Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SEJARAH POLITIK INDONESIA MASA KEMERDEKAAN

Disusun untuk memenuhi tugas Sejarah Politik dan Hubungan Internasional


Dosen Pengampu
Edwin Mirzachaerulsyah,M.Pd

Disusun Oleh
Cici Asmiarti F1231161009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai memenuhi tugas Sejarah Politik dan Hubungan
Internasionaldengan judul “SEJARAH POLITIK INDONESIA MASA KEMERDEKAAN”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen pengampu yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pontianak, 4 September 2019

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1. Latar Belakang .................................................................................................................... 1
2. Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 1
3. Manfaat ................................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 2
1. Pemilihan Kepala Negara .................................................................................................... 2
2. Pembentukan KNIP.............................................................................................................. 4
3. Hubungan antara Indonesia dan Belanda ............................................................................7
4. Pembentukan Kabinet (1946-1949) .................................................................................. 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 29
1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 29
2. Saran .................................................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................

ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu unsur sebuah demokrasi dikatakan berjalan dalam sebuah negara
adalah dengan adanya pertumbuhan partai politik di dalamnya. Partai politik muncul
sebagai kebutuhan negara baru untuk memperkuat keberadaan negara yang membutuhkan
dukungan dari segenap kekuatan politik rakyat.
Di awal kemerdekaan Indonesia hal ini dapat dilihat pada Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Meski pada awalnya terjadi perdebatan antara Soekarno dengan Hatta mengenai format
kepartaian yang ideal, dimana Soekarno mengajukan proposal partai tunggal yaitu Partai
Nasional Indonesia (PNI), karena demokrasi tidak perlu diterjemahkan sebaagai
kesempatan rakyat membentuk partai. Sedangkan Hatta berpendapat bahwa demokrasi
memerlukan partai politik yang dibangun dan dibentuk oleh rakyat, karenanya keterlibatan
rakyat dalam mendirikan partai politik sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Poin
pertama dari maklumat tersebut memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai
politik. Dengan partai politik aliran paham yang ada di dalam masyarakat dapat disalurkan
secara teratur. Poin ke dua, limit waktu pendirian partai politik harus sudah tersusun
sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan
Januari 1946.
2. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui cikal bakal sejarah politik pada awal kemerdekaan indonesia
2. Mengetahui pemilihan kepala Negara atau presiden untuk pertama kali pada awal
kemerdekaan indonesia
3. Mengetahui pembentukan komite nasional Indonesia pusat (KNIP)
4. Hubungan anatara Indonesia dan belanda pada awal kemerdekaan
5. Mengetahui pembentukan kabinet-kabinet pada awal kemerdekaan
3. Manfaat
1. Diri Sendiri, Suatu masyarakat yang hidup di suatu negara memiliki kecenderungan
budaya politik berbeda-beda yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mempelajari
budaya politik dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap tindakan politik yang
dilakukan oleh masyarakat dan bagaimana pengaruhnya baik terhadap masyarakat itu
sendiri maupun pemerintah di negara tempat mereka tinggal.
2. Pemerintah, Bagi pemerintah sangat penting sekali memahami budaya politik di
negaranya. Dengan memahami budaya politik maka pemerintah dapat melakukan
antisipasi terhadap tindakan politik masyarakat yang diperintahnya yang berupa
dukungan atau tuntutan. Selain itu, pemerintah juga memahami bagaimana pandangan
politik masyarakat terhadap pemerintahannya apakah mereka menerima dengan baik
tindakan dan program-program yang dilaksanakannya atau tidak.

BAB II PEMBAHASAN
a. Pemilihan Kepala Negara

1
Negara Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17
Agustus 1945. Proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno, menjadi tanda akan sikap dalam
menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia dan melepaskan diri dari belenggu tangan
negara penjajah. Pasca proklamasi kemerdekaan tersebut, Republik Indonesia sebagai
sebuah negara baru lahir, melakukan struktur dalam pemerintahan negara. Struktur yang
pertama kali dilakukan tersebut adalah dengan memilih Presiden Republik Indonesia
selaku pemimpin negara.
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Presiden mempunyai peran yang vital
dalam mencapai tujuan dan cita-cita negara. Dalam sejarah ketatanegaraan Republik
Indonesia, proses pemilihan Presiden mengalami dinamika seiring dengan situasi politik
pada setiap rezim. Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, mengenal beberapa masa selama
perjalanan Republik Indonesia. Dimana dalam masa tersebut, proses pemilihan Presiden
sebagai Kepala Negara juga dipengaruhi oleh situasi politik.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat di bagi
dalamempat konsep demokrasi, yaitu:
a. Masa Demokrasi Parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai
danyang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer (1945-1959).
b. Masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari
demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan
beberapa aspek demokrasi rakyat (1959-1965).
c. Masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang
menonjolkan sistem presidensial (1965-1998).
d. Masa Demokrasi Langsung yakni Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi
di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktek-praktek politik yang terjadi pada masa
demokrasi langsung. (1998-Sekarang).
Pemiliahan kepala Negara pertama kali dari hasil sidang pertama PPKI yang
dilaksanakan pada 18 Agustus 1945 hasilnya adalah memilih dan mengangkat presiden
serta wakil presiden Indonesia. Atas usulan Otto Iskandardinata secara aklamasi, Ir.
Soekarno terpilih sebagai presiden Indonesia pertama didampingi oleh Drs. Mohammad
Hatta sebagai wakil presidennya.
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama disebut lembaga
kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah
Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia belum memiliki pemerintahan. Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945,
Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD

2
1945) dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah
perjalanan lembaga kepresidenan yang bersejarah dimulai.
Menurut periode adalah sebagai berikut :
 Periode 1945-1950
Periode 18 Agustus 1945-15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi
yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut
sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18
Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua
antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai
negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal[1], terdiri atas
seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan
syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan
tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), sebagai berikut :
1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan,
2. Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden,
3. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,
4. Presiden menetapkan peraturan pemerintah,
5. Presiden dibantu oleh menteri,
6. Presiden dapat meminta pertimbangan kepada DPA,
7. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia,
8. Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara
lain atas persetujuan DPR,
9. Presiden menyatakan keadaan bahaya,
10. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik,
11. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi,
12. Presiden memberi gelar dan tanda kehormatan.
13. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR
14. Presiden berhak memveto RUU dari DPR
15. Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam
keadaan mendesak.
Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan wakil presiden
dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden sangat besar karena
seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh
presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat
juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang
ditetapkan UUD 1945.
b. Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

3
Pada tanggal 18 Agustus 1945 sidang PPKI pertama juga memutuskan
pembentukan sebuah komite nasional. Fungsi komite nasional ini adalah untuk sementara
membantu tugas-tugas Presiden sebelum dibentuknya MPR dan DPR. Sedangkan Komite
Nasional Indonesia Pusat baru resmi terbentuk pada sidang ketiga yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Agustus 1945, sebanyak 137 anggota KNIP dilantik terdiri dari golongan muda
dan masyarakat.
Adapun yang bertindak sebagai pimpinan adalah :
1. Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo
2. Wakil ketua I : M. Sutardjo Kartohadikusumo
3. Wakil Ketua II : Mr. J. Latuharhary
4. Wakil Ketua III : Adam Malik

KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga
tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPRRI).
Berhubung dengan keadaan dalam negeri yang genting, pekerjaan sehari-hari
KNIP dilakukan oleh satu Badan Pekerja, yang keanggotaannya dipilih dikalangan
anggota, dan bertanggung jawab kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP pada saat itu (BP-
KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis
oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang.
Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana
Menteri, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis dr. Abdul Halim.[5].
Kemudian pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri
Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Mr. Assaat Datu
Mudo, dan penulis tetap dr. Abdul Halim.
Pada tanggal 21 Januari 1950, Mr. Assaat diangkat menjadi Pelaksana Tugas
Presiden Republik Indonesia dan dr. Abdul Halim diangkat menjadi Perdana Menteri, serta
sebagian besar anggauta BP-KNIP diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet Halim
tersebut.
BP-KNIP tidak punya kantor tetap, waktu di Jakarta di Jl. Pejambon dan Jl.
Cilacap (1945), waktu di Cirebon di Grand Hotel Ribberink (1946), waktu di Purworejo di
Grand Hotel Van Laar (1947), dan waktu di Yogyakarta di Gedung Perwakilan Malioboro
(1948-1950).
Para anggota BP-KNIP tercatat antara lain: Sutan Syahrir, Mohamad Natsir,
Soepeno, Mr. Assaat Datuk Mudo, dr. Abdul Halim, Tan Leng Djie, Soegondo
Djojopoespito, Soebadio Sastrosatomo, Soesilowati, Rangkayo Rasuna Said, Adam Malik,
Soekarni, Sarmidi Mangunsarkoro, Ir. Tandiono Manoe, Nyoto, Mr. Abdul Gafar
Pringgodigdo, Abdoel Moethalib Sangadji, Hoetomo Soepardan, Mr. A.M. Tamboenan,
Mr. I Gusti Pudja, Mr. Lukman Hakim, Manai Sophiaan, Tadjudin Sutan Makmur, Mr.
Mohamad Daljono, Sekarmadji Kartosoewirjo, Mr. Prawoto Mangkusasmito, Sahjar

4
Tedjasoekmana, I.J. Kasimo, Mr. Kasman Singodimedjo, Maruto Nitimihardja, Mr.
Abdoel Hakim, Hamdani, dll.
Atas usulan KNIP, dalam sidangnya pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai
Muslimin, Jakarta, diterbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober
1945, yang dalam diktumnya berbunyi:
“ Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative
dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional
Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah
Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat. ”
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-
perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu
mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
KNIP telah mengadakan sidang-sidang di antaranya adalah :
 Sidang Pleno ke-2 di Jakarta tanggal 16 - 17 Oktober 1945,
 Sidang Pleno ke-3 di Jakarta tanggal 25 - 27 November 1945,
 Kota Solo pada tahun 1946,
 Sidang Pleno ke-5 di Kota Malang pada tanggal 25 Februari - 6 Maret 1947[4], dan
 Yogyakarta tahun 1949.
Komite Nasional yang merupakan amanat Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945
adalah sebagai pembantu presiden, yang berarti berdiri dalam barisan eksekutif. Namun
agaknya fungsi tersebut belum sempat dijalankan dengan sempurna, tercatat bahwa
memang terdapat sidang Komite Nasional pada tanggal 23 agustus 1945 sampai dengan 29
Agustus 1945 (Budiarjo, 1991: 190). Dalam siding-sidang tersebut tidak terdapat hasil
yang menonjol hal ini didasari yang menurut Hamid A Attamimi, dalam kurun waktu
berlakunya UUD 1945 belum disertai pengalaman dalam penyelenggaraan fungsi legislatif
(Budiarjo dan Ambong, 1993:32). Alasan kondisi darurat dan akibat polemik yang
diwacanakan sangat keras khususnya dari kelompok bawah tanah pimpinan Syahrir.
Pada konteks tersebut, terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh KNIP dalam
menjalankan fungsi legislatifnya adalah berupa usulan. Pengajuan usulan kepada
pemerintah tersebut menunjukkan fungsi yang dijalankan masih dalam taraf minimal,
dimana usulan bisa dipahami diterima ataupun ditolak oleh pemerintah. Usulan tentang
politik dalam dan luar negeri diterima oleh pemerintah yang pada tanggal 1 November
1945 mengeluarkan dengan apa yang diistilahkan “Manifesto Politik” (Nasution, 1995:
18).

5
Fakta sejarah kemudian mencatat bahwa pada tanggal 3 November
1945pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyerukan pembentukan
partai-partai politik :
”Berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat kepada
pemerintah, supaya memberikan kesempatan pada rakyat seluas-luasnya untuk
mendirikan partai – partai politik, dengan restriksi, bahwa partai – partai itu hendaknya
memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan
masyarakat…” (Nasution, 1995:21).
Isi maklumat yang menyebut langsung dalam kata – kata “Berhubung dengan
usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah” menunjukan bahwa
KNIP saat itu memiliki kekuatan politik penekan yang cukup besar. Setidaknya tercatat
tiga usulan dari KNIP dalam kurun waktu kurang dari satu bulan diterimaoleh
pemerintah :
1. Pertama tentang usulan politik dalam dan luar negeri yang kemudian terealisasi 1
Nopember 1945 (Manifesto Politik).
2. Kedua tentang usulan tentang pendirian partai politik tanggal 3 November 1945
(Maklumat Pemerintah) dan
3. Ketiga usulan tentang pertanggung jawaban menteri – menteri terealisasi dalam bentuk
Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945.
Dengan melihat perjalanan Komite Nasional yang mengalami berbagai
perubahan baik posisi maupun tugas yang diembannya terlihat bahwa memang
berdirinya Negara Kesatuan RI, memiliki permasalahan baik bersifat konstitutif
maupun struktur negara secara demokratis. Namun dengan melihat Komite Nasional
sebagai contoh bahwa upaya–upaya menyelesaikan permasalahan tersebut
menunjukkan pola – pola yang cukup dinamis dan penuh wacana.
Aspek unik yang kemudian dimiliki oleh KNIP, adalah bahwa struktur tersebut bisa
dianggap cukup revolusioner :
1. Munculnya KNIP bisa menimbulkan resiko gugatan secara konstitutif dalam
arti bahwa dalam batas tertentu produk dari KNIP atau setidaknya usulan produk
regulatifnya bisa dianggap ekstra parlementer. Hingga dianggap tidak memiliki dasar
untuk dijalankan.
2. Muncul ditengah hiruk pikuk revolusi baik secara internal dalam hal ini pergolakan
politik dalam negeri. Posisi jatidiri atau yang diistilahkan dengan character building
masih dalam dasar fundamen. Sehingga kemunculan KNIP dalam kancah struktur
politik nasional saat itu bisa sangat beresiko tinggi bahkan dimungkinkan
memunculkan kekuatan baru negara yang bersifat superbody sebagai kapabilitas
regulatifnya. Namun bahwa posisi KNIP menunjukkan kemanengan satu kekekuatan
politik tertentu yang dalam hal ini banyak dipengaruhi oleh Syahrir. Disamping
kemudian menunjukan bahwa sumbangsih pemikiran Syahrir yang banyak dipengaruhi

6
sosialisme liberal. Tentu saja hal ini apa yang kemudian muncul dalam produk – produk
regulatifnya banyak terpengaruh pemikiran tertentu, setidaknya munculnya produk
yang membolehkan munculnya partai-partai politik sangat erat dengan pemikiran
liberalisme.
3. Bahwa munculnya KNIP juga berada di tengah kondisi revolusi fisik menghadap
berbagai agresi militer kolonialisme. Bahwa tekanan secara militer ternyata tidak
menyurutkan untuk membentuk lembaga lain yang memiliki tujuan memperkuat
kondisi atau dasar -dasar konstitutif sebagai fundamen mekanisme utama negara.
c. Masalah Hubungan Antara Indonesia dan Belanda
a. Sejarah
Pasca Perang Dunia ke-II berakhir dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945 hal itu membuat Belanda yang ingin
menguasai wilayah itu kembali tidak senang. Belanda masih menganggap Kepulauan
Nusantara masih merupakan Hindia belanda dan Belandala-lah penguasanya. Segera
setelah itu Belanda mulai mengerahkan kekuatan militernya untuk berusaha menguasai
Indonesia. Usaha-usaha ini terus dilakukan hingga pada akhirnya Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 27
Desember 1949.
Hubungan yang dimulai selama perdagangan rempah-rempah dan Belanda
mulai membuat pos perdagangan di Hindia Belanda sebelum menjajah Indonesia Pada
1603, Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC mulai beroperasi di Indonesia di
mana ia terlibat dalam pertempuran untuk memperluas domainnya. Meskipun sejarah
Indonesia menampilkan rezim kolonial Eropa lainnya, itu adalah Belanda yang
dipadatkan terus mereka pada negara. Setelah kebangkrutan Perusahaan pada tahun
1800, negara Belanda menguasai kepulauan ini pada tahun 1826. Setelah ini negara
Belanda juga berperang melawan dia pribumi dan kemudian ditegakkan periode kerja
paksa dan perbudakan sampai tahun 1870 ketika, pada tahun 1901, mereka mengadopsi
"Kebijakan Etis Belanda dan Kebangkitan Nasional," yang termasuk investasi yang
agak meningkat dalam pendidikan adat dan reformasi politik yang sederhana. Hanya
dalam abad ke-20, bagaimanapun, adalah pemerintahan Belanda ditingkatkan untuk apa
yang akan menjadi Indonesia. Setelah penjajahan Jepang selama Perang Dunia II,
Belanda mencoba untuk membangun kembali kekuasaan mereka, di tengah perjuangan
bersenjata dan diplomatik pahit yang berakhir pada Desember 1949. Tekanan
internasional kemudian memaksa Belanda untuk memerdekaan Indonesia yang diakui
secara resmi.
b. Hubungan Politik
Setelah pengakuan kedaulatan itu tidak berarti hubungan antar Belanda dan
Indonesia membaik, masih ada beberapa masalah yang menyangkut kedua negara ini
seperti pengakuan wilayah Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Selain peristiwa
itu masih banyak masalah antara Belanda-Indonesia yang membuat hubungan kedua
negara dalam kondisi naik turun.
Hubungan antara keduanya telah dirusak oleh niat separatis Gerakan Papua
Merdeka. Selain itu, Republik Maluku Selatan juga merupakan populasi Kristen yang

7
berusaha memisahkan diri dari mayoritas-Muslim Indonesia. Dalam lapisan ini, mereka
telah menyerang target di Belanda pada 1970-an dan 1980-an, berusaha untuk memaksa
negara itu untuk menekan Indonesia menjadi memungkinkan untuk memisahkan diri
dari bangsa mereka. Hubungan politik kemudian tegangnya seperti pejabat Indonesia
menolak untuk mengunjungi Belanda, sementara kelompok itu diizinkan untuk
membawa kasus ke pengadilan terhadap mereka Pada tahun 2010., Presiden Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono, membatalkan kunjungan ke Belanda setelah aktivis
kelompok meminta pengadilan Belanda untuk mengeluarkan surat perintah
penangkapan baginya. langkah itu dikecam oleh aktivis pro-Indonesia Maluku di
Jakarta.
Pengaruh veteran Belanda terasa ketika Ratu Beatrix berencana berkunjung ke
Indonesia 17 Agustus 1995. Para veteran menyatakan keberatan Beatrix datang sewaktu
peringtatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Keberatan itu disampaikan lewat ayah
Beatrix, almarhum Pangeran Bernhard kepada parlemen Belanda.
Sebelumnya ketua parlemen Belanda, Deetman, mendukung rencana Beatrix,
tetapi kemudian menentangnya, sehingga rombongan keluarga kerajaan Belanda baru
tiba di Indonesia 21 Agustus 1995. Itu 4 hari terlambat dan di Indonesia orang
menganggapnya 50 tahun terlambat. Kunjungan kenegaraan Ratu Belanda ke Indonesia
tahun 1995 dianggap sebagai drama besar, bahkan suami Beatrix, almarhum Pangeran
Claus menganggapnya sebagai kunjungan kenegaraan terburuk yang pernah
dialaminya.
Namun, kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Bot ke Indonesia
pada tahun 2005 untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-60 ditandai dengan
momen bersejarah dalam hubungan antara kedua negara. Setelah berkunjung, hubungan
antara Indonesia dan Belanda lebih lanjut ditingkatkan dan diperkuat oleh perluasan
kerjasama dalam berbagai bidang.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai
dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini baru dilakukan pada 16
Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia,
oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada
kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan
harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60
Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Langkah Bot ini mendobrak tabu dan
merupakan yang pertama kali dalam sejarah.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang
Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT
Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI
ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya
didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar
Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Yustisi Ernst Maurits Henricus
Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi
kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk
Indonesia.

8
Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia
baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan
kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada
kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja
mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda pun mengakui tentaranya telah
melakukan penyiksaan terhadap rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca
proklamasi.
"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-
dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam
pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda,
di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi
militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah
Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan
ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan
tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005. Bot tidak menyampaikan permintaan maaf
secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot
menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini
merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat
memahami artinya," kilah Bot.
Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu
di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan
kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima
proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran
Batavia (Jakarta) ini.
Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan
nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan
tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut
menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda. Meski menyesali
penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun
tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad
penjajahannya. Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda
terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda,
Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir
Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.
Hubungan Indonesia dengan Belanda pada saat ini bisa dikatakan berjalan baik
dan bersahabat, walaupun masih mengandung masalah residual, yang belum diketahui
cara penyelesaiannya yang tepat.
Posisi Belanda di Eropa sangat menentukan. Dari seluruh negara-negara
Eropa, 'Mr. Kompeni'' itu memiliki database yang sangat lengkap mengenai Indonesia.
Mulai kekayaan alamnya, budayanya, ilmu pengetahuan, sejarah, politik, penduduk,

9
dan sebagainya. Belanda, mengembangkan dan selalu meng-up date tiap perkembangan
yang terjadi di Indonesia.
Yang paling menarik adalah Belanda ternyata menjadi pintu masuk bagi opini
publik dan negara-negara di Eropa berkaitan dengan Indonesia. Sikap resmi pemerintah
Belanda menjadi acuan bahkan rujukan resmi negara-negara Eropa untuk melakukan
sikap yang sama, dalam semua bidang, baik politik maupun ekonomi. Itulah mengapa,
posisi Belanda dianggap sangat penting bagi Indonesia.
Kenyataan lain, dengan keadaan dunia yang begitu kompleks telah menarik
hubungan RI-Belanda tidak hanya ditentukan oleh kepentingan resmi kedua negara.
Acap kali kepentingan lembaga nonpemerintahlah yang menyita perhatian cukup besar
antarkedua negara. Akibatnya, hingga kini hubungan kedua negara masih mengandung
elemen-elemen kepekaan psikologis yang tiap saat bisa menjadi hambatan bilateral.
Maka kepekaan psikologis harus ditangani secara tepat.
 Perundingan Linggarjati
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang
menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia
dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah
Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di
Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia
dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal
karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan
Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura
saja.
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili
oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan
anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator
dalam perundingan ini. Dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang
pokok-pokoknya sebagai berikut :
a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de
facto paling lambat 1 Januari 1949
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu
bagiannya adalah Republik Indonesia
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
 Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI
menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI
menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang
kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai
kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi
Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur

10
Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia
menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat
itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan
persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara
Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van
Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda
pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan
tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor
menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan
tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur,
sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik
gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan
khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat
Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar.
Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian
Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan
tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik
Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan
pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di
badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah
Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda
Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr.
Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB,
karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional,
yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional,
termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas
permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang
dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang
kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya
menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini
terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara
resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi
pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan
31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi
No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik
antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

11
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah
Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk
menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda
menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25
Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi
penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai
Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan
lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara,
yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan
Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby,
Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank
Graham.
 Perjanjian Renville
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh
Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri
dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Delegasi
Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Lalu melahirkan beberapa isi perjanjian sebagai berikut :
a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia,
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda,
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
 Agresi Militer Belanda II
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19
Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak
lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik
di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang
kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten
dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas
lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo
dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat
Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa
senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak.

12
Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap.
Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo.
Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10
bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik
tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo,
dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk
dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah
pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak
ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta
menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa
Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18
Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan
di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Soedirman yang dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden.
Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr.
Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari.
Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya
menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang
dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan
Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang
kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden
berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang
mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh
mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi
Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan
dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang
hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden
membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden
mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat
sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil
membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk
India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr.
A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta
sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri

13
Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan
Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet
pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini
tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk
Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan
hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur
sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri
yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
 Perjanjian Roem-Roijen
Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan
Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin
delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah
untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum
Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot
sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB
IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku
Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie”
Hasil pertemuan ini adalah :
a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
b. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
c. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang
 Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus
hingga 2 November 1949.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebagai berikut :
a. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi
ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa
Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan
diselesaikan dalam waktu satu tahun.
b. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda
sebagai kepala negara
c. Pengambilan alih hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
c. Pembentukan kabinet (1945-1949)

14
Era ini dimulai tahun 1945-1949, dimana interaksi demokrasi masih terbatas pada
intereksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi
kemerdekaan. elemen-elemen demokrasi lain belum sepenuhnya terwujud, karena situasi
dan kondisi yang tidak memungkinkan. Sebab energy untuk bersama-sama dengan rakyat
mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara agar negara kesatuan tetap
tewujud. Sementara itu partai politik tumbuh dan berkembang, tetapi fungsinya yang
paling utama adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan, dengan menanamkan
semangat anti kolonialisme dan imperialisme.
Kabinet- Kabinet Indonesia di era revolusi fisik adalah :
1. Kabinet indonesia pertama (1945)
2. Kabinet Sjahrir I (1945-1946)
3. Kabinet Sjahrir II (1946)
4. Kabinet Sjahrir III (1947)
5. Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947-1948)
6. Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948)
7. Kabinet Hatta I (1948-1949)
8. Kabinet “PDRI”Sjafruddin ( 1948-1949)
9. Kabinet Hatta II (1949) Kabinet Pertama (1945),
Adapun eksistensi Wakil Menteri dan pergeserannya dalam kabinet-kabinet
tersebut adalah :
a. Kabinet Indonesia pertama (1945)
Setelah proklamasi kemerdaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
keesokan harinya yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan
Indonesia ( PPKI ) dalam sidang yang pertama menetapkan tiga keputusan penting bagi
negara Republik Indonesia yang baru merdeka yaitu :
1. Menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945,
2. Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta masing-masing sebagai Presiden
dan wakil presiden,
3. Sebelum terbentuknya msjelis permusyawaratan rakyat ( MPR ), pekerjaan presiden
untuk sementara waktu oleh komite nasional.
Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1945, PPKI dalam sidangnya hari kedua
menetapkan dua keputusan lagi yaitu :
1. Penetapan 12 kementerian dalam lingkungan pemerintah, yaitu;
kementerian dalam negri, kemeterian luar negeri, kementerian kehakiman,
kementerian keuangan, kementerian kemakmuran, kementerian kesehatan,
kementerian pengajaran, kementerian perhubungan, dan kementerian pekerjaan
umum.
2. Pembagian daerah Republik Indonesia kedalam 8 propinsi, yaitu sumetera, jawa
barat, Jawa Tengah, Jawa Timut, Sunda kecil, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
Menindak lanjuti keputusan PPKI tersebut di atas dan berdasarkan pada ketentuan
Undang-undang Dasar 1945 pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara, maka pada tanggal 2 September 1945 di Jakarta, Presiden Soekarno membentuk
kabinet Republik Indonesia pertama ( Kabinet Presidensil ), yang terdiri dari 12 menteri

15
departemen sebagaimana yang ditetapkan PPKI di atas, akan tetapi Presiden soekarno
menambahkan 5 menteri negera diluar komposisi kementerian yang ditetapkan PPKI
dan mengangkat 2 wakil menteri. Pada saat kabinet dibentuk, jabatan menteri
pertahanan belum di isi. Keberadaan jabatan wakil menteri yakni wakil menteri dalam
negeri yang dijabat oleh Mr. Harmani dan Wakil Menteri penerang yang di jabat oleh
Mr. Ali Sastroamidjojo dipandang sangat penting karena situasi negara saat itu baru
merdeka yang diikuti dengan pembentukan 8 ( delapan ) propinsi sebagimana
ditetapkan PPKI tersebut di atas. Kabinet pertama tersebut tidak efektif bekerja karena
pemerintah saat itu diperhadapkan dengan keberadaan tentara Jepang yang masi
bercokol di Indonesia walaupun sudah menyerah kalah pada sekutu pada tanggal 15
Agustus 1945, akan tetapi sisa-sisa tentara Jepang masi melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Indonesia.
Situasi tersebut berahir setelah kedatangan tentara sekutu pada bulan September
1945 dengan misi melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang. Akan tetapi
kedatangan tentara sekutu tenyata diboncengi oleh NICA yang membuat marah rakyat
Indonesia sehingga pertempuran kembali terjadi anatara rakyat indonesai dengan
tentara sekutu-NICA. Situasi inilah yang membuat kabinet presidensil pertama tidak
bertahan lama, dan pada tanggal 14 November 1945 kabinet tersebut dinyatakan
berakhir dengan terbentuknya kabinet parlementer pertama. Dengan demikian kabinet
presidensil pertama ini hanya berusia 2 bulan 12 hari.
b. Kabinet Sjahrir I (Kabinet Parlementer)
Setelah berakhirnya Kabinet pertama ( Kabinet Presidensil ), badan pekerja
Komite Nasional pusat mengusulkan kepada pemerintah, agar rakyat diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik ( dengan beberapa pembatasan),
sehingga keluarlah Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang intinya menyetujui
usulan tersebut. Dalam Maklumat tersebut, pemerintah menegaskan bahwa :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-
partai politik itulah dapat dipimpin kejalan yang lebih teratur segala aliran paham
yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap agar partai-partai politik telah tersusun, sebelum dilakukan
pemilihan badan-badan perwakilan rakyat pada Januari 1956. Anjuran pemerintah
tersebut kemudian dipertegas kembali dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945 yang isinya sebagai berikut : “ untuk mendorong dan memajukan
tumbuhnya pikiran-pikiran politik, maka pemerintah republik Indonesia
menganjurkan pada rakyat untuk mendirikan partai-partai guna mewakili segala
pikiran politik dalam negara. Bibit-bibit dari beberapa partai itu sudah timbul
sebelum penjajahan jepang, akan tetapi tidak menampakkan diri dalam zaman
pemerintahan jepang disini. Baik Jepang maupun Belanda bertindak keras terhadap
komunis dan partaipartai politik yang menghendaki kemerdekaan sesempurna-
sempurnanya. Republik Indonesia tidak akan melarang organisasi politik selama
dasardasarnya atau aksi-aksinya tidak melanggar asas-asas demokrasi yang sah”.
Sejak itulah partai-partai politik mulai bermunculan antara lain :
1. Partai Komunis (7 September 1945),

16
2. Partai Masjumi (7 November 1945),
3. Partai Buruh Indonesia (8 November 1945),
4. Partai Kristen Indonesia/PARKINDO (10 November 1945),
5. Partai Pemuda Sosialis Indonesia/ PESIDO (10 November 1945),
6. Partai Sosialis Indonesia (12 November 1945).
Pada 16 Oktober 1945, Komite Nasional Pusat dalam sidangnya mengusulkan
kepada Presiden Soekarno agar KNIP diberi hak legislasi selama MPR dan DPR
belum terbentuk. Atas usul tersebut maka pada hari yang sama Wakil Presiden Hatta
mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X, yang menetapkan bahwa Komite
Nasional Pusat, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Kemudian pada tanggal 17
Oktober 1945, KNIP membentuk badan pekerja dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua
dan Amir Sjarifuddin sebagai wakil ketua. Selanjutnya pada tanggal 11 November
1945, Badan Pekerja KNIP mengusulkan lagi kepada Presiden tentang pertanggung
jawaban menteri-menteri kepada badan perwakilan rakyat (dalam hal ini Komite
Nasional Pusat ) yang selanjutnya dijelaskan dalam pengumuan badan pekerja No. 5
Tahun 1945, yaitu sebagai berikut :
“Supaya lebih tegas adanya kedaulatan rakyat dalam susunan pemerintah
Republik Indonesia, maka berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, badan
pekerja dalam rapatnya telah membicarakan soal pertanggung jawaban menteri
kepada badan perwakilan rakyat ( menurut susunan sementara kepada Komite
Nasional Pusat ). Seperti diketahui bahwa dalam UUD kita tidak terdapat pasal, baik
yang mewajibkan atau melarang para menteri bertanggung jawab. Pada palin pihak,
pertanggung jawaban menteri pada badan perwakilan rakyat itu , adala sesuatu jalan
untuk memperkuat kedaulatan rakyat. Maka berdasarkan alasan tersebut, maka
badan pekerja mengusulkan kepada presiden untuk mempertimbangkan adanya
pertanggung jawaban itu dalam susunan pemerintahan. Presiden menerima baik
usulan badan pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulai adanya pertanggung
jawaban para menteri kepada badan perwakilan rakyat dalam susunan pemerintahan
negara Republik Indonesia”.
Setelah diterimanya usulan tersebut, maka pada tanggal 14 November 1945,
melalui Maklumat Pemerintah, Kabinet Presidensil dibawah pimpinan Presiden
Soekarno akhirnya meletakkan jabatan dan diganti dengan kabinet baru ( Kabinet
Parlementer ) dengan pimpinan perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dan sejak itulah,
kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden melainkan kepada KNIP yang
keanggotaannya didominasi oleh kelompok sosialis pendukung Sutan Sjahrir.
Selain mengusulkan kepada presiden tentang pertanggung jawaban Menteri-
Menteri kepada badan perwakilan rakyat ( dalam hal ini, KNIP ), pada tanggal 11
November 1945 BP-KNIP juga menunjuk Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin juga
sebagai pembentuk Kabinet Parlementer. Keputusan tersebut disetujuai oleh wakil
Presiden Hatta karena waktu itu Presiden Soekarno sedang berada diluar kota.
Kabinet Sjahrir mendapat kepercayaan penuh dari Komite Nasional Pusat
dengan dukungan suara mayoritas yaitu; 84 suara setuju, 8 suara menolak dan 15
suara blanko. Akhirnya melalui Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945

17
Kabinet Parlementer pertama pimpinan Sutan Sjahrir disahkan. Pada tanggal 23
November 1945 Jam 12.30 di Jakarta, dilakukan upacara resmi penyerahan
pekerjaan kabinet lama kepada kabinet baru yang di hadiri Presiden dan Wakil
Presiden. kemudian KNIP dalam sidangnya yang kedua tanggal 25-27 November
1945, menyetujui pula adanya pertanggung jawaban menteri tersebut dengan kata-
kata :
Kabinet Sjahrir ( Kabinet Indonesia kedua ), terdiri dari 12 kementerian
( Depertemen ) 1 menteri negara dan 2 wakil menteri. Dalam kabinet ini Sutan
Sjahrir menjabat tiga jabatan sekaligus yakni selaku Perdana Menteri dan Menteri
Dalam Negeri sekaligus Menteri Luar Negeri. Sementara Amir Sjarifuddin menjabat
dua jabatan Menteri, yaitu Menteri Penerangan dan Menteri Keamanan Rakyat.
Karena itu pembentukan dua jabatan wakil menteri dalam kabinet ini hanya pada
kementerian dalam negeri dan menteri penerangan mengingat karena beratnya beban
kerja dari kedua pejabat tersebut di atas. Anehnya rangkap jabatan oleh Perdana
Menteri Sjahrir dan menteri Amir Sjarifuddin tidak dipersolkan KNIP saat itu yang
mempercayakan keduanya untuk meyusun kabinet, karena mayoritas anggota KNIP
adalah pendukung Sjahrir dari kelompok sosialis.
Kabinet Sjahrir yang pertama ini tidak bertahan lama dan hanya bertahan 3
bulan 14 hari. Hal ini disebabkan karena adanya pertentangan antara oposisi
persatuan perjuangan yang dimotori oleh Tan Malaka, (Suatu koalisi Partai-Partai
dan Golongan-golongan diluar Badan Pekerja atau Komite Nasiona Pusat) koalisi
tesebut juga didukung oleh tentara dan kurang lebih 137 organisasi yang bergabung
hanya dalam waktu satu bulan, yang juga tidak setuju terhadap politik Sjahrir yang
dinilai terlalu berkompromi dengan Belanda. Sementara itu Tan Malaka dan
kelompoknya menginginkan kemerdekaan sepenuhnya dan menolak keras berunding
dengan Belanda apapun tawarannya. Inilah awal bagi Tan Malaka dan kelompoknya
menentang kebijakan Kabinet Sjahrir hingga Perdana Menteri Sjahrir Meletakkan
jabatan dan mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno pada 26 Februari
1946 dalam sidang ketiga KNIP di Solo yang hanya dihadiri 218 anggota dari 294
orang anggotanya
c. Kabinet Sjahrir II (1946)
Setelah Kabinet Sjahrir dinyatakan berakhir, maka Presiden Sukarno
menganjurkan dibentuknya kabinet baru dalam bentuk kabinet koalisi yang dapat
mengakomodasi seluruh kekuatan politik yang ada saat itu. Semula Presiden
Soekarno menyerahkan pembentukan kabinet kepada persatuan perjuangan
pimpinan Tan Malaka akan tetapi tidak ada titik temu antara Presiden dengan pihak
persatuan perjuangan mengenai program kerja kabinet yang akan dibentuk, maka
Presiden Soekarno kembali mempercayakan kepada Sutan Sjahrir untuk membentuk
kabinet baru.
Setelah mengadakan perundingan dengan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Hatta, maka susunan baru Kabinet pimpinan Sjahrir diumumkan pada
tanggal 12 Maret 1946. Kabinet ini terdiri dari 13 keMenterian ( Depertemen ), 1
Menteri negara dan 10 Menteri Muda. Dalam Kabinet Sjahrir kedua ini persatuan
perjuangan tidak ikut dalam Kabinet, bahkan melarang semua anggotanya untuk

18
bergabung dengan kabinet baru tersebut dengan alasan bahwa persatuan perjuangan
tidak menyetujuai program kerja Kabinet Sjahrir II tersebut. Pada masa Kabinet
Sjahrir II, jabatan Wakil Menteri mengalami pergeseran dan mulai diperkenalkan
jabatan menteri-menteri muda yang hamper meliputi semua kementerian. Yang tugas
pokoknya dapat dipersamakan dengan wakil menteri dalam kabinet sebelumnya.
dalam kabinet ini pula untuk pertama kalinya perempuan diberi kesempatan menjadi
menteri yakni Ny.Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial.
Adapun program kerja dari Kabinet Sjahrir yang kedua ini yang mempunyai
lima program pokok yaitu:
1. Berunding atas dasar pengakuan Republik Indonesia merdeka 100%,
2. Mempersiapkan rakyat dan negara disegala lapangan politik, ketentaraan
ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia,
3. Menyusun pemerintah pusat dan daerah yang demokratis,
4. Berusaha dengan segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian,
5. makanan dan pakaian,
6. Tentang perusahaan dan perkebunan hendaknya diambil tindakan-tindakan,
7. termaktub dalam Undang-Undang Dasar pasal 33.
Sjarir menamakan program Kabinetnya yang kedua ini “lima pokok dari
Soekarno”. Demikian pula Tan Malaka menganggap program tersebut berasal dari
Soekarno-Hatta.
Kabinet Sjarir kedua ini bubar bukan karena adanya mosi tidak percaya di
perlemen, tetapi karena terjadinya penculikan Perdana Menteri Sjahrir, sehingga
memaksa Presiden untuk mengambil-alih kekuasaan pemerintah sementara sejak
tanggal 28 Juni 1946 berdasarkan Maklumat Presiden 1946 No.
1. Dengan demikian, sistem kabinet (Parlementer) kembali ke sistem Presidensil.
Sedangkan Sjahrir masih tetap menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Jadi, dapat
dikatakan bahwa Kabinet Pimpinan Perdana Menteri Sjahrir ini hanya
memerintah selama 3 bulan 16 hari, dan telah demisioner sejak dikeluarkannya
Maklumat Presiden tersebut.
Semasa Kabinet Sjahrir kedua ini, perjuangan melawan tentara sekutuNICA
masih terus berlanjut. Di samping melakukan aksi militernya, Belanda juga berusaha
melaksanakan politik pecah belahnya (devide et empera). Kali ini dengan
menyelenggarakan konferensi Malino sebagai jalan untuk memecah-belah persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Konferensi diselenggarakan atas prakasa Dr. H.J. Van
Mook di Malino (Sulawesi Selatan) tanggal 15-25 Juli 1946. Konferensi dihadiri oleh
utusan-utusan dari beberapa daerah yang berada di bawah penduduk Belanda. Utusan-
utusan daerah tersebut adalah Kalimantan Barat (3 orang), Bangka Belitung (2 orang),
riau (1 orang), Sulawesi Selatan (4 orang), Minahasa (2 orang), Manado tanpa
minahasa (2 orang), Bali (2 orang), Lombok (2 orang), Timor (3 orang), Sangihe-
Talaud (1 orang), Maluku utara (2 orang), Maluku Selatan (4 orang), dan Papua (1
orang). Wakil-wakil dari jawa dan Madura tidak ada. Isi penting dari konferensi
tersebut adalah pembentukan negara-negara di wilayah Indonesia yang akan merupakan
Negara-negara bagian disuatu negara federal. Dalam konferensi ini telah dibahas secara
khusus rencana pembentukan suatu negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia

19
Bagian Timur. Sementara itu pertikaian antara pemerintah dan para pemimpin persatuan
perjuangan tambah meningkat. Selesai kongres persatuan perjuangan di Madiun tanggal
17 Maret 1946, yang sangat mengecam kebijaksanaan pemerintah, pemerintah segera
mengambil tindakan dengan menahan Tan Malaka bersama beberapa pengikutnya (Abi
Koesno Tjokrosujoso, Mohammad Yamin, Soekarni, Sajuti Melik, Chairul Saleh, dan
Wondoamiseno), di tangkap di Surakarta. Tan Malaka ditangkap atas perintah menteri
Pertahanan Amir Sjarifoeddin, tindakan ini diambil pemerintah berdasarkan
pengumuman Kementrian pertahanan dan kementrian dalam negeri yang dikeluarkan
pada tanggal 18 Maret 1946 setelah penahanan dilakukan. Berkenaan dengan keluarnya
Maklumat No. 1 tahun 1946, maka BPKNP dalam sidangnya tanggal 8 Juli 1946 di
Yogyakarta memutuskan:
1) Menyetujuai tindakan presiden yang dengan persetujuan Kabinet mengambil
pemerintah sepenuh-penuhnya buat sementara waktu, dengan tetap bertanggung
jawab kepada BP-KNP.
2) Diharapkan setelah dilakukan tindakan-tindakan untuk menyelamatkan negara
tersebut, maka segera kekuasaan pemerintahan dari presiden diserahkan kembali
kepada dewan keMenterian yang bertanggung jawab kepada BP-KNP.69 Dengan
demikian tindakan Presiden untuk mengambil kekuasaan tersebut, telah disetujui
oleh Komite Nasional Pusat yang berpendirian bahwa tindakan presiden
tersebuttelah tepat sesuai dengan kondisi politik untuk menjamin keselamatan
negara.
d. Kabinet Sjahrir III (1946-1947)
Sejak Kabinet Sjahrir II dinyatakan demisioner, Komite Nasional Pusat dalam
rapatnya tanggal 13 Agustus 1946 di purworejo mendesak kepada Presiden untuk
membentuk kabinet baru yang bertanggung jawab kepada BP-KNP dan melanjutkan
usaha untuk menyelamatkan negara. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1946,
presiden menunjuk kembali Sutan Sjahrir untuk membentuk Kabinet yang bersifat
persatuan nasional . Penunjukan Sjahrir sebagai formatur, karena yang bersangkuan
sebagai orang yang diperlukan untuk menjalin hubungan dengan pihak Belanda dan
Inggris, Namun Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih kolega-koleganya
sesama golongan sosialis dalam kabinetnya sebagimana dalam kabinet sebelumnya.
Pada tanggal 2 0ktober 1946, kabinet Sjahrir ketiga resmi terbentuk yang bersifat
nasional. Dan di sahkan dengan Maklumat Presdien 1946. No. 3 tanggal 2 Oktober
1946.70 Dengan demikian, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri untuk yang
ketiga kalinya secara berturut-turut. Dan bersamaan dengan itu pulah, pada jam 11.00
Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat No.2 Tahun 1946 yang isinya “oleh
karena keadaan dalam negeri telah kembali seperti biasa, sehingga Kabinet dan lain-
lain badan resmi dapat bekerja sebagaimana mestinya, maka Maklimat Presiden No.1
tahun 1946, kami cabut.”71 Kabinet Sjahrir III ini dilantik oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 5 Oktober 1946 malam hari di Cirebon. Dalam komposisi Kabinet ini
jabatan Wakil Menteri tidak lagi ada sebagaimana dalam Kabinet Sjahrir I yang ada
hanyalah jabatan Menteri Muda yang tugas pokoknya dapat dipersamakan dengan
Wakil Menteri sebagimana dalam kabinet sebelumnya karena secara rinci dalam
kompisisi kabinet disebutkan bahwa menteri muda adalah anggota kabinet. Akan tetapi

20
komposisi wakil menteri dalam kabinet ini menurut penulis diadakan bukan karena
beratnya beban kerja dari menteri utama akan tetapi lebih disebabkan untuk
meminimalisasi tekanan politik dari kelompok persatuan perjuangan dengan demikian
kabinet kembali ke Sistem Parlementer dan Sjahrir kembali menjadi kepala
pemerintahan.
Dalam kabinet ini, Sutan Sjahrir masi tetap merangkap jabatan yakni selaku
Perdana Menteri dan Menteri luar Negeri. Susunan Kabinet Sjahrir III terdiri dari 13
kementerian ( Departemen ), 5 Menteri Negara, dan 12 Wakil Menteri. Dalam
komposisi kabinet ini masih tetap didominasi oleh orang-orang lama dari Kabinet
Sjahrir II yakni sebanyak 16 orang. Sementara wakil-wakil partai politik dan golongan
terdiri dari Partai Masjumi 7 Menteri, partai sosialis 5 Menteri, PNI 4 Menteri,
Parkindo 2 Menteri dan masing-masing seorang Menteri dari Perwari/PPI, BKP, PBI,
BTI, dan dari non Partai 8 Menteri. Sementara wakilwakil golongan terdir dari; A.R.
Baswedan dari golongan peranakan arab, Tan Poo Goan dari golongan Tiong Hoa, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dari golongan ningrat dan Mr. Soegoendo dari aliran
demokrat. Sedangkan kelompok persatuan perjuan pimpinan Tan Malaka tidak ikut
dalam kabinet.Walaupun anggota Masjumi juga masuk dalam kabinet Sjahrir III akan
tetapi bukan berari sikap partai tersebut sepenuhnya mendukung kabinet nasional
bentukan Sjahrit tersebut, mereka tetap berkomitmen dengan kelompok persatuan
perjuangan pimpinan Tan Malaka, akan tetapi tidak melarang anggotanya duduk di
Kabinet Sjahrir tersebut.
Program kabinet dalam kabinet Sjahrir III tidak ada perubahan hanya melanjutkan
program Kabinet Sjahrir II.Pada tanggal 27 April 1947, kabinet mengalami
penambahan menteri, yaitu Dr. D.D. Setiabudi yang diangkat menjadi Menteri Negara
( berdasarkan Keputusan Presiden RI. No. 23-A-47 ). Dengan demikian jabatan
Menteri negara bertambah menjadi 6 orang. Dalam perkembangannya terjadi
pertentangan sengit antara partai-partai yang ada dalam kabinet terutama Masjumi dan
beberapa partai lainnya yang masih punya hubungan dengan kelompok persatuan
perjuangan diluar kabinet, yang tidak setuju dengan gaya politik Sjahrir yang terlalu
kompromistik dengan Belanda. Sehingga kabinet ini hanya bertahan selama 8 bulan 25
hari. Pada masa Kabinet Sjahrir yang ketiga ini, pemerintah masih harus menghadapi
aksi militer dari tentara Belanda yang masih mengganggu keamanan dalam negeri,
walaupun tentara sekutu telah meninggalkan Indonesia. Di samping aksi militer
tersebut, Belanda juga masih berusaha memecah-belah Indonesia dari “dalam” bangsa
Indonesia sendiri, seperti diantaranya pembentukan Negara Indonesia Timur dalam
Konferensi “Denpasar”di Denpasar (Bali) tanggal 18-24 Desember 1946 dengan
Sukawati terpilih sebagai presidennya dan Nadjamuddin Daeng Malewa sebagai
Perdana Menterinya. Kemudian Soeria Kartalegawa, ketua Partai Rakyat Pasundan,
pada tanggal 4 Mei 1947 memploklamirkan “Negara Pasundan” di Jawa Barat dengan
dia sendiri sebagai kepala negaranya: dan tanggal 12 Mei 1947, lagi-lagi Van Mook
berhasil mendirikan “Daerah Istimewa Borneo Barat” dengan Sultan Hamid Algadrie
II sebagai kepala daerahnya.
1. Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan defacto pemerintah Republik
Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Sebelum Kabinet Sjahrir ini demisioner,

21
pemerintah berhasil mengadakan persetujuan dengan pihak Belanda yang terkenal
dengan nama “Persetujuan Linggarjati”. Sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggarjati (Cirebon) dilangsungkan perundingan antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda yang dipimpin oleh Lord Killearn dari Inggris. Perundingan yang
menghasilkan “Persetujuan Liggajati” ini berisi 17 Pasal (naskah persetujuan dibuat
dalam bahasa Belanda dan Indonesia) dan diparaf oleh kedua belah pihak pada
tanggal 15 November 1946 di rumah Sjahrir di Jakarta. Adapun secara singkat isi
naskah tersebut adalah sebagai berikut:
2. Pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia bersama-sama menyelenggarakan
segera berdirinya sebuah Negara berdaulat dan berdemokrasi yang berdasarkan
Perserikatan dan dinamai dengan negara Indonesia Berserikat. Adapun Negara-
negara yang kelak merupakan negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia
(Jawa, Madura, dan Sumatera), Borneo dan Indonesia Timur.
3. Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia akan bekerja bersama untuk
membentuk Persukutuan Belanda-Indonesia yang meliputi Kerajaan Belanda
(Negeri Belanda, Suriname dan Curacao) dan Negara Indonesia Serikat. Dipucuk
Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduklah Ratu Belanda.
4. Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesiaakan mengusahakan supaya
terwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah
selesai sebelum tanggal 1 januari 1949. Unit tersebut akan menentukan sendiri
badan-badan perwakilannya untuk mengatur masalah-masalah kepentingan bersama
di negara-negara anggota, terutama masalah Luar Negeri, Pertahanan serta kebijakan
keuangan dan ekonomi tertentu.
5. Dengan segera setelah persetujuan ini menjadi, maka kedua belah pihak melakukan
pengurangan kekuatan angkatan balatentaranya masing-masing.74 Dengan adanya
“Persetujuan Linggarjati” ini sempat terdapat pro dan kontra di dalam negeri
Indonesia sendiri. Kelompok yang menerima/pro Persetujuan Linggarjati
diantaranya adalah Partai Sosialis, Persindo, Partai Komunis Indonesia, Partai buruh,
Partai-partai Kristen, dan Katolik. Sedangkan kelompok yang kontra diantaranya
Partai Nasional Indonesia, Masjumi, Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi, partai
rakyat yang semuanya tergabung dalam Benteng Republik. Kabinet sendiri dalam
sidangnya tanggal 30 November 1946,menyetujui naskah Liggarjati. Tiga bulan
kemudian setelah diparafnya persetujuan Linggarjati, pada tanggal 25 Pebruari
sampai dengan 5 Maret 1947, KNIP sidang di Malang untuk membahas masalah
perjanjian linggarjati. Disela-sela sidang KNIP tersebut Presiden mengeluarkan
Peraturan Presiden 1947 No.6 tanggal 29 Desember 1946 yang isi tentang
penambahan anggota KNIP dari 200 menjadi 514 anggota ( kenaikan 250% ).
Didepan sidang KNIP tanggal 27 Pebruari 1947, wakil Presiden mengancam dengan
kata” bilamana Peraturan Presiden No.6 ini ditolak, terserahlah untuk mencari
Presiden baru.” Akhirnya pada tanggal 5 Maret 1947, KNIP yang diperluas itu
menerima mosi kepercayaan terhadap kabinet Sjahrir dengan dukungan 284 suara,
dengan demikian pemerintah dapat menendatangani naskah persetujuan Linggarjati
yang 17 Pasal itu.
e. Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947)

22
Sejak tanggal 27 Juni 1947, Kabinet Sjahrir Ketiga telah bubar dan kekuasaan
pemerintah telah diambil-alih oleh Presiden (berdasarkan Maklumat Presiden 1947 no.
6 tertanggal 27 Juni 1947). Dengan demikian perlu dibentuk suatu Kabinet baru.
Tanggal 30 Juni 1947, Presiden Soekarno menunjuk 4 orang formatur kabinet untuk
menyusun kabinet koalisi berdasar nasional, yaitu: Mr. Amir Sjarifuddin (Partai
Sosialis), Dr. A.K. Gani (PNI), Dr. Sukiman (Masjumi), dan Setiadji (PBI). Kabinet
harus sudah selesai disusun pada jam 6 sore tanggal 1 Juli. Namun tanggal 1 Juli 1947,
pembentukan Kabinet gagal, karena Masjumi menuntut kursi perdana menteri dan
menteri pertahanan, luar negeri serta dalam negeri. Tanggal 2 Juli 1947, diadakan terus
menerus perundingan partai-partai politik di istana Kepresidenan. Jam 23.15 malam,
Presiden Soekarno menunjuk Pada jam 22.00, para formatur menyerahkan kembali
mandatnya kepada Presiden.
kembali Mr. Amir Sjarifuddin, Dr. A.K. Gani dan Setiadjid untuk membentuk
kabinet nasional. yang harus sudah selesai tanggal 13 Juli sebelum jam 12.00 siang77.
Di sini terlihat, bahwa partai Masjumi tidak di ikutsertakan lagi dalam formatur
kabinet. Akhirnya setelah ada kesepakatan diantara partai-partai politik, maka pada
tanggal 3 Juli 1947 14.15 siang, kabinet baru yang bercorak Nasional Pimpinan
Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin disahkan. 78 Dalam komposisi Kabinet ini,
Partai Masjumi (sebagai partai dari golongan Islam) tidak ikut duduk dalam Kabinet,
padahal awal mula kabinet ini dibentuk, harus bercorak nasional, yaitu mencakup
semua partai politik/golongan yang ada. Namun demikian, sebagai wakil dari golongan
Islam di kabinet diwakili oleh PSII ( Partai Sarekat Islam Indonesia), yang merupakan
pecahan dari Masjumi. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin ini, terdapat sembilan menteri
yang dengan Maklumat Presiden 1947 no. 7 tertanggal 3 Juli 1947: dan pada jam 20.00
malam harinya, Kabinet Amir Sjarifuddin (Kabinet Republik Indonesia kelima) ini pun
lantik oleh Presiden Soekarno. Dalam kabinet ini untuk pertama kalinya jabatan Wakil
Perdana Menteri dibentuk, sementara Wakil Menteri dalam kabinet ini tidak dibentuk
hanya Menteri muda yang kurang lebih sama fungsinya dengan Wakil menteri. Kabinet
ini terdiri dari 2 wakil perdana Menteri, 14 kementrian (departemen), 6 Menteri negara
dan 11 Menteri muda. Seperti dalam Kabinet sebelumnya, Kabinet Amir Sjarifuddin I
ini juga menganut sistem Parlementer.
berasal dari Kabinet Sjahrir III, yaitu Soesanto Tirtoprodjo, A.K. Gani, Amir
Sjarifuddin, Djuanda, Hamengku Buwono IX, Agoes Salim, Leimena, A.M.
Djojodiningrat, dan H. Laoh. Sedangkan komposisi partai politik dalam kabinet adalah
PNI 7 Menteri, partai sosialis 6 Menteri, PSII 5 menteri, PBI 4 menteri, dan badan
kongres pemuda, PKI, PKRI, BTI, masing-masaing satu menteri, serta dari tidak
berpartai 6 menteri. Di samping itu, dalam kabinet, untuk pertama kalinya dibentuk
kementrian perburuhan yang dibentuk dengan PenetapanPemerintah no. 3 tahun 1947.
Pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin ini, mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir
diangkat sebagai penasihat Presiden pada tanggal 30 Juni 1947 (berdasarkan penetepan
presiden no. 8 tahun 1947). Seperti dalam kabinet-kabinet sebelumnya, kabinet ini pun
mengalami beberapa pergantian dan pengangkatan sejumlah menteri, seperti
diantaranya.

23
1. Di dalam Kabinet ini diminta duduk pula S.M. Kartosuwirjo (PSII) sebagai Menteri
Muda Pertahanan II dan Surowijono (PSII) sebagai Menteri Muda Pengajaran.
namun, mereka tidak mau menerima pengangkatan tersebut, sehingga tidak jadi
diangkat.
2. Karena Kyai Achmad As’jari dari PSII yang diangkat sebagai Menteri Agama tidak
bisa datang kejakarta dari Sumatera, maka diangkatlah H. Anwaruddin yang juga
dari PSII sebagai Menteri Agama ad interim pada tanggal 9 Oktober 1947.
3. Tanggal 11 Agustus 1947, Menteri Pekerjaan Umum Moh. Enoch berhenti dari
jabatannya dan diganti oleh Menteri Muda pekerjaan umum Ir. H. Laoh. Bersamaan
dengan pengangkatan Ir. H. Laoh jabatan Menteri Muda Pekerjaan umum
ditiadakan.
Program kabinet: adapun mengenai program kerja Kabinet Amir Sjarifuddin
ini secara tegas tidak pernah diumumkan. Sehingga segala kerja dan kebijaksanaan
pemerintah dalam kabinet ini tidak jauh berbeda dengan Kabinet Sjahrir yang lalu.
Kabinet ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal 11 November 1947, Perdana
Menteri Amir mengadakan reshuffle kabinetnya dengan masuknya Partai Masjumi ke
dalam Kabinet. Partai ini pada awal di bentuk kabinet, tidak di ikutsertakan. Jadi,
reshuffle kabinet ini semata-mata untuk memenuhi sifat yang nasional. Dengan
demikian, kabinet Amir hanya bertahan selama 4 bulan 8 hari. Pada masa Kabinet Amir
yang pertama ini, Belanda masih meneruskan politik pecah-belahnya . pada tanggal 2
Agustus 1947 Bangka-Belitung oleh Belanda dijadikan “daerah otonom”. Tanggal 26
Agustus 1947, Van Mook melantik ‘Dewan Borneo Timur” di Samarinda. Kemudian
pada tanggal 4 November 1947, Belanda melantik “Dewan Gorontalo”.
Di samping itu pula, belanda makin gencar melaksanakan aksi militernya,
yaitu dengan melancarkanagresi militer pertamanya. Pada tanggal 16 Juli 1947,
pemerintah Indonesia menolak ultimatum Belanda tentang peberhentian permusuhan
yang dari satu pihak saja. Akibatnya, pada tanggal 20 Juli 1947 pemerintah Belanda
memberikan kuasa penuh pada Dr. Van Mook untuk mengadakan “aksi polisionil” dan
untuk suatu tindakan yang dipandang perlu. Tengah malem, gedung-gedung republik
diduduki serdadu-serdadu Belanda. 81 Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan
serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik. Serangan militer ini dikenal
dengan Agresi Militer Belanda pertama.
Serangan Belanda dari segala jurusan ini membuat pasukan TNI sempat
terpencar. Jawa dan Sumatera digempur dengan pasukan bersenjata lengkap dan
modern. Namun, setelah mengkonsolidasikan kekuatannya dan membengun daerah-
daerah pertahanan baru, TNI menggunakan taktik gerilya guna menghadapi pasukan
Belanda. Akhirnya kekuasaan dan gerakan-gerakan pasukan Belanda berhasil dibatasi
hanya di kota-kota besar dan jalan-jalan raya, sedangkan di luar itu kekuasaan berada di
tangan TNI.
Sementara itu di luar negeri, agresi militer Belanda ini mendatangkan reaksi
keras. Wakil-wakil India dan Australia di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia
dibahas dalam dewan keamanan. Akhirnya dewan keamanan PBB memerintahkan
kedua belah pihak untuk segra menghentikan pertempuran82. Pada tanggal 4 Agustus
1947, pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia pada pukul 00.00 mengumumkan

24
gencatan senjata. Pada tanggal 14 Agustus 1947, wakil Indonesia Sutan Sjahrir
berbicara di sidang Dewan Keamanan mendesak supaya dewan keamanan membentuk
sebuah arbitrase yang tidak berpihak83. Pada tanggal 25 Agustus 1947, Dewan
Keamanan menerima usul yang diajukan oleh Amerika yang menawarkan jasa-jasa
baiknya untuk penyelesaian persengketaan secara damai antara Indonesia Belanda
sesuai dengan resolusi Dewan Keamanantanggal 1 Agustus 19478482. 30 Tahun
ndonesia Merdeka (1945-1947 ), op.cit., hlm.145. 83. Dius Marpaung, op.cit., hlm.356.
84 . Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, Cetakan Pertama ( Jakarta: Sinat Harapan,
1983 ), hlm.51-56.
Dan pada tanggal 27 Agustus 1947, Republik Indonesia menerima usul tentang
pembentukan KTN (Komisi Tiga Negara) yang memberikan jasa-jasa baik untuk
membantu menyelesaikan pertikaian IndonesiaBelanda. Pemerintah Belanda memilih
Belgia untuk duduk sebagai anggota KTN (tanggal 3 September 1947), sedang
Indonesia memilih Australia (tanggal 7 September 1947), kemudian Australia dan
Belgia memilih Amerika Serikat (19 September 1947).
Namun dalam kenyataannya, meskipun secara resmi telah ada gencatan
senjata, belanda masih berusaha memperluas wilayahnya. Bahkan secara sepihak,
Belanda memproklamirkan apa yang dinamakan “garis Van Mook” sebaga garis batas
posisi-posisi mereka pada saat terjadi gencatan senjata.
f. Kabinet Amir Sjahrifuddin II (1947-1948)
Pada tanggal 11 November 1947, perdana Menteri Amir Sjarifuddin merubah
Kabinetnya yang kemudian diumumkan dalam sidang BP-KNIP. Dalam Kabinet Amir
Sjarifuddin yang kedua ini masuk Partai Masjumi yang sebelumnya tidak ikut serta
duduk dalam Kabinetnya yang pertama. Dalam Kabinet hasil reshuffle ini, Masjumi
menepatkan 5 orang wakilnya yang duduk dalam kabinet. Kabinet Amir kedua (Kabinet
Republik Indonesia keenam) inipun dilantik pada tanggal 12 November 1947 pada jam
12.00. Komposisi Kabinet Amir Sjarifuddin yang kedua ini tidak jauh berbeda dengan
Kabinetnya yang pertama. Di samping masukmya 5 orang wakil dari Partai Masjum,
susunan personalia Kabinet Amir yang kedua ini hanya mengalami pergeseran dan
perubahan diantara para Menteri, termasuk tambahnya 1 orang Wakil Perdana Menteri
dari Partai Masjumi, denga demikian, kabinet ini terdiri dari 4 Wakil Perdana Menteri,
14 Kementerian (Departemen), 7 Menteri Negara, dan 11 Menteri Muda. Walaupun
demikian, perubahan kabinet ini belum memuaskan banyak pihak termasuk Masjumi.
Ahirnya, Amir Sjarifuddin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri pada
tanggal 23 Januari 1948, Yang ditetapkan melalui Maklumat Presiden 1948. No. 2
tanggal 23 Januari 1948. Walaupun kabinet ini sudah dinyatakan bubar ( demisioner ),
namun tetap meneruskan pekerjaannya seperti biasa sampai terbentuknya kabinet baru.
g. Kabinet Hatta I ( 1948-1949 )
Setelah berakhirnya Kabinet Amir Sjarifuddin II pada tanggal 23 Januari 1948,
pada saat yang sama juga Presiden Soekarno menunjuk Wakil Presiden Hatta sebagai
formatur kabinet untuk membentuk kabinet darurat yang berbentuk “Presidensial Zaken
Kabinet”. Penunjukan Hatta sebagai formatur kabinet karena tidak ada orang partai
yang bersedia, karena tidak mau menanggung resiko akibat karena adanya persetujun
renville.

25
Pada tanggal 29 Januari 1948 Kabinet Presidensil resmi terbentuk yang dipimpin
Hatta sebagai Perdana Menteri yang kemudian di sahkan melalui Maklumat Presiden
1948 No.3 dengan dengan 4 program pokok yaitu:
1. Menyelenggarakan Pesetujuan Renville :
2. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat
3. Rasionalisai 4. Pembangunan.
Dalam Maklumat Presiden 1948 No.3 disebutkan bahwa pimpinan sehari-hari
atas kabinet dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta, akan tetapi dalam prakteknya
menandatangani perundang-undangan sebagai perdana menteri92 92. Sebagimana
dalam prektek pemerintahan Presidensil, Kabinet Presidensil hanya bertanggung jawab
pada Presiden. akan tetapi kabinet Hatta dalam prakteknya juga bertanggung jawab
kepada KNIP. Dalam Kabinet Hatta I Komposisi Menteri terdiri dari 15 KeMenterian
(departemen), 1 Menteri negara. Sementara jabatan Wakil Menteri atau Menteri Muda
sama sekali tidak ada. Adapun komposisi partai plitik dalam kabinet ini terdiri dari
Masjumi 4 Menteri, PNI 3 menteri, sementa PKRI, Parkindo,PSI, PGRI masing-masing
1 Menteri, serta 4 Menteri dari non partai. Semula Hatta ingin membentuk kabinet
persatuan nasional yang mengikut sertakan dalam kabinetnya seluruh partai besar. Akan
tetapi kemauan kelompok sayap kiri piminan Amir Sjarifuddin yang meminta jatah 4
jabatan Menteri dengan Amir Sjarifuddin sebagi menteri pertahanan di tentang oleh
Masjumi dan PNI. Ahirnya Hatta mengalah pada Masjumi dan PNI dan memilih partai
tersebut untuk duduk dalam kabinetnya, sehingga Amir Sjarifuddin dan kelompoknya
memilih menjadi opsisi. Amir Sjarifuddin dalam kiprah selanjutnya menjadi salah satu
pemimpin pemberontakan PKI di Madiun.
Kabinet Hatta mulai melakukan syarat-syarat persetujuan Renville, yaitu
pengakuan atas “garis Van Mook”. Akibatnya pada bulan pebruari 1948, semua
kekuatan bersenjata RI yang berjumlah 35.000 personil terpaksa keluar dari kantong-
kantong gerilya dari daerah yang dianggap dikuasai oleh Belanda ke daerah yang
dikuasai Republik Indonesia. Ketika devisi Siliwangi meninggalkan kantong-kantong
gerilyanya di Jawa Barat menuju Jawa Tengah yang dikuasai Indonesia, Karto Suwiryo
merasa bahwa Jawa Barat telah ditinggalkan dan diserahkan kepada Belanda oleh pihak
RI. Karto Suwiryo kemudian mendirikan Tentara Islam Indonesia yang terdiri dari para
anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak mau keluar dari garis Van Mook.
Kemudian Mulai melancarkan serangan-serangan terhadap Belanda di Jawa Barat. yang
kemudian dikenal dengan pemberontakan daerah pertama terhadap Republik Indonesia.
Selama pemerintahan Hatta, Belanda terus berusaha memcah belah bersatuan
bangsa Indonesia dengan mendirkan Negara-negera boneka. Pada tanggal 20 Pebruari
1948 Negara Madura dibentuk dengan Besluit Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda,
dengan Wali Negaranya R.A.A. Tjakraningrat. Kemudian, dalam konferensi yang
ketiga di Bandung yang diselenggarakan 16 Maret sampai 5 Mei 1948, Negara
Pasundan atau Negara jawa Barat dinyatakan resmi berdiri dengan Wali Negara R.A.A.
Wiranatakusumah ( bekas ketua DPA RI ) yang kemudian dilantik tanggal 26 April
1948. Tanggal 9 Maret 19148 jam 17.00, Pemerintah Federal Sementara untuk
Indonesia dilantik oleh Gubernur Jendral Van Mook selaku ketua Pemerintah Federal
Sementara dan R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo selaku Wakil ketua Pemerintah Federal

26
Sementara.97 h. Kabinet “PDRI” Sjafruddin ( 1946-1949 ) Selanjutnya dengan Surat
Keputusan Wakil Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 24 Maret 1948, Negara
Sumatera Timur resmi di dirikan dengan Wali Negaranya Dr. Tengku Mansyur.
h. Kabinet “PDRI” Sjafruddin (1946-1949)
Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19
Desember 1948 dan berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta, Presiden Soekarno dan
wakil presiden/perdana Menteri Hatta menjelang ditanggkap, masih sempat
mengadakan sidang kabinet darurat dan berhasil mengambil keputusan penting, bahwa
tampuk pemerintahan untuk sementara diserahkan kedapa Mr. Sjafruddin
Prawiranegara (Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta) yang berada di Bukittinggi
untuk membentuk Pemerintah Darurat bila pemerintah Pusat di Yogyakarta tidak bisa
menjalankan fungsinya; hal yang sama diberikan juga kepada Dr. Soedarsono (wakil RI
di India) dan Mr. A.A. Maramis (Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta) yang sedang
berada di India untuk membentuk “Excile Government” apabila usaha Mr. Sjafruddin
tidak berhasil.
Adapun Mandat Soekarno-Hatta tersebut kepada Mr. Sjafruddin adalah sebagai
berikut :
“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari minggu
tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi, belanda telah mulai serangannya atas ibu kota
Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibanya
lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran
Republik Indonesia untuk membentuk pemerintah republik Indonesia darurat di
Sumatera”
Sedangkan mandat Sukarno Hatta kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar dan
Maramis adalah sebagai berikut:
“Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahhwa pada hari minggu
tanggal 19 Desember1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas ibu kota
Yogyakarta jika ikthiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan
darurat di Sumatera tidak berhasil kepada saudarasaudara dikuasakan untuk
membentuk “Excile Government”Republik Indonesia di India”.

J. Kabinet Hatta II (1949)


Setelah Kabinet “PDRI” pimpinan Syafruddin Parwiranegera menyarahkan
mandatnya kepada Wakil Presiden / Perdana Menteri Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 di
Yogyakarta, Kabinet Hatta I masih memerintah selama 21 hari. Dan pada tanggal 4
Agustus 1949 Hatta melakukan Reshuffle kabinet, dan membentuk kabinet kedua
(Kabinet ke-8) berdasarkan Penetapan Presiden 1949 No.6 tertanggal 4 Agustus 1949.
Kabinet Hatta II ini terdiri dari 1 orang wakil Perdana Menteri, 14 Kementerian
(Depertemen) dan 3 Menteri Negara.
Kabinet Hatta II ini hanya bertahan selama 4 bulan, karena terjadi perubahan
politik Ketatanegaraan yang mendasar yaitu lahirnya negara Republik Indonesia
Serikat ( RIS ) .

27
BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Pemiliahan kepala Negara pertama kali dari hasil sidang pertama PPKI yang
dilaksanakan pada 18 Agustus 1945 hasilnya adalah memilih dan mengangkat presiden
serta wakil presiden Indonesia. Atas usulan Otto Iskandardinata secara aklamasi, Ir.
Soekarno terpilih sebagai presiden Indonesia pertama didampingi oleh Drs. Mohammad
Hatta sebagai wakil presidennya.

28
b. Pada tanggal 18 Agustus 1945 sidang PPKI pertama juga memutuskan pembentukan
sebuah komite nasional. Fungsi komite nasional ini adalah untuk sementara membantu
tugas-tugas Presiden sebelum dibentuknya MPR dan DPR. Sedangkan Komite Nasional
Indonesia Pusat baru resmi terbentuk pada sidang ketiga yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Agustus 1945, sebanyak 137 anggota KNIP dilantik terdiri dari golongan
muda dan masyarakat.
Adapun yang bertindak sebagai pimpinan adalah :
Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo
Wakil ketua I : M. Sutardjo Kartohadikusumo
Wakil Ketua II : Mr. J. Latuharhary
Wakil Ketua III : Adam Malik
c. KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal
pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPRRI).
d. Hubungan yang dimulai selama perdagangan rempah-rempah dan Belanda mulai
membuat pos perdagangan di Hindia Belanda sebelum menjajah Indonesia Pada 1603,
Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC mulai beroperasi di Indonesia di mana
ia terlibat dalam pertempuran untuk memperluas domainnya.
e. Era ini dimulai tahun 1945-1949, dimana interaksi demokrasi masih terbatas pada
intereksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi
kemerdekaan. elemen-elemen demokrasi lain belum sepenuhnya terwujud, karena
situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Ada beberapa kabinet yang terbentuk pada tahun 1945-1949 yaitu:
1. Kabinet Indonesia pertama (1945),
2. Kabinet sjahrir I (Kabinet Parlementer),
3. Kabinet sjahrir II (1946),
4. Kabinet sjahrir III (1946-1947),
5. Kabinet Amir Sarifudin I (1947),
6. Kabinet Amir Sarifudin II (1947-1948),
7. Kabinet Hatta I (1948-1949),
8. Kabinet “PD RI” Syarifudin,
9. Kabinet Hatta II (1949).

2. SARAN
Setelah membaca atau mendengarkan makalah ini diharapkan kepada pembaca
mengetahui kehidupan politik diindonesia pada awal kemerdekaan sampai saat ini,
Sehingga bisa ikut berpartisipasi ataupun menjalankan kehidupan politik dengan baik dan
benar sesuai dengan

29
DAFTAR PUSTAKA
http://lipi.go.id/berita/soekarno-presiden-pertama-1945-1967/248

Abdul Kadir Bubel. 2013. Wakil Menteri dalam Kabinet-Kabinet Indonesia. Tesis.
Yogyakarta; Universitas Islam Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai