Anda di halaman 1dari 4

Soegondo Djojopuspito

Sugondo Djojopuspito (lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1905 – meninggal di Yogyakarta, 23 April
1978 pada umur 73 tahun) adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang memimpin Kongres Pemuda
Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda, dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu
Bahasa: Indonesia. Sugondo masuk dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia – dan tidak masuk dalam
Jong Java) pada tahun 1926 saat Konggres Pemuda I. Tahun 1928, ketika akan ada Konggres Pemuda II
1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs.Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di
Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung. Sugondo terpilih
menjadi Ketua Kongres karena ia adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia – wadah pemuda
independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan). Trilogi Sumpah Pemuda ini lahir pada
detik terakhir kongres, di mana Mohammad Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan
secarik kertas kepada Soegondo seraya berbisik: Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie
(artinya: saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3
kata/trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Selanjutnya Soegondo memberi paraf pada secarik
kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang menyatakan setuju. Dalam
kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan
Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Kongres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo
secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan
lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas
diperdengarkan (dengan biola).
Atas jasa pada masa muda dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1978 diberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia berupa Bintang Jasa
Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992. Pihak
Kemenpora telah mengabadikan nama ia pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo
Djojopoespito Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) yang
dibangun oleh Kemenpora dan diresmikan oleh Menpora pada tanggal 18 Juli 2012.
Mohammad Yamin

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus
1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan,
sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan
nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor
Sumpah Pemuda sekaligus “pencipta imaji keindonesiaan” yang mempengaruhi sejarah
persatuan Indonesia.
Pada tahun 1922, M Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah
Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada28 Oktober 1928. Karya ini sangat
penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya,Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.
Ketika ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond, ia menyusun ikrar Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa
Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui
organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat
persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta
bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Soenario

Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo (lahir di Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902 – meninggal di
Jakarta, 18 Mei 1997 pada umur 94 tahun) adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan
Indonesia di Belanda.
Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi
tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu
dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi
Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember1925, ia meraih gelar Meester in de rechten,
lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang
berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun
1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah “Pergerakan Pemuda dan
Persatuan Indonesia.”
Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa
beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928.
Ia pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956-1961. Setelah itu Sunario
diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas
Diponegoro, Semarang(1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-
Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sunario wafat pada tahun 1997 dan istrinya tiga tahun lebih awal,
1994. Sunario wafat di RS Medistra, Jakarta.
Dr. J. Leimena

Dr. Johannes Leimena (lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905 – meninggal di Jakarta, 29 Maret
1977 pada umur 72 tahun) adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia merupakan tokoh politik
yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri
Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus.
Leimena masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai
Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil
Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat
Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi
Tertinggi) dalam rangka Trikora.
Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa,
merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada “Gerakan Oikumene“. Pada
tahun1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung.
Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen.
Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang
didirikannya saat ia duduk pada tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal
berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950. Dengan keaktifannya di
Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang
menghasilkan Sumpah Pemuda. Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan
semakin berkembang sejak saat itu.

Anda mungkin juga menyukai