Anda di halaman 1dari 21

http://amasreev.blogspot.com/2009/08/kemerdekaansejarah-dan-sejarah.

html
Sabtu, 01 Mei 2010
"Pemberian" Siapakah Kemerdekaan Indonesia?
Setelah hampir setengah abad Indonesia merdeka, ternyata masih ada sementara
orang yang bingung atau kurang mengetahui, bagaimana sesungguhnya proses
tercapainya kemerdekaan Indonesia, dalam keadaan yang bagaimana, dan yang
paling penting adalah siapakah yang berperan paling banyak dalam peristiwa
Proklamasi 17 Agustus 1945?
Kebingungan-kebingungan macam inilah yang menyebabkan munculnya pendapatpendapat yang saling bertentangan. Segolongan orang yakin seratus persen bahwa
Indonesia merdeka adalah atas jerih payah seluruh rakyatnya. Golongan lain
menilai bahwa Indonesia ketiban sampur kemerdekaan. Dengan kata lain,
kebebasan tersebut diperoleh karena adanya peristiwa-peristiwa tidak terduga
yang menguntungkan Indonesia, seperti penaklukan Jepang atas hegemoni Belanda
di Indonesia, pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu, menyerahnya Bala
Tentara Jepang, dan sebagainya. Jadi, tanpa adanya Jepang atau seandainya Jepang
tidak menjajah Indonesia, ada kemungkinan Belanda masih berkuasa diwilayah
Hindia Belanda ini. Bahkan mereka yang lebih ekstrem mengatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Bagaimana alasannya, akan
diuraikan dibawah.
Golongan lain lagi meyakini tanggal 27 Desember 1949 sebagai hari lepasnya
Republik Indonesia dari belenggu penjajahan. Tanggal 17 Agustus 1945 saat dibacakannya proklamasi, bagi mereka bukanlah detik-detik kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu tidak ada pemerintahan yang berkuasa secara sah dan
berdaulat, baik Belanda, Jepang ataupun Indonesia sendiri. Yang ada adalah ke- vacuum-an kekuasaan, sehingga tidak mungkin ada negara tanpa ada pemerintahannya. Alasan lain yaitu belum adanya negara-negara yang mengakui Republik,
baik secara de facto maupun de jure. Lagi pula, setelah pernyataan kemerdekaan
diumumkan, tentara Belanda berhasil melakukan come back di Indonesia bahkan
bercokol secara kuat di Irian Barat. Barulah sejak tanggal 27 Desember 1949
Indonesia dapat dikatakan merdeka, oleh karena disamping Belanda sudah menyerahkan atau mengakui kedaulatan RI, juga negara-negara seperti Inggris, Amerika
Serikat, Australia, Cina, India, Mesir, Suriah, dan Iran telah mengakui eksistensi RI
secara de facto, Mesir bahkan de jure.
Bagi sebagian besar Warga Negara Indonesia, bahkan mungkin seluruhnya, jelas
menganut pendapat pertama. Namun demikian, pendapat yang lainpun harus
diperhatikan untuk mendapatkan data-data dan fakta-fakta yang bersifat intersubyektivitas atau obyektif, yaitu tentang kejadian-kejadian yang sebenarnya. Jadi,

penggunaan berbagai macam sumber dengan berbagai ragam interpretasi


bertujuan untuk mengetahui bagaimana sesuatu sebenarnya telah terjadi (wie
es eigenlich gewesen ist).
Pergerakan Politik Indonesia Pra Kemerdekaan
Pada umumnya, para ahli sejarah dan politik Indonesia menganggap tahun 1908
yaitu tahun berdirinya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai tahun
dimulainya perjuangan dengan bentuk baru, yakni cara diplomasi. Dengan kata lain,
tahun 1908 adalah tahun kebangkitan, kebangkitan kesadaran bahwa perjuangan
tidak bisa berhasil tanpa persatuan nasional, kebangkitan kesadaran bahwa
berjuang dengan cara cooperationpun sangat penting artinya.
Sejak saat itulah banyak sekali berdiri organisasi-organisasi atau perkumpulanperkumpulan dari berbagai tingkat dan golongan masyarakat dengan berbagai
tujuannya, seperti Sarekat Islam tahun 1912 di Solo oleh H. Samanhudi, Muhammadiyah tahun 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Achmad Dahlan, ISDV tahun 1920 di
Semarang oleh trio Sneevliet - Semaun - Darsono, dan sebagainya.
Pada umumnya, perkumpulan atau organisasi politik yang ada pada masa itu masih
bersifat keagamaan dengan ide-ide sosial kemasyarakatan, dan belum menyentuh
kepada usaha-usaha pembangkitan jiwa dan semangat nasionalisme. Sarekat Islam
bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomis, memperkuat kehidupan
religius serta menghadapi pedagang Cina yang memonopoli perdagangan batik dan
ramuannya. Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan organisasi keagamaan lainnya
bertujuan memajukan pengajaran dibidang agama atau pembentukan akhlak,
sedang ISDV (cikal bakal PKI) yang agak radikal memanfaatkan situasi ekonomi
yang kalut, penghidupan yang berat dan sukar, serta menanjaknya harga-harga
kebutuhan pokok, untuk menyebarkan slogan-slogan kosong guna menarik pengikut
dari kaum buruh dan tani.
Dari kenyataan tersebut, barangkali benar apa yang dikatakan Ir. Soekarno dalam
otobiografinya bahwa para pemimpin partai itu sebenarnya belum memiliki
keinginan dan keberanian untuk merdeka, lepas dari cengkeraman penjajah. Mereka
hanya mampu mengajukan usul-usul dan petisi kepada pemerintah kolonial. Oleh
Bung Karno gerakan-gerakan politis seperti itu disebut sebagai gerakan yang
meminta-minta, bukan gerakan yang mendesak.
Baru setelah tahun 1926 organisasi pergerakan nasional yang muncul sudah
membawa misi-misi dan ide-ide nasionalis. Sebab musabab tumbuhnya nasionalisme di Hindia Belanda dapat dikembalikan kepada situasi-situasi didaratan Eropa.
tahun 1917 dinasti dari Hohenzollern terpecah-pecah di Jerman, Franz Josef jatuh,
dan Tzar Alexander goyah. Pada tahun itu juga terjadi pemberontakan Bolsjewik
dari Lenin dan lahirnya Uni Soviet. Di Hongaria timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Bela Kun. Di Jerman, kaum buruh mendirikan Republik Weimar. Dikanan
kiri negeri Belanda menganga jurang chaos. Belanda hancur dalam segala bidang.
Ditambah lagi gerakan revolusioner proletariat yang dipimpin Dr. Pieter Jelles
Troelstra, pertama berupa perang lalu timbulnya revolusi, menyebabkan negeri
Belanda menjadi lemah. Digerakkan oleh peristiwa-peristiwa ini, nasionalisme di
Hindia Belanda tumbuh bagai bisul-bisul.

