Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zaman Revolusi Fisik (1945-1949) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang
dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh
pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat
tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia
melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri.
Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan
dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya
membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam
kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari
kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa rakyat
Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah.1
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II (1939-1945) membawa pengaruh bagi
perkembangan sosial-politik di Indonesia. Tentara pendudukannya yang otoriter dan represif
tidak lagi berdaya di Indonesia. Pada pertengahan bulan Agustus 1945 keadaan yang terjadi
sedemikian rupa sehingga mengarah ke dislokasi sosial. Kekuatan-kekuatan bersifat
revolusioner dari masyarakat – yang selama ini dibungkam oleh rezim militer – mencuat ke
permukaan dan mengalir laksana air bah yang dahsyat. Arus revolusi, dengan demikian, telah
dimulai dan sepertinya sulit untuk dikendalikan.2 Dalam suasana yang seperti itulah pers
republik bermunculan. Kehadirannya dimaksudkan selain untuk memberikan penerangan dan
koordinasi bagi hasrat besar masyarakat yang ingin bebas-merdeka, juga untuk memahami
visi dari para pemimpin bangsa tentang bentuk kemerdekaan yang dicita-citakan.3
Pada masa ini pemerintahan Indonesia mengalami goncangan setelah datangnya
kembali Belanda yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. Dalam hal ini,
tentunya masyarakat Indonesia tentunya tidak ingin dijajah kembali oleh bangsa mana pun.
Berangkat dari hal itu, pers-pers Indonesia berusaha untuk menjaga semangat kemerdekaan
Indonesia supaya persatuan Indonesia tidak merasa takut dengan datangnya Belanda yang
ingin menjajah lagi.
Dalam makalah ini, kami berusaha menguraikan mengenai kondisi pemerintahan
Indonesia pada masa revolusi, pers yang ada pada masa revolusi, proses terbentuknya PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar), serta peranan pers

1
Yahwa, Revolusi Fisik, dalam http://yahwa-ki.blogspot.co.id/2014/02/revolusi-fisik.html, di akses pada tanggal
7 Oktober 2018 pukul 19.14 WIB. Dalam tulisan aslinya tahun 1945-1950 kemudian oleh pemakalah diganti
menjadi tahun 1945-1949, karena pada umumnya periode Revolusi Fisik adalah tahun 1945-1949.
2
Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 98, yang dikutip oleh
Andi Suwirta, Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi Indonesia
1945-1947, Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Aula
Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2005),
hlm. 1.
3
Ulrich Kratz, Peranan Pers dalam Revolusi, dalam Collin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi:
Sebuah Antologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm.49-51, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Ibid.,
hlm. 1.
Page | 1
pada masa revolusi. Selain itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai penyalahgunaan pers
pada masa revolusi Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi?
2. Bagaimana Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
3. Bagaimana Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS
(Serikat Perusahaan Suratkabar)?
4. Bagaimana Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?
5. Bagaimana Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?

C. Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi.
2. Untuk mengetahui Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan
SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar).
4. Untuk mengetahui Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.
5. Untuk mengetahui Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi
Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi

Page | 2
Sumber: scribd.com
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, mengakhiri
Perang Pasifik dan menamatkan riwayat kekuasaan tentara Jepang di Indonesia yang telah
berlangsung lebih kurang tiga setengah tahun lamanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945
berkumandanglah ke seluruh dunia, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.4
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang maka
muncullah tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945, pihak
sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada
pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian tanggung jawab atas Indonesia akan dipindahkan
dari Komando Pasifik barat daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris dibawah
pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali menduduki kembali
Indonesia dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan Jepang.5
Pemerintah Pusat Republik Indonesia segera dibentuk di Jakarta pada akhir agustus
1945. Pemerintah menyetujui konstitusi yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan
Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang
memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak
akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala
negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Soekarno diangkat sebagai presiden
dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa hanya merekalah yang dapat
berurusan dengan pihak Jepang.6
Tidak adanya ketentraman pada hari-hari sesudah diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh kedatangan tentara pendudukan
sekutu yang diwakili tentara Inggris, yang di dalamnya ikut pula tentara Belanda untuk
maksud dapat menduduki kembali Indonesia secara berangsur-angsur, maka kantor-kantor
Pemerintahan Republik Indonesia yang baru mulai bekerja, berpindah ke Yogyakarta. Untuk
sementara waktu Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia yang berlangsung sampai
akhir tahun 1949 dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.7

4
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: PT TRIYINCO, 1977), hlm. 35.
5
Yahwa, Revolusi Fisik.
6
Yahwa, Revolusi Fisik.
7
Kusnadi, Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan, dalam
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&ved=0CC8QFjA
EOApqFQoTCO7a1O6AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F%2Farchive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fu
ploads%2Ftexts%2F93101%2520periode%2520revolusi%2520fisik%2520kemerdekaan.pdf&usg=AFQjCNFf
Page | 3
Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa sekali pada
saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang mencakup
periode 1945-1950 adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi. Perubahan yang
fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang dalam beberapa
kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial. Perubahan yang
fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan struktur kolonial dan
feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.8
Pergolakan-pergolakan sosial ini sering merupakan suatu proses waktu yang singkat
dengan gerakan radikal yang intensif, misalnya keganasan, penculikan, pembunuhan dan lain
sebagainya. Kadangkala pergolakan sosial itu berjalan dalam proses waktu yang lama. Dalam
konteks Revolusi Indonesia ini, pergolakan-pergolakan sosial ini timbul karena terjadinya
transformasi sosial dan pohtik yang secara mendadak, dan erat dengan nilai-nilai Revolusi
Indonesia, seperti anti kolonialisme, anti feodalisme, patriotisme, nasionalisme,
radikalisme, idealisme, dan heroisme. Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional yang
menghasilkan kemerdekaan dan pembentukan bangsa. Oleh sebab itu anti kolonialisme
menjadi suatu kehidunan politik yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia.9

B. Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia

Sumber: IndocorpCircles.wordpress.com
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh
Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak
Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri untuk
memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung
memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan jalan bagi
kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk
mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan

XD_2k7t2OoLH9KYh7YrAitEWnQ&sig2=Bq6G0kcA2peVgPT7BEY70w&bvm=bv.103073922,d.c2E, di
akses pada tanggal 7 Oktober 2018 pukul 19.15 WIB.
8
Suyatno, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989),
hlm. 1.
9
John Dunn, Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political Phenomenon, (London:
Gambridge University Press, 1972), hlm. 124, yang dikutip oleh Suyatno, Revolusi Nasional Lokal, hlm. 1-2.
Page | 4
Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi
bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.10
Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut
berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa
pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan
mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakan-
percetakan yang dikuasai Jepang.11
Periode Revolusi Fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang
selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik. Kedua golongan ini sangat berlawanan. pers Republik disuarakan oleh kaum
Republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menetang usaha penduduk
Sekutu. Pers benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha
mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di
Indonesia.12
1. Pers Republik

Sumber: arindyamedda.wordpress.com
Kira-kira sebulan setengah setelah proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), surat-
suratkabar resmi yang semula milik Jepang diambil-alih dan diubah menjadi surat kabar milik
Republik. Pengambilalihan biasanya dilakukan oleh para pemuda-pelajar yang punya
pengalaman di bidang jurnalistik. Begitulah, misalnya, surat kabar Asia Raya di Jakarta,
Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari di Yogyakarta, dan Soeara
Asia di Surabaya, berubah menjadi surat kabar Merdeka (1 Oktober 1945 – sekarang), Soeara
Merdeka (September 1945 – Juli 1947), Warta Indonesia (September 1945 – Nopember

10
Tribuana Said, Sekilah Sejarah Pers Nasional, dalam http://pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-sejarah-
pers-nasional, di akses pada tanggal 7 Oktober 2018 pukul 19.19 WIB.
11
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
12
Hasan, Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia, dalam http://kulpulan-
materi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html, di akses pada tanggal 7 Oktober
2018 pukul 19.19 WIB.
Page | 5
1945), Kedaulatan Rakjat (27 September 1945 – sekarang), dan Soeara Rakjat (Oktober 1945
– Juli 1947).13
Surat kabar di kota-kota lain juga bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Hal
itu sejalan dengan anjuran pemerintah, selain keinginan dari masyarakat sendiri, untuk
mendirikan suratkabar sebanyak mungkin sebagai manifestasi dari revolusi Indonesia yang
demokratis. Maka di Jakarta, selain surat kabar Merdeka, terbit pula Berita Indonesia, Ra’jat,
dan Negara Baroe; di Bogor ada Gelora Rakjat; di Cirebon ada Republik dan Genderang; di
Magelang ada Penghela Rakjat; di Yogyakarta, selain Kedaulatan Rakjat, ada Al-Djihad,
Boeroeh, dan Nasional; di Surakarta ada Lasjkar, Soeara Moeda, Menara Islam, dan Perintis;
di Madiun ada Api Rakjat; di Mojokerto ada Bhakti; di Malang ada Berdjoeang, dan
sebagainya.14
Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif dan Amelz menerbitkan Semangat Merdeka (18
Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli terbit kembali, kali ini dipimpin Mohammad Said
dan Amarullah Ombak Lubis. Ini terjadi pada bulan September 1945. Kemudian Mimbar
Oemoem dengan redaktur Abdul Wahab Siregar, Mohammad Saleh Umar dan M. Yunan
Nasution (bulan November). Di Medan juga terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di
Padang terbit Pedoman Kita di bawah Jusuf Djawab dan Decha, serta Kedualatan Rakjat
pimpinan Adinegoro dengan dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir Salam,
Sjamsuddin Lubis, Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di Palembang terbit Soematra
Baroe dipimpin Nungcik Ar.15
Di Ujung Pandang, waktu itu masih bernama Makassar, terbit harian Soeara Indonesia
di bawah Manai Sophiaan. Di Manado terbit Menara (Desember 1945) atas prakarsa G.E.
Dauhan. Di Ternate, Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949, 1951, 1952), menerbitkan
mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu Hassan Missouri. Di samping surat
kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh
Merdeka di Medan (Oktober 1945) yang diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara
Baroe di Jakarta yang dipimpin Parada Harahap.16

2. Inggris Mengekang Pers Republik


Sejak pasukan pendudukan Inggris mendarat di Indonesia dengan membawa satuan-
satuan tentara Belanda, pers nasional dan para wartawannya terus menghadapi berbagai
macam tindakan kekerasan pihak musuh berhubung karena tulisan-tulisan dan berita-berita
mereka selalu mendukung kepentingan RI. Di Medan, harian Sinar Deli dipaksa Inggris untuk
berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli dipaksa berhenti pada bulan Maret 1946,
sementara A.O. Lubis dan pemimpin percetakan Syarikat Tapanuli, Rachmat, ditahan selama
tiga minggu. Begitu pula, Wahab Siregar dari Mimbar Oemoem ditahan, dan percetakan

13
Tentang perubahan surat kabar dari Asia Raya ke Merdeka; dan Soeara Asia ke Soeara Rakjat, lihat JR.
Caniago et al., Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka, 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987),
hlm.23-34, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka., hlm. 2.
14
Wartini Santoso, Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984, (Jakarta: Perpustakaan
Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar
Soeara Merdeka., hlm. 2.
15
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
16
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 6
Soeloeh Merdeka diduduki oleh pasukan Inggris. Di Padang, percetakan yang menerbitkan
Oetoesan Soematra diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia
diserbu serdadu Belanda sehingga terpaksa pindah percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah
dari harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris. Di Makassar, Manai
Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda dan terpaksa mengungsi ke Jawa. Di
Bandung, kantor Tjahaja dirusak tentara Jepang dan sejumlah wartawannya disekap. Di antara
wartawan-wartawan Republik yang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti Melik, Wonohito,
P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar Tjokroaminoto, Siauw Giok Tjan, Tabrani dan
Adam Malik.17
Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan aksi teror serdadu Belanda di Jakarta,
pemerintah Republik memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak itu,
perjuangan pers nasional terbagi antara mereka yang beroperasi di wilayah kekuasaan efektif
Republik dan mereka yang terus bertahan di daerah pendudukan Sekutu/ Belanda yang rawan.
Pers Republik yang melaksanakan misi perjuangan di kota-kota yang diduduki musuh, selain
yang sudah disebut di atas dan masih terbit, adalah sebagai berikut:
Di Jakarta tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada (terbit
mulai Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang. Di Bukit Tinggi, Detik. Di Palembang,
Obor Rakjat (eks Soematra Baroe) yang terbit 1 Juli 1946. Fikiran Rakjat, Soeara Rakjat (eks
Obor Rakjat). Di Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat, Gelora Rakjat, Neratja,
Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan Rakjat, Toedjoean Rakjat dan Patjoel. Di
Semarang, Warta Indonesia. Di Makassar, Pedoman, Proletar dan beberapa mingguan serta
berkala. Di Minahasa, Soeara Pemoeda. Beberapa koran Republik, seperti Merah Poetih
pimpinan Abdul Azis, melakukan gerilya setelah mengungsi dari Surabaya dan pindah ke
Modjokerto. Merah Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri
dan satu lagi di Malang. Di Malang selatan terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo
Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah terbit Menara Rakjat di bawah pimpinan Sutan Usman
Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan adiknya Sugijono dan Muljono
menerbitkan Gerilja Rakjat dan Berita Gerilja. Di Maluku sendiri kemudian terbit Soeara
Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.18
3. Pers Belanda
Perkembangan pers Republik yang secara teguh menyokong kemerdekaan Indonesia
telah memaksa Belanda untuk menerbitkan pula medianya sendiri sebagai tandingan. Kantor
berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan kembali. Di masa lalu, Aneta
terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan perjuangan kemerdekaan. Karena
pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dewan perwakilan republik waktu
itu, pernah mengeluarkan keputusan hanya mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor
berita nasional Indonesia.19
Salah satu basis penerbitan pers Belanda adalah Makassar. Dari kota ini surat kabar-
surat kabar pendukung Belanda diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Ada pun koran-koran
pro Belanda yang pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost Indonesie Bode (kemudian

17
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
18
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
19
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 7
berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara Baroe (kemudian bernama Indonesia
Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda lainnya adalah Het Midden (Semarang), De
Courant (Bandung), De Lokomotief (Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java
Bode, Het Nieuws van de Dag dan De Nieuwsgiers (Jakarta). Sebagian surat kabar-surat kabar
Belanda tersebut dapat tetap terbit sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang
kampanye menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat) pada
tahun 1958.20
Terbitnya surat kabar-surat kabar Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan
pengekangan militer Inggris dan Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers
nasional untuk terus menyiarkan berita tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan
menentang siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Pers Republik mendukung
upaya diplomasi internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik menghadapi Persetujuan
Linggarjati (15 November 1946) maupun Persetujuan Renville (17 Januari 1948), apa lagi
terbukti pihak Belanda sendiri telah menginjak-injak persetujuan tersebut dengan melancarkan
Agresi Militer pertamanya pada bulan Juli 1947 dan Agresi Militer kedua pada bulan
Desember 1948.21
Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers
Republik secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda,
seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura
(1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur
(1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap
pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut. Pengalaman dan
pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari perlawanan terhadap pendudukan
tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 September
1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah
meneguhkan perjuangan mereka menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional
yang melandasi berdirinya Republik Indonesia.22

C. Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat


Perusahaan Suratkabar)
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai
patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang
untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran
sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan
guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri
secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Kedua
peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara
Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik.
Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada

20
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
21
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
22
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 8
umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-
cita kemerdekaan.23
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana
yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan
mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan
kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk
membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara. Bahkan dengan
kelahiran PWI, wartawan Indonesia menjadi semakin teguh dalam menampilkan dirinya
sebagai ujung tombak perjuangan nasional menentang kembalinya kolonialisme dan dalam
menggagalkan negara-negara noneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.24
Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi
fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan,
sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat
kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar
(SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa
barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi komersialnya,
mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha
mempertahankan pengaruhnya.25
Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat
bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946.
Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”.
Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu wartawan dari
seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam wartawan, yaitu tokoh-
tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang
wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:
Disetujui membentuk organisasi wartawan Indones dengan nama Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo
Tjokrosisworo. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
a. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
b. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
c. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
d. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
e. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
f. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
g. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
h. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).
Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas
mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha

23
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
24
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
25
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
Page | 9
mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan
harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisa-
sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat
perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk
keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”26
Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh
Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian komisi
bertemu lagi di kota itu bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang Komite Nasional
Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. Komisi bersidang dan
membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya sepakat perlunya segera
membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar, waktu
itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.27

D. Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia


1. Pers Republik sebagai Pers Perjuangan
Pada masa revolusi Indonesia, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers
Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa
hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama
adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers Republik
Indonesia semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka
(Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin,
Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.28
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan kita
dicetuskan, dengan sendirinya adalah parallel dengan perjuangan rakyat Indonesia dalam
mendirikan dan memperkuat Republik Indonesia yang baru lahir ini, sebagai tanggung jawab
yang harus dipikul dengan adanya proklamasi itu. Malahan di antara wartawan kita, tidak
sedikit jumlahnya yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi dan
penggalangann persatuan rakyat guna menghadapi usaha-usaha kaum penjajah yang ingin
kembali ke Indonesia. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh
bagi para wartawan kita.29
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan
meletusnya revolusi bangsa Indonesia, sangat mencemaskan tentara pendudukan Jepang yang
ketika itu masih berada di Indonesia dan masih memiliki segala alat kemiliteran dengan serba
lengkap. Pimpinan tentara/ pemerintahan Jepang yang telah kehabisan semangat dan hanya
mengharapkan lekas tibanya tentara pendudukan Sekutu yang akan menggantikan tugas

26
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
27
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.
28
Hassan Gunawan, Pengertian dan Sejarah Pers, dalam
http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-dan-sejarah-pers.html, di akses pada tanggal 7
Oktober 2018 pukul 19.21 WIB.
29
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 35.
Page | 10
mereka di Indonesia, mengambil tindakan-tindakan untuk memadamkan revolusi bangsa
Indonesia yang sedang menggelora itu.30
Rakyat Indonesia, termasuk para wartawan serta pegawai-pegawai perusahaan-
perusahaan pers tentunya tidak tinggal diam menghadapi tindakan-tindakan Jepang yang ingin
mengambil muka Sekutu itu, mengadakan perlawanan. Perebutan-perebutan kekuasaan
dilakukan di mana-mana oleh bangsa Indonesia dari tangan Jepang, juga para wartawan kita
dan pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan surat kabar tidak ketinggalan melakukan
perebutan kekuasaan dari Jepang, termasuk alat-alat percetakan. Terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta misalnya, perebutan kekuasaan dalam segala bidang dari pihak Jepang sangat
menegangkan suasana, apalgi dengan adanya tantangan-tantangan dari pihak Jepang serta
orang-orang Belanda, Inggris dan lain sebagainya yang baru dibebaskan dari perkumpulan
tawanan dan menganggap sepi Republik Indonesia.31
2. Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda
Tindakan-tindakan tentara Jepang yang menganggap sepi Republik Indonesia yang
baru lahir dan bermaksud hendak melumpuhkan semangat perlawanan rakyat Indonesia,
dilakukan juga dengan menggunakan alat-alat propagandanya seperti surat kabar “Berita
Gunseikanbu” dinyatakan, bahwa pemerintahan serta Negara Republik Indonesia adalah tidak
syah dan bahwa tentara Jepang masih tetap menjalankan kekuasaan di Indonesia sampai
datangnya tentara Sekutu, dijawab dengan tindakan-tindakan merebut kedudukan militer
Jepang yang telah bangkrut itu. Karena para pejuang kita, termasuk juga para wartawan kita,
mengetahui kegunaan surat kabar sebagai alat pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan,
maka untuk menandingi Berita Gunseikanbu tersebut di atas, diterbitkan surat kabar Berita
Indonesia di Jakarta, yang dapat dianggap sebagai pelopor dari Koran-koran Republik. Berita
Indonesia ini terbit dengan jumlah 5000 lembar dan setiap hari rakyat berebut-rebut untuk
membacanya. Demikianlah peranan pers kita di Jakarta pada saat-saat sesudah proklamasi
Kemerdekaan diumumkan. Setelah kedudukan Jepang diganti oleh tentara Sekutu yang
didalamnya ada kepentingan Belanda yang ingin menjajah kembali, bertambah pentinglah
fungsi surat-surat kabar Republik yang berada di daerah-daerah pendudukan Sekutu/ Belanda,
seperti antara lain di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lain-lain tempat,
karena selain membawa suara Republik, juga merupakan lawan dari Koran-koran yang
diterbitkan oleh Regeeringsvoorlichtingsdienst Belanda (Jawatan Penerangan Belanda).32
3. Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan
Peranan lain pers pada masa revolusi Indonesia adalah untuk mengekspresikan
pendirian, sikap dan pandangan. Semangat yang meluap dari rakyat untuk meraih dan
mempertahankan kemerdekaan, radikalisme sebagian besar pemuda untuk merebut senjata
dari Jepang, dan pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICA-Belanda di
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mejadi berita utama dan
disorot dengan tajam oleh surat kabar pada waktu itu. Identifikasi pers sebagai pembawa suara
dan aspirasi rakyat, nampak dari pemilihan nama penjaga kolom catatan pojok yang populer
pada masing-masing surat kabar. Misalnya, “Mas Kloboth” atau “Dr. Clenic” (Merdeka),

