Anda di halaman 1dari 36

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DJOHAN EFFENDI

MENGENAI ISLAM INKLUSIF PADA ABAD KE-20

LAPORAN PENELITIAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual
Islam di Indonesia II yang diampu oleh Agus Permana, M.Ag.

Disusun Oleh:
Siti Syarah Nurul Huda
1165010156

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
banyak nikmat, taufik, dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
yang berjudul “Perkembangan Pemikiran Djohan Effendi Mengenai Islam Inklusif
Pada Abad ke-20” yang diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata
kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia II yang diampu oleh bapak
Agus Permana, M.Ag. Dalam penyusunan tak lepas dari bantuan, arahan, dan
masukan dari berebagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas
segala partisipasinya dalam menyelesaikan laporan ini.
Meski demikian penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan
kekeliruan di dalam penulisan laporan ini baik dari segi tanda baca tata bahsa
maupun isi, sehingga penulis secara terbuka menerima saran dan kritik dari
pembaca. Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat untuk para pembaca dan khususnya untuk saya sendiri.

Bandung, 10 Oktober 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5

D. Kajian Pustaka.............................................................................................. 5

E. Metode Penelitian......................................................................................... 5

1. Heuristik ................................................................................................... 5

2. Kritik ........................................................................................................ 5

3. Interpretasi ................................................................................................ 6

4. Historiografi ............................................................................................. 6

BAB II BIOGRAFI DAN KARYA ........................................................................ 7

A. Biografi ........................................................................................................ 7

1. Kehidupan Keluarga ................................................................................. 8

2. Aktivitas Politik ...................................................................................... 14

3. Kehidupan di Australia ........................................................................... 15

4. Sang Pelintas Batas ................................................................................ 16

B. Karya .......................................................................................................... 17

BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 20

A. Kajian Konseptual ...................................................................................... 20

1. Islam ....................................................................................................... 20
iii

2. Inklusif .................................................................................................... 17

3. Islam Inklusif .......................................................................................... 18

B. Sejarah dan Perkembangan Islam Inklusif ................................................. 24

C. Islam Inklusif Menurut Djohan Effendi ..................................................... 30

BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 29

A. Kesimpulan ................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Djohan Effendi dilahirkan dari pasangan H. Mulkani dan Hj. Siti Hadijah,
di Banjarmasin pada 1 Oktober 1939. Djohan memiliki empat saudara: satu
perempuan dan tiga laki-laki. Djohan kecil banyak diasuh oleh neneknya, Hj. Siti
Zahrah yang aktif berkeliling untuk mengikuti pengajian-pengajian. Keaktifannya
mengikuti pengajian membuka hubungan yang baik dengan para ulama
terpandang di Kalimantan Selatan. Djohan dibesarkan di lingkungan muslim yang
kuat dan juga tradisi dagang dari ayahnya dan kakeknya, H. Masri. Kakek dan
ayah Djohan adalah anggota Serikat Islam. Sejak duduk di bangku Sekolah
Rakyat, Djohan sudah diajari membaca aksara Arab oleh neneknya. Setelah itu,
Djohan belajar mengaji al-Qur’an di bawah bimbingan imam langgar T.G.H
Aseri.1
Pendidikan Djohan dimulai dari Sekolah Rakyat selama enam tahun,
Sekolah Arab selama tiga tahun dan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama)
selama tiga tahun di Banjarmasin. Ibunya menginginkan Djohan masuk SMP,
namun Djohan lebih memilih PGAP. Setelah tamat di PGAP bersama lima
temannya sebagai lulusan terbaik, Djohan memperolah beasiswa dengan ikatan
dinas untuk melanjukan ke PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) Yogyakarta
selama tiga tahun (1957-1960). Di Yogyakarta inilah Djohan mulai bergelut
berbagai keilmuan dan buku dan budaya intelektual yang hebat. Perubahan-
perubahan penting dalam orientasi intelektual Djohan terjadi pada periode
ini.Setelah selesai PHIN, Djohan langsung diangkat sebagai pegawai negeri dan

1
‘Pluralisme Agama Menurut Djohan Effendi ( Studi Analisis Kritis ) Dosen Pengampu Nirwan
Syafrin Ph . D Oleh : Alvin Qodri Lazuardy Program Pascasarajana Aqidah Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin Universitas Darusslam Gontor’, 2018, 10.
2

bekerja di Kerapatan Qadhi (Kantor Pengadilan Agama) di Amuntai, Hulu Sungai


Utara, 55 kilometer dari kota kelahirannya, Kandangan pada Mei 1960.2
Di tahun 1960, Djohan kembali lagi ke Yogyakarta untuk belajar di IAIN
(Institut Agam Islam Negeri) Sunan Kalijaga sebagai mahasiswa tugas belajar di
Fakultas Syariah dari Departemen Agama. Di Yogyakarta, pergulatan intelektual
dimulai lagi. Ia banyak mendalami literatur tentang Ahmadiyah dan bergabung ke
dalam Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan lebih sering berkunjung ke
perpustakaan. Di HMI, Djohan bertemu dengan Ahmad Wahib, M. Dawam
Rahardjo, Mansur Hamid dan Nurcholis Madjid. Dawam Rahardjo usul kepada
Mukti Ali sebagai dosen senior IAIN Sunan Kalijaga untuk membuat kelompok
kajian terbatas, yang dinamai limited group di tahun 1967. Djohan dan Ahmad
Wahib segara bergabung dalam kelompok itu.
Lulus IAIN, dua tahun kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat
Jenderal Departemen Agama. Tidak lama disana, lalu diangkat menjadi staf
pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima tahun menjadi staf menteri, Djohan
sempat ditugaskan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk
membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto. "Kesepakatannya,
saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui," katanya mengenai
pengalamannya.3
Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama,
setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato
sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi
mengemuka. Djohan menyinggungnyinggung keberadaan kelompok penganut
minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Kong Hu Chu dan
Baha’i. "Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau,"
tandasnya.4 Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi
Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis
pidato Presiden pun tamat ketika ia "nekat" mendampingi K.H. Abdurrahman

2
Telaah Pemikiran and M Dawam Rahardjo, ‘Pluralisme Sebagai Jalan Pencerahan Islam ’:, 15
(2012), 275–90.
3
Program Studi and others, ‘Corak Pendidikan Islam Inklusif’, X.1, 35–48.
4
Ahmad Gaus. AF, Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi, hal.128-130.
3

Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel di tahun 1994. Kunjungan itu ditentang
keras oleh sejumlah kelompok Islam.
Djohan Effendi pernah menjabat sebagai Pegawai Departemen Agama
Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962), Staf Sekretaris Jenderal Departemen
Agama Jakarta (1972-1973), Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978), Peneliti
Utama Departemen Agama (sejak 1993), Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis
Pidato Presiden (1978-1995), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Agama (1998-2000), dan Menteri Sekretaris Negara (2000-2001).5
Karya-karya. Tentu sebagai intelektual, tulis-menulis bukanlah hal asing
lagi. meskipun tidak terlalu banyak menulis buku dibanding teman-teman
seangkatannya, Djohan tetap memiliki karya yang cukup berbobot, di antara
karya-karyanya tersebut adalah:
1. Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan dalam
Prisma No. 5 ( Juni 1978).
2. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta:
LP3ES, 1981), sebagai penyunting bersama Ismet Natsir.
3. Sumbangan Islam kepada Peradaban, sebagai editor ( Jakarta: Pustaka
Biru, 1981).
4. Keterbatasan, Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia: Sebuah Tinjauan
Tentang Masalah Takdir dari Perspektif Teologi Islam, dalam Prisma, No
Ekstra (1984).
5. Iqbal: Pemikiran Islam Sosial dan Sajak-sajaknya, sebagai editor bersama
Abdul Hadi WM ( Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1986)
6. Sufsme dan Masa Depan Agama, sebagai editor ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993)
7. Manusia yang tidak menjadi Budak Benda dalam Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. III,

5
Hamam Faizin and Arsyad Sobby Kesuma, ‘Pemikiran Tafsir Djohan Effendi’, Kalam, 11.2
(2017), 455 <https://doi.org/10.24042/klm.v11i2.1360>.
4

8. Progressive Traditionalists: the emergence of a new discourse in


Indonesia's Nahdlatul Ulama during the Addurrahman Wahid era, (Ph.D
Dissertation di Deakin University, 2000).
9. Tasawuf al-Qur’an tentang Perkembangan Jiwa Manusia dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 8 Vol. 2 (1991)
10. Qarun dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol 1 No. 5
(1994)
11. Perkembangan Demokrasi di Indonesia: Sumbangan Agamaagama, dalam
Fridolin Ukur dan Retnowinarti (eds.), Pluralisme dan Demokrasi, (
Jakarta: Badan Litbang PGI, 1995).
12. Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Passing Over, Melintasi
Batas Agama, ( Jakarta: Gramedia, 1998).
13. Solusi Masalah Ahmadiyah, dalam Koran Tempo, (12 Januari 2008)
14. Pluralisme dan Kebebasan Agama, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfdei,
2010)
15. Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi (Wacana keagamaan di
Kalangan Generasi Muda NU Mada Kepemimpinan Gus Dur), (Jakarta:
Kompas, 2010).6
Dari latar belakang diatas, penulis fokus mengkaji pemikiran Djohan
Effendi mengenai Islam Inklusif dengan judul “Perkembangan Pemikiran Djohan
Effendi Mengenai Islam Inklusif Pada Abad ke-20”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perjalanan hidup dari Djohan Effendi?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran Djohan Effendi terkait Islam
Inklusif?

6
Faizin and Kesuma.
5

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Biografi dari Djohan Effendi.
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Perkembangan Pemikiran
mengenai Islam Inklusif dari Djohan Effendi.

D. Kajian Pustaka
Untuk penulisan laporan ini, dikumpulkan sumber-sumber pustaka yang
tentu berkaitan dengan judul rencana penelitian. Sumber-sumber yang berkaitan
dengan Pemikiran Djohan Effendi mengenai Islam Inklusif yang penulis dapat ada
yang sudah ditulis dan yang belum. Diantaranya sumber yang akan penulis bahas
menggunakan jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan ebook yang membahas mengenai
pemikiran Djohan Effendi tentang Islam Inklusif.

E. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah terdiri dari
empat tahap, yaitu: Heuristik, kritik (ekstern,dan intern) Interpretasi, dan
Historiografi, Berikut ini, adalah penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut:
1. Heuristik
Pada tahap penulisan ini membagi ke dalam dua jenis sumber yaitu
sumber tertulis dan sumber tidak tertulis atau lisan. Dalam rangka mengumpulkan
sumber-sumber penulisan melakukan studi dengan cara terjun langsung ke
lapangan. Dalam hal ini dipakai teknik-teknik sebagai berikut:
Ada pun yang akan di jadikan sumber yaitu “Sang Pelintas Batas”. Buku
ini menjelaskan tentang kisah Djohan Effendi, dari biografi hingga pemikirannya.
Sedangakan sumber-sumber lain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi.
2. Kritik
Setelah data terkumpul maka dilakukanlah kritik, untuk memperoleh
keabsahan sumber. Dalam hal ini, data-data yang telah diperoleh oleh penulis
dilakukan pengujian melalui kritik intern dan ekstern. Kritik intern bertujuan
6

untuk menguji kredibilitas sumber yang diperoleh sedangkan kritik ekstern


bertujuan untuk menguji keaslian atau otentisitas sumber yang telah diperoleh.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran fakta-fakta sejarah yang telah ditemukan
menjadi satu kesatuan yang harmonis dan rasional. Penulis melakukan penafsiran
seobjektif mungkin dengan selalu menyantumkan sumber yang penulis gunakan.
Interpretasi ini dilakukan dengan metode analisis dengan menguraikan objek yang
akan diteliti mengenai pemikiran Islam Inklusif dari Djohan Effendi pada abad
ke-20.
4. Historiografi
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam metode penulisan sejarah.
dalam tahapan ini data yang telah diperoleh kemudian diolah dan direkonstruksi.
Data-data tersebut ditempatkan dalam kerangka karangan yang saling
berhubungan dalam bentuk penulisan sejarah berupa skripsi. Historiografi ini
fungsinya adalah menyampaikan informasi kepada khalayak dalam memberikan
jawaban terhadap perumusan yang diajukan. Pada tahapan ini, penulis
menggunakan deskriptif-analitik yaitu menceritakan apa, bilamana, dan siapa
yang terlibat di dalamnya. Juga dengan menjawab pertanyaan mengapa dan
bagaimana peristiwa itu terjadi.
7

BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA

A. Biografi
Djohan Effendi dilahirkan dari pasangan H. Mulkani dan Hj. Siti Hadijah,
di Banjarmasin pada 1 Oktober 1939. Djohan memiliki empat saudara: satu
perempuan dan tiga laki-laki. Djohan kecil banyak diasuh oleh neneknya, Hj. Siti
Zahrah yang aktif berkeliling untuk mengikuti pengajian-pengajian. Keaktifannya
mengikuti pengajian membuka hubungan yang baik dengan para ulama
terpandang di Kalimantan Selatan. Djohan dibesarkan di lingkungan muslim yang
kuat dan juga tradisi dagang dari ayahnya dan kakeknya, H. Masri. Kakek dan
ayah Djohan adalah anggota Serikat Islam. Sejak duduk di bangku Sekolah
Rakyat, Djohan sudah diajari membaca aksara Arab oleh neneknya. Setelah itu,
Djohan belajar mengaji al-Qur’an di bawah bimbingan imam langgar T.G.H
Aseri.7
Pendidikan Djohan dimulai dari Sekolah Rakyat selama enam tahun,
Sekolah Arab selama tiga tahun dan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama)
selama tiga tahun di Banjarmasin. Ibunya menginginkan Djohan masuk SMP,
namun Djohan lebih memilih PGAP. Setelah tamat di PGAP bersama lima
temannya sebagai lulusan terbaik, Djohan memperolah beasiswa dengan ikatan
dinas untuk melanjukan ke PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) Yogyakarta
selama tiga tahun (1957-1960). Di Yogyakarta inilah Djohan mulai bergelut
berbagai keilmuan dan buku dan budaya intelektual yang hebat. Perubahan-
perubahan penting dalam orientasi intelektual Djohan terjadi pada periode
ini.Setelahselesai PHIN, Djohan langsung diangkat sebagai pegawai negeri dan
bekerja di Kerapatan Qadhi (Kantor Pengadilan Agama) di Amuntai, Hulu Sungai
Utara, 55 kilometer dari kota kelahirannya, Kandangan pada Mei 1960.8

7
Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas, hlm. 4-7
8
William Vendley and dkk., ‘Merayakan Kebebasan Beragama’, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan
Effendi, 2011, 698–702 <www.abad-demokrasi.com>.
8

Di tahun 1960, Djohan kembali lagi ke Yogyakarta untuk belajar di IAIN


(Institut Agam Islam Negeri) Sunan Kalijaga sebagai mahasiswa tugas belajar di
Fakultas Syariah dari Departemen Agama. Di Yogyakarta, pergulatan intelektual
dimulai lagi. Ia banyak mendalami literatur tentang Ahmadiyah dan bergabung ke
dalam Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan lebih sering berkunjung ke
perpustakaan. Di HMI, Djohan bertemu dengan Ahmad Wahib, M. Dawam
Rahardjo, Mansur Hamid dan Nurcholis Madjid. Dawam Rahardjo usul kepada
Mukti Ali sebagai dosen senior IAIN Sunan Kalijaga untuk membuat
kelompok kajian terbatas, yang dinamai limited group9 di tahun 1967. Djohan dan
Ahmad Wahib segara bergabung dalam kelompok itu. Lulus IAIN, dua tahun
kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Tidak
lama disana, lalu diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima
tahun menjadi staf menteri, Djohan sempat ditugaskan ke Sekretaris Negara.
Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan
Presiden Soeharto. "Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang
tidak saya setujui," katanya mengenai pengalamannya.
1. Kehidupan Keluarga
Ketia usia pernikahan mendekati tahun ketujuh, Djohan dan Scolichah
sudah dikarunia dua orang anak perempuan dan seorang laki-laki: Winda
Artensia, Yorna Febrinia, Rayvan Adigordha. Anak pertama Winda, lahir tahun
1973 ketika Djohan harus mencari rumah sendiri karena penginapan di kebon
kacang ditutup. Ia menumpang di rumah Amidhan di kampung Bali menunggu
kelahiran anaknya karena istrinya sedang hamil tua sedangkan bidan yang
mengawasi kehamilan istrinya tinggal di Kebon Kacang. Kelahiran Winda
mengalamai kesulitan sehingga diantar oleh bidan ke rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. Keperhatian Djohan menunggu kelahiran putrinya ia salurkan
dengan banyak bersedekah kepada pengemis yang ditemuinya di pinggir-pinggir
jalan. Setiap pertemuan pengemis ia memberi uang dan dalam hatinya berkata:
“Tuhan, aku tidak berdoa kepada engkau untuk keselamatan istri dan anakku

9
Faizin and Kesuma.
9

melalui salat. Aku berdoa melalui sedekah kepada para pengemis. Aku mohon
istri dan anakku selamat”.10
Ia beruntung saat itu mendapat rapel gaji sehingga bisa membayar biaya
kelahiran anaknya ketika diantara bidan ke rumah sakit dan ia belum memiliki
uang. Kesulitan kelahiran putrinya itu di sebebabkan lehernya terlilit tali susu
sebannyak 4 lilitan. Dokter Hanifan yang menangani kelahiran itu mengatakan,
baru kali ini ia menjumpai bayi terlilit sebanyak 4 lilitan. Masalah berikutnya
adalah bayi itu lahir tanpa menangis. Dokter kuatir aliran darah ke otak terlambat
dan karena itu perlu perawatan khusus. Waktu istrinya pulang masih tinggal
beberapa hari lagi di rumah sakit. Ketika sang bayi di bawa pulang, Djohan di
panggil dokter dan di pesan agar hati-hati. Jangan sampai sakit panas yang
mengakibatkan kejang dan dijaga selama paling kurang satu tahun. Djohan tidak
memberi tahu istrinya mengenai hal itu. Ia tidak ingin istrinya panik kalau
anaknya ditimpa sakit. Hanya ia sendiri yang hatinya gelisah bila anaknya sakit.
Namun ia pandai untuk menyembunyikan perasaan gelisahnya. Setelah satu tahun
berlalu dan anaknya tidak pernah kejang, barulah Djohan lega dan memberi tahu
istrinya.
Pada tahun 1970-an, hidup di Jakarta dengan gaji Rp.80.000,-per bulan
tidak terlalu mudah bagi keluarga Djohan untuk mencukupi berbagai kebutuhan
harian dengan tiga orang anak. Selepas tanggal 10 uang dari gaji bulanan sudah
habis. Selebihnya hannya menunggu masukan eksra dari menulis, undangan
berceramah, atau dinas ke luar kota. Dua yang terakhir ini sering menjadi dilema
bagi Solichah karena sebagai ibu muda yang memiliki anak yang masih kecil-
kecil ia menginginkan suaminya berada di rumah sepulang kerja. Namun, jika ia
bersikukuh pada keinginannya, keuangan keluarga akan selalu collapse setiap
tanggal 10. Terpaksa ia pun harus merelakan Djohan mencari penghasilan
tambahan dengan resiko sering meninggalkan rumah. Bahkan sesuatu yang sudah

10
Fatonah Dzakie, ‘Meluruskan Pemahaman Pluralisme Dan Pluralisme Agama Di Indonesia’, Al-
AdYaN, IX, NO.1 (2014), 79–94.
10

menjadi haknya pun tak jarang di hindari oleh Djohan, semata-mata ingin hidup
“bersih”.11
Tatkala menjadi Mensesneg, misalnya, ia tidak pernah mengambil dana
taktis sepeser pun dari jumlah yang dialokasikan Rp.75 juta untuk berbagai
keperluan menteri seperti berobat, sumbangkan, dan sebagainya. Ia tidak pernah
menanyakan hal itu. Sementara itu tidak sedikit pejabat yang rajin mengumpulkan
kuitansi untuk di tukar uang kasir kantor, dari kuitansi bensin, karcis parkir,
hingga bukti pembelian aspirin. Kalau saja ke toilet ada kuitansinya, mungkin
akan dikumpulkan juga.12
2. Aktivitas Politik
Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama,
setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato
sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi
mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut
minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Kong Hu Chu dan
Baha’i. "Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau,"
tandasnya.13 Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi
Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis
pidato Presiden pun tamat ketika ia "nekat" mendampingi K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel. Kunjungan itu ditentang keras oleh
sejumlah kelompok Islam.14
Djohan Effendi pernah menjabat sebagai Pegawai Departemen Agama
Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962), Staf Sekretaris Jenderal Departemen
Agama Jakarta (1972-1973), Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978), Peneliti
Utama Departemen Agama (sejak 1993), Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis
Pidato Presiden (1978-1995), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Agama (1998-2000), dan Menteri Sekretaris Negara (2000-2001).

11
Faizin and Kesuma.
12
Op cit, hlm. 258-260.
13
Ibid, hlm. 128-130.
14
Faizin and Kesuma.
11

3. Kehidupan di Australia
Ketika mengikuti kursus bahasa Inggris di Sydney, Australia, tahun 1976,
dalam hati Djohan sudah berbetik keinginan untuk menjadi penduduk tetap di
Australia. Ia sudah memperkirakan bahwa kehidupannya sebagai pegawai negeri
tidak akan mencukupi untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Dua puluh
satu tahun kemudian, tahun 1997, baru dua tahun ia menjadi mahasiswa S3
Universitas Dekain, apa yang pernah terlintas dalam pikirannya menjadi
kenyataan. Hererr Feith, Tony Johns, dan Vava vayman mendukung niat Djohan
memperoleh status penduduk tetap. Kepergian ke Australia bukanlah tanpa sebab.
Keretakan hubungan denngan Depag setelah Munawir Sjadzsali diganti, ditambah
oleh kasus kunjungannya ke Israel tahun 1994 menetapkan tekat Djohan untuk
pergi ke Australia. Apalagi ia merasa tidak mempunnyai kemampuan untuk
membiayai pendidikan anak-anaknya yang semuanya sudah duduk di bangku
kuliah.15
Tawaran Universitas Deakin untuk menulis disertasi S3 pada tahun 1995
ia sambut, dan beruntung Moerdiono yang sangat bergantung pada Djohan untuk
menulis naskah-naskah pidato Presiden Soeharto mengizinkannya. Keberadan
Djohan di Australia diisi dengan kegiatan sosial, menghimpun keluarga Indonesia
di Geelong, kota tempat dia tinggal. Di kota terbesar kedua di negara bagian
Victoria ini terdapat sejumlah warga asal Indonesia, kebannyakan perempuan
yang kawin dengan laki-laki Indonesia. Atas prakarsanya dibentuk Perhimpunan
Indonesia Australia, yang anggotanya tidak terbatas warga Indonesia tapi juga
warga Australia yang tertarik dengan Indonesaia. Rumahnya tidak pernah sepi,
selalu saja ada warga Indonesia dan juga Australia yang datang mengunjunginya.
Kebetulan istrinya hobi masak, sehingga ia mempunyai lahan untuk menyalurkan
masakannya. Dalam tahun pertama Universitas Deakin, di samping membaca dan
menulis tesis, Djohan juga diminta membantu membuka studi bahasa Indonesia di
Geelong. Ia sempat mengajar bahasa Indonesia kepada mahasiswa baru dan juga
khusus untuk guru-guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Geelong.16

15
Vendley and dkk.
16
Vendley and dkk.
12

Sebagai penduduk tetap, keluarga Djohan sudah terjamin hidupnya. Saat


itu Djohan menjadi kepala Balitbang Depag. Uang yang di terima Solichah lebih
besar dari gaji Djohan selaku pejabat tinggi. Tapi, Solichah tidak ingin hidup dari
santunan. Ia ingin berpenghasilan sendiri. Hobinya dan kepiawainnya masak-
masak ingin ia salurkan melalui restoran. Tidak lagi sekedar hobi seperti ia
lakukan bebrapa tahun yang lalu, tapi sebagai bisnis. Tidak hanya keluarga sendiri
tapi juga untuk menyediakan kerja bagi orang lain. Maka ia mendirikan Batavia
Cafe. Djohan sendiri kalau kebetulan pulang ke Geelong, walaupun saat itu ia
menjabat Sekretaris Negara RI, biasa membantu mencuci piring atau berbelanja
ke supermaket. Melalui getok tular dari mulut ke mulut, Batavia Cafe cukup di
kenal dan banyak pelanggannya. Setelah pemberhentiannya sebagai Sekneg,
Presiden Gus Dur mengunjungi restoran kecil itu. Utung saja tidak jadi, kalau
tidak Geelong akan heboh dikunjungi Presiden Indonesia.17
4. Sang Pelintas Batas
Di balik sikapnya yang peniam, Djohan adalah orang yang paling
bertanggung jawab bagi kaderisasi anak-anak muda aktivitas yang muncul di
tahun 1980-an dan 1990-an. Pikiran-pikirannya memang tidak dahsyat Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahib, tapi ia mampu memberi warna para gerakan
pembaruan pemikiran Islam. Gagasan-gagasan purbalisme, misalnya yang terjadi
tema pokok gerakan pembaruan, menjadi konkret di tangan Djohan.
Di tengah keriuhan panggung wacana Islam yang terompetnya ditiup oleh
Nurcholis Madjid dan Abdurahmman Wahib, Djohan berdiri di belakang layar. Ia
memang bukan pemain di atas panggung. Tapi ia melekatkan solidaritas antara-
kelompok. Di kalangan aktivis lintas agama, Djohan di kenal sebagai “ sang
pelintas batas”. Ia adalah peletak dasar pemikiran dan praktik dialog antariman. Ia
tidak menyapa orang lain yang berbeda dengan gagasan melainkan dengan
senyum tindakan.
Di Badan Litbang Agama Depag, Djohan berkolaborasi dengan aktivis
LSM Moeslim Abdurrahman dalam meletakkan fondasi penelitian sosial tentang
agama, bukan penelitian teologi. Ia menerobos tradisi dengan mencanangkan

17
Op cit, hlm. 267-268.
13

program-program penelitian di Depag dengan visi lintas agama. Masing-masing


direktorat keagamaan di Depag, menurut Djohan, seharusnya melakukan
penelitian bukan di dalam komunitas agamanya masing-masing melainkan dalam
komunitas agama yang lain. Dengan begitu, orang Islam akan mengerti persoalan-
persoalan orang Kristen, dan begitu juga dengan agama-agama lain, sehingga
tercipta sikap saling mengerti dan memahami satu sama lain. Djohan juga
merekrut para peneliti bukan hanya dari kalangan muslim tapi juga non-muslim.
Namun kedua gagasan itu gagal di wujudkan karena terbentur sikap sektarian dari
pejabat-pejabat Depag.
Menurut para keloganya di Depag, tradisi akademik yang muncul di
lingkungan birokrasi Depag tidak lain adalah berkat sentuhan tangan Djohan. Di
Badan Litbang yang dipimpinnya ia mendorong para aktivis untuk mendirikan
forum-forum kajian seperti Lembaga Kajian Agama dan Jender serta Lembaga
Kajian Agama dan Budaya.18

B. Karya
Tentu sebagai intelektual, tulis-menulis bukanlah hal asing lagi. meskipun
tidak terlalu banyak menulis buku dibanding teman-teman seangkatannya, Djohan
tetap memiliki karya yang cukup berbobot, di antara karya-karyanya tersebut
adalah:
1. Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan 1. dalam
Prisma No. 5 (Juni 1978).
2. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, 2. (Jakarta:
LP3ES, 1981), sebagai penyunting bersama Ismet Natsir.
3. Sumbangan Islam kepada Peradaban, 3. sebagai editor (Jakarta: Pustaka
Biru, 1981).
4. Keterbatasan, Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia: 4. Sebuah
Tinjauan Tentang Masalah Takdir dari Perspektif Teologi Islam, dalam
Prisma, No Ekstra (1984).

18
Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas, hlm. 158-159
14

5. Iqbal: Pemikiran Islam Sosial dan Sajak-sajaknya, 5. sebagai editor


bersama Abdul Hadi WM (Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1986)
6. Sufisme dan Masa Depan Agama, 6. sebagai editor (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993)
7. Manusia yang tidak menjadi Budak Benda dalam 7. Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. III,
8. Progressive Traditionalists: the emergence of a new discourse in 8.
Indonesia's Nahdlatul Ulama during the Addurrahman Wahid era, (Ph.D
Dissertation di Deakin University, 2000).
9. Tasawuf al-Qur’an tentang Perkembangan Jiwa Manusia 9. dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 8 Vol. 2 (1991)
10. Qarun dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol 1 No. 5
(1994)
11. Perkembangan Demokrasi di Indonesia: Sumbangan Agama-agama, dalam
Fridolin Ukur dan Retnowinarti (eds.), Pluralisme dan Demokrasi,
(Jakarta: Badan Litbang PGI, 1995).
12. Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di Indonesia, 12. dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Passing Over, Melintasi
Batas Agama, (Jakarta: Gramedia, 1998).
13. Solusi Masalah Ahmadiyah, dalam Koran Tempo, (12 Januari 2008)
14. Pluralisme dan Kebebasan Agama, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei,
2010)
15. Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi (Wacana keagamaan di Kalangan
Generasi Muda NU Mada Kepemimpinan Gus Dur), (Jakarta: Kompas,
2010).
Sebagai tokoh, Djohan tidak hanya menulis, tetapi ditulis oleh orang lain.
Karena memainkan peran yang cukup penting dalam perkembangan pemikiran Islam
di Indonesia, Djohan menjadi pusat perhatian para akademisi sehingga ia dijadikan
sebagai objek penelitian dan ditulis. Di antara karya-karya yang menulis tentang
Djohan adalah:
15

1. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-


ModernismeNurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999),
2. Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 tahun Menyambut
Djohan Effendi, (Jakarta: ICRP dan Kompas, 2009), Editor Elza Peldi Taher
3. Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas, Biografi Djohan Effendi, (Jakarta:
ICRP dan Kompas, 2009)
4. Rahmadi, Elite Muslim Banjar di Tingkat Nasional: Perjalanan Hidup dan
Kiprah Hasan Basri, Idham Chalid dan Djohan Effendi era Orde Lama dan
Orde Baru (1950-1998), (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2013).
Dari biografi singkat di atas, kiranya sudah tergambar bahwa Djohan
Effendi adalah intelektual Islam yang mumpuni, yang mendalami Islam tidak
hanya sebagai sebuah teori tetapi juga praktik. Di usianya yang sudah lebih dari
70 tahun, Djohan lebih mengurangi aktivitasnya dan hidup di Australzia bersama
keluarganya, dan lebih menyelamai makna-makna al-Qur’an sehingga lahirlah
buku PPQ. Djohan juga memiliki rencana untuk menerjemahkan al-Qur’an secara
puitis.19

19
Faizin and Kesuma.
16

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kajian Konseptual
1. Islam
Ada tiga istilah yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan ini,
yaitu: Islam, Inklusif, dan Islam Inklusif. Ketiga istilah tersebut akan dijelaskan
secara terperinci agar didapatkan pemahaman yang baik dan benar. Ada dua
kategori yang dapat dipergunakan untuk memahami pengertian islam, yaitu secara
etimologis (kebahasaan) dan terminologis (istilah). Secara etimologis kata islam
berasal dari kata aslama, yuslimu, islaman (bahasa Arab), yang memiliki beberapa
makna, diantaranya adalah: pertama, melepaskan diri dari segala penyakit lahir
dan batin, kedua, kedamaian dan keamanan, ketiga, menyerahkan diri,
ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan, dan keempat, memohon selamat dan
sentosa. Kata islam tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa,
aman dan damai. Selanjutnya orang yang memiliki sifat-sifat tersebut disebut
sebagai muslim atau muslimat, namun biasanya sebutan tersebut dikhususkan bagi
mereka yang telah mengimani dan memeluk Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW.20
Secara etimologis, kata islam maknanya dekat dengan kata din, yang
berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Biasanya
dalam bahasa Indonesia kata din diartikan agama dan dalam bahasa Inggris
diistilahkan dengan kata religi padahal makna masing-masing berbeda dengan
makna din. Kedekatan makna tersebut karena: keduanya, baik islam maupun din
membawa peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Keduanya menguasai diri
manusia dan membuatnya tunduk kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-
ajaran agama. Keduanya membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak
dilaksanakan menjadi hutang bagi yang bersangkutan. Paham kewajiban dan
kepatuhan Islam maupun din membawa pula kepada paham balasan. Yang
20
Zain Abidin, ‘Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah’, Humaniora, 4.2 (2013), 1273
<https://doi.org/10.21512/humaniora.v4i2.3571>.
17

menjalankan dan patuh kepada Islam maupun din akan mendapat balasan baik
dari Tuhan dan begitu juga sebaliknya.21
Adapun pengertian islam secara terminologis dapat dilihat dari definisi-
definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Hamka, misalnya, memberikan
pengertian islam sebagai agama yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril, termaktub di dalam Kitab
Suci al-Qur’an dan ditafsirkan oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pengertian
Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang bersumber dari wahyu Allah
SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dengan tujuan untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat.
2. Inklusif
Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris, inclusive yang berarti sampai
dengan atau termasuk. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pada suatu
keadaan atau sikap yang memandang kelompok lain sebagai bagian atau termasuk
dari keadaan tersebut. Selain itu istilah ini juga digunakan untuk menyatakan
bahwa sesuatu yang dimiliki seseorang boleh jadi juga terdapat pada orang lain,
atau kebenaran yang dimiliki oleh suatu agama, boleh jadi terdapat juga dalam
agama yang lain.
Jadi inti dari inklusif ialah keinginan untuk saling mengerti, saling
memahami, dan saling memberi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Seorang inklusifis tidak membiarkan dirinya untuk didominasi atau diperbudak
oleh satu paham, ajaran, kepercayaan maupun agama. Baginya, klaim kebenaran
(claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) bukan monopoli
kelompok atau agama tertentu, tetapi juga ada pada kelompok atau agama lain.
Bahwa kedua klaim tersebut sebenarnya sama saja dengan mengatakan bahwa
Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini saja dan tidak ada dalam ruangan
sebelah atau hanya dalam busana ini saja, dan tidak ada dalam busana lain.
Paradigma inklusif tersebut pertama kali dimunculkan oleh Karl Rahner,
dengan istilah Kristen anonim (the Anonymous Christian)22, yaitu orang-orang

21
Zain Abidin.
22
Zain Abidin.
18

non-Kristiani. Para “Kristen anonim” ini dalam pandangan Rehner juga akan
selamat sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati kepada Tuhan karena karya
Tuhan ada pada mereka walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik.
Alan Rece, the Anglican Chaplain pada Universitas Kent, menjelaskan bahwa
paradigma inklusif membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvafic
presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan
penyelamatan dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Lebih lanjut
dikatakan: “Menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-
Kristiani mengacu pada Kristus”.23 Inklusivisme agama tidak melepaskan
keyakinan bahwa yang benar adalah agama sendiri. Jadi bagi orang Kristen,
hanyalah karena manusia Yesus dari Nazaret segenap orang akan selamat.
Inklusivisme tidak mengakui semua agama lain sama-sama benar, tetapi disebut
inklusivisme karena mereka menerima bahwa orang dari agama-agama lain juga
dapat selamat.
3. Islam Inklusif
Adapaun yang dimaksud dengan Islam Inklusif adalah pemahaman atau
wawasan keislaman yang terbuka, luwes, dan toleran. Pemahaman yang demikian
bertolak dari nilai-nilai dasar Islam, dengan ide yang utama “Islam sebagai ajaran
kasih sayang untuk dunia” (rahmatan li al-‘alamin).24 Ada kriteria tertentu yang
menjadi indikator pemahaman Islam Inklusif, sehingga di sini terlihat jelas dasar
pemikirannya, serta arah dan tujuannya, di antaranya adalah:
Pertama, Islam Inklusif lebih menekankan kepada nilai-nilai dasar Islam
bukan kepada simbol-simbol belaka. menekankan elemen-elemen yang lazim
dalam keimanan masing-masing orang khususnya tentang ruhani yang menuju
Yang Maha Tinggi, sedangkan ekspresi keimanan yang bersifat lahiriah dalam
hukum-hukum agama, ritus, dan doktrin ketuhanan, tidak dipandang sebagai hal
yang paling penting. Implikasinya adalah keberanian untuk membongkar
selubung kusam berupa dunia penghayatan Islam yang bercorak doktrinal dan
dogmatis. Islam tidak hanya ditafsirkan lewat penekanan yang berlebihan atau
23
Adeng Muchtar Ghazali, ‘Toleransi Beragama Dan Kerukunan Dalam Perspektif Islam’,
Religious: Jurnal Agama Dan Lintas Budaya, 1.1 (2016), 25–40.
24
Faizin and Kesuma.
19

keterjebakan terhadap simbol-simbol keagamaan justru mengandung bahaya,


kontraksi, distorsi, dan reduksi ajaran agama itu sendiri, semangat penekanan
terhadap simbol-simbol agama tersebut sering sekali tidak sesuai dengan substansi
ajaran agama itu sendiri.25
Kedua, menghendaki interpretasi non ortodoks terhadap Kitab Suci al-
Qur’an dan dogma Islam, agar jalan keselamatan tersedia juga melalui agama
selain Islam. Meskipun teks al-Qur’an tuntas diturunkan sebelum wafatnya Nabi
Muhammad SAW, namun ketiadaan satu-satunya otoritas mufassir membuat tidak
sahihnya segala klaim yang mengatakan bahwa dia telah mencapai pemahaman
al-Qur’an yang paling benar. Dengan berkembangnya masyarakat Islam dan
semakin besarnya persyaratan moral dan legal, karya-karya intelektual yang
dihasilkan legal Islam diubah oleh kebutuhan yang terus membesar untuk mencari
konteks histories wahyu dalam rangka mendapatkan aturan-aturan praktis bagi
ditelurkannya keputusan-keputusan hukum.26
Ketiga, skeptis terhadap argumentasi rasional demi kepentingan
superioritas keyakinan Islam. Para inklusifis Islam meyakini benar bahwa secara
konsep Islam lah yang terbaik dan paling sempurna. Namun hal itu tidak cukup,
kesempurnaan Islam tersebut harus dibuktikan lewat karya nyata dari kaum
Muslim itu sendiri. Karya tersebut tercermin dalam aneka ragam kebaikan, karena
itu inklusifis Islam sejati selalu menciptakan aneka ragam kebaikan, fastabiqu al-
khairat, berlomba-lombalah kalian semua dalam kebaikan. Dan merekapun tak
segan-segan untuk memuji, membanggakan, bahkan meniru kebaikan- kebaikan
yang datang dari pihak lain.
Keempat, menganjurkan prinsip-prinsip dialog, toleransi, dan menolak
prasangka. Para inklusifis Islam meyakini bahwa kebaikan itu tidak hanya dimiliki
oleh Islam dan kaum Muslim, tetapi umat-umat yang lain pun memiliki nilai-nilai
kebaikan, karena itu sebelum memutuskan benar atau salah terhadap pihak lain

25
Zain Abidin.
26
Zain Abidin.
20

terlebih dahulu melakukan dialog dengan mereka, sehingga tercipta kehidupan


yang penuh toleransi dan terhindar dari prasangka-prasangka buruk.27
Kelima, menganjurkan prinsip-prinsip moral modern tentang
domokratisasi, hak azasi manusia, persamaan kedudukan dalam hukum, dan
lainnya. Kemajuan zaman telah “memaksa” para inklusifis Islam untuk
mempelajari wawasan-wawasan baru dan menyesuaikannya dengan prinsip-
prinsip Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad
SAW, maupun karya-karya para intelektual Muslim.28

B. Sejarah dan Perkembangan Islam Inklusif


Berdasarkan kerangka doktrinal Islam yang dikemukakan, kaum Muslim
mengimplementasikan teologi inklusif sepanjang sejarah Islam. Hijrahnya para
sahabat Nabi Muhammaad SAW ke Habasyah (Ethiopia) merupakan titik awal
pertemuan dan kerja sama kaum Muslimin dengan ahli kitab (khususnya Nasrani).
Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke
Habasyah, karena Nabi Muhammad SAW mengetahui bahwa Raja Negus dan
rakyatnya adalah para pengikut setia Isa al-Masih. Hal tersebut tidak akan pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, jika saja para penganut Nasrani di sana
berada jauh dari jalan kebenaran, bahkan hubungan baik tersebut diperkuat oleh
Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabatnya dengan melakukan shalat
ghaib ketika mendengar Raja Negus meninggal dunia.29
Hubungan seperti itu pun kemudian diperkokoh kembali ketika Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah pada 622 M.
Pembentukan negara-kota Madinah, yang terdiri dari berbagai etnis dan agama,
ini merupakan momen historis sejauh menyangkut implementasi kerangka teologi,
doktrin, dan gagasan kerukunan keagamaan Islam terhadap para penganut agama-
agama lain, dalam konteks ini, khususnya agama Yahudi dan Nasrani. Pada
dataran struktural dan politik, Nabi Muhammad SAW berusaha mencari titik temu

27
Zain Abidin.
28
Zain Abidin.
29
Hubungan Antaragama, ‘Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam Kajian Semantik
Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama’, Jurnal Kawistara, 3.1 (2013).
21

dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui


eksistensi masing-masing kelompok dengan dokumen yang terkenal sebagai
“Konstitusi Madinah”.30
Begitu juga, seperangkat contoh toleransi keagamaan yang diperlihatkan
oleh Khulafa al-Rasyidin kepada para pengikut agama samawi. Sebagaimana
Rasul telah memberikan jaminan kepada umat Kristen Najran bahwa lembaga
keagamaan mereka akan dilindungi, dan beliau telah mengeluarkan perintah
kepada panglima ekspedisi ke Yaman untuk tidak mengganggu orang Yahudi
karena agamanya. Demikian pula para khalifah telah memberikan kepada
panglima militer petunjuk-petunjuk yang serupa tentang prilaku para serdadu
dalam perang. Para panglima yang sukses ini telah mengikuti jejak Nabi
Muhammad SAW dalam mengadakan berbagai perjanjian dengan bangsa-bangsa
yang ditaklukan.31 Berkat perjanjian tersebut, bangsa-bangsa ini telah diberikan
kebebasan memeluk agama semula dan tradisi warisan lama dengan syarat agar
yang tidak memeluk agama Islam membayar pajak (jizyah) untuk pemerintah.
Walaupun pajak ini jauh lebih berat jika dibandingkan dengan pajak yang harus
diberikan oleh kaum Muslimin sendiri kepada pemerintahnya. Namun, untuk
ukuran zamannya hal itu relatif lebih adil, karena itu terjadi di tengah-tengah
dunia driskriminatif yang sangat parah dan kronis. Dan sebagai imbalan, bangsa-
bangsa ini (dikenal dengan sebutan ahl al-dzimmah) diberikan perlindungan yang
tidak berbeda sedikitpun dengan yang diperoleh dengan kaum Muslim.32
Oleh karena tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ al-
Rasyidin yang bijaksana telah menjadi undang-undang yang dipatuhi oleh umat
Islam pada masa-masa berikutnya, maka tidaklah berlebihan jika Laura Veccia
Vaglieri menyatakan bahwa Islam tidak hanya sekedar berdakwah untuk hidup
toleransi (tasamuh) dalam agama, bahwa lebih dari itu, ia menjadikan sikap
tasamuh tersebut bagian dari syariat Islam. Ketika masa Umar ibn Khaththab
meneruskan Sunnah Nabi Muhammad SAW tersebut terlihat dalam sikapnya

30
Antaragama.
31
M. Zainal Abidin, ‘Islam Dan Tradisi Lokal Dalam Perspektif Multikulturalisme’, Millah, 8.2
(2009), 297–309.
32
Antaragama.
22

terhadap penduduk Yerusalem. Setelah angkatan bersenjata Muslim menaklukan


kota Yerusalem, dan kemudian Umar ibn al-Khaththab menerima kunci kota
tersebut dari Uskup Agung, dia mengumumkan penandatangan sebuah dokumen
perjanjian kebebasan beragama, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Piagam
Aelia” (karena saat itu Yerusalem dikenal dengan nama Aelia)33, dalam piagam
tersebut antara lain dinyatakan:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Perjanjian ini diberikan oleh
Umar, hamba Allah, dan Amir al-Mu’minin, kepada penduduk Aelia. Dia (Umar) menjamin
keamanan jiwa dan harta mereka; gereja-gereja, dan salib-salib mereka tidaklah akan dijarah
maupun dihancurkan atau harta benda dikurangi dalam bentuk apapun. Mereka (pemeluk
Kristen) tidaklah akan dipaksa dalam bentuk apapun dalam kaitan dengan agama mereka; dan
haruslah mereka terpelihara dari bahaya. Dan tidak akan ada orang Yahudi hidup di tengah
mereka”

Kaum Muslimin hampir tidak pernah mengadakan perjanjian dengan


bangsa-bangsa tanpa dibiarkannya mereka bebas beragama dan tidak menerima
sesuatu paksaan dari manapun untuk masuk ke dalam agama baru. Tentara Islam
tidak pernah mengikutsertakan rombongan para juru dakwah yang memaksa dan
tidak pernah menempatkan mereka pada kedudukan istimewa untuk agar mereka
menyebarluaskan atau mempertahankan akidahnya. Malah bukan itu saja, tetapi
pada suatu masa, umat Islam pernah menetapkan kewajiban bagi orang yang ingin
masuk Islam untuk menempuh suatu cara yang sudah tidak tentu membantu
tersiarnya Islam dengan mudah, yakni mereka meminta kepada orang-orang yang
akan masuk Islam agar duduk bersimpuh di hadapan hakim seraya menyatakan
keinginannya masuk Islam bukan akibat dari suatu tekanan dan bermaksud di
balik itu untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Pada hakikatnya orang Yahudi dan Nashrani tidak saja diberikan
kebebasan beragama, tetapi juga diberikan hak untuk menduduki jabatan
pemerintah, ketika keahlian dan keterampilan pribadi telah menarik perhatian para
penguasa. Adapun beberapa keterbatasan yang diperlakukan kepada orang-orang

33
Alwi Shihab, ‘Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama’, 1997, 1999.
23

Yahudi dan Nashrani sekitar kebebasan beragama dan beberapa peraturan lain
yang mengharuskan mereka membawa pita-pita tertentu untuk membedakan
dengan orang-orang lain serta larangan membangun geraja-gereja yang baru atau
mempletur gereja-gereja lama, maka itu semua terjadi pada masa-masa terakhir,
yakni ketika Islam mengenal sikap ekstrim dalam beribadat yang dimasukan oleh
bangsa-bangsa ‘Ajam (bukan Arab).34
Keteladanan Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para
Khulafa’ al-Rasyidin, juga dipertahankan oleh para khalifah Islam sesudahnya.
Para khalifah Bani Abbasiah di Baghdad, misalnya tidak ragu-ragu lagi untuk
menjadikan para penganut non Muslim sebagai pejabat- pejabat pemerintah,
bahkan di antara meraka banyak yang menjadi penterjemah karya-karya ilmuan
Yunani maupun Persia yang mendapat jaminan langsung dari pemerintah
Abbasiah. Begitu juga dengan para khalifah Umawi di Andalusia (Spanyol), juga
dengan konsisten menjalankan politik kemajemukan yang begitu mengesankan.
“Penaklukan Spanyol oleh Bangsa Arab pada tahun 711 telah mengakhiri
pemindahan agama kaum Yahudi ke Kristen secara paksa yang telah dimulai oleh
Raja Recared pada abad keenam. Di bawah kekuasaan kaum Muslim selama 500
tahun setelah itu, muncul Spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”.
Kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi bersama-sama menyertai satu peradaban yang
cemerlang, suatu pencampuran yang mempengaruhi “garis darah” justru lebih
banyak daripada mempengaruhi afiliasi keagamaan”.35
Pengalaman yang hampir sama juga dikembangkan Islam ketika kaum
Muslimin melakukan kspansi sejak tahun 14 H./636 M. ke Persia dan sejak 91
H./711 M. ke wilayah Anak Benua India. Para penganut agama Zoroaster, Hindu,
dan Budha diberikan hak-hak yang sama seperti yang telah diberikan kepada
kaum Yahudi dan Kristen. Meskipun kepercayaan dan ritual mereka berbeda jauh
dengan ajaran tauhid Islam, mereka dibiarkan beribadat sesuai dengan ajaran dan
kepercayaan agama masing-masing. Mengenai agama-agama Persia, selama tiga
atau empat abad ketika Islam secara lambat laun menjadi agama yang dominan di

34
Faizin and Kesuma.
35
Antaragama.
24

sana, terjadi kontak antara Islam dengan agama-agama Persia, khususnya agama
Zoroaster dan Mani. Menurut Sayyid Husein Nasr, sejak awal Zoroaster diterima
sebagai Ahli Kitab, dan ajaran Islam banyak mempengaruhi pengarang-pengarang
Zoroaster, begitu juga sebaliknya.36
Sementara agama Mani ditentang dasar-dasar teologinya, namun
pengaruhnya dapat dilihat pada kosmologi Ismailiyah, karya-karya Muhamad ibn
Zakariya al-Razi, Ibn al-Nadhim, dan al-Biruni. Agama Zoroaster, tegas Sayyid
Husein Nasr, walaupun diketahui popular dalam segala tingkatannya di mana-
mana, tidak banyak dikaji di belahan dunia Islam terutama Arab, tidak seperti
halnya di Persia yang merupakan negeri asal agama ini (Nasr, 2000). Pengaruh
agama Zoroaster ini dapat dilihat dari karya-karya seperti penyair sufi Hafid,
Shihabuddin Suhrawardi, Mulla Shadra, dan lainnya.37
Untuk India, kaum Muslim di sana banyak yang menanamkan toleransi
terhadap tradisi setempat. Sekalipun Islam secara kultural dominan di sana
(Dinasti Mughol India), namun Hinduisme tetap hidup dan berkembang. Selain
dari kebijakan Dinasti Mughal yang mengembangkan pluralitas agama, menurut
Karen Amstrong, adalah karena bentuk Hinduisme yang paling kreatif, yaitu
menekankan tentang kesatuan aspirasi agama: semua jalan adalah sah, selama
masing-masing mengutamakan cinta batin kepada Tuhan Yang Maha Esa.38 Ini
jelas selaras dengan paham Islam paling dominan di India, yaitu sufisme dan
filsafat. Abdul Karim Shahratsani, seorang ahli perbandingan agama abad ke-12,
juga mengakui bangsa India adalah sebuah bangsa dan komunitas (agama) yang
besar (ummat al-kabirah wa millat al-‘adzimah), namun mereka memiliki
pandangan dan ideologi yang berbeda. Mereka bukanlah termasuk katagori kafir,
walaupun para ulama tidak sepakat mereka sebagai Ahli Kitab.39
Tidak hanya kaum terpelajar Islam di India sejak masa Dinasti Mughal
menyebut menyebut pemeluk agama hindu sebagai Ahli Kitab, memiliki silsilah

36
Antaragama.
37
Antaragama.
38
Zain Abidin.
39
Muhamad Ridho Dinata, ‘Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karya
Tim Departemen Agama Republik Indonesia’, ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 13.1
(2012), 85.
25

nabi-nabi sebelum datangnya nabi Islam dan bermula dengan Nabi Adam AS,
namun juga beberapa komentator Muslim India menyatakan bahwa Nabi Zulkifli
(QS al-Anbiya’: 85). Al-Qur’an menjelaskan: “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris,
dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar." (QS al-Anbiya':
85). Dzulkifli yang dimaksudkan daalam ayat ini adalah Budha dari Kifl
(Kapilawastu) dan “pohon aras” yang disebut dalam QS al-Thin: 1. Al-Qur’an
menjelaskan: "Demi (buah) Thin dan (buah) Zaitun." (QS al-Thin: 1). Buah Thin
yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah pohon bodhi yang di bawahnya Budha
memperoleh pencerahan atau illuminasi.40
Kawasan anak benua ini telah sejak lama terbebas dari intoleransi agama,
dan selama abad keempat belas dan kelima belas kaum Muslim dan Hindu
menjalin kerjasama di bidang seni dan proyek-proyek intelektual. Beberapa orang
Muslim dan Hindu membentuk kelompok masyarakat antariman, yang paling
penting di antaranya menjadi Sikhisme, didirikan oleh Guru Namak pada abad
kelima belas. Bentuk baru monoteisme ini berkeyakinan bahwa Allah identik
dengan Tuhan Hinduisme. Dari pihak Muslim, pakar Iran, Mir Abu Al-Qasim
Findiriski (w.1641), mengajarkan karya-karya Ibn Sina di Isfahan dan juga
menghabiskan cukup banyak waktu untuk mempelajari Hinduisme dan Yoga.41
Pada masa pemerintahan Akbar I, Kaisar Mughal III yang berkuasa pada
tahun 1560-1605. Kehidupan pribadi Akbar diabadikan oleh Abulfazl Allami
(1551-1602) di dalam bukunya, Akbar Namah (Kitab tentang Akbar). Selama
hidupnya Akbar berupaya menerapkan prinsip-prinsip sufisme ke dalam sejarah
peradaban. Pada masa ini semangat toleransi dan kerja sama ini paling jelas
dibuktikan dalam berbagai kebijakan, seperti pada 1575, Akbar mendirikan
Rumah Ibadah, tempat para ahli dari semua agama berkumpul mendiskusikan
masalah ketuhanan. Bahkan Akbar membuat kebijakan yang sangat radikal, yaitu
mendirikan tarikat sufinya sendiri, yang mendedikasikan diri pada “monoteisme

40
Vendley and dkk.
41
Luluk Fikri Zuhriyah, ‘Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid’, Jurnal Komunikasi Islam, 02.02
(2012), 2088–6314.
26

ketuhanan” (tauhid al-Ilah), kepercayaan radikal akan Keesaan Tuhan yang


mewahyukan diri-Nya pada tiap agama.42
Penghormatan terhadap semua agama mengakibatkan Akbar rela
mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadinya. Dari catatan Karen Amstrong,
dijelaskan bahwa Akbar memperlihatkan beberapa sikap yang sangat
menakjubkan; karena kepekaannya terhadap orang Hindu, dia menjadi seorang
vegetarian, meninggalkan kegiatan berburu binatang - olahraga yang sangat
digemarinya - dan melarang menyembelih hewan kurban di hari ulang tahunnya
atau di tempat-tempat suci orang Hindu.
Allami memandang Akbar sebagai penguasa ideal menurut falsafah dan
manusia sempurna pada masanya. Peradaban dapat membawa pada perdamaian
universal jika masyarakat yang baik dan liberal berhasil diciptakan oleh penguasa
semacam Akbar yang telah membuat fanatisme menjadi mustahil. Islam dalam
pengertian asalnya, yakni sikap tunduk kepada Tuhan, bisa dicapai oleh agama
apapun: yang sering disebut dengan agama Muhammad tidak memiliki monopoli
atas Tuhan. Sebagai hasil dari inklusivitas Islam tersebut, masih dapat disaksikan
sampai saat ini bahwa penduduk Anak Benua India mayoritas masih memeluk
agama Hindu.43

C. Islam Inklusif Menurut Djohan Effendi


Ruang lingkup pergaulan Djohan setelah keluar dari HMI yang makin luas
dengan tokoh-tokoh dan aktivis yang berbeda latar belakang politik, agama,
keyakinan, dan ideologi memperluas pandangannya. Tidaklah mengherankan
kemudian organisasi-organisasi keagaaman dirasakan oleh Djohan sebagai
belenggu yang membatasi kehidupan intelektual dan spiritualnya. Berbagai
kegiatan yang diikuti dan dimotori Djohan di HMI dan Limited Group antara
tahun 1965-1970, terutama tiga tahun terakhir, telah mendorongnya kepada
pandangan dan sikap yang lebih pluralis dalam beragama. Ia, misalnya, tidak lagi

42
Antaragama.
43
Antaragama.
27

tertarik dengan paham Mesianisme dan sikap eksklusif Ahmadiyah yang kini
dirasakannya sebagai organisasi sektarian. Bagi Djohan, pemahaman dan
penghayatan keagamaan bersifat personal dan berkembang sesuai dengan
pengalaman seseorang, karena itu tidak mungkin bersifat jamaah atau kolektif.44
Pengalaman keagamaan juga mandeg, melainkan sebuah proses yang
merupakan bagian dari perkembangan kehidupan manusia. Seorang beragama
bagaikan seorang pejalan atau salik. Menurut Djohan, doa yang diucapkan setiap
muslim 17 kali setiap hari, ihdinash-shirathal mustaqim mestilah dihayati dari
perspektif ini; bahwa pemahaman dan penghayatan seseorang dalam
keberagamaan tidak pernah final. Kata Djohan: “Kita ingin ditunjukkan jalan, dan
ini berarti proses, bukan hasil. Sebab apalah arti sebuah jalan bagi orang yang
tidak mau melakukan perjalanan.45 Dengan demikian keberagamaan adalah
sebuah perjalanan rohani tanpa ujung. Kalau ada ujung maka ujung itu adalah
kematian. Dan kita berharap ia merupakan khusnul khotimah. Dan ini berlaku bagi
setiap orang. Karena itu kita tidak boleh memvonis selama ia masih dalam
perjalanan.”
Walaupun Djohan merasa dan menganggap dirinya sudah tidak terkait lagi
dengan organisasi Ahmadiyah, namun silaturahmi dengan orang-orang
Ahmadiyah tetap ia jaga. Kontak dan persentuhannya dengan Ahmadiyah
merupakan bagian dari perjalanan hidupnya sebagai keseteruannya dengan
PERSIS, al-Washliyah, HMI, dan organisasi-organisasi lainnya. Lebih-lebih
pengalaman keberagamaannya, ketika ia berada dalam krisis justru kepustakaan
Ahmadiyah menyelamatkannya. Bagaimanapun pergaulan dengan mereka telah
memberi kontribusi bagi perjalanan keberagamaan dan kemuslimannya. Djohan
merasa persentuhannya dengan Ahmadiyah memperteguh komitmen
keagamaannya untuk menjunjung agama melebihi dunia, dan juga
mengembangkan keberagamaan yang seimbang antara penalaran dan

44
Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas, hlm. 80.
45
Ahmad Wahib, ‘Pergolakan Pemikiran Islam’, 1981, 123.
28

penghayatan. Ia berusaha menghayati apa yang ia sering anjurkan dalam training-


training bahwa kita harus komitmen kepada nilai dan bukan kepada lembaga.46
Sebaliknya, Djohan juga tidak merasa perlu bereaksi terhadap pernyataan
orang lain yang mengait-ngaitkannya dengan Ahmadiyah. Tak jarang Djohan
menghadiri pertemuan-pertemuan dengan Ahmadiyah, baik Lahore maupun
Hadian. Dalam perjalanan keluar nengeri, kalau kebetulan ke Pakistan ia
menyempatkan dari mengunjungi pusat Ahmadiyah Lahore di Lahore dan pusat
Ahmadiyah Qadyan di Rabwah. Bukan saja dengan Ahmadiyah, ia juga
mengunjungi pusat pertemuan jamaah Tabligh di Delhi, Brahma Kumaris di
Maduban, Jainisme di Rajastan, dan House of Justice, Pusat Bahai di Haiva dan
Tempel Bahai di Delhi dan Sydney.
Ia memandang komunitas-komunitas keagamaan, apapun, mengandung
nilai-nilai positif yang bisa di jadikan pelajaran. Bagi Djohan, semua agama dan
ke yakinan hidup adalah mata air kearifan untuk mencapai pencerahan kehidupan
manusia. Dalam silahturahminya ke berbagai tokoh Ahmadiyah, Djohan tidak
pernah memperdepatkan masalah-masalah dasar dalam paham Ahmadiyah seperti
tentang ke nabian, al-masih, dan Imam Madi, karna hal itu baginya tak ada
gunanya. Djohan memang pendirian dan keyakinan orang lain. Mempersoalkan
perbedaan paham keagamaan bisa merusak persahabatan. Sikap Djohan Terhadap
HMI juga tidak berubah.47 Meskipun ia sudah resmi mengundurkan diri melalui
“Statemen Pamitan” pada 1969, namun ia masih mendatangi training-training
HMI dan tetap bersahabat dengan para alumni HMI. Djohan Effendi yang
menyatakan bahwa: "Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengetahuan dan
pengertian manusia tidak mungkin mampu menangkap dan menjangkau agama
sebagai doktrin kebenaran secara menyeluruh dan tepat.48

46
Ahmad Gaus AF, Sang Pelintas Batas, hlm. 80-81.
47
Rahmadi Abd and others, ELITE MUSLIM.
48
Ghazali.
29

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan mengikuti uraian tersebut terlihat bahwa ajaran Islam menjunjung
tinggi adanya paham keagamaan yang bersifat inklusif-pluralis yang ditandai
dengan adanya dialog dan kerja sama serta perasaan kemanusiaan. Cara beragama
yang demikianlah yang akan menimbulkan ketentraman, keharmonisan,
kedamaian, dan ketahanan. Untuk mewujudkan hal ini perlu dilakukkan kritik teks
(hermenetik) terhadap tafsiran para ulama pada teks ayat-ayat suci dalam kitab,
serta dengan menghilangkan unsur-unsur perbedaan dan mengedepankan unsur-
unsur persamaan. Selain itu hal-hal yang selama ini ada dalam sejarah yang dapat
menghambat terjadinya hubungan yang harmonis antaragama juga harus
dihilangkan, yaitu persoalan yang bersifat politis, ideologis, orientalis, misionaris,
dan sebagainya. Untuk melakukan hal ini diperlukan adanya keberanian,
ketulusan, kerelaan, dan pandangan jauh ke depan.
Dalam konteks keanekaragaman sikap yang paling mendasar untuk
menerima kebhinekaan adalah keterbukaan menerima berbagai kemungkinan dan
perbedaan. Dalam sikap keterbukaan ada kemauan menerima bahwa ada yang
lain, yang berbeda. Yang jelas mental attitude fundamentalis yang tertutup
berbanding terbalik dengan situasi keanekaragaman yang menuntut keterbukaan.
Dengan demikian, fundamentalisme sangat potensial menjadi kekuatan yang
disintegratif, bahkan pada titik yang ekstrim dapat bersifat sangat destruktif.
Jalan keluar untuk mengantisipasi situasi itu dapat dimulai dari pihak
masyarakat agama sebagai agent of change. Yang perlu dilakukan oleh pihak
agama-agama adalah mencari dan menemukan celah-celah integrative, dengan
meredusir, seminimal mungkin kekuatan dis-integratif yang ada di dalamnya,
tanpa harus mengabaikan penghayatan terhadap agama masing-masing. Jika ini
berhasil, maka minimal perkembangan fundamentalisme dalam agama-agama
dapat diatasi, sekurang- kurangnya ditekan. Di sinilah pemahaman keagamaan
30

yang inklusif dan pluralis jelas sekali diperlukan untuk mengantisipasi situasi
tersebut. Begitu pula halnya dengan pemahaman Islam inklusif.
Islam di Indonesia merupakan agama mayoritas yang dianut oleh berbagai
kalangan penduduk, sehingga keberadaannya sangat menetukan masa depan
bangsa. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, “di pundak merekalah tanggung
jawab kemajuan bangsa ini”. Jika bangsa ini maju, berarti menunjukkan
keberhasilan Islam, dan jika bangsa ini mundur, berarti menunjukkan kegagalan
Islam. Singkat kata Islam di Indonesia sedang dipertaruhkan. Di sini perlu
ditegaskan kembali, bahwa konsep Islam Inklusif, sama sekali tidak menghendaki
usaha penyatuan agama atau mencampur adukannya. Konsep ini justru
menghendaki setiap pemeluk agama konsekuen dengan ajaran agama yang
diyakininya. Akan tetapi, kesungguhan beragama tersebut tidak boleh disertai
dengan anggapan bahwa agama lain sepenuhnya salah. Setiap ajaran agama pasti
mengandung nilai-nilai kebenaran. Dan bagi kaum Muslim, selama nilai-nilai
tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an harus mengakui dan menerimanya
sebagai kebenaran. Jika tidak sesuai dengan yang diharapkan, perbedaan tersebut
sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, begitu pula terhadap nilai-nilai di luar
agama.
31

DAFTAR PUSTAKA

Abd, Rahmadi, Rahman Jaferi Ahmad, Perjalanan Hidup, Kiprah Hasan Basri,
Idham Chalid, Djohan Effendi, and others, ELITE MUSLIM

Abidin, M. Zainal, ‘Islam Dan Tradisi Lokal Dalam Perspektif


Multikulturalisme’, Millah, 8.2 (2009), 297–309
<https://doi.org/10.20885/millah.vol8.iss2.art6>

Abidin, Zain, ‘Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah’, Humaniora, 4.2
(2013), 1273 <https://doi.org/10.21512/humaniora.v4i2.3571>

Alwi Shihab, ‘Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama’, 1997,
1999

Antaragama, Hubungan, ‘Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam


Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan
Antaragama’, Jurnal Kawistara, 3.1 (2013)
<https://doi.org/10.22146/kawistara.3961>

Dinata, Muhamad Ridho, ‘Konsep Toleransi Beragama Dalam Tafsir Al-Qur’an


Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia’, ESENSIA:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 13.1 (2012), 85
<https://doi.org/10.14421/esensia.v13i1.723>

Dzakie, Fatonah, ‘Meluruskan Pemahaman Pluralisme Dan Pluralisme Agama Di


Indonesia’, Al-AdYaN, IX, NO.1 (2014),

Faizin, Hamam, and Arsyad Sobby Kesuma, ‘Pemikiran Tafsir Djohan Effendi’,
Kalam, 11.2 (2017), 455 <https://doi.org/10.24042/klm.v11i2.1360>
32

Fikri Zuhriyah, Luluk, ‘Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid’, Jurnal Komunikasi


Islam, 02.02 (2012), 2088–6314
<http://download.portalgaruda.org/article.php?article=352136&val=5625&tit
le=Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid>

Ghazali, Adeng Muchtar, ‘Toleransi Beragama Dan Kerukunan Dalam Perspektif


Islam’, Religious: Jurnal Agama Dan Lintas Budaya, 1.1 (2016),

Pemikiran, Telaah, and M Dawam Rahardjo, ‘Pluralisme Sebagai Jalan


Pencerahan Islam ’:, 15 (2012),

‘Pluralisme Agama Menurut Djohan Effendi ( Studi Analisis Kritis ) Dosen


Pengampu Nirwan Syafrin Ph . D Oleh : Alvin Qodri Lazuardy Program
Pascasarajana Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas
Darusslam Gontor’, 2018,

Studi, Program, Pendidikan Agama, Fakultas Ilmu, Agama Islam, and Universitas
Islam Indonesia, ‘Corak Pendidikan Islam Inklusif’, X.1,

Vendley, William, and dkk., ‘Merayakan Kebebasan Beragama’, Bunga Rampai


70 Tahun Djohan Effendi, 2011, 698–702 <www.abad-demokrasi.com>

Wahib, Ahmad, ‘Pergolakan Pemikiran Islam’, 1981,

Anda mungkin juga menyukai