Anda di halaman 1dari 178

PROSES KELAHIRAN

DAN PERKEMBANGAN
NASIONALISME
INDONESIA

DISUSUN

OLEH:
 JULI AMIRAH NASUTION
 GINA ASHARI DALIMUNTHE
 SINDI LIONI ARITONANG
 SRI FATIMAH
 FATIMAH SAHARA
 RAMADANI
 HARIS MANSYAH SIREGAR
 HARIS RIFAI HASIBUAN
SMA NEGERI 2
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2013-2014
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata pelajaran
sejarah “ PROSES KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA
”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran SEJARAH di program studi SMA
N 2 PADANGSIDIMPUAN .
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padangsidimpuan 21 November 2013

Kelompok 4

Page
2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan
Daftar Isi

BAB I : PERKEMBANGAN NASIONALISME


INDONESIA
A. Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Nasional
Indonesia
1. Pengaruh yang Datang dari Dalam (internal)
2. Pengaruh yang Datang dari Luar Negeri
(eksternal)
B. Ideologi yang Berkembang pada Masa Pergerakan
Nasional Indonesia
1. Idelogi Liberalisme
2. Ideologi Nasionalisme
3. Ideologi Komunis
4. Ideologi Demokratis
5. Ideologi Pan-Islamisme

BAB II : ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL


INDONESIA
A. Budi Utomo ( BU )
B. Perhimpunan Indonesia ( PI )
C. Sarekat Islam ( SI )
D. Indische Partij ( IP )
E. Partai Komunis Indonesia ( PKI )
F. Partai Nasional Indonesia ( PNI )
G. Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI Baru )
H. Muhammadiyah
I. Nahdatul Ulama ( NU )
J. Tri Koro Darmo
K. Taman Siswa
L. Parindra

Page
3
M. Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Kebangsaan Indonesia ( PPPKI )
N. Kongres Pemuda
O. Gabungan Politik Indonesia ( GAPI )

BAB III : PAHLAWAN-PAHLAWAN NASIONALISME


A. Moh. Hatta
B. Amir Sjarifoeddin Hrp
C. Dr. Ernest Douwes Dekker
D. Halim Perdanakesuma
E. Sutomo
F. Agus Salim
G. Dr. Soetomo
H. Zainul Arifin
I. Moh. Husni Thamrin
J. Soerjopranoto
K. R.A. Kartini
L. Soepomo
M. Sutan Syahrir
N. Dewi Sartika
O. Martha Christina Tiahahu
P. Otto Iskandar Dinata
Q. Ahmad Dahlan
R. Tjipto Mangoenkoesoemo
S. Wahid Hasjim

Daftar Pustaka

Page
4
BAB I
PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA

A. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA PERGERAKAN NASIONAL


INDONESIA

Sejak bangsa Eropa datang ke wilayah Indonesia, bangsa Indonesia telah menyadari
akibat-akibat yang muncul dari kedatangannya itu. Semenjak kedatangan bangsa-bangsa
Eropa tersebut, perlawanan tidak pernah henti-hentinya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Namun periawanan-perlawanan itu selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan setiap
perlawanan yang dilakukan terbatas hanya pada daerahnya, atau hanya ingin
membebaskan daerah-daerah dan penduduknya dari kekuasaan asing. Dengan keadaan
seperti ini, bangsa asing dapat lebih mudah untuk menguasainya.
Kegagalan-kegagalan yang dialami bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut
kemerdekaan telah mengilhami kaum cendekiawan untuk mengubah pola perjuangan dengan tidak
mengandalkan perjuangan fisik, tetapi lebih mengandalkan perjuangan nonfisik. Dalam arti pada
masa pergerakan nasional, arah perjuangan bangsa Indonesia ditujukan kepada hal-hal sebagai
berikut:
a. Menumbuhkan sikap nasionalisme bangsa yang kuat agar bangsa Indonesia tidak mudah
dipecah-belah lagi oleh bangsa asing, seperti yang terjadi pada masa perjuangan sebelum
tahun 1908, dimana perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan. Munculnya
semangat nasionalisme akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Meningkatkan kecerdasan bangsa melalui penyelenggaraan sistem pendidikan yang
berdasarkan pada nasionalisme, tidak berdasarkan pada sistem pendidikan kolonial.
c. Mengembalikan kesadaran bahwa rakyat Indonesia mempunyai harkat dan martabat yang
sama dengan bangsa penjajah, karena pada dasarnya manusia dilahirkan dengan memiliki hak-
hak yang sama dan dilengkapi dengan potensi kehidupan yang sama pula.
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai pendidikan keterampilan, sehingga
kehidupan rakyat tidak terlalu bergantung kepada sektor pertanian dan perkebunan yang
selama itu dieksploitasi oleh penjajah.
Sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah muncul benih-benih nasionalisme
pada bangsa Indonesia. Munculnya gerakan nasionalisme itu tidak terlepas dari pengaruh
yang datang dari dalam maupun dari luar.

a. Pengaruh yang Datang dari Dalam (Internal)


Adapun pengaruh timbulnya rasa nasionalisme dari dalam (internal), yaitu sebagai
berikut:

Page
5
1) Kenangan Kejayaan Masa Lampau
Sebelum imperialisme bangsa Eropa (Barat) masuk ke wilayah Indonesia, banyak
terdapat kerajaan yang besar dan jaya, seperti Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim
yang menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka. Kerajaan ini pernah
menjadi pusat perdagangan dan bahkan pusat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Juga Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan dibantu oleh
Patih Gajah Mada menjadi kerajaan yang paling berkuasa di hampir seluruh wilayah
Nusantara. Di samping itu, Kerajaan Majapahit juga dikenal dengan kerajaan Nusantara,
karena wilayahnya mencakup pulau-pulau yang ada di wilayah Nusantara.

2) Penderitaan dan Kesengsaraan Akibat Imperialisme.


Muncul dan berkembangnya imperialisme di dunia membawa perubahan yang
sangat besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya di wilayah Indonesia. Pelaksanaan
imperialisme di wilayah ini menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi bangsa
pribumi, karena kaum penjajah hanya berusaha untuk mengeruk keuntungan demi
kejayaan bangsanya sendiri. Kesengsaraan dan penderitaan inilah yang menjadi alasan atau
pendorong munculnya periawanan-perlawanan bangsa Indonesia.

3) Munculnya Golongan Cendekiawan.


Golongan cendekiawan muncul dimana-mana sebagai akibat dari perkembangan dan
peningkatan pendidikan. Akibat lanjut dari penyebaran kaum cendekiawan di dalam
masyarakat, timbullah berbagai gerakan yang menentang penjajah. Oleh karena itu, kaum
cendekiawan pribumi tampil di atas panggung politik dan menjadi penggerak atau
pimpinan pergerakan nasional bangsa Indonesia.
4) Kemajuan dalam Bidang Politik, Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan.
Muncul dan berkembangnya gerakan nasionalisme Indonesia juga disebabkan oleh
kemajuan-kemajuan di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan bangsa Indonesia.
(1) Kemajuan di bidang politik; kegiatan gerakan atau partai-partai nasionalis ingin
menumbangkan dominasi politik kaum imperialis dan kolonialis Belanda (Barat).
Kekuasaan kaum pribumi pada masa itu terkungkung oleh pengaruh politik kolonial
Belanda yang ketat dan kejam. Praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan dan
pelecehan hak asasi manusia sering mewarnai kehidupan politik pemerintahan
kolonial, maka golongan nasionalis tampil menyuarakan aspirasi masyarakat yang
terjajah.
(2) Kemajuan di bidang sosial ekonomi; masalah itu terlihat dalam penghapusan
eksploitasi ekonomi asing. Penghapusan itu bertujuan untuk membentuk masyarakat
yang bebas dari kesengsaraan dan kemelaratan sesuai dengan cita-dta keadilan sosial.
Kesadaran meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia menjadi prioritas dan cita-cita
perjuangan kaum nasionalis.
(3) Kemajuan di bidang budaya; kaum nasionalis melihat kebudayaan asli hampir punah
dan berada dalam keadaan sekarat, sehingga perlu diberikan perlindungan dan
rekonstruksi yang memadai. Para pejuang nasionalis perlu memperhatikan dan
menjaga kelestarian serta menumbuhkembangkan kebudayaan asli atau memadukan
kedua kebudayaan itu. Oleh karena perkembangan kebudayaan asli yang tidak
menggembirakan itu, maka para pejuang nasionalis menjadikan sektor kebudayaan
menjadi salah satu cita-cita perjuangannya.
Ketiga bidang tersebut merupakan kesatuan yang diperjuangkan secara serentak,
karena ketiganya memberikan ciri-ciri perjuangan nasionalis bangsa Indonesia. Paham
nasionalis pada mulanya berkembang secara lokal atau daerah, namun kemudian menjadi

Page
6
kolektif dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia yang terjajah dan akhirnya menjadi
paham nasionalis dari bangsa Indonesia.

b. Pengaruh yang Datang dari Luar Negeri (Eksternal)


Pengaruh dari luar negeri yang cukup besar perannya dalam memper-cepat
pergerakan politik di Indonesia di antaranya, kemenangan Jepang atas Rusia (1905),
Pergerakan Kebangsaan India, Pergerakan Nasional Filipina, Gerakan Nasionalis China,
Gerakan Nasionalis Turki, Gerakan Nasionalis Mesir.
1) Kemenangan Jepang terhadap Rusia (1905).
Modernisasi Jepang telah membawa banyak perubahan terhadap perkembangan
negeri dan bangsa Jepang di dunia internasional pada masa itu. Jepang maju dengan pesat
dalam segala bidang. Bahkan kekuatan militer Jepang harus diperhitung-kan oleh bangsa-
bangsa Barat, termasuk Amerika Serikat pada masa itu. Untuk membuktikan kekuatan
militer Jepang, Korea menjadi sasaran pertamanya. Kemenangan yang diperolehnya dalam
perang Jepang melawan Korea, menyebabkan pasukan Jepang melanjutkan ekspansinya ke
Manchuria. Dalam penyerangan Jepang terhadap Manchuria itulah pasukan Jepang
berhadapan dengan Rusia, dan ternyata berdampak sangat luas di wilayah Asia. Bangsa-
bangsa di Asia mulai bangkit menentang penjajahan Barat. Hal ini membuktikan bahwa di
berbagai daerah Asia muncul dan berkembang gerakan-gerkan yang bersifat nasional
seperti di China, Filipina, India, Turki, Indonesia bahkan sampai ke daratan Afrika seperti
Mesir dan sebagainya.
2) Pergerakan Kebangsaan India.
Di dalam menghadapi penjajahan Inggris, kaum pergerakan rakyat India membentuk
organisasi kebangsaan yang dikenal dengan nama All India National Congres. Tokoh-
tokoh yang terkenal dalam organisasi itu seperti Mahatma Gandhi, Pandit J. Nehru, B.C.
Tilak, Moh. Ali Jinah, Iskandar Mirza, Liquat Ali Khan dan sebagainya. Di antara para
pemimpin India itu, yang lebih terkenal adalah Mahatma Gandhi yang memiliki dasar
perjuangan sebagai berikut.
(a). Ahimwi (dilarang membunuh), yaitu gerakan anti peperangan,
(b). Hartnl yaitu suatu gerakan rakyat India dalam bentuk aksi yang tidak berbuat apapun
walaupun mereka tetap masuk kantor ataupun pabrik dan sebagainya,
(c). Satyagrnhn yaitu suatu gerakan rakyat India untuk tidak bekerja sama dengan
pemerintah
kolonial Inggris,
(d). Swacicsi yaitu gerakan rakyat India untuk memakai barang-barang buatan negeri
sendiri.

3) Gerakan Kebangsaan Filipina.


Gerakan rakyat Filipina digerakkan dan dikobarkan oleh Dr. Jose Rizal dengan
tujuan untuk mengusir penjajah bangsa Spanyol dari wilayah Filipina. Dr. Jose Rizal
berhasil ditangkap dan pada tanggal 30 September 1896, ia dijatuhi hukuman mati.
Kemudian gerakannya dilanjutkan oleh Emilio Aquinaldo dan berhasil memproklamasikan
kemerdekaan Filipina tanggal 12 Juni 1898 namun kemerdekaan yang berhasil
diperolehnya itu tidak dapat bertahan lama, karena kemunculan Amerika Serikat yang
berhasil menghapuskan kemerdekaan itu. Filipina dikuasai oleh Amerika Serikat dan baru
diberi kemerdekaan oleh Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1946.
4) Gerakan Nasionalis Rakyat China.
Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. la mengadakan pembaharuan di segala
sektor kehidupan bangsa China. Dasar perjuangan yang dikemukakan oleh Sun Yat Sen
adalah San Min Chu I yang terdiri dari (a). Republik China adalah suatu negara nasional

Page
7
China, (b). Pemerintah China disusun atas dasar demokrasi atau kedaulatan berada di
tangan rakyat, (c). Pemerintah China mengutamakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.
5) Pergerakan Turki Muda (1908) .
Gerakan ini dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. la menuntut adanya pembaharuan
dan moderrusasi di segala sektor kehidupan masyarakatnya.
6) Pergerakan Nasionalisme Mesir.
Gerakan ini dipimpin oleh Arabi Pasha (1881-1882) dengan tujuan menentang
kekuasaan bangsa Eropa terutama Inggris atas negeri Mesir.

Dengan berkembangnya pergerakan nasional di berbagai daerah di Asia maupun di


Afrika berpengaruh sangat besar terhadap perjuangan rakyat Indonesia di dalam
menentang kekuasaan kolonial Belanda. Gerakan-gerakan yang muncul di Indonesia
ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi modern yang didirikan oleh kalangan
terpelajar. Tujuan akhir dari setiap organisasi pergerakan rakyat Indonesia adalah terlepas
dari kekuasaan penjajahan kolonial Belanda atau memerdekakan bangsa Indonesia.
Munculnya pergerakan rakyat Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi Budi
Utomo tanggal 20 Mei 1908. Bahkan tahun ini dijadikan tonggak bersejarah bangkitnya
bangsa Indonesia untuk menentang kekuasaan kolonial Belanda.

B. Ideologi yang Berkembang pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia


Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode Kebangkitan
Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk
manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide
emansipasi dan liberal dari status serba terbelakang, baik yang berakar pada tradisi
maupun yang tercipta oleh situasi kolonial. Kemudian segera menyusul ide kemajuan
beserta cita-cita untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia. Ide-ide yang
muncul tersebut akan melandasi pergerakan organisasi-organisasi yang tumbuh dan
berkembang pada masa itu. Bahkan masing-masing organisasi memiliki dasar dan idiologi
yang dapat memperkuat kedudukan maupun perjuangannya.
Ideologi-ideologi yang muncul dan berkembang pada masa pergerakan nasional
Indonesia antara lain Ideologi Liberalisme, Nasionalisme, Komunisme, Demokrasi, Pan
Islamisme dan lain-lain.

1. Ideologi Liberalisme.
Ideologi liberalisme diperkenalkan di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang
mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut melihat banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti dengan bertindak sangat jauh di luar batas-
batas perikemanusiaan. Tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang mereka
kecam, seperti tindakan pemerasan, kekejaman atau penyiksaan dan lain sebagainya.
Masalah-masalah seperti ini mereka sampaikan pada saat diselenggara-kan sidang
parlemen di negeri Belanda. Mereka mengecam dengan keras segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bersama kaki tangannya di wilayah Indonesia.
Mereka mengusulkan agar pemerintah kerajaan Belanda memerintahkan pelaksanaan
paham liberalisme di Indonesia. Diharapkan paham liberalisme dapat membawa
masyarakat Indonesia kepada perubahan yang lebih baik.
Paham liberalisme merupakan suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan individu
atau kebebasan kehidupan masyarakat. Sebab dalam alam kebebasan itu masyarakat dapat
berkembang dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Paham liberalisme ini
dikembangkan oleh organisasi-organisasi politik di Indonesia seperti Indische Partij.

Page
8
2. Ideologi Nasionalisme.
Ideologi Nasionalisme kali pertama diperkenalkan oleh organisasi politik yang
muncul di wilayah Indonesia. Ideologi Nasionalisme menjadi dasar perjuangan Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Nasionalisme sebagai suatu
ideologi menunjukkan suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan
wilayah. Selain itu, juga kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengan demikian kelompok
tersebut dapat merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
PNI sebagai suatu partai yang berideologi nasionalis mempunyai tujuan untuk
memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Bahkan cita-cita politiknya
yaitu mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintah
kolonial Belanda di Indonesia.

3. Ideologi Komunis.
Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama oleh Sneevliet, seorang pegawai
perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda. Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam
pembentukan organisasi yang bemama Indische Social Democratis The Vereeniging
(ISDV). Organisasi ISDV sangat sulit mendapatkan dukungan dari rakyat karena rakyat
kurang mempercayai orang Belanda.
Kesulitan memperoleh dukungan rakyat, Sneevliet kemudian menjalin hubungan
dengan Semaun, seorang ketua cabang Sarekat Islam di Semarang. Terjalinnya hubungan
antara Sneevliet dengan Semaun memunculkan pembentukan Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada tahun 1920.
Gerakan PKI yang sangat radikal, dilanjutkan dengan melakukan pemberontakan
tahun 1926 dan 1927. Namun akibat kegagalan dari pem-berontakan itu, PKI dijadikan
sebagai partai teriarang di Indonesia pada masa kekuasaan kolonial Belanda.

4. Ideologi Demokrasi.
Ideologi demokrasi pertama kali muncul di daerah Yunani dengan sistem demokrasi
langsung. Artinya rakyat ikut serta menentukan jalannya suatu pemerintahan. Akan tetapi,
sistem demokrasi ini tidak mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia pada masa pergerakan
Nasional. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia masih berada di bawah penjajahan
Belanda. Belanda tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi di wilayah Indonesia,
karena hal itu akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat terlaksana di wilayah Indonesia setelah Indonesia
merdeka. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia dikenal dengan sistem
demokrasi Pancasila.

5. Ideologi Pan-lslamisme.
Ideologi Pan-Islamisme merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan
umat Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang
merupakan kemunduran dunia Islam. Sementara itu, dunia Barat berada dalam kemajuan
dan melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini sangat
disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk Belanda yang
menjajah Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan Pan-Islamisme telah
membangkitkan rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Ideologi ini
telah mendorong munculnya organisasi-organisasi yang berdasarkan keagamaan di
wilayah Indonesia seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain.

Page
9
BAB II
ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA

A. Budi Utomo

Didirikan oleh : Dr. Sutomo


Pencetus : Dokter Wahidin Sudirohusodo
Tempat / Tempat : Jakarta pada 20 Mei 1908.
Kongres Pertama : Oktober 1908
Hasil Kongres I : Dipilihnya Ketua Budi Utomo Tirtokusumo (seorang bupati)
- dan Wakil Ketua Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Tujuan : melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.

Pada abad ke-20 tampil beberapa dokter sebagai penggerak bangsa di kawasan Asia
seperti Dr. Sun Yat Sen di Tiongkok, Dr. Jose Rizal di Filipina, serta di Indonesia tampil
dokter-dokter seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Para dokter itu bangkit karena dihadapkan pada
penderitaan masyarakat baik dari segi ekonomi, fisik, maupun kemanusiaan.
Dokter Wahidin Sudirohusodo dengan giat menyebarkan cita-citanya agar di Pulau
Jawa dapat dibentuk suatu perkumpulan yang bertujuan me-majukan pendidikan serta
membiayai anak-anak yang tidak dapat bersekolah namun memiliki kepandaian. Cita-
citanya itu mendapat sambutan dari siswa Sekolah Dokter Jawa di Jakarta seperti Sutomo,
Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo dan lain sebagainya. Akhirnya pada
tanggal 20 Mei 1908 Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan suatu perkumpulan yang
di-berinama Budi Utomo di Jakarta. Kongres pertama diselenggarakan pada bulan Oktober
1908 dan berhasil memilih Adipati Tirtokusumo (seorang bupati) sebagai ketuanya dan Dr.
Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketuanya.
Untuk mendorong semangat para anggotanya, Budi Utomo mencanang-kan pedoman
yaitu pemuda menjadi motornya dan orangtua menjadi sopirnya, supaya kapal tidak
terdampar di laut karang dan selamat sampai di pelabuhan. Di samping itu, kongres
menghasilkan suatu keputusan tentang tujuan dari pergerakannya, yaitu untuk menjamin
dan mempertahankan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Perkumpulan ini bergerak
dalam bidang sosial, pendidikan, pengajaran, dan budaya.

Page
10
Keanggotaan perkumpulan Budi Utomo semula terbatas hanya pada daerah Jawa dan
Madura, kemudian ditambahkan dengan Bali, karena dianggap mempunyai kebudayaan
yang sama. Jika dilihat dari keanggotaan-nya, perkumpulan ini bersifat kedaerahan (lokal).
Walaupun demikian, perkumpulan itu juga sudah dapat dikatakan bersifat nasional. Hal ini
terbukti ketika didirikannya perkumpulan partai-partai politik seperti Permufakatan
Pemimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Budi Utomo ikut serta di dalamnya.
Gerakan nasional Budi Utomo semakin bertambah jelas yaitu dengan diubahnya nama
Budi Utomo menjadi Budi Utama (huruf a) dan juga terlihat dengan jelas tujuannya yaitu
sejak tahun 1928 ikut serta melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.
Selanjutnya Budi Utomo mengadakan integrasi derigan organisasi seasas dan
sehaluan. Atas pertimbangan itulah kemudian Budi Utomo lebur menjadi satu dengan PBI
(Persatuan Bangsa Indonesia) menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya).
Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama di Indonesia dan
terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.
Dengan semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi
Wahidin Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi, tahun 1906-
1907 melakukan kempanye di kalangan priayi di Pulau Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia.
Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi
Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk
sebagai ketuanya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional. Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama
di Indonesia dan terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.

PERANAN STOVIA DALAM PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA

1. Hasil dan Pembahasan


Kondisi Sosial dan Politik Masyarakat Jawa Awal Abad ke-20
Periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan suatu babakan penting dalam
sejarah Indonesia, karena pada periode tersebut mulai muncul manusia-manusia dengan
kesadaran baru yang menginginkan suatu kehidupan yang pantas bagi bangsanya.
Keinginan yang masih samar-samar ini merupakan semboyan Soetomo di dalam pidatonya
pada saat kelahiran BO pada tanggal 20 Mei 1908. Ia menyadari bahwa cita-cita itu tidak
akan dapat terwujud jika hanya diperjuangkan oleh para pelajar saja. Oleh karena itu,
dengan sadar ia mengajak kepada teman-temannya agar membicarakan gagasan itu di
dalam lingkungan rumah tangga mereka, dengan para orang tua agar dapat menggugah
perhatian mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan itu menjadi semakin mengkristal, menjadi
sebuah cita-cita luhur anak bangsa yang menginginkan kemerdekaan bangsanya dari
belenggu penjajahan Belanda yang telah sekian lama menguasai bumi Indonesia.
Munculnya kesadaran ini antara lain dipicu oleh adanya diskriminasi-diskriminasi dan
perbedaan antara priyayi dan rakyat yang semakin tajam, serta adanya penerapan politik
etis, terutama bidang pendidikan. Politik ini dijalankan oleh Pemerintah Belanda kepada
bangsa Indonesia sebagai upaya untuk membalas jasa atas perlakuan mereka yang telah
memeras kekayaan bangsa Indonesia selama ini. Gagasan politik Etis ini dilatarbelakangi
oleh adanya artikel karya C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di
Hindia selama tahun 1800-1897, yang berjudul “Een Eereschuld” (Suatu hutang
kehormatan) di dalam de Gids, majalah berkala Belanda. Dinyatakannya bahwa Negeri
Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas

Page
11
negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar dengan jalan memberi prioritas utama kepada
kepentingan rakyat Indonesia di dalam menerapkan kebijaksanaan. Politik Etis Jajahan ini
dicanangkan pada pidato tahunan Kerajaan Belanda pada bulan September 1901 yang
berisi “suatu kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat di Hindia
Belanda”. Pesan kerajaan ini dilanjutkan dengan menyatakan keprihatinan terhadap
keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar dibentuk komisi untuk
memeriksa keadaan ini.
Politik Etis yang dijalankan ini meliputi tiga upaya untuk menyejahterakan bangsa
Indonesia, yaitu sistem irigasi, emigrasi atau transmigrasi, dan pendidikan. Sebenarnya
tujuan kaum Liberal sebagai pencetus ide ini bagus, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk. Akan tetapi, pada pelaksanaannya semua kembali bermuara
kepada kepentingan ekonomi di pihak Pemerintah Hindia Belanda. Maksudnya segala
peningkatan kesejahteraan rakyat itu tetap dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
dan bukan bagi kemakmuran rakyat itu sendiri.
Contoh pelaksanaan Politik Etis yang menguntungkan pihak Pemerintah Hindia
Belanda adalah dibukanya perkebunan-perkebunan tebu di Jawa yang disertai dengan
sistem irigasi yang bagus. Akan tetapi, mereka menggunakan tanah-tanah rakyat yang
mereka sewa dengan harga yang rendah serta menggunakan tenaga rakyat yang mereka
bayar rendah pula. Dengan demikian, adanya irigasi itu bukan untuk meningkatkan
produksi para petani, tetapi justru dimanfaatkan sendiri untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Selain itu dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau di Deli yang menggunakan tenaga
kerja yang berasal dari Jawa dengan pertimbangan bahwa penduduk di Jawa sudah padat
dan mereka lebih terampil bekerja dari pada penduduk setempat, mengakibatkan adanya
transmigrasi dalam beberapa gelombang. Adapun pendidikan formal yang mereka
tawarkan kepada penduduk pribumi pada mulanya hanya untuk memenuhi pegawai
administrasi yang semakin mereka perlukan dan yang dapat mereka bayar dengan murah.
Sebenarnya perhatian masalah pendidikan formal di Hindia Belanda, terutama di
Jawa, telah ada sejak tahun 1818 dengan adanya peraturan pemerintah yang menetapkan
bahwa penduduk bumiputra diperbolehkan untuk sekolah di sekolah-sekolah Belanda.
Selanjutnya pemerintah akan menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib yang
diperlukan sekolah-sekolah bagi penduduk bumiputra itu. Akan tetapi, ternyata kondisi
politik di Jawa tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat segera merealisasikan
peraturan itu. Hal ini diakibatkan oleh adanya perang Jawa dan Cultuur Stelsel yang sangat
menyita perhatian pemerintah. Baru pada tahun 1848 peraturan itu dapat terealisasikan.
Sifat pendidikan yang ditawarkan ini berbeda dengan pendidikan pada awal abad ke-20,
karena pendidikan di sini lebih diutamakan bagi calon pegawai dinas pemerintahan dan
tanggungjawabnya diserahkan kepada bupati setempat. Baru pada tahun 1854
tanggungjawab pendidikan bumiputra secara tegas diatur dalam undang-undang. Meskipun
demikian, kaum misionaris Katolik sejak tahun 1814 dan kemudian kaum misionaris
Protestan sejak tahun 1851 juga telah melakukan keaktifan di Jawa terutama di bidang
pendidikan. Pada tahun 1848 di setiap kabupaten didirikan sebuah sekolah setahun,
menjadi dua, dan pada tahun 1852 menjadi 15 sekolah. Dengan demikian, tidak ada lagi
pembatasan sekolah hanya untuk kalangan anak-anak Kristen saja, akan tetapi sudah
sampai pada kebutuhan personil Gubernemen.
Pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1892, sekolah-sekolah bumiputra dipecah
menjadi dua kelompok. Sekolah “kelas satu” merupakan sekolah istimewa bagi anak-anak
pemuka rakyat atau orang-orang bumiputra yang terhormat atau kaya. Sekolah ini
memberikan pendidikan selama 5 tahun dengan penambahan beberapa mata pelajaran
seperti ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar dengan tangan, dan ilmu ukur tanah.
Biaya sekolah maupun tingkatan tenaga pengajarnya lebih tinggi dari pada sekolah “kelas

Page
12
dua”. Sedangkan sekolah “kelas dua” diperuntukkan bagi penduduk bumiputra pada
umumnya. Sekolah ini ditempuh selama 3 tahun pelajaran dan hampir tak berbeda denga
sekolah bumiputra terdahulu yang hanya sekedar memberi pelajaran menulis, membaca,
dan berhitung.
Pelajaran sekolah “kelas satu” yang lebih unggul dari pada sekolah “kelas dua” itu
ternyata tidak cukup untuk menempuh ujian kleinambtenaar (pegawai rendah). Untuk
menempuh ujian itu diperlukan Bahasa Belanda yang hanya diberikan di sekolah rendah
Eropa (Europeesche Lagere School). Sekolah ini sangat menarik karena dapat memberikan
keuntungan materiil pada lulusannya, pada hal hanya sejumlah kecil anak-anak bumiputra
yang diterima di sekolah ini. Mereka tidak hanya diharuskan membayar lebih tinggi, tetapi
juga harus mengetahui tata bahasa Belanda. Oleh karena itu, hanya kalangan bangsawan
ataslah yang dapat menikmati pendidikan itu. Salah satu contohnya adalah Pangeran Ario
Tjondronagoro IV, Bupati Kudus (1835), yang kemudian menjadi Bupati Demak pada
tahun 1850-1866. Beliau adalah bupati pesisiran yang pertama kali memasukkan
pendidikan Barat bagi putra-putrinya dengan jalan memanggil seorang guru privat bangsa
Belanda, C.E. Kesteren, seorang bangsawan Belanda yang berfaham progresif, yang pada
waktu itu menjabat sebagai redaktur surat kabar de Lokomotif di Semarang. Kondisi sosial
masyarakat Jawa pada awal abad ke-20 ini diwarnai dengan adanya perbedaan-perbedaan
hak pada masing-masing masyarakatnya diakibatkan oleh adanya penggolongan-
penggolongan masyarakat berdasarkan kelas-kelas yang menyulitkan untuk saling
berinteraksi antara kelas satu dengan lainnya tanpa dibebani unsur ewuh-pekewuh, rasa
sungkan, terutama dari kelas sosial yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi. Dinding
yang membatasi masing-masing kelas ini juga ditunjang oleh budaya dan bahasa Jawa
yang memiliki jenjang pemakaian berdasarkan kedudukan si penutur terhadap lawan
bicaranya.
Selain itu keadaan masyarakat Jawa juga menjadi semakin terbelakang dan
tertinggal dari bangsa-bangsa asing lain di Jawa. Pada tanggal 17 Maret 1900, bangsa
Tionghoa di Hindia mendirikan perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan, dengan tujuan
sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899 yang memberikan kedudukan
bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa. Organisasi ini maju dengan pesatnya disertai
dengan adanya dana yang penuh sehingga berhasil memajukan masyarakat Tionghoa yang
ada di Jawa. Sementara itu de Indische Bond (Persatuan Hindia), yaitu organisasinya kaum
Indo mulai bergerak. Mereka menutup pintu bagi kaum bumiputra, dan memperjuangkan
dirinya sendiri. Karena kedua organisasi itu maju dan berhasil, maka mereka meremehkan
bangsa bumiputra. Oleh karena itu, tidak ada yang memperhatikan nasib rakyat yang
ditinggalkan oleh pemimpinnya itu. Pada waktu itu pula, komunitas Arab di Batavia pada
tahun 1905 telah mendirikan Jam’iyyat Khair (Perserikatan bagi Kebaikan). Salah satu
kegiatannya adalah membuka sebuah sekolah moderen yang pelajarannya diberikan dalam
bahasa Melayu.
Kemunculan Sekolah Dokter Jawa yang kemudian namanya berubah menjadi STOVIA ini
ternyata mampu merubah sejarah bangsa Jawa, sebuah bangsa yang penakut dan selalu
patuh pada atasan, menjadi bangsa yang mempunyai kepribadian. Keadaan ini tidak lain
disebabkan oleh adanya sistem pendidikan. Meskipun hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil masyarakat bumiputra, tetapi ternyata mampu membuka cakrawala baru. Keadaan
masyarakat Jawa yang semakin terbelakang dan tertinggal dari bangsa-bangsa asing lain di
Jawa, semakin diberinya batasan antara golongan priyayi dan rakyat dengan
mendirikannya sekolah untuk perwira bumiputra yang hanya boleh dimasuki oleh anak-
anak priyayi saja, serta perasaan takut para pembesar terhadap atasannya baik atasan
bumiputra maupun Belanda, ternyata mendapat perhatian sebagian kecil siswa-siswa
STOVIA itu.

Page
13
2. STOVIA: Ladang Persemaian Nasionalisme

Sekolah Dokter Jawa didirikan Pemerintah Hindia Belanda karena pemerintah


merasa kewalahan menghadapi wabah yang menyerang di daerah Jawa, terutama
Banyumas, pada tahun 1800-an, dan berdasarkan pertimbangan bahwa mendidik penduduk
bumiputra untuk menjadi mantri cacar lebih murah dari pada membayar tenaga dokter
Eropa. Sekolah ini berada di Weltevreden, pusat kota Batavia. Di dalam perkembangannya
sekolah ini mengalami perubahan-perubahan baik dalam syarat-syarat penerimaan siswa,
kurikulum, lama studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun
1903, yaitu diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk
memasuki sekolah itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat
STOVIA.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat,
pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah
Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga
baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming
sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia
masuk pada dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena
tradisi para priyayi memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter
dan guru, maka hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya,
pada tahun 1891 pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin
memperoleh pendidikan sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa
secara gratis, dengan persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga
priyayi, dan berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS
secara gratis dengan persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh
ujian yang berat untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa.Ternyata kebijakan baru itu banyak
menarik perhatian kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi
tinggi. Kerena jika mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial
mereka akan terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak
bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati,
patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan
tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap
tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga
terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan
tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini,
meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula,
Pemerintah Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam
menjalankan politik pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali
diskriminasi yang dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu
sikap yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu
mengedepankan pada keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan
menjadikannya sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah.
Tidak demikian halnya dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun
sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari kewajiban membayar uang
sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik
itu tidak menyebabkan bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di

Page
14
bidang ini. Kemungkinan hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya
yang terlalu ketat serta kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang
peminatnya dari kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu
selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang
miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa,
menggratiskan beaya pendidikan dan pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena
itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah
tersebut. Akan tetapi, justru di kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh
nasional Indonesia yang militan, baik di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu
rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota
Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di
Hindia yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul
para intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling
bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal
dari kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di
lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non
politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para
pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-id
mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik
Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat
STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti
penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat
pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak
buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto
Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo,
mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan
karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi
Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada
alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan
berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman
penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya.
Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang
kelangsungan hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya
membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang
berturut-turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia.
Polemik yang ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku
dan adat Jawa yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan
tahun-tahun sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat
pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara
priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat.
Dalam keadaan apa pun suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan
adanya perubahan keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat
yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu
diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat
yang membuat susah itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa
tertinggal dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-

Page
15
masing telah sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di
dalam masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat,
terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan
merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya
disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap
pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah
mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati
nuraninya. Api kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda
terpelajar yang dapat melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan
tradisi Jawa yang penuh dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal
itulah yang mengakibatkan sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya.
Kondisi masyarakat yang seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar
STOVIA. Mereka sering memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de
Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong
Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita
yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang
digerakkan oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-
kejadian ini besar sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok
kecil lapisan baru dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran
mengenai nasib rakyat yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA
pada malam hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri
tersebut di atas termasuk menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-
kepincangan di dalam negri, terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian,
dan kepangreh-prajaan kolonial menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu
semakin mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun
1907 yang mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan
berpengaruh agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat
melanjutkan studinya. Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu
perlu untuk diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan
dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka
pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang
telah dirumuskan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara
orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa
memandang kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai
anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu
diharapkan dapat memberikan sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu
kesatuan geografi dan kultural. Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari
sekedar bea siswa. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat
berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908
ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan
tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.

KESIMPULAN
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad
ke-20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-
kontak yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-
hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman

Page
16
sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan
mereka itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka
terhadap nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA
itu, yaitu Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam
perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar
STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu
menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya
di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus
bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain
adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan
Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.

B. Perhimpunan Indonesia

Tahun 1908, di Belanda dibentuk organisasi mahasiswa Indonesia bernama Indische


Vereeniging (IV). Awalnya IV hanya bersifat sosial, tetapi kemudian berkembang ke arah
politik. Pada Januari 1924, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Ideologi yang dikembangkan PI adalah kesatuan
nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan swadaya.

C. Serikat Islam (SI)

Didirikan Oleh : Haji Samanhudi


Tempat / Tanggal : Solo, 1911
Tujuan : Mengembangkan jiwa dagang.
. Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang
kesulitan. . Memajukan pengajaran dan semua.
Menentang pendapat yang keliru tentang agama
Islam.
Ketua : Oemar Said Cokroaminoto
Ketua kehormatan : Samanhudi

Pada tahun 1911 di kota Solo muncul perkumpulan dagang Islam yang bernama
Sarekat dagang Islam dengan Haji Samanhudi sebagai pemimpin. Sebenarnya
perkumpulan ini telah ada sejak tahun 1909, yaitu ketika berada di bawah pimpinan RM.
Tirtoadisuryo yang beranggotakan para pedagang Islam. Sejak dipimpin oleh Haji
Samanhudi perkumpulan itu menjadi sangat berarti dan berpengaruh luas di kalangan para
pedagang Islam.
Namun kemudian, seorang intelektual dari Surabaya yang bernama Haji Omar Said
(HOS) Cokroaminoto yang sekaligus sebagai promotornya mengubah perkumpulan
Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan itu ternyata berpengaruh
besar terhadap sistem keanggotaannya. Anggotanya bukan lagi hanya para pedagang Islam
saja, tetapi sudah men-cakup seluruh umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat.

Page
17
Perubahan nama itu terjadi pada tahun 1912 yang mengandung isi dan jiwa serta terfokus
pada agama Islam dengan segala manifestasinya.
Sementara itu, keterlibatan Sarekat Islam dalam Volksraad (Dewan Rakyat) diprotes
keras oleh anggotanya, seperti Semaun. Namun, Sarekat Islam tetap ingin menunjukkan
kesetiaannya kepada pemerintah, walaupun pemerintah mengetahui bahwa organisasi itu
sangat berpengaruh besar terhadap masyarakat. Untuk itu, pemerintah Belanda secara
terus-menerus mengikuti jejak dan gerak-gerik Sarekat Islam dari dekat. Wakil-wakil
Sarekat Islam yang duduk dalam badan itu adalah Abdul Muis (pengarang) dan HOS
Cokroaminoto Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Raden Gunawan sebagai wakil ketua.
Pada tanggal 18 Maret 1916, Central Sarekat Islam ini mendapat pengakuan dari
pemerintah Hindia - Belanda. Beberapa tokoh Sarekat Islam yang lain adalah Abdul Muis,
Wignyodisastro, dan Soewardi Soerjaningrat. Ketiga orang ini merupakan pengurus
SI di Bandung. Tokoh lain yang bergabung ialah K.H. Agus Salim.
Pada tanggal 17 – 24 Juni 1916, diadakan kongres Sarekat Islam yang ketiga di
Bandung. Kongres ini dinamakan Kongres (SI) Nasional Pertama. Jumlah cabang SI
ada 50, dan jumlah semua anggota pada waktu itu sudah mencapai 800.000. Dalam
kongres ini, SI mulai melontarkan pernyataan bahwa rakyat perlu diberi kesempatan
berpartisipasi dalam politik
Ternyata pengaruh pergerakan Sarekat Islam di masyarakat sangat kuat.
Pengaruhnya menyebar ke seluruh wilayah Indonesia sehingga menimbulkan
pemberontakan, seperti berikut ini.

o Pemberontakan di Toli-Toli (Sulawesi Selatan); pemberontakan ini menimbulkan


korban jiwa, yaitu seorang pegawai negeri Belanda dan beberapa orang pegawai
bangsa Indonesia. Pemberontakan itu dihubungkan dengan kedatangan Abdul Muis ke
Sulawesi, yang kebetulan ada keperluan dengan partainya, sehingga ia dituduh terlibat
dalam pemberontakan itu.

o Pemberontakan Cimareme (Jawa barat); pemberontakan ini terjadi karena adanya


protes kaum petani yang menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah dengan
harga yang telah ditetapkan. Dalam pemberontakan itu, Sarekat Islam juga dituduh
terlibat.

Pada tanggal 20 – 27 Oktober 1917, SI mengadakan kongres yang keempat


(Kongres Nasional Kedua) di Jakarta. Dalam kongres ini di tubuh SI terdapat
perbedaan pendapat. Abdul Muis menyatakan perlunya SI berpartisipasi dalam
Volksraad. Sebaliknya, Semaun dan sebagian kecil pimpinan SI menolak ikut dalam
Volksraad. Perpecahan di dalam tubuh SI ini memberikan peluang kepada H.J.F.M.
Sneevliet dari golongan sosialis untuk memengaruhi sejumlah anggota SI Semarang
agar menjadi anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Dengan taktik
infiltrasi inilah golongan sosialis berhasil menyusup ke dalam tubuh SI. Seorang
tokoh komunis yang pernah tinggal di Moskwa, Darsono menyatakan tidak percaya
pada kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto.

Sarekat Islam tidak dapat mempertahankan keutuhan organisasinya dan terpecah


menjadi Sarekat Islam Merah yang dipimpin oleh Semaun dan Sarekat Islam Putih yang
dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Namun Sarekat Islam sampai pada saat itu belum
memakai nama partai.

Page
18
Pada tahun 1929, Sarekat Islam menyatakan diri menjadi partai dengan nama Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII), Tahun itu juga menjadi sangat penting bagi Sarekat Islam,
karena selain kehilangan banyak anggotanya, Sarekat Islam juga mengambil langkah-
langkah radikal, yaitu keluar dari Volksraad. Hal itu merupakan langkah dan taktik
nonkooperasi yang dilaksanakan oleh Sarekat Islam kepada pemerintah kolonial Belanda.

Memasuki tahun 1920 Sarekat Islam pecah menjadi dua yaitu:

1) SI yang berpaham Islam, dikenal dengan SI Putih atau golongan kanan.Kelompok ini
dipimpin H.O.S.Tjokroaminoto, H.Agus Salim, dan Suryopranoto yang berpusat di
Yogyakarta.

2) SI yang berpaham Marxisme atau Komunisme, dengan SI Merah atau golongan


kiri. Kelompok ini dipimpin Semaun yang berpusat di Semarang.

Pada akhir tahun 1921 (dalam kongres keenam) diputuskan adanya disiplin
partai yakni larangan anggota SI merangkap dua keanggotaan partai politik. Dengan
demikian kelompok Semaun dapat terdepak dari SI. Pada tahun 1923, kelompok
Semaun ini secara resmi diakui sebagai cabang Partai Komunis Indonesia dengan
nama Sarikat Rakyat.

Pada tanggal 17-20 Februari 1923, SI menyelenggarakan Kongres Nasional


ketujuh di Madiun. Nama SI pada waktu itu diubah menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI). Kemudian atas pengaruh dr. Sukiman yang baru pulang dari Belanda, PSI
diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dalam perkembangannya
PSII pecah menjadi dua kelompok yakni kelompok Sukiman yang menghendaki
PSII menekankan pada asas kebangsaan, dan kelompok HOS Tjokroaminoto yang
menekankan pada asas agama. Kelompok Sukiman mendirikan partai baru yakni
Partai Islam Indonesia (PARII) Kemudian pada tahun 1930, Sarekat Islam mengalami
kemerosotan akibat adanya berbagai perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Sarekat Islam
terbagi menjadi tiga partai yakni PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan Partai Sarekat
Islam Indonesia. Partai ini terhenti aktivitasnya setelah Jepang menduduki wilayah
Indonesia.
Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu
SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial dan berganti nama
menjadi Partai Sarikat Islam. Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan
Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada
tahun 1930 dengan ketuanya Haji Agus Salim.
Pada tahun 1940, PSII pecah lagi menjadi PSII Kartosuwiryo. Inilah perkembangan
Sarekat Islam di mana untuk mencapai tujuannya harus menghadapi berbagai tantangan.

Sejarah awal
Sarekat Dagang Islam

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan


pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada
16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim
(khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar

Page
19
Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju
usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia
Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara
kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan
perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi,
perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M.
Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada
tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg.
Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun
1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang
kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto
kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).

Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto,
nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak
hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika
ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan jiwa dagang.

2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.

4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

5. Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja.
Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara
muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua
lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum,
awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI
lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI
memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah
Belanda.

Page
20
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung
dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan
bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh
terdepan dalam Centraal Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di
lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad
(semacam Dewan Rakyat), karena volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda"
yang hanya mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak
kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar bangsa Hindia
(Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh
pihak Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917.

Kongres-kongres Awal

Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan
untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang
mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat
Indonesia.

Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917.

Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di


Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan
reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.

Masuknya Pengaruh Komunisme

SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham


sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan
organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada
mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang
mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa
oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan
taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam
tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang
kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti
Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah

Page
21
menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang
dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.

Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:

1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan
yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin
cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal
ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.

2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat


pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-
politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya
dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela
kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.

3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan
membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk
mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat
memihak pada ISDV.

4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka
(sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes
yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.

SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan


Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah
(Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS
Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan
Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada
saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap
bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu
Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman
tersebut dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI
Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu,
Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

Penegakan Disiplin Partai

Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal
ini ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang
keenam 6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan
rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI
bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka
meminta pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai
diterima dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan
Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.

Page
22
Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan
Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan
pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk
menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti
nama menjadi "Sarekat Rakyat".

Partai Sarekat Islam Indonesia

Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan
Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).

Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi
beberapa partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII
Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam
perjuangannya. Pada Pemilu 1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan)
kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971 di zaman Orde Baru, PSII di bawah
kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali menjadi peserta bersama sembilan partai
politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI sejumlah 12 (dua belas
orang).

D. Indische Partij (IP)

Didirikan oleh :Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (alias


Setyabudi)
Dr. Cipto Mangunkusumo,
Ki Hajar Dewantara
Tempat/Tanggal :Bandung pada 25 Desember 1912.
Organisasi :Organisasi campuran indo dan bumiputera.
Tujuannya
:Membangun lapangan hidup dan menganjurkan kerjasama
atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan
tanah air Hindia dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang
merdeka.
Semboyan : Hindia for Hindia ( Indonesia hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang menetap dan bertempat tinggal di
Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa memandang apapun
jenis bangsanya)

Organisasi ini dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond. Sebagai organisasi


kaum Indonesia dan Eropa yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische
Partij dikenal dengan Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij
merupakan pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme
modern.

Page
23
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan
Indonesia. Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik penduduk
bumi putera maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengaku Indonesia
sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch
Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi
Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa
Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.

Tujuan partai itu adalah untuk mempersiapkan kehidupan bangsa Indonesia yang
merdeka. Anggotanya terbuka bagi seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di seluruh
wilayah Indonesia. Namun pada kenyataan-nya, yang mula-mula menjadi anggota partai
ini adalah orang-orang Indo Eropa. Oleh karena itu, partai ini tidak dapat berkembang
menjadi partai massa. Hal itu disebabkan oleh stelsel kolonial masih menjadi penghalang
dalam proses interaksi ataupun pergaulan dengan orang-orang asing di Indonesia.
Indische Partij telah menunjukkan garis politiknya secara jelas dan tegas serta
menginginkan suatu kesatuan penduduk yang multirasial. Tujuan partai ini benar-benar
revolusioner, karena ingin mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan cara-cara sebagai berikut.

1) Memelihara nasionalisme dengan cara meresapkan cita-cita kesatuan bangsa Indonesia.

2) Memberantas rasa kesombongan rasial.

3) Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian antar-agama.

4) Berusaha mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Indonesia (Hindia).

5) Memperbesar pengaruh pro Hindia (Indonesia) di dalam pemerintahan.

6) Memperbaiki ekonomi rakyat Indonesia dengan memperkuat mereka yang


lemah ekonominya.

Sebagai media untuk menyebarluaskan pandangan-pandangan Indische Partij


digunakan surat kabar De Express. Melalui surat kabar ini Indische Partij berkembang
ke berbagai daerah. Hal ini terbukti didirikannya 30 cabang IP dengan anggota
sejumlah 7.300 orang yang sebagian besar merupakan Indo-Belanda, sedangkan
jumlah anggota bangsa Indonesia 1500 orang.
Melihat tujuan dan cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan di atas
dapat dikatakan bahwa Indische Partij merupakan partai politik yang pertama kali di
Indonesia. Permohonan ijin pendirian partai ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda
dan Indische Partij dinyatakan sebagai partai terlarang dengan alasan organisasi itu
berdasar politik dan mengancam keamanan umum.
Pada waktu pemerintah kolonial Belanda hendak merayakan ulang tahun ke-
100 kemerdekaan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuklah
”Komite Bumiputera”. Komite ini menerbitkan tulisan Suwardi Suryaningrat yang
berjudul ”Als ik een Nederlander was ...” Yang isinya merupakan sindiran tajam
mengenai ketidakadilan di daerah jajahankarena pemerintah kolonial Belanda memungut
dana dari rakyat Indonesia. Tindakan itu membakar kemarahan tokoh bangsa Indonesia
seperti Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker. Mereka ingin

Page
24
menggagalkan niat Belanda dengan menyebarkan brosur yang berjudul A/s ik een
Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda). Isi brosur itu di antaranya sebagai
berikut.
"..... Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu. Aku
akan peringatkan kawan-kawan penjajah bahwa sesungguhnya sangat berbahaya pada
saat itu mengadakan perayaan peringatan kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua
bangsa Belanda, jangan menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun
dan menjadi berani. Sungguh aku akan protes sekeras-kerasnya ....."
Kecaman yang semakin keras menentang pemerintah kolonial Belanda,
menyebabkan ketiga tokoh Indische Partij ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan
ke negeri Belanda.
Tetapi atas permintaan mereka sendiri pembuangan itu dipindahkan ke negeri
Belanda. Kesempatan di negeri Belanda itu oleh mereka digunakan untuk menambah
dan memperdalam ilmu.
Dengan kepergian ketiga pemimpin tersebut maka kegiatan Indische Partij
makin lemah. Kemudian Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde
dengan asas utamanya mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat
cita-cita persatuan bangsa.
Namun pada tahun 1914, Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena
sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru dikembalikan ke
Indonesia pada tahun 1919. Kembalinya Douwes Dekker dari negeri Belanda tidak banyak
berarti bagi
perkembangan Partai Insulinde. Pada bulan Juni 1919 partai ini berganti nama
menjadi National Indische Partij (NIP), namun partai ini tidak banyak berpengaruh
terhadap rakyat.
Douwes Dekker tetap terjun ke dunia politik dan Suwardi Suryaningrat terjun ke
dunia pendidikan dan selanjutnya mendirikan perguruan yang diberi nama Taman Siswa.
Suwardi Suryaningrat kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Walaupun
Indische Partij tidak dapat melawan kehendak Belanda, namun perjuangan mereka tetap
punyai arti yang sangat besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia untuk mencapai
kemerdekaan.
Dari uraian di atas, perjuangan Indische Partij besar sekali pengaruhnya terhadap
bangsa Indonesia, antara lain dengan propaganda nasionalisme Hindia dan aksi
mencapai kemerdekaan kelak, juga sebagai pembangun semangat, Douwes Dekker
sangat berjasa terhadap bangsa Indonesia. Para tokoh Indische Partij berani

E. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Didirikan Oleh : Amir Syarifuddin


Tempat / Tanggal :
Tujuan :

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),

Page
25
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di
bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat
tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang
penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai
mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.

