Anda di halaman 1dari 75

2023

MAHASISWA-MAHASISWI
SEMESTER 1
12/28/2023

MAKALAH KE DDI-AN
MAKALAH KE-DDI-AN

Disusun Oleh:
MAHASISWA MAHASISWI
SEMESTER 1

Dosen:
ANDI MUH. RUSLAN, S.Sos., M.Kom.

STAI DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD


MAKASSAR
2023

2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tugas Makalah dengan baik meskipun
masih banyak kekurangan di dalammnya.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Andi Muh. Ruslan, S.Sos.,
M.Kom., selaku dosen pembimbing mata kuliah Ke-DDI-an yang telah memberikan tugas
ini kepada kami, sehingga kami dapat mempelajari lebih mendalam mengenai
Munasabah dalam al-Qur’an. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-
teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah yang kami buat masih jauh dari
kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun dari pembaca guna menjadi
acuan agar kami bisa menjadi lebih baik di masa mendatang.

Semoga dengan makalah sederhana yang kami buat ini dapat membantu dan
menambah wawasan para pembaca dan bermanfaat untuk perkembanganan dan peningkatan
ilmu pengetahuan.

Makassar, 28 Desember 2023

Penyusun

3
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I : Sejarah Perkembngan DDI Masa Ke Masa.......................................................1
BAB II : DDI Lintas sejarah dunia islam ......................................................................13
A. Masuknya Islam di Indonesia
B. Sikap Ummat Islam Terhadap Penjajahan
C. Sikap Penjajahan Terhadap Pendidikan Islam
BAB III : Ummat islam di Indonesia...............................................................................16
A. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
B. Sulawesi Selatan dalam Masa Penjajahan
BAB IV : Umat islam di Sulawesi Selatan......................................................................23
A. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
B. Sulawesi Selatan dalam Masa Penjajahan
BAB V : Pendidikan islam di Sulawesi Selatan..............................................................28
A. Peranan Raja-Raja Islam
B. Gurutta H. M. As’ad Pengumpulan Tablik Ke-MAI Sengkang
C. Perkembangan MAI di Sengkang
BAB VI : Dari MAI ke DDI..............................................................................................32
A. Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dari Sengkang Ke Mangkoso
B. Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI Mangkoso
C. MAI dalam Masa Penjajahan
D. MAI dalam Masa Westerling
E. DDI dan Musyawara Alim Ulama Se Sulawesi Selatan
F. DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII
G. Sturuktur dan Perkembangan DDI
H. Pola Penyebaran DDI
BAB VII : DDI dari Muktamar ke Muktamar...............................................................36
A. Muktamar Mangkoso Hingga Muktamar Darussalam
B. DDI dan Dinamika Politik Praktis
C. Dinamika DDI Pasca Wafatnya AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle

4
BAB VIII : Visi dan Misi DDI..........................................................................................40
A. Pendidikan
B. Dakwah
C. Usaha Sosial
BAB IX : Pedoman hidup DDI.........................................................................................45
A. Pentingnya (Mahdah) Pedoman Hidup
B. Landasan dan Sumber Pedoman Hidup
C. Pedoman Hidup Warga DDI
1. Kehidupan Indiividu
A. Dalam Aqidah
B. Dalam Akhlak
C. Dalam Ibadah
D. Dalam Muamalah
2. Kehidupan dalam Keluarga
3. Kehidupan dalam Bermasyarakat
4. Kehidupan dalam Berbangsa
5. Kehidupan dalam Berorganisasi
BAB X : Pandangan DDI terhadap isu-isu kontemporer di era malenial....................52
A. Pandangan DDI Terhadap Gender
B. Bidang Teologi
C. Bidang Kebudayaan
D. Ruang Publik
E. Bidang Politik
BAB XI : Perkembangan DDI di era demokrasi dalam pemberdayaan perempuan..56
BAB XII : Pandangan DDI terhadap HAM....................................................................61
A. Deskripsi Historis HAM
B. Pandangan Agama-Agama Terhadap HAM
C. Paradigma Teori Ham Versi Barat dan Islam
D. Moralitas Agama Atau Universalitas Nilai
BAB XIII : Konsep DDI atas Demokrasi dan Civil Society, Pesantren, DDI..............64
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................68

5
BAB I
Sejarah Perkembngan DDI Masa Ke Masa
1. Profil Singkat AG. KH. Abdurrahman Ambo Dalle
Gurutta Ambo Dalle merupakan anak dari pasangan Andi Ngati Daeng Patobo dan
Andi Candara Dewi yang dilahirkan sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujungi Kecamatan
Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Kedua orang tua
beliau memberi nama Ambo Dalle, Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki.
Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama
Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K. H. Muhammad Ishak, pada saat
usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghafal Al Qur’an.
Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat), kemudian
beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghafal Al
Qur’an pada seorang ulama bernama K. H. Muhammad Ishak. Gurutta tidak hanya
mempelajari ilmu-ilmu Al Qur’an seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, fiqhi,
tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di
Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. Pada masa itu
mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan yaitu sistem duduk bersila, guru
membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Keberhasilan
belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru.
Pada tahun 1928, ketika Gurutta K. H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-
Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali
ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau
berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. Agaknya nasib
baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan
mental) yang matang, diantaranya Al Qur’an yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun,
ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran
yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat
komprehensif. Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu yaitu
sebagai berikut :
1. Negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu
wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama
Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan
aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat
berhimpun para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan
bermula di Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang
sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya.
2. Pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis
membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan
ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari
golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang banyak
dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar
dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini
diwujudkan dalam dua bentuk gerakan;
 Gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT.
 Gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa.
Selain kedua hal diatas cikal bakal lahirnya DDI berawal dari kepopuleran MAI
Sengkang (Madrasah Arabiyah Islamiyah) dibawah pimpinan Gurutta K. H. M. As’ad
dengan sistem pendidikannya yang sudah cukup modern dengan cepat menarik
perhatian dan minat banyak orang salah satunya adalah H. M. Yusuf Andi Dagong,
Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso yang pada waktu
itu memohon kepada Gurutta K. H. M. As’ad agar kiranya mengizinkan Gurutta K.
H. Abd. Rahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan
dibuka di Mangkoso. Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anre Gurutta KH. M.
As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan
madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas
madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk
menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada
Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Gurutta K. H.


Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari
Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian.
Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri
memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena
menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat
sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti
rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.
Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang,
Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin,
Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang
Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir
Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka,
Gurutta Abd. Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu
diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang
dari MAI Sengkang.

2. Sejarah DDI dari Laman Wikipedia


Darud Da'wah wal Irsyad (Arab: ‫ دار الدعـوة واإلرشـاد‬Dār ad-Da‘wah wal-
Irsyād), disingkat DDI, adalah organisasi massa Islam dari Sulawesi Selatan. DDI
berawal dari pendirian Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso pada 21
Desember 1938. Lembaga ini memiliki cabang tersebar
di Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Kepulauan Maluku.
DDI berakar dari didirikannya Madrasah Arabiyah Islamiyah
(MAI) di Mangkoso pada 21 Desember 1938 oleh AG. KH. Abdurrahman Ambo
Dalle.[1] Sebelumnya, Ambo Dalle bersama AG. KH. Muhammad As'ad al-
Bugisi mendirikan madrasah sejenis di Sengkang pada 1930 yang kini dikenal
sebagai Pondok Pesantren As'adiyah.[2] Madrasah binaan Ambo Dalle tersebut
mendapat sambutan luas dari masyarakat Sulawesi Selatan sehingga MAI mulai
dibuka di beberapa daerah di Sulawesi Selatan.[3]
Untuk meningkatkan kinerja MAI-MAI yang sudah menyebar, para petinggi
MAI bersepakat untuk mendirikan organisasi yang memayungi madrasah-madrasah
tersebut. Beberapa nama untuk lembaga baru ini sudah bermunculan, seperti Nashrul
Haq dari A.G.H. Muhammad Abduh Pabbajah, al-Urwatul Wutsqa dari A.G.H.
Muhammad Tahir Usman, dan Darud Da'wah wal Irsyad dari A.G.H. Abdurrahman
Firdaus yang kemudian terpilih sebagai nama organisasi. Musyawarah pembentukan
DDI diadakan pada 17 Februari 1947 di MAI Mangkoso dengan mengundang alim
ulama dan guru-guru MAI se-Sulawesi Selatan. Hasil dari musyawarah tersebut
berupa struktur pengurus organisasi dengan A.G.H. Abdurrahman Ambo
Dalle sebagai ketua umum pertama DDI dan A.G.H. Muhammad Daud
Ismail sebagai ketua mudanya. Kantor pusat pertama DDI berada di Mangkoso
sebelum kemudian dipindahkan ke Parepare pada 1950.[3]
Setelah A.G.H. Abdurrahman Ambo Dalle wafat pada 1996, jabatan Ketua
Umum Pengurus Besar Darud Da'wah wal Irsyad (PB DDI) dipegang sementara
oleh A.G.H. Sanusi Baco sampai pada Muktamar DDI berikutnya pada 1999. Pada
muktamar tersebut, terjadi ketegangan di antara peserta muktamar tentang komposisi
baru PB DDI. Pihak yang tidak puas membentuk kepengurusan tandingan dengan
nama DDI Ambo Dalle (DDI AD). Perselisihan tersebut baru diselesaikan pada 28
Februari 2015 saat PB DDI dan DDI AD berikrar islah di hadapan A.G.H. Ali Yafie.[6]
Rujukan
1. "Majelis Syuyukh PB DDI Buka Pra Muktamar Darud Dawah wal-Irsyad ke-
22". Kementerian Agama RI Provinsi Sulawesi Selatan. 20 Desember 2021.
2. "Sejarah As'adiyah". Pondok Pesantren As'adiyah Pusat Sengkang. 19 September 2013.
3. "Sejarah Lahirnya Darud Da'wah wal Irsyad (DDI)". Pondok Pesantren Azzikra DDI. 3
Februari 2019.
4. Kambie, AS (1 Januari 2016). Kambie, AS, ed. "TRIBUNWIKI: Sejarah NU Sulsel, dari
1930-an Hingga Era Milenial". Tribunnews.com.
5. "Sejarah Berdirinya Darud Da'wah wal Irsyad (DDI)". Pondok Pesantren DDI al-Ihsan
Kanang. 22 Oktober 2018.
6. "Ulama Keindonesiaan nan Bersahaja: In Memoriam AGH Dr. HC. Sanusi Batjo,
Lc". Islam Rahmah. 20 Juni 2021.
a. Arti Darud Da’wah Wal Irsyad
Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ) merupakan realisasi dari keputusan
musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se Sulawesi Selatan tentang
perlunya dibentuk suatu organisasi guna lebih meningkatkan fungsi dan peranan MAI
Mangkoso, maka muncullah beberapa usul tentang nama bagi organisasi yang akan
dibentuk itu. Antara lain usul dari K.H. Muh. Abduh Pabbajah dengan nama “ ‫نصر‬
‫”الحـّق‬, dari Ustadz H. Muh. Thahir Usman mengusulkan nama “‫”العـروة الوثقى‬,
sementara Syekh Abd. Rahman Firdaus mengusulkan nama “‫“دارالدعـوةواالرشـاد‬.
Setelah dimusyawarahkan, maka yang disepakati secara bulat adalah nama “Darud
Da’wah Wal Irsyad”.
Menurut Syekh Abd.Rahman Firdaus pemberian nama demikian adalah
merupakan tafaul dalam rangka menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan
pengertian, Darun (‫ = )دار‬Rumah, artinya tempat atau sentral penyiaran, Da’wah (
‫ = )دعـوة‬Ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut. Al-Irsyad (‫= )اإلرشـاد‬
Petunjuk, artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di
suatu daerah kemudian disusul pendidikan pesantren/madrasah. Berdasar pada
argumen yang disebut di atas, maka Darud Da’wah Wal-Irsyad pada hakekatnya
adalah suatu organisasi yang mengambil peran dalam fungsi mengajak manusia ke
jalan yang benar dan membimbingnya menurut ajaran Islam ke arah kebaikan dan
mendapatkan keselamatan dunia akhirat.
Untuk terwujudnya organisasi ini dan agar dapat segera memulai kegiatan-
kegiatannya, maka oleh peserta musyawarah Alim Ulama diamanatkan kepada K. H.

iii
Abd. Rahman Ambo Dalle selaku pimpinan MAI yang telah memiliki cabang di
beberapa daerah untuk mengambil prakarsa seperlunya. Segera K.H. Abd. Rahman
Ambo Dalle menjalankan amanah yang diembannya ini dengan mengundang guru-
guru MAI beserta utusan cabang-cabang MAI dari daerah-daerah agar segera datang
ke Mangkoso untuk menghadiri musyawarah yang diadakan pada bulan Sya’ban
1366 H. (1947 M.). Musyawarah ini sengaja diadakan untuk menyusun aktifitas
(program) yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
musyawarah di Watansoppeng beberapa waktu sebelumnya. Memperhatikan kedua
musyawarah ini, maka dapat dimengerti kalau pada asasnya MAI Mangkoso adalah
cikal bakal berdirinya sebuah organisasi yang sampai kini dikenal dengan nama DDI.
Sama halnya dengan organisasi lain, DDI juga memiliki lambang organisasi
sendiri yang tentunya juga memiliki makna. Berikut lambang dan makna dari
lambang DDI tersebut :
 Warna dasar Hijau Tua melambangkan bahwa ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menjadi panutan Warga DDI.
 Matahari terbit warna kuning emas dengan sinar sejumlah 25 berkas diatas
lintasan pelangi warnah putih yang berisi kalimat tauhid : ‫الاله هللا معمد رسول هللا‬
melambangkan bahwa matahari sebagai sumber cahaya, cahaya sebagai
sumber ilmu pengetahuan dan ilham dari Allah SWT diturunkan kepada
hamba-Nya dengan perantaraan Rasul-Nya dalam bentuk jiwa Tauhid.
 Bulan sabit warna puti didalamnya terdapat tulisan huruf latin : DARUD
DA’WAH WAL-IRSYAD menengadah keatas, melambangkan bahwa DDI
ini senantiasa berjalan diatas garis dan ketentuan wahyu Allah SWT.
 Kalimat :‫ له دعوة الحق‬melambangkan fungsi dan hakekat kehadiran DDI
ditengah-tengah masyarakat ; yakni berusaha mendalami ajaran Islam dan
ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin dengan tujuan menyebarluaskan
dan mengajak manusia kejalan yang diridhai Allah SWT.
 Kalimat : ‫ دار الدعوة واألرشاد‬dalam bahasa Arab, melambangkan salah satu
simbol pandangan DDI bahwa untuk penguasaan ilmu Pengetahuan Agama
Islam mutlak adanya penguasaan terhadap Bahasa Arab dan Alat-alatnya.
 Kalimat dalam bahasa Indonesia dengan singkatan DDI melambangkan
identitas bahwa DDI sebagai organisasi Islam yang termasuk bagian dari
rakyat dan bangsa Indonesia bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan
Sosial turut bertanggung jawab dalam menjaga keutamaan Negara Republik
Indonesia.
 Bintang 5 (lima) warna kuning cemerlang sebanyak 5 (lima) buah terletak
diufuk sinar cahaya matahari, melambangkan rukun Islam dan Falsafah
Negara Pancasila. Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan DDI
mendirikan beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara;
seperti rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya.
Sedangkan pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan
sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-
pondok pesantren bahkan kini DDI memiliki beberapa perguruan tinggi salah
satunya adalah STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) DDI MAKASSAR.

b. Mangkoso sebagai Pusat Organisasi Darud Da’wah Wal Irsyad

iv
Pada awal berdirinya Darud Da’wah Wal Irsyad, pusat organisasi ini
berkedudukan di Mangkoso yang didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain
guna mempermudah diterapkannya penggunaan nama DDI dalam mengganti nama
MAI pada eselon bawah di daerah-daerah, yang semula sudah didirikan MAI
ditempat itu. Demikian pula karena tempat kedudukannya K.H. Abd. Rahman Ambo
Dalle sebagai pimpinan organisasi berada di Mangkoso.
Sebagai suatu organisasi yang baru berdiri, maka salah satu yang paling
mendesak untuk dibenahi adalah merampungkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) yang didalamnya akan tergambarkan intensitas check and
balance yang merupakan gambaran berlangsungnya demokratisasi dalam tubuh
organisasi.
Untuk merampungkan penyusunan AD/ART ini ditangani oleh K.H. Muh.
Abduh Pabbajah selaku Sekretaris. Semula AR/ART ini ditulis dalam Bahasa Arab
kemudian diindonesiakan oleh K.H. M. Ali al-Yafie guna memudahkan bagi warga
Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) untuk memahaminya. Pekerjaan ini dilakukan
bersama-sama dengan K.H. M. Amin Nashir. Sejak itu singkatan DDI mulai dipakai.
Dalam memantapkan proses pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi Darud
Da’wah Wal Irsyad ( DDI ), dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara
pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah, serta untuk memudahkan
saluran informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, maka diterbitkanlah satu
bulletin yang diberi nama “Risalah Addariyah” yang mulai terbit pada tahun 1948.
setelah sekian lama mengalami vakum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan
pada tahun 1975.
Dalam musyawarah guru-guru dan pengurus MAI di Mangkoso pada tahun
1947 ditemukan kata mufakat untuk menyetujui pengintegrasian MAI Mangkoso
dengan seluruh cabangnya menjadi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI), dengan tempat
pusat organisasi berkedudukan di Mangkoso, dan mengokohkan susunan pengurus
yang disusun berdasarkan rekomendasi dari hasil musyawarah Alim
Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah di Watansoppeng sebagai berikut:
Ketua : K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle
Ketua Muda : K.H. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng)
Penulis Satu : K. H. Muh. Abduh Pabbajah
Penulis dua : K. H. M. Ali Al-Yafie
Bendahara : H. M. Madani
Pembantu-pembantu : H. Abd. Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)
K. H. M. Yunus Maratan
K. H. Abd. Kadir (Qadhi Maros)
K.H. M. Tahir (Qadhi Balanipa Sinjai)
S. Ali Mathar
K.H.Abd. Hafid (Qadhi Sawitto)
K.H. Baharuddin Syata (Qadhi Suppa)
K.H. Kittab (Qadhi Soppeng Riaja)
H. Muchadi Pangkajene
T.N.B. Parepare
Penasehat : Syekh K.H.M. As’ad (Sengkang)
Syekh Haji Amoedi
Syekh H.Abd. Rahman Firdaus
Haji Zaenuddin (Jaksa di Parepare)
M. Aqib Macasai.

v
Dengan susunan pengurus di atas terwujudlah secara utuh hasil musyawarah
Alim Ulama se Sulawesi Selatan tentang pembentukan organisasi Islam yang secara
konkritnya ditempuh dengan jalan mengintegrasikan MAI Mangkoso menjadi Darud
Da’wah Wal Irsyad ( DDI ).
c. Parepare dan Darud Da’wah Wal Isryad
Dalam usaha lebih meningkatkan kordinasi dengan cabang-cabang Darud
Da’wah Wal Irsyad ( DDI ) yang sudah ada maupun untuk pemgembangannya ke
daerah-daerah yang belum ada berdiri DDI, maka pimpinan pusat DDI yang sejak
tahun 1947 berkedudukan di Mangkoso menetapkan suatu pilihan untuk
memindahkan tempat kedudukan pimpinan pusat DDI ke Parepare pada tahun 1950.
Salah satu alasan mengapa kedudukan kepengurusan pusat DDI dipindahkan
dari Mangkoso ke Kota Parepare, karena kota ini cukup strategis, berada pada posisi
tengah, untuk jalur transportasi darat antar daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat. Bahkan untuk perhubungan laut, tidak sedikit peran Pelabuhan Parepare
sebagai pelabuhan nasional yang dapat menghubungkan secara langsung antara kota
ini dengan beberapa kota pelabuhan di Kalimantan dan Sulawesi Tengah.

