komprador dan
feodal yang bersekongkol dengan kaum imperialis yang dengan ngotot berusaha untuk
mengubah Indonesia menjadi negara embel-embel, yaitu negara yang hanya dalam bentuknya
merdeka, tetapi pada hakikatnya menyerah kepada imperialisme. Garis politik PKI dalam
menghadapi tiga kekuatan ini ialah: dengan sekuat tenaga dan dengan tidak jemu-jemunya
mengembangkan kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah dan memencilkan
kekuatan kepala batu. Pelaksanaan garis politik ini adalah sangat penting dalam mengubah
imbangan kekuatan di dalam masyarakat.

Di dalam masyarakat Indonesia sekarang ada kelas tuan tanah dan kelas borjuis; kelas tuan
tanah lapisan atas adalah kelas-kelas yang memerintah. Yang diperintah ialah kelas proletar,
kaum tani, dan semua tipe borjuasi kecil di luar kaum tani; semuanya ini merupakan golongan
yang sangat terbesar di dalam masyarakat Indonesia. Jadi dapat juga dikatakan bahwa jalan
keluar dari keadaan setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia ialah mengubah
imbangan kekuatan kelas-kelas yang memerintah di satu pihak, dan kekuatan kelas-kelas yang
diperintah di pihak lain.
Sikap dan posisi dari semua kelas, baik yang memerintah maupun yang diperintah adalah
seluruhnya ditentukan oleh kedudukan sosial dan kedudukan ekonominya. Jadi, karakter dari
masyarakat Indonesia tidak hanya menentukan sasaran-sasaran dan tugas-tugas revolusi tetapi
juga menentukan tenaga-tenaga pendorong revolusi. Kelas-kelas apakah yang dapat
dimasukkan ke dalam tenaga-tenaga pendorong revolusi Indonesia? Untuk mengetahui ini kita
perlu menganalisa kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat Indonesia.

Kelas tuan tanah yang mengisap dan menindas kaum tani dan yang lebih banyak menentang
perkembangan politik, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat Indonesia daripada
memainkan rol yang progresif, bukanlah tenaga pendorong revolusi, tetapi sasaran revolusi.

Kelas borjuis ada yang berwatak komprador dan ada yang berwatak nasional. Borjuasi besar
yang berwatak komprador langsung mengabdi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis besar
asing dan oleh karena itu dibikin gendut olehnya. Dalam revolusi Indonesia borjuasi komprador
bukannya tenaga pendorong revolusi, tetapi penghalang revolusi, oleh karena itu ia adalah
sasaran revolusi. Sedangkan borjuasi nasional mempunyai dua watak. Sebagai kelas yang juga
ditindas oleh imperialisme dan dikekang perkembangannya oleh feodalisme kelas ini adalah
anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan dalam hal ini kelas ini merupakan satu dari kekuatan-
kekuatan revolusioner. Tetapi di pihak lain, kelas ini tidak mempunyai keberanian dalam
menentang imperialisme dan feodalisme secara mendalam karena di lapangan ekonomi dan
politik kelas ini lemah dan juga mempunyai tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme.
Karakter dobel dari borjuasi nasional ini menyebabkan kita mempunyai dua pengalaman dengan
mereka, yaitu pada periode yang tertentu dan sampai pada batas-batas yang tertentu kelas ini
bisa mengambil bagian dalam revolusi melawan imperialisme, melawan kaum komprador dan
tuan tanah (misalnya dalam Revolusi Agustus), tetapi dalam periode lain mereka bisa mengekor
borjuasi komprador dan menjadi sekutunya di dalam kubu kontra-revolusi (misalnya dalam
“Peristiwa Madiun” 1948 dan dalam Razzia Agustus 1951).