Sebelum Revolusi Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,
dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota
dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP
(Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het
Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat
itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang
yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat
berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini
merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri
dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk
partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti


yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut
di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda.
Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah
mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di
Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk
sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya
dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para

Page
26
pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40
tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah
sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di
kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas
warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam.
Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di
Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni
melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia.
Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan
keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di
Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di
Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis
Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan


kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah
republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan
orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-
kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang
meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi
sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis.
Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI
kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka,
salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra.
Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga
sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru
terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di
Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam

Page
27
gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI
bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam
kontrol PKI.

Peristiwa Madiun 1948

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan
pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville.
Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda.
Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang
dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet
tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada
presiden dan digantikan kabinet Hatta.

Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28


Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.

Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan


propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik
dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.

Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak
lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin
untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI.
Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-
kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI
adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan
pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara
komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan
rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat
rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono
di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30
September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini
Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ


utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi
sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-
kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan
kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman,
Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di

Page
28
antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan
sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan
bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti
oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para
pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan
suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514
kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama
PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri
sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang
mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga
menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu
pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan
yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah
terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang
disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang
berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk
memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini
pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun


demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri
memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan
slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.
Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI
membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai
sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang


pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu
mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia

Page
29
(BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI).
Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah
payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina,
Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi
Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian
kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun
demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.

Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya
Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin
mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya.
Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata
yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya
sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan
sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang
menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan
peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai
dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah
tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui
rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan
motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan

Page
30
Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran


“ menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri
Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah
Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-
injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno
kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh
para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan
Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat
itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala
Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia
mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat
posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi
Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin
Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir
Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak
dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga
dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia
sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa


dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia.
Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk
mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-


“ batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia"
yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan

Page
31
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat
sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis
sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom
Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya
karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang
berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak
keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru
dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai
Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan
PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka.
Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata,
"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu
musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.”

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika
banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada
sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan
setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan
Darat dari para jenderal ini.

Gerakan 30 September

Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada
melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat
terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010]

Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa
G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan
yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“ [April 2010] terutama
yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang
tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan
desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang
dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-
nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan
statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. [April
2010]
Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi. [April
2010]

Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah
Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam),
bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara

Page
32
Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO
(Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi
dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari
Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung
Samsuri.

Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI


mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah,
hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan
mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai
dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah
bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI,
terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-
temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.

Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan
pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi
perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,


memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan
Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya
percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]

Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat
dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang
keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan
karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah
perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan
dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30
September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai
fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam
kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa
sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap
kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian
pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan
melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang
pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di
Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk


menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan
PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu
memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas
kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa
atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum
reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah,

Page
33
ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif
yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni
sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri,
setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan
cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa
di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh–
sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan
dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman
tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada
lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah
soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke
waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak
boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik
politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-
1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah
dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan
apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa
Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai


menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana
mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan
diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang
dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Page
34
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang
bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa


petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik
bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana
rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan
minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa
angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana


ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan


rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya
memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer
yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi
pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk
menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan
aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha
sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat
itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia.
Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang

Page
35
membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi
Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini
tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada
tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda
anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali.
Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan
ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi
kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI
atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini
kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya
menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan
pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap
kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi
tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-
umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka
menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-
tempat lainnya.

Peristiwa

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Page
36
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan
emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia
Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal.
Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di
bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman
Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah
dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang
ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar
data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan
berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando
Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang)
dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa
ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper,
karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph
McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US
(Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority;
Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September
30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)

 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Page
37
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)

 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang


Logistik)

 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan


Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)

 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta
yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca Kejadian

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi
yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan
Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula
terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf
Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke
Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan


nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak
melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".

Page
38
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita
bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar
dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi


Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat


“ pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas
Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali
berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai


haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung
tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri
benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita
bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam


kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan
beserta engkau! ”
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan
atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim
Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-
Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau

Page
39
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-
pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November)
dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain
menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-


organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan
di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu
militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time"
memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga


pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera
Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang
dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite
Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden
khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan
atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana
para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka


untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang
mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp


konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan
politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk
belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar
Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25
tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Page
40
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim


Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan


pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di
Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries,
British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development
Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang
banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World
(tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno.
Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau,
Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis.
Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan


Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai
kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun
pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara
bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur
bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi
bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan


rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu
hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni
Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica
Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965,
antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Page
41
F. Partai Nasional Indonesia ( PNI )

Didirikan Oleh : Ir. Soekarno


Tempat / Tanggal : 4 Juli 1927
Sebelumnya : Perserikatan Nasional Indonesia
Ketua 1. Dr. Tjipto Mangunkusumo
2. Mr. Sartono
3. Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
4. Mr Sunaryo
Tujuan : Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia, dan
tujuan itu akan dicapai dengan asas “percaya pada
diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah dirusak oleh
penjajahan, dengan kekuatan sendiri.

PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai
ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan
ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. PNI didirikan oleh Ir. Sukarno pada tahun 1927.
Dengan tiga asasnya, yaitu berdiri di atas kaki sendiri, nonkooperasi, dan marhaenisme,
PNI bertujuan mencapai Indonesia Merdeka.
PNI didirikan di Bandung tanggal 4 Juli 1927 sebagai penjelmaan dari Algemene Studie Club.
Tokoh-tokoh pendirinya yaitu Ir. Soekarno, Dr. Tjiptomangunkusumo, Soejadi, Mr. Iskaq
Tjokrohadisuryo, Mr. Boediarto, Mr. Soenario, Mr. Sartono, dan Dr. Samsi. Dalam anggaran
dasarnya, tujuan PNI adalah mencapai Indonesia Merdeka. Asas PNI adalah self-help (menolong
diri sendiri) dan macht vorming (kekuatan sendiri); bersifat non-kooperatif dengan kaum
imperialis. Sedangkan ideologinya adalah marhaenisme (nama seorang petani di Bandung Selatan)
yang mendasarkan kekuatan pada rakyat kecil seperti petani, buruh, dan pedagang kecil yang
mampu berdikari dan tidak bergantung kepada orang lain. Asas PNI, mengadopsi dari ajaran atau
gerakan Mahatma Gandhi (swadesi, satyagraha, hartal), sedangkan ideologi Marhaen mengadopsi
dari gerakan proletariat kaum sosialis.
Karena kegiatannya yang antipenjajah, radikal, dan ekstrim (dimata Belanda), tokoh-
tokohnya sering diperingati dan dalam pengawasan polisi Hindia-Belanda. Pada tanggal 17-18
Desember 1927, PNI berhasil memelopori pembentukan PPPKI (Perhimpunan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia). Pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah Hindia-Belanda menangkap
empat tokoh PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskoen Sumadireja, Gatot Mangkoepraja, dan Supriadinata.
Mereka ditangkap karena dituduh melakukan provokasi untuk melakukan pemberontakan kepada
Belanda. Di depan sidang Pengadilan Negeri (Landraad) Bandung, Ir. Soekarno mengajukan
pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”.
Meskipun tidak ada bukti kongkrit untuk melakukan
pemberontakan, tetapi pada akhirnya ke empat tokoh PNI
tersebut dijatuhi hukuman penjara di penjara Sukamiskin,
Bandung.
Ditangkapnya tokoh-tokoh penting PNI (khususnya Soekarno)
oleh Belanda, Mr. Sartono mengambil inisiatif membubarkan PNI,
dengan alasan “untuk menghindari atau mendahului vonis
Belanda yang menetapkan PNI sebagai partai terlarang”. Mr.
Sartono kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo),
sedangkan pemimpin lain yang tidak setuju terhadap

Page
42
pembubaran PNI, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI-Baru) dengan tokoh-tokoh utamanya Drs. Moh. Hatta dan
Sutan Syahrir. Ketika keluar dari penjara, Ir. Soekarno akhirnya
memilih Partindo sebagai media gerakan politiknya.

Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927
dengan tokoh-tokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar,
Soedjadi, dan Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua,
Iskaq sebagai sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu dalam
perekrutan anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi
anggota PNI, juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata
pemerintah kolonial. Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri
dan pengaruhnya di dalam masyarakat, yaitu:

a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan


kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah dan bank-bank.

b. Usaha ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain
melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di
Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.

Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929


menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan
pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan
keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena dianggap telah
menghasut rakyat.

Akhirnya pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk


melakukan tindakan terhadap PNI. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef telah mendapatkan
tekanan dari konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk
bertindak tegas karena mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.

Pada tahun 1925, Ir. Soekarno mendirikan perkumpul-an Algeemene Studie Club di
Bandung. Atas insiatif perkumpulan ini maka pada tanggal 4 Juli 1927 berdirilah partai
politik baru yaitu Partai Nasional Indonesia. Para pendirinya adalah Ir. Soekarno, Dr.
Tjipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, Mr. Sunaryo,
Mr. Budiarto, dan Dr. Samsi. Dari 8 orang pendiri ini, 5 orang merupakan mantan anggota
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.

Tujuan PNI adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka. Adapun asasnya adalah Self
help, non kooperatif, dan marhaenisme. Pada waktu rapat di Bandung tanggal 17 – 18
Desember 1927, PNI dapat menggalang persatuan dengan Partai Sarekat Islam
Indonesia, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranche Bond, Kaum Betawi, Indonesische
Studieclub, dan Algeemene Studieclub dengan membentuk Pemufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Permufakatan ini bertujuan
menyatukan aksi dalam menghadapi imperialisme Belanda.

Dalam Kongres PNI yang pertama di Surabaya (27 – 30 Mei 1928) disahkan susunan
pengurus seperti berikut:

Page
43
1) Ketua : Ir. Soekarno
2) Sekretaris/Bendahara: : Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo
3) Anggota : Dr. Samsi Sastrowidagdo, Mr. Sartono, Mr. Sunaryo, dan Ir
Anwari.

Dalam kongres ini juga disahkan program kegiatan yang meliputi bidang politik,
ekonomi, dan sosial. Dengan program yang jelas diperkuat dengan propaganda-
propaganda
Ir. Soekarno sebagai seorang ahli pidato, maka PNI dalam waktu singkat banyak
memperoleh dukungan massa mulai dari Jawa Barat sampai seluruh Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Kongres PNI yang kedua tanggal 18 - 20 Mei 1929 di Jakarta, menetapkan untuk
memilih kembali pengurus PB PNI yang lama. Di samping itu juga memutuskan program
kegiatan di bidang ekonomi/sosial dan politik.
Di bidang ekonomi/sosial antara lain menyokong perkembangan Bank Nasional
Indonesia, mendirikan koperasi-koperasi, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakitrumah
sakit, dan lain-lain. Sedangkan di bidang politik, mengadakan hubungan dengan
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menunjuk Perhimpunan Indonesia sebagai
wakil PPPKI di luar negeri.
Melihat sepak terjang PNI yang gigih dan semakin memperoleh simpati rakyat
Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menjadi semakin cemas. Pada akhir tahun
1929 tersebar desas-desus PNI akan melakukan pemberontakan pada awal tahun
1930. Maka berdasarkan desas-desus ini pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah
Hindia Belanda mengadakan penggeledahan dan menangkap empat tokoh PNI, yaitu
Ir. Soekarno, Gatot Mangkuprodjo, Maskoen, dan Soepriadinata. Mereka diajukan
di depan pengadilan Bandung. Dalam proses peradilan itu Ir. Soekarno melakukan
pembelaan dengan judul ”Indonesia Menggugat” akan tetapi hakim kolonial tetap
menjatuhi hukum penjara kepada keempat tokoh ini. Bagaimana pendapatmu atas
nasib yang dialami para tokoh PNI tersebut?
Penangkapan terhadap para tokoh PNI merupakan pukulan berat dan
menggoyahkan partai. Pada kongres luar biasa tanggal 25 April 1931 diputuskan
untuk membubarkan PNI. Hal ini menyebabkan pro dan kontra. Mereka yang setuju
PNI dibubarkan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dipimpin Mr. Sartono.
Sedangkan yang tidak setuju PNI dibubarkan masuk ke dalam Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI-Baru) dipimpin Moh. Hatta dan Syahrir.
1. Usaha Politik
Yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan
pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia
dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidamh
politik, PNI berhasil menghimpunorganisas-organisasi pergerakan lainnya ke dalam
suatu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia.
2. Usaha Ekonomi
Yaitu dengan memajukan perdagangan rakyat, kerajinan atau industri keci, bank-bank,
sekolah-sekolah, dan koperasi.

Page
44
3. Usaha Sosial
Yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sasrtoamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indonesia.
Ir. Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai
dengan tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi
pemuda hingga melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan
Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Masa penjajahan Belanda

Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu
itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu
semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah,
ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai
Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.

Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran


nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan
Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939
terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan
M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan
Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.

Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI
(Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang
merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil
A”laa Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang
terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan
organisasi buruh.

Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad
yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische
Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan
dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang
disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik
Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia
(MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang
pertama kali terbentuk di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang

Page
45
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai
Masyumi), yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.

Propaganda PNI di tahun 1920-an

 1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu
para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir.
Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.

 1928 - Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai


Nasional Indonesia

 1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran


pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada
tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno,
Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja

 1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18
Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan
dalam penjara Sukamiskin, Bandung.[3] Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno
menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan
sebagai gugatannya.

 1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian
membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh.
Hatta yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir.
Soekarno bergabung dengan Partindo.

 1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.

 1934 - Moh. Hatta dan Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.

 1955 - PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.

 1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya
membentuk Partai Demokrasi Indonesia.

 1998 - Dipimpin oleh Supeni, mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan
kembali.

 1999 - PNI menjadi peserta pemilu 1999.

 2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Sukmawati
Soekarno, anak dari Soekarno.

Page
46
Tokoh-tokoh dan mantan tokoh-tokoh
 Dr. Tjipto Mangunkusumo

 Mr. Sartono

 Mr Iskaq Tjokrohadisuryo

 Mr Sunaryo

 Soekarno

 Moh. Hatta

 Gatot Mangkoepradja

 Soepriadinata

 Maskun Sumadiredja

 Amir Sjarifuddin

 Wilopo

 Hardi

 Suwiryo

 Ali Sastroamidjojo

 Djuanda Kartawidjaja

 Mohammad Isnaeni

 Supeni

 Sanusi Hardjadinata

 Sarmidi Mangunsarkoro

 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), sebelumnya


bernama Partai Nasional Indonesia - Supeni (PNI Supeni), adalah salah satu
partai politik di Indonesia. Dalam Pemilu 2009, partai ini bernomor urut 15.

 Tanggal berdiri : 20 Mei 1998 (PNI Supeni) - 20 Mei 2002 (PNI Marhaenisme)
Inisiator : - Tokoh pendiri : Supeni Azas : Marhaenisme Lambang partai : Logo
kepala banteng dalam bingkai segitiga.

Masa pasca proklamasi kemerdekaan

Page
47
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar
untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.

Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan
PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik,
karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara
melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai
politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun
dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak
dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli
1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi,
sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal
dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan
PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan
bertambah kuat, terutama melalui G 30 S/PKI akhir September 1965).

Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak
lebih leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini
adalah munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada
pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai
politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.

Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat
partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi
Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia,
Parati Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3
organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.

Setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya


rezim Suharto, maka pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia. Dan
terus berlanjut hingga pemilu 2014 nanti.

Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk banyak
sekali Partai Politik. Memasuki masa Orde Baru (1965 - 1998), Partai Politik di Indonesia
hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia. Di masa Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem multi
partai.

Pada 2012, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) melakukan revisi atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Pemilu 1955

Page
48
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar
diantaranya adalah PNI (22,3 %)/57 kursi, Masyumi (20,9%)/57 Kursi, Nahdlatul Ulama
(18,4%)/ 45 kursi, dan PKI (15,4%)/39 kursi.

Pemilu 1971

Pemilu 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:

1. Partai Katolik

2. Partai Syarikat Islam Indonesia

3. Partai Nahdlatul Ulama

4. Partai Muslimin Indonesia

5. Golongan Karya=8

6. Partai Kristen Indonesia

7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak

8. Partai Nasional Indonesia

9. Partai Islam PERTI

10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Pemilu 1977–1997

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan

2. Golongan Karya

3. Partai Demokrasi Indonesia

Pemilu 1999

Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan
diikuti oleh 48 partai politik, yaitu:

1. Partai Indonesia Baru

2. Partai Kristen Nasional Indonesia

3. Partai Nasional Indonesia - Supeni

Page
49
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia

5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia

6. Partai Ummat Islam

7. Partai Kebangkitan Ummat

8. Partai Masyumi Baru

9. Partai Persatuan Pembangunan

10. Partai Syarikat Islam Indonesia

11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

12. Partai Abul Yatama

13. Partai Kebangsaan Merdeka

14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa

15. Partai Amanat Nasional

16. Partai Rakyat Demokratik

17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905

18. Partai Katolik Demokrat

19. Partai Pilihan Rakyat

20. Partai Rakyat Indonesia

21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi

22. Partai Bulan Bintang

23. Partai Solidaritas Pekerja

24. Partai Keadilan

25. Partai Nahdlatul Ummat

26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis

27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

28. Partai Republik

Page
50
29. Partai Islam Demokrat

30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen

31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak

32. Partai Demokrasi Indonesia

33. Partai Golongan Karya

34. Partai Persatuan

35. Partai Kebangkitan Bangsa

36. Partai Uni Demokrasi Indonesia

37. Partai Buruh Nasional

38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong

39. Partai Daulat Rakyat

40. Partai Cinta Damai

41. Partai Keadilan dan Persatuan

42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia

43. Partai Nasional Bangsa Indonesia

44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia

45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia

46. Partai Nasional Demokrat

47. Partai Ummat Muslimin Indonesia

48. Partai Pekerja Indonesia

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti
oleh 24 partai politik, yaitu:

1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

2. Partai Buruh Sosial Demokrat

3. Partai Bulan Bintang

Page
51
4. Partai Merdeka

5. Partai Persatuan Pembangunan

6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru

8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

9. Partai Demokrat

10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia

12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

13. Partai Amanat Nasional

14. Partai Karya Peduli Bangsa

15. Partai Kebangkitan Bangsa

16. Partai Keadilan Sejahtera

17. Partai Bintang Reformasi

18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

19. Partai Damai Sejahtera

20. Partai Golongan Karya

21. Partai Patriot Pancasila

22. Partai Sarikat Indonesia

23. Partai Persatuan Daerah

24. Partai Pelopor

Pemilu 2009

Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti
oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, yaitu.

Partai politik nasional

1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

Page
52
2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)*

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)

4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)

5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

6. Partai Barisan Nasional (Barnas)

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)*

8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)*

9. Partai Amanat Nasional (PAN)*

10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)

11. Partai Kedaulatan

12. Partai Persatuan Daerah (PPD)

13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)*

14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)

15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)*

16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)

17. Partai Karya Perjuangan (PKP)

18. Partai Matahari Bangsa (PMB)

19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)*

20. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)*

21. Partai Republika Nusantara (RepublikaN)

22. Partai Pelopor*

23. Partai Golongan Karya (Golkar)*

24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)*

25. Partai Damai Sejahtera (PDS)*

26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)

Page
53
27. Partai Bulan Bintang (PBB)*

28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)*

29. Partai Bintang Reformasi (PBR)*

30. Partai Patriot

31. Partai Demokrat*

32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)

33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)

34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)

35. Partai Merdeka

36. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)

37. Partai Sarikat Indonesia (PSI)

38. Partai Buruh

Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu
sebelumnya.

Partai politik lokal Aceh

A. Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS)[2]

B. Partai Daulat Aceh (PDA)

C. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)

D. Partai Rakyat Aceh (PRA)[3]

E. Partai Aceh (PA)

F. Partai Bersatu Aceh (PBA)

Pemilu 2014

Berikut adalah daftar 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta
Pemilu 2014.

Partai politik nasional

1. Partai NasDem

Page
54
2. Partai Kebangkitan Bangsa*

3. Partai Keadilan Sejahtera*

4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan*

5. Partai Golongan Karya*

6. Partai Gerakan Indonesia Raya*

7. Partai Demokrat*

8. Partai Amanat Nasional*

9. Partai Persatuan Pembangunan*

10. Partai Hati Nurani Rakyat*

11. Partai Bulan Bintang (No. Urut 14)

12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (No. Urut 15)

Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu
sebelumnya.

Partai politik lokal Aceh

1. Partai Damai Aceh

2. Partai Nasional Aceh

3. Partai Aceh

Peraturan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia


sejak masa kemerdekaan adalah:

1. Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1955)

2. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan


Penyederhanaan Kepartaian

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan


Pembubaran Partai-Partai

4. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya

5. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya

Page
55
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (berlaku saat ini)

Sekarang jumlah partai yang diakui oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) 44 partai
mulai dari partai Hanura sampai partai Buruh.Dari tahun ke tahun jumlah ini bertambah
terus.Sebenarnya hal ini tidak efektif digunakan di Indonesia, semakin banyak partai
semakin banyak terjadi perpecahan golongan dan semakin sulit juga bagi rakyat untuk
memilihnya.Seharusnya pemerintah bisa membatasi jumlah pertai yang ada.Berikut daftar
partai – partai berserta lamabangnya yang ikut serta dalam pemilu 2009 :

No. No.
Lambang dan nama partai Lambang dan nama partai
Urut urut

Partai Hati Nurani Partai Demokrasi


1 20
Rakyat Kebangsaan

Partai Karya Peduli Partai Republika


2 21
Bangsa Nusantara

Partai Pengusaha dan


3 22 Partai Pelopor
Pekerja Indonesia

Partai Peduli Rakyat


4 23 Partai Golongan Karya
Nasional

Partai Gerakan Indonesia Partai Persatuan


5 24
Raya Pembangunan

6 Partai Barisan Nasional 25 Partai Damai Sejahtera

Partai Keadilan dan Partai Nasional Benteng


7 26
Persatuan Indonesia Kerakyatan Indonesia

8 Partai Keadilan Sejahtera 27 Partai Bulan Bintang

Partai Demokrasi
9 Partai Amanat Nasional 28
Indonesia Perjuangan

Partai Perjuangan
10 29 Partai Bintang Reformasi
Indonesia Baru

Page
56
11 Partai Kedaulatan 30 Partai Patriot

12 Partai Persatuan Daerah 31 Partai Demokrat

Partai Kebangkitan Partai Kasih Demokrasi


13 32
Bangsa Indonesia

14 Partai Pemuda Indonesia 33 Partai Indonesia Sejahtera

Partai Nasional Indonesia Partai Kebangkitan


15 34
Marhaenisme Nasional Ulama

Partai Demokrasi
16 35 Partai Merdeka
Pembaruan
Partai Persatuan
17 Partai Karya Perjuangan 36 Nahdlatul Ummah
Indonesia

18 Partai Matahari Bangsa 37 Partai Sarikat Indonesia

Partai Penegak
19 38 Partai Buruh
Demokrasi Indonesia

G. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru)

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :Yogyakarta, 25-27 Desember 1931
Ketua : . Sjahrir
Tujuan : menginginkan kemerdekaan Indonesia dan
nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya
berbeda

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931.
Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan
Soerkarno.

Page
57
Dari sini muncul tokoh baru yaitu Sultan Syahrir (20 tahun) yang waktu itu masih
menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama,
yaitu kemerdekaan Indonesia dan nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya berbeda.
PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader.

Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk


menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru.
Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang mempertahankan asa
kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan
sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada
bulan Desember 1931 untuk membantu “Golongan Merdeka” serta membantu “Daulat
Rakjat”.

Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada
bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan
penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama
Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi
sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris cabangnya
adalah Djohan Sjahroezah.

Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang
berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional
Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru adalah
sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI
Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit
yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru
sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya
Hatta pada awal tahun 193, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada
Hatta.

Dimasukkannya kata “Pendidikan” ke dalam nama partai mengandung maksud yang


serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi
para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan

Page
58
tulisan-tulisan lain, termasuk risalah “Kearahan Indonesia Merdeka” (KIM) yang secara
khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.

Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang
mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secar keseluruhan, jawaban-jawaban
itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik
didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa
kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa
kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi,
sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai berikut, “Mengapa demokrasi politik saja tidak
cukup?”. Jawabannya, “Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhakan
oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat
masih menderita dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.

Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional


Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada
“Workers Education Essocition” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang
berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA
mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya
adalah memberikan pendidikan sosialis.

Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar
mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan
politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya
agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan
Hatta dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang
unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan
kebangsaan.

Malai tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah Belanda,
PNI Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan PNI Lama. Para
pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar
sulit, jika bukan msutahil, dilaksanakan dalam lingkungan seperti itu, dan ketergantungan
hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila

Page
59
sang pemimpin ditangkap. Oleh karena itu, PNI Baru lebih bertujuan menghasilkan kader-
kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.

Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun
Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti
gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi
Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian
atas prinsip-prinsip bersama.

PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial
demokrasi Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu
peoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis
tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan
berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu
saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisis mengenai imperialisme dan
tatanan sosial, PNI Baru tidak memiliki ideologis.

Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme


melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika
anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang
sependirian dan generasi yang lebih muda keluar Partai Sosialis untuk mendirikan PSI.