30
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 36.
31
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36.
32
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia, hlm. 36-37.
Page | 11
“Mas Semprot” atau “Semar” (Kedaulatan Rakjat), “Bang Djeboel” (Berita Indonesia), “Bang
Bedjad” (Al-Djihad), “Fikiran Rakjat” (Warta Indonesia), “Podjok Kiri” (Genderang),
“Soedoet Tikam” (Api Rakjat), dan sebagainya.33
Aneka karikatur, walaupun tidak banyak, untuk menyindir atau mendiskreditkan pihak
lawan, terutama tentara Inggris dan Belanda disajikan dengan cara telanjang dan terus terang.
Sedangkan slogan, motto, atau kata-kata mutiara untuk membangkitkan semangat rakyat,
sebagai renungan, dan arah perjuangan, ditempatkan pada bagian muka sudut kanan atau kiri
suratkabar. Semuanya itu menunjukkan bahwa pers memiliki peranan yang tidak kecil sebagai
“pengawal pendapat umum” selama revolusi Indonesia berlangsung.34 Perkembangan pers
kita selama revolusi fisik di daerah-daerah adalah sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia
yang sedang mempertahankan daerah-daerah Republik terhadap usaha-usaha kaum penjajah
yang ingin dapat berkuasa kembali.35
Peranan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, yaitu:
a. Surat Kabar Merdeka di Jakarta
Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945. Kelahiran surat
kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M. Diah dan kawan-kawannya,
yang pada akhir bulan September 1945 mengambil alih kantor surat kabar Asia Raya dan
menduduki gedung percetakan De Unie di Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam
Wuruk, Jakarta), tempat surat kabar milik Jepang itu diterbitkan.36 Terbit setiap hari dengan
dua lembar atau bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat atau dua halaman,
Merdeka menyatakan dirinya sebagai pers yang berjiwa republik. Dalam edisi perdananya,
sebagaimana nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”, Merdeka menyatakan akan
mendukung pemerintah Republik Indonesia di satu sisi, dan membangkitkan semangat rakyat
untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.37
Sikapnya itu semakin dipertegas dengan menetapkan motto yang populer bagi
Merdeka, yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik Indonesia”. Walaupun begitu bukan berarti
surat kabar ini akan membeo saja kepada kemauan dan kepentingan politik pemerintah.
Sebagaimana akan diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata memiliki kebebasan yang besar
dalam mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Hal itu nampaknya
sejalan dengan motto lain yang ditetapkan oleh surat kabar ini, yaitu: “Merdeka berfikir,
merdeka berbitjara, dan merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”.38
b. Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung
Surat kabar Soeara Merdeka terbit pada bulan September 1945. Surat kabar ini terbit
di atas reruntuhan surat kabar Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran yang dimainkan oleh
Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam mengambil alih kantor surat kabar
Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi Soeara Merdeka menjadi penting, sebab kedua
orang itulah yang kemudian menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit

33
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2.
34
Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2-3.
35
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 38.
36
JR. Chainago et al., Sejarah: Perjuangan Merdeka., hlm. 12, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers, Revolusi,
dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia,
1945-1947, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2002), hlm. 5.
37
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 5-6.
38
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 6.
Page | 12
setiap hari dengan 4 halaman, Soeara Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot
Postweg-Oost 54-56 (sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana
banjir pada bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan desakan
tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang berjiwa republiken,
Soeara Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan beralamatkan di Jalan Galunggung 46,
Tasikmalaya. Baik ketika masih di Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan jati diri Soeara
Merdeka sebagai pers yang ingin menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia di satu sisi, dan
membela kepentingan politik negara RI di sisi lain tetap tidak berubah.39
Sebagai pers Republik yang terbit di Bandung dan pada bulan Oktober 1945 tentara
Sekutu (Inggris dan Belanda) sudah menduduki kota itu, Soeara Merdeka sangat yakin
dengan perlunya politik diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
di satu sisi, dan perlunya masyarakat bertindak tenang, teratur, rasional, dan taat kepada
pemerintah RI di sisi lain. Bahkan ketika berbagai pihak, termasuk pers, melibatkan diri
dalam pro-kontra di sekitar Perundingan Linggarjati pada bulan Nopember 1946-Maret 1947,
Soeara Merdeka termasuk pers yang tetap konsisten dengan visi dan artikulasinya bahwa
persatuan dan kesatuan bangsa itu penting, serta perlunya berpikir dingin, tenang, dan rasional
dalam mensikapi berbagai keadaan. Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini tidak punya
daya kritis sama sekali. Sikap kritis Soeara Merdeka yang disampaikan dengan cara-cara yang
halus, sopan, ksatria, dan rasional itu tetap ada seperti nampak dalam catatan-catatan
pojoknya. Bahkan kritik-kritik yang lebih canggih, dengan nada sinis dan sarkastis,
disampaikan lewat sajian cerpen (cerita pendek) kontekstual yang sering ditulis oleh M.O.
Koesman, dengan inisial M.O.Km., seorang penulis lepas bekas wartawan Sipatahoenan pada
zaman Belanda.40
c. Surat Kabar Warta Indonesia di Semarang
Kalau ada pers yang usianya sangat singkat pada masa revolusi, barangkali itulah yang
terjadi dengan surat kabar Warta Indonesia di Semarang. Mulai terbit pada tanggal 29
September 1945, Warta Indonesia merupakan perwujudan baru dari surat kabar Sinar Baroe
yang semula milik pemerintah pendudukan Jepang. Sejak awal berdirinya, surat kabar yang
beralamatkan di Jalan Purwodinatan Tengah No. 22-24-26 Semarang itu sudah berjiwa
republik dan bahkan sangat berpihak pada kepentingan politik pemerintah Republik
Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari tujuan diterbitkannya Warta Indonesia, yaitu: “[...] oentoek
membantoe oesaha K.N.I. choesoesnja, serta segenap oesaha bangsa Indonesia oemoemnja,
jang bersifat membangoen (constuctief) jang bermanfaat bagi langsoengnja Repoeblik
Indonesia.”41 Dan ketika KNI (Komite Nasional Indonesia) menjadi parlemen sementara dan
didominasi oleh orang-orang Sosialisnya Sutan Sjahrir, Warta Indonesia termasuk pers yang
mendukung politik diplomasi pemerintah Syahrir.42
Namun ketika pertempuran antara pihak Sekutu dengan para pemuda Indonesia
melanda Semarang dan kota-kota penting lainnya di Jawa pada bulan Oktober 1945, sikap
Warta Indonesia mulai keras. Slogan-slogan bombastis dengan maksud untuk membangkitkan