Mengenai borjuasi Indonesia ini di dalam Kongres ke-5 PKI, berdasarkan pengalaman-
pengalaman dalam beberapa periode perjuangan Rakyat Indonesia (periode 1920-1926, 1935-
1945, periode 1945-1948, periode 1948-1951, dan periode 1951-…) antara lain disimpulkan
bahwa:

“Borjuasi nasional Indonesia, karena juga tertekan oleh imperialisme asing, dalam
keadaan tertentu dan sampai batas-batas tertentu, dapat turut serta dalam perjuangan
melawan imperialisme. Dalam keadaan tertentu demikian, proletariat Indonesia harus
menggalang persatuan dengan borjuasi nasional dan mempertahankan persatuan itu
dengan sekuat tenaga. Dalam keadaan yang lebih tertentu lagi, jika politik Partai pada
suatu waktu hanya ditujukan kepada sesuatu imperialisme, maka sebagian dari borjuasi
komprador bisa juga merupakan tambahan kekuatan dalam melawan imperialisme yang
tertentu itu. Tetapi walaupun demikian, borjuasi komprador masih tetap sangat reaksioner
dan masih tetap bertujuan untuk menghancurkan Partai Komunis, menghancurkan
gerakan proletariat dan gerakan demokratis lainnya.

“Karena lemahnya borjuasi nasional Indonesia di lapangan ekonomi dan politik, maka
dalam keadaan sejarah yang tertentu borjuasi nasional yang wataknya bimbang itu bisa
goyang dan mengkhianat. Oleh karena itu proletariat Indonesia dan Partai Komunis
Indonesia harus berjaga-jaga akan kemungkinan bahwa dalam keadaan yang tertentu
borjuasi nasional tidak ikut dalam front persatuan, tetapi dalam keadaan lain lagi mungkin
ikut kembali”.
Dalam menghadapi sifat goyang borjuasi nasional Indonesia, perlu diperhatikan, bahwa justru
karena lemah di lapangan ekonomi dan politik, kelas ini tidak begitu sukar ditarik ke kiri dan bisa
dibikin mantap berdiri di pihak revolusi, asal saja kekuatan progresif besar dan politik serta taktik
Partai Komunis tepat. Dengan demikian kegoyangan kelas ini adalah tidak fatal, adalah bukan
tak terhindarkan. Tetapi sebaliknya, jika kekuatan progresif tidak besar dan politik serta taktik
Partai Komunis tidak tepat, borjuasi nasional yang lemah di lapangan ekonomi dan politik ini
mudah lari ke kanan dan memusuhi revolusi.

Borjuasi kecil di luar kaum tani, yaitu kaum miskin kota, kaum intelektual, pedagang-
pedagang kecil, tukang-tukang kerajinan tangan, nelayan-nelayan, pekerja-pekerja merdeka,
dan sebagainya mempunyai status hampir seperti kaum tani sedang. Mereka juga menderita
tindasan imperialisme, feodalisme, dan borjuasi besar dan saban hari terus didesak ke arah
kebangkrutan dan kehancuran. Oleh karena itu mereka merupakan satu dari kekuatan-kekuatan
pendorong revolusi dan merupakan sekutu proletariat yang bisa dipercaya. Mereka hanya bisa
mencapai kebebasannya di bawah pimpinan proletariat. Kaum intelektual dan pemuda-
pemuda mahasiswa tidak merupakan kelas di dalam masyarakat, tetapi ditentukan oleh asal-
usul kefamiliannya, oleh syarat-syarat hidupnya, dan oleh pandangan politiknya. Pedagang-
pedagang kecil umumnya mempunyai warung atau toko kecil dan menyewa beberapa atau
sama sekali tidak mempunyai pembantu, mereka terus-terusan diancam kebangkrutan karena
pengisapan imperialisme, borjuasi besar dan lintah darat-lintah darat. Tukang-tukang kerajinan
tangan dan kaum nelayan mempunyai alat produksinya sendiri, mereka tidak menyewa atau
hanya menyewa satu atau dua orang pembantu. Kaum pekerja merdeka adalah orang-orang
dari berbagai lapangan pekerjaan, seperti dokter dan advokat partikelir, mereka bekerja sendiri,
tidak mengisap orang lain. Semua borjuasi kecil di luar kaum tani ini umumnya bisa menyokong
revolusi dan adalah sekutu yang baik dari proletariat. Kekurangan mereka ialah, bahwa sebagian
dari mereka mudah kena pengaruh borjuasi, oleh karena itu harus ada perhatian khusus dalam
hal mengadakan propaganda dan pekerjaan-pekerjaan organisasi revolusioner di kalangan
mereka.

Kaum tani merupakan 60%-70% dari penduduk Indonesia, merupakan golongan terbesar
yang bersama keluarganya berjumlah berpuluh-puluh juta orang. Kaum tani pada pokoknya
terbagi dalam tani kaya, tani sedang, dan tani miskin. Kaum tani kaya memang ada yang
menyewakan sebagian dari tanahnya, menjalankan praktek lintah darat, dengan kejam
mengisap kaum buruh tani dan wataknya adalah semi feodal, tetapi di samping itu mereka pada
umumnya mengambil bagian sendiri di dalam kerja, dan dalam artian ini mereka merupakan
sebagian dari kaum tani. Aktivitas produktif mereka akan tetap berguna untuk beberapa waktu
yang akan datang dan mereka juga bisa membantu perjuangan anti-imperialisme. Mereka bisa
bersikap netral terhadap perjuangan revolusioner melawan tuan tanah. Oleh karena itu kita tidak
menganggap mereka sebagai tuan tanah. Kaum tani sedang secara ekonomi berdiri sendiri,
umumnya tidak mengisap orang lain dan tidak membungakan uang, sebaliknya mereka
menderita pengisapan dari kaum imperialis, kaum tuan tanah, dan borjuasi. Sebagian dari
mereka tidak mempunyai tanah yang cukup untuk dikerjakan sendiri. Kaum tani sedang tidak
hanya bisa memasuki revolusi anti-imperialisme dan revolusi agraria, tetapi juga bisa menerima
Sosialisme. Oleh karena itu mereka adalah tenaga pendorong yang penting dari revolusi dan
merupakan sekutu proletariat yang dapat dipercaya. Sikap mereka terhadap revolusi adalah
faktor yang menentukan menang atau kalahnya revolusi, karena kaum tani sedang merupakan
mayoritas di desa-desa sesudah revolusi agraria. Kaum tani miskin bersama-sama dengan
buruh tani sebelum revolusi agraria merupakan mayoritas di desa-desa negeri kita. Kaum tani
miskin tidak mempunyai atau tidak cukup mempunyai tanah untuk dikerjakan sendiri, mereka
adalah kaum semi-proletar di desa, mereka adalah tenaga pendorong revolusi yang terbesar,
dan sudah sewajarnya mereka merupakan sekutu proletariat yang terpercaya dan merupakan
bagian pokok dari kekuatan revolusi Indonesia.

Kaum tani miskin dan tani sedang hanya mungkin mencapai kebebasannya dengan pimpinan
proletariat, dan proletariat hanya mungkin memberikan pimpinan pada revolusi jika sudah
mengadakan persekutuan yang teguh dengan kaum tani miskin dan kaum tani sedang. Yang kita
maksudkan dengan “kaum tani” terutama ialah kaum tani miskin dan tani sedang, yang
merupakan jumlah terbesar dari penduduk desa. Dalam memimpin perjuangan rakyat di desa
Partai harus selalu berusaha untuk bisa menarik dan mengerahkan 90% dari penduduk desa,
dan dengan sungguh-sungguh bersandar pada kaum tani miskin dan buruh tani serta berserikat
dengan kaum tani sedang.

Proletariat Indonesia terdiri dari kira-kira 500.000 buruh industri modern (buruh transpor,
pabrik, bengkel, tambang, dan lain-lain). Buruh industri kecil dan kerajinan tangan di kota-kota
berjumlah lebih dari 2.000.000. Proletariat agrikultur dan kehutanan serta golongan-golongan
buruh lainnya merupakan jumlah yang terbesar. Semuanya berjumlah lebih dari 6.000.000 atau
bersama dengan keluarganya kira-kira 20.000.000 atau hampir 25% dari seluruh penduduk
Indonesia. Di samping proletariat kota dan desa ini, di desa-desa Indonesia terdapat berjuta-juta
buruh tani, yaitu penduduk desa yang pada umumnya tidak mempunyai tanah dan alat-alat
pertanian serta hidup dari menjual tenaga kerjanya di desa. Kaum buruh tani merupakan
golongan yang paling menderita di desa, dan dalam gerakan tani kedudukannya sama
pentingnya dengan kaum tani miskin.

Sebagaimana juga proletariat di negeri-negeri lain, proletariat Indonesia mempunyai kualitas


yang sangat baik. Pekerjaannya membikin mereka bersatu dengan bentuk ekonomi yang
termaju, membikin mereka mempunyai pengertian tentang organisasi dan disiplin yang kuat, dan
karena mereka tidak mempunyai alat produksi sendiri mereka tidak berwatak individualis, selain
daripada itu, karena proletariat Indonesia ditindas oleh tiga macam penindasan, yaitu
imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang sangat kejam, maka mereka menjadi lebih tegas
dan lebih mendalam di dalam perjuangan revolusioner daripada kelas-kelas lain. Karena
Indonesia bukanlah tanah subur untuk sosial-reformisme seperti Eropa, maka sebagai
keseluruhannya proletariat Indonesia adalah sangat revolusioner, tentu dengan pengecualian
sebagian kecil yang sudah menjadi sampah. Karena sudah sejak munculnya di panggung
perjuangan revolusioner proletariat Indonesia sudah dipimpin oleh partai politiknya yang
revolusioner, yaitu Partai Komunis Indonesia, maka proletariat Indonesia secara politik adalah
kelas yang paling sadar di dalam masyarakat Indonesia. Karena proletariat Indonesia sebagian
besar adalah terdiri dari kaum tani yang bangkrut, maka ia mempunyai hubungan-hubungan
yang wajar dengan kaum tani yang luas, yang memudahkan persekutuannya.

Walaupun proletariat Indonesia mengandung beberapa kelemahan yang tidak bisa dihindari,
seperti misalnya jumlahnya yang kecil jika dibanding dengan kaum tani, umurnya yang masih
muda jika dibanding dengan proletariat di negeri-negeri kapitalis dan tingkat kebudayaannya
yang masih rendah jika dibanding dengan borjuasi, proletariat Indonesia mau tidak mau telah
menjadi tenaga pendorong yang pokok dari revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tidak akan
berhasil tanpa pimpinan proletariat Indonesia. Sebagai contoh yang belum lama kejadian,
Revolusi Agustus telah mencapai sukses pada awalnya sebab proletariat sedikit atau banyak
sudah secara sadar mengambil bagian yang penting di dalamnya, tetapi kemudian revolusi
menderita kekalahan karena rol proletariat didesak ke belakang dan lapisan atas daripada
borjuasi mengkhianati persekutuan dengan proletariat (“Peristiwa Madiun”), di samping karena
proletariat Indonesia dan partai politiknya belum cukup mempunyai pengalaman revolusioner.
Tanpa proletariat mengambil bagian penting tidak ada yang bisa berjalan beres di dalam
masyarakat Indonesia. Ini sudah dan terus akan dibuktikan oleh sejarah dan pengalaman.

Harus menjadi pengertian bahwa proletariat Indonesia, walaupun ia merupakan kelas yang
mempunyai kesadaran politik dan pengertian organisasi yang paling tinggi, tetapi kemenangan
revolusi tidak mungkin tercapai jika tanpa persatuan revolusioner di dalam macam-macam
keadaan dengan kelas-kelas serta golongan-golongan revolusioner apa saja. Proletariat harus
menggalang front persatuan yang revolusioner. Di antara kelas-kelas di dalam masyarakat,
kaum tani adalah sekutu yang teguh dan terpercaya dari kelas buruh, borjuasi kecil kota adalah
sekutu yang bisa dipercaya, dan borjuasi nasional adalah sekutu di dalam periode-periode
tertentu dan sampai batas-batas tertentu; demikianlah hukum fundamental yang sudah dan
sedang dibuktikan oleh sejarah modern Indonesia.