Disini tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena
organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis pribumi,
sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi pemerintahan.
Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model
“aksi massa” dan model “pembentukan kader”. Sesungguhnya, pada tahun 1930-an, kedua
model tersebut sama-sama tidak mempunyai peluang untuk berhasil, juga karena
politiknya yang sangat kolot dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge. Karena kegiatan
aktivitas politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial
Belanda, maka pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir,
Bondan, Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura,
Oesman, Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan
Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI Baru lainnya diasingkan ke

Page
60
Boven Digul. Di samping itu, pemimpinnya kemudian di tangkap dan dibuang ke luar
Jawa.

Partindo, PNI Baru, Dan Gerindo

Setelah pergeledahan dan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PNI, Mr.


Sortono dan Ir. Anwari mengambil alih pimpinan pusat PNI. Pada tanggal 19 Januari 1930,
Sartono dan Anwari mengeluarkan perintah kepada pengurus-pengurus cabang dan para
anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik dan membatasi kegiatan pada
bidang sosial dan ekonomi. Pada tanggal 22 Desember 1930 Landraad Bandung
mengeluarkan keputusan terhadap Ir. Soekarno dkk. Keputusan itu memberikan angin akan
rupa langkah baru yang akan diambil oleh Pengurus Besar PNI. Pada bulan Februari 1931
dilangsungkan kongres luar biasa PNI di Yogyakarta untuk membicarakan situasi politik
waktu itu dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Kongres antara lain memutuskan
memberikan mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap selanjutnya yang akan
diambil sesudah putusan dari Raad van Justitie.

Sesudah keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan mandat yang diterima
Pengurus Besar itu, pada tanggal 25 April 1931 (seminggu setelah keluar putusan dari
Raad van Justitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran PNI dengan
alasan karena keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara lain atas
pertimbangan bahwa putusan hukuman itu tidak hanya menimpa keempat pimpinan PNI,
tetapi juga mengenai organisasi PNI. Kemudian pada tanggal 29 April 1931, di Jakarta
didirikan partai politik baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo). Pada dasarnya,
Partindo adalah PNI dengan nama lain. Para pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan
mencegah tindakan dari pemerintah penentang Partindo.

Dalam maklumatnya tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia


dinyatakan bahwa Partindo berdiri di atas dasar nasionalisme Indonesia, self help, dan
tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu, Partindo yang
dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota Partindo
sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan Februari 1932, Partindo
mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.

Page
61
Golongan Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul
dengan Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu
organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih
berada di negeri Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1931 di Yogyakarta didirikan
organisasi baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).

Jika PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
yang besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu
nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia yang
hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun (self-help) dan
tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Perbedaan adalah dalam cara
mencapai tujuan. PNI-Baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat
dicapai dengan agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaan
hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.

Tidak lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah
hukuman yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931 dibebaskan dari
penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan partai itu,
tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk Partindo.

Setelah Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumya
kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat. Jumlah
anggotanya dan cabangnya meningkat. Isi pidato-pidatonya makin lama makin berani.
PNI-Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin oleh Sultan Syahrir dan
kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932, PNI-Baru sering mengadakan rapat
propaganda. Materi yang disampaikan antara lain tentang riwayat pergerakan nasional
Indonesia, kemerdekaan Indonesia, kedudukan daerah jajahan dan daya upaya untuk
mencapai kemerdekaan itu, persatuan, kapitalisme, dan imperialisme. Jumlah anggota
meningkat walaupun kalah jika dibandingkan dengan Partindo.

Makin meningkatnya perjuangan kedua partai ini, menimbulkan rasa khawatir di


kalangan pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macam peraturan yang bermaksud
hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Gubernur
Jenderal de Jonge adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak

Page
62
berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de Jonge)
sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.

Setelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapt-rapat menjadi sangat


terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan agak bertindak lebih keras.
Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat memberhentikan
pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi yang dibicarakan
menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partai diperlihatkan
simbol-simbol nasional Indonesia. Tekanan-tekanan yang demikian itu tidak hanya
menimpa Partindo dan PNI-Baru, tetapi juga partai-partai lainnya.

Usaha pemerintah untuk mematikan Partindo dan PNI-Baru tidak hanya dengan cara
tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkannya larangan terhadap para
pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai pemerintah yang
terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah
yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah dengan dilaksanakan exorbitant rechten
hak luar biasa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal untuk mengasingkan seseorang yang
dianggap membahayakan ketentraman umum. Mereka yang dianggap berbahaya
diasingkan ke Boven Digul di Irian Jaya.

Hak luar biasa Gubernur Jenderal tersebut menimpa pemimpin-pemimpin Partindo


dan PNI-Baru. Ir. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1931, pada
bulan Juli 1933 ditangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke Flores, kemudian
dipindah ke Bengkulu, Sumatra, sampai pembebasannya oleh pemerintah pendudukan
Jepang pada tahun 1942.

Reaksi Terhadap Penggeledahan Pemerintah

Sikap Vanderlandse Club yang jelas anti-gerakan nasional dan ketakutan kalangan
Belanda serta hasutan pers Belanda terhadap propaganda Partai Nasional Indonesia adalah
faktor-faktor penting yang memengaruhi perintah dalam melakukan tindakan.
Bagaimanapun, pihak pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan politik
penjajahan dan melindungi warga negara Belanda. Demikianlah, pada tanggl 10 Januari
Kiewiet de Jonge, selaku wakil pemerintah, memberikan keterangan tentang alasan

Page
63
penggeledahan dan penangkapan para anggota pengurus Partai Nasional Indonesia. Nada
dan isinya sama dengan hasutan pers Belanda. Dikatakannya bahwa kegiatan Partai
Nasional Indonesia menyebar benih ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang lambat
laun menimbulkan ketegangan dan akhirnya pasti menimbulkan pemberontakan. Berita
yang serius ini harus segara disusul dengan tindakan cepat untuk menjaga keselamatan dan
menghindarkan kemungkinan meletusnya pemberontakan.

Nada dan irama keterangan pemerintah itu tidak mengherankan kalangan Indonesia
baik yang duduk dalam Volksraad sebagai wakil golongan maupun yang ada di luar. Tidak
ada orang yang percaya akan maksud menimbulkan pemberontakan dari pihak Partai
Nasional Indoensia. Keterangan pemerintah itu tidak dapat memberikan keyakinan kepada
para Volksraad yang berhaluan kooperatif dan kepada para nasionalis Indonesia yang
bersikap nonkooperatif. Demikianlah, alih-alih menjadi reda, suasana menjadi bertambah
tegang. Baik nasionalis lunak maupun nasionalis keras bertekad untuk menggalakkan
usahanya dalam menghadapi politik penjajahan. Pada tanggal 12 Januari, PPPKI
mengadakan rapat umum untuk protes dan mengutuk tindakan pemerintah dan
menganjurkan kemerdekaan sampai cita-citanya terkabul. Nasional lunak yang duduk
sebagai angota Volksraad pada tanggal 27 Januari, membentuk Nationale Fractie (Fraksi
Nasional) dengan tujuan untuk memerjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui saluran
legal.

Tanggal 27 Januari 1930, M.H. Thamrin mengumumkan lahirnya Fraksi Nasional


dalam Volksraad, yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia secepat-
cepatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Fraksi Nasional melakukan usaha-usaha seperti
berikut:

1. Berusaha mencapai perubahan ketatanegaraan,

2. Berusaha melenyapkan semua perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan tingkat


pendidikan yang diakibatkan oleh antitesis kolonial.

3. Menggunakan semua jalan yang sah untuk tujuan tersebut.

Page
64
Anggota Volksraad yang masuk sebagai anggota Fraksi Nasional adalah Kusumo
Utomo, Mochtar, Soangkupon, Surono, Dwijosewojo, Otto Iskandar Dinata, Sukardjo
Wirjopranoto, Mohammad Noor, Abdul Rasyid, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Moh. Husni
Thamrin. Fraksi Nasional dipimpin oleh H.M Thamrin. Anggota Fraksi Nasional
berjumlah 10 orang, berasal dari berbagai perkumpulan dan berbagai suku. Meskipun
disadari sepenuhnya bahwa keanekaragaman keanggotaan itu mencerminkan kelemahan
komposisi Fraksi Nasional dalam tindakan-tindakannya, harus diakui bahwa perbentukan
Fraksi Nasional adalah salah satu usaha untuk menjatuhkan segala tenaga nasional yang
ada di dalam Volksraad sebagai wakil dari masing-masing perkumpulan. Penyatuan tenaga
nasional itu bersifat mutlak untuk menghadapi pihak lawan. Sementara itu, Soekarno,
Maskun, Gatot Mangkrupradja, dan Supriadinata tetap ditahan di rumah kurungan di
Bandung menunggu perkara dimajukan di pengadilan.

Sudah sewajarnya bahwa perjuangan baru itu dapat ditafsirkan bermacam-macam


sesuai dengan paham penafsiran masing-masing. Belum lagi dapat dipastikan bahwa
pemerintah akan mengambil tindakan lebih lanjut terhadap PNI sesuai dengan bunyi pasal
169 yang diterapkan pada proses perkara Soekarno; karena tindakan yang berkelanjutan itu
berarti pengintensifan perjuangan pergerakan nasional menuju kemerdekaan. Pembubaran
partai tidak akan dilakukan oleh pemerintah. Paling barter adalah perintah untuk
membatasi geraknya. Jika ditafsirkan dari sudut itu, tindakan Sartono dapat dikatakan
gegabah. Ada lagi interpretasi lain yang menghendaki agar pembubaran partai itu
ditawarkan dalam rapat umum disertai penjelasan lengkap, demikian suara harian Keng
Po. Dalam Bintang Timur, Hatta menyalahkan tindakan Sartono. Dikatakannya bahwa
pemerintah tidak akan mengeluarkan perintah pembubaran PNI untuk menghindari
tumbuhnya paham komunis. Akan tetapi, pemerintah akan berusaha sekeras-kerasnya
untuk melemahkan dan melumpuhkan PNI. Dalam hal itu, jawaban yang paling tepat
adalah bahwa pihak PNI harus memperkuat diri untuk menghadapi tindakan pemerintah.
Dengan jalan demikian, hak hidup partai dipertahankan sampai saat yang terakhir. Siapa
pun boleh memberikan tafsiran menurut pahamnya masing-masing. Pahamnya itulah yang
dianggap benar, namun kebenaran masih merupakan khayalan. Kenyataan yang harus
diterima adalah bahwa Sartono mengambil kebijakan sendiri untuk membubarkan PNI,
tidak menunggu perintah pembubaran dari pihak pemerintah. Apakah pemerintah akan
mengeluarkan perintah pembubaran atau tidak, itu pun pada hakikatnya teka-teki.
Penilaian kebijaksanann Sartono sebagai pemimpin partai baru dapat dilakukan setelah

Page
65
memerhatikan sepak terjang Partindo sebagai penjelmaan PNI yang dikenakkan pasal 169
KUHP pada proses perkara Soekarno. Manifesto Partindo yang dikeluarkan tanggal 1931
sesuai dengan cita-cita politik Moh. Hatta. Soal pembentukan kader, asa self-help,
penerapan pedagogi sosial dalam pendidikan massa, dan lain-lain sudah sesuai dengan
angan-angan Hatta.

Di penghujung bulan Desember 1931, Sultan Sjahrir tidak setuju dengan Partindo,
dan mendirikan partai baru yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Singgkatan partai baru yang dipimpin Sultan Sjahrir itu sama dengan singkatan PNI Lama
yang telah dibubarkan. Untuk menghindari salah paham, PNI Sjahrir ini disebut PNI Baru.
Pendidikan Nasional Indonesia didirikan di Yogyakarta. PNI Baru mempunyai haluan
sosial-revolusioner. Watak sosial-revolusioner itu dinyatakan dalam pembentukan
organisasi massa proletariat yang diharapkan pada kapitalisme dan borjuis, tidak pandang
dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Bagaimanapun, perjuang kelas terhadap
kapitalisme dan borjuis tidak dapat dielakkan. Untuk tujuan itu, diperlukan kader-kader
terdidik yang harus mengajar massa. Demikianlah, PNI Baru itu diam-diam bergerak di
dalam masyarakat, namun mengutamakan pendidikan kader. Justru itulah sebabnya partai
baru itu bermaksud untuk merealisasikan tujuan pembentukan masyarakat yang bebas dari
pengaruh kapitalime dan imperialisme. Kapitalisme dan imperialisme itulah sebenarnya
diciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Paham yang dianut PNI Baru itu adalah paham
Sosialisme-Marxisme. Justru perkembangan Marxisme yang demikian itulah yang sangat
ditakuti oleh pihak pemerintah. Oleh karena itu, meskipun PNI Baru bekerja secar diam-
diam, ia dianggap membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.

Partindo adalah partai massa. Di mana-mana mengadakan propaganda dalam rapat


untuk memperoleh massa pengikut. Sesuai dengan cara kerja Partai Nasional Indonesia,
Partindo mengarahkan kegiatannya pada pembentukan massa-aksi. Tujuan utama Partindo
adalah mencapai kemerdekaan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan kesatuan barisan kulit
berwarna yang harus menghadapi pemerintahan asing. Kesatuan kulit berwarna yang
dimaksut oleh Partindo tidak memperhitungkan perbedaan kelas dan kepercayaan, seperti
dinyatakan dalam siarannya tanggal 1 Mei 1931. Jelaslah, musuh utama dalam perjuangan
kemerdekaan adalah imperialisme. Demikianlah, Partindo itu berbahaya bagi pemerintah
karena aksinya; PNI Baru karena ideologinya. Dari sudut inilah kita akan menilai tindakan
pemerintah terhadap kedua gerakan nasional tersebut.

Page
66
Sebelum Gubeenur Jenderal Greaff meninggalkan Indonesia, ia masih sempat
memberikan jasanya kepada pergerakan nasional Indonesia, yang ditindasnya selama
pemerintahannya. Demikanlah, tindakan Gubernur Jenderal itu jika boleh disebut sebagai
jasa. Tindakan yang dimaksud adalah memberi grasi kepada Soekarno yang ditetapkan
pada tanggal 4 September 1932: hukuman Soekarno dari 4 tahun dikurangi 2 tahun. Pada
bulan itu juga, ia diganti oleh Gubernur Jenderal de Jonge. Tanggal 14 Desember 1931,
Soekarno menulis surat kepada Mr. Sartono bahwa ada maksud dari kaum pergerakan
nasional dari berbagai tempat untuk beramai-ramai menjemput Soekarno pada tanggal 31
Desember 1931 di halaman penjara Sukamiskin. Sehubungan dengan maksud itu dan
bertalian dengan zaman meleset (malaise) yang sedang mengganas, ia menghendakai
maksud itu dibatalkan. Kawan-kawan dari Bandung dan sekitarnya bisa bertemu
dengannya sepanjang hari di rumah karena baru pada hari berikutnya ia akan berangkat ke
Jawa Timur untuk menghadiri kongres Indonesia Raya, yang sengaja diselengarakan untuk
menyambut bebasnya Soekarno dari penjara. Kongres Indonesia Raya diadakan pada
tanggal 1-3 Januari 1932, dipimpin oleh Dr. Sutomo, bertempat di Surabaya. Di setiap
stasiun yang dilalui oleh Soekarno dalam perjalanan menuju Surabaya, ia disambut oleh
kawan-kawannya yang sepaham, ini suatu bukti bahwa Soekarno masih mendapat simpati
dari masyarakat. Juga dalam kongres itu, ia mendapat cukup kesempatan untuk berbicara.

Setelah kenyataan bahwa setelah keluar penjara Sukamiskin, Soekarno dihadapkan


pada pilihan antara dua partai revolusipner, yakni Partindo di bawah pimpinan Sartono dan
PNI Baru di bawah pimpinan Sjahrir. Sedangkan Partai Nasional Indonesia telah
dibubarkan.

Dampak Penahanan Pemimpin

Dalam masa Soekarno meringkuk di penjara Sukamiskin, beberapa pihak mencoba


mengatasi situasi dengan berbagai jalan yang sudah barang tentu cocok dengan cita-cita
serta kepentingan masing-masing. Mengingat keanekaragaman haluan dan strategi politik,
maka reaksi-reaksi yang bermacam-macam itu menciptakan situasi politik yang sangat
kompleks. Ketegangan dan konflik terjadi secara bertubi-tubi, suatu proses yang hanya
membuat perpecahan menjadi bertambah parah. Apakah skenario yang penuh konflik itu
memang telah dibayangkan oleh pemerintah Hindia Belanda–yang lazim digambarkan

Page
67
terampil dalam menjalankan politik divide et impera–hal itu tidak diketahui. Yang jelas
ialah bahwa motif penangkapan para pemimpin ialah untuk mencegah terulangnya huru-
hara tahun 1926, sekaligus memperlemah kedudukan PNI, dan rupanya sama sekali tidak
untuk menumpas organisasi nasionalnya.

Gubernur Jenderal de Graeff sebagai seorang liberal lebih condong menjalankan


politik toleransi, namun desakan golongan konservatif di Negeri Belanda dan Indonesia
memaksanya bertindak keras. Tafsiran dari pihak kaum nasionalis terhadap politik itu
berbeda-beda sehingga berbedalah pula reaksinya.

Sartono dengan pandangannya yang legalistik segera menginstruksikan agar semua


kegiatan cabang sementara waktu dihentikan, bahkan berusaha untuk membubarkan PNI
serta kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan
identitas baru organisasi baru tidak menjadi sasaran dan buronan penguasa. Sikap seperti
itu dikritik secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa PNI telah bunuh diri
sebelum berhadapan benar-benar dengan lawannya. PNI yang menjalankan politik elitis
gagal dalam memobilisasikan massa. Dengan mengambil sikap tersebut, telah kehilangan
kewibawaannya di kalangan rakyat pada umumnya, di antara para anggota khususnya.

Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono; mereka
mendirikan studieclub di beberapa tempat antara lain di Batavia, Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, dan Pelembang. Kemdian mereka mendirikan sendiri Golongan
Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI-Baru.

Seperti diketahui Soetomo mengambil kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya,


yaitu mendirikan organisasi tersendiri dengan gaya dan isi yang berbeda dari PNI dengan
politik agitasinya. PBI didirikan lebih cenderung untuk bergaya sebagai aktivitas sosial-
ekonomis.

Menurut pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum


nasionalis adalah adanya manifestasi krisis ideologi. Sesungguhnya meskipun gayanya
berbea-beda, isi perjuangan kaum nasionalis seharusnya sama, sehingga banyak konflik
dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letaknya persatuan dan tidak seperti yang
dikonsepsikan Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti apa yang kemudian

Page
68
dirumuskan oleh Golongan Merdeka yang kemudian terhimpun dengan nama PNI-Baru
atau Pendidikan Nasional Indonesai, ialah bahwa ideologi politik harus berdasarkan
kebangsaan dan kerakyatan (nasionalisme dan demokrasi).

Pada ummnya, bentuk-bentuk alternatif tidak memakai gaya politik agitasional,


tetapi bergaya sosial-ekonomis. Lagi pula organisasi perlu disusun sebaik-baiknya dengan
tidak secara langsung mencoba menggerakkan massa, melainkan menyelanggarakan
kaderisasi pemimpin yang cakap.

Apabila dalam kerangka PPPKI telah timbul perpecahan antara PSI dan organisasi
sekuler, maka di lingkungan organisasi-organisasi yang disebut terakhir pertentangannya
menjadi-jadi, khususnya antara Partindo dan PNI-Baru.

Pihak pertama beranggapan bahwa dia adalah kelanjutan PNI Lama serta waris niali-
nilai perjuangannya. Dalam situasi baru semua kegiatan dilakukan secara berhati-hati,
namun tanpa meninggalkan ideologi politiknya, ialah kemerdekaan Indonesia, swadaya,
menentukan nasib sendiri, swadesi, dan kedaulatan rakyat. Di samping rapat-rapat umum
juga diusahakan adanya perkumpulan debat, koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya.
Partindo mempunyai cabangnya terutama di Jawa Barat, khususnya di Batavia dan
Bandung. Di antara anggota-anggotanya terdapat banyak pengikut gigih Soekarno. Pada
awal 1932 jumlah anggota ditaksir lebih kurang tiga ribu orang, yang sebagian besar
terdapat di Batavia, termasuk pula para mahasiswa RHS dan GHS.

Intervensi pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kejutan di kalangan anggota


PNI dan banyak yang menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain
politik agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik dan
melatih para anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik. Pidato-pidato yang
berkobar-kobar adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai pengaruh yang mendalam.
Pertumbuhan partai lewat kaderisasi lebih mantap daripada lewat mobilisasi dengan
demagogi. Kegiatan kelompok-kelompok kecil lebih terarah pada aktivitas untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat, antara lain kopersi- kursus-kursus, dan lain
sebagainya. Besarlah kekecewaan di kalangan PNI akan peristiwa intervensi gubernemen.
Mereka yang tidak ikut ajakan Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka,
antara lain dibawah pimpinan Soedjadi. Kemudian terjadi proliferasi dan di berbagai

Page
69
tempat didirikan perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI
Baru.

Kedua aliran tersebut diatas sebenarnya mewakili antagolisme yang timbul antara
Soekarno dan Moh. Hatta. Sesungguhnya debat telah berjalan cukup lama; persoalannya
sesungguhnya tidak menyangkut isi asas tujuan perjuangan nasional, melainkan lebih
menyangkut soal gaya politik. Pada hakikatnya gaya itu memang dapat dikembalikan pada
perbedaan kepribadian. Dengan keulungan berpidato Soekarno lebih mudah menggerakkan
massa serta menanam kesadaran serta semangat nasional. Sebaliknya Moh. Hatta adalah
termasuk tipe pemikir dan mahir dalam merumuskan prinsip perjuangan serta menganalisis
situasi politik. Kalau Soekarno sangat mampu membuat agitasi, Hatta lebih memikirkan
organisasi. Oleh karena bagi yang kedua kaderisasi vital, maka yang lebih diutamakan
adalah pendidikan politik. Akibatnya intervensi gubernemen Hindia Belanda menunjukkan
bahwa politik agitasi Soekarno tidak banyak mempunyai dampaknya.

Arena politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional sejak 1927 terisi oleh forum-
forum yang diciptakan oleh rapat-rapat umum, kongres-kongres, dan berbagai bidang
ekonomi dan sosial. Media massa kemudian mengkomunikasikan segala kegiatan itu
secara luas kepada khalayak ramai. Dalam hal ini sangat menonjollah peranan golongan
nonkooperasi, khususnya PNI dan kemudian Partindo dan PNI Baru. Proses yang terjadi
ialah pendidikan politik atau sosialisasi politik bagi anggota kedua partai tersebut. Dengan
demikian, terjadilah proses pemahaman dan penyadaran dengan konsep-konsep, seperti
pemahaman serta penyadaran sehubungan dengan masalah kebangsaan, kerakyatan,
kemerdekaan, swadaya, swadesi, dan lain sebagainya. Secara khusus Soekarno
memasukkan konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Ideologi Politik
Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite
modern menghadapi masalah bagaimana mencapai dan memobilisasi massa, mengingat
bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Berbeda dengan SI (PSI) yang
berdasarkan ideolgi religius, PNI dan kemudian Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi
nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang nonrelegius. Dalam hal ini
lingkungan PNI Soekarnolah yang telah banyak memberi sumbangan konsepsi-konsepsi
politik, antara lain konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.

Page
70
Menurut pandangan Soekarno, jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan
kapitalismenya tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita
sebagai korban sistem kolonial itu. maka dari itu, ideolgi nasionalisme sewajarnya
mencakup aksi massa dari rakyat menjadi sosio-nasionalisme. Selanjutnya peningkatan
taraf hidup rakyat baru dapat dilaksanakan setelah kolonialisme terhapus; maka
dikatakannya bahwa perjuangan antikolonialisme merupakan “jembatan emas” menuju ke
alam merdeka dan sejahtera. Perjuangan itu dengan sendirinya menjadi pertentangan ras.
Meskipun demikian, Soekarno juga menyatakan bahwa perjuangan melawan kapitalisme
perlu dilakukan juga.

Justru dalam hal ini, PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan
Soekarno. Disangsikannya apakah agitasi politik itu sebagai sosioalisasi politik betul-betul
efektif dan sebaliknya menurut anggapannya kaderisasi dan pemantapan organisasi
merupakan cara yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Situasi sesudah
penangkapan Soekarno akhir tahun 1929 membuktikan bahwa strategi yang terakhir
memang tepat. Pengikut massa tidak bedaya sedikit jua pun.

Setelah kira-kira dua tahun arena politik menghirup suasana yang lebih tenang serta
aktivitas organisasi pergerakan lebih banyak meliputi bidang pendidikan, ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat, maka dengan dibebaskannya Soekarno pada akhir Desember 1931,
lambat laun politik mulai bergerak lagi; hal itu disebabkan tidak lain karena Soekarno
mulai terjun kembali ke gelanggang politik.

Perlu ditambahkan di sisi bahwa keanggotaan Partindo dan juga PNI Baru, pada
umumnya terbatas di kota-kota besar di Jawa, khususnya di Jawa Barat dengan Bandung
dan Batavia dengan pusatnya. Di Jawa Timur, di mana PBI mempunyai pengaruhnya
sukarlah Partindo melebarkan sayapnya.

Di samping itu, konsep sosio-demokrasi diterangkan sebagai sistem kerakyatan,


tetapi bukan seperti yang terwujud di Barat sebagai demokrasi parlementer melainkan
yang didasarkan suara terbanyak. Meskipun Soekarno tidak asing terhadap ideologi Barat,
namun tampak ada usaha mengadaptasikannya kepada situasi Indonesia. Sebaliknya,

Page
71
ideologi yang dianut PNI Baru merupakan konsepsi Hatta dan Sjahrir yang mengikuti
ideologi sosialisme.

