OLEH:
RIZKY WAHYUDI
(3193121012)
REGULER C
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia
Masa Awal – Demokrasi Terpimpin dan penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak/Ibu Dosen pembimbing serta kepada semua pihak yang secara
langsung dan tidak langsung karena telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................4
2.1 Demokrasi Terpimpin di Indonesia...............................................................4
2.2 Sejarah Demokrasi Terpimpin.......................................................................5
2.3 Kondisi Negara Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin ......................8
3.2 Saran..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................13
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana
Sejarah demokrasi terpimpin di Indonesia, dan Kondisi Negara Indonesia
dalam masa demokrasi terpimpin, setelah itu bagaimana DPR Gotong Royong
Demokrasi terpimpin, serta Peristiwa besar dalam masa demokrasi terpimpin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun
Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan
diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semoyan
“Kembali ke UUD 1945” Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata
dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi penting. Demokrasi
terpimpin lahir dalam suatu zaman yang sukar, persoalan yang muncul pada
tahun 1957 itu itu sangan runyam dan komplek. Ada ketakutan terhadap
tentara, ketakutan terhadap PKI, terhadap Islam, terhadap pemberontakan-
pemberontakan panglima-panglima di daerah. Lalu ada lagi campur tangan
dari luar negeri.
5
(Piagam Besar). Magna Charta merupakan semacam kontrak antara beberapa
bangsawan dan raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja
yang mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari
bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang
dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak
berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap tonggak dalam perkembangan
gagasan demokrasi.
Demokrasi di Indonesia telah banyak mengalami perubahan sistem
demokrasi itu sendiri, sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1945 Indonesia menggunakan sisitem demokrasi parlementer yang
menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai, dalam periode ini yang
dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945 tetapi sudah barang tentu belum
dapat dijalankan secara murnidan konsekuen oleh karena bangsa Indonesia
baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Kemudian pada periode
berikutnya (27 Desember-17 Agustus 1950) negara Republik Indonesia
menjadi negara serikat. Sebetulnya bukan kehendak seluruh bangsa Indonesia
untuk memakai bentuk negara dan sisitem pemerintahan, politk dan
adminitrasi negara seperti tersebut di atas, tetapi keadaan yang memaksa
demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia
memang ditugasi untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan
kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka, politik devide et impera
memang dimilikinya. Ia mengusulkan untuk disetujuinya pembentukan negara
dalam negara. Pada periode berikutnya (1950-1959) dengan memperhatikan
keadaan negara-negara bagian yang semakin sukar untuk diperintah
sedangkan kewibawaan pemerintah Negara Federal semakin berkurang selama
penyelenggaraan Konstitusi RIS, apalagi didukung kenyataan bahwa
Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat istiadat, agama, pulau-
pulau, bahasa daerah, maka rakyat di daerah-daerah sepakat untuk kembali
kebentuk negara kesatuan.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-
6
Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. oleh karenanya sistem
pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet parlementer, yaitu para menteri
(kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen dan parlemen dapat
menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Walaupun sudah kembali
kepada bentuk negara kesatuan namun perbedaan antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini tetapi
ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada
pemerintah pusat. Oleh karenanya pada era ini seringkali terjadi berbagai jenis
pemberontakan seperatis seperti Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA), Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS (Republik Maluku
Selatan), dan lain-lain.
Oleh karena itu menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi
liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang
berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembagunan
ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri
sipil dan parpol) dan militer saling berebut keuntungan dengan mengorbankan
yang lain. Sebaliknya Prsiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang
kuat dan bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari
Sabang sampai Merauke. UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah
melakukan penyimpangan-penyimpangan dari cita- cita luhur proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan dalih seperti itu Presiden Soekarno
mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan politik dalam negeri Republik
Indonesia.
7
2.3 Kondisi Negara Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh
pada masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno
bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan negara baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir
Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim
dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia. Dekrit tersebut
dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari
kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-
Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang- kurangnya lima tahun.
Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan
waktu lima tahun ini. Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari
ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno
sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan
Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk
berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang
mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan ditonjolkan peranannya sebagai
pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol di tiadakan.
Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan
dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden
disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini
mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini
harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada
presiden sebagai badan eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk
campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964
dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden
No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai
mufakat.
Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang
8
antara badan eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh
presiden. Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi
pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua
MPRS, DPR-GR, DPA dan MA.
MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan
rakyat yang bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya
pemerintahan pada akhirnya tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan
presiden. Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak
didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan
komunisme, tetapi suatu faham demokrasi yang didasarkan keinginan-
keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur
yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945. Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang
dinamakan dengan demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan yang luhur
ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.
Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang
sebenarnya. Dalam prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan
pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi sang pemimpinnya sendiri.
Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur
bangsa Indonesia tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi
politik pemimpinnya sendiri. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
telah membawa jalannya pemerintahan jauh dari mekanisme yang ditetapkan
dalam UUD 145. kondisi ini diperburuk dengan merosotnya keadaan
ekonomi negara. Sebagai akibatnya, keadaan politik dan keamanan sudah
sangat membahayakan keselamatan negara. Situasi ini dimanfaatkan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mengadakan pemberontakan pada
tanggal 30 September 1965. tujuan utama pemberontakan ialah untuk
mengganti falsafah pancasila dengan falsafah lain.
Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat
banyak ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Nasional tertinggi
ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan
9
kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam
lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan Bung Karno
kemudian memperkenalkan apa yang kemudian disebut dengan
“musyawarah untuk mufakat”. Banyaknya partai oleh Bung Karno disebut
sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam
pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu banyak debat bersitegang
urat leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk
yang dikenal dengan nama Front Nasional.
2.4 DPR Gotong Royong Demokrasi Terpimpin
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ini didirikan dengan
Penetapan Presiden No. 04 tahun 1960 sebagai pengganti DPR peralihan
yang dibubarkan dengan penetapan Presiden No. 03 Tahun 1960. DPR-GR
berbeda sekali dengan badan-badan legislatif sebelumnya. Tidak hanya oleh
karena dia bekerja dalam suatu sistem pemerintahan yang lain, akan tetapi
juga oleh karena dia bekerja dalam suasana dimana DPR ditonjolkan
peranannya pembantu pemerintah, suasana ini tercermin dalam istilah
Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib DPR-GR
yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib tidak disebut hak kontrol
seperti hak bertanya, hak interpelasi dan sebagainya.
Kelemahan DPR-GR di bidang legislatif ialah bahwa DPR-GR
kurang sekali memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan
undang-undang. Selain itu DPR-GR telah membiarkan badan eksekutif
mengadakan Penetapan-Penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5 Juli 1959,
seolah-olah Dekrit merupakan sumber hukum baru. Padahal dekrit sekedar
untuk menuntun langkah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, tetapi
sesudah itu semua perundang-undangan seharusnya berdasarkan langsung
pada Undang-Undang Dasar 1945. Lagipula banyak keputusan penting
(seperti pengguntingan uang, politik konfrontasi, pengambil alih perkebunan
dan perusahaan asing dan sebagainya) diputuskan di luar DPR- GR.
Selain itu DPR-GR telah menerima baik Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 19 Tahun 1964, yang memberi wewenang
kepada Presiden untuk “turut atau campur tangan dalam soal pengadilan”
10
demi kepentingan revolusi, suatu ketentuan yang dengan tegas menyalahi
ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa kekuasaan kehakiman terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah. Selama masa kerjanya, DPR-GR telah
mengesahkan 117 Undang-Undang, dengan perincian : tahun 1960 disahkan
5 Undang-Undang, tahun 1961 disahkan 22 Undang-Undang, tahun 1962
disahkan 19 Undang-Undang, tahun 1963 disahkan 14 Undang-Undang,
tahun 1964 disahkan 36 Undang-Undang dan tahun 1965 disahkan 21
Undang-Undang.
11
dikendalikan. Akhirnya dengan dipelopori oleh pemuda beserta rakyat
disampaikanlah tuntutan-tuntutan kepada presiden pada tanggal 12
Januari 1966, yang dikenal dengan nama TRITURA (Tri Tuntutan
Rakyat).
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Keadaan Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasca
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno meletakkan dasar-
dasar kepemimpinannya yang dinamakan Demokrasi Terpimpin,
menurut Presiden Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi
yang khas Indonesia yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
2. Namun dalam prakteknya, demokrasi terpimpin cenderung bergeser
maknanya. Demokrasi yang dijalankan tidak lagi dipimpin oleh
khidmat kebijaksanaan, namun diwarnai oleh kepentingan politik-
politik tertentu. Keadaan ini telah melahirkan berbagai penyimpangan
dari yang telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
3.2 Saran
Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis menyarankan kepada pembaca untuk pemahaman yang lebih dalam
dapat membaca tentang hal tersebut lebih banyak lagi dari sumber-sumber
yang lain. Dan penulis mengharapkan masukan yang konstruktif kepada kita
semua, demi penyempurnaan tulisan ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Evalisa, dkk. 2019. Bunga rampai Pers Sumatera Utara Dari Zaman
Kolonial Hingga Milenial. Medan: Biro Humas dan Keprotokolan
Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara.
14