Kaum gelandangan adalah salah satu hasil dari masyarakat setengah jajahan dan setengah
feodal, berhubung masyarakat inilah yang telah menimbulkan orang-orang penganggur di desa-
desa dan di kota-kota, dan kaum penganggur inilah yang kemudian hidup bergelandangan, tak
tahu apa yang harus diperbuat dan akhirnya tersesat menempuh jalan yang tidak sah, menjadi
pencuri-pencuri, perampok-perampok, gangster, pengemis-pengemis, pelacur-pelacur, dan
semua cara hidup atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak normal. Golongan ini goyang wataknya
dan sebagian dari mereka bisa dibeli oleh kaum reaksioner, sedangkan sebagian lagi bisa
memasuki revolusi. Dalam keadaan memasuki barisan revolusi mereka bisa menjadi sumber
ideologi dari barisan pengacau yang berkeliaran dan dari anarkisme di dalam barisan revolusi.
Mereka mudah dibikin goyang, baik dengan suapan-suapan materiil maupun dengan hasutan-
hasutan untuk membenci dan merusak sesuatu yang konstruktif. Mereka mudah dihancurkan
oleh ajakan-ajakan dengan kata-kata yang keras-keras dan galak-galak. Oleh kaum kontra-
revolusi mereka mudah disuruh mengucapkan istilah-istilah revolusioner untuk melawan dan
merusak Partai kelas buruh, gerakan buruh, dan gerakan revolusioner pada umumnya. Oleh
karena itu kita harus pandai mengubah sifat-sifat mereka, terutama sifat-sifat destruktifnya.

Berdasarkan analisa kelas dalam masyarakat Indonesia seperti di atas, maka menjadi jelaslah
kelas-kelas dan golongan-golongan mana yang merupakan sandaran imperialisme dan
feodalisme, yaitu kelas tuan tanah dan kaum komprador. Mereka adalah penghalang-
penghalang revolusi dan oleh karena itu mereka adalah musuh-musuh rakyat Indonesia. Dengan
analisa di atas juga menjadi jelas kelas-kelas dan golongan-golongan mana yang merupakan
tenaga-tenaga pokok penggerak revolusi, yaitu kelas buruh, kaum tani, dan borjuasi kecil.
Demikian juga mengenai kelas mana yang bisa ikut serta dalam revolusi, yaitu kelas borjuis
nasional. Oleh karena itu, kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional adalah
rakyat, dan merupakan kekuatan revolusioner, kekuatan front persatuan nasional.

D. Tentang Watak Revolusi Indonesia dikatakan dalam Program PKI antara lain sebagai
berikut: “Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI berpendapat bahwa
pemerintah ini (pemerintah Demokrasi Rakyat) tidak merupakan pemerintah diktator
proletariat melainkan pemerintah diktator rakyat. Pemerintah ini bukannya harus
melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan
demokratis”. Dengan perkataan lain, watak (karakter) revolusi Indonesia pada tingkat sekarang
bukanlah revolusi proletar-sosialis, tetapi revolusi borjuis-demokratis.
Kita dapat menentukan watak revolusi kita setelah kita mengerti keadaan khusus masyarakat
Indonesia yang masih setengah jajahan dan setengah feodal, setelah kita mengetahui bahwa
musuh-musuh revolusi Indonesia pada waktu sekarang adalah imperialisme dan kekuatan-
kekuatan feodal, bahwa tugas-tugas revolusi Indonesia ialah menyelesaikan revolusi nasional
dan revolusi demokratis untuk menggulingkan dua musuh pokok (imperialisme dan feodalisme),
bahwa borjuasi nasional juga bisa mengambil bagian di dalam revolusi ini dan bahwa apabila
borjuasi besar mengkhianati revolusi dan menjadi musuh revolusi, pukulan revolusi yang
langsung harus tetap ditujukan lebih kepada imperialisme dan feodalisme daripada kepada
kapitalisme dan milik perseorangan kaum kapitalis nasional pada umumnya.

Tetapi, revolusi borjuis-demokratis Indonesia sekarang tidak lagi termasuk yang bersifat
umum, bukan lagi termasuk tipe lama yang usang itu, tetapi sudah sesuatu yang spesial, sudah
tipe baru. Revolusi borjuis-demokratis tipe baru ini disebut juga revolusi demokrasi baru atau
revolusi demokrasi rakyat. Ia adalah bagian dari revolusi proletar-sosialis dunia yang teguh
menentang imperialisme, yaitu kapitalisme internasional. Dalam zaman sekarang tidak mungkin
lagi ada revolusi borjuis demokratis yang tidak merugikan kaum kapitalis internasional dan yang
tidak menguntungkan revolusi proletar dunia yang sudah dimulai dengan Revolusi Sosialis
Oktober Besar Rusia tahun 1917.

Revolusi demokrasi rakyat secara politik berarti diktator bersama dari kelas-kelas revolusioner
atas kaum imperialisme, kaum komprador, kaum tuan tanah, dan kaum reaksioner lainnya, dan
menentang transformasi masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat di bawah diktator
borjuis seperti yang terjadi dengan revolusi borjuis Prancis 1789. Secara ekonomi revolusi
demokrasi rakyat berarti menasionalisasi semua kapital dan perusahaan kepunyaan kaum
imperialis, kaum komprador, dan kaum reaksioner lainnya, membagi tanah kaum tuan tanah
dengan cuma-cuma kepada kaum tani, dan bersamaan dengan itu melindungi pada umumnya
perusahaan-perusahaan perseorangan kapitalis-kapitalis nasional dan tidak mengganggu kaum
tani kaya. Bersamaan dengan pada umumnya melindungi perusahaan-perusahaan kapitalis-
kapitalis perseorangan, revolusi demokrasi rakyat menciptakan syarat-syarat persiapan untuk
Sosialisme. Masa kekuasaan demokrasi rakyat adalah masa peralihan ke Sosialisme, dan bukan
bentuk masyarakat tersendiri yang terlepas dari Sosialisme.

Tingkat revolusi Indonesia sekarang adalah tingkat transisi (perpindahan) antara pengakhiran
masyarakat setengah jajahan (Irian Barat masih sepenuhnya jajahan) dan setengah feodal dan
mendirikan masyarakat sosialis. Proses transisi ini sudah dimulai dengan adanya gerakan-
gerakan untuk kemerdekaan nasional pada awal abad ke-20. Salah satu puncak dari proses
transisi ini ialah Revolusi Agustus 1945. Tetapi Revolusi Agustus tidak dapat menunaikan tugas-
tugasnya yaitu menggulingkan kekuasaan imperialisme, musuh dari luar, dan menggulingkan
kekuasaan tuan tanah-tuan tanah feodal di dalam negeri, karena dikhianati oleh lapisan atas dari
borjuasi dan karena kekurangan pengalaman revolusioner dari proletariat Indonesia.

Dalam tahun 1948 lapisan atas dari borjuasi Indonesia telah melemparkan panji-panji Revolusi
Agustus, mereka mengkhianati persekutuan dengan proletariat dan berkapitulasi kepada
imperialisme. Adalah satu kehormatan dan kebanggaan bagi proletariat, untuk dalam keadaan
demikian kelas ini tetap setia kepada Revolusi Agustus, memungut kembali panji-panji revolusi
yang telah dilemparkan itu, mengibarkannya tinggi-tinggi dan menyerukan kepada seluruh
Rakyat Indonesia supaya tidak berhenti di jalan, supaya bersatu kembali dan berjuang terus
untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus  sampai ke akar-akarnya, untuk
merampungkan sama sekali revolusi ini, yaitu mengakhiri sama sekali kekuasaan kaum
imperialis dan kaum tuan tanah di bumi Indonesia.

Pengalaman dengan Revolusi Agustus dan pengalaman dengan perjuangan Rakyat Indonesia
dalam melawan kolonialisme dan untuk demokrasi di tahun-tahun belakangan ini menunjukkan
bahwa siapa saja atau kelas mana saja akan gagal dalam menentukan nasib Indonesia jika
meremehkan dan meninggalkan proletariat, meninggalkan kaum tani dan bagian-bagian lain dari
borjuasi kecil. Republik demokratis yang diperjuangkan oleh revolusi Indonesia pada tingkat
sekarang hanya mungkin terwujud jika kaum buruh, kaum tani, dan bagian-bagian lain dari
borjuasi kecil menempati tempat yang menentukan dan memainkan rol yang menentukan.
Republik demokratis yang tidak mau gagal haruslah bersandar pada persekutuan revolusioner
dari kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil kota dan rakyat anti-imperialisme dan anti-feodalisme
lainnya.

Pengalaman Rakyat Indonesia menunjukkan bahwa Republik Indonesia di bawah pimpinan


borjuasi tidak mampu mengakhiri kekuasaan kaum imperialis dan kaum tuan tanah. Hanya di
bawah pimpinan proletariat Republik Indonesia bisa menjadi Republik yang benar-benar
demokratis, yang dapat mengakhiri kekuasaan kaum imperialis dan kaum tuan tanah feodal.

E. Tentang Perspektif Revolusi Indonesia menjadi terang sesudah jelas sasaran-sasaran,


tugas-tugas, kekuatan-kekuatan pendorong dan watak revolusi Indonesia pada tingkat sekarang.
Dengan mengetahui semuanya ini maka menjadi teranglah problem perspektif revolusi
Indonesia, problem hubungan antara revolusi borjuis-demokratis dan revolusi proletar-sosialis
Indonesia atau antara tingkat sekarang dan hari depan revolusi Indonesia. Karena revolusi
Indonesia pada tingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan Sosialisme dunia dan
kehancuran kapitalisme dunia, maka tidak bisa diragukan lagi, bahwa hari depan revolusi
Indonesia bukanlah kapitalisme, tetapi Sosialisme dan Komunisme. Mau tidak mau, disetujui
atau tidak disetujui, ditentang atau tidak ditentang, inilah perspektif revolusi Indonesia.

Tetapi apakah perspektif “Sosialisme” dan “Komunisme” tidak bertentangan dengan tujuan
revolusi tingkat sekarang yang “bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis
melainkan perubahan-perubahan demokratis”? Sama sekali tidak bertentangan. Memang, jika
hanya dilihat dari satu segi, sesudah kemenangan revolusi demokrasi rakyat ekonomi kapitalis
akan berkembang sampai batas-batas yang tertentu berhubung perintang-perintang bagi
perkembangan kapitalisme akan disingkirkan. Tetapi hal ini tidak perlu mengagetkan, dan sama
sekali tidak perlu dikhawatirkan. Perkembangan kapitalisme nasional sampai batas-batas yang
tertentu hanyalah satu segi dari kemenangan revolusi Indonesia. Segi yang lain ialah, bahwa
dengan kemenangan revolusi demokratis berarti juga ada perkembangan faktor-faktor sosialis
seperti pengaruh politik proletariat yang terus bertambah; pimpinan proletariat yang makin
lama makin diakui oleh kaum tani, inteligensia dan elemen-elemen borjuis kecil lainnya;
perusahaan-perusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan,
nelayan, dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya. Semua ini adalah faktor-faktor
sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan
bukan kapitalisme.

Jika kita sudah tahu bahwa perspektif revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan Komunisme,
maka jelas apa yang menjadi tugas Partai kita pada tingkat revolusi sekarang dan di kemudian
hari. Partai kita mempunyai tugas dobel dalam memimpin revolusi Indonesia. Pertama, di bawah
semboyan “Menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya”
kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak borjuis-demokratis; kedua, yaitu
sesudah selesai yang pertama, kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak proletar-
sosialis. Inilah keseluruhan tugas revolusi Indonesia. Tiap-tiap anggota PKI harus siap sedia
untuk menunaikan keseluruhan tugas revolusi ini, dan harus bertekad pantang berhenti di
tengah jalan. Gerakan revolusioner Indonesia yang dipimpin oleh PKI adalah gerakan
revolusioner yang tidak setengah-setengah, tetapi gerakan revolusioner yang komplit, oleh
karena itu ia merangkul dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis, dua proses
revolusioner yang berbeda watak, tetapi yang satu dengan lainnya berhubungan. Tingkat
pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin
sebelum tingkat pertama selesai.

Untuk melakukan tugas-tugas yang besar dan berat tetapi mulia ini, kita harus terus berjuang
untuk menjadikan Partai kita partai yang meliputi seluruh nasion, yang mempunyai karakter
massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik dan organisasi.
Semua anggota PKI harus mengambil bagian aktif dalam membangunkan Partai demikian ini.
Bagi Partai yang demikian ini tidak ada benteng yang tidak bisa direbut, baik benteng Republik
Demokratis maupun benteng Republik Sosialis.

Sejarah Marxisme di Indonesia |


Seksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Anda mungkin juga menyukai