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927di
Bandung oleh Soekarno, merupakan organisasi pergerakan yang radikal yang
memelopori perjuangan secara non kooperasi. Tujuannya adalah kemerdekaan
sepenuhnya Sekarang!. Terhadap tujuan yang sangat berani ini banyak orangorang, baik dari luar maupun para pengikut PNI yang gemetar dan takut. Mereka
berpendapat bahwa rakyat belum siap untuk merdeka. Pendidikan, kesehatan dan
kemakmuran rakyat harus diperbaiki dulu supaya dapat berdiri tegak. Kelompok
Hatta adalah penganut pola pikir yang kedua.
Pertentangan pendapat mengenai timing dan situasi kondisi yang tepat untuk
merdeka ketika keluarnya Soekarno dari penjara Sukamiskin. Saat itu terjadi
perpecahan dan adu pendapat yang hebat antara Soekarno dan Hatta, tokoh PNI
Pendidikan. Konsepsi Hatta adalah menjalankan perjuangan melalui pendidikan
praktis untuk rakyat. Meskipun memakan waktu bertahun-tahun, tetapi cara ini
bersifat pasti. Terhadap metode Hatta ini Soekarno menegaskan:
Satu-satunya saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah bilamana
kita sudah mati ..... Indonesia merdeka sekarang ! Setelah itu baru kita mendidik,
memperbaiki kesehatan rakyat dan negeri kita.
Demikianlah yang terjadi, diantara para pelopor pejuang kemerdekaan justru masih
banyak yang takut untuk merdeka. Namun keadaan seperti itu tentu merupakan
pemandangan yang sangat lumrah terjadi pada masa-masa revolusi dinegara
manapun. Yang jelas, semuanya menunjukkan adanya kepedulian terhadap nasib
rakyat dan bangsanya, serta memperkaya nuansa kesejarahan bagi negara yang
bersangkutan.
Pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang
Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia menyerah tanpa
syarat kepada Jepang dibawah pimpinan Letjen Hitoshi Imamura. Sejak saat itu
berdiri satu kekuasaan dan kekuatan baru di Indonesia, yakni Kemaharajaan Jepang.
Sikap tokoh-tokoh nasionalis seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dan sebagainya
terhadap okupasi Jepang adalah bersedia melakukan kerjasama. Faktor-faktor yang
menyebabkan adanya kerjasama itu adalah kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan
Selatan, disamping kepercayaan rakyat kepada ramalan Jayabaya yang mengatakan bahwa akan datang bangsa Kate yang berkuasa selama umur jagung, dan
sesudahnya kemerdekaan akan tercapai (mengenai ramalan Jayabaya, baca Bab I).
Akan tetapi yang pasti, keadaan Jepang saat itu sangat kuat, sedang Indonesia
berada dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu bantuan Jepang sangat diperlukan
oleh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-citanya.
Jepang sendiri kurang menyadari bahwa beberapa kebijaksanaan kolonialnya lebih
menguntungkan Indonesia dari pada dirinya sendiri. Pemuda-pemuda dikumpulkan
dalam satu wadah yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibawah
pimpinan Soekarno, yang didik dan dilatih pendidikan kemiliteran. Jepang berharap,
Putera dapat membantu digaris belakang bagi kepentingan peperangan mereka.
Sementara Soekarno mengartikannya sebagai alat yang nomor 2 (dua) paling baik
untuk melengkapkan suatu badan penggerak politik yang sempurna. Disamping itu,

pada tanggal 29 April 1943 dibentuk secara resmi organisasi pemuda Seinendan
(yang diberi latihan militer untuk menyerang dan mempertahankan diri) dan Keibodan (pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian). Organisasi yang merupakan
cikal bakal TNI inilah yang berperan besar dalam proklamasi kemerdekaan dan
masa-masa sesudahnya.
Dalam pada itu, Jepang mulai menderita kekalahan secara beruntun dalam
pertempurannya melawan Sekutu. Awal keruntuhan Jepang adalah jatuhnya Pulau
Saipan pada bulan Juli 1944 dan dipukul mundurnya Angkatan Bersenjata Jepang
dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Marshaal. Menyadari kenyataan
seperti itu, tidak mungkin bagi Jepang mengadakan peperangan di dua front, yakni
keluar melawan pendaratan Sekutu, dan kedalam menghadapi penduduk pribumi
yang sudah memperlihatkan keberingasan dan sikap permusuhan. Oleh karena itu
dipercepatlah pemberian konsesi pada usaha perdamaian, yaitu dengan
mengumumkan bahwa Indonesia diperkenankan merdeka kelak dikemudian hari
pada tanggal 7 September 1944. Untuk menarik simpati rakyat diciptakan juga
semboyan bahwa Jepang adalah saudara tua yang akan melindungi saudara
mudanya, yaitu Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari janji-janjitersebut, pada bulan Maret Hatta dan Soekarno
dipanggil ke Makasar untuk merundingkan mengenai Bentuk Negara. Jepang
menyodorkan bentuk Monarchi, Soekarno menginginkan negara Kesatuan dan
menentang segala macam bentuk negara selain Republik, sedang Hatta adalah
penganjur bentuk negara Serikat. Dan dalam sidang BPUPKI 28 Mei 1945, tokohtokoh pemuka Islam Ortodoks menyodorkan konsepsi negara Islam, sementara
golongan moderat berpendirian bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri.
Dalam sidang BPUPKI itu ternyata masih tersirat perasaan belum siap dan takut
untuk merdeka dari para pemimpin Indonesia. Dalam hal ini Bung Karno
memperingatkan :
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu ..... kita semuanya tidak
akan mengalami Indonesia merdeka sampai dilubang kubur ..... jika tiap-tiap
orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka didalam hatinya
sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur
kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka !
Segera sesudah sidangnya yang kedua tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI dibubarkan,
dan sebagai gantinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI)pada tanggal 7 Agustus 1945. Yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa
sejak terbentuknya PPKI, kekuasaan Jepang sudah tidak berperan sama sekali. Ini
terbukti dengan ditambahnya anggota-anggota PPKI tanpa persetujuan pihak
Jepang. Ketidakberdayaan Jepang memuncak pada tanggal 14 Agustus 1945 yaitu
saat bertekuk lutut kepada Sekutu. Dengan menyerahnya Jepang ini, PPKI tidak
mungkin bisa dilantik oleh Balatentara Jepang.
Keadaan semacam ini dimanfaatkan oleh kaum pemuda terpelajar untuk mendesak
Bung Karno agar secepat mungkin memproklamirkan kemerdekaan, yaitu pada
tanggal 16 Agustus. Tetapi dari golongan tua masih menekankan dulu perlu-nya

diadakan rapat PPKI terlebih dahulu, sedang Bung Karno sendiri merencanakan
untuk melaksanakannya pada tanggal 17, karena angka 17 adalah angka suci yang
lebih memberi harapan.
Sebelum menyusun teks proklamasi, Soekarno menghubungi Kolonel Nishimura
untuk menjajagi sikapnya mengenai proklamasi kemerdekaan. Nishimura menjawab
:
Dai Nippon tidak lagi mempunyai kekuasaan disini. Pada waktu sekarang
kedudukan kami hanyalah sebagai petugas polisi dari Tentara Sekutu. Kami sangat
menyesal atas janji-janji kemerdekaan yang telah kami berikan ..... Kami terikat
kepada syarat-syarat penyerahan, yaitu menyerahkan kembali negeri ini kepada
Sekutu dalam keadaan status quo. Gunseikan telah mengeluarkan perintah yang
melarang bangsa Indonesia mengganti pejabat-pejabat sipil atau mengadakan
perubahan dalam bidang pemerintahan, dalam bentuk apapun juga. Dan
selanjutnya, andaikata para pemuda memulai kekacauan, kami tidak dapat berbuat
lain selain menembak dan membunuh mereka.
Dengan adanya pernyataan Nishimura itu, jelaslah bahwa Jepang tidak lagi
berkuasa atas wilayah Hindia Belanda, sehingga tidak mungkin memberi kebebasan
politik kepada siapapun. Jepang dilarang mengadakan perubahan, dan apabila terjadi perubahan, mereka wajib mengembalikan kepada keadaan semula. Lagipula,
Jepang sendiri mengakui sangat menyesal tidak bisa memenuhi janjinya.
Berdasarkan fakta-fakta ini, maka dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia
bukanlah pemberian Jepang. Orang-orang tidak bisa lagi memegang pendapat
bahwa Indonesia merdeka karena hadiah negara lain. Hanya saja harus diakui
bahwa Jepang telah berjasa dalam mendidik pemuda-pemuda Indonesia dibidang
kemiliteran atau keprajuritan.
Revolusi Indonesia Pasca Kemerdekaan
Lepas dari mulut singa jatuh kemulut buaya, begitulah perumpamaan yang tepat
ditujukan kepada nasib Indonesia sekitar tahun 1945. Meskipun proklamasi sudah
dikibarkan, Presiden dan Wakil Presiden telah terpilih, dan Konstitusi sudah
ditetapkan, belum berarti lantas bebas untuk mengatur dan membangun negara
dan masyarakatnya. Nyatanya dia masih harus berjuang menghadapi Inggris dan
Belanda yang ingin mengembalikan masa-masa kejayaanya seperti pada waktu
yang lalu.
Tentara Serikat yang mengalahkan Jepang akhirnya memang datang ke Indonesia.
Akan tetapi tugas utamanya sebenarnya adalah :
1.

Menerima penyerahan dari tangan Jepang serta melucuti dan mengumpulkan


orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya.
2.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran Serikat.
3.
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan
kepada pemerintah sipil.

Kedatangan pasukan Serikat disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia.
Akan tetapi setelah diketahui bahwa mereka membawa orang-orang NICA, sikap
rakyat menjadi curiga dan bermusuhan. Apalagi setelah orang-orang KNIL, maka
tidak bisa dielakkan, terjadilah bentrokan bersenjata antara orang-orang Inggris dan
Belanda melawan pemuda-pemuda Indonesia. Pertempuran Ambarawa berkobar
dari tanggal 20 November hingga 15 Desember 1945. Peristiwa serupa terjadi juga
di Medan, Semarang, dan yang paling dramatis dan mengerikan adalah
pertempuran Surabaya tanggal 9 sampai 10 November 1945.
Adalah fakta bahwa kekuatan personil dan persenjataan tentara Republik tidak
seimbang dengan kekuatan NICA yang didukung sekutu-sekutunya. Oleh karena
itulah, untuk menyelamatkan nyawa negara, pada tanggal 4 Januari 1946 Ibukota
Negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Setelah melewati berbagai
perjanjian perdamaian atau gencatan senjata seperti Linggarjati dan persetujuan
militer 14 Oktober yang kesemuanya gagal disebabkan oleh penafsiran Belanda
terhadap pasal-pasal secara fleksibel (baca: menurut enaknya sendiri) maka
pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Aksi Militer yang disebutnya
sebagai Aksi Polisional. Untuk menghentikan destruktif ini, dibentuklah komisi jasajasa baik yang terkenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari
Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Komisi inilah yang berhasil mempertemukan
pihak-pihak bersengketa dalam persetujuan Renville tanggal 8 Desember 1947.
Sementara jalan diplomasi selalu menemui jalan buntu, Indonesia menghadapi
rongrongan dari dalam yaitu Pemberontakan Komunis di Madiun tahun 1948.
Untunglah hanya dalam waktu dua minggu, usaha kudeta itu dapat dihancurkan.
Perdana Menteri Hatta, tanpa melalui KTN, segera mengadakan pendekatan politik
dengan van Mook di Kaliurang, Yogyakarta. Usaha inipun tidak membawa
kemajuan berarti bagi kedua pihak.
beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 19 Desember 1948, Belanda
melancarkan Agresi Militer yang kedua. Yogyakarta berhasil diduduki, Presiden dan
Wakil Presiden ditawan. Tetapi lagi-lagi untunglah, pemerintah telah memberi
mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk dan memimpin
Pemerintah Darurat RI (PDRI). Dalam masa-masa genting seperti ini, peran
Jenderal Sudirman sangat besar artinya bagi perjalanan perang gerilya. Dalam
saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Sudirman merupakan obor yang
memancarkan sinar ke sekelilingnya.
Terhadap situasi yang semakin tidak menentu, Amerika segera bereaksi dengan
mengeluarkan resolusi: hentikan permusuhan, bebaskan Presiden dan pemimpin RI
yang ditawan. Bersamaan dengan itu, TNI telah berhasil melakukan konsolidasi diri,
sehingga pada tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Yogya
berhasil direbut dari tangan Belanda hanya dalam waktu 6 (enam) jam. Keadaan
Belanda kocar-kacir, dan ditambah lagi dengan ancaman AS untuk mencabut
bantuan Marshall Plan, telah memaksa Belanda untuk mengadakan perjanjian
Komite Meja Bundar (KMB).
Sekembalinya para pemimpin RI ke Yogya, diadakanlah perundingan mengenai
pembentukan pemerintah peralihan sebelum terbentuknya Negara Indonesia

Serikat. Selanjutnya diadakan Konferensi Antar Indonesia yang menghasilkan 2


(dua) ketentuan, yaitu :
1.

Dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan dikepalai seorang Presiden


Konstitusional, dengan dibantu oleh Menteri-menteri yang bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2.
Akan dibentuk 2 (dua) badan perwakilan, yaitu DPR dan Senat.
Bertolak dari hasil-hasil tersebut, maka dilangsungkanlah KMB dari tanggal 23
Agustus hingga 2 Nopember 1949 di Den Haag. Setelah hasil perundingan diratifikasi oleh KNIP dan telah dipilih Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka PM Hatta
berangkat ke Nederland untuk menandatangani akte penyerahan kedaulatan dari
Pemerintah Belanda. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengku
Buwana IX juga menandatangani naskah penyerahan kedaulatan itu.
Dengan penyerahan kedaulatan itu, berakhirlah secara resmi Perang
Kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian bangsa dan rakyat Indonesia telah
menyelesaikan satu babak dari perjalanan sejarahnya dan memasuki babak sejarah
berikutnya, yaitu memikirkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat seluruhnya. Namun dari rangkaian kisah yang telah dilalui ada satu
hal yang perlu diluruskan, yaitu bahwa pengertian penyerahan kedaulatan harus
ditafsirkan dan diartikan sebagai pengakuan kedaulatan, oleh karena sejak diproklamirkannya kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, RI sudah memiliki
kedaulatan yang sah secara hukum atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Jadi
Belanda tidak bisa begitu saja mengambil alih kedaulatan itu dan menyerahkannya
kembali kepada si empunya.
Sejak kekalahannya dari Jepang, Belanda mau tidak mau sudah tidak mempunyai
kekuasaan sedikitpun. Dia hanya memiliki kekuatan, yang dengan kekuatannya itu
dia ingin mendapatkan kembali kekuasaannya yang telah hilang. Dari kacamata
kolonialisme, sikap Belanda sangatlah konsekuen, namun dari aspek peri
kemanusiaan dan peri keadilan, perilaku dan tindakan Belanda bisa dikatakan
sebagai kerakusan politik atau keserakahan sejarah. Terhadap bangsa yang
baru merdeka, sangat lemah dan memerlukan bantuan, justru diserbu habishabisan bahkan dieksploitir sampai sekering-keringnya. Dalam gurauan anak kecil,
kolonialisme Belanda dapat diungkapkan dalam kalimat : beraninya hanya kepada
negara yang miskin dan lemah .....
Disamping itu, adalah fakta bahwa pada tahun 1949 Belanda sudah tidak kuat lagi
mengahadapi perlawanan TNI. Jika mereka masih punya laskar dan serdadu yang
bisa diandalkan, sudah pasti mereka tidak akan mau menyerahkan kedaulatan itu,
meskipun AS mengancam hendak menghentikan bantuan Marshall Plan. Adalah
logis jika mereka lebih condong dan tertarik kepada kekayaan Indonesia yang
melimpah dari pada bantuan AS. Jadi apa yang mereka lakukan pada tanggal 27
Desember 1949 adalah karena betul-betul disebabkan oleh faktor ketidakmampuan
mereka melanjutkan peperangan, dan oleh karena itu peristiwa diatas bukan
penyerahan, melainkan pengakuan kedaulatan.
Dari uraian-uraian diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia
diraih dengan susah payah melalui cucuran keringat, tetesan air mata dan

tumpahan merahnya darah. Kebebasan rakyat tercapai berkat perjuangan lahir


batin selama beratus-ratus tahun oleh rakyat Indonesia sendiri, bukan hasil
pemberian negara lain apalagi permintaan kepada Sang Penjajah, Jepang atau
Belanda.
Daftar Referensi
Adams, Cindy, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan Mayor Abdul
Bar Salim, Gunung Agung, Jakarta, 1966
Daroeso, Bambang, Sejarah Pembentukan UUD 1945, Semarang, 1986
Mattulada, Pedang dan Sempoa, Suatu Analisa Kultural Perasaan Kepribadian Orang Jepang,
penerbit (?) tahun (?)
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor,
Jakarta, 1985
Poerwokoesoemo, Soedarisman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1984
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia
jilid III dan IV, Depdikbud, 1977
Swearingen, R., Bahaya Dunia Komunis, terjemahan Adeng Sudarsa dan Oejeng Suwargana,
Univ. of Southern California, 1966
Soebantardjo, Sari Sejarah Jilid I : Asia Australia, Djambatan, Jakarta, 1958
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, Fisipol UGM, Yogyakarta, tahun (?)

SEJARAH POLITIK
A. Definisi llmu Sejarah dan Ilmu Politik
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian alam peristiwa yang terjadi pada masa
lampau dalam lingkungan kehidupan manusia seperti harapan, prestasi, kekalahan, kemenangan.,
penemuan. ide dan keyakinan umat manusia sejak pertama kali muncul di bumi ini Atau dengan kata
lain sejarah adalah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial meliputi rekonstruksi masa
lalu dan tentang sesuatu yang tertentu.
Ilmu politik adalah ilmu bantu yang berguna untuk sejarah, ideologi, teknologi, militer, individu,
seks, intusi, agama. mitos, ekonomi, budaya. etnisitas, ras, umur dan golongan sebagai kekuatan
dalam sejarah.
- Ilmu Politik menurut kamus istilah populer kontemporer (MDl Al-Barry Sofyan Hadi AT) adalah
ilmu kenegaraan/ketatanegaraan; taktik untuk memperoleh dan mempertahankan kedudukan dalam
pemerintahan negara
- Robert A Dahl dalam karyanya "What is Political Science" mengungkapkan bahwa ilmu politik
merupakan studi tentang politik secara keilmuan atau politic as a science yaitu suatu kerangka usahausaha dari ilmu tersebut dengan melalui studi sistematis mengenai pofitik itu sendiri.
- The Liang Gie dalam buku Ilmu Politik (1978) mengungkapkan bahwa ilmu politik adalah
sekelompok pengetahuan terapan yang membahas gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat dengan
pemusatan perhatian pada perjuangan manusia mencari atau mempertahankan kekuasaan guna
mencapai apa yang diinginkannya.
- Soelaeman Soemardi dalam buku Ilmu Politik di Indonesia mengungkapkan bahwa ilmu politik
adalah ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang mempelajari masalah kekuasaan dalam masyarakat,
sifat hakekatnya, dasar landasannya: proses kelangsungannya ruang Iingkupnya serta hasil dan
akibatnya.

- Politik menurut Harold D Laswell adalah siapa mendapatkan sesuatu dan bagaimana cara
mendapatkannya.

B. Hubungan Ilmu Politik dan Sejarah


Ilmu politik dalam perkembangannya sangat dibantu oleh sejarah dan Filsafat,
Dua kajian ini turut mengembangkan kajian ilmu politik baik dari segi pencarian
konsepsi fundamental maupun penelusuran titik-titik penemuan data dan fakta
dan masa-masa sebelumnya. Dalam buku pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah Sartono menuliskan Politik adalah sejarah masa kimi dan
sejarah adalah politik masa lampau. Sejarah identik dengan politik, sejauh
keduanyu menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor dalam
interaksi dan peranannya dalam usaha memperoleh apa, kapan dan bagaimana.
Taufik Abdullah dan Abdurrachman Suryomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi :
Arah dan
Perspektif, Jakarta : Gramedia, 1985.
S.M. Kartosoewiryo sang Buronan Negara
Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom (6-9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu
melalui berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini untuk
sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama
pasukan Hizbullah dan mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan
berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam
Indonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah
ditawari sebagai seorang menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya,
melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir
dalam pertemuan tersebut dalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui banyak dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno
Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara Islam
Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan
bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945, Negara Islam Indonesia telah
diproklamasikan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja.
Ketika di Rengasdengklok, Soekarmo menyatakan kepada Ahmad Soebarjo,
sebagaimana ditulis Mr .Ahmad Soebarjo dalam bukunya Lahirnya Republik
Indonesia. Pertanyaan Soekarno itu adalah, Masih ingatkah saudara, teks dari bab
pembukaan Undang-Undang Dasar kita?
Ya saya ingat, saya menjawab, tetapi tidak lengkap seluruhnya. Tidak
mnengapa, Soekarno bilang, Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang
menyangkut proklamasi dan bukan seluruh teksnya. Soekarno kemudian
mengambil secarik kertas dan melukiskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan
sebagai berikut: Kami rakyat Indonesia dengan ini meyatakan kemerdekaan.