39
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 10.
40
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 12-13.
41
Warta Indonesia, (Semarang: 29 September 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 16.
42
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 16.
Page | 13
semangat perlawanan pemuda, menghiasi halaman-halaman pertama surat kabar ini seperti:
“Sak Doemoek Batoek Sak Njatji Boemi, Wedjangan leloehoer jang pantas dipeloek oleh
70.000.000 ketoeroenannja”.43 Begitu juga ketika terjadi pertempuran 10 Nopember 1945 di
Surabaya yang hebat itu, Warta Indonesia mengeluarkan “fatwa jihad” yang khusus ditulis
oleh K.H. Moenawar Cholil, ulama terkenal di Semarang, yang menyatakan bahwa barang
siapa yang mati mempertahankan kemerdekaan tanah airnya maka ia “termasoek mati sjahid
djoega”.44
d. Surat Kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta
Jika Warta Indonesia di Semarang termasuk pers yang singkat usianya, maka
Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta termasuk pers yang panjang usianya. Terbit di daerah
pedalaman, Yogyakarta, yang juga menjadi ibukota negara RI sejak tahun 1946, Kedaulatan
Rakjat seperti tidak terganggu oleh kehadiran tentara Sekutu yang mulai berdatangan dan
menduduki kota-kota penting lainnya di Jawa. Setidaknya sampai bulan Desember 1948,
ketika Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menduduki kota Yogyakarta, Kedaulatan
Rakjat terus terbit. Namun dalam usia penerbitannya yang panjang selama revolusi itu, surat
kabar ini mengalami dinamika internal yang menarik untuk dicermati, terutama yang
menyangkut perubahan visi dan jati dirinya dari pers yang sangat kritis dan vokal pada masa
awal revolusi menjadi pers yang akomodatif dalam perkembangan selanjutnya.45
Pada masa awal revolusi, Kedaulatan Rakjat termasuk pers yang paling bersemangat
dalam membela eksistensi kemerdekaan RI di satu sisi, serta menyerang pihak Belanda dan
mereka yang mau menegasikan kemerdekaan Indonesia di sisi lain. Surat kabar ini juga
termasuk yang menentang keras dan bersikap sangat kritis kepada pemerintah Sjahrir ketika
akan melakukan politik diplomasi dengan pihak Belanda. Dalam pandangan Kedaulatan
Rakjat, politik diplomasi itu bukan saja tidak epektif tetapi juga tidak jantan dan tidak berani
bertempur di tengah-tengah gelombang revolusi yang hebat itu. Untuk menunjukkan
ketidaksetujuannya pada politik diplomasi, Bramono, Pemimpin Umum Kedaulatan Rakjat,
membuat sumpah bahwa dirinya akan berjuang ke medan pertempuran dan tidak akan
kembali lagi ke meja redaksi sebelum revolusi Indonesia ini selesai. Pernyataan sumpah yang
dilakukan Bramono pada masa revolusi itu memang bukanlah hal yang aneh. Para pemuda
lain yang berjiwa revolusioner – apakah untuk main-main atau serius – sering juga berkata
seperti: “Saya bersumpah tidak akan menikah, atau saya berjanji tidak akan pulang ke rumah,
atau saya bersumpah tidak akan mencukur rambut saya, dan sebagaiya, sebelum perjuangan
dalam revolusi ini selesai”.46
e. Surat Kabar Soeara Rakjat di Surabaya
Kisah surat kabar Soeara Rakjat di Surabaya barangkali bisa disejajarkan dengan
Soeara Merdeka di Bandung. Sama-sama terbit di daerah pendudukan tentara Sekutu, yang
menguasai kota Bandung dan Surabaya sejak bulan Oktober 1945, kedua surat kabar itu harus
“hijrah” ke daerah pedalaman yang relatif lebih aman. Kalau Soeara Merdeka, sebagaimana

43
Warta Indonesia, (Semarang: 29 Oktober 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 16.
44
Warta Indonesia, (Semarang: 10 Nopember 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 17.
45
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 18.
46
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 20.
Page | 14
telah dijelaskan di muka, harus pindah dari Bandung ke Tasikmalaya; maka Soeara Rakjat
harus pindah dari Surabaya ke Malang, Mojokerto, dan Kediri. Akhir perjalanan hidup kedua
surat kabar itu juga sama. Ketika Belanda melakukan tindakan Agresi Militer I pada tanggal
21 Juli 1947 dan menduduki kota-kota penting di Jawa, termasuk kota tempat penerbitan
Soeara Merdeka dan Soeara Rakjat, maka kedua surat kabar itu dibredel oleh Belanda dengan
alasan yang sama pula: “menghasut dan menimbulkan permusuhan kepada Belanda”. Dalam
tulisan ini akan dibahas Soeara Rakjat yang pernah terbit di Surabaya dan di Malang saja,
dengan alasan data-datanya cukup lengkap bila dibandingkan dengan Soeara Rakjat yang
terbit di Mojokerto dan Kediri.47
Sebagaimana Soeara Merdeka di Bandung, Soeara Rakjat juga tergolong pers yang
moderat. Betapapun berada di jantung daerah pertempuran yang dahsyat pada akhir bulan
Oktober dan awal bulan Nopember 1945, Soeara Rakjat tetap berpandangan bahwa
masyarakat hendaknya tetap tenang, bertindak rasional, penuh perhitungan, dan taat pada
pimpinan nasional. Surat kabar ini, dengan demikian, jelas sangat mendukung langkah-
langkah politik yang sedang ditempuh oleh pemerintah, yaitu politik diplomasi untuk
mendapatkan pengakuan dari dunia internasional terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.48
Catatan pojok yang ditulis “Beta” (nama samaran Abdoel Azis, Pemimpin Redaksi Soeara
Rakjat), ketika menanggapi sebagian keinginan sebagian besar “arek-arek” Surabaya untuk
bertindak tegas dan berperang melawan tentara Sekutu, misalnya, juga menunjukkan sikap
surat kabar itu yang tenang dan rasional.49
Memang untuk menunjukkan betapa hebat perjuangan dan pengorbanan yang telah
diberikan oleh “arek-arek” Surabaya itu, Soeara Rakjat juga memberikan pujian,
penghormatan melalui slogan-slogan yang bombastis seperti: “Darah, darah, darah
Indonesia telah mengalir di Soerabaja ... oentoek kemerdekaan Indonesia, oentoek Repoeblik
jang berkedaulatan Rakjat !!!”.50 Namun kembali lagi, betapapun suasananya tegang, cemas,
kalut, dan kacau akibat pertempuran, surat kabar ini tetap memberikan bumbu-bumbu humor
yang menggelitik dan segar. Melalui catatan-catatan pojoknya, “Beta” berhasil
menggambarkan suasana revolusi secara hidup, terutama ketika menyinggung semangat
tempur “arek-arek” Surabaya yang hebat itu. “... Wah hebat. Saking hebatnja, orangnja masih
digaris belakang, semangatnja soedah mentjolot lari ke garis depan, hingga jang bertempoer
kelihatan hanja semangat melawan miteralioer.”51 Begitu juga ketika kelompok oposisi pada
awal tahun 1946 mendesak pemerintah Sjahrir untuk merubah haluan politiknya dari
“beroending” menjadi “bertempoer”, Soeara Rakjat termasuk pers yang mengajak para
pembacanya untuk bersikap tenang, rasional, dan penuh perhitungan.52

47
Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 27.
48
Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook” (23 Oktober 1945); dan “Haloean Politik
Pemerintah” (3 Nopember 1945), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 28-
29.
49
Soeara Rakjat (Surabaya: 22 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
50
Soeara Rakjat (Surabaya: 4 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirtta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi, hlm. 29.
51
Soeara Rakjat (Surabaya: 6 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 29-30.
52
Soeara Rakjat (Malang: 24 April 1946), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan
Demokratisasi., hlm. 30.
Page | 15
E. Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia
Sebenarnya dalam periode revolusi fisik inilah, mulai timbul gejala-gejala, bahwa pers
kita sedang beralih ke cara-cara yang biasanya ditempuh oleh pers dalam alam demokrasi
liberal. Hal ini adalah wajar, karena ketika pemerintah mengeluarkan maklumat yang terkenal
dengan maklumat pemerintah bulan Nopember 1945, maka tumbuhlah laksana cendawan di
musim hujan partai-partai politik, yang dengan sendirinya berusaha mempengaruhi pers atau
berusaha memiliki surat-surat kabar yang dapat menjadi alat partai-partai tersebut.53
Timbulnya partai-partai politik di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di
musim hujan dan dengan sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula
banyak pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas tergambar dalam
surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang saling bertentangan. Di Surakarta
misalnya, Lasjkar yang non partai disapu habis oleh harian-harian yang dikendalikan oleh
partai-partai yang menentang pendapat atau politik yang dikemukakan oleh harian Lasjkar,
seperti antara lain harian-harian Pacific, Murba dan Guntur dari golongan partai Gerakan
Revolusi Rakyat yang juga merupakan lawan harian-harian sayap kiri yaitu Bekerja dan
Bangun. Di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia, selain harian-harian
Nasional dan Kedaulatan Rakyat yang telah terbit sejak tahun 1946, menjelang tahun 1948,
terbit harian-harian Massa dari Tan Malaka dan Suara Ibukota dari golongan Sayap Kiri, di
samping harian Suara Ummat dari Masyumi, yang saling bertentangan pula.54
Sengaja diambil kota Solo dan Yogyakarta, karena justru di kedua kota dan sekitarnya
inilah pertentangan-pertentangan antara partai-partai dan persnya nampak jelas sekali.
Malahan pertentangan-pertentangan ini akhirnya sampai menimbulkan peristiwa Madiun yang
menyedihkan itu. Pertentangan politik yang menghebat di kedua tempat tersebut di atas dan
sekitarnya, dengan jelas dapat kita saksikan pada isi sebagian besar pers Indonesia, yang jika
pada mulanya mejadi penggerak dan motor revolusi, tetapi kemudian menjadi pula pelopor
dalam pertentangan-pertentangan antara partai-partai. Malahan pertentangan antara pers di
masa ini bukan saja terbatas dalam tulisan-tulisan saja, tetapi sampai kepada mengadu
kekuatan fisik dengan daulat mendaulat percetakan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
peristiwa perebutan percetakan antara harian Murba dan Bekerja yang masing-masing
menggunakan pasukan-pasukan bersenjata dalam bulan Maret 1948.55
Gejala lain dalam pers kita di masa revolusi fisik ini, ialah menonjolnya ke muka
penyalahgunaan “kemerdekaan pers”, sehingga istilah-istilah yang digunakan, yang
sebenarnya kurang pantas dan sopan, menjadi hal yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan
sendirinya pertentangan-pertentangan politik antara partai-partai yang menajam, mendapat
salurannya melalui pers. Dalam usaha mencemarkan atau menjatuhkan lawan-lawan
politiknya, tidak jarang dimuat oleh harian-harian, dokumen-dokumen yang membuktikan
maksud suatu golongan untuk menjatuhkan pemerintah, dan dengan sendiri dibalas pula oleh
golongan yang diserang, dengan tangkisan-tangkisan yang dimuat dalam pers yang mereka

53
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 40.
54
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41.
55
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 41-42.
Page | 16
miliki atau pengaruhi, tentang kepalsuan dokumen-dokumen yang dimuat oleh lawan
mereka.56

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi Indonesia pada masa revolusi mengalami goncangan setelah pada awal tahun
1945, mulai berdatangan pihak sekutu yang telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan
amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di jepang. Dengan demikian tanggung
jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari komando pasifik barat daya Amerika kepada
komando Asia tenggara Inggris dibawah pimpinan Lord louis mountbatten. Tentu saja
belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang bekerja
sama dengan jepang. Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat
terasa sekali pada saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia
yang mencakup periode 1945-1950 adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi.
Perubahan yang fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang
dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial.
Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan
struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.

56
I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 42.
Page | 17
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda
yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
b. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers
Republik.
Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana
yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa
pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian
berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh
pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
Adapun peranan-peranan pers pada masa Revolusi Indonesia, yaitu:
a. Pers Republik sebagai Pers Perjuangan,
b. Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda, dan
c. Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.
Timbulnya partai-partai politik di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di
musim hujan dan dengan sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula
banyak pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan
yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas tergambar dalam
surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang saling bertentangan.
DAFTAR PUSTAKA

Caniago, JR et al. 1987. Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka, 1945-1985. Jakarta:


Pustaka Merdeka.

Dunn, John. 1972. Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political


Phenomenon. London: Gambridge University Press.

Gunawan, Hassan. “Pengertian dan Sejarah Pers” dalam


http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-dan-sejarah-pers.html. Di
akses pada tanggal 7 Oktober 2018, pukul 19.21 WIB.

Hasan, “Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia” dalam http://kulpulan-
materi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html. Di akses pada
tanggal 7 Oktober 2018, pukul 19.19 WIB.

Kratz, Ulrich. 1986. “Peranan Pers dalam Revolusi” dalam Collin Wild dan Peter Carey
(ed.). Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia.

Page | 18
Kusnadi. “Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan” dalam
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&
ved=0CC8QFjAEOApqFQoTCO7a1O6AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F%2Farch
ive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fuploads%2Ftexts%2F93101%2520periode%2520revolusi%25
20fisik%2520kemerdekaan.pdf&usg=AFQjCNFfXD_2k7t2OoLH9KYh7YrAitEWnQ&sig2=
Bq6G0kcA2peVgPT7BEY70w&bvm=bv.103073922,d.c2E. Di akses pada tanggal 7 Oktober
2018, pukul 19.15 WIB.

Lubis, Mochtar. 1992. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Said, Tribuana. “Sekilah Sejarah Pers Nasional” dalam


http://pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-sejarah-pers-nasional. Di akses pada tanggal 7
Oktober 2018, pukul 19.19 WIB.

Santoso, Wartini. 1984. Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984.
Jakarta: Perpustakaan Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook”. 23 Oktober 1945); dan “Haloean
Politik Pemerintah”. 3 Nopember 1945.

____________. Malang: 24 April 1946.

____________. Surabaya: 22 Oktober 1945.

____________. Surabaya: 4 Oktober 1945.

____________. Surabaya: 6 Oktober 1945.

Suwirta, Andi. 2002. Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Lima
Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1947. Bandung: Jurusan
Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

___________. 2005. Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada
Masa Revolusi Indonesia 1945-1947. Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia
Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005.
Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Suyatno. 1989. Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Taufik, I. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT TRIYINCO.

Warta Indonesia. Semarang: 10 Nopember 1945.

Page | 19
_____________. Semarang: 29 Oktober 1945.

_____________. Semarang: 29 September 1945.

Yahwa. “Revolusi Fisik” dalam http://yahwa-ki.blogspot.co.id/2014/02/revolusi-fisik.html,.


Di akses pada tanggal 7 Oktober 2018, pukul 19.14 WIB.

Page | 20

Anda mungkin juga menyukai