Perbedaan-perbedaan isi ideologi kedua pihak sesungguhnya tidak terlalu prinsipal,


akan tetapi di sini yang mencolok adalah perbedaan gaya serta jiwa perjuangan mereka.
Soekarno lebih cenderung ke suatu populisme, sedang pihak Hatta dan Sjahrir lebih ke
arah elitisme. Kedua pihak sebenarnya sampai akhir aktivitasnya pada tahun 1933 belum
berhasil memantapkan partainya sebagai mobilisasi rakyat yang efektif.

Bahwasanya arena politik terutama di kota-kota – dan khususnya di Jawa – tampak


jelas dari uraian sampai di sini. Keadaan itu dapat dijelaskan dengan menunjukkan pada
kepemimpinan organisasi nonkooperasi yang ada di tangan kaum inteligensia hasil
pendidikan Barat, baik dari Negeri Belanda maupun Indonesia. Dari tahun 1927 sampai
tahun 1933 golongan elite kota itulah yang menjadi faktor penggerak utama perkembangan
gerakan nasionalis nonkooperasi dan radikal. Bila dilacak akar sosialnya maka mereka
berasal dari golongan elite, antara lain priyayi pamong praja (BB).

Dipandang dari perspektif konflik sosial, khususnya perjuangan kekuasaan, kaum


inteligensia sebagai elite modern menghadapi elite religius dengan otoritas
kharismatiknya, priyayi BB dengan otoritas setengahnya tradisonal setengahnya legal-
rasional, yang semuanya menguasai sebagian besar struktur kekuasaan. Dalam
menghadapi kekuasaan kolonial, kaum inteligensia tidak beraliansi dengan elite religius
karena jarak sosial-kulturnya sangat besar.

Oleh karena jarak dengan golongan-golongan itu dengan para pemimpin masih
cukup jauh, maka diperlukan pemimpin tingkat bawahan. Untuk mengerahkan dan melatih
merekalah PNI Baru menyelenggarakan kursus-kursus dan latihan. Dengan demikian,
struktur organisasi dapat dimantapkan sehingga dapat berfungsi sebagai basis yang kuat
bagi pergerkan.

Masalah Persatuan
Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap pernggalangan persatuan di antara
organisasi-organisasi pergerakan nasional tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi
persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan

Page
72
pendapat antara Partindo dan PNI Baru, atau seperti umum yang digambarkan sebagai
pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta. Seperti sejak awal perkembangan
PPPKI telah dilancarkan kritik tajam oleh Hatta mengenai PPPKI sebagai bentuk
persatuan, seperti yang dikonsepsikan oleh Soekarno, yaitu pengintegrasian berbagai
organisasi dalam satu wadah atau lembaga. Lembaga itu akan bertindak berdasarkan
keputusan berlandasan mufakat.
Dalam konsepsi persatuan seperti itu tidak diperhitungkan adanya berbagai unsur
yang mewakili golongan, aliran, kepentingan, ataup kelas sosial yang beraneka ragam.
Persatuan yang terwujud menurut Hatta adalah lancung oleh karena menurut analisisnya
dengan perspektif sosialis terkandung di dalamnya kontradiksi dan konflik kepentingan,
lagi pula ideologi-ideologi yang bertolak belakang satu sama lain.
Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul
gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan
pandangan politik tersebut, ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu
merupakan faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal
1932 berusaha keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru. Suatu
kompromi dengan Partindo tidak dapat dicapainya. Mengenai masalah demokrasi ada pula
perbedaan konsepsi soal demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Setelah mengadakan pembicaraan luas dengan Soekarno, akhirnya Sjahrir
berkesimpulan bahwa Soekarno merupakan faktor politik yang sanantiasa perlu
diperhitungkan sehingga tidak lagi menghalang-halangi atau menentang usahanya, antara
lain dalam membenahi dan menghidupkan lagi PPPKI. Sadar akan kharisma yang ada
padanya serta yakin akan peranan yang dapat dijalankannya, maka Soekarno bergerak
terus sesuai dengan gaya lamanya tanpa terlalu melibatkan diri dalam debat soal ideologi
serta pertentangan antara Partindo dan PNI Baru.
Dalam periode pasca-Sukamiskin, Soekarno masih optimis dan penuh semangat
namun tidak disadari bahwa kajayaan dari masa sebelum 1930 sudah pudar; timbul banyak
kekecewaan atau kebimbangan di kalangan PNI Lama. Di samping itu, sudah terjadi garis
pemisah antara kelompok Partindo dan PNI Baru sehingga hal itu menjadi penghalang
pokok bagi proses pemersatuan. Akhirnya, Soekarno pun tidak berdaya melaksanakannya.
Usaha dalam PPPKI juga terbentur pada masalah perpecahan, antara lain Partindo
dan PNI Baru pada satu pihak dan pemimpin PPPKI pada pihak lain, padahal keikutsertaan
kedua partai itu atau salah satu daripadanya dianggap sangat perlu. Dalam hubungan ini
perlu di tambahkan bahwa tokoh Soetomo merupakan faktor kontroversial yang

Page
73
menimbulkan ketidakserasian dalam tubuh PPPKI serta sangat melemahkannya. Baik
pengundurannya sebagai pengurus harian maupun reorganisasi yang dilakukan oleh
Soekarno tidak berdaya untuk memperkokoh kedudukan PPPKI yang telah kehilangan
momentumnya, dan dalam hal ini kharisma Soekarno tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan ditangkapnya Soekarno pada 1 Agustus 1933 sebenarnya nasip PPPKI sudah
tidak memberi harapan lagi. “Sebenarnya PPPKI mati tetapi tidak pernah secara resmi
dikubur”. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa gagasan tentang persatuan serta
pemersatu organisasi sudah mati, sama sekali tidak. Dalam tahun-tahun berikutnya secara
terus-menerus ada usaha-usaha untuk mewujudkan badan pemersatu itu.

Berakhirnya Masa Nonkooperasi


Periode awal tahun 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh
perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi-organisasi
nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakain meningkat terutama sebagai dampak
positif agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Di sisni dijumpai kekuatan-kekuatan sosial
yang antagonistik sehingga gerakan nasionalis sebagai totalitas menjadi kontra produktif,
bahkan dalam rangka kondisi ekonomis serta situasi politik menuju ke perbenturan
kekuatan nasionalis dengan kekuatan kolonial. Akselerasi aktivitas pada satu pihak hanya
memancing politik serta tindakan yang semakin reaksioner pada pihak lain. Lebih-lebih
dalam hal ini pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge tidak tanggung-tanggung secara
konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “permunian”, artinya menumpas segala
kecnderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi.
Maka dari itu, gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat.
Aksi massa dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari
pertengahan 1932 samapai petengahan 1933 merupakan titik puncak perkembangan
Partindo. Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang.
Selama periode itu, frekuensi rapat-rapat meningkat pula, antara sehubungan dengan
perjalanan keliling Soekarno ke berbagai tempat cabang-cabang di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Dalam bulan Agustus dan September 1932, Soekarno berpidato di muka tidak
kurang dari 30.000 orang. Kemudian dalam bulan Februari 1933 bersama Gatot
Mangkoepradja dan Alamsyah, Soekarno bersafari ke Jawa Tengah dan mengunjungi 17
cabang di mana mereka berbicara di muka rapat-rapat yang penuh sesak. Di mana-mana
pokok pidatonya berkisar sekitar marhaenisme, sosial-nasionalisme, dan Indonesia
Merdeka.

Page
74
Dalam suasana yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk
bertindak. Tindakan pertama ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal
19 Juli 1933 yang memuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI
Baru di larang dan hari itu juga Soekarno ditahan. Sehari kemudian dikeluarkan larangan
bagi semua pegawai negeri masuk menjadi anggota partai tersebut. Tindakan-tindakan itu
kesemuanya dilegitimasikan oleh pemerintah Hindia Belanda semata-mata untuk
menjamin rust en orde dan dilandaskan pada artikel 153 bis dan ter.
Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu
dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi
strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang
bergerak lagi kepada PNI Baru. Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat
setengah-tengah, maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh.
Hatta dan Sjahrir, ditangkap, dan PNI Baru dilarang.
Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan
otoritasnya, sehingga setiap gerakan bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun
ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawan atas keadaan di
Hindia Belanda, baginya dibayangkan bahwa dalam massa 300 tahun berikutnya
pemerintah itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan
gerakan politik nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno –
menurut dokumen-dokumen arsip kolonial – telah menulis surat kepada pemerintah Hindia
Belanda sampai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang
kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi,
bahkan selanjutnya dia tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal
itu menggemparkan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada
yang penuh keheranan atau kekecewaan, ada pula yang merasa cengkel atas perubahan
sikap yang berbalik 180 derajat itu.
Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi,
lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri sikap
politik itu. Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat
mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya, dipilih
Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.

Page
75
Meskiupun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun
hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan
Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI dalam bulan Desember 1934.

Kesimpulan
Ketika Sartono membubuarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang tidak
setuju. Mereka menyebut dirinya sebagai “Golongan Merdeka”. Dengan giat mereka
medirikan studi club-studi club baru, seperti Studi Club Nasional Indonesia di Jakarta dan
Studi Club Rakyat Indonesia di Bandung. Selanjutnya, mereka mendirikan Komite
Perikatan Golongan Merdeka untuk menarik anggota-anggota PNI dan untuk menghadapi
Partindo.
Pada bulan Desember 1931, Golongan Merdeka membentuk Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI Baru). Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta
kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda. Strategi
perjuangan PNI Baru tidak jauh berbeda dengan PNI maupun dengan Partindo. Organisasi-
organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan taktik perjuangan non-kooperatif dalam
mencapai kemerdekaan politik. Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo
adalah sebagai berikut:
1. PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena anggota-
anggotanya memilii ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo manganggap
PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri.

2. Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan


politik dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi massa dengan aksi-aksi
massa untuk mencapai kemerdekaan.

Pada tahun 1933, PNI Baru memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya
yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial membahayakan. Oleh karena itu,
pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir Maskun, Burhannuddin, Murwoto,
dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu sungai Digul,
Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira pada tahun 1936 dan akhirnya ke

Page
76
Sukabumi pada tahun 1942. Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap
kooperatif saja yang dibiarkan hidup oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pembubaran PNI pada kongres bulan April 1931 mengakibatkan terjadinya
perpecahan di kalangan anggotanya. Kelompok yang menyetujui pembubaran mendirikan
Partindo. Sedangkan kelompok yang tidak setuju mempersatukan diri membentuk
“Golongan Merdeka”. Pada bulan Desember 1931, golongan merdeka mendirikan partai
baru, sesuai dengan saran Hatta. Partai itu diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia
(lebih sering disebut PNI-Baru) dipimpin oleh Sukemi.
PNI didirikan di Bandung pada 4 Juli 1924 oleh kaum terpelajar yang dipimpin oleh
Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar itu tergabung dalam Algemene Studieclub (Bandung)
dan kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia yang telah
kembali ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya. Ini
terlihat dari strategi perjuangannya yang berhaluan nonkooperasi. PNI tidak mau ikut
dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah.

Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia dan tujuan itu akan dicapai dengan asas
“percaya pada diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan
dicapai melalui berbagai usaha, antara lain:

1. Usaha politik, yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan.
Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-
bangsa Asia dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam
bidang politik, PNI berhasil menghimpun organisasi-organisasi pergerakan lainnya ke
dalam satu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia;

2. Usaha ekonomi, yaitu dengan memajukan perdagangan rakyaat, kerajinan atau industri
kecil, bank-bank, sekolah-sekolah, dan terutama koperasi;

3. Usaha sosial, yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, emngurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesehatan rakyat.

Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sastroamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indoenesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan
tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga
melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres Perempuan
di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Page
77
H. Muhammadiyah

Nama Lengkap :Persyarikatan Muhammadiyah


Didirikan oleh : K.H. Ahmad Dahlan
Tempat /Tanggal :Yogyakarta pada 18 November 1912.
Tujuan : (1) mengembangkan agama Islam sesuai perintah dan
ajaran Nabi Muhammad SAW;
(2) membantu dan meningkatkan kehidupan masyarakat;
(3) memajukan pendidikan di Indonesia.
Muhammadiyah : ‫محمدية‬
Pemimpin Saat Ini : Prof Dr HM Din Syamsuddin
Anggota : ± 35 juta orang..

Pada tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan - seorang pejabat pengadilan dari
kraton Yogyakarta dan sarjana Muslim berpendidikan dari Mekah - didirikan
Muhammadiyah di Yogyakarta . Ada sejumlah motif di balik berdirinya gerakan ini . Di
antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim dan penetrasi Kristen .
Ahmad Dahlan , banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad ' Abduh ,
dianggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis yang sangat penting
dalam mereformasi agama ini . Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah telah sangat
peduli dengan menjaga tauhid , tauhid dan pemurnian dalam masyarakat .
Muhammadiyah mendapat surat Keputusan badan hukum dari pemerintah pada
tanggal 22 Agustus 1914. Setelah berbadan hukum, organisasi ini mulai mendapat
sambutan kalangan Islam sehingga mulai berkembang. Muhammadiyah adalah organisasi
yang bercorak kooperatif (bekerjasama) dengan pemerintah Belanda.
Dengan kegiatan tersebut Muhammadiyah turut mendukung perjuangan memperoleh
kemerdekaan. Peranannya dalam menumbuhkan kesadaran bangsa tentang pentingnya
kemajuan dan kemerdekaan sangat besar.
Amal usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam upaya menjunjung tinggi dan
menegakkan agama Islam, meliputi :
o Mendirikan, memelihara, dan membantu mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan
agama Islam untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia;
o Mendirikan dan memelihara tempat ibadah;
o Mendirikan dan memelihara rumah sakit untuk menjaga kesehatan masyarakat;
o Mendirikan dan memelihara panti asuhan untuk anak yatim piatu;
o Membentuk badan perjalanan haji ke tanah suci;
o Membentuk organisasi otonom untuk menampung masyarakat sesuai usia, jenis
kelamin untuk berjuang meningkatkan martabat sebagai orang Islam

Dari tahun 1913 sampai tahun 1918, Muhammadiyah mendirikan lima Sekolah Islam .
Pada tahun 1919 sebuah sekolah tinggi Islam , Hooge School Muhammadiyah didirikan .
Dalam mendirikan sekolah , Muhammadiyah mendapat bantuan yang signifikan dari Boedi
Oetomo , sebuah gerakan nasionalis yang penting di Indonesia pada paruh pertama abad
kedua puluh , seperti dalam bentuk menyediakan guru Muhammadiyah telah umumnya
dihindari politik . . Tidak seperti rekan tradisionalis nya, Nahdatul Ulama , tidak pernah
membentuk partai politik Sejak berdirinya, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan
pendidikan dan sosial .

Page
78
Pada tahun 1925 , dua tahun setelah kematian Dahlan , Muhammadiyah hanya
memiliki 4.000 anggota, bahkan telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya
dan Yogyakarta Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi untuk
Minangkabau dinamis masyarakat muslim , Muhammadiyah berkembang pesat . . Pada
tahun 1938 , organisasi mengklaim memiliki 250.000 anggota , mengelola 834 masjid , 31
perpustakaan , 1.774 sekolah , dan 7630 ulama . Minangkabau Pedagang menyebar
organisasi untuk seluruh Indonesia.
Selama pergolakan politik 1965-66 dan kekerasan , Muhammadiyah menyatakan
pemusnahan " Gestapu / PKI " ( Gerakan 30 September dan Partai Komunis Indonesia )
merupakan Perang Suci , pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam
lainnya . ( lihat juga : pembunuhan Indonesia dari 1965-1966 ) . Selama " reformasi
Indonesia " 1998 , beberapa bagian dari Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk
membentuk partai . Oleh karena itu, mereka - termasuk Muhammadiyah ketua , Amien
Rais , mendirikan Partai Amanat Nasional . Meskipun mendapat dukungan besar dari para
anggota Muhammadiyah , partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan
Muhammadiyah . Pemimpin Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas
untuk menyesuaikan diri dengan partai politik memilih disediakan pihak tersebut mereka
telah berbagi nilai-nilai dengan Muhammadiyah.
Muhammadiyah didukung oleh beberapa organisasi otonom :

Aisyiyah ( Perempuan )
Pemuda Muhammadiyah ( Pemuda )
Nasyiatul Aisyiyah ( Remaja Putri )
Ikatan Pelajar Muhammadiyah ( Asosiasi Mahasiswa )
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ( College student )
Tapak Suci Putra Muhammadiyah ( Pencak Silat )
Hizbul Wathan ( Pramuka ) .

Struktur pengurus pusat terdiri dari lima penasehat , ketua, wakil ketua , sekretaris umum
dan beberapa deputi , bendahara dan beberapa deputi, serta beberapa wakil ketua.

I. Nahdhatul Ulama
Didirikan Oleh : KH. Hasyim Asyari
KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Bisri
KH. Ridwan
Tempat / Tanggal : Surabaya, 31 Januari 1926
Tujuan : untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi
menurut mazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hambali

Nahdhatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Tokoh-tokoh
pendirinya antara lain KH. Hasyim Asyari (Pesantren Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH.
Bisri (Pesantren Jombang), KH. Ridwan (Semarang), dan lain-lain. Latar belakang didirikannya NU
antara lain untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi menurut mazhab Syafi’I,
Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Dalam mencapai cita-citanya, NU melakukan berbagai kegiatan, antara lain :
a) mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan
Hambali.

Page
79
b) memeriksa kitab-kitab yang akan dipergunakan sebelum mengajar agar dapat diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah.
c) menyiarkan agama Islam berasaskan pada kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
d) membangun madrasah-madrasah, mesjid, pondok-pondok pesantren, serta hal-hal yang
berhubungan dengan anak yatim-piatu serta fakir miskin.

J. Tri Koro Dharmo (Jong Java)

Didirikan Oleh : dr. Satiman Wiryosanjoyo


Tempat / Tanggal : 7 Maret 1915 di gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta
Tujuan : memupuk rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan,
dan kebudayaan Jawa.
Kongres Pertama : Solo pada tanggal 12 Juni 1918
Hasil Kongres I : nama Tri Koro Darmo diubah menjadi Jong
Javanen Bond (Jong Java).
Ketua : dr. Satiman Wiryosanjoyo
Wakil Ketua : Wongsonegoro

Tri Koro Dharmo adalah perkumpulan pemuda yang pertama kali berdiri.
Perkumpulan ini dibentuk atas petunjuk Budi Utomo pada 7 Maret 1915 di gedung
KebangkitanNasional, Jakarta oleh dr. Satiman Wiryosanjoyo dan pemuda-pemuda Jawa,
seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (Wongsonegoro), Sarwono, dan
Mawardi. Trikoro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi dan Bhakti.
Kegiatannya seputar memupuk rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan, dan
mengembangkan kebudayaan Jawa. Sebagian besar anggotannya adalah murid-murid
sekolah menengah asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda
dari Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang
meliputi Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri
organisasi Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota
Jong Sumatranen Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan
Abu Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan
tokohnya A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold
Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada
tanggal 1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal
12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih
tetap bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo
dan kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan
mencampuri masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia
politik setelah mereka tamat belajar.
Tahun 1929, Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda yang bersifat
nasionalis. Tri Koro Dharmor memiliki perangkat antara lain : dr. Satiman Wiryosanjoyo
(ketua), Wongsonegoro (wakil ketua), dan Sutomo (sekretaris).

K. Taman Siswa

Page
80
Didirikan Oleh : Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro)
Tempat/ Tanggal : 3 Juli 1922, Yogyakarta
Tujuannya : 1. mengembangkan edukasi dan kultural yang
direalisasikan dengan baik, terbukti dengan
pendirian sekolah-sekolah di lingkungan Taman Siswa.
2. memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai
harga diri yang sama dengan bangsa lain yang merdeka
Semboyan : 1. Ing ngarso sung tulodo
2. Ing madya mangun karso
3. Tut wuri handayani

Setelah Indische Partij dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1913, salah seorang
tokohnya yaitu Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) mengalihkan perjuangannya ke bidang
pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di
Yogyakarta. Tujuannya adalah memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai harga
diri yang sama dengan bangsa lain yang merdeka. Meskipun tidak bergerak dibidang politik, tetapi
Perguruan Taman Siswa termasuk organisasi yang mempunyai andil dalam pergerakan nasional
untuk mencapai kemerdekaan.
Sekolah-sekolah yang didirikan diantaranya
 Taman Kanak-Kanak disebut Taman Indiria,
 Sekolah Dasar disebut Taman Anak,
 SLTP disebut Taman Muda, dan
 SLTA disebut Taman Madya.

Semboyan pendidikannya yang terkenal adalah


 “Ing ngarso sung tulodo” (di depan harus memberikan contoh atau teladan),
 “Ing madya mangun karso” (jika di tengah harus bekerja sama), dan
 “Tut wuri handayani” (jika di belakang harus memberikan dorongan).

Semboyan ini kemudian menjadi semboyan Departemen Pendidikan Nasional.


Sementara itu, hari lahir Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional.

Patrap Triloka dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di
Indonesia.

Panji Tamansiswa
1. Bentuk : berbentuk perisai dengan ukuran lebar dibandingkan panjang 2 : 3. Dibagian
bawah , mulai batas 2/3 dari atas melengkung.

2. Isi :

a. Lambang Tamansiswa;
b. Suci Tata Ngesti Tunggal;
c. Tahun Masehi 1922 dan hiasannya.

Page
81
Panji Taman Siswa.

3. Warna : dasar hijau, lambang Tamansiswa,tulisan, angka, hiasan dan rumbainya


berwarna kuning emas.

4. Arti warna : kuning emas = cahaya, cemerlang, cita-cita luhur; hijau : harapan, selalu
berkembang, pendidikan.

5. Ukuran Baku : 50 cm x 75 cm. Untuk keperluan lain ukuran berbanding 2 : 3.

Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli 1922, Taman Siswa adalah badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan
dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah
tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia
Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara
fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan keadaan.
Bebicara Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau mendirikan
Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat
perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir
batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan
kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional.

A. BERDIRINYA TAMAN SISWA


Taman siswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian Taman
Siswa diawali dengan ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh

Page
82
pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang memberikan fasilitas
pendidikan yang baik kepada negara jajahannya. Seperti yang dikatakan oleh ahli sosiolog
Amerika “pengajaran merupakan dinamit bagi sistem kasta yang dipertahankan dengan
keras di dalam daerah jajahan”.
Oleh sebab itu maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa
merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata
tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan
masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya.
Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya.
Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan
merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara telah


mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tetapi dengan seperti itu secara
langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial. Lain dari pada
itu kebangkitan bangsa-bangsa yang dijajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju
kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu
pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman
Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di
dalam jiwa kebangsaan.

Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem
pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya
untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.

Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri
Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam
terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan
lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah
maka pendidik berhak untuk meluruskannya.

Gambar: Logo Taman Siswa

Page
83
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja
sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain
hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan
sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem
Tripusat Pendidikan.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam


(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan
(memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan
(berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Sekolah-sekolah yang didirikan diantaranya


 Taman Kanak-Kanak disebut Taman Indiria,
 Sekolah Dasar disebut Taman Anak,
 SLTP disebut Taman Muda, dan
 SLTA disebut Taman Madya.

B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMAN SISWA

Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat


Indonesia dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk
menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial berusaha untuk
menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, dan sekolah-sekolah
partikelir umumnya. Sejak itu, Taman Siswa menghadapi perjuangan asasi, melawan
politik pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat dikalangan orang
Belanda yang memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan
kembali, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan orang
Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no.
494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa
kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang
tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum
dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula
sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi
itu menimbulkan perlawanan umum dikalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh
prakarsa Ki Hajar Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur
Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat kepada
segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil
Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara
lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo,
Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-
lainnya. Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers nasional
tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Mohammad Hatta
sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi
aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah, anggota Volksraad

Page
84
mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan
sebuah usul inisiatif.
Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik
kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan
yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-
wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret
1933. Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat
sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan
Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan akan
masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan
pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jenderal
tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru.
Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang
bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi
bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap
peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935
Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari
mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.

C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA


Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar
(Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini tidak semua guru
Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka.
Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Taman Siswa dalam menghadapi
kemerdekaan.
Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya
Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa sebagai
penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak
ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat
mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-
sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai warisan sistem pengajaran yang
lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap
diperlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah
nasional.
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa
dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman Siswa.
Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal ini
tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat
mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada
awal kemerdekaan menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama
didalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan
panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa dengan segala
isinya. Panitia ini diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima
dalam Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli
1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di
daerah pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar” tapi

Page
85
tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan “sekolah liar”
ketika sekolah di Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25 dibanjiri
oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah Taman Siswa yang
berada di daerah pendudukan, mereka berusaha mempertahankan sekolah mereka meski
Majelis Luhur di Yogyakarta tidak menyetujui diteruskanya sekolah di daerah pendudukan.
Tapi akhirnya majelis Luhur mengizinkan untuk membuka terus cabang-cabang Taman
Siswa di daerah pendudukan.

D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN


Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah
meninjau kembali hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dalam hal
penerimaan subsidi. Di kalang perguruan tinggi, banyak perbedaan dalam menghadapi
masalah ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi itu dan digunakan untuk
pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa besar pengaruhnya agar tidak menggangu
prinsip “merdeka mengurus diri sendiri” dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap
oposisi seperti pada masa kolonial karena dianggap tidak cocok saat Indonesia merdea.
Pada tahun 1946, sempat ada keterbukaan untuk menghadapi masa kemerdekaan untuk
merumuskan kembali sas dan dasar , namun dalam pelaksanaanya mengenai subsidi ini
masih banyak yang ingin memelihara keadaan seperti yang lalu.
Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama aliran
yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah,
merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri dan
terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan nasional. Caranya
ialah dengan tetap mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari masyarakat
sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat bahwa
perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial,
oleh karena perubahan perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat
menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya
mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.

