Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEJARAH PEMINATAN

“REVOLUSI INDONESIA”

DISUSUN OLEH:
YOGA LORI SATRIA
REY DANEL FERNANDO

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 8


KOTA BENGKULU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Revolusi Indonesia” dengan
tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah Peminatan.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang sejarah Revolusi
Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Revolusi Nasional Indonesia .......................................... 3
B. Proklamasi Kemerdekaan ................................................................. 3
C. Sistem Presidensial Menuju Parlementer ......................................... 4
D. Republik di Yogyakarta ................................................................... 5
E. Euforia Revolusi ............................................................................... 7
F. Kedatangan Sekutu dan NICA ......................................................... 8
G. Revolusi Sosial ................................................................................. 11
H. Upaya Pertama Diplomasi ................................................................ 12
I. Konflik Internal ................................................................................ 14
J. Dampak Revolusi Indonesia ............................................................ 15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pergerakan nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari
Kerajaan Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat
Islam dan Partai Komunis Indonesia tumbuh dengan cepat di pertengahan
abad ke-20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional lainnya
memprakarsai strategi kerja sama dengan mengirim wakil mereka ke
Volksraad (dewan rakyat) dengan harapan Indonesia akan diberikan hak
memerintah diri sendiri tanpa campur tangan Kerajaan Belanda. Sedangkan
gerakan nasionalis lainnya memilih cara nonkooperatif dengan menuntut
kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda. Pemimpin gerakan
nonkooperatif ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang
mahasiswa nasionalis yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden
pertama. Pergerakan ini dimudahkan dengan adanya kebijakan Politik Etis
yang dijalankan oleh Belanda.
Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa
Perang Dunia Kedua merupakan faktor penting untuk revolusi berikutnya.
Belanda hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan
penjajahan di Hindia Belanda. Hanya dalam waktu tiga bulan, Jepang berhasil
menguasai Sumatra. Jepang kemudian berusaha untuk mengambil hati kaum
nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan
mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Ini menimbulkan
lahirnya organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri.
Ketika Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali
untuk merebut kembali bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana
Menteri Jepang Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia,
walaupun tidak menetapkan tanggal resmi.

1
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah pada penyusunan makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Revolusi Indonesia?
2. Peristiwa apa saja yang terjadi selama Revolusi Indonesia?
3. Apa dampak dari terjadinya Revolusi Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mempelajari tentang Revolusi
Indonesia, mulai dari maksud dari revolusi tersebut, peristiwa-peristiwa yang
terjadi selama revolusi, hingga dampak dari terjadinya Revolusi Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Revolusi Nasional Indonesia


Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan
pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan
Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris.
Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh
Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949. Meskipun demikian, gerakan
revolusi itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati
sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.
Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara
sporadis. Selain itu, terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi
internasional. Dalam peristiwa ini, pasukan Belanda hanya mampu menguasai
kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra, tetapi gagal mengambil alih
kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata
serta perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui
kemerdekaan Indonesia.
Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia
Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan
raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan
“revolusi sosial”, yang terjadi di beberapa bagian di pulau Sumatra.

B. Proklamasi Kemerdekaan
Pada akhir bulan Agustus 1945, pemerintahan republikan telah berdiri di
Jakarta. Kabinet Presidensial dibentuk, dengan Soekarno sendiri sebagai
ketuanya. Hingga pemilihan umum digelar, Komite Nasional Indonesia Pusat
dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak hampir sebagai badan
legislatif. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten.
Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja

3
menyatakan menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa
lainnya belum menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang
pernah didukung oleh pemerintah Belanda.
Khawatir Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di
Indonesia, pemerintah yang baru dibentuk tersebut dengan cepat
menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih sangat
terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat sedikit.
Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama
mengetuai kabinet Sjahrir I.
Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho
dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur komando dan keanggotaan
PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan republikan yang mulai
tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa kelompok-kelompok
kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh seorang
pemimpin karismatik. Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah
pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu. Dalam masa awal
pembentukan struktur militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat
pangkat yang lebih tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada
12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi
militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun
bernama Sudirman terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat,
bergelar "Panglima Besar".