Dalam usaha persiapan perpindahan itu dibangunlah Madrasah/Pesantren DDI


pusat yang berlokasi di sebelah Selatan Masjid Raya Parepare. Kini lokasi tersebut
telah menjadi lokasi Rumah bersalin DDI dan Apotik Addariyah DDI.

Bahkan di Parepare ini pula berkedudukan Universitas Islam DDI yang


membawahi 12 fakultas, sebagai berikut:
1) Fakultas Ushuluddin di Parepare
2) Fakultas Tarbiyah di Pinrang
3) Fakultas Syariah di Mangkoso
4) Fakultas Tarbiyah di Pangkajene Sidrap
5) Fakultas Tarbiyah di Polmas
6) Fakultas Tarbiyah di Pangkep
7) Fakultas Tarbiyah di Majene
8) Fakultas Tarbiyah di Maros
9) Fakultas Syariah di Pattojo
10) Fakultas Tarbiyah Tingkat Doktoral di Parepare
11) Fakultas Ushuluddin Tingkat Doktoral di Parepare
12) STKIP DDI di Polewali dan Majene.
d. Peranan dan Fungsi Kelembagaan
Atas inisiatif K.H. Daud Ismail (Kadi Soppeng), K.H. Abd. Rahman Ambo
Dalle (MAI Mangkoso), Syekh H. Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama
ulama lainnya di adakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah se-
Sulawesi Selatan yang dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H.
bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena
Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerling
karena pengaruh Arung Palakka.
Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya
didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah

vi
dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak
bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat
Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada
waktu itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir kaum penjajah
Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.
Nama dari organisasi yang akan dibentuk itu telah diperdebatkan dalam
musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni Al-Urwatul Wutsqa dari K.H. M.
Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. M. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal-
Irsyad oleh Syekh K.H. Abd. Rahman Firdaus dengan pengertian Darud artinya
rumah/tempat, Da’wah ajakan memasuki rumah tersebut, dan Al-Irsyad artinya
petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah di suatu daerah tertentu.
Pengembangan pola pertama mensyaratkan pembukaan suatu Cabang DDI di
topang oleh :
1. Adanya permufakatan rakyat di daerah itu
2. Disetujui oleh aparat syara’
3. ditopang oleh pemerintahan setempat
4. Ada murid yang hendak di berikan pelajaran
5. Ada ruangan untuk tempat belajar
Sedang pola kedua lebih bertendensi memperluas jaringan sehingga yang
dibutuhkan adanya orang yang bersedia menjadi pengurus menurut jenjang yang
dibutuhkan dan dari pengurus yang terbentuk inilah diharapkan muncul
madrasah/sekolah yang sesuai kebutuhan setempat. Pola ini lebih mengemukakan
aspek terbentuknya kekuasaan dan dari kekuasaan itu terjadi transformasi dalam
mensosialisasikan DDI.

e. Idiologi Keagamaan dan Masyarakat Sulawesi Selatan


Sejak DDI berdiri sesuai pasal 2 AD/ART, asasnya adalah syariat Islam
sepanjang pengertian Ahlussunnah wal Jamaah sampai pada Muktamar DDI ke-15,
pasal ini mengalami perubahan sesuai dengan alam orde baru, semua organisasi harus
berdasarkan Pancasila dan pada ayat satu pasal ini dinyatakan bahwa DDI berakidah
Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang berarti sistem yang dianut oleh DDI dalam
bidang keagamaan yang merupakan istilah idiologi merupakan gambaran menyeluruh
tentang way of life-nya bukan istilah ilmu kalam atau teologi, tapi menyangkut
seluruh aspek kehidupannya.
Dalam bidang teologi sistem nilai yang dianut dan dikembangkan adalah
mengikuti faham Asy’ariyah. Dalam bidang fikhi, sumber pengambilan hukum
adalah Alquran, Sunnah, Ijma’ (konsensus para ulama) dan Qiyas. Karena itu imam
mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) diakui keberadaannya.

DDI yang lahir di Sulawesi Selatan sebagai produk alim ulama terkemuka
yang berasal dari berbagai daerah di Sulsel, tidak lagi disangsikan keabsahannya
sebagai wakil daerahnya yang turut merumuskan proses lahirnya DDI, memberikan
gambaran bahwa rakyat Sulawesi Selatan adalah mayoritas penganut faham
Ahlussunnah wal Jamaah dan pengaunut faham mazhab Imam Syafi’I yang dikenal
sangat akomodatif terhadap perkembangan zaman sehingga dikenal dalam
bukunyaal-Qul al-Qadim (perkataan lama) dan al-Qaul al-Jadid (perkataan baru)
sehingga mereka lebih dikenal sebagai “Islam moderat”, dengan prinsip membangun
kebersamaan di atas prinsip saling menghargai bukan kebersamaan di atas prinsip

vii
harus mengikuti prinsip yang kita anut, sebagaimana mereka yang dikenal dengan
“Islam radikal”.

f. DDI dalam Penguatan Civil Society


Kemitraan merupakan salah satu pendekatan DDI dalam membuka peluang
dialog yang sangat bermanfaat dalam menemukan titik temu yang dapat menciptakan
kerjasama dan kebersamaan disatu sisi dan pada sisi lain dapat memediasi terciptanya
saling memahami prinsip masing-masing terhadap hal-hal yang telah menjadi
pandangan hidup masing-masing.
Hal ini di dasari pada suatu kenyataan bahwa Civil Society sering disikapi
orang secara hitam putih, yakni kecenderungan bahwa masyarakat Civil adalah
mereka yang bukan militer, pada hal tidak jarang kita dapatkan orang civil jauh lebih
otoriter dan tidak menapikkan pula pendapatnya orang yang berseragam tetapi sikap
mentalnya jauh lebih demokratis dari mereka kelompok civil.
Karena itu, DDI memandang bahwa dalam usaha penguatan Civil Society
haruslah di mulai pada sekolah/madrasah, dan dibiasakan bermental demokratis
terutama mereka yang pada tingkat Perguruan Tinggi sebagai refleksi kebebasan
berfikir dan rasional dalam menganalisis persoalan.

g. Tantangan Internal dan Semangat Berorganisasi


Keanggotaan pada DDI pernah mejadi permasalahan dalam muktamar DDI
ke-16 di Kaballangan, karena beberapa faktor seperti ada yang beranggapan anggota
DDI itu haruslah orang yang pernah sekolah DDI, dan ada pula yang beranggapan
adalah mereka yang menerima dan melaksanakan Anggaran Dasar DDI.
Persoalan keanggotaan ini mencuat pada saat DDI dalam persimpangan antara
dua modus pilihan dalam suksesi Pengurus Besar DDI setelah K.H. Abd. Rahman
Ambo Dalle wafat, yaitu melihat DDI secara fisik terkait langsung dengan al-
Mukarram, sehingga dengan wafatnya beliau berarti tamatlah sejarah DDI. Prinsip ini
banyak dianut oleh mereka yang berpikiran materialistik, sedangkan cara pandang
yang lain lebih berorientasi pada idealisme al-Mukarram. Mereka ini menginginkan
perkembangan DDI harus dipicu peningkatannya sebagai suatu refleksi kecintaan
terhadap al-Mukarram dalam meneruskan apa yang telah dirintis dan dibina oleh al-
Mukarram semasa hidupnya.

DDI dan Cara Pengembangannya

Untuk mencapai tujuan DDI ditempuh beberapa usaha dan ikhtiyar. Dalam
Anggaran Rumah Tangga DDI pasal 1 ikhtiyar dan usaha itu dijelaskan dalam bentuk
:
1. Mengadakan sekolah-sekolah, Pesantren, Pengajian, Kursus-kursus, Perguruan
Tinggi dan mengatur kesempurnaan Pengajian dan pendidikan pada umumnya.
2. Menyiarkan Dakwah Islamiyah dengan jalan tabliq, penerbitan buku/majallah dan
media Lainnya.
3. Mengamalkan ta’awun (gotong royong) secara luas dalam lapangan kerja usaha
sosial.
4. Mengadakan kerjasama dengan golongan yang menyetujui azas dan tujuan serta
mengadakan perhubungan baik dengan golongan yang tidak menentang azas dan tujuan DDI.
Apabila ikhtiyar dan usaha kerja itu kita jabarkan lebih lanjut, maka dapatlah
diketengahkan bahwa lapangan gerak DDI sebenarnya berpusat pada tiga sektor
terpenting yaitu :

viii
 Dalam Bidang Pendidikan.
Perkembangan itelektualis dan mental agamis melalui Pendidikan baik di
Sekolah maupun Madrasah/Pesantren menghasilkan tenaga-tenaga pemikir dan
pribadi-pribadi yang memiliki krakteristik. Mereka inilah membawa pembaharuan
yang menciptakan semangat kebangsaan dan nasionalisme. Khususnya
Madrasah/Pesantren menghasilkan pemikir-pemikir yang memiliki semangat
kebangsaan dan nasionalisme yang berjiwa agama.
Semangat kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan agama inilah yang
paling ditakuti kaum penjajah. Hal ini tergambar dalam salah satu adris Prof. Dr.
Snouck Hurgronye tentang bahaya persatuan Indonesia yang berdasarkan Islam
dimana beliau mengatakan bahwa “Kebangsaan Indonesia tidak akan berbahaya bagi
kedudukan pemerintah penjajah Belanda kalau tidak karena azas Islam. Maka untuk
itu perlu menghidupkan kembali kebangsaan Indonesia dengan tidak berpakaian
Islam”.
Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang lahir ditengah-tengah perjuangan
rakyat Sulawesi Selatan yang ketika itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya dalam
menghadapi kebangsaan kaum penjajah dibawah pimpinan Kapten Westerling yang
lebih dikenal dengan peristiwa korban 40.000 rakyat Sulawesi Selatan, menyadari
sepenuhnya bahwa pendidikan Islam sangat penting diintensipkan agar semangat
kartiotisme para syuhada yang telah mempertahankan segala-galanya demi untuk
mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945 perlu dibina secara
berkesinambungan sehingga ulama Sulawesi Selatan mendirikan DDI dalam suasana
kencah yang demikian.

1. Pesantren DDI
Pada Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso pada awal berdirinya
memiliki tingkatan Pendidikan formal terdiri dari Tahdiriyah, Ibtidaiyah dan
Tsanawiyah, dengan mata pelajaran terbatas pada Pelajaran agama dan bahasa
sedang mata pelajaran umum belum sama sekali diajarkan.
Disamping pendidikan formal (Klasik) dalam bentuk Madrasah pada MAI
Mangkoso ini, maka pada waktu-waktu yang telah ditetapkan yakni pada waktu
sesudah shalat subuh, sesudah Shalat Ashar dan sesudah Shalat Magrib diadakan
pula dalam bentuk pendidikan non formal yang berupa pengajian dengan
membahas kitab tertentu. Pola ini lebih banyak dikenal dengan mana Pesantren.
Dengan demikian jelas bahwa kehadiran MAI Mangkoso mengandung dua wajah
(pengertian) dari nama yang satu yakni MAI Mangkoso sebagai Madrasah dab
sekaligus sebagai Pesantren, lahir bersamaan dalam wadah yang satu, ibarat dua
belahan mata uang yang satu sama lainnya saling menunjang akan arti dan
nilainya. Kelihatannya dalam perkembangan Pesantren DDI yang bersumber dari
MAI dalam perkembangannya merupakan suatu kelembagaan yang didalamnya
terdapat beberapa tingkatan Pendidikan formal dalam bentuk klasikal disamping
tetap mempertahankan pola Pengajian dan terus melestarikan prinsip akhlaqul
karimah yang merupakan salah satu ciri khas dari nilai moral. Salah satu faktor
penting sehingga potensi warga DDI sebagi satu Jam’iyah dapat terhindar dari
perpecahan yang biasa dialami oleh suatu organisasi adalah bersumber dari nilai-
nilai moral yang dibina melalui Pondok Pesantren DDI. Walaupun ada
perselisihan pendapat dikalangan Pengurus DDI dalam hal kebijaksanaan

ix
oprasional organisasi kelihatannya tetap dalam batas contradiction non
antaginistis (perbedaab yang tidak saling meniadakan).

2. Madrasah dan Sekolah DDI


Pendidikan yang diselnggarakan oleh DDI yang bermula pada masa MAI
Mangkoso sampai pada tahun 1953 baru terbatas pada pengetahuan Ilmu-Ilmu
Agama, bahasa Arab dengan alat-alatnya. Yang dalam sistem pengajarannya
dalam bentuk Pesantren dan Madrasah.

Nanti pada Muktamar DDI ke-V yang berlangsung pada tanggal 18 s/d 23
Sya’ban 1372 H s/d 5 Mei 1953 di Parepare pola pelaksaan pengajaran
pendidikan dalam lingkungan organisasi DDI mengalami perobahan sebagai
berikut :

Bahagian A: Mengajarkan pengetahuan agama 50 % dan pengetahuan umum 50


% yang jenjang kelembangannya terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan
tingkat Aliyah.

Bahagian B: Mengajarkan pengetahuan umum yang persentasenya menurut


ketentuan pada Sekolah umum yang jenjang kelembagannya terdiri dari SRI,
SMP DDI, SMA DDI.

Bahagian C: Mengajarkan pengetahuan agama semata-mata. Bentuk ini tidak


memiliki bentuk kelembagaan yang lazimnya disebut sistem Pesantren atau pada
fase perkembangannya lebih lanjut sekiranya dilaksanakan dalam sistem klasik
diberi nama dengan Madrasah Diniyah.

Maka untuk memantapkan Pendidikan DDI diadakan suatu konperensi.


Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan DDI di Parepare pada tanggal 11 s/d 14
Agustus 1945 yang telah berhasil menyusun suatu perencanaan tentang
Pendidikan DDI mulai dari tingkat permulaan (TK) sampai tingkat lanjut atas.
Dari konpensi itu berhasil dicetuskan beberapa ketentuan tentang
penyelenggaraan Pendidikan dalam lingkungan organisasi DDI antara lain
adalah :

 Azas;
Pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh DDI berazaskan atas
Syariah Islamiyah dalm pengertian yang luasa.

 Sifat;
Pendidikan dan pengajaran tersebut mempunyai dua sifat
1. Umumiyah (algemeene onderwijs)
2. Fanniyah (Vak onderwjs).

 Susunan Sekolah Terdiri Dari ;


1. Taman Kanak-kanak Islam (TKI) DDI.
2. Sekolah Rakyat Islam (SRI) DDI
3. Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) DDI
4. Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) DDI
(bentuk ini adalah mempuyai sifat umumiyah).

x
1. Sekolah kemasyarakatan Islam (SKI) DDI
2. Kursus Dagang Islam (KDI) DDI
3. Sekolah Guru Islam (SGI) DDI
4. Sekolah Guru Taman Kanak-kanak Islam (SGTKI) DDI
5. Sekolah Kerumah Tanggaan Islam (SKTI) DDI
(Bentuk ini adalah mempunyai sifat Fanniyah).

Saat ini, menurut data terakhir yang ada pada Pengurus Besar DDI (2010)
jumlah madrasah yang dibina oleh DDI, khusus di Sulawesi Selatan sebanyak 371
buah yang tersebar pada 21 kabupaten/kota. Jumlah madrasah untuk seluruh
Indonesia kurang lebih 800 buah yang tersebar pada sembilan belas Provinsi.
Sedangkan jumlah Pondok Pesantren DDI di seluruh Indonesia sebanyak 50 buah,
masing-masing 36 di Sulawesi Selatan, 3 di Sulawesi Tengah, 3 di Sulawesi
Tenggara, 2 di Gorontalo, 2 di Kaltim, 1 di Kalsel, 1 buah di Riau, 1 buah di
Jatim, 1 di Timika, I buah di Jayapura, dan 1 buah di Biak . Untuk perguruan
tinggi, DDI membina empat belas buah, masing-masing 1 STAI di Barru, 1 STAI
di Pare-Pare, 1 STAI dan STKIP di Pinrang, 3 buah ST di Polmas (1 STAI, 1
STKIP, 1 STIP), 1 STAI di Sidrap, 1 STAI di Maros, 1 STAI di Kaltim, 1 STAI
di Makassar, 1 STAI di Jeneponto, 1 STAI di Majene, 1 STAI di Pangkep, dan 1
STAI dan STKIP di Mamuju. Madrasah yang ada di luar negeri, khususnya di
Malaysia, laporannya belum masuk ke PB-DDI sehingga belum bisa dilakukan
pendataan.

h. Visi, Misi, Falsafah, Budaya/Nilai (Value), dan Motto

Visi
Menjadi Organisasi ke-Agama-an yang mampu mengawal dan mengembangkan
mab’da Ahli Sunnah Wal-Jamaah, melalui Pendidikan (berbasis Pesantren) dan
Da’wah dengan memanfaatkan Teknologi Informasi kearah Organisasi yang Modern.
Misi
1. Membangun Pendidikan dan Da’wah yang berfokus pada Pembinaan adab dan
ilmu pengetahuan berbasis ahlakul karimah dibawah naungan Pancasila dan UUD
1945.
2. Menjadi Mitra pemerintah dalam mengembangkan tanggung jawab pendidikan
dan da’wah untuk ikut mencerdaskan kehidupan Bangsa.
3. Membangun Lembaga Pendidikan (pesantren) dan Da’wah yang Unggul dan
berdaya saing, sehingga diminati dan dicintai oleh Masyarakat, serta ikut
berkontribusi terhadap kesejahteraan Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh
Darud Da’wah Wal-Irsyad.

Falsafah
Menggabungkan antara keaslian manhaj (metodologi) Salaf dan Pendekatan
Wasathiyah dalam mengukuhkan teori-teori khalaf serta penggunaan teknologi
informasi (TI) dalam Pengembangan Pendidikan dan Da’wah kearah pembinaan
Organisasi.
Budaya/Nilai (Value)
1. Visioner
2. Integritas/Jujur
3. Keikhlasan

xi
4. Kerjasama
5. Patuh & Taat pada Ulama
Motto
 Memelihara yang LAMA, dan mengadopsi yang BARU dan BAIK.
 Anukku Anunna DDI, Anunna DDI tania Anukku.

xii
BAB II
DDI Lintas sejarah dunia islam
A. Lintas Sejarah DDI Dunia Islam
1.) Perluasan Daerah Islam dan Asimilasi antar bangsa kehadiran Muhammmad
Shalallahu Alaihi Wasallam sebagai nabi terakhir membuka ruang dialog
antar budaya karena ajaran yang dibawahanya mengajarkan bahwa kualitas
manusia di ukur dari peran-peran sosial yang dimainkan dan kesucian hatinya
dihadapan Tuhan
2.) Penjajahan Bangsa Barat atas Dunia Islam.
Akibat terkonsentrasi untuk mempertahankan wilayah kekuasaan islam
cengkraman bangsa barat
3.) Masa Kebangkitan Kembali
Dua dasawarsa terakhir abad ke 19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20
dikenal sebagai puncak abad imprelisme Umat Islam di Indonesia
B. Masuknya Islam di Indonesia
Sejarah pada umumnya sepakat bahwa islam masuk ke Indonesia melalui
jalur perdagangan dan dakwah dengan cara damai
a) Sikap Umat Islam Terhadap Penjajah
Sikap perlawanan dari umat islam memaksa Belanda mengeluarkan
berbagai kebijaksanaan dalam mengelolah masalah-masalah islam yang
dikenal dengan istilah islam politiek atau politik islam dimana prof.snouck
horgonje dipandang sebagai peletak dasarnya

b) Sikap Penjajah Terhadap Pendidikan Islam


Pesantren sebagai pusat pendidikan islam tradisional mengambil sikap
anti belanda mereka menganggap pemerintah klononial sebagai pemerintah
kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka, antar lain ;
 Umat Islam di Sulawesi Selatan
 Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
 Periode masuknya islam di sulawesi selatan dalam lontara latoa dikenal
sebagai periode Galigo. Ketika itu masyarakat sulawesi selatan, khususnya
suku bugis dan makassar memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.kedatangan islam di sulawesi selatan dibawa oleh 3 ulama dari
minagkabau (datu'tellue) yaitu : Abdul Qadir Khatib Tunggal Datuk ri
Bandang,Sulung Sulaiman Datuk Patimang, dan Khatib Bungsu Datuk Ri
Tiro.
 Sulawesi Selatan Dalam Masa Penjajahan
 Sejak zaman pemerintahan Raja Gowa ke 9 banyak orang asing yang datang
dan menetap di ibu kota kerajaan Gowa dan pada abad ke17 sombaopu
merupakan bandar dan pelabuhan yang teramai di Indonesia bagian timur
sehingga mendapat perhatian dari orang-orang asing. Orang --orang eropa
seperti Portugis,Spanyol,Belanda,dan Inggris berusaha mencari perhubungan
dan ingin bersahabat dengan Raja Gowa.
 Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan
 Peranan Raja-Raja Islam
 Peranan raja-raja Islam dalam mengembangkan syiar agama dan pendidikan
islam sangat besar, khususnya di kerajaan wajo dan bone. Ketika kerajaan

xiii
wajo di perintah oleh la mannang toapamadeng puangna raden galla, arung
matowa ke40 yang berkuasa pada tahun 1821-1825 beliau melakukan
berbagai usaha dalam bidang pendidikan dan agama
 Gurutta H.M.As'ad dari perkumpulan tablig ke MAI sengkang
 Membentuk perkumpulan tablig yang beranggotakan murid-muridnya sendiri.
Beliau sendiri sebagai ketuanya dan langsung memimpin jalannya jamaah
tablig tersebut.terkadang berjalan kaki, terkadang naik kendaraan dari Kota ke
Desa atau sebaliknya tanpa mengenal lelah, berkat ketekunan,ketegasan,dan
kegigihannya dalam waktu yang relatif singkat masyarakat meninggalkan
perilaku-perilaku khuraf,syirik,dan kemungkaran lainnya.
 Perkembangan MAI Sengkang
 Dalam prkembangannya,madrasah as'adiyah menjadi organisasi yang
membina madrasah dan pondok pesantren yang berpusat di kota
Sengkangkabupaten Wajo.sebenarnya ,perkembangannya sedikit lambat bila
dibandingkan dengan usianya. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan sentralitasi
yang diterapkan Anregurutta H.M. As'ad. Semasa hidup, Anregurutta As'ad
tidak mengizinkan didirikan ditempat lain
 Dari MAI ke DDI
 Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dari Sengkang ke Mangkoso
 Diantara murid-murid angkatan pertama Anre Gurutta H.M.As'ad adalah
Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah termasuk murid yang
menonjol dan cepat menarik perhatian gurunya.
 Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI Mangkoso
 Petta soppeng mendirikan 3 mesjid dalam wilayahnya salah satu dari ketiga
itu dididrikan di mangkoso ibukota kerajaan Soppeng Riaja.namun mesjid
tersebut tidak pernah diidi jamaah karena kurangnya kesadaran dan
pemahaman rakyat terhadap Agama Islam.kelahiran MAI mangkoso pada
rabu 20 zulkaidah 1357 H.
 MAI dalam Masa Penjajahan
 Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas,di pindahkan di mesjid
dan rumah-rumah guru.kaca daun dan jendela masji dicat hitam agar pada
malam hari cahaya tidak tembus ke luar
 MAI dalam Masa Westerling
 Banyak santri-santri atau guru yang ditugaskan mengajar kecabang-cabang
MAI menjadi korban kegenasan tentara westerling.
 DDI dan musyawarah alim ulama se sulawesi
 Atas inisiatif beberapa ulama, diantaranya anregurutta H. Daud
Ismail,anregurutta H.Abd. rahman ambo dalle dibentuknya pelaksana
musyawarah
 DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII
 Menurut Bahar Mattaliu dalam bukunya "pemberontakan meniliti jalur kanan"
menyebut bahwa penculikan ulama dilakukan dengan maksud memperkuat
posisi majelis ulama yang dibentuk dalam rangka penerapan syar'at Islam
pasca Proklamasi integrasi dengan DI/TII Kartosuwiryo pada Tahun 1953.
 Struktur dan Perkembangan DDI dari Masa ke Masa
 Memiliki hubungan komunikasi dengan cabang-cabang di daerah
 DDI dari Muktamar ke Muktamar

C. VISI dan MISI DDI

xiv
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan, yang sekaligus
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
2. Da'wah
Selain pendidikan bidang Da'wah juga merupakan wilayah yang menjadi
"garapan"yang dimaksud disini adalah untuk menyadarkan umat agar dapat
melaksanakan ajaran agama sesuai dengan tuntunan yang digariskan oleh
agama itu sendiri.

BAB III

xv
Ummat islam di Indonesia

A. Masuknya islam di Indonesia


Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula
kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial
budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa
pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung
mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia,
ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang
barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di
Indonesia. Tokoh tokoh itu diantaranya, Marcopolo, Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah,
Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted. Sedangkan sumber-sumber pendukung
Masuknya Islam di Indonesia diantaranya adalah:

a. . Berita dari Arab

Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan
bangsa Indonesia. Pedagang Arab Telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya
(abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian
barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Hubungan pedagang Arab dengan kerajaan
Sriwijaya terbukti dengan adanya para pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya dengan
sebutan Zabak, Zabay atau Sribusa. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer,
Nieman, de Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul
Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh Islam di Indonesia
seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh bahwa teori yang
mengatakan Islam datang dari India adalah sebagai sebuah bentuk propaganda, bahwa Islam
yang datang ke Asia Tenggara itu tidak murni.

b. . Berita Eropa

Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali
menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menuju eropa melalui jalan
laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinya yang dipersembahkan
kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah
ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai.
Diantara sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F.
Stutterheim,dan Bernard H.M. Vlekke.

c. . Berita India

xvi
Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting
dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena disamping berdagang
mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang
dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisisr pantai. Teori ini
lahir selepas tahun 1883 M. Dibawa oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini,
diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van
Nieuwinhuize.

d. . Berita Cina

Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yang mengikuti
perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-
kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara
Pulai Jawa. T.W. Arnol pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama
Islam di Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad
awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina disebutkan bahwa pada
abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di
pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).

e. . Sumber dalam Negeri

Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh


Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik). Batu bersurat itu
menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat
tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti Maimun (1028).
Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan
Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297 M. Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim
di Gresik yang wafat tahun 1419 M. Jirat makan didatangkan dari Guzarat dan berisi tulisan-
tulisan Arab.

Mengenai masuknya Islam ke Indonesia, ada satu kajian yakni seminar ilmiah yang
diselenggarakan pada tahun 1963 di kota Medan, yang menghasilkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pertama kali Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung dari negeri
Arab. 2. Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pesisir sumatera Utara. Setelah
itu masyarakat Islam membentuk kerajaan Islam Pertama yaitu Aceh.

3. Para dai yang pertama, mayoritas adalah para pedagang. Pada saaat itu dakwah
disebarkan secara damai.

B. Sikap ummat islam terhadap penjajahan

xvii
Islam di Indonesia, sejak kedatangannya sudah memainkan peranan politik dan ideologis
yang sangat penting dan menentukan bagi jalannya sejarah Indonesia. Pentingnya arti politik
Islam di Indonesia, sebagian besar berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas
antara agama dan politik sangatlah tipis. Islam adalah sebagai Way of Life dan agama; dan
meskipun di Indonesia proses pengislaman merupakan suatu proses setahap demi setahap,
namun Abstrak Telah banyak kajian yang membahas politik kolonial Belanda terhadap Islam
di Indonesia, tetapi masih sedikit yang membahas tentang pemikiran arsiteknya. Diantara
arsiteknya yang cukup terkenal dan sangat disegani dan diperhitungkan pada masanya adalah
Dr. Snouck Hurgronye. Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia, kebijaksanaan-
kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia tidaklah memiliki arah yang
jelas. Hal ini disebabkan miskinnya pengetahuan Kolonial Belanda tentang Islam dan
Indonesia, atau mungkin “buta” sama sekali. Pada masa itu kebijaksanaan Kolonial Belanda
terhadap Islam di Indonesia, secara tradisional dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif
antara ketakutan dan pengharapan yang berlebih-lebihan. Kegagalan kebijaksanaan Belanda
sebelum kedatangan Snouck disebabkan oleh tempat berpijaknya atau landasannya yang
lemah, yakni tidak menggunakan fakta-fakta yang obyektif. Berdasarkan kenyataan tersebut,
maka cukup signifikan untuk mengkaji pemikirannya dalam dalam memformulasikan politik
kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia.
kandungan politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya.Oleh
H.J. Benda dianggap bahwa kemenangan Islam ini luar biasa, sebab pembawa agama Islam
ke Indonesia bukanlah para penakluk yang menyebarkan Islam dengan kekerasan seperti di
bagian dunia lainnya, melainkan para pedagang muslim dari India yang bersemangat damai.
Mereka datang ke Indonesia karena tertarik oleh perdagangan rempah-rempah di Indonesia
yang banyak memberikan keuntungan. Dimulai dengan membentuk koloni-koloni dagang
Islam di daerah hulu sungai dan kota-kota pesisir kepulauan Indonesia, lalu berkembang
menjadi vassal-vasal Islam yang seringkali terkenal karena kekayaan dan semangat
dakwahnya yang tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong para aristokrat Indonesia
tertarik kepada Islam. Bagi golongan ini, memeluk agama Islam menjadi menarik secara
ekonomis dan menguntungkan secara politis. Ini berarti bahwa Berkembangnya agama Islam
di kepulauan Nusantara berlangsung selama beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses
yang terus-menerus hingga sekarang belum selesai. Rupanya sudah sejak awal abad ke-13
berdiri suatu kerajaan Islam di pintu gerbang Indonesia utara pulau Sumatera. Lalu menyusul
dinasti-dinasti yang memerintah pulau tersebut memeluk agama Islam, di antaranya Aceh
yang memainkan peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Sekitar permulaan abad
ke-15, Islam telah memperkuat kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute
perdagangan Asia Tenggara. Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah
Indonesia lainnya, sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah
menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia.

Islam merupakan senjata bagi mereka untuk menghadapi musuh baik dari luar maupun dari
dalam.2Masuknya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa Islam
telah menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Meskipun masuknya Islam tidak
dengan sendirinya mempersatukan perlawanan orang Indonesia terhadap bangsa-bangsa
Barat, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal sekitar umat Islam. Dalam
sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam memang merupakan kekuatan sosial yang
besar sekali dalam mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar
seperti Perang Paderi dan Perang Aceh, maupun pemberontakan-pemberontakan petani
seperti peristiwa Cilegon dan Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan
dijiwai oleh ideologi Islam. Dengan demikian, gelombang pertumbuhan dan perkembangan

xviii
Islam di Indonesia, bukan saja mampu memasuki pola sosial Indonesia, namun lebih dari itu
Islam mampu memainkan peranan politik yang penting dan menentukan di Indonesia.
Maka dari itu tidak mengherankan apabila seorang Belanda yang simpati terhadap
perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Dr. Dowes Dekker pernah berkata: “Kalau tidak ada
semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari bumi
Indonesia.”5Sampai akhir abad ke-19 Belanda telah kaya dengan pengalaman pahit dalam
menghadapi kekuatan Islam di Indonesia. Sejak kedatangannya pada akhir abad ke-16 di
Indonesia, Belanda senantiasa menghadapi kenyataan bahwa Islam selalu menjadi
penghalang cita-citanya. Hal ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar penduduk daerah
yang dijajahnya di kepulauan Indonesia ini beragama Islam, motif aneka perlawanan
terhadapnya, bagaimana pun jarang terlepas dari kaitan ajaran agama ini.
Indonesia, di samping tidak kecil kerugian-kerugian yang diderita Belanda karenanya. Maka
dari itu wajarlah apabila Belanda yang menginginkan kelestarian penjajahannya berusaha
sekuat tenaga menjinakkan dan sekaligus melumpuhkan Islam sebagai kekuatan politik di
Indonesia yang dapat membahayakan penjajahannya di negara tersebut. Sejalan dengan
usahanya untuk menguasai medan jajahan itulah, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri
Belanda. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan “Indologie” untuk
mengenal lebih jauh seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa
dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam mengurus dan mengendalikan administrasi
pemerintah jajahannya di Indonesia. Kebijaksanaan Kolonial Belanda dalam menangani
masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah “Islam Politiek”, yakni kebijaksanaan
pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Untuk ini
Christian Snouck Hurgronje dipandang sebagai peletak dasarnya.C.S. Hurgronje adalah anak
seorang Pastur Gereja Gereformeerd (Calvinist), ia lahir pada tanggal 8 Februari 1857. Pada
usia 18 tahun ia masuk Fakultas Theologi Leiden. Setelah lulus kandidat examen, kemudian
ia pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Setelah berhasil meraih gelar Doktor dalam
bidang Sastra Semit (1880) ia menjadi dosen di Leiden, dalam Institut yang mempersiapkan
pegawai-pegawai Belanda untuk Indonesia (Indologie). Jabatan tersebut dipegangnya sampai
tahun 1887. Selama itu pula ia menyelidiki Fiqih (Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad
SAW dan Sejarah Islam.
Kolonial Belanda mempunyai cita-cita yang memiliki jangkauan jauh ke depan. Lewat
politiknya yang digariskan oleh Snouck Hurgronje, Kolonial Belanda berharap akan dapat
melenyapkan pengaruh Islam dari bumi Indonesia demi kejayaan dan kelanggengan
penjajahannya atas Indonesia. Akan tetapi harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Ternyata
politiknya terhadap Islam melahirkan kenyataan-kenyataan pahit baginya. Bukannya
menghasilkan landasan yang kokoh buat melahirkan penjajahannya, melainkan berakibat
buruk “senjata makan tuan”, sebab hasilnya justru menggoyahkan sendi-sendi
penajajahannya sendiri di Indonesia, sehingga baru dua dasawarsa berjalan segera
dihentikan, karena dianggap tidak relevan. Selayaknya, ada yang perlu diperhatikan dalam
kita memberi penilaian kepada hasil karya Snouck di Indonesia, yakni penilaian hanya akan
bermakna apabila aspek-aspek positif dan negatifnya ditinjau dalam konteks jamannya.
Seperti diketahui, Snouck dibesarkan dalam lingkungan cultural abad ke-19, jaman
Liberalisme angkuh yang penuh dengan superioritas Barat. Tidak diragukan lagi,
keyakinannya yang optimistik dan pandangannya yang “meremehkan” Islam, semuanya
berakar pada pemikiran abad ke-19 yang sekuler. Konsep asosiasinya sendiri adalah produk
tipikal pada masa itu dengan harapan idealistic yang penuh keyakinan untuk menjembatani
jurang yang memisahkan antara Timur dan Barat, Snouck terlalu meremehkan kemampuan
Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kepada kemajuan. Politik pecah-belahnya
terhadap Islam sebagai ajaran yang dijadikan sebagai landasan dan sehingga dia tidak
mampu melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya pertumbuhan dalam Islam.

xix
C. Sikap penjajahan terhadap pendidikan islam
Membahas tentang pendidikan Islam dimasa Penjajahan berarti berbicara tentang masa
Indonesia ketika berada dalam kekuasaan penjajah yakni penjajahan Belanda yang
berlangsung ± 3,5 Abad dan penjajahan Jepang yang berlangsung sekitar 3 ½ tahun. Dari
segi historis pendidikan Islam di Indonesia tidak akan lepas dari para tokoh umat Islam, baik
dari perjuangan melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan
betapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan
berjuang secara tulus ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping
mengadakan perlawanan militer Perlu diketahui bahwa sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia mencakup faktafakta atau kejadian–kejadian yang berhubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, baik formal maupun non
formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode, oleh sebab itu pada setiap disiplin ilmu jelas
membutuhkan pendekatan metode yang bisa memberikan motivasi dan mengaktualisasikan
serta mengfungsikan semua kemampuan kejiwaan yang material, naluriah, dengan ditunjang
kemampuan jasmaniah, sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.
Dengan membaca dan memahami informasi sejarah, maka dalam makalah ini akan
dikembangkan dengan 2 rumusan masalah, yakni bagaimana sikap penjajahan terhadap
Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda. Setelah itu diulas bagaimana sikap
penjajahan terhadap Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang.
1. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda
Penaklukan bangsa barat atas dunia timur dimulai dengan jalan perdagangan.Demikian juga
dengan bangsa Belanda, tujuan Belanda yang datang ke Indonesia adalah untuk
mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang berharga
mahal di Eropa.Selain ingin mencari kekayaan, juga mencari kejayaan serta penyebaran
ajaran agama yang mereka anut. Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596,
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, dan berhasil mendarat di Pelabuhan
Banten.Namun kedatangan Belanda diusir penduduk pesisir Banten karena mereka bersikap
kasar dan sombong. Belanda datang lagi ke Indonesia dipimpin oleh Jacob van Heck pada
tahun 1598. Kedatangan bangsa Belanda memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi
tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil jajahan, bukan untuk kemakmuran bangsa yang
dijajah, begitu pula dibidang pendidikan, mereka memperkenalkan sistem dan metode baru
tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan
upah yang murah dibandingkan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang
mereka sebut dengan pembaharuan pendidikan adalah westernisasi dan kristenisasi yakni
kepentingan barat dan nasrani, dua motif inilah yang mewarnai kebijakan Belanda selama ±
3,5 abad.
Ciri has Pendidikan Islam di Masa Kolonial belanda :
1. Unik sub cultural bersifat idiosyncratic.
2. Collective learning proses (bandongan/mangaji tudang/kitab kuning)
3. Individual learning proses (sorogang)
Selain pendidikan Islam di atas juga terdapat Ciri has pendidkan umum pada masa Belanda adalah
sebagai berikut:
1. Sengaja melakukan perbedaan-perbedaan untuk mempertahankan perbedaan sosial
2. Desain Pendidikan sengaja didesain serendah mungkin untuk pribumi
3. Sulitnya melakukan perubahan Pendidikan akibat rumitnya birokrasi

xx
4. Semua sekolah harus beriorentasi gaya barat
5. Tidak adanya rancangan Pendidikan secara sistematis
6. Tujuan Pendidikan adalah ketersediaan pegawai.

Gubernur Jendral Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencakan
berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda.
Dalam surat edarannya kepada Bupati tersebut sebagai berikut : “dianggap penting untuk
secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati
undang-undang dan hukum negara”. Jiwa surat edaran diatas menggambarkan tujuan
daripada didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan Agama Islam yang ada
dipondok pesantren, mesjid, mushola dan lain sebagainya dianggap tidak membantu
pemerintah Belanda. Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin. Jadi jelas bahwa
madrasah dan pesantren dianggap tidak berguna.Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah
sehingga disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren
pengajian yang ada di desa itu. Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang
mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa
kolonialismenya. Pada tahun 1925 M, Pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat
lagi terhadap pendidikan Agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh
memberikan pelajaran mengaji.Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan
organisasi Pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai
syarikat Islam, Al-Irsyad dan lain-lain.
Jika kita melihat peratuaran-peratuaran pemerintah Belanda yang demikian ketat dan keras
mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren
di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama.Pendidikan Islamakan menjadi
lumpuh atau porak poranda, akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah
keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan
atau air bah yang sulit dibendung. Dibendung disini, meluap disana. Jiwa Islam tetap
terpelihara dengan baik, para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan
Belanda.Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka
mengharamkan kebudayaan yang dibawa Belanda dengan berpegang teguh kepada hadits
Nabi Muhammad SAW yang artinya : “ barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka
ia termasuk golongan tersebut” (HR. Abu Dawud dan Imam Hibban). Mereka tetap
berpegang kepada ayat Al-qur’an surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu)”

2. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang


Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia-Belanda yang kalah pada
perang dunia ke II.Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa
semboyan “Asia Timur Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru”. Pendidikan Islam zaman
penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942- 1945, sebab bukan hanya Belanda saja yang
mencoba berkuasa di Indonesia. Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang
selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942.Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal
tersebut antara lain:

xxi
1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan
Bahasa Belanda
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda. Jepang menampakkan dirinya seakanakan bersahabat
baik dengan Islam. Itulah sebabnya sehingga pendidikan Islam dapat bergerak lebih bebas,
dibandingkan pada zaman penjajahan Belanda. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh
Jepang, seolah-olah menguntungkan umat Islam Indonesia, antara lain:
1. kantor urusan agama pada zaman Belanda yang disebut dengan kantor Islamistiche yang
dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor sumubi
yang dipimpin oleh umat Islam sendiri yakni K.H. Hasyim Asy’ari dari jombang didaerah
dibentuk daerah sumuka.
2. Pondok pesantren besar-besar yang sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah
Jepang.
3. Sekolah Negeri diberi pendidikan budi pekerti yang isinya identik dengan pelajaran
agama.
4. Pemerintah JepangMengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan
dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
5. Pemerintah JepangMengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah
asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
7. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Maksud dari pemerintah Jepang memberi kelonggaran kepada umat Islam, adalah supaya
kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya
yang dipimpin oleh Jepang. Pada masa perang Dunia ke-II menghebat dan tekanan pihak
sekutu kepada Jepang makin berat.Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang dunia II,
tampak semakin jelas beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat
Indonesia sendiri. Dari segi militer dan sosial politik di Indonesia, Jepang menampakkan diri
sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar dari penjajah Belanda. Kekayaan
bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya,
sehingga rakyat menderita kelaparan dan serba kekurangan termasuk pakaian.
Selain itu rakyat dikerahkan kerja paksa (Romusha) demi untuk kepentingan perang. Jepang
membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haiho, Peta, Keibodan dan Seinan,
sehingga penderitaan rakyat, lahir dan batin semakin dirasakan.Dengan demikian timbullah
pemberontakan, baik dari golongan Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa Timur dan yang
lainnya, maupun oposisi dari para alim ulama. Kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga
oleh Alim Ulama/umat Islam untuk bangkit memberontak melawan Jepang sendiri.Pada
tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi Islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi
pendidikan zaman Jepang umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk
memajukan Pendidikan Islam, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri bahwa umat Islam
sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan
kepada penjajah.

xxii
BAB IV
Visi dan Misi DDI
Visi DDI (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) adalah "Menjadi lembaga dakwah yang
unggul dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin di Indonesia dan dunia."

Misi DDI adalah sebagai berikut:

1. Menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin: DDI bertujuan untuk menyebarkan
ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan kebaikan bagi
seluruh umat manusia. DDI berkomitmen untuk menyebarkan pesan-pesan Islam yang damai
dan toleran, serta mempromosikan kerukunan antarumat beragama.

2. Membangun umat yang berakhlak mulia: DDI berusaha untuk membentuk umat Islam
yang memiliki akhlak yang mulia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. DDI
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada umat Islam agar dapat menjadi teladan yang
baik dalam masyarakat.

3. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan agama: DDI berupaya untuk meningkatkan


pemahaman dan pengetahuan agama Islam di kalangan umat Islam. DDI menyelenggarakan
berbagai kegiatan pendidikan, seperti ceramah, kajian, dan pelatihan, guna meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan agama Islam.

4. Membangun lembaga dakwah yang profesional: DDI berkomitmen untuk menjadi


lembaga dakwah yang profesional dalam menyebarkan ajaran Islam. DDI mengutamakan
kualitas dan keberlanjutan dalam setiap kegiatan dakwah yang dilakukan. DDI juga berusaha
untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas para dai dan kader dakwah.

5. Membangun kerjasama dengan lembaga dan organisasi lain: DDI berupaya untuk
membangun kerjasama dengan lembaga dan organisasi lain, baik di dalam maupun di luar
negeri, guna memperluas jangkauan dakwah Islam. DDI juga berpartisipasi dalam berbagai
forum dan kegiatan yang berkaitan dengan dakwah Islam.

6. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar: DDI juga memiliki misi untuk
membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi. DDI melakukan berbagai program sosial dan kemanusiaan guna membantu
masyarakat yang membutuhkan.

Dengan visi dan misi tersebut, DDI berharap dapat memberikan kontribusi yang signifikan
dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin dan membangun umat Islam
yang berakhlak mulia di Indonesia dan dunia. DDI juga berkomitmen untuk terus
meningkatkan kualitas dan keberlanjutan dalam setiap kegiatan dakwah yang dilakukan.
Visi Misi DDI di Bidang Pendidikan

Pendahuluan

Dalam era globalisasi ini, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan suatu negara. Pendidikan yang berkualitas akan mampu menciptakan sumber
daya manusia yang unggul dan mampu bersaing di tingkat global. Dalam hal ini, Dewan
Dunia Islam (DDI) memiliki visi dan misi yang jelas dalam mengembangkan pendidikan di
dunia Islam. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai visi dan misi DDI di bidang
pendidikan.

xxiii
Visi DDI di Bidang Pendidikan

Visi DDI di bidang pendidikan adalah menciptakan masyarakat Muslim yang


berpendidikan tinggi, berakhlak mulia, dan mampu berkontribusi dalam pembangunan dunia.
DDI berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di dunia Islam dengan
mengedepankan nilai-nilai Islam yang universal. Visi ini bertujuan untuk menciptakan
generasi Muslim yang memiliki pengetahuan yang luas, keterampilan yang tinggi, dan moral
yang baik.

Misi DDI di Bidang Pendidikan

1. Meningkatkan Akses Pendidikan

DDI berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan bagi semua masyarakat Muslim,
terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau kurang mampu. DDI akan bekerja
sama dengan pemerintah dan lembaga pendidikan untuk membangun infrastruktur
pendidikan yang memadai dan menyediakan beasiswa bagi siswa yang berprestasi namun
kurang mampu secara finansial.

2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan

DDI akan berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di dunia Islam. DDI akan
memberikan pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru-guru agar mereka dapat
memberikan pendidikan yang berkualitas. Selain itu, DDI juga akan mendukung penelitian
dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Muslim.

3. Mempromosikan Pendidikan Islam yang Moderat

DDI akan mempromosikan pendidikan Islam yang moderat dan inklusif. DDI akan bekerja
sama dengan lembaga pendidikan Islam untuk mengembangkan kurikulum yang
mengajarkan nilai-nilai Islam yang toleran, menghormati perbedaan, dan mendorong dialog
antaragama. DDI juga akan mendukung penelitian dan pengembangan dalam bidang studi
Islam yang mengedepankan pemahaman yang moderat dan kontekstual.

4. Mendorong Inovasi Pendidikan

DDI akan mendorong inovasi dalam pendidikan dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi. DDI akan mendukung pengembangan platform pembelajaran online yang
dapat diakses oleh semua masyarakat Muslim di seluruh dunia. DDI juga akan mendukung
pengembangan program pendidikan yang mengintegrasikan teknologi dalam proses
pembelajaran.

5. Membangun Jaringan Kerjasama

DDI akan membangun jaringan kerjasama dengan lembaga pendidikan, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk meningkatkan pendidikan di dunia Islam. DDI akan bekerja
sama dengan lembaga pendidikan terkemuka untuk memperluas akses pendidikan dan
meningkatkan kualitas pendidikan. DDI juga akan bekerja sama dengan pemerintah dan
organisasi internasional untuk mendapatkan dukungan dan sumber daya yang diperlukan
dalam mengembangkan pendidikan di dunia Islam.

Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di dunia Islam. DDI berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan,
meningkatkan kualitas pendidikan, mempromosikan pendidikan Islam yang moderat,

xxiv
mendorong inovasi pendidikan, dan membangun jaringan kerjasama. Dengan visi dan misi
ini, DDI berharap dapat menciptakan generasi Muslim yang berpendidikan tinggi, berakhlak
mulia, dan mampu berkontribusi dalam pembangunan dunia.

Visi dan Misi DDI di Bidang Dakwah

Pendahuluan

Dakwah merupakan salah satu aspek penting dalam agama Islam. Dakwah memiliki
peran yang sangat strategis dalam menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia. Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) merupakan salah satu organisasi yang berperan dalam
mengembangkan dakwah di Indonesia. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai visi dan
misi DDI di bidang dakwah.

Visi DDI di Bidang Dakwah

Visi DDI di bidang dakwah adalah menjadi lembaga dakwah yang unggul,
profesional, dan berdaya saing dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.
DDI memiliki visi untuk menjadi lembaga dakwah yang mampu menginspirasi dan
memberikan pemahaman yang benar tentang Islam kepada umat manusia, serta mampu
menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual.

Misi DDI di Bidang Dakwah

1. Menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin


DDI memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin kepada
seluruh umat manusia. DDI berkomitmen untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang
mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan perdamaian kepada umat manusia.

2. Membangun kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Islam


DDI memiliki misi untuk membangun kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Islam
di kalangan umat Islam maupun non-Muslim. DDI berupaya untuk memberikan pemahaman
yang benar tentang ajaran Islam, sehingga umat Islam dapat menjalankan agama dengan baik
dan non-Muslim dapat memahami Islam dengan benar.

3. Mengembangkan kader dakwah yang berkualitas


DDI memiliki misi untuk mengembangkan kader dakwah yang berkualitas. DDI berupaya
untuk melahirkan generasi muda yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam, serta
memiliki kemampuan dalam berdakwah dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual.

4. Membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya


DDI memiliki misi untuk membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya, baik di
dalam maupun di luar negeri. DDI menyadari bahwa dakwah tidak dapat dilakukan secara
sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya untuk
mencapai tujuan yang lebih besar.

5. Menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual


DDI memiliki misi untuk menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan
kontekstual. DDI berupaya untuk menghadirkan ajaran Islam dalam konteks kehidupan
modern, sehingga dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat pada zaman ini.

xxv
Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang dakwah adalah menjadi lembaga dakwah yang unggul,
profesional, dan berdaya saing dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.
DDI memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin, membangun
kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Islam, mengembangkan kader dakwah yang
berkualitas, membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya, serta menjawab
tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual. Dengan visi dan misi ini,
DDI diharapkan dapat berperan aktif dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat.

Visi Misi DDI di Bidang Usaha Sosial

Pendahuluan

Dalam era globalisasi ini, permasalahan sosial semakin kompleks dan membutuhkan
solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan sosial adalah melalui usaha sosial. Usaha sosial merupakan bentuk
usaha yang memiliki tujuan ganda, yaitu mencapai keuntungan finansial sekaligus
memberikan dampak sosial yang positif bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, DDI (Dunia Dalam Iman) adalah salah satu organisasi yang memiliki visi
dan misi yang kuat di bidang usaha sosial. DDI merupakan organisasi non-profit yang
berfokus pada pengembangan usaha sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Visi DDI di Bidang Usaha Sosial

Visi DDI di bidang usaha sosial adalah menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera,
dan berkelanjutan melalui pengembangan usaha sosial yang inovatif dan berdampak positif.
DDI berkomitmen untuk menjadi pemimpin dalam mengembangkan dan mempromosikan
usaha sosial sebagai solusi untuk permasalahan sosial yang ada.

Misi DDI di Bidang Usaha Sosial

1. Mengidentifikasi permasalahan sosial yang membutuhkan solusi inovatif


DDI memiliki misi untuk mengidentifikasi permasalahan sosial yang membutuhkan solusi
inovatif melalui usaha sosial. DDI melakukan riset dan analisis mendalam untuk memahami
akar permasalahan sosial dan mencari solusi yang tepat.

2. Mengembangkan dan mempromosikan model usaha sosial yang berkelanjutan


DDI berkomitmen untuk mengembangkan dan mempromosikan model usaha sosial yang
berkelanjutan. DDI bekerja sama dengan mitra dan pemangku kepentingan untuk
mengembangkan model usaha sosial yang dapat memberikan dampak sosial yang positif
sekaligus mencapai keuntungan finansial yang berkelanjutan.

3. Memberikan pendampingan dan pelatihan kepada pengusaha sosial


DDI memberikan pendampingan dan pelatihan kepada pengusaha sosial untuk membantu
mereka mengembangkan usaha sosial mereka. DDI memberikan bimbingan dalam hal
manajemen usaha, pemasaran, keuangan, dan pengukuran dampak sosial. DDI juga
membantu pengusaha sosial dalam mengakses sumber daya dan jaringan yang dapat
mendukung pertumbuhan usaha mereka.

4. Mendorong kolaborasi dan kemitraan

xxvi
DDI mendorong kolaborasi dan kemitraan antara pengusaha sosial, pemerintah, sektor
swasta, dan organisasi non-profit lainnya. DDI percaya bahwa kolaborasi dan kemitraan
adalah kunci untuk mencapai dampak sosial yang lebih besar. DDI juga berperan sebagai
penghubung antara pengusaha sosial dan pemangku kepentingan lainnya untuk memfasilitasi
pertukaran pengetahuan dan pengalaman.

5. Mengukur dan melaporkan dampak sosial


DDI mengukur dan melaporkan dampak sosial yang dihasilkan oleh usaha sosial yang
didukungnya. DDI menggunakan metode dan indikator yang valid dan dapat diukur untuk
mengevaluasi dampak sosial yang dicapai. DDI juga berkomitmen untuk transparansi dalam
melaporkan hasil dan belajar dari pengalaman untuk meningkatkan efektivitas usaha sosial di
masa depan.

Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang usaha sosial menunjukkan komitmen organisasi untuk
menciptakan perubahan sosial yang positif melalui pengembangan usaha sosial. DDI
berperan sebagai pemimpin dalam mengembangkan dan mempromosikan usaha sosial
sebagai solusi untuk permasalahan sosial yang ada. Melalui pendampingan, pelatihan,
kolaborasi, dan pengukuran dampak sosial, DDI berusaha untuk mencapai visi mereka dalam
menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

xxvii
BAB V
Pendidikan Islam Di Sulawesi Selatan
A. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada
hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. Manusia ideal adalah manusia
yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi
Muhammad SAW, yaitu menyempurnakan akhlaq yang mulia.

Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai
berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya
ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan
pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang
baik dan terarah. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam sangat beragam, hal ini
terlihat dari definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan
berikut ini:
Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam
sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di
antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979: 399)
Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada
pendidikan etika. Selain itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas
dan kreatifitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan masyarakat dan alam
semesta.
Dr. Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untk lebih maju dengan berlandaskan
nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.

B. Pesantren, Akar Pendidikan Islam di Indonesia


Terkait kemunculan dan masuknya Islam di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi
kontroversi di kalangan para ilmuwan dan sejarawan. Namun demikian, mayoritas dari
mereka menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Indonesia sekitar abad ke-7 M oleh
para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari Teluk Parsi dan
Tiongkok. Kemudian pada abad ke-11M sudah dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk di
kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan
Maluku. Dan, pada abad itu pula muncul pusat-pusat kekuasaan serta pendalaman studi ke-
Islaman. Dari pusat-pusat inilah kemudian akhirnya Islam dapat berkembang dan tersebar ke
seluruh pelosok Nusantara. Perkembangan dan perluasan Islam itu tidak lain melalui para
pedagang muslim, wali, muballigh dan ulama’ dengan cara pendirian masjid, pesantren atau
dayah atau surau.

Pada dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke
Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun
kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim
daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal

xxviii
ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di samping
rumah tempat kediaman ulama’ atau muballigh.

Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk
memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran Islam.
Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun surau.
Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat
menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.

Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah
keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga sekarang.
Menurut Prof. Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di
tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang surutnya
hingga sekarang. Untuk itulah, tidak aneh jika pesantren telah menjadi akar pendidikan Islam
di negeri ini. Karena senyatanya, dalam pesantren telah terjadi proses pembelajaran sekaligus
proses pendidikan; yang tidak hanya memberikan seperangkat pengetahuan, melainkan juga
nilai-nilai (value). Dalam pesantren, terjadi sebuah proses pembentukan tata nilai yang
lengkap, yang merupakan proses pemberian ilmu secara aplikatif.
Menurut Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam,
disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:

 Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu
pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
 Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti
para santri.
 Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat
peribadatan.
 Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
 Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang menampung santri selama mereka
menuntut ilmu dari Kyai.

Sedangkan dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan


dua sistem yang umum, yakni:

 Sistem “sorongan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang
guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa Arab.
 Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini,
sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan,
menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan kitab
masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.

Kelompok bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqoh
yang arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem lain yang
disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior yang telah mampu membaca kitab
kuning dengan baik. Hingga kini, keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika,
sejak dari pesantren tradisional hingga pesantren modern.

xxix
C. Lembaga-lembaga pendidian Islam setelah Pesantren
Eksistensi pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya, antara lain:
a. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren,
baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Kendati demikian,
kemunculan madrasah ini tidak lain diawali oleh keberadaan pesantren. Sebagian lulusan
pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di
beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir. Lulusan-lulusan Islam
Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-
madrasah di Indonesia.
Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi menggunakan sorogan ataupun bandongan,
melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses
pembelajarannya. Elemen yang ada dalam madrasah juga bukan lagi Kyai dan santri, tetapi
murid dan guru (ustad/ustadzah). Dan metode yang digunakan juga beragam, bisa ceramah,
atau drill dan lain-lain, tergantung pada ustad/ustadzah atau guru.
b. Sekolah-sekolah Islam
Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah
sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari madrasah,
hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah bahasa
Indonesia. Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan
sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan
sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain itu,dari
segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi agama dibanding
sekolah Islam.
c. Pendidikan Tinggi Islam
Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern.
Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang
menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di
Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang
kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia,
seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di
Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang
(UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas
Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain. Menurut Tolhah Hasan, perkembangan
dan kemajuan perguruan tinggi Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa faktor di
antaranya: kredibilitas kepemimpinan, kreativitas manajerial kelembagaan, pengembangan
program akademik yang jelas dan kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.
D. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia
Tak dapat dipungkiri, bahwa seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pendidikan Islam
juga mengalami berbagai dinamika. Tak hanya pada pesantren, bahkan madrasah dan
perguruan tinggi Islam pun tak luput dari dinamika yang ada.
Pesantren yang dulunya masih tradisional senyatanya mengalami beberapa perubahan dan
perkembangan, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

xxx
Pesantren yang dulunya tradisional, dalam pola pembelajaran dan muatan materi serta
kurikulumnya, kini telah mengalami perkembangan dengan mengadaptasi beberapa teori-
teori pendidikan yang dirasa bisa diterapkan di lingkungan pesantren. Alhasil, kini semakin
banyak bermunculan pesantren modern, yang dalam pola pembelajarannya tidak lagi
konvensional, tapi lebih modern dengan berbagai sentuhan manajemen pendidikan yang
dinamis. Mayoritas pesantren dewasa ini juga memberikan materi dan muatan pendidikan
umum. Tidak sedikit pesantren yang sekaligus memiliki lembaga sekolah dan manajemennya
mengacu pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sedangkan dinamika sistem pendidikan madrasah dapat dicatat dari beberapa perubahan,
seperti dimasukkannya mata pelajaran umum dalam kurikulumnya, meningkatkan kualitas
guru dengan memperhatikan syarat kelayakan mengajar, membenahi manajemen
pendidikannya melalui akreditasi yang diselenggarakan pemerintah, mengikuti ujian negara
menurut jenjangnya.
Tak pelak, bahwa dinamika pendidikan Islam, di samping kemadrasahan, juga muncul
persekolahan yang lebih banyak mengadopsi model sekolah barat. Dan, kemunculannya itu
antara lain dipicu oleh kebutuhan masyarakat muslim yang berminat mendapatkan
pendidikan yang memudahkan memasuki lapangan kerja dalam lembaga pemerintahan
maupun lembaga swasta yang mensyaratkan memiliki keterampilan tertentu, seperti teknik,
perawat kesehatan, administrasi dan perbankan.

Pada perguruan tinggi Islam pun sejatinya juga mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan. Dinamika dalam pendidikan tinggi Islam ini salah satunya dapat diraba dari
perubahan status dari Sekolah Tinggi, menjadi Institut, hingga kini menjadi Universitas.
Dengan demikian, materi dan bahan ajar yang ditawarkan di perguruan tinggi Islam yang
kini mayoritas menjadi Universitas, tidak hanya disiplin ilmu agama Islam saja, melainkan
juga berbagai disiplin ilmu umum.

xxxi
BAB VI
SEJARAH DARI MAI KE DDI
Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren DDI Mangkoso
Salah satu lembaga pendidikan tertua di Sulawesi Selatan yang dikenal luas di Indonesia
adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang Kabupaten Wajo oleh K.H.Muh.
As’ad yang baru saja kembali dari Mekkah pada tahun 1928. Pada awal mulanya MAI
Sengkang hanya merupakan pengajian dengan sistem mengaji tudang yang diadakan
dirumah K.H.Muh. As’ad. Menyusul dengan santrinya yang semakin bertambah banyak,
maka tempat pengajiannya pun dipindahkan ke Masjid Jami, Sengkang. Walaupun mengaji
tudang masih berlanjut, seiring dengan berkembangnya jumlah santri yang tidak tertampung
lagi, maka didirikanlah lembaga pendidikan madrasah dengan sistem klasikal.
Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem klasikal)
dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Beberapa daerah melalui
pemerintah setempat, bermohon kepada K.H. Muh. As’ad agar bersedia membuka cabang
dengan mengirim muridnya untuk mengajar di daerahnya, seperti: Parepare, Palopo,
Soppeng Riaja. Permohonan-permohonan yang demikian itu selalu dijawab tegas oleh K.H.
Muh. As’ad bahwa MAI Sengkang tidak akan pernah membuka cabang. Namun demikian,
Kepala Swapraja Soppeng Riaja tidak bosan mengajukan permohonan berkali-kali, bahkan
meminta khusus agar K.H. Muh. As’ad bersedia mengutus K.H.Abdurrahman Ambo Dalle
untuk memimpin perguruan yang rencana akan didirikan di Soppeng Riaja tersebut.
Akhirnya, K.H. Muh. As’ad menyerahkan

keputusan itu kepada K.H.Abdurrahman Ambo Dalle dan olehnya tugas itu diterima oleh
K.H.Abdurrahman Ambo Dalle.6
Awalnya, pondok pesantren ini juga bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang
didirikan di Mangkoso pada tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 yang
diprakarsai oleh H.M. Jusuf Andi Dagong Arung Soppeng Riaja dan dipimpin oleh
K.H.Abdurrahman Ambo Dalle, dengan sistem halaqah yang dalam bahasa Bugis dikenal
dengan istilah mangaji tudang atau wetonan. Dalam versi lain disebutkan bahwa MAI
Mangkoso resmi didirikan pada 11 Januari 1939, yakni 20 hari setelah K.H.Abdurrahman
Ambo Dalle membuka pengajian di Mangkoso. Pembukaan MAI Mangkoso ini berkaitan
dengan dibukanya sistem pendidikan klasikal yakni pengajaran yang dilakukan dibangku
madrasah.
Raja Soppeng sebelumnya telah mendirikan sebuah masjid yang pada saat itu tidak ramai
dikunjungi orang maka dengan kedatangan K.H.Abdurrahman Ambo Dalle, tercapailah
niatnya untuk memakmurkan masjid dan membuka pengajian di masjid tersebut sambil
membangun Madrasah Arabiyah Islamiyah di Mangkoso. Dengan kehadiran
K.H.Abdurrahman Ambo Dalle di Mangkoso maka ramailah masjid itu dikunjungi orang dan
berkembanglah Madrasah Arabiyah Islamiyah mengiringi perkembangan MAI Sengkang.7
Perkembangan MAI Mangkoso yang kian pesat ditandai oleh santri yang semakin banyak
serta cabang-cabang yang kian tersebar diberbagai tempat, bukan hanya di dalam provinsi
Sulawesi Selatan tapi juga diluar Sulawesi Selatan memunculkan pemikiran perlunya suatu
organisasi yang bias mengurus dan mengoordinasi hubungan antara cabang-cabang MAI di
berbagai daerah dengan

6
Ahmad Rasyid A. Said, Darud Dakwah Wal Irsyad Abdurrahman Ambo Dalle Mangkoso
Dalam Perspektif Sejarah, Organisasi dan Sistem Nilai (Barru: Pondok Pesantren DDI Abdurrahman
Ambo Dalle Mangkoso, 2009), h. 21.
7
M.Yusrie Abady, Corak Pemikiran Pendidikan Keagamaan K.H.Abdurrahman Ambo Dalle
Dalam Mengelola Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) Parepare Sulawesi Selatan, h.78

xxxii
pusat MAI di Mangkoso. Timbullah ide untuk mengadakan musyawarah pendidikan guna
membicarakan rencana pembentukan organisasi tersebut.8
Pada tahun 1947, berdasarkan hasil pertemuan alim ulama/ Kadhi se- Sulawesi Selatan serta
guru-guru MAI tanggal 7 Februari, nama Madrasah gArabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso
dan cabang-cabangnya di ubah menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI). Sebuah organisasi
pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan yang berpusat di Mangkoso. Sistem
pendidikan di Pondok Pesantren DDI Mangkoso adalah memadukan antara sistem
pendidikan salafiyah (tradisional) dengan sistem khalafiyah (modern). Untuk itu, kurikulum
dipadukan antara kurikulum pesantren dengan kurikulum nasional, serta menambahkan
berbagai kegiatan keterampilan (ekstra kurikuler).
Pada awal mula berdirinya, Pondok Pesantren DDI Mangkoso dipimpin langsung oleh
K.H.Abdurrahman Ambo Dalle sejak tahun 1938 hingga 1949. Karena diangkat menjadi
Kadhi di Parepare dan harus menetap disana, kemudian digantikan oleh K.H.M. Amberi Said
dari tahun 1949 hingga 1985 hingga beliau wafat. Kemudian digantikan oleh AG.Prof.Dr.H.
Faried Wadjedy, M.A hingga sekarang.

Sejarah Metode Wetonan (Mangaji Tudang)


Keberadaan pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk ke negeri ini dengan
mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang telah berkembang sebelum kedatangan
Islam. Pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah Pesantren Tegal Sari di
Ponegoro, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada tahun
1742.9
Pendidikan Islam mulai bangkit di Indonesia setelah Pemerintah kolonial Belanda
melakukan diskriminasi pendidikan rakyat Indonesia yakni pendidikan hanya dapat diikuti
oleh kaum elit atau kaum bangsawan yang ikut dalam

8
Ahmad Rasyid A. Said, Darud Dakwah Wal Irsyad Abdurrahman Ambo Dalle Mangkoso
Dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai, h. 32.
9
Marwati Djoened Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan
Nasional Dan Masa Hindia Belanda (Jakarta: Balai Pustaka. 2008), h.193

pemerintahan Belanda sedangkan rakyat biasa tidak dapat mengikuti pendidikan yang lebih
baik, terutama pendidikan lanjutan setelah sekolah rakyat.
Dari situasi inilah yang membangkitkan semangat ingin maju oleh bangsa Indonesia
sehingga terbentuklah gerakan Syarikat Dagang Islam dipelopori oleh
H. Umar Said Cokroaminoto, Muhammadiyah dipelopori oleh K. H. Muhammad Dahlan,
Nahdatul Ulama dipelopori oleh K. H. Hasyim Asy’ari, Persatuan Islam dipelopori oleh
Hasan Bandung dan Muhammad Natsir, dan para ulama lainnya yang tersebar diseluruh
Indonesia membuka pondok pesantren di pulau Jawa, surau di Sumatera, madrasah Arabiyah
Islamiyah di Sulawesi, dan sebagainya, dengan prinsip membangun pendidikan Islam dan
non coorperation dengan pemerintah kolonial Belanda.
Halaqah adalah sebuah istilah yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya
pendidikan atau pengajaran Islam (Tarbiyah Islamiyah). Istilah halaqah (lingkaran) biasanya
digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil muslim yang secara rutin mengkaji
ajaran Islam. Mereka mengkaji Islam dengan manhaj (kurikulum) tertentu. Biasanya
kurikulum tersebut berasal dari murabbi/naqib yang mendapatkannya di jama’ah (organisasi)
menaungi halaqah tersebut. Dibeberapa kalangan halaqah disebut juga mentoring, ta’lim,
pengajian kelompok, tarbiyah atau sebutan lainnya.10 Dipulau Jawa halaqah ini lebih dikenal
dengan wetonan atau bandongan

xxxiii
Metode wetonan (mangaji tudang) adalah media dalam berdakwah
K.H.Abdurrahman Ambo Dalle. Dengan berdirinya sebuah pondok pesantren maka
tentunya terbentuklah berbagai kegiatan, baik kegiatan belajar mengajar dalam
bentuk klasikal maupun juga kegiatan pengajian halaqah atau biasa disebut wetonan
(mangaji tudang). Budaya ini diadopsi budaya Jawa yang memang menjadi titik awal
pembangunan pesantren yang ada di Indonesia.
Menurut Hasbullah, metode halaqah atau wetonan adalah metode yang
didalamnya terdapat seorang kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu.
Sedangkan santri membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan

10
Satria Hadi Lubis,Menggairakan Perjalanan Halaqah: Kiat Agar Halaqah Lebih
Dahsyat Full Manfaat (Yogyakarta: Pro You, 2011), h. 16.

menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji
secara kolektif.11
Istilah weton ini berasal dari kata wektu (Jawa) yang berarti waktu, sebab
pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau
sesudah melakukan sholat fardhu.12 Dengan metode ini para santi mengikuti pelajaran
atau pengajian dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara
kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan pada kitabnya.
Pengajian dengan istilah wetonan ini dilakukan gurutta memang sejak
memulai pengajian di Mangkoso dan terus menerus dilakukan sampai
sekarang oleh para ustadz disini. Para santri berkumpul dimasjid setelah sholat
magrib dan sholat subuh.”13
Seperti yang disebutkan diatas bahwa pengajian wetonan (mangaji tudang)
memang sudah digunakan sejak didirikannya pesantren. Lalu kemudian diadopsi dan
hingga kini menjadi ciri khas sebuah pondok pesantren. Pengajian ini biasanya
dilakukan setelah sholat subuh dan magrib. Karena setelah sholat berjama’ah, santri
berkumpul dan duduk melingkari ustadz atau ustadzah yang memberikan pengajian.
Di Indonesia, metode wetonan ini termasuk dalam kategori sistem
pembelajaran yang tradisional. Sistem ini sudah mulai diterapkan semenjak
masuknya Islam di Indonesia yang pada awalnya hanya digunakan di masjid dan
surau-surai yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren yang ada di Indonesia. Dan
metode wetonan, halaqah atau dalam bahasa Bugis disebut mangaji tudang ini
menjadi sebuh ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pembelajaran di
pesantren meskipun telah ada sistem pendidikan klasikal yakni madrasah.
Saya dapat memberikan beberapa informasi ringkas mengenai topik-topik yang telah Anda
sebutkan:

xxxiv
DETAILNYA
A. **Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dari Sengkang ke Mangkoso:** Gurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle adalah seorang tokoh yang dikenal di Sulawesi Selatan,
Indonesia. Perpindahannya dari Sengkang ke Mangkoso mungkin terkait dengan sejarah atau
aktivitasnya. Informasi lebih lanjut tentang perjalanan atau peranannya dapat ditemukan
dalam sumber-sumber sejarah atau literatur yang relevan.
B. **Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI Mangkoso:** Kerajaan Soppeng Riaja
adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Selatan. MAI Mangkoso mungkin merupakan tokoh
yang lahir di kerajaan ini atau memiliki kaitan dengan sejarah kerajaan tersebut. Untuk
informasi lebih lanjut, Anda dapat merujuk ke sumber-sumber sejarah lokal.
C. **MAI dalam Masa Penjajahan:** Ini mungkin merujuk pada peran atau aktivitas
individu atau kelompok bernama MAI selama masa penjajahan di Indonesia. Sejarah
perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat menjadi topik yang relevan di sini.
D. **MAI dalam Masa Westerling:** Westerling adalah seorang perwira Belanda yang
terkenal karena perannya dalam konflik di Sulawesi Selatan selama masa penjajahan. MAI
mungkin memiliki peran atau keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi selama
masa itu.
E. **DDI dan Musyawara Alim Ulama Se Sulawesi Selatan:** DDI mungkin merujuk
kepada Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), sebuah organisasi keagamaan Islam di Indonesia.
Musyawara Alim Ulama adalah forum diskusi dan pertemuan para ulama atau pemimpin
agama Islam. Hubungan antara DDI dan Musyawara Alim Ulama dapat berkaitan dengan
upaya dakwah dan penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
F. **DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII:** Pemberontakan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) adalah peristiwa pemberontakan di Indonesia yang terjadi
pada era awal kemerdekaan. DDI mungkin memiliki keterlibatan atau peran dalam konteks
pemberontakan ini.
G. **Struktur dan Perkembangan DDI:** Informasi ini mungkin mengacu pada struktur
organisasi dan perkembangan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) sebagai organisasi
keagamaan Islam di Indonesia. Ini termasuk pemimpin organisasi, tujuan, dan evolusi
organisasi tersebut.
H. **Pola Penyebaran DDI:** Ini mungkin mengacu pada bagaimana DDI menyebar dan
memengaruhi komunitas Muslim di Sulawesi Selatan atau wilayah lain di Indonesia.

xxxv
BAB VII
MAKALAH DDI MUKTAMAR KE MUKTAMAR

A.. Muktamar Mangkoso hingga Muktamar Darussalam


Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) didirikan oleh Anregurutta K.H. Abdurrahman Ambo
Dalle, mulanya dalam bentuk pesantren yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI)
Mangkoso pada tanggal 21 Desember 1938, lalu dikembangkan menjadi organisasi dalam
pertemuan alim ulama di Watang Soppeng pada tanggal 7 Februari 1947 dengan nama Darud
Da’wah wal-Irsyad (DDI), dan nama itulah yang digunakan hingga sekarang. (ARS/Top)
Beberapa bulan setelah pertemuan Watang Soppeng, diadakan konferensi guru-guru MAI
pada bulan Sya'ban 1366 H (Juli 1947) bertempat di Saoraja Mangkoso. Pertemuan itu
membicarakan pengintegrasian MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya ke dalam
organisasi DDI. Mangkoso ditetapkan sebagai pusat organisasi dengan pertimbangan bahwa
Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle selaku Ketua DDI berkedudukan di Mangkoso. Selain
itu, MAI Mangkoso sudah memiliki hubungan komunikasi dengan cabang-cabang di daerah
sehingga memudahkan sosialisasi penggunaan DDI sebagai pengganti MAI.
Untuk mengesahkan susunan pengurus DDI hasil pertemuan Watang Soppeng, diadakan
Muktamar pertama di Mangkoso pada tahun 1948. Muktamar ini sekaligus menggantikan tradisi
pertemuan rutin tahunan guru-guru MAI sebelumnya. Muktamar kedua dilaksanakan tahun 1949,
dibuka di Mangkoso dan dilanjutkan di Pare-Pare yang dirangkaikan dengan
pembukaan/peresmian penggunaan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI di sebelah selatan Masjid
Raya Pare-Pare.
Sejak itu mulai ditata administrasi organisasi. Sebelumnya, pada periode MAI hubungan
antara pusat dan cabang lebih bersifat personal daripada bersifat administrasi organisasi. Semua
guru yang ditugaskan mengajar pada cabangcabang MAI di daerah adalah santri-santri MAI
Mangkoso yang bertugas secara periodik. Karena itu, jalinan komunikasi yangmenonjol adalah
komunikasi antara murid dan guru.
Penataan itu, misalnya, dengan membuat mekanisme dan persyaratan untuk membuka
cabang MAI/DDI di suatu daerah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
1.Atas permufakatan sekalian rakyat dalam negeri
2.Disetujui oleh pegawai syara' dalam negeri
3.Disetujui dan dikuatkan serta ditunjang oleh pemerintah dalam negeri
Setelah setuju ketiga pihak diatas, wajib pula menyiapkan:
1.Murid yang hendak diberi pengajaran
2.Rumah sekolah tempat mengajar dengan segala alatalat keperluannya, seperti bangku-bangku
(tempat duduk), meja tulis dan lain-lain kepeluan-keperluannya.
3.Nafkah (ongkos) guru yang mengajar serta ongkosongkos pergi pulangnya dari kantor pusat.
4.Sesudah syarat-syarat di atas disiapkan, pengurus pembentukan MAI/DDI harus memasukkan
surat 5.permohonan (atas nama dari ketiga pihak tersebut di atas) kepada ketua darud da'wah
wal irsyad/mai mangkoso.
Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) akan melakukan perhelatan akbar tingkat nasional, yaitu
Muktamar ke-22. Muktamar merupakan forum permusyawaratan tertinggi organisasi yang

36
dilaksanakan sekali dalam lima tahun, kali ini direncanakan berlangsung pada tanggal 22
Februari 2022 di Samarinda Kalimantan Timur.
Guna menyiapkan bahan-bahan yang akan dibahas dalam muktamar tersebut, steering
committee (SC) Panitia Muktamar ke-22 menyelenggarakan Pra Muktamar di Hotel Alauddin
Makassar, Sabtu 18 Desember 2021. Pra Muktamar diikuti oleh 120 peserta yang merupakan
perwakilan Pengurus Besar DDI (PB DDI), Pengurus Wilayah DDI (PW DDI), Pengurus
Daerah DD (PD DDI), Pengurus Cabang DDI (PC DDI), Perguruan Tinggi DDI, dan Pondok
Pesantren DDI, baik yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan maupun dari luar provinsi,
seperti Papua, Sulteng, Sulbar, Kaltim, Kaltara, dan Jakarta. Dari Pengurus Besar hadir Wakil
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB DDI.
Dalam amanahnya saat membuka Pra Muktamar, AG.Prof.Dr.H.M. Faried Wadjedy, M.A.
selaku Majelis Syuyukh PB DDI menitipkan pesan kepada peserta, “Pra Muktamar ini harus
menjadi ajang untuk lebih mengeratkan hubungan silaturahmi kita sebagai sesama warga DDI,
karena itu hindari hal-hal yang bisa menimbulkan konflik karena hal itu hanya akan membawa
kemunduran bagi organisasi itu. Bahas dan bicarakanlah hal-hal yang bisa membawa kemajuan
DDI, meskipun tidak terlalu banyak tapi benar-benar bisa dilaksanakan. Jangan hanya kita
ramai di saat ada kegiatan seperti ini, tetapi saat kita kembali ke kesibukan kita masing-masing,
kita lupa untuk melaksanakan apa yang pernah kita putuskan. Warga DDI itu laris manis
sehingga banyak yang menjadi pengurus inti di organisasi lain, sayangnya karena mereka
seringkali abai dalam mengurus DDI”, ungkap Anregurutta yang sehari-hari menjabat
sebagai Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso.
Pengurus Besar DDI sebagai pengurus di tingkat pusat mempunyai tiga komponen, yaitu
Majelis Syuyukh, Majelis Istisyar, dan Majelis Pengurus. Majelis Syuyukh adalah pemegang
kebijakan tertinggi organisasi setelah Muktamar sebagai institusi yang berwenang mengawasi
penyelenggaraan organisasi, menjaga moral, visi, dan misi Darud Da’wah wal-Irsyad.
Majelis Syuyukh PB DDI Periode 2016 – 2021 berjumlah empat orang, yaitu AG.Prof.H.M.
Ali Yafie, AG.H.M. Sanusi Baco (almarhum), AGH.M. Faried Wadjedy, dan AGH. Lukmanul
Hakim.
Salah seorang anggota tim perumus AD/ART sekaligus steering committee Pra Muktamar,
Ahmad Rasyid, menyampaikan bahwa Pra Muktamar berjalan dengan lancar dan sukses.
“Kalau pun ada perdebatan dan diskusi yang alot, baik dalam sidang-sidang komisi maupun
di sidang pleno, hal itu wajar sebagai dinamika dalam organisasi. Tetapi, semua peserta
menyadari bahwa Darud Da’wah wal-Irsyad adalah organisasi pesantren yang didirikan
oleh ulama sehingga spirit, jiwa, dan karakter kesantrian harus mewarnai setiap kegiatannya.
Dan itulah yang terjadi dalam Pra Muktamar ini, semuanya dalam bingkai ukhuwah Addariyah.
Mudah-mudahan suasana yang sama juga akan tercipta dalam muktamar nanti di
Samarinda”, ujar pria yang di dalam struktur PB DDI bertugas sebagai Wakil Sekretaris
Jenderal.
Bulan Desember merupakan momen bersejarah bagi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI),
khususnya Pondok Pesantren DDI Mangkoso. Pada bulan tersebut, tepatnya tanggal 21
Desember 1938 Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle bersama Kepala Zelfbestuur
(Swapraja) Soppeng Riaja, H.M. Yusuf Andi Dagong (Petta Soppeng) mendirikan angngajing
(pesantren) di Masjid Jami Mangkoso dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI)
Mangkoso. Dalam perkembangannya, MAI Mangkoso berubah nama menjadi Darud Da’wah
Wal Irsyad (DDI) berdasarkan musyawarah alim ulama di Watang Soppeng tanggal 7 Februari
1947.
Untuk memperingati momen tersebut, Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad (PB DDI)
melaksanakan berbagai kegiatan yang berlangsung dari tanggal 17 Desember 2023 hingga 11

37
Januari 2024. Kegiatan tersebut diantaranya Silaturahmi Nasional Warga DDI (Semesta DDI)
tanggal 17 Desember di Lapangan Karebosi Makassar (dilaksanakan oleh PW DDI Sulsel).
Selain itu, di Pondok Pesantren DDI Mangkoso juga berlangsung berbagai kegiatan, yaitu
Pawai Santri dan Penanaman Pisang Program Gubernur Sulsel (21 Desember), Pertandingan
Soccer Mini Antarpesantren se-Sulsel (25 – 31 Desember), Porseni Madrasah Diniyah
Takmiliyah Awaliyah (MDTA) se-Kabupaten Barru (2 – 3 Januari 2024), Musabaqah Qiraatil
Kutub (MQK) Antarpesantren Tingkat Nasional (5 Januari 2024), Pospenas - Pekan Olah Raga
dan Seni antar Pondok Pesantren DDI Tingkat Nasional (6 – 10 Januari 2024), Peletakan Batu
Pertama Pembangunan Toserba Terpadu dan Penutupan Kegiatan Milad Akbar ke-85 (11
Januari 2024).
Sedangkan di Pondok Pesantren DDI Ujung Lare Pare-Pare juga dilaksanakan kegiatan
rangkaian Milad Akbar ke-85, yaitu Porseni Perguruan Tinggi DDI (22 – 23 Desember), dan
Bedah Kitab Karya Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle (24 Desember). Bedah kitab
tersebut menghadirkan tiga pembicara, yaitu AG.Prof.Dr.H.M. Faried Wadjedy (Majelis
Syuyukh PB DDI/Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso), AG.Prof.Dr.H.Abd. Rahim
Arsyad (Majelis Syuyukh PB DDI/Pimpinan Pondok Pesantren DDI Ujung Lare), dan Drs. K.H.
Alwi Nawawi, M.Pd. (Ketua Majelis Istisyar PB DDI).

Untuk membicarakan kesiapan panitia dalam melaksanakan kegiatan tersebut, khususnya yang
berlangsung di Pondok Pesantren DDI Mangkoso, digelar rapat pada Senin malam (11/12) di
rumah pimpinan pondok. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh pimpinan pondok, ketua
pengurus pesantren, para kepala kampus dan kepala satuan pendidikan, serta ketua panitia setiap
kegiatan yang melaporkan kesiapannya masing-masing, termasuk konsumsi dan akomodasi
peserta.
Dalam laporannya, Herman Tabi selaku ketua panitia Porseni memaparkan bahwa dalam
kegiatan tersebut telah diundang 35 Pondok Pesantren DDI dari seluruh Indonesia. Dari jumlah
itu, 28 pesantren telah menyatakan kesiapannya mengikuti kegiatan, termasuk Pondok
Pesantren DDI dari Jakarta, Kalimantan, dan Papua, dengan jumlah peserta sebanyak 1147 yang
terdiri dari 897 santri dan 250 official. Kegiatan akan dilaksanakan di tiga tempat, yaitu Kampus
1 Mangkoso, Kampus 2 Tonronge, dan Kampus 3 Bululampang. Sementara Ahmad Rasyid
selaku Koordinator Umum Milad Akbar ke-85 meminta agar masing-masing kampus dan
madrasah berbenah dalam menyambut kedatangan kontingen Porseni.
Terkait kesiapan mengikuti kegiatan Semesta DDI, para kepala satuan pendidikan juga
melaporkan bahwa ada seribu santri didampingi seratus pembina siap mengikuti kegiatan di
Lapangan Karebosi Makassar tanggal 17 Desember 2023 dengan menggunakan 35 bus dan
sejumlah kendaraan pribadi.

B. DDI dan Dinamika Politik Praktis


Selama Orde Lama, DDI tak menyatakan afiliasi politik kepada partai tertentu. Anggota DDI
dibebaskan untuk memilih partai apa pun tanpa membawa nama DDI, seperti A.G.H.
Abdurrahman Ambo Dalle yang bergabung ke PSII.[4] Pada masa Orde Baru, sebagian petinggi
DDI masuk ke Golongan Karya atas desakan pemerintah pusat.[5] Pada 1993, kantor pusat DDI
dipindahkan lagi ke Makassar.[3]Namun Dalam bidang kelembagaan organisasi sesuai dengan
Peraturan Dasar (AD/ART) DDI yang pertama pada pasal dua, dinyatakan bahwa: “Badan ini
tidak mencampuri soal-soal politik”. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan posisi kelembagaan
DDI adalah independen dalam arti tidak mengurusi politik praktis, bukan underbauw dari suatu
organisasi politik manapun, sehingga waktu Masyumi didirikan pada tahun 1948 dengan tujuan
utamanya untuk menghimpun kekuatan politik umat Islam. Pada waktu itu DDI tidak melibatkan

38
diri secara organisasi walaupun dikalangan Pimpinan Pusat Masyumi beberapa kali mengajak
bergabung didalamnya.
Ketentuan pasal dua ini dalam Muktamar III DDI tahun 1950 di Makassar dihilangkan, namun
secara moral dikalangan pendiri dan warga DDI nilai kerohaniaan itu tetap dipertahankan dengan
pembatasan diarahkan kepada Ketua Umum sebagai desition maker organisasi dan ini pun
dihapuskan pula dalam Muktamar DDI Ke-15 pada tahun 1989 karena berbagai faktor yang
bersifat darurat sehingga KH.Abd. Rahman Ambo Dalle masuk pada kekuatan politik Golkar.
Dan ketika Ketua Umum Pengurus Besar DDI (H. Abd. Muiz Kabry) diajak kalangan PKB (KH.
Abd.Rahman Wahid atau Gusdur) untuk duduk pada salah satu ketua DPP PKB pada 2000/2001
maupun ke-ketua-an di wilayah PKB Sulsel belum menerimanya demi menjaga keutuhan dan
kematangan warga DDI dalam menerima realitas politik dan keadaannya belum pada tingkat
darurat, walau larangan formal secara institusi DDI tidak ada lagi.
Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) dalam pertumbuhannya berbeda dengan kelaziman organisasi
yang ada secara umum, sebab DDI benar-benar tumbuh dari akar rumput masyarakat yang ada
dipedesaan, sehingga pedesaan adalah basis terkuat bagi DDI, dan dari desa inilah tumbuh
berkembang ke kota-kota. Hal ini dapat dilihat di seluruh pelosok pedesaan Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jambi, Riau dan daerah-daerah
lainnya. Hal ini disebabkan karena dari awal keberadaannya di suatu daerah pada dekade 1947
dan MAI sebelum itu (1938) yang menjadi mediator pengembangan terfokus pada
pengembangan dakwah, kemudian follow up-nya mendirikan madrasah yang berlangsung
sampai 1998 melalui Muktamar DDI ke-17 di Makassar dengan secara komprehensip
digandengkan dengan pola umum yang berlaku yakni pendirian DDI dilakukan pula sesuai
struktur sistem pemerintahan dengan tidak wajib setelah ada madrasah/sekolah.
DDI memiliki keterlibatan dalam politik praktis, baik di tingkat nasional maupun daerah. Peran
DDI dalam politik akan dianalisis dengan fokus pada bagaimana organisasi ini memengaruhi
dinamika politik di Indonesia.

39
BAB VIII
Visi dan Misi DDI

Visi DDI (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) adalah "Menjadi lembaga dakwah yang unggul
dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin di Indonesia dan dunia."

Misi DDI adalah sebagai berikut:

1. Menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin: DDI bertujuan untuk menyebarkan
ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan kebaikan bagi seluruh
umat manusia. DDI berkomitmen untuk menyebarkan pesan-pesan Islam yang damai dan
toleran, serta mempromosikan kerukunan antarumat beragama.

2. Membangun umat yang berakhlak mulia: DDI berusaha untuk membentuk umat Islam yang
memiliki akhlak yang mulia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. DDI memberikan
pendidikan dan pelatihan kepada umat Islam agar dapat menjadi teladan yang baik dalam
masyarakat.

3. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan agama: DDI berupaya untuk meningkatkan


pemahaman dan pengetahuan agama Islam di kalangan umat Islam. DDI menyelenggarakan
berbagai kegiatan pendidikan, seperti ceramah, kajian, dan pelatihan, guna meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan agama Islam.

4. Membangun lembaga dakwah yang profesional: DDI berkomitmen untuk menjadi lembaga
dakwah yang profesional dalam menyebarkan ajaran Islam. DDI mengutamakan kualitas dan
keberlanjutan dalam setiap kegiatan dakwah yang dilakukan. DDI juga berusaha untuk
meningkatkan kompetensi dan kapasitas para dai dan kader dakwah.

5. Membangun kerjasama dengan lembaga dan organisasi lain: DDI berupaya untuk membangun
kerjasama dengan lembaga dan organisasi lain, baik di dalam maupun di luar negeri, guna
memperluas jangkauan dakwah Islam. DDI juga berpartisipasi dalam berbagai forum dan
kegiatan yang berkaitan dengan dakwah Islam.

6. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar: DDI juga memiliki misi untuk
membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi. DDI melakukan berbagai program sosial dan kemanusiaan guna membantu masyarakat
yang membutuhkan.

Dengan visi dan misi tersebut, DDI berharap dapat memberikan kontribusi yang signifikan
dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin dan membangun umat Islam yang
berakhlak mulia di Indonesia dan dunia. DDI juga berkomitmen untuk terus meningkatkan
kualitas dan keberlanjutan dalam setiap kegiatan dakwah yang dilakukan.

Visi Misi DDI di Bidang Pendidikan

Pendahuluan

Dalam era globalisasi ini, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan suatu negara. Pendidikan yang berkualitas akan mampu menciptakan sumber daya
manusia yang unggul dan mampu bersaing di tingkat global. Dalam hal ini, Dewan Dunia Islam
(DDI) memiliki visi dan misi yang jelas dalam mengembangkan pendidikan di dunia Islam.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai visi dan misi DDI di bidang pendidikan.

40
Visi DDI di Bidang Pendidikan

Visi DDI di bidang pendidikan adalah menciptakan masyarakat Muslim yang


berpendidikan tinggi, berakhlak mulia, dan mampu berkontribusi dalam pembangunan dunia.
DDI berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di dunia Islam dengan
mengedepankan nilai-nilai Islam yang universal. Visi ini bertujuan untuk menciptakan generasi
Muslim yang memiliki pengetahuan yang luas, keterampilan yang tinggi, dan moral yang baik.

Misi DDI di Bidang Pendidikan

1. Meningkatkan Akses Pendidikan

DDI berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan bagi semua masyarakat Muslim,
terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau kurang mampu. DDI akan bekerja sama
dengan pemerintah dan lembaga pendidikan untuk membangun infrastruktur pendidikan yang
memadai dan menyediakan beasiswa bagi siswa yang berprestasi namun kurang mampu secara
finansial.

2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan

DDI akan berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di dunia Islam. DDI akan
memberikan pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru-guru agar mereka dapat
memberikan pendidikan yang berkualitas. Selain itu, DDI juga akan mendukung penelitian dan
pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Muslim.

3. Mempromosikan Pendidikan Islam yang Moderat

DDI akan mempromosikan pendidikan Islam yang moderat dan inklusif. DDI akan bekerja sama
dengan lembaga pendidikan Islam untuk mengembangkan kurikulum yang mengajarkan nilai-
nilai Islam yang toleran, menghormati perbedaan, dan mendorong dialog antaragama. DDI juga
akan mendukung penelitian dan pengembangan dalam bidang studi Islam yang mengedepankan
pemahaman yang moderat dan kontekstual.

4. Mendorong Inovasi Pendidikan

DDI akan mendorong inovasi dalam pendidikan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi. DDI akan mendukung pengembangan platform pembelajaran online yang dapat
diakses oleh semua masyarakat Muslim di seluruh dunia. DDI juga akan mendukung
pengembangan program pendidikan yang mengintegrasikan teknologi dalam proses
pembelajaran.

5. Membangun Jaringan Kerjasama

DDI akan membangun jaringan kerjasama dengan lembaga pendidikan, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk meningkatkan pendidikan di dunia Islam. DDI akan bekerja sama
dengan lembaga pendidikan terkemuka untuk memperluas akses pendidikan dan meningkatkan
kualitas pendidikan. DDI juga akan bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi internasional
untuk mendapatkan dukungan dan sumber daya yang diperlukan dalam mengembangkan
pendidikan di dunia Islam.

Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di dunia Islam. DDI berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan,
meningkatkan kualitas pendidikan, mempromosikan pendidikan Islam yang moderat, mendorong
inovasi pendidikan, dan membangun jaringan kerjasama. Dengan visi dan misi ini, DDI berharap

41
dapat menciptakan generasi Muslim yang berpendidikan tinggi, berakhlak mulia, dan mampu
berkontribusi dalam pembangunan dunia.

Visi dan Misi DDI di Bidang Dakwah

Pendahuluan

Dakwah merupakan salah satu aspek penting dalam agama Islam. Dakwah memiliki
peran yang sangat strategis dalam menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia. Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) merupakan salah satu organisasi yang berperan dalam
mengembangkan dakwah di Indonesia. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai visi dan misi
DDI di bidang dakwah.

Visi DDI di Bidang Dakwah

Visi DDI di bidang dakwah adalah menjadi lembaga dakwah yang unggul, profesional,
dan berdaya saing dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. DDI memiliki visi
untuk menjadi lembaga dakwah yang mampu menginspirasi dan memberikan pemahaman yang
benar tentang Islam kepada umat manusia, serta mampu menjawab tantangan zaman dengan
pendekatan yang relevan dan kontekstual.

Misi DDI di Bidang Dakwah

1. Menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin


DDI memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin kepada seluruh
umat manusia. DDI berkomitmen untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang mengedepankan
nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan perdamaian kepada umat manusia.

2. Membangun kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Islam


DDI memiliki misi untuk membangun kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Islam di
kalangan umat Islam maupun non-Muslim. DDI berupaya untuk memberikan pemahaman yang
benar tentang ajaran Islam, sehingga umat Islam dapat menjalankan agama dengan baik dan non-
Muslim dapat memahami Islam dengan benar.

3. Mengembangkan kader dakwah yang berkualitas


DDI memiliki misi untuk mengembangkan kader dakwah yang berkualitas. DDI berupaya untuk
melahirkan generasi muda yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam, serta memiliki
kemampuan dalam berdakwah dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual.

4. Membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya


DDI memiliki misi untuk membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya, baik di dalam
maupun di luar negeri. DDI menyadari bahwa dakwah tidak dapat dilakukan secara sendiri-
sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya untuk mencapai
tujuan yang lebih besar.

5. Menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual


DDI memiliki misi untuk menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang relevan dan
kontekstual. DDI berupaya untuk menghadirkan ajaran Islam dalam konteks kehidupan modern,
sehingga dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat pada zaman ini.

42
Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang dakwah adalah menjadi lembaga dakwah yang unggul,
profesional, dan berdaya saing dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. DDI
memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin, membangun kesadaran
dan pemahaman yang benar tentang Islam, mengembangkan kader dakwah yang berkualitas,
membangun kerjasama dengan lembaga dakwah lainnya, serta menjawab tantangan zaman
dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual. Dengan visi dan misi ini, DDI diharapkan
dapat berperan aktif dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat.

Visi Misi DDI di Bidang Usaha Sosial

Pendahuluan

Dalam era globalisasi ini, permasalahan sosial semakin kompleks dan membutuhkan
solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan sosial adalah melalui usaha sosial. Usaha sosial merupakan bentuk
usaha yang memiliki tujuan ganda, yaitu mencapai keuntungan finansial sekaligus memberikan
dampak sosial yang positif bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, DDI (Dunia Dalam Iman) adalah salah satu organisasi yang memiliki visi dan
misi yang kuat di bidang usaha sosial. DDI merupakan organisasi non-profit yang berfokus pada
pengembangan usaha sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Visi DDI di Bidang Usaha Sosial

Visi DDI di bidang usaha sosial adalah menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan
berkelanjutan melalui pengembangan usaha sosial yang inovatif dan berdampak positif. DDI
berkomitmen untuk menjadi pemimpin dalam mengembangkan dan mempromosikan usaha
sosial sebagai solusi untuk permasalahan sosial yang ada.

Misi DDI di Bidang Usaha Sosial

1. Mengidentifikasi permasalahan sosial yang membutuhkan solusi inovatif


DDI memiliki misi untuk mengidentifikasi permasalahan sosial yang membutuhkan solusi
inovatif melalui usaha sosial. DDI melakukan riset dan analisis mendalam untuk memahami akar
permasalahan sosial dan mencari solusi yang tepat.

2. Mengembangkan dan mempromosikan model usaha sosial yang berkelanjutan


DDI berkomitmen untuk mengembangkan dan mempromosikan model usaha sosial yang
berkelanjutan. DDI bekerja sama dengan mitra dan pemangku kepentingan untuk
mengembangkan model usaha sosial yang dapat memberikan dampak sosial yang positif
sekaligus mencapai keuntungan finansial yang berkelanjutan.

3. Memberikan pendampingan dan pelatihan kepada pengusaha sosial


DDI memberikan pendampingan dan pelatihan kepada pengusaha sosial untuk membantu
mereka mengembangkan usaha sosial mereka. DDI memberikan bimbingan dalam hal
manajemen usaha, pemasaran, keuangan, dan pengukuran dampak sosial. DDI juga membantu
pengusaha sosial dalam mengakses sumber daya dan jaringan yang dapat mendukung
pertumbuhan usaha mereka.

43
4. Mendorong kolaborasi dan kemitraan
DDI mendorong kolaborasi dan kemitraan antara pengusaha sosial, pemerintah, sektor swasta,
dan organisasi non-profit lainnya. DDI percaya bahwa kolaborasi dan kemitraan adalah kunci
untuk mencapai dampak sosial yang lebih besar. DDI juga berperan sebagai penghubung antara
pengusaha sosial dan pemangku kepentingan lainnya untuk memfasilitasi pertukaran
pengetahuan dan pengalaman.

5. Mengukur dan melaporkan dampak sosial


DDI mengukur dan melaporkan dampak sosial yang dihasilkan oleh usaha sosial yang
didukungnya. DDI menggunakan metode dan indikator yang valid dan dapat diukur untuk
mengevaluasi dampak sosial yang dicapai. DDI juga berkomitmen untuk transparansi dalam
melaporkan hasil dan belajar dari pengalaman untuk meningkatkan efektivitas usaha sosial di
masa depan.

Kesimpulan

Visi dan misi DDI di bidang usaha sosial menunjukkan komitmen organisasi untuk menciptakan
perubahan sosial yang positif melalui pengembangan usaha sosial. DDI berperan sebagai
pemimpin dalam mengembangkan dan mempromosikan usaha sosial sebagai solusi untuk
permasalahan sosial yang ada. Melalui pendampingan, pelatihan, kolaborasi, dan pengukuran
dampak sosial, DDI berusaha untuk mencapai visi mereka dalam menciptakan masyarakat yang
adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

44
BAB IX
Pedoman Hidup DDI

A. Pentingnya Pedoman Hidup

tidak dapat dihindari dalam era multikulturalisme membawa dampak Yang kecil dalam tatanan
nilai dan Pedoman hidup bagi warga DDI ini dimaksudkan untuk menjadi pola dasar bagi
pengembangan diri dan kepribadian warga DDI, sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai
makhluk sosisal kolektif menuju terwujudnya masyarakat sekarang yang dicita-citakan.
Hal ini penting, krena dalam dinamika dan problematika kehidupan masyarakat sekarang
ini semakin dibutuhkan adanya pedoman dasar sebagai arah dan acuan dalam hidup dan
kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu dan memahami dan menjabarkan keyakinan
hidup islami yang difahami oleh DDI, demikian juga dalam konteks kehidupan berkeluarga,
bermasyarkat, berorganisasi dan bernegara.
Tidak dapat dipungkiri, perubahan sosisal-politik dalam kehidupan nasional saat ini
menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sudah barang
akan tentu akan mempengaruhi kehidupan warga DDI, secara individu maupun kolektif.
Demikian halnya dengan perubahan tata nilai dan budaya masyarakat yang akhir-akhir ini
cenderung lebih pragmatis, ,materialistis dan hedonistis, serta penetrasi budaya asing yang
kehidupan masyarakat sekarang ini. Warga DDI sebagai bagian dari masyrarakat tersebut, oleh
karenanya kebutuhan akan nilai-nilai yang dapat menjadi patron sekaligus kontrol diri dan
masyarakat mejadi hal yang urgen. Pada sis inilah rumusan tentenag pedoman hidup sangat
dibutuhlan.

B. Landasan dan Sumber Pedoman Hidup


Islam adalah agama yang mengatur hidup seseorang dan masyarakat pada semua tempat
dan waktu, oleh karena itu, Islam mengandung ajararan-ajaran yang tidak dapat diragukan
kebenarannya sebagai pedoman bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dan
kehidupan sesudahnya, dua bentuk kehidupan yang satu dengan yang lain salin berhubungan.
Oleh karena itu, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan
dibebani dengan dua tugas, yaitu tugas keduniawian, untuk memakmutkan dunia dengan cara
mengelola sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk manusia, serta tugas keagamaan
melaksanakan amanah, dengan menegakkan aturan dan hukum-hukum Tuhan di bumi.
Dalam melaksanakan kedua tugas tersebut, manusia membutuhkan acuan dan pedoman
hidup sebagai sumber tata nilai dan aturan yang akan mengatur kehidupan umat manusia. Untuk
itu, Allah SAW., untuk membawa aturan san sumber tata nilai tersebut, yaitu Al-Qur’an. Al-
Qur’an mwrupakan sebuah kitab yang berisi tentang prinsip-prinsip dan seruan moral, bukan
dokumen hukum. Ia memang mengandung beberapa pernyataan-pernyataan hukum yang
penting, sebagai respon terhadap persoalan dan proses pembinaan masyarakat di kota Madinah.
Fazlurrahman menyebutkan, bahwa berdasarakan hakikat wahyunya yang sebenarnya, al-
Qur’an bukanlah suatu “kitab” dalam pengertian umum istilah terebut, sebab al-Qur’an tidak
pernah diformulasikan sebagai suatu keseluruhan yang berkait. Tetapi ia di wahyukan kepad
Nabi Muhammad SAW. Secara berangsur-angsur selaras dengan kebutuhan situasi-situasi.
( Fazlurrahman, 1990: 55).

45
Ini berarti, pewahyuan total pada satu waktu adalah mustahil, berdasarkan kenyataan
sesungguhnya bahqa al-Qur’anharus turun sebagai petunjuk bagi kaum muslimin dari waktu ke
waktu selaras dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
Oleh karena itu, dalam upaya memahami pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang
isinya dari awal hingga akhirselalu memberikan tekanan pada nilai-nilai moral sebagai acauan
tindakan yang penting bagi manusia dan perbaikannya, maka kaitan aspek historisitas kehadiran
wahyu tersebut, terutama aktivitas Nabi sendiri dan perjuangannya selama kurang lebih duapuluh
tiga tahun dibawa bimbingan al-Qur’an demikian juga dengan adat-istiadat, pranata-pranata dan
pandangan hidup masyarakat Arab pada umumnya, menjadi hal yang perlu untuk dikaji.
Dari sini dapat difahami, bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat
Islam, mestinya diletakkan sebagai sumber tata nilai yang dapat dibaca dan difahami oleh
masyarakat muslim sebagai acuan dalam konteks waktu dan situasi yang tidak terbatas dengan
merujuk pada realitas dan konteks pewahyuan al-Qur’an itu sendiri. Inilah mungkin makna
nasehat orang itu Muhammad Iqbal yang mengingatkan Iqbal agar membaca al-Qur’an itu turun
pada dirinya sendir ( Saiful Jihad, 1997: 56.)
Selama Nabi Muhammad masih hidup, maka dialah yang menjadi pembimbing dan acuan
pemahaman atas tata nilai bagi kaum muslimin, baik beliau sebagai pembawa risalah wahyu,
ataupun pandangan dan sikap beliau sebagai refleksi dari pemahaman dan pemaknaan atas
wahyu itu sendiri. Namun dengan wafatnya Beliu, maka para Sahabat Tabi’in dan Ulama-ulama
sebagai Waratstu al Anbiyat memberikan pandangan dan penjelasan tentang al-Qur’an sebagai
sumber nilai berdasarkan pemahaman dan pengertian mereka atas pelajaran yang mereka terima
dan Nabi, sebagai satu-satunya warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW:
Dengan demikian, setelah al-Qur’an maka sumber tata nilai dan padangan hidup umat
islam selanjutnya adalah pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW., baik yang difahami
lewat ucapan, perbuatan ataupun sikap Beliau sebagai refleksi dan pencerminan dari moralitas
al-Qur’an, Kana Khuluqu al-Qur’an, kata ‘Aisyah. ( H.R Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah )
Meski demikian, Rasulullah sendiri kecuali pada persoalan-persoalan ‘ubudiyah
memberikan keluasan dan kesempatan umat Islam untuk menata dan mengatur hidup
keduniawian mereka sesuai dengan nilai dan padangan yang dipandang dapat menciptakan
kemaslahatan umat.
Antum a’lamu bi umuri dunyakum ( al Hadits )
Artinya, Nabi saw memberikan peluang kepada Umat islam dalam mengupayakan
kesejahteraan dan kemaslahatan hidup dengan mengacu pada tata nilai yang ada dan hidup dalam
masyarakat selama tata nilai tersebut mengandung kebaikan dan kemaslahatan bagi umat
manusia, yang secara subtansial tidak bertentangan dengan nilai dan pandangan al-Qur’an dsn
Sunnah Rasulullah.
Peluang di atas merupakan tutunan dan kebutuhan yang mesti repon oleh umat Islam
dalam menyikapi perkembangan masyarakat yang dinamis. Untuk itu, ketika Mu’az bin Jabal
ditanya oleh Rasulullah tentang sumber dam tatacara Mu’az dalam memutuskan persoalan, lalu
Mu’az menjawab bahwa jika tidak ada dalam al-Qur’an ataupun dalam al-Sunnah ketetapan
hukum persoalan tersebut, dia akan menetapkannya bredasarkan tata nilai yang difahami dan
mengandung kebaikan serta kemaslahatan oleh Mu’az sendiri. Mendengar jawaban Mu’az
Rasulullah menyatakan kesyukurannya. ( H.R Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, dapat difahami, bahwa setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, sumber tata
nilai dan pandangan hidup umat Islam selanjutnya adalah hasil ijtihadi para Sahabat, Tabi’in,
Tabit Tabi’in, para Ulama Mujtahid yang datang silih berganti memberikan pemahaman dan
penjelasan tentang berbagai persoalan keagamaan, sosial dan kemasyarakatan umat Islam yang
terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban umat manusia.

46
C. Pedoman Hidup Warga DDI
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul, sebagai hidayah dan rahmat
Allah bagi ummat manusia sepanjang masa, duniawy dan ukhrawy.
Agama islam, yakni Agama Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai
Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnag
Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larang-larangan, dan petunjuk-petunjuk
untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran bersufat menyeluruh yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan yang meliputi bidang-bidang aqidah, akhlak,
ibadah mahdah dan muamalah.
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah:
“Islam ialah agama semua Nabi-nabi” ( Q.S 4: 125 )
“Islam adalah yang sesuai dengan fitrah manusia” ( Q.S 2: 136 )
“Islam ialah agama yang menjadi petunjuk bagi manusia” ( Q.S 30: 30 )
“Islam juga merupakan agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dan sesama” ( Q.S 2: 185 )
“Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam” ( Q.S 3: 112 )
“Islam satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah” ( Q.S 21: 107 )
“Dan islam adalah agama yang sempurna” ( Q.S 3: 19 )
“Dengan pengalaman Islam sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia
muslimin yang memiliki sifat-sifat utama”;
(a). Kepribadian muslim
(b). Kepribadian mukmin
(c). Kepribadian muhsin dalam arti berkhlaq karimah
(d). Kepribadia muttaqin
Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan
menyeluruh itu maka bagi segenap warga DDI merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk
melaksanakan dan mengamalakan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktekkan
hidup Islami Dalam Lindungan sendiri sebelum mendakwahkan Islam kepada pihak lain. DDI
sebagai Gerakan Islam maupun sebagai kaum muslim warga DDI benar-benar dituntut
keteladanannya dalam mengamalkan Islam diberbagai lingkup kehidupan, sehingga DDI secara
kelembagaan dan orang-orang DDI secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku dakwah
menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan dimuka bumu ini.

1. Kehidupan Individu
a. Dalam Aqidah
Setiap warga DDI harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid
kepada Allah SWT. ( Q.S 112: 1-4 ) yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukan sehingga
terpencar sebagai I’bad al-Rahman.

47
b. Dalam Akhlak
Setiap Warga DDI dalam melakukan amal kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan
kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal shaleh dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku
riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya’, dan kemungkaran.
Setiap Warga DDI dimanapun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam
kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi, serta
praktek-praktek buruk lainnya yang merugikan dalam kehidupan di dunia ini.
c. Dalam Ibadah ( Mahdah )
Setiap warga DDI dituntut untuk senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah
terbentuknya pribadi yang muttaqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari
jiwa/nafsu yang buruk sehingga terpencer kepribadian yang shaleh yang menghadirkan
kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.
Setiap warga DDI melaksanakan ibadah mahdah dengan sebaik-baiknya dan
menghidup suburkan amal nawafi ( ibadah sunnah ) sesuai dengan tuntunan Rasulullah, serta
menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal yang shaleh yang tulus,
sehingga tercermin dalam kepribadian dan tingkah laku terpuci.
d. Dalam Mua’amalah
setiap warga DDI harus selalu mwnyadari dirinya sebagai abdi (Q.S Al-Baqarah/21)
(Dan khalifah di muka bumi ini),( Q.S Al-Maidah/56) Sehingga memandang dan menyikapi
kehidupan dunia secara aktif dan positif.
Setiap warga DDI senantiasa berfikir secara burhani, bayani, dan irfani yang
mencerminkan cara berfikir yang islami, yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran
maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi hablumminallah dan
hablumminannas serta mashlahat bagi kehidupan umat manusia(Q.S Ali Imran/112).
Setiap warga DDI harus mempunyai etos kerja islami, seperti: kerjs keras, disiplin, tidak
menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai satu tujuan.

2. Kehidupan Dalam Keluarga


Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi
nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, karena itu menjadi kewajiban setiap warga DDI
untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang Sakinah Mawaddah dan Warohmah yang dikenal
dengan keluarga sakinah.
0leh karena itu, keluarga-keluarga dalam lingkungan DDI dituntut untuk benar-benar dapat
mewujudkan kehidupan sakinah sebagai upaya untuk menciptakan komunitas masyarakat yang
baik sesuai dengan tuntutan dan ajaran islam.
Keluarga-keluarga dalam lingkungan DDI perlu di fungsikan selain untuk
mensosialisasikan nilai-nilai ajaran islam, juga untuk melaksanakan fungsi kaderasasi sehingga
anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim DDI yang dapa menjadi pelangsung dan
penyempurna gerakan dakwah dikemudian hari
Keluarga-keluarga dalam lingkungan DDI dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam
mempraktekkan kehidupan yang islamih, yakni tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan
ma`ruf

48
(Q.S.4:19,36,128,17:23; dan 31:14)
ARTINYA:Saling menyayangi dan mengasihi (Q.S 30:21).menghomati hak hidup anak
(Q.S.6:651,17:31)
ARTINYA:Saling menghormati dan menghargai antar anggota keluarga,memberikan pendidikan
ahklak yang mulia secara paripurna
Di tengah arus zaman media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, keluarga
keluarga di lingkungan DDI kian di tuntut perhatian dan kesungguhan dalam mendidik anak
anak dan menciptakaan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh negatif dan
terciptanya suasana pendidikan keluarga yang positif sesuai dengan nilai nilai ajaran islam.
Keluarga keluarga di lingkungan DDI di tuntut keteladanannya untuk menunjukkan
penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak anak dan perimpuan serta menjauhkan
diri dari praktek praktek kekerasan terhadap anggota keluarga dan penelantaran kehidupan
keluarga.
Keluarga-keluarga dilingkungan DDI perlu memiliki kepedulian sosial dan membangun
hubungan sosial yang ihsan, ishlah, dan ma’ruf dengan tetangga-tetangga sekitar, anak-anak
tumbuh menjadi generasi muslim DDI yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna
gerakan dakwah di kemudian hari.
Keluarga-keluarga dalam lingkungan DDI dituntut keteladanan ( uswah hasanah) dalam
mempraktekkan kehidupan yang islami, yakni tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan
ma’ruf.
Q.S 4: 19, 36, 128; 17: 23: dan 31: 14)
Saling menyayangi dan mengasihi (Q.S 30/21)
Ditengah arus zaman media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, keluarga-
keluarga di lingkungan DDI di tuntut perhatian dan kesungguhannya dalam mendidik anak-anak
dan menciptakan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh negatif dan terciptanya
suasana pendidikan keluarga yang positif sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam.
Keluarga-keluarga di lingkungan DDI dituntut keteladannya untuk menunjukkan
penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak perempuan serta menjauhkan diri
dari praktek-praktek kekerasan terhadap anggota keluarga dan penelantaran kehidupan keluarga.
Keluarga-keluarga dilingkungan DDI perlu memiliki kepedulian sosial dan membangun
hubungan sosial yang ihsan, islah, dan ma’ruf dengan tetangga-tetangga sekitar, maupun dalam
kehidupan sosial.

3. Kehidupan Dalam Bermasyarakat


Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan
sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya, dengan memelihara hak
dan kehormatan, baik kepada sesama muslim maupun dengan non muslim dalam hubungan
ketetanggaan, bahkan islam memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan
sebagai tetangga yang harus dipelihara hak-haknya.
Setiap keluarga dan anggota keluarga DDI harus menunjukkan keteladan dan bersikap
baik kepada tetangga, memelihara kamuliaan dan memuliakan tetangga, bermurah hati kepada
tetangga yang inggin menitipkan barang atau hartanya, menjenguk bila tetangga sakit, mengasihi
tetangga sebagaimana mengasihi keluarga/diri sendiri.

49
Mereka berhak meperoleh hak hak dan kehormatan sebagai tetangga (H.R.Abu dawud
tirmidzi),
Memberikan makanan yang halal dan boleh pulah menerima makanan dari mereka
berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang di
ajarkan agama islam.
Dalam hunungan-hubungan sisial yang lebih luas,aetiap anggota DDI,baiksebagai
individu,maupun jama`ah atau warga(dan jam’iah organisasi) haruslah menunjukkan sikap-sikap
sosial yang didasarkan pada prinsip menjunjung tinnggi nilai kehormatan manusia.
4. kehidupan dalam berbangsa dan bernegara
Warga DDI perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis dalam kehidupan politik
melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud mu’malah sebagiamana dalam bidang
kehidupan lain dengan prinsip etika/akhlah islam dan dengan tujuan membangun masyarakat
islam yang sebenarnya.
Beberapa prinsip dalam berpolitik harus di tegakkan dengan sejujur-jujurnya dan
sesungguh-sungguhnya, yaitu menunaikan amanat( Qs. 4:58) lihat sebelumnya. Dan tidak boleh
mengkhianati amanat. (Qs. 8:27), menegakkkan keadilan, hukum dan kebenaran ( Qs. 4: 58).
Ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah allah dan rasul. Memelihara
hubungan baik antara pemimpin dan warga, memelihara keselamatan umum, hidup
berdampingan dengan baik dan damai, tidak melakukan fasad dan kemungkaran,mementingkan
ukhuwah islamiyah.
Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada
Allah dan islah serta ihsan kepada sesama,dan tidak mengorbangkan kepentingan yang lebih luas
dan umum (utama) demi kepentingan diri sendiri atau kelompok.
Para politisi DDI berkewajiban menunjukkan keteladanan diri (uswah al hasanah) yang
jujur,benar,dan adil serta menjauhkan diri dari perilaku politik yang kotor,membawa
fitnah,fasad,dan hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok.
Berpolitik dengan kesalehan,sikap positif,dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya
masyarakat islam yang sebenar benarnya,dengan fungsi amar ma`ruf nahi mungkar yang
tersistem dalam satu kesatuan imamah yang kokoh.
Menggalang silaturahim dan ukhuwah antar politisi dan kekuatan politik yang di motori
oleh politisi DDI secara cerdas dan dewasa.

5. Dalam berorganisasi Kehidupan


Organisasi DDI merupakan amanaat umar yang didirakan dan dirintis oleh Anregurutta
H.Abdurrahman Ambo Dalle beserta ulama sunni lainnnya di sulsel untuk kepentingan
menjungjung tinggi ajaran agama islam,sehungga terwujud masyarakat islam yang sebenarnya,
karena itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban seluruh warga dan organisasi DDI di semua
tingkatan untuk benar benar menjadikan organisasi DDI sebagai wadah perjuangan untuk
mewujudkan cita cita tersebut.
Setiap anggota,kader dan pengurus organisasi DDI berkawajiban
memelihara,melangsungkan dan menyempurnakan gerak dan langkah organisasi dengan penuh
komitmen yang istiqamah,keperibadian yang mulia,wawasan pemikiran dan visi yang
luas,keahlian yang tinggi dan amaliah yang unggul,sehinggah Organisasi DDI menjadi wadah
gerakan islam yang benar benar rahmatan lil-`alamin.

50
Dalam menyelesaikan masalah masalah konflik yang timbul dalam organisasi,hendaknya
mengutamakan prinsip dan cara musyawarah yang mengacu pada peraturan peraturan organisasi
yang memberikan kemaslahatan dan kebaikan, serta menjauhkan tindakan tindakan yang tidak
terpuji dan merugikan kepentingan organisasi,warga dan umat manusia pada umumnya.
Dalam lingkungan organisasi DDI,hendaknya dikembangkan disiplin tepat waktu,baik
dalam penyelenggaran rapat rapat, pertemuan dan kegiatan lainnya sebagai bentuk dari
komitmen dari kegiatan organisasi.

51
BAB X
Pandangan DDI Terhadap Isu-Isu Kontemporer di Era Malenial
A.Pendahuluan
Isu kontemporer adalah sebuah isu yang lahir dan berkembang pada saat berakhirnya perang
dingin pada tahun 1990-an . Isu ini lahir karena bentuk baru suatu ancaman dan pengamanan
yang mengalami transformasi sejak berakhirnya dan biasa disebut dengan new agenda (agenda
baru). Perubahan yang terjadi