L. PARINDRA (Partai Indonesia Raya)

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan : a. Memperkokoh semangat persatuan
kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu
pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.

Lahirnya Parindra

Page
86
Dalam kongres yang diselenggarakan pada tahun 1934 di Malang yang dihadiri 38
cabang dibicarakan komunikasi antar pulau agar dapat dilakukan melalui pelayaran yang
diperkuat oleh koperasi. Selain itu kongres akan memajukan pendidikan rakyat dan
kepanduan yang diberi nama Suryawirawan. Dilumpuhkannya gerakan nonkoperasi pada
tahun 1930-an mempercepat perkembangan kerjasama PBI dan BU. Usaha penyatuan
antarperhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan berdirinya Partai Indonesia Raya
(Parindra). Parindra merupakan hasil fusi dari Budi Utomo (BU) dengan Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI) dalam kongres fusinya tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo. Sebagai
ketua terpilih dr. Sutomo (PBI), dan Wakil Ketua, Wuryaningrat (BU) dengan kantor pusat
di Surabaya. Usaha penyatuan antar perhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan
berdirinya Partai Indonesia Raya (Parindra). Organisasi lain yang kemudian bergabung ke
dalam Parindra ialah Sarekat Minahasa, Sarekat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi,
Sarekat Selebes, dan Sarekat Sumatra.. Dengan terbentuknya Parindra berati persatuan
golongan koperasi makin kuat. Pada tahun 1936 partai itu mempunyai 57 cabang dengan
3.425 anggota.
Tujuan Parindra tidak jauh berbeda dengan PBI yang menginginkan Indonesia
mulia dan sempurna.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan usaha-usaha sebagai berikut.
a. Memperkokoh semangat persatuan kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan
nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.
Dalam politiknya Parindra bersikap non-koperasi yang insidentil artinya apabila
ada kejadian yang sangat mengecewakan organisasi itu, maka diputuskan untuk sementara
menarik wakil-wakilnya dari dalam badan perwakilan. Parindra sangat aktif dan
konstruktif terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk menolong
petani didirikan Perkumpulan Rukun Tani dan untuk memajukan pelayaran didirikan
Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), dan juga didirikan Bank Nasional Indonesia.
Untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan program-
program, yakni:http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4372079726298618840
1) Melakukan pencerdasan secara politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai
bekal
dalam menjalankan pemerintahan sendiri di masa depan;
2) Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras,
pendidikan dan kedudukannya;
3) Membentuk dan menjalankan aksi besar hingga diperoleh pemerintahan yang
demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan bangsa Indonesia;
4) Bekerja keras di setiap bidang usaha untuk meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik
secara ekonomis, sosial, maupun politis;
5) Mengusakan adanya persamaan dan kewajiban serta kedudukan dalam hukum bagi
seluruh warga Negara Indonesia.

Masa Kejayaan Parindra


Kongres Pertama yang diselenggarakan di Jakarta pada 15-18 bulan Mei 1937
diputuskan bahwa Parindra bersikap koperatif dan anggota yang ada dalam dewan harus
tetap loyal pada partainya. Dan dalam kongres tersebut menghasilkan keputusan sebagai
berikut: Parindra bukan bersikap koperasi atau non-koperasi. Tetapi dewan-dewan
perwakilan, ia mau mencampurinya, artinya bahwa anggota-anggota Parindra yang masih
duduk dalam dewan-dewan, mulai waktu itu bertindak sebagai wakil partai bahwa

Page
87
Parindra akan berusaha, supaya partai itu dapat menempatkan sebanyak-banyaknya wakil
dalam dewan-dewan dan oleh sebab itu cabang-cabang dibolehkan turut pada perjuangan
pemilihan. Jika dalam suatu hal ditentukan istimewa sikap partai dan sesuatu anggota
bersikap yang berbedaan dengan sikap itu, maka anggota itu harus memilih antara
pemecatan sebagai anggota partai atau menarik diri dari dewan. Jika sekiranya sikap partai
belum diketahuinya, maka anggota merdeka mengambil sikap sendiri, tetapi sikapnya itu
tidak boleh berlawanan dengan asas-asas partai semuanya.
Parindra mencapai kejayaan ketika pada saat itu Parindra dapat mendudukan
wakilnya dalam Volksraad, yaitu Muhammad Husni Thamrin. Parindra banyak melakukan
kritik terhadap Belanda, bahkan terhadap Petisi Soetarjo 1936, karena dinilai kurang
mengakomodasi kepentingan rakyat.
Parindra berjuang agar wakil-wakil volksraad semakin bertambah sehingga suara
yang berhubungan dengan upaya mencapai Indonesia merdeka semakin diperhatikan oleh
pemerintah Belanda. Perjuangan Parindra dalam volksraad cukup berhasil, terbukti
pemerintah Belanda mengganti istilah inlandeer menjadi Indonesier.
Anggota pengurus besar seperti M. Husni Thamrin, Sukarjo Wiryopranoto, dan
lain-lain telah mendorong Parindra hidup sebagai partai Nasional, yang dapat dikatakan
partai yang paling kuat pada waktu itu.
Dengan sikap moderat, Parindra dapat mendudukkan wakilnya di dalam
Volkrsraad, yaitu Muh. Husni Tamrin. Usaha Parindra lebih banyak dicurahkan dalam
pembangunan terutama di bidang ekonomi dan sosial, antara lain sebagai berikut:
a. Mendirikan poliklinik-poliklinik.
b. Mendirikan Rukun Tani untuk membantu dan memajukan kaum tani.
c. Membentuk sarekat-sarekat kerja.
d. Menganjurkan swadesi dalam bidang ekonomi, ditempuh dengan mendirikan bank-
bank yang berpusat pada Bank Nasional Indonesia di Surabaya.
e. Membentuk Rukun Pelayaran Tani (Rupelin), untuk membantu dan memajukan
pelayaran dari bangsa Indonesia.
f. Mendirikan organisasi pemuda berbentuk kepanduan dengan nama Surya Wirawan.
Selanjutnya diambil 2 mosi. Mosi yang pertama mengenai perlunya memperbaiki
pelayaran perahu bangsa Indonesia, kepada pemerintah akan didesak, supaya sedapt-
dapatnya membuka sekolah dengan selekas-lekasnya untuk mendidik pelayar-pelayar
bangsa Indonesia. Mosi yang kedua supaya menambah Rukun Tani sebanyak-banyaknya,
oleh sebab itu, umpamanya akan diminta kepada Pemerintah, supaya pengawasan atas
badan-badan itu dikurangi kerasnya dan supaya diadakan aturan lain tentang “badan-badan
hokum negari” (Inlandsche rechtspersonen). Parindra berusaha mencapai Indonesia Mulia.
Selama tahun 1934, dilakuakan propaganda amat banyak sekali. Untuk
memperbaiki perekonomian rakyat, Parindra membentuk organisasi rukun tani,
membentuk sarikat-sarikat sekerja, menganjurkan swadesi ekonomi, dan mendirikan
“Bank Nasional Indonesia”. Kongres kedua dilaksanakan di Bandung pada 24-27
Desember 1938.
Karena saat itu Dr. Sutomo sudah meninggal maka kongres memilih K.R.M.
Wuryaningrat untuk menjadi ketua partai. Dalam Kongres itu diambil keputusan-
keputusan, antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi anggota, berusaha keras
mengurangi pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi guna memperbaiki
kesejahteraan.
Sepak terjang Parindra begitu gencar. Parindra menjadi pelopor pembentukan
Fraksi Nasional, bahkan dengan kegagalam petisi Soertarjo, Parindra mengambil inisiatif
untuk menggalang persatuan politik, menuju pembentukan badan konsentrasi nasional.

Page
88
Badan Konsentrasi Nasional itu terbentuk pada Mei 1939, yang disebut Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).

Kesimpulan
Partai Indonesia Raya merupakan partai politik yang bergerak berdasarkan rasa
nasionalisme Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia Muliadan Sempurna.
Parindra menganut azas kooperatif, atau memilih untuk berkerja sama dengan
pemerintahan belanda.mereka melakukan ini dengan cara menjadi dewan-dewan untuk
waktu tertentu. Cikal bakal PARINDRA adalah indische studie club di surabaya yang
dipimpin oleh Dr. Sutomo. Pada tahun 1931 perkumpulan ini kemudian diubah menjadi
Partai Bangsa Indonesia (PBI).
Tujuan perjuangannya adalah untuk menyempurnakan derajat bangsa Indonesia
dengan melakukan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh rakyat banyak, seperti
memajukan pendidikan, mendirikan koperasi rakyat, mendirikan bank-bank untuk rakyat
dan juga mendirikan persatuan nelayan.
Tokoh tokoh yang mengikuti parindra antara lain Woeryaningrat, RM Margono
Djojohadikusumo, R. panji soeroso, dan Mr. soesanto tirtoprodjo, M. Husni Thamrin dan
Sukarjo Wiryopranoto
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa
Timur. Pada bulan Mei 1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya
diperkirakan memiliki anggota sebanyak 19.500 orang.
Perkembangan selanjutnya, banyak organisasi yang bergabung dengan parindra.
seperti Sarekat sumatra, sarekat ambon, kaum betawi, timor verbond dan sebagainya.

M. Pemufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal : 17 Desember 1927.
Tujuan : a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta
memperkuat dan memperbaiki organisasi
dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para
anggotanya yang dapat memperlemah aksi
kebangsaan.

(PPPKI) didirikan pada tanggal 17 Desember 1927. Anggopta PPPKI terdiri atas
Partai Nasional Indonesia, Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Tujuan PPPKI adalah :
a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta memperkuat dan
memperbaiki organisasi dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para anggotanya yang dapat
memperlemah aksi kebangsaan.
Pengurus PPPKI disebut Majelis Pertimbangan yang terdiri atas ketua,
penulis, bendahara, dan wakil-wakil dari partai-partai yang tergabung didalamnya.

Page
89
Pembentukan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).

Di kalangan pemimpin pergerakan nasional muncul gagasan untuk membentuk


gabungan (fusi) dari partai-partai politik yang ada. Tujuannya untuk memperkuat dan
mempersatukan tindakan-tindakan dalam menghadapi pemerintah kolonial. Usaha itu
dirintis oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Islamiten Bond, Pasundan, Persatuan
Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura. Pada bulan September 1926 berhasil
dibentuk Komite Persatuan Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil dengan
baik sehingga tidak satu pun organisasi gabungan (fusi) yang dihasilkan.

Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai sarekat Islam), Boedi Oetomo,
Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indinesische studieclib. Sidang tersebut
memutuskan untuk membentuk (PPPKI) dengan tujuan sebagai berikut.

Sebagai suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu, dibentuklah dewan
pertimbangan yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil partai-partai
yang bergabung. Dr. Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Ir.
Anwari dari PNI sebagai sekretaris.

N. Kongres Pemuda

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan :

1. Kongres Pemuda I

Keinginan untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh Perhimpunan


Indonesia (PI) dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) telah tertanam dalam
sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di
Jakarta diadakan kongres pemuda Indonesia yang pertama.

Dalam kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia
bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus
tumbuh di atas kepentingan golongan, bangsa dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan
tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak dikemudian hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabumgan (fusi).
Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, kongres
itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu.

2. Kongres Pemuda II

Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama,
tepatnya pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari

Page
90
perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu diantara lain Pemuda Sumatera, Pemuda
Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten
Bond, Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini
sengaja mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah
sebagai berikut.

Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI

Wakil ketua : Joko Marsaid dari Jong Java

Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond

Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond

Pembantu I : Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond

Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia

Pembantu III : Senduk dari Jong Cilebes

Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon

Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi

Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. persidangan
yang dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan
Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil
keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.

Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan dibacakan oleh
ketua kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya
diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R. Supratman
dengan gesekan biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para pemuda
pelajar Indonesia. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda
kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri kedalam satu wadah yang telah disepakati
bersama, yaitu Indonesia Muda.

Berkembangnya Taktik Moderat dan Kooperatif dalam Perkembangan Nasional


Berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan berulang pada akhir
tahun 1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis ekonomi itu tidak kunjung reda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge menyebabkan kaum
pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat menderita. Setiap gerakan yang
radikal atau revolusioner akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah kolonial
bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda.
3. Pada tahun 1930-an, kaum pergerakan nasional terutama yang berada di Eropa
menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme dan Naziisme mengancam kedudukan
negara-negara demokrasi. Demikian pula Jepang sebagai negara fasis di Asia telah

Page
91
melakukan ekspansinya ke wilayah Pasifik sehingga ada yang mendekatkan kaum
nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya
fasisme. Kesadaran itu muncul pertama kali di kalangan Perhimpunan Indoesia yang
terlebih dahulu telah melakukan taktik kooperatif.

O. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

Didirikan Oleh : 21 Mei 1939

Tempat / Tanggal :

Tujuan :

GAPI adalah organisasi kerja sama antara partai-partai politik di


Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1939. GAPI berdiri atas
prakarsa Muhammad Husni Thamrin. Anggota GAPI adalah Parindra,
Pasundan,Gerindo, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katolik
Indonesia.

GAPI membentuk pengurus yang disebut Secretariat Tetap. Pengurus


Sekretariat Tetap dijabat oleh Abikusno Cokrosuyoso dari PSII 9Penulis Umum ),
Muhammad Husni Thamrin dari Parindra (bendahara), dan Mr. Amir Syarifuddin dari
Gerindo (pembantu penulis).

GAPI beberapa kali mengadakan kongres. Pada Kongres Rakyat Indonesia


yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 1939 dihasilkan beberapa
keputusan sebagai berikut :

a. Menuntut Indonesia berparlemen. Tuntutan ini dilakukan sebagai reaksi atas


ditolaknya Petisi Sutarjo dalam Volskraad sehingga Volskraad dianggap bukan
parlemen.

b. Diakuinya Merah Putih sebagai bendera persatuan, Indonesia Raya sebagai lagu
persatuan, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pergerakan Kaum Wanita.

Pada awalnya pergerakan wanita Indonesia dilakukan oleh perorangan.


Pelopor pergerakan wanita pada masa itu adalah R.A Kartini dan R. Dewi Sartika
.Keduanya ingin mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan.

Perhatian yang besar dari R.A Kartini dan R. Dewi Sartika terhadap kaum
wanita telah mengilhami pergerakan kaum wanita untuk membentuk organisasi. Pada
awalnya tujuan organisasi perempuan itu untuk memperbaiki kedudukan sosialnya.
Namun, dalam perkembangannya organisasi itu juga berwawasan kebangsaan.

Pembentukan GAPI dipelopori oleh M.H. Thamrin dari Parindra.


Pelaksanaan program GAPI secara kongret mulai terwujud dalam rapatnya pada tanggal 4

Page
92
Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang
akan memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta persatuan dan kesatuan Indonesia.
Namun, sebelum aksi dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 Septamber
1939 terdengar kabar bahwa Perang Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam
pernyataan pada tanggal 19 September 1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan
penuh bahaya dapat dibina hubungan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan
Indonesia.
Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta pada tanggal
1 Oktober 1939. Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan rapat umum di
beberapa tempat. Dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dalam setiap aksinya GAPI
mendesak pemerintah agar membentuk parlemen yang dipilih dan dari rakyat sebagai
pengganti Volksraad dan dengan pemerimtahan yang bertanggung jawab kepada parlemen
tersebut. Untuk itu, kepala-kepala departemen harus digantikan menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen.

Tanggapan pemerintah kolonial Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10 Februari


1940 melalui menteri jajahan Welter yang menyatakan bahwa perkembangan dalam bidang
jasmani dan rohani akan memerlukan tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan. Sudah
barang tentu hak-hak ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para pemimpin.
Tanggung jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami kebijaksanaan
politik. Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kebijakan politik di Hindia
Belanda, tidak mungkin didirikan parlemen Indonesia yang mengambil alih tanggung
jawab tersebut.

Tentu saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih


meneruskan perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan
pendirian Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut aksi Indonesia Berparlemen.
Akan tetapi, kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada lagi. Pada awal Mei 1940,
Belanda diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri Belanda.
Meskipun negerinya sudah diduduki oleh Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur
setapak pun dari bumi Indonesia.

Sikap pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat
Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam
menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia tersebut,
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menjanjikan perubahan dalam
berbagai segi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus
disimpan dahulu hingga perang selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu
Wilhelmina menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian
ketatanegaraan Belanda terhadap keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan
daerah seberangdalam struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun ditunda
hingga Perang Dunia II selesai.

Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban warga negara


untuk mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah kolonial dengan alasan
bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan perang yang professional. Sikap
menunda itu pun diperlihatkan Belanda pada saat dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic
Charter) oleh Perdana Menteri Inggris Woodrow Wilson dan Presiden Amerika Serikat
F.D. Roosevelt yang menjamin hak setiap bangsa untuk memilh bentuk pemerintahannya
sendiri.

Page
93
Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat
adalah pembentuka Komisi Vismen (Commissie-Visman) pada bulan Maret 1941. Komisi
tersebut bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada berbagai
golongan masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan. Hasilnya diumumkan pada bulan
Desember 1941 yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah
Belanda.

Dr.Drs.H.MUHAMMAD HATTA

NAMA LAHIR :
 MUHAMMAD ATHAR ( Athar berarti harum )
LAHIR DI :
 12 Agustus 1902 di Fort de kock ( sekarang kota Tebingtinggi ), Hindia Belanda
MENINGGAL :
 14 Maret 1980 pada umur 77 dan dimakamkan Tanah kusir, Jakarta, Indonesia.
PENGHARGAAN :
 Bapak koperasi Indonesia

Page
94
 Bandara internasional Indonesia diberi nama BANDAR UDARA SOEKORNO –
HATTA
 Jalan di Belanda kawasan HAARLEM dengan nama Mohammed Hattastraat
 Salah satu PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA pada tanggal 23 Oktober 1986
JABATAN :
 wakil presiden ke I ( 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956 ) digantikan oleh SRI
SULTAN HAMENGKUBUWONO IX.
 Perdana menteri Indonesia ke 3 ( 29 Januari 1948 – 5 september 1956 ) yang
didahului oleh AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SUSANTO
TIRTOPRODJO 20 Desember 1949 dan MUHAMMAD NATSIR 5 September
1950.
 Menteri pertahanan RI ke 4 ( 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 ). Didahului oleh
AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX .
ISTRI :
 RAHMI RACHIM

ANAK :
 MEUTIA HATTA
 GEMALA HATTA
 HALIDA HATTA
AGAMA :
 Islam
TANDA TANGAN

KEHIDUPAN AWAL
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya
merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera
Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di BUKITTINGGI. Ayahnya
meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya
menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering
berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang
kesemuanya adalah perempuan.

PENDIDIKAN DAN PERGAULAN

Page
95
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya.
Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS
di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke
MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama
sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad,
dan beberapa ulama lainnya.

MASA STUDI DI NEGERI BELANDA

Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge
School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922,
perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang
menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun
1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan
baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu
terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI


pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi
yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi
Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia
dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di
bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga
akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI
sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.PI melakukan
propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa
dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang
memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta


memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville,
Prancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama
“Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar
dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga


Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang
diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan

Page
96
pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-
tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal
Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan
pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah
bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul
ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan
Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928,
mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan.
Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang
mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”,
dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul
Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan
untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

KEMBALI KETANAH AIR

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama
Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan
melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai
Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-
kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende,
Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan”
(10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para
pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven
Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di
penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul
“Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

MASA PEMBUANGAN

Page
97
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua
pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan
nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan
makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta
menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta,
pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah
Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat
pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup
banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan
mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan
Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan
bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936
keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr.
Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan
penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

KEMBALI KE JAWA : MASA PENDUDUKAN JEPANG

Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9
Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22
Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat.
Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya,
apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor
Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui,
bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya
sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata
terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang
demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi
pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.Selama masa
pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di
Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942
menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan
imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan
muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat
Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang
kembali.”

Page
98
PROKLAMASI

Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo
sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-
wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar
Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol,
sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang
terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik
memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan.
Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar
Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai.
mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.Soekarni
mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno
dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno


dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan
Pengangsaan Timur 56 Jakarta.Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden
Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

PERIODE MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda


yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati
dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak
Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri
Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India
dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI
melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi
kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan
Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Ratu Juliana.Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara

Page
99
Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

PERIODE TAHUN 1950 - 1956

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan
dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing
gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12
Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di
Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada
tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres
Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi
Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan
konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat
kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden
Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta
mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan
meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha
mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.Pada tangal 27 Nopember 1956,
ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum
dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan
pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa
gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran
di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik
perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor
Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor
Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju
Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran
Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.Dalam masa
pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya
daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia
Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah
menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs.
Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu
Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Page
100
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I”
pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.

Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik


Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret
1980.

AMIR SJARIFOEDDIN

Page
101
NAMA :

 AMIR SJARIFOEDDIN HARAHAP

LAHIR DI :

 , 27 April 1907 Sumatera Utara.

PARTAI POLITIK :

 PSI dan PKI

PROFESI :

 POLITIKUS

AGAMA :

 KRISTEN

JABATAN

 Perdana Menteri Indinesia ke 2 ( 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948 ) yang didahului


SUTAN SYAHRIL. Lalu digantikan MOHAMMAD HATTA.

 Menteri Pertahanan Republik Indonesia ke 3 ( 14 November 1945 – 29 Januari


1948 ) yang didahulukan oleh IMAM MUHAMMAD SULIYOADIKUSUMO.
Lalu digantikan oleh MUHAMMAD HATTA.

 Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia ke 1 ( 2 September 1945


– 12 maret 1946 ) lalu digantikan MUHAMMAD NATSIR.

MENINGGAL :

 19 Desember 1948 pada usia 41 tahun di Surakarta, Jawa Tengah.

Amir Sjarifoeddin Harahap berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi
pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati
oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.

Page
102
KELUARGA

Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan.


Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan
masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar
Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.

PENDIDIKAN

Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun
1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang
baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir
pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927
dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa
itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-
op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia
tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia
menumpang.

Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke
kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak
agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di
Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur
sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr.
Muhammad Yamin.

Amir pindah agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Bukti-bukti khotbahnya
di gereja Protestan terbesar di Batak Batavia masih ada sampai sekarang.

PERJUANGAN

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan


menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan
kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan
dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun
1936.

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,


menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam
menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-
rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada
awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin
menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan
memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan.
Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Page
103
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-
gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai
terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak
mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak
ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun
demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui
sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas
para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service),


instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir;
"ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata
takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan
Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan
fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa
ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum
Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet
Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali,
ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.

PERISTIWA MADIUN

Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya


membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir
Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus
sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA)
turut ditangkap beserta beberapa kawannya.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan,


kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah
satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang
penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari
rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang
pertama yang ditembak mati malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang
lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan
mereka di Benteng Yogyakarta

Dr.ERNEST DOUWES DEKKER

Page
104
NAMA :

 DOUWES DEKKER atau DANUDIRJA SETIABUDI

LAHIR DI :

 Pasuruan 8 Oktober 1879

PEKERJAAN :

 Politikus

 Wartawan

 Aktivis

 Penulis

PASANGAN :

 Clara Charlotte Deije

 Johanna P. Mossel

 Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

MENINGGAL :

 28 Agustus 1950 di usia 70 di Bandung, Jawa Barat

Page
105
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20,
penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan,
aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda
yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan
kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

MASA MUDA

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama


diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School,
sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi
"Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-
mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu
membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai
bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu
"Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[1] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan
manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani.
Akibatnya, ia dipecat.

PERANG BOER

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat


ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.
[2]
Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[1] Beberapa bulan kemudian kedua
saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu
kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan
pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda
terhadap warganya.

SEBAGAI WARTAWAN YANG KRISIS DAN AKTIVITAS AWAL

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen
pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan
membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman
yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar


terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De
Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas
jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu,
membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi
Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan
pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel
dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi

Page
106
bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische
principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda")
kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir
Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland
het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera
kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer
Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya
mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.[3]

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat
berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan
Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang
diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri
kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut
membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang
dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia
Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan
perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

INDISCHE PARTIJ

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak


banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda
murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-
posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi
menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji
yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit
karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk
posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih
orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini
dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia
Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan
mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua
orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia


menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri,
bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di
kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo,
meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih
dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912
Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan
partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[1][4]
Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam
waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini
sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan

Page
107
pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-
kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan
kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander


Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena
DD dan Cipto mendukung Suwardi.

DALAM PEMBUANGAN DI EROPA

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di


Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama
keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-
rendahnya", menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi
dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di
Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.

KEGIATAN JURNALIS DAN PERISTIWA POLANHARJO

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia


jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De
Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni
serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi
orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak
pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru
dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien
geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang
disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti
"Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het
buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai
organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan
perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan
Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang
Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh
Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan
petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena
dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde
cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang.
Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis

Page
108
hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai
redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis
"Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang
membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu,
melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan
yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

AKTIVITAS PENDIDIKAN DAN KSATRIAN INSTITUT

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan


kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan
melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya.
Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan
bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa
pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan
Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah
"Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang
instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan
bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang
materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan
pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung
dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan
politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga
dilarang mengajar.

KEGIATAN SEBELUM PEMBUANGAN.

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di


kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni
Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia
Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan
masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan
fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun
1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-
orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau",
akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang
Indocina Perancis. Ia juga dituduh komunis.

PENGASINGAN DI SURINAME

Page
109
DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana
ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama
Jodensavanne ("Padang Yahudi").[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah
menjadi tempat permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian
banyak pendatang yang membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang


waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini
kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat
dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak
segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan
dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina
Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke
Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena
DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok.
Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu
pada tanggal 2 Januari 1947.