C. Sistem Presidensial Menuju Parlementer


Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah
salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak
Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14
November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh
Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk

4
dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai
sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan
Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang
intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan
Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah
Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A.
Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan
Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya
keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28
November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden
mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan
berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook,
Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah
sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu
sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar
rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan
pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini
dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

D. Republik di Yogyakarta
Menjelang berakhirnya tahun 1945, situasi keamanan ibu kota Jakarta
(saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling
serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua
Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik.
Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir
Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA). Karena itu pada

5
tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia
kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api
demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946
diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta
beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke
Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota; meninggalkan Perdana
Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di
Jakarta. Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus,
sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe
C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang
biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan
oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Rangkaian terdiri dari delapan kereta,
mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta
makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi
untuk presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden. Masinis adalah
Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei. Perjalanan
diawali sore hari, dengan KLB langsir dari Stasiun Manggarai menuju Halte
Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti tepat di
belakang kediaman resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah
lima belas menit embarkasi, KLB berangkat ke Stasiun Manggarai dan
memasuki jalur 6. Kereta api melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan
kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu
signal aman dari Stasiun Klender. Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan
perjalanan dengan lampu dimatikan dan kecepatan lambat agar tidak menarik
perhatian pencegat kereta api yang marak di wilayah itu. Barikade gerbong
kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel dari jalan raya yang sejajar di
sebelahnya.
Selepas Setasiun Klender, lampu KLB dinyalakan kembali dan kereta
api melaju dengan kecepatan maksimum 90 km per jam. Pada pukul 20 KLB
berhenti di Stasiun Cikampek. Pada pukul 01 tanggal 4 Januari 1946 KLB

6
berheti di Stasiun Purwokerto, dan kemudian melanjutkan perjalanan hingga
tiba pada pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.

E. Euforia Revolusi
Sebelum berita tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar
ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota
Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang
Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-republik, dan
suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Kekuatan luar di dalam negeri telah
menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dan
Belanda telah mulai melemah kekuatannya dikarenakan perang. Di sisi lain,
pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan
meletakkan senjata, dan juga menjaga ketertiban umum.
Kevakuman kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang
menyerah menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat
itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi rakyat. Banyak pemuda
Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-republik dan laskar-
laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan
Heiho yang dibentuk oleh Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat
berdiri sendiri dan koordinasi perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu
pertama, tentara Jepang menarik diri dari daerah perkotaan untuk menghindari
konfrontasi dengan rakyat.
Pada bulan September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar
rakyat telah mengambil alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama,
termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di Jawa. Untuk
menyebarkan pesan-pesan revolusioner, para pemuda mendirikan stasiun radio
dan koran, serta grafiti yang penuh dengan sentimen nasionalis. Di sebagian
besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar milisi
dibentuk. Koran kaum republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta,
Yogyakarta dan Surakarta, yang bertujuan memupuk generasi penulis yang
dikenal sebagai Angkatan 45.

7
Para pemimpin republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang
menyebar di masyarakat, karena ada beberapa kelompok yang menginginkan
revolusi fisik, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan
damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka dan pemimpin kiri lainnya
menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin oleh para pemuda.
Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah
pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai kemerdekaan
melalui diplomasi. Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di kota-kota
besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih dari
200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Soekarno-Hatta, karena mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.
Pada September 1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri
"siap mati untuk kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran
mereka. Pada saat itu, penculikan kaum "nonpribumi" - interniran Belanda,
orang-orang Eurasia, Maluku dan Tionghoa - sangat umum terjadi, karena
mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan menyebar dari seluruh negeri,
sementara pemerintah pusat di Jakarta terus menyerukan kepada para pemuda
agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata
memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para "pengkhianat revolusi",
yang pada akhirnya sering menyebabkan meletusnya konflik internal di
kalangan masyarakat sipil.

F. Kedatangan Sekutu dan NICA


Pihak Belanda menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan
Jepang dan mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari
fasisme Jepang. Pemerintahan Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta
dolar dari Amerika Serikat untuk mendanai usaha pengembalian Indonesia
sebagai jajahan mereka kembali.
Meskipun begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk
Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa mengatur kembali militernya pada
awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya enggan menjadi pelaksana

8
tugas pemerintahan di Indonesia. Sementara Amerika Serikat sedang fokus
bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali
seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis
Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara.
Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di
Irian Jaya; para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah
tersebut. Di area yang dikuasai angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan
Sekutu segera saja menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara
Australia (diikuti pasukan Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan
cepat menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali
Bali dan Lombok. Karena tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara
Australia dengan mudah menguasai beberapa daerah di bagian Timur
Indonesia.
Inggris ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil
di Jawa. Belanda mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali
pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim kedaulatan atas
Indonesia. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran belum mendarat di Jawa
sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten adalah
pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Ia
tidak ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangkan pengembalian
Indonesia pada Belanda. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan,
Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya pada bulan Oktober. Dalam
usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang Indonesia, komandan
pasukan Inggris Letjen Sir Philip Christison, mengirim para prajurit Belanda
yang dibebaskan ke Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda
berlangsung mulus. Tensi memuncak saat tentara Inggris memasuki Jawa dan
Sumatra; bentrokan pecah antara kaum republikan melawan para "musuh
negara", seperti tawanan Belanda, KNIL, orang Tionghoa, orang-orang Indo
dan warga sipil Jepang.

9
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu
dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya.
Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
1. Pertempuran Bojong Kokosan, di Bojong Kokosan, Sukabumi pada 9
Desember 1945, dipimpin Letkol (TKR) Eddie Sukardi.
2. Pertempuran Lima Hari, di Semarang pada 15-19 Oktober 1945 (melawan
Jepang).
3. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya pada 10 November 1945,
dipimpin Kolonel (TKR) Sungkono.
4. Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya pada 10
Desember 1945-10 Agustus 1946, dipimpin oleh Kolonel (TKR) Achmad
Tahir.
5. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang pada 12-15
Desember 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sudirman.
6. Pertempuran Lengkong, di daerah Lengkong, Serpong pada 25 Januari
1946, dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot.
7. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung pada 23 Maret 1946, atas
perintah Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
8. Pertempuran Selat Bali, di Selat Bali pada April, dipimpin oleh Kapten
Laut (TRI) Markadi.
9. Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November
1946, dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
10. Pembantaian Westerling, di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946-10
Februari 1947, akibat dari perburuan terhadap Wolter Monginsidi.
11. Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang pada 1-5 Januari
1947, dipimpin oleh Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
12. Pertempuran Laut Cirebon, di Cirebon pada 7 Januari 1947, dipimpin oleh
Kapten Laut (TRI) Samadikun.
13. Pertempuran Laut Sibolga, di Sibolga pada 12 Mei 1947, dipimpin oleh
Letnan II Laut (TRI) Oswald Siahaan.
14. Agresi Militer I pada 21 Juli-5 Agustus 1947.

10
15. Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada 9 Desember 1947,
akibat dari perburuan terhadap Kapten (TNI) Lukas Kustarjo.
16. Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948.
17. Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1 Maret 1949,
dipimpin oleh Letkol (TNI) Suharto.
18. Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7-10 Agustus 1949,
dipimpin oleh Letkol (TNI) Slamet Rijadi.

G. Revolusi Sosial
Revolusi sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan
terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa
penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap
kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat
bangkit melawan kekuasaan aristokrasi dan kepala daerah dan mencoba untuk
mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat.
Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam
kebanyakan kasus gagal terjadi.
Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini
saat dalam penguasaan Belanda sering kali terulang di paruh akhir abad
keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah
yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk
mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam,
kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian
banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-
tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati,
atau kadang sekadar orang-orang kaya, sering kali menjadi sasaran
penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering
menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir
Sumatra dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan
mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan
begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang

11
menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya
kebanyakan daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke
tangan Belanda.
Kebanyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan
kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada populasi yang mendukung
kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di bawah kontrol Belanda.
Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe mati!" sering kali
menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di daerah kekuasaan
Republik. Para pedagang sering kali mengalami situasi sulit ini. Di satu sisi,
mereka ditekan oleh pihak Republik untuk memboikot semua ekspor ke
Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga tidak mengenal ampun bagi
para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak Republik. Di
beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut
kebijakan proaktif dari para pemimpin, sering kali berakhir tidak hanya
menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tetapi juga perampokan dan
pemerasan. Pedagang Tionghoa, khususnya, sering kali diminta untuk
memberikan harga murah dengan ancaman pembunuhan.

H. Upaya Pertama Diplomasi


1. Perundingan Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk
memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke
Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-
wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan
Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi
khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat
Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar
negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang
pokok pokoknya sebagai berikut:

12
1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus
meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat,
yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya.
Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang
dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia
Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama
dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan
kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan
dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan
mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang
timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke
pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah
Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan
Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang
memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang
diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada
yang tidak beres.
2. Agresi Militer Belanda I
Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan
militer yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I (Operatie Product),
dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi militer ini
melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda
sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakan hukum. Pasukan
Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatra serta Jawa

13
Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke
Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatra,
instalasi minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.
Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini.
Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat segera mendukung
Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda diboikot
mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif
dengan membentuk Komisi Tiga Negara untuk mendorong negosiasi. PBB
kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata. Pada saat aksi
militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan Belanda
membantai banyak warga sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah
Balongsari di Karawang, Jawa Barat.

I. Konflik Internal
1. Pemberontakan Komunis
Pada 18 September 1948 Republik Soviet Indonesia
diproklamasikan di Madiun oleh anggota PKI yang berniat menjalankan
sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Soekarno Hatta, yang
dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI dan PKI
ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan
pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo, Gubernur Jawa Timur pada
masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin relijius gugur di
tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan
konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati
Amerika yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti
kolonialisme, menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak
Republik Indonesia mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon
sekutu potensial di awal era perang dingin antara Amerika Serikat dan
blok Soviet.
2. Pemberontakan Darul Islam

14
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar
Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan
gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade
Hasanuddin di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima
Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya
menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari
DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.
Awalnya TNI tidak merespon karena sedang berkonsentrasi
melawan agresi Belanda. Namun setelah seluruh teritori kembali disatukan
pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai menganggap Darul
Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi lainnya
menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil
dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar
Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.

J. Dampak Revolusi Indonesia


Walaupun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa
banyak penduduk Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi
Indonesia. Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan
Indonesia berkisar dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil
diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka
100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris yang berjumlah 1200 diperkirakan
dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatra antara tahun 1945-1946, kebanyakan
merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda lebih dari 5000

15
tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak lagi tentara
Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal dalam
peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang
gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat
Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang Tionghoa dan masyarakat asing lainnya
di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat tinggalnya di Indonesia, walaupun
dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia
mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan.
Selain itu, lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatra dan Jawa.
Gerakan revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada
kondisi ekonomi, sosial dan budaya Indonesia itu sendiri, di antaranya
kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua efek dalam ekonomi
yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang berdampak langsung
dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk
membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan setelah Perang Dunia II
dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap
hal yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya diblokade oleh
Belanda.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan
pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan
Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris.
Pada akhir bulan Agustus 1945, pemerintahan republikan telah berdiri di
Jakarta. Kabinet Presidensial dibentuk, dengan Soekarno sendiri sebagai
ketuanya.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda.
Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya
meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan
ibu kota; meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang
bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Revolusi sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan
terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa
penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap
kebijakan pada masa penjajahan Jepang.
Konflik internal selama revolusi:
1. Pemberontakan Komunis
2. Pemberontakan Darul Islam
Walaupun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa
banyak penduduk Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi
Indonesia. Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan
Indonesia berkisar dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil
diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka
100.000 jiwa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Suwondo Bambang. (1984). Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Jakarta:


Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Maeswara, Garda. (2010). Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950. Yogyakarta:
Narasi.
Poeloengan. (1996). Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia Di Sumatera Utara (1945-1949). Medan:
GedungJuang.
Suwondo Bambang. (1984). Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Jakarta:
Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

18

Anda mungkin juga menyukai