Jika kesaksian Ahmad Soebarjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu
bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah
proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, masih ingatkah
saudara tentang sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia? Maka wajarlah jika
naskah proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata
Soekarno yang menjiplak naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan
sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui kebenaran sejarah ini. Di
antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah
mengatakan bahwa S.M. Kartosoewiryo pernah datang ke Jakarta pada awal
Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945,
Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam,
ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa
perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi
Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama beberapa orang pasukan laskar Hizbullah, dan
segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk
memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri sekaligus
merubah determinisme sejarah rakyat Indonesia.
Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta tidak
ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry berikut ini perlu diajukan. Mengapa
mereka mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok, padahal Jepang memang
sangat menyetujui persiapan kemerdekaan RI? Mengapa ketika Soebarjo ditanya
Soekarno, tentang pembukaan Piagam Jakarta, jawaban yang diberikan dimulai
dengan kami bangsa Indonesia? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan
proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosoewiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus
sebelumnya kepada mereka?
Pada malam harinya, mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu
Soekarni dan Ahmad Soebarjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota
kecil yang terletak di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih melindungi
mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan Heiho. Ternyata tidak
terjadi apapun, sehingga Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini
merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar
rencana Jepang, tujuan ini mereka tolak.
Laksamana Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan
selamat, maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak mengiraukan bilamana
kemerdekaan dicanangkan. Mereka mempersiapkan nakah proklamasi hanya
berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan
Kartosoewiryo pada awal Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad
Soebarjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari SM.
Kartosoewiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 45 yang dibuat oleh BPUPKI

atau PPKI[9].

Kemerdekaan Sejarah dan Sejarah Kemerdekaan

Cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas pasti


memperoleh kemerdekaannya kembali; itulah hukum sejarah yang tidak dapat dimungkiri.
Hanya soal proses dan cara bagaimana mereka memperoleh kembali kemerdekaan itu yang
tergantung pada mereka yang pada saat itu memegang kekuasaan. Moh. Hatta dalam Indonesia
Merdeka, 1924.
Sejarah adalah sebuah relativitas. Karena itu, memahami sebuah narasi historis memerlukan
interpretasi yang kontekstual dan manyeluruh untuk menghindari pemihakan secara apriori.
Sebuah teks yang diwariskan secara turun temurun sebagai transmiter historis[2] ditafsirkan
menurut basis ideologi setiap narator. Biasanya, dalam sejarah sebuah bangsa, penguasa
memegang otoritas kebenaran sejarah. Semata karena ada vested interest yang bermain di sana.
Karena setiap ilmu tidak neutral value, melainkan value-laden (dimuati nilai-nilai).
Menulis sejarah bukanlah sebuah tugas yang mudah. Berbeda dengan penulisan sejarah masa
lalu yang terfokus pada penuturan kejadian atau event sejarah berdasar fakta (narrative type),
historiografi masa kini tidak ubahnya dengan disiplin ilmu lain yang membutuhkan perangkat
pembantu, seperti disiplin ilmu arkeologi, sosiologi, antropologi, psikologi, agama dan lainnya.

Keberhasilan penulisan sejarah, menurut Paul Veyne, kritikus teks asal Prancis dalam Writing
History, tergantung pada kepandaian narator sejarah dalam menganalisis dan menghubungkan
data, keahliannya dalam menerjemahkan sikap pelaku sejarah serta ketajaman intuisinya dalam
menelusuri jalan pikiran, mentalitas serta kecenderungan kelompok atau bangsa yang diteliti dan
ditulis. Alhasil, sejarawan harus memiliki erudition (pengetahuan memadai, wawasan luas dan
pengalaman tinggi).
Untuk itu, para pakar metodologi penulisan sejarah menggarisbawahi empat segi penting yang
harus dipenuhi dalam proses historiografi. Secara berurut adalah: heuristik atau kemahiran teknik
riset yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman, pengetahuan tentang interpretasi kejadian
sejarah, penelitian data dan selanjutnya penuturan melalui tulisan.
Berdasarkan hal di atas, maka sulit ditemukan metode ilmiah yang baku atau prinsip-prinsip
universal yang dapat digunakan untuk penulisan sejarah. Tak dapat disangkal bahwa historiografi
tidak terlepas dari kecenderungan dan latar belakang penulis. Karena penulisan sejarah banyak
diarahkan penulisnya maka sangat sulit dicapai karya yang memiliki obyektivitas tinggi.
Hingga Yoyce Dedalus, tidak saja meragukan obyektivitas penulisan sejarah bahkan
menamakannya nightmare (mimpi buruk). Dari kenyataan ini pula, kita dapat menyebut bahwa
sejarah hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (stories of victorious).[3]
Perdebatan tentang subyektivitas-obyektivitas sejarah akan selalu mewarnai penilaian kebenaran.
Namun, disini perlu digarisbawahi bahwa subyektivitas bukanlah lebih rendah dari obyektif.
Karena obyektivitas sendiri sangat absurd parameternya. Yang dapat dilakukan kemudian adalah
memberi jaminan khusus dari gejala subyektif tersebut terhadap kemungkinaan terjadinya
kekeliruan[4].
Sejarah Bangsa masa Orba
Banyak yang memiliki asumsi bahwa masa Orde Baru merupakan masa gelap bagi sejarah
bangsa. Saat itu, sejarah bangsa dimanipulasiatau lebih tepatnya, hegemoni interpretasi
dengan tujuan politis oleh penguasa demi memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atau
sekedar mencari pengaruh untuk memantapkan posisi politiknya.
Sebagai misal, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.[5] Penuturan dan
sosialisasinya menggunakan sarana film. Sinema yang disutradarai oleh Alam Rengga
Surawidjaja ini menceritakan heroisme-patriotik Soeharto dalam melakukan serangan terhadap
Belanda. Dengan adegan sedemikian rupa hingga mengesankan bahwa hanya dari kalangan
militerlah kemerdekaan dan kemenangan sebuah perjuangan dapat diperoleh. Karena mereka
adalah sosok manusia yang tanpa kenal takut, tak pernah putus asa dan selalu tegar. Sedangkan
kalangan sipil adalah golongan mayoritas manusia yang selalu ragu-ragu, mudah menyerah dan

oportunis. Hasilnya adalah, kekuasaan militer di Indonesia tetap langgeng karena mereka yang
menyelamatkan negara.
Kedua, tentang manipulasi Supersemar. Hal ini dilakukan oleh para jendral, adalah mula suatu
makar besar-besaran untuk merebut kekuasaan negara dengan menggunakan nama dan
kewibawaan Presiden Sukarno; dengan menggunakan selubung legalitas dan konstituasionalitas
MPRS. Boleh juga dikatakan bahwa dalam sejarah perkembangan bangsa ini bernegara; sejak
bangsa ini berusaha untuk menegakkan negara hukum Indonesia, manipulasi Supersemar adalah
tindakan inkonstitusional yang paling besar yang telah terjadi, yang telah menghancurkan sendisendi negara hukum yang sedang dibina oleh bangsa kita. Adalah untuk pertama kalinya dalam
sejarah kenegaraan yang diketahui sebegitu jauh, bahwa kekuasaan politik seorang presiden dari
suatu negara, telah direbut dengan menggunakan kewibawaan dari presiden yang bersangkutan,
dan dilakukan atas nama presiden yang digulingkan itu.
Ketiga, tentang sejarah komunisme di Indonesia. Pemberontakan G 30 S/PKI, hingga detik ini
masih tertutupi oleh kabut mitos. Rezim penguasa dengan cerdas memanfaatkan tindakan brutal
PKI pada 1948 dan 1965 yang telah melukai hati anak bangsa. Komunisme sebagai momok yang
menakutkan rakyat benar-benar ditanamkan dalam benak masyarakat. Bahkan sebagai wacana
akademis pun, komunisme terlarang. Belum lagi tentang 20 juta nasib anak cucu (orang yang
dianggap sebagai) PKI atau organ otonomnya, mereka menderita, dikucilkan, terlunta-lunta dan
dijauhi masyarakat karena dendam sejarah lama. Syukurlah kini, mereka dapat memperoleh hakhak politiknya kembali, setelah menunggu 38 tahun !
Keempat, tentang Darul Islam sebagai ancaman. Selama rezim Orba berkuasa, umat Islam
mengalami marginalisasi luar biasa. Lapangan politik merupakan hal yang tabu bagi mereka.
Kalaupun ada, institusi politik itu hanyalah kuda tunggangan penguasa. Semenjak
pemberontakan S.M. Kartosoewirjo dan sejumlah rekannya, narasi sejarah tentang peran ulama
dan elite Muslim di Indonesia seakan dihapus dari sejarah bangsa. Kurikulum pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi, dikemas sedemikian rupa untuk penguasa sekuler, banyak anak bangsa
yang tidak mengetahui sejarah kemerdekaanya sendiri.[6]
Empat hal di atas hanyalah sekelumit kecil contoh pembelokan sejarah oleh penguasa.[7] Masih
banyak rentetan historis lain yang kabur dan tertutupi semak mitologi. Termasuk ketika
membicarakan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia maka kita akan disodori berbagai paparan
fakta sejarah dari masing-masing kelompok. Basis ideologi dari penutur akan sangat
mempengaruhi paparan tentang: siapa tokoh yang membuat sejarah, bagaimana kronologi
peristiwanya, bagaimana teks yang menjadi pembuka kebebasan bangsa Indonesia, siapa yang
paling berpengaruh dan sederet data lainnya. Seringkali kemudian timbul pertanyaan,
kebenaran sejarah bangsa akankah tergadai oleh sentimen primordialisme kelompok yang
mengambil legitimasi historiografi? Di sini kita harus bertanya tentang kemerdekaan sejarah
dari sekapan vested interest penguasa.

Kontroversi Sejarah Proklamasi


Sejarah Indonesia menjelang kemerdekaan mulai diperdebatkan, terutama pasca keruntuhan
Orde Baru yang melakukan hegemoni interpretasi historis selama ini. Versi yang muncul kurang
lebih terdiri tiga jenisberdasar basis ideologi narator, yaitu nasionalis (baca: negara), kaum
kanan yang diwakili DI/TII dan kaum kiri (sosialis-komunis) yang diwakili Tan Malaka.
Sebelum pemaparan lanjut, kita lihat setting awal pra kemerdekaan:
Rakyat Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang
dianggap sebagai saudara tua yang akan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Namun pemerintah militer Jepang, ternyata tak berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda.
Semua kegiatan politik dilarang sehingga para pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha
menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti Tiga-A (Nippon Cahaya Asia, Pelindung
Asia dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk membangunkan rakyat
dan menanamkan cita-cita kemerdekaan di balik punggung pemerintah militer Jepang.
Tahun 1943, dibentuk Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab
pertanyaan Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha
memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan badan perwakilan
apalagi parlemen yang mewakili bangsa Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang dibom oleh Serikat, lalu Uni Sovyet menyatakan perang
terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam waktu singkat, sehingga proklamasi
harus segera dilaksanakan. Tanggal 16 Agustus1945, para tokoh pemuda bersepakat menjauhkan
Soekarno Hatta keluar kota (Rengasdengklok, Karawang) dengan tujuan menjauhkan dari
pengaruh Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesaklah Soekarno-Hatta agar
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah berunding selama satu malam di
rumah Laksamana Maeda, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia
membacakan proklamasi kemerdekaan di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
[8]
Dalam tuturan di atas, banyak historical inquiry yang dapat diajukan, antara lain: (1) atas inisiatif
siapakah kaum muda melakukan gerakan percepatan kemerdekaan tersebut? (2) siapakah para
tokoh kaum muda itu? (3). mengapa perundingan justru dilaksanakan di rumah Laksamana
Maeda yang notabene dalah orang Jepang? (4) bagaimana perbedaan metode antara diplomat dan
pejuang front fisik; antara moderat dan radikal? (5) bagaimana peran tokoh Soekarno saat itu,
semisal Kartosoewiryo, Tan Malaka dan Syahrir? Pertanyaan iniyang bernada gugatan
selanjutnya akan berkembang pada penelusuran data-data obyektif dan diharapkan akan
menampilkan sejarah yang adil dan seimbang. Sejarah yang memberi tempat yang layak juga
bagi pejung bangsa, selain dua proklamator itu.

Di bawah ini terdapat paparan sejarah awal proklamasi kemerdekaaan RI dengan penonjolan
peran tokoh-tokoh gerakan, yang selama ini menjadi buronan dan tidak di terima dalam
lapangan sejarah sebagai pahlawan. Dua orang itu adalah Kartosoewiryo dan Tan Malaka.
S.M. Kartosoewiryo sang Buronan Negara
Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom (6-9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui
berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara
Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hizbullah dan mengumpulkan massa
guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan konsep
proklamasi Negara Islam Indonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang
pernah ditawari sebagai seorang menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya,
melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir dalam
pertemuan tersebut dalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui banyak dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno Hatta ke
Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara Islam Indonesia tidak jadi
tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus
1945, Negara Islam Indonesia telah diproklamasikan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi
saja.
Ketika di Rengasdengklok, Soekarmo menyatakan kepada Ahmad Soebarjo, sebagaimana ditulis
Mr .Ahmad Soebarjo dalam bukunya Lahirnya Republik Indonesia. Pertanyaan Soekarno itu
adalah, Masih ingatkah saudara, teks dari bab pembukaan Undang-Undang Dasar kita?
Ya saya ingat, saya menjawab, tetapi tidak lengkap seluruhnya. Tidak mnengapa,
Soekarno bilang, Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut proklamasi dan
bukan seluruh teksnya. Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan melukiskan sesuai
dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut: Kami rakyat Indonesia dengan ini meyatakan
kemerdekaan.
Jika kesaksian Ahmad Soebarjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD
1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga
pertanyaan yang benar semestinya adalah, masih ingatkah saudara tentang sosialisasi
proklamasi Negara Islam Indonesia? Maka wajarlah jika naskah proklamasi RI yang asli
terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno yang menjiplak naskah proklamasi
Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui
kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau
pernah mengatakan bahwa S.M. Kartosoewiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus
1945 bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.

Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945,


Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika
kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang
dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama
beberapa orang pasukan laskar Hizbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan
atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri
sekaligus merubah determinisme sejarah rakyat Indonesia.
Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta tidak ditemukan di
Jakarta, kiranya historical enquiry berikut ini perlu diajukan. Mengapa mereka mesti menghindar
begitu jauh ke Rengasdengklok, padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan
kemerdekaan RI? Mengapa ketika Soebarjo ditanya Soekarno, tentang pembukaan Piagam
Jakarta, jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia? Bukankah itu
sesungguhnya adalah rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosoewiryo pada
tanggal 13 dan 14 Agustus sebelumnya kepada mereka?
Pada malam harinya, mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan
Ahmad Soebarjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di
sebelah barat kota Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu
pemberontakan PETA dan Heiho. Ternyata tidak terjadi apapun, sehingga Soekarno dan Hatta
segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya
menyatakan kemerdekaan di luar rencana Jepang, tujuan ini mereka tolak.
Laksamana Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia
dapat mengatur agar pihak Jepang tidak mengiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan.
Mereka mempersiapkan nakah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi
Islam yang dipersiapkan Kartosoewiryo pada awal Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan
Ahmad Soebarjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari SM.
Kartosoewiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 45 yang dibuat oleh BPUPKI atau
PPKI[9].
Tan Malaka, Pahlawan yang Dipinggirkan
Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
dalam suatu upacara yang singkat dan terburu-buru di pekarangan rumah Soekarno di Jakarta.
Hadirinnya terbatas pada sejumlah kecil tokoh perintis. Di situ mereka mendengarkan pernyataan
kemerdekaan yang dibuat sesingkat mungkin: Kami, bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Iljas Hussein alias Tan Malaka tidak masuk dalam kelompok para perintis tersebut. Mantan
pemimpin komunis ini sudah diusir dari negerinya tahun 1922, dan sejak itu ia hidup sebagai
buronan. Sejak tahun 1924, ketika ia tiba di Cina sebagai agen Internasionale Komunis, terus ia
diburu oleh polisi rahasia Belanda, Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan Cina. Sesudah
gagalnya pemberontakan komunis Indonesia tahun 1926-1927 yang ditentangnya, Tan Malaka
memutuskan hubungan dengan Moskow dan mendirikan partai sendiri, Partai Repoeblik
Indonesia (Pari) di Bangkok. Partai ini begitu tertutup, hingga untuk mengetahui
eksistensinyapun Belanda membutuhkan waktu empat tahun. Dan sejak itu Belanda selalu
memburu hampir setiap anggota Pari yang sempat direkrut. Sejak itu juga Tan Malaka praktis
putus segala hubungan dengan tanah airnya.
Sebelum balatentara Jepang menyerbu dengan penuh kemenangan, ia sudah melarikan diri dari
Cina dan menetap di Singapura, tapi di Singapura ia terkejar lagi, di tahun 1942. Maka iapun
menyelinap ke Sumatera, dan dari sana ke Jakarta. Di Jakarta ia hidup sebagai orang biasa,
sambil menulis dan memperhatikan. Namun sikap demikian dianggap tidak wajar untuk
penghuni kampung, karena itu ia mulai dicurigai Jepang. Ia lalu melamar sebagai pengawas di
tambang batubara Bayah, di Banten Selatan yang terpencil. Di sana ia berusaha betul
meringankan beban penderitaan orang-orang Jawa yang menjadi pekerja paksa, romusha, hingga
Jepang mulai mengusutnya.
Kerja yang berat, makanan yang buruk, dan berbagai penyakit yang menyertainya, memakan
banyak korban jiwa. Ia mulai memendam kebencian kepada kekuasaan Jepang, dan kemudian
mulai bersikap sangat kritis terhadap orang-orang Indonesia yang bekerja sama dengan Jepang.
Ia mulai melibatkan diri dalam beberapa organisasi buatan Jepang yang tujuannya mengerahkan
penduduk untuk mendukung upaya perang. Dengan orang-orang Banten, khususnya pemuda
yang radikal, ia bahas masa depan perang, dan apa yang harus mereka lakukan selagi kekalahan
Jepang semakin mendekat. Tidak mengherankan, kalau rekan-rekannya yang lebih muda kagum
dengan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuannya berbicara. Tidak mengherankan juga,
kalau pada tanggal 9 Agustus 1945 ia dikirim ke Jakarta sebagai wakil mereka untuk
menghubungi para pemuda radikal yang menonjol namanya, dan membicarakan kemerdekaan
Indonesia bukan sebagai hadiah Jepang melainkan kemerdekaan yang direbut oleh pemuda
Indonesia dari tangan penindas Jepang. Kalau Soekarno dan Hatta menolak ambil bagian dalam
proklamasi seperti itu, ia mendapat kuasa dari para pemuda Banten untuk menandatangani
Proklamasi itu sendiri.
Tan Malaka memang bertemu dengan Soekarni, salah seorang pemuda yang paling blak-blakan
dalam mewujudkan proklamasi yang murni, pada tanggal 14 Agustus 1945. Soekarni sudah
merasa, bahwa Iljas Hussein itu mungkin Tan Malaka yang sepak terjangnya pernah sangat ia
kagumi. Tapi Hussein bisa jadi juga agen Jepang. Di pihak Tan Malaka sendiri, puluhan tahun
hidup sebagai pelarian telah membuatnya bersikap hati-hati dan curiga, karena itu enggan ia
mengungkapkan jati dirinya kepada Soekarni. Bagaimanapun, kesempatan itu lewat begitu saja.

Beberapa tahun kemudian Tan Malaka menulis dalam otobiografinya: Rupanya sejarah
Proklamasi 17 Agustus tidak mengijinkanku untuk ambil bagian secara fisik, hanya secara
spiritual. Aku sangat menyesalkan hal itu. Tetapi sejarah tidak peduli dengan sesal seorang
manusia atau sesal satu kelas manusia.[10]
Refleksi Proklamasi untuk Indonesia Kita
Dalam paparan di atas, nampak bahwa setiap kelompok mempunyai legitimasi. Semua golongan
mencari apologi dan justifikasi kebenaran tindakan sambil tak lupa menonjolkan peran masingmasing dalam sejarah bangsa. Jika kita kembali menilik fungsi sejarah yaitu sebagai hikmah dan
pelajaran untuk setiap manusia, maka pertentangan politik dengan legitimasi sejarah tidak patut
untuk terus di kedepankan. Harus disadari, bahwa seluruh pejuang memiliki andil pada bidang
masing-masing. Hanya tendensi politis-lah yang menyebabkan mereka ditampilkan dalam
sejarah secara tidak adil, sebagai misal adalah dua pahlawan di atas: Kartosoewiryo dan Tan
Malaka.
Kegagalan proses mengindonesia sebenarnya disebabkan oleh historiografi dari bangsa ini.
Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orba. Selama Soeharto berkuasa, sejarah ditulis
dan ditafsirkan untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalanhafalan atas peristiwa masalalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan generasi terdahulu.[11]
Idealnya, setiap kali memperingati proklamasi kemerdekan, pertanyaan yang mengusik adalah
apakah sesungguhnya kita sudah merdekadan bukan usreg tentang siapa yang paling berperan
dalam perjuangan mencapainya, hatta dengan dalih pelurusan sejarah. Apakah kemerdekaan
yang diperoleh 58 tahun lalu, kini telah memerdekakan kita dari kemiskinan, penindasan,
pemasungan HAM dan semua ketertindasan yang dialami bangsa terjajah? Pasca proklamasi
adalah soal bagaimana agar rakyat ini merdeka dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan.
Adalah ironis tingkat kesejahteraan guru relatif lebih rendah dari pada semasa penjajahan.
Adalah ironis rakyat sampai sekarang belum bebas dari budaya membayar upetiyang
sebetulnya adalah pungli.
Kata Goenawan Mohamad, orang ingin merdeka karena ia tahu apa artinya tidak merdeka. Tidak
merdeka berarti: tiap saat siap ditempeleng, dilucuti, dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot,
didiskriminasi, dilempar ke dalam sel, dan/atau dibunuh. Anehnya retorik Agustusan yang
sekarang tak banyak bicara soal kesakitan itu bahkan sering terdengar kata mengisi
kemerdekaan, seakan kemerdekaan adalah sebuah ruang kantor yang kosong, yang necis,
gratis dan tinggal diberi perabotan.[12]
Para founding fathers mengaku dalam UUD 45 bahwa kemerdekaan dicapai bukan hanya
sebagai hasil usaha perjuangan pergerakan nasional, tetapi terwujud berkat rahmat Allah yang
Mahakuasa. K.H Asad Syamsul Arifin, sesepuh NU itu berkata, kita sebagai orang Islam harus

merayakan secara islami pula. Apalagi kita santri! Kita menghormati para pahlawan dengan cara
mengirimi mereka pahala mengaji, bukan menyanyi. Kita selayaknya harus memasyarakatkan
gerak batin bukan hanya gerak badan. Kita merayakan hari kemerdekaan, dengan cara
memperbanyak membaca Al Quran, zikir dan sholawat![13]
Cita-cita bersama untuk merdeka begitu kuat. Kendati dalam kata-kata Ben Anderson, tanggal
17 Agustus 45 Republik yang sudah lama diidam-idamkan lahir dan mulai melangkah dengan
gugup.[14] Bermodal kebersamaan dan kemauan untuk merdeka, dengan langkah gugup
Indonesia masuk ke dalam babak baru berbangsa. Langkah itu tenyata juga historis di Asia,
sebab Indonesia adalah daerah jajahan di Asia pasca PD II yang pertama kali memproklamasikan
kemerdekaannya.
Segenap komponen bangsa tanpa memandang latar belakang etnis dan agama bersama-sama
mengambil bagian dalam membentuk negara RI. Mereka terlibat sebagai anggota BPUPKI dan
PPKI, permasalahan ideologis menyangkut dasar negara di selesaikan dengan penuh kearifan
dalam ikatan solidaritas yang amat kuat, sekaligus memperlihatkan ikatan kebesaran jiwa para
pendiri republik ini.***
[1] Tulisan ini ini pernah didiskusikan dalam forum Refleksi Proklamasi yang diadakan oleh
Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
pada tanggal 18 Agustus 2003, bertempat di Aula I IAIN Yogyakarta
[2] Transmisi narasi historis dapat melalui teks, film atau berbagai sarana virtual seperti yang ada
pad masa modern ini. Karena itu, transmisi dibagi dua: sejarah lisan (oral history) dan sejarah
tulis. Dalam kenyataannya, sejarah lisan jauh lebih banyak daripada yang tetulis. Lihat,
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hlm. 19.
[3] Prof. Dr. Alwi Shihab, Di Balik Radikalisme Islam Indonesia (1), dalam Duta Masyarakat,
18 Desember 2002.
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986),
hlm. 28
[5] Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001) hlm. 9-11.
[6] Nurhakim Zaki, Pengkhianatan 8 Agustus 1945, tulisan dalam www.alislam.or.id edisi 16
Agutus 2002.
[7] Buku barutepatnya kumpulan artikelyang telah terbit dan menguak sejarah gelap pada
masa kekuasaan Orde Baru adalah tulisan Asvi Marwan Adam, Sejarah Gelap Soeharto,
(Yogyakarta: Ombak, 2004)

[8] Secara umum, pemaparan sejarah awal proklamasi menggunakan diksi seperti tersebut di
atas. Hampir seluruh buku pelajaran sejarah yang menjadi bacaan wajib siswa di sekolah sejak
SD-SMA, memuat peristiwa itu. Datar dan tanpa ekspresi, juga menyembunyikan banyak
pertanyaan bagi pembaca kritis. Lihat salah satunya di Tamar Djaja, Soekarno-Hatta, Persamaan
dan Perbedaannya (Jakarta: Sastra Hudaya, 1981). Sebuah buku yang dikarang untuk
mengkomparasikan sang Dwitunggal Indonesia.
[9] Tuturan historis berkaitan S.M Kartosoewiryo banyak ditulis oleh para sejarawan, terutama
karena faktor pemberontakan DI/TII-nya. Kutipan ini dapat dilihat di Al Chaidar, Pengantar
Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo (Jakarta: Darul
Falah, Muharram 1420 H), hlm. 65., Sebuah buku yang cukup memenuhi sisi metodologis
kesejarahan.
[10] Lihat dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/02/05/0037.html, selain itu
sebuah tulisan yang cukup menguak kemisteriusan Tan Malaka adalah Alfian, Tan Malaka:
Pejuang Revolusioner yang Kesepian, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES,
1978), hlm 132-173.
[11] Alexander Aur, Tragedi Kemanusiaan dan Historisitas Indonesia, opini dalam Sinar
Harapan, 5 Juli 2003.
[12] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 110.
[13] KHR. Asad Syamsul Arifin, Percik-percik Pemikiran Kiai Salaf, Wejangan dari Balik
Mimbar (Situbondo: PP. Salafiyyah Syafiiyyah, 2000) hlm.9-10.
[14] Colin Wild & Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah; (Jakarta
1986), hlm 96.
Sumber : Amin Sudarsono

Anda mungkin juga menyukai