PERJUANGAN PADA MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN DAN AKHIR HAYAT

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi
Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio
dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya
berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam
komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi
Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah
Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis"
meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah
satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember
1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam
rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi
kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah
berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya.
Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati
rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya


yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70
jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Page
110
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu
nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra,
Bandung.

PENGHARGAAN

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap


kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan
Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi.
Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan
Setiabudi di Jakarta Selatan.

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan
arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik
dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Page
111
HALIM PERDANAKUSUMA

NAMA :

 ABDUL HALIM PERDANAKUSUMA

LAHIR :

 18 November 1922 di Sampang, Madura, Jawa Timur

DINAS :

 Angktan Laut Hindia Belanda

 Tentara Nasional Indonesia

 Angkatan Udara

LAMA DINAS :

 1940 – 1947

PANGKAT :

 MARSDA

PENGHARGAAN :

 Pahlawan Nasional Indonesia

Page
112
MENINGGAL :

 Malaysia 14 Desember 1947 di usia 25 tahun dan dimakamkan di Taman Makam


Pahlawan Kalibata

Ia meninggal dunia saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia - Belanda di


Sumatera, yaitu ketika ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan
pesawat terbang dari Thailand.

GUGUR PADA TUGAS

Semasa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda


di Sumatera pada tahun 1948, Halim Perdanakusuma dan Marsma Iswahyudi ditugaskan
membeli perlengkapan senjata di Thailand. Keduanya ditugaskan dengan pesawat terbang
jenis Anderson. Pesawat terbang itu dipenuhi dengan berbagai senjata api, diantaranya
karabin, stun gun, pistol dan bom tangan.

Dalam perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh. Tidak diketahui


penyebabnya, namun diduga karena cuaca buruk atau karena ditembak (disabotase).
Bangkai pesawat terbang tersebut ditemukan di sebuah hutan berdekatan dengan kota
Lumut, Perak, Malaysia (ketika itu masih bernama Uni Malaya). Namun tim penyelamat
hanya menemukan jasad Halim, sementara jasad Iswahyudi tidak diketemukan dan tidak
diketahui nasibnya hingga sekarang. Begitu juga dengan berbagai perlengkapan senjata api
yang mereka beli di Thailand, tidak diketahui kemana rimbanya.

Jasad Halim kemudian sempat dikebumikan di kampung Gunung Mesah, tidak jauh
dari Gopeng, Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah Gunung
Mesah itu banyak bermukim penduduk keturunan Sumatera. Beberapa tahun kemudian,
kuburan Halim digali dan jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan kembali di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Ketika Perjanjian Haadyai antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya diadakan
pada tahun 1989, seorang Indonesia turut muncul dalam gencatan senjata tersebut. Seorang
penulis nasionalis Malaysia, Ishak Haji Muhammad (Pak Sako), menduga komunis warga
Indonesia tersebut ialah Iswahyudi.

PENGHORMATAN

Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim,


dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada
Bandar Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Pemerintah juga mengabadikan namanya
pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.

Page
113
SUTOMO

NAMA :

 SUTOMO

LAHIR DI :

 Surabaya, 3 Oktober 1920 Jawa Timur

AGAMA :

 Islam

JABATAN :

 Menteri Tenaga kerja dan Transmikrasi Republik Indonesia ke 10 ( 27 Agustus


1964 – 26 Maret 1966) yang didahului AHEM ERNINGPRDJA lalu digantikan
AWALUDDIN DJAMIN

MENINGGAL :

 di padang arafah 7 Oktober 1981

Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam


membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui
tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini
diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Page
114
Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama
Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai
asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran
Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah,
Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya
dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

MASA MUDA

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara


dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki
keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO,
Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi
yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat
korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia).


Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti
yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang
Indonesia.

PEMIMPIN PERJUANGAN PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung


dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi
anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang
mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat
penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang
menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu
Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali
dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh
dengan emosi.Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian
ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan
Indonesia.

SETELAH KEMERDEKAAN

Page
115
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada
tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung
politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang
mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia


pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus
Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili
Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde
Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11
April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-
kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun
semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk
bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah


mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat
dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya
berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak


menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam
agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang
menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji
yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah
air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat
Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

GELAR PAHLAWAN NASIONAL

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai
Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November
2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada
peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh
Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada
tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo berusaha sebagai penolong tukang
becak pertama yakni dengan mendirikan pabrik sabun melalui uang iuran tukang becak
untuk pendirian pabrik sabun. Pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk tukang becak akan
tetapi kelanjutan ide pendirian pabrik sabun berhasil nihil dan tanpa adanya
pertanggungan-jawaban keuangan.

Page
116
AGUS SALIM

NAMA :

 MASHADUL HAQ ( PEMBELA KEBENARAN)

LAHIR DI :

 Kota Gadang, Sumatera Utara 8 Oktober 1884

PROFESI :

 Jurnalis

 Diplomat

JABATAN :

 Menteri Negeri Republik Indonesia ke 3 (3Juli 1947 – 20 Desember 1949)


yang didahului oleh SUTAN SYAHRIR. Digantikan oleh MOHAMMAD ROEM.

 Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke 1 (12 Maret 1946 – 3 Juli 1947)
kemudian digantikan oleh TAMSIL.

MENINGGAL :

 4 November 1954 di usia 70 tahun di Jakarta.

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela
kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober
1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah
seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657
tahun 1961.

Page
117
LATAR BELAKANG

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-
anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika
lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab
Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada
Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja
sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan
Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus
berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian
Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan
Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam.

KARYA TULIS

 Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia

 Dari Hal Ilmu Quran

 Muhammad voor en na de Hijrah

 Gods Laatste Boodschap

 Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi
koleganya, Oktober 1954)

KARYA TERJEMAHAN

 Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya


Shakespeare)

 Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)

 Sejarah Dunia (karya E. Molt)

KARIR POLITIK

Page
118
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi
pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.Peran Agus Salim pada masa
perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

 anggota Volksraad (1921-1924)

 anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945

 Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947

 pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama


Mesir pada tahun 1947

 Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947

 Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.Di antara tahun
1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga
kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat
Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya
dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya
tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-
batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku
dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu
diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.

Page
119
Dr. SOETOMO

NAMA :
 Dr.SOETOMO

LAHIR DI :
 Ngepeh, Loceret, Nganjuk 30 Juli 1888 Jawa Timur.

KEBANGSAAN :
 Hindia Belanda

MENINGGAL : 30 Mei 1938 pada usia 49 di Surabaya, Jawa Timur.

Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli


1888 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun) adalah
tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot


Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah
Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah
lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa
dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada
tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.

Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa
Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada

Page
120
tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra
(Partai Indonesia Raya).

ZAINUL ARIFIN

NAMA :

 K.H.ZAINUL ARIFIN

LAHIR DI :

 Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara 2 September 1909.

JABATAN :

 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ke 2 ( 1960-1963) yang didahului oleh


SOEKARNO. Kemudian digantikan oleh ARUDJI KARTAWINATA.

 W akil Perdana Menteri Indonesia (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) didahului oleh
PRAWOTO MANGKUSASMITO. Kemudian digantikan DJANU ISMAIL.

MENINGGAL : 2 Maret 1963 di usia 53 di Jakarta

Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan (lahir di
Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2
Maret 1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka
yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan
NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.

Page
121
MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN

Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin
Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal
Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Ketika Zainul masih balita kedua
orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke
Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah
menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan
agama di Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin
juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu,
Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan
awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun
Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).

DARI GEMEENTE KE GP ANSOR

Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial


(Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta
Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat
resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda.
Keluar dari gemeente Arifin kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan
mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan
Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi
masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa
latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun
aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari
tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Zainul.
Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan
tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan
Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang
ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.

Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin meningkatkan


pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda lewat
pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan
berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk
Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah
Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU
Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di
perusahaan air minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat
menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu
Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak
memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan
Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU,
mula-mula sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua
Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

MENJADI PANGLIMA HIZBULLAH MASYUMI

Page
122
Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam
kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam
pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.

Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam


(utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah
pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model
kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian
dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik
semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat.
Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara
Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi
pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan
perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

PASKA PROKLAMASI KEMERDEKAAN

Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite


Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang
tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama
masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat
karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar
Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam
memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga
yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi
Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan
Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas
terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi,
Sumatera Barat.

Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang


melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah
melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia,
Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya,
ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima
menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah,
ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur
politik.

BERKIPRAH DI LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF

Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin
kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai
NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952.
Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil

Page
123
perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua
tahun penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU
selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan
Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri
sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula
Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden
Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja
Saud. Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil
menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah
kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen
sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam
Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959
karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan
kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi
pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham
NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama
yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

KARIR POLITIK

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR.
Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian
partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika
menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali
Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi
Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante
sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai
DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei
1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru
yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden.
Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan
dibahunya selama sepuluh bulan.

Page
124
MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

NAMA :
 MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

LAHIR DI :
 Weltevreden, Batavia, Hindia Belanda 16 Februari 1894

PEKERJAAN :
 Politikus

PENGHARGAAN :
 Pahlawan Nasional Indonesia

MENINGGAL :
 11 Januari 1941 di usia 46 tahun di makamkan di taman pemakaman umum

karet bivak, Jakarta

Mohammad Husni Thamrin (lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari


1894 – meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang
politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.

KEHIDUPAN AWAL

Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda, pada 16


Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia

Page
125
dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak
menyandang nama Belanda. Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan
pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama
Noeraini.Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana dibawah gubernur jenderal
Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te
Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan
Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.

KARIER

Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang
pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili
kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui
Parindra. Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Hindia Belanda
(sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada
tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda
pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum
kematiannya, ia ditahan tanpa alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh
diri namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU
Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang
kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari
Belanda.

Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek
perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an .

Page
126
SOERJOPRANOTO

NAMA :

 RADEN MAS SOERJOPRANOTO

LAHIR DI :

 Jogjakarta 11 Januari 1871

DIKENAL KARENA :

 Pahlawan Nasional Indonesia

MENINGGAL :

 15 Oktober 1959 di umur 88 di Cimahi, Jawa Barat

Raden Mas Soerjopranoto (Ejaan Soewandi: Suryopranoto) (lahir di Jogjakarta, 11


Januari 1871 – meninggal di Tjimahi, 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun) adalah salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-3
oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 November 1959).Ia dimakamkan di Kotagede,
Yogyakarta.

LATAR BELAKANG DAN PENDIDIKAN

Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soeryaningrat


(Ki Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia
adalah putra sulung dari Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, yang mana sang
ayah sendiri adalah putra tertua dari Paku Alam III. Ini berarti Suryopranoto adalah anak
laki-laki pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi
batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.

Page
127
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya
"disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk
Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS,
Suryopranoto mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang
kurang lebih setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang
setara dengan SMP.

Lulus dari kursus tersebut, Suryopranoto diterima menjadi pegawai kantor


pemerintahan kolonial di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena
menempeleng seorang pejabat kolonial berkulit putih.

Sekembalinya dari Toeban, Suryopranoto langsung diangkat sebagai wedono


sentono di Praja Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan
kepala bagian administrasi istana.

Pada tahun 1900, Suryopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi


Kaskaya. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi
Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901,
Suryopranoto mendirikan sebuah klub pertemuan dengan nama Societeit Sutrohardjo.
Klub ini kurang lebih merupakan sebuah perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub
ini, orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar dan majalah.

Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin


berkurang. Mereka sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-
kampung. Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh
pejabat kolonial sebagai gangguan ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya
dengan Suryopranoto sebagai pendirinya. Oleh karena itulah pejabat kolonial
"menyekolahkan" Suryopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah
Menengah Pertanian) di Bogor.

PERJUANGAN

Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Paku


Alaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam
tubuh kerabat Paku Alaman itu, terutama Sri Paku Alam ke-II telah mengalir darah rakyat
jelata yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta,
yang bernama Ronodigdoyo.

Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam
perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada
Pangeran Mangkubumi, adik Sultan Pakubuwono II. Sebab itu kepadanya dijanjikan
kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan
kemenangan.

Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat
Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan
Hamengku Buwono ke-I, Sri Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ronodigdoyo
pada kedudukannya sebagai prajurit.

Page
128
Karena sakit hati, maka Ronodigdoyo meninggalkan istana tanpa pamit dan
kemudian mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan
kemudian beranak tiga orang, yaitu : Prawironoto, Prawirodirdjo, dan seorang anak
perempuan, Sedah Mirah (Sirih Mirah).

Dikemudian hari putera mahkota, yang nantinya menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono ke-II, yang belum tahu menahu asal usul Sedah Mirah, telah jatuh cinta kepada
gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ronodigdoyo terangkat
dengan sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sri Sultan Hamengku
Buwono Ke-I.

Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik
tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-II, dan Sedah Mirah diangkat menjadi
permaisuri, bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan (atau Kencana Woengoe). Dari
permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan tiga orang anak, puteri semua, dan
ternyata ketiganya diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang
penting dalam sejarah, dan menurunkan pejuang-pejuang bangsa. Yang Pertama adalah
Kanjeng Ratu Ayoe yang kemudian menjadi permaisuri Sri Paku Alam ke-II dan menjadi
asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Aoejopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara.
Yang Kedua, Kanjeng Ratu Anom yang diperistri oleh Adipati Madiun dan kemudian yang
Ketiga, Kanjeng Ratu Timoer, yang deperistri oleh Patih Sedolawe dan menurunkan
Gondokoesoemo, yang cukup dikenal dalam Perang Diponogoro (1825-1830).

ASAL-USUL KELUARGA

Soerjopranoto dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari tahun 1871 sebagai


putera tertua dari Kanjeng Pangeran Haryo Soerjaningrat putra sulung Sri Paku Alam III
( yang tidak dapat menjadi Paku Alam IV karena buta ). Pakualaman adalah daerah
Kulonprogo.

Istri beliau bernama Djauharin Insjiah putri almarhum Kyai haji Abdussakur,
Penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas, telah wafat terlebih
dahulu dalam tahun 1951 pada usia 67 tahun.

Selain disekolahkan Soerjopranoto mendapat didikan di rumah tentang budipekerti.


Dan sesuai dengan adat pusaka kebangsawanan beliau diwajibkan mengerti dan
memahami senitari, kerawitan (gamelan), seni sastra (membuat sajak, syair, nyanyian
jawa). Menjelang dewasa mulailah Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan,
perekonomian, kemasyarakatan, sejarah, keTuhanan dan lain sebagainya. Perpustakaan
beliau meliputi kurang lebih 3500 buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Dia kemudian
berhasil mendapat ijasah Klein Ambtenaar.

Karena dipandang terlalu "lastig" (membuat onar) di dalam masyarakat Yogyakarta


atas usaha Assistent Resident beliau "dibuang" ke Tuban )Gresik) sebagai pegawai di
Controleurs-Kantoor. Di sini beliau membela teman pegawainya hingga menempeleng
atasannya (seorang Belanda). Ia minta berhenti dan segera pulang kembali ke Yogyakarta.
Untuk menghindari tindakan hukum pemerintah Hindia Belanda atas dirinya, pamannya

Page
129
Pangeran Sasraningrat yang berpangkat Gusti Wakil mengangkatnya menjadi Wedana
Sentana, dengan titel "Panji" di Praja Paku Alaman.

Karena masih dianggap sebagai "Pengganggu", Assistent Resident "membuang"


beliau ke Bogor dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Eropeesch Afdeling)
dengan surat tugas langsung ditanda tangani Gubernur Jenderal sebagai "izin
istimewa".Disini ia tinggal dirumah orang Belanda bernama Van Hinllopen Laberton yang
menganut ajaran teosofi yang membenci penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa.
Soerjopranoto merasa manamukan sahabat, guru kawan dan orangtua sekaligus. Pada
tahun 1907 ia berhasil mendapat ijasah Landbouwkundige dan Landbouw-leraar.

Disamping itu beliau memahirkan diri dalam bela diri : yaitu Kuntau dan Toya dari
seorang Tionghoa dari Kanton.

Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan
surat pada adiknya dengan ajakan atas nama pemuda masyarakat + pelajar-pelajar Bogor
kepada student Stovia untuk mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh
dianggap sebagai voorloper (pendahulu) dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi
ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.

Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah
Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent)
untuk daerah Wonosobo, Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau
berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus
merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah pertanian.

Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang
Asisten Wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena
keanggotaannya itu, maka beliau sebagai pembela keadilan dengan protes keras
menyobek-nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci
dihadapan Residen Belanda atasannya sambil kontan minta berhenti.

Selanjutnya beliau bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah
Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan fikirannya pada
perjuangan pergerakan politik menentang penjajahan.

AKTIVITAS DALAM PERGERAKAN

Soerjopranoto di zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara


lain:

 BOEDI OETOMO

Sepulang beliau ke Yogyakarta pada tahun 1908 beliau menggabungkan diri pada
perkumpulan "Boedi Oetomo". Segera bbeliau diangkat menjadi Sekretasis Pengurus
Besar Boedi Oetomo berkedudukan di Yogyakarta (periode setelah Dwidjosewojo).

Page
130
 Perasuransian Jiwa O.L.Mij Boemi Poetera (awalnya Onderlonge
Levensverzekering Maatschappij PGHB)

Dalam periode ini untuk mendirikan Maskapai Asuransi Jiwa dikemukakan oleh Pak
Dwidjosewojo dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta akhir tahun 1910.

Kongres menerimanya dengan aklamasi tapi pelaksanaannya tertunda-tunda.


Kemudian pada permulaan tahun 1912 Pak Dwidjosewojo mengemukakan ide itu kepada
Kongres Perserikatan Guru-Guru Hindia Belanda (PGHB) di Magelang. Usul itu diterima
dengan gembira pada tanggal 12 Februari 1912, Dengan nama "Onderlinge
Levensverzekering Maatschappij PGHB". Karena beratnya biaya, sedang verzekerden
belum banyak yang masuk, maka pengurus mengajukan permohonan supaya diberi subsidi
sebesar F 300 (tigaratus gulden) dengan syarat bahwa Maskapai hanya dibuka untuk
pegawai negeri bangsa bumi putera. Dewan Komisaris pada masa itu dibentuk yang terdiri
dari R.M. Dwidjosewojo, R. Sastrowidjono, R.M. Soerjopranoto dan Dr. R. Soestandar
yang tidak menerima honorarium apa-apa. Seka itu namanya diubah menjadi O.L.Mij
Bumi Putera.

 Barisan Kerja (=Arbeids leger) Adhi Dharma

Tidak puas bergerak dalam Boedi Oetomo karena tidak bersifat kerakyatan dan tidak
revolusioner, beliau minta diri keluar setelah usul beliau untuk mendinamisir menjadi
pergerakan rakyat ditolak.

Soerjopranoto tidak tinggal diam, beliau memperluas aktivitasnya sendiri langsung


dikalangan rakyat jelata dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja
A.D) Pada tahun 1915 di Yogyakarta yang organisasinya disusun seperti di dalam
ketentaraan ("eenstrijdend leger") sampai kepelosok-pelosok dusun, di lereng-lereng dan
di puncak-puncak gunung ada wakil-wakilnya.

Anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Adhi Dharma (=kebaktian


yang luhur) bergerak di ekonomi. Usaha-usahanya a.l : meliput tabungan, koperasi
pertukangan, pendidikan, kesehatan perbantuan nasihat hukum dan kesemua usahanya
didasarkan atas gotong royong.

Selain itu ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat umum (rakyat kecil pada
khususnya) yaitu S.R.-S.M.P.-Sekolah Guru-Schakel-School.

Kegiatannya yang lain adalah mengadakan ceramah-ceramah/diskusi-diskusi tentang


soal-soal kemasyarakatan dan pergerakan. Hasilnya antara lain timbulnya Yong Islamieten
Bond dengan ketuanya Sjamsuridjal yang adalah adik bungsu dari ibu Soerjopranoto, yang
dikemudian hari menjadi walikota (Gubernur) pertama Jakarta.

Beberapa usahanya yang lain antara lain mengadakan kursus-kursus pemberantasan


buta huruf dan kerajinan tangan bagi kaum wanita yang diadakan pada tiap sore hari Jumat
khusus untuk menampung wanita-wanita desa (luar kota) yang pulang dari berdagang di
pasar.

Dia juga membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-
orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar, sehingga mudah ditipu dan diperlakukan

Page
131
sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh-praja. Pada masa ini beliau menerbitkan
buku "Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan
gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Untuk membantu rakyat umum mendirikan koperasi gotong-royong dengan nama


"Mardi Kaskoyo" yang terbuka bagi para keluarga kaum pergerakan dan rakyat umum.

Selain itu ia mendirikan penerbitan penyuluhan "Medan Budiman". Dalam periode


Adhi Dharma pada menerbitkan buku kecil berjudul " kekuatan bathin" (de kracht die
overwint).

Karena pertumbuhan Adi Dharma pesat dan besar luas pengaruhnya, lagi terang-
terangan aksi-aksinya dalam membela keadilan terhadap kesewenang-wenangan alat-alat
pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi
Dharma dilarang, kantor-kantor Markas Besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan
menakut-nakuti anggota-anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas
reserse polisi dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua
badan-badan pendirinya. Akan tetapi B.K.A.D bagaimana pun juga telah berhasil :

1. menggugah jiwa rakyat kecil akan kesadaran harga dirinya.

2. merupakan persiapan penggalangan gerakan rakyat jelata, gerakan buruh dan tani
terbukti dalam periode berdirinya Personeel Fabrick Bond (gula) tahun 1917,
Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera, Serikat Buruh Pegawai Jawatan
Candu dan Garam dll.

baca buku karangan Prof. Pringgodigdo berjudul : " Sejarah pergerakan Politik".

 Partai Sarikat Islam

Beliau masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera
menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga beliau
menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi
orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik
diselenggarakan di jalan Kepatihan Paku Alaman Yogyakarta, beliau adalah seorang
gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto
(dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).

Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa


kemenangan klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus
dicapai dengan aksi bersenjata tapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan
"pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian
hari memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang
bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917
P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond) di jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang
pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik gula madu Kismo. Dengan perbuatan
ini Soerjopranoto melaksanakan teori pada prakteknya. Pemogokan ini begitu luas dan
hebat sehingga oleh " De Express" beliau disebut "De stakings Koning" (=Raja

Page
132
Pemogokan). Yang dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek
Economische Bond) dibawah pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-
Tuan Pabrik).

Sebagai ide tentang bentuk ketatanegaraan telah dikemukakan pula dalam kongres
tersebut. Suatu sentral Serikat Sekerja yang terdiri dari buruh dan buruh tani akan menjadi
"Eerste Kamer" dari perwakilan rakyat,sedang "Tweede Kamer"nya merupakan perwakilan
partai-partai politik. Kedua Kamer ini yang akan merupakan "Dewan Rakyat" yang
sesungguhnya, yang akan dapat mempersatukan tenaga untuk beraksi menentang modal
dari penjajah asing.

Ketika pada tahun 1908 Dr. E.F.E.Douwes Dekker (1879-1950) seorang indi yang
berayah Belanda dan ibu Jawa, berhasil menggeser kedudukan Zaalberg (Hoofd-redakteur
yang reaksioner) menjadi pemimpin redaksi dari "Bataviaasch-Nieuwsblad" maka ia
segera memasukkan pembantu-pembantu tetapnya, orang-orang pergerakan seperti
Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Dr. Tjipto dan Goenawan Mangunkusumo dan lain lain.

Ini dalah suatu infiltrasi yang amat efektif dan merupakan jasa pertama dari Dr.
E.F.E. douwes Dekker (alias Danudirdja Setiabudhi), seorang kerabat jauh E. Douwes
Dekker (Multatuli).

Sesuai dengan rencana perjuangan SI maka didirikanlah perhimpunan-perhimpunan


buruh. Program ini menjadi tanggung jawab Soerjopranoto dan ia pun menjadi pemimpin :

1. Opium-regie Bond

2. Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B) mulai periode Sosrokardono.

3. Personeel Fabrieks Bond (P.F.B) yang dalam tahun 1912 mengadakan pemogokan
atas modal gula di onderneming-onderneming Belanda.

4. Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), mulai dari Abdul Noeis, Semaoen
dan H. Agus Salim. Ini organisasi gabungan dari 22 Sarekat Buruh.

5. Redaksi "Fajar" kemudian "Mustika" (sesudah H. Agus Salim) kemudian juga


Redaksi "Pahlawan", (Kaderblad dari Opium-regie Bond) dan "Suara Berkelahi"
(Kaderblad dari P.P.K.B).

Selama menjadi orang partai Sarekat Islam beliau pernah masuk penjara sampai tiga
kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan atas hasil
tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang
(1926-6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin) selama 16 bulan (1933),
dengan peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.

Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut
membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr.
Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi.
Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini beliau tidak pernah aktif karena agaknya merasa
kecelok (salah kira) sebab azas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang

Page
133
diangan-angankan sebelumnya. Tenaga dan pikirannya terutama dicurahkan untuk
kemajuan P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi Dharma Institut (didirikan tahun
1917 di Yogyakarta, dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang serta Kotaraja).
Antara tahun 1933 dan 1935 masuk dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung
dengan tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia yang ditulis secara jelas sederhana
untuk rakyat jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme
dan Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat
memberikan diri dalam menuntut akan hak-haknya.

Karena kesehatannya banyak sekali terganggu, sepulangdari Sukamiskin dan


kekuatannya sudah mengurang kerena tambah tua, maka beliau terpaksa membatasi diri
dalam lapangan partai Islam Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya duna
kemajuan sekolah Adhi Dharma. Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam
tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan,sejarah,ekonomi,etnologi,geografi) pada
orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tapi
mempunyai kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksud beliau ialah untuk
mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Akan
tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang dicabut kembali dengan perantara tuan
Gobius advisuer van Inlandse zaken).

Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma di zaman Jepang
dibubarkan dan partai-partai dilarang maka beliau kemudian menjadi guru (sampai 1947)
ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk
menhindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini beliau juga
menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).

ERA SETELAH KEMERDEKAAN

Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, beliau tidak


sedikit memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada
waktu itu beliau menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang
ilmu Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian
dasar pada golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang
melaksanakan perang kemerdekaan.

Pada era 1949 sampai dengan 1958 beliau sudah berhenti sama sekali dari aktivitas
dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi :

1. Simpatisan P.S.I.I dan simpatisan aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.

2. Anggota kehormatan Kongres Rakyat

Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 beliau meninggal dunia disebabkan usianya
yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah
dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara
pamakaman sebagai Perwira Tinggi.

Dengan keputusan Presiden beliau diangkat sebagai :

Page
134
 Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI (Kep. Presiden RI No. 310)

 Mahaputra, tingkat II Republik Indonesia (17 Agustus 1960, dianugerahi secara


anumerta).

Pada semasa hidupnya beliau beristrikan seorang puteri bernama R.A. Djauharin
Insijah, puteri seorang Penghulu Agama Islam dari Karanganyar-Banyumas H. Abdussakur
yang pada waktu itu menjabat ketua Dewan Agama daerah Banyumas. Ibu Soerjopranoto
ini adalah puteri yang sangat saleh dan tebal imannya serta kuat rasa keagamaannya.
Dalam hidupnya sebagai Ibu yang banyak anaknya beliau tetap setoa dalam
kegembiraannya dengan apa adanya. Dalam masa remajanya dilahirkan dalam keluarga
yang sangat berada, kini beliau harus menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang
pejuang yang keras, yang tak kenal kompromi itu. Meskipun begitu beliau dapat
menyesuaikan diri bahkan mendampinginya sedapat-dapatnya dengan "jiwanya" yang
penuh iman itu.

Hidup dalam keadaan yang amat sederhana, serta kekurangan boleh dikatakan
terpencil (banyak orang yang takut bergaul) karena mudah dituiduh sebagai golongan
pemberontak anti Belanda atau komunis karena sangat radikal, suaminya keluar masuk
penjara, karena kerap tersangkut perkara-perkara politik (seluruhnya 6 kali - 3 kali dalam
perkara-perkara besar) suatu kehidupan yang berketentuan dengan harus memelihara
banyak anak, para pemmbaca dapat membayangkan betapa sulitnya bagi beliau ini. Ia
dapat mengalami perjalanan sejarah bangsa hingga tahun 1951. Jadi setelah pengunduran
tentara Belanda dari Yogyakarta dan keamanan agak pulih kembali, dalam keadaan
tentram, setelah lama menderita penyakit jantung dan darah rendah.

Dalam hidupnya beliau besar jasanya untuk kepentingan rakyat sekitar kampung
tempat tinggalnya. Banyaklah amal yang ditinggalkan sebagai seorang Muslimat yang
saleh sebagai manusia biasa, kasih sayang pada sesama. Banyaklah yang mengantar
jenazahnya sampai ke Pemakaman Keluarga (Rachmat-Jati" di Gambiran (Kota Gede)
Yogyakarta. Banyak yang ditinggalkannya, mengenangkan kesuciannya, kesetiaannya
serta keteguhannya, dan sahabat-sahabatnya yang meneteskan air mata karena rasa haru.
Semoga Tuhan Yang Maha Tahu memberi kelapangan pada beliau di alam kubur. Ia
meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1951.

'''Beberapa ucapan dari kawan-kawan seperjuangannya :''' Bapak ALIMIN : (Dalam


bukunya " Riwayat Hidupku"). Soerjapranoto meskipun beliau tidak ada hubungan politik
yang bersangkutan dengan PKI, saya tetap menghargai jasa-jasa beliau dihari-hari yang
lampau. Soerjopranoto adalah satu-satunya orang dari kalangan Kaum Ningrat yang
pertama-tama berjuang di tengah-tengah massa. Kira-kira dalam tahun 1914/1916 ia
mengorganisir gerakan-gerakan umum (yang pertama kalinya di Indonesia) pun diseluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga ia mendapat julukan "Raja Pemogokan (De
Staking Koning). Soerjopranoto sangat digemari oleh para warga Sarekat Islam.
Soerjopranoto adalah orang yang kedua dalam kalangan SI sesudah H.O.S. Cokroaminoto.
Saya mengenal Soerjopranoto sebagai seorang yang sangat sederhana, seorang yang
terhindar daripada watak yang ijdel (congkak-penulis) dan boros.

Semaun : Soerjopranoto bukan anggota P.K.I (Semaun adalah pendiri P.K.I tetapi
kemudian keluar dan mendirikan Partai Murba).

Page
135
H. Van Kol : (Catatan dalam sebuah buku "De vak - vereniging") "Dit boek over de
Vakvereniging Aangeboden door iemand, die ten volle sympathiseert men Uw streven het
Lot der misbedeelden te verzachten - 5 Januari 1923. "Soerjopranoto.........een intensief,
werkzaam en dadenrijk leven". Artinya, "Buku tentang pergerakan vak ini dipersembahkan
padamu, oleh seorang yang menaruh simpati dengan perjuanganmu guna meringankan
nasib rakyat yang dalam segala0galanya serba kekurangan dalam hidupnya.
Voorschtenwijk 5 Januari 1923. Soerjopranoto........seorang yang intensif, bekerja keras
dan hidupnya penuh dengan tindakan (Terjemahan penyusun).

K.H. Agus Salim : Hij is opliegend vanwege de reinheid zijner gedachten. (Dia cepat naik
pitam karena kemurnian pikirannya). Bersama KH. Agus Salim, Soerjopranoto menjadi
saah seorang pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di
Yogyakarta.

Zaalberg (redaktur Bataviaasch Niewsblad) : Dia meberi julukan untuk Soerjopranoto "de
Javaanse Edelman met een ontembare wil" (bangsawan Jawa dengan tekad yang tak
terjinakkan).

Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali


dipenjara belum juga berkurang perlawanannya, akhirnya mereka mencoba menawarkan
kedudukan yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink.
Soerjopranoto tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas sebagai berikut :

"Waarde Heer Resink" De strijd gat mij eerst om de harde klappen. Politieke
tegenstellingen worden voorlopig nog op straat uitgevochten (Beliau menolak duduk
sebagai anggota). Artinya : Tuan Resink Yth, Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu untuk
perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian
dijalan-jalan. (terjemahan penyusun).

Sesobek kertas yang isinya kutipan dicatat dari buku "Strijden en worstelen om de
overwinning" isi seperti berikut : "In strijd of in Zaken, in alles wat gij doet, gelde een
regel, als goud, ja zo gaat het de worsteling om macht wees dat uw motto : 'Vertrouw Uw
eigen kracht'". Artinya : di dalam pergolakan atau sesuatu urusan, dalam segala hal yang
kau perbuat, berlaku satu dasar, bagaikan emas, demikian tinggi nilainya, di dalam
berjuang untuk sukses atau kekuasaan ini adalah semboyannya : "Percaya pada kekuatan
diri sendiri" (terjemahan penyusun)

Page
136
KARTINI

NAMA :
 RADEN ANJENG KARTINI

LAHIR DI :
 Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda 21 April 1879

DIKENAL KARENA :
 Emansipasi Wanita

PASANGAN :
 R.M.A.A. SINGGIH DJOJO ADHININGRAT

MENINGGAL :
17 September 1904 di usia 25 di Rembang, Jawa tengah

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

BIOGRAFI

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri
pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti

Page
137
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A.
Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng
Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah
Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini
belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan
pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun
kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip
beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,
otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara
buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-
Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu
De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang
bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya
Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan
sebagai Gedung Pramuka.

Page
138
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada
tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini
meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu,
Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan


Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan
Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

SURAT-SURAT

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat
itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku
itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak
sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul
yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang
merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi
buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-
surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan
Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian


masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini
yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita
Kartini.

PEMIKIRAN

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat


itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi
keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu
dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan
Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu
atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan

Page
139
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme
(cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya


adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan
dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia
untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada
berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."
Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang
dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus


dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki
seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya
meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat
mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada
akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap


dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan
rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya
Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon,
Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan
pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya
sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah
membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala
itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya
mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Page
140
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan
egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini
hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.

BUKU

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan
oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat
sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah
Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format
yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini
juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia
membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian
tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan
pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane
juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap
Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku
acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan
lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,
surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula
yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab
pembahasan.

 Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya


Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda,
saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen
pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan
surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai
bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi
terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul
terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa,
yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa
Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang
ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga
dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
Suaminya.

Page
141
 Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini,
An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak
hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada
Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost
Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan
Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-
surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH
Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah,
Kartinah, dan Soematrie.

 Panggil Aku Kartini Saja

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran
Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya
Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan
data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.

 Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat
buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis
untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara
berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat
tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon
bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun
sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang
vegetarian.[3] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal
dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon.
Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

 Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903

Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903


diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah
lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan
dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini
kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang
selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara
tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Page
142
KONTROVERSI

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat
Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk
yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar
naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno,
jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan.
Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari
Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia
lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini
seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut
mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga
tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami
juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan
berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang
tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan
adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah
berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan
nasional.

PERINGATAN HARI KARTINI

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108


Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Nama jalan di Belanda

 Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu
jalan utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang
menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve
Biko, Che Guevara, Agostinho Neto.

 Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan


Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan
Mathilde Wibaut.

Page
143
 Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan
Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-
nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa
Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.

 Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta,


Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua
Republik Maluku Selatan.

SOEPOMO

JABATAN :
 Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ke 1 (19 Agustus
1945 – 14 November 1945 ) lalu digantikan oleh SOEWANDI.

NAMA :
 Prof. Mr. Dr Soepomo

LAHIR DI : Sukoharjo, Jawa Tengah 22 Januari 1903


AGAMA : Islam
MENINGGAL : 12 September 1958 di usia 55 tahun, Jakarta.

Prof. Mr. Dr Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa


Tengah, 22 Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-
undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Sukarno

Persatuan Pendidikan Dr.soepomo

Sebagai putra keluarga priyayi, Ia berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS


(Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere
Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche
Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri
Sragen (Soegito 1977).

Page
144
Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van
Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia
dan ahli hukum internasional, salah satu konseptor Liga Bangsa Bangsa. Thesis doktornya
yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta
(Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria
tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial
yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam
bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini
dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen
kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektivitas
Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Franz Magnis-Suseno "Etika Jawa"
dan tulisan-tulisan Ben Anderson dalam Language and Power sebagai tambahan acuan
tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo).

PEMIKIRAN

Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan Soegito
(1977) berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Marsilam
Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di
Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Simanjuntak
menilai Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat
dengan ideal Soepomo, kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan ulang.

MENINGGAL DUNIA

Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun
1958 dan dimakamkan di Solo.

Page
145
SUTAN SYAHRIR

NAMA :
 SUTAN SYAHRIR

LAHIR DI :
 Padang Panjang, Sumatera Barat 5 Maret 1909

ISTRI :
 Maria Duchateau

 Siti Wahyunah

MENINGGAL :
 9 April 1966 di usia 57 di Zurich, Swiss.

JABATAN :
 Perdana Menteri Indonesia ke 1 ( 14 November 1945 – 3 Juli 1947) kemudian
digantikan oleh AMIR SJARIFOEDDIN.

 Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ke 2 (14 November 1945- 12 Maret


1946) didahului oleh R.A.A WIRANATAKUSUMA. Lalu digantikan oleh
SUDARSONO.

 Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke 2 ( 14 November 1945-3 juli 1947 )


didahului oleh ACHMAD SOEBARDJO. Digantikan oleh AGUS SALIM.

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera


Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun)
adalah seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai

Page
146
Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir
mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan
sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Syahrir
ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966
melalui Keppres nomor 76 tahun 1966 .

RIWAYAT

Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan
Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat [2] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa
(landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka.

Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik
di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan
novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma
Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.

Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam
Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan
juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja
Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang


bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga
berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari
keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.

Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih
terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927,
Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,
Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang
menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang
mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung
sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang
temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran
yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu
dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.

Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas


Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat
dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial
Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar.

Page
147
(Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan
Miriam Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari
teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang
mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif –
saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan
organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh
Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah
Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan
memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai
Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan
kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar
pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka
sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah
milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi
tugas utama pemimpin politik.

"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju


“ kemerdekaan," katanya. ”
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah
air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi
Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman
mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam
pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat.
Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933,
Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin
PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak
kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan
politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan
PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas,
lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke
arah tujuan revolusionernya.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan
beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria
di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa
pembuangan selama enam tahun.

Page
148
MASA PENDUDUKAN JEPANG

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin
memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk
merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah
kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan
kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.

Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:

Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun


“ kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan

tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan
Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi
mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa
menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian
ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk
merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir
siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan
sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari
pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang.
Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu
berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna
mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus.
Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

MASA REFORMASI

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk
berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis
meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan
pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan
Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari
noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan
dalam memperjuangan kedaulatan republik.

Page
149
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta
persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang
Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan
peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak


berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan
kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan
karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan
anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas


solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan
dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya
tak membawa kejernihan.

Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-
surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu
disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara
sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang
memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."

Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk
Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon
Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai
Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri.

PENCULIKAN

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni
1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah
Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini
menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%), sedangkan kabinet yang
berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan
14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan
Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah
peristirahatan di Paras.

Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi
Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14
pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.

Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.

Page
150
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan
Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen
Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia
tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para
pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman.
Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto
sebagai perwira keras kepala (koppig).

Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan
tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan
Tindakan Saya.

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan


perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen
tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan
para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di
Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal
Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil


dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan
pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang
gagal.

DIPLOMASI SYAHRIR

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri,
tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2
Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat
melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November
1946.

Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.

Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-


lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas
teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang
sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar
energi itu tak meluap dan justru merusak.

Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak


mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’
masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah
bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja

Page
151
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet
Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan
pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni
kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan
nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa


revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis
di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman
kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa
orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh,
merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib
sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan
propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian
diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh
serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram,
dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio
Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi
peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-
orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu
pemimpinnya dipukuli.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet


Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947)
konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol
menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih.
Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara
sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan
pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui
eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21
Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III),
Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik,
Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi
dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB.
Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh
kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang
sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil
merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di
gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal

Page
152
mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai
persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan
seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang
diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi
sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan
PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa
surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.

Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan
delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar
sampai tahun 1950.

PARTAI SOSIALISASI INDONESIA

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden


Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai
Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari
gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran
Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian
sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan
menjunjung persamaan derajat tiap manusia

HOBI DIRGANTARA DAN MUSIK

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si


Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah
menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke
Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga
bisa memainkan biola.

AKHIR HIDUP

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[4], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden
Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga
1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah
itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah
menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara
Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di
Swiss pada tanggal 9 April 1966.

KARYA

1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat
Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)

Page
153
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933

3. Perjuangan Kita, tahun 1945

4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-


karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira,
dari tahun 1934 sampau 1938).

5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda:


Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)

6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh


Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)

7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische


Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)

8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara
Sosialis” tahun 1952 – 1953)

9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada


Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)

10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain

11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir
diterbitkan oleh Leppenas)

JABATAN

1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia

2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)

3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati

4. Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indones

Page
154
DEWI SARTIKA

NAMA :

 DEWI SARTIKA

LAHIR DI :

 Cicalengka, Bandung 4 Desember 1884

DIKENAL SEBAGAI :

 Perintis Pendidikan Wanita

Page
155
PASANGAN :

 Raden Kanduruan Agah Suriawinata

MENINGGAL :

 11 September 1947 di usia 62 di Tasikmalaya

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11


September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Biografi

Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan
Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya
bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat,
Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka.
Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara
wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen
berkebangsaan Belanda.

Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan
untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-
anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda
yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum
ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan
oleh seorang anak perempuan.

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya
yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini
didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan
yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum
wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun
karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa
meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Page
156
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.
Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah


ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada
tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri
di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki
usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri
(Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum
memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke
Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh
wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya
pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya


yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman
Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Page
157
MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

4 Januari 1800
Lahir Abubu, Nusa Laut, Maluku, Hindia
Belanda
2 Januari 1818 (umur 17)
Meninggal
Laut Banda, Maluku, Indonesia

patung di Ambon, Maluku; patung di


Monumen
Abubu

Page
158
Pekerjaan Gerilyawan
Tahun aktif 1817
Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari


1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah
seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada
waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah
Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas
Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu
seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara
kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan
masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen
terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur.
Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain
berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau
Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam
pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi
semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap
medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut
berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau
Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang
rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang
harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu
divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari
hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi
akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari
1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Perjuangan
Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari
1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun
ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu
yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di
Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Page
159
Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke
Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang
akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.

Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh


mengatas-namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober
1817 Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena


semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke
pegunungan Ulath-Ouw. Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu
beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak


ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100
orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar
kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya


bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak
sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu
roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele


menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu,
srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah)
terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada


pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada
kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan
pertempuran.

Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai
leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas
kapal Eversten.

Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum


terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini
dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan
rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali
melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di
hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan
dirampok habis-habisan.

Page
160
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap
dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah
Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat
muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang
Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar


pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam
terhadap sang Ayah.

Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes


memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.

Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke
Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati
bagi ayahnya.

Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat
eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng
Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa.

Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan


berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina
Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau
Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.

Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan.

Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina
Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun


1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai
Pahlawan Nasional.

Page
161
OTTO ISKANDAR DI NATA

31 Maret 1897
Lahir
Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat
Meninggal 20 Desember 1945 (umur 48)

Page
162
Tangerang, Banten, Jawa Barat
Agama Islam

Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret


1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak
Harupat.

Awal kehidupan

Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten


Bandung. Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah
anak ketiga dari sembilan bersaudara.[1]

Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)


Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian
Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa
Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta
perkumpulan Perguruan Rakyat.

Pra kemerdekaan

Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah


menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924,
serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia
menjadi anggota Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo.

Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia
menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-
1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik,
ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.

Oto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang
dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.

Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-
1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah
pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan
Indonesia.

Pasca kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada


kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan
terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
melaksanakan tugasnya, Oto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan pada salah
satu laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok orang yang bernama
Laskar Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.[2].

Page
163
Pahlawan nasional

Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat


Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama
"Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.

Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di
Indonesia.

Keluarga

Sutradara Nia Dinata adalah salah seorang cucunya.

Ahmad Dahlan

1 Agustus 1868
Lahir
Yogyakarta
23 Februari 1923
Meninggal
Yogyakarta

Page
164
Pendiri Muhammadiyah
Dikenal karena
dan Pahlawan Nasional
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti K.H. Ibrahim
Agama Islam
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Pasangan Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Anak Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah

Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah
puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada masa itu.

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali
adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam
di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana
'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki
Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung
Kauman, Yogyakarta.

Page
165
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak
Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro,
Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik
Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]

KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi

Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah


Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup
menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-
gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-
Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan


resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama
baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul
dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-
macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah
OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi.
Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada


Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya
boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.

Page
166
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari,
Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung
Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.

Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah,


diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[5] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu
alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
[6]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van
Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan.
Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada
saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[7].

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan


mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama
makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921
Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah


Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan
anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).

Pahlawan Nasional

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa


Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;

Page
167
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan


pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan

Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori


kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat
dengan kaum pria.

Tjipto Mangoenkoesoemo

Dr. Cipto Mangunkusumo atau Tjipto Mangoenkoesoemo (Pecangakan,


Ambarawa, Semarang, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara
ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan
sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh

Page
168
dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide
pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913
ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan
aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.

Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.

Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil
jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad.
Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke
Banda.

Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

Perjalanan Hidup

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia


adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar
di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di
Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.

Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi


kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang
yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif
bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh
beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas
Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di
Jakarta.

Pendidikan

Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang


berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai
pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang
berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga
mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-
temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-
ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong
eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.
Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya.
Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir,
lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang
diskriminatif.

Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya,


seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai
pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di

Page
169
Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme.
Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi
yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja
pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat
cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai
pakaian tradisional.

Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang


sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907
Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang
kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik
hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat.
Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat
umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup
bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau
kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau
kaum ningrat lainnya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai
contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu
pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya,
peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang
pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas
warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam
perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-
besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada
orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan
warna kulit.

Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat


teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam
berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi
mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan
bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia
tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke
sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki
dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga)
mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto memaki-
maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa
Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat
orang-orang Eropa terperangah.

Budi Utomo

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk
kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri
politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan
perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan

Page
170
antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan
ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.

Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto
menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi
pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai
tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan
kebudayaan yang bersifat Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan
keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat
dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi
jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang
tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat
tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di
Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat
dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan
rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.

Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan


diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak
ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan
progesifnya.

Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo.
Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela
kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang
bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi
setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan
Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama
dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya,
yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij
merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia
Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.

Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat
dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres
dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan
itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.
Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.

Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari


Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda.
Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera
yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite
perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam
komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan
akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya
meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut.

Page
171
Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa
upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat
merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De
Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een
Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian
De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan
kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia
Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar
surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes
Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap
melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan
masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh


yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische
Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai
tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto,
Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan
organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia
yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh
mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia
Poetra pada 1916.

Insulinde

Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali
ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang
menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde
untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde
dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar
berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula
berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota
Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde
di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni
1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan


Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-
calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan
cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan
maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya

Page
172
dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah
Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto
sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya
terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan
penjajah dengan kedok demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan


persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto
menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan
bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata
menjadi 28 gulden.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang
yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15
Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke
daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke
daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap
membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada
Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu
juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke
Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali
membuka praktik dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di
Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti
Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927
Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto
tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui
sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu
wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin
Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa
ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.

Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi
pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang
ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap
dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu
peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi
yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan
rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu,
tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu.
Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu
tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian
memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.

Page
173
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang
mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena
dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi
uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu
Cipto. Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian


mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk
menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak
politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada
melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940
Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai
meninggal pada 8 Maret 1943.

Wahid Hasjim

Menteri Agama Republik Indonesia ke-1


Masa jabatan

Page
174
30 September 1945 – 14 November 1945
Presiden Ir. Sukarno
Didahului oleh Tidak ada, jabatan baru
Digantikan
Rasjidi
oleh
Masa jabatan
6 September 1950 – 3 April 1952
Presiden Soekarno
Didahului oleh Masjkur
Digantikan
Fakih Usman
oleh
Informasi pribadi
1 Juni 1914
Lahir Jombang, Jawa Timur, Hindia
Belanda
19 April 1953 (umur 38)
Meninggal
Cimahi, Jawa Barat, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Suami/istri Solehah binti K.H. Bisri Syansuri
K.H. Abdurrahman Wahid
Aisyah Hamid Baidlowi
K.H. Salahuddin Wahid
Anak
dr. Umar Wahid, Sp.P
Lily Chodijah Wahid
Hasyim Wahid
Agama Islam

Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni
1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah
pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia
adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim
Asy'arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di
Tebuireng, Jombang.

Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah
badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan
Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin
Masyumi beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan
umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944
beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh
KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI
dan PPKI.

Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan,


politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Page
175
Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini
pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal
1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia
relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur
dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan
pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola
pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu
umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid
juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.

Meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama,


butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum
akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun
kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet
(Hatta, Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama
dan bangsa.

Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari
"Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran
seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan
inklusif.

Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi
tanggal 19 April 1953.

DAFTAR PUSTAKA

http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/07/26/lahirnya-nasionalisme-di-indonesia/

http://sifull.blogspot.com/2013/03/parindra-partai-indonesia-raya.html

Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo sampai proklamasi


1908-1945. Yogyakarta: pustaka pelajar (anggota IKAPI).
http://shalahuddinzulfin.wordpress.com/2012/05/31/partai-indonesia/

http://ssbelajar.blogspot.com/2012/06/lahirnya-partai-indonesia-raya-parindra.html

"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Partai_Indonesia_Raya&oldid=7435294"

"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gabungan_Politik_Indonesia&oldid=6638435"

Page
176
"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nasionalisme_Indonesia&oldid=7348124"

http://masyarakatsejarahindonesia.blogspot.com/2009/09/perkembangan-nasionalisme-di-
asia-dan.html

http://xcacingpanasx.blogspot.com/2012/11/lahirnya-nasionalisme-indonesia.html

http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/05/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html

http://www.kumpulansejarah.com/2013/06/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html

http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/muncul-dan-berkembangnya-pergerakan.html

http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/08/biografi-ir-soekarno.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.59-61

Ibid, hal.76

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:


Graffiti, 1977, hal.73-74

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.73

Ibid, hal.79

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009,
hal.395

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.80

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.102

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.84

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hal.212

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.408

Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.70

Page
177
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,
op.cit, hal.75

Google, H.O.S Tjokroaminoto, (Online), http://www.google.com, diakses 21 Mei 2010

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.100

Ibid, hal.102

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.146

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.107

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit,


hal.313-314

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit,hal.155

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, op.cit, hal.301

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942


op.cit, hal.188

Ibid, hal.192

Ibid, hal.195-199

Ibid, hal.205-206

Ibid, hal.215

Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003, hal.190

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996,
hal.278

John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia, Tahun 1927-


1934, Jakarta: LP3ES, 1983, hal.81

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942


op.cit, hal.217

John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia, Tahun 1927-


1934, op.cit,

Page
178

Anda mungkin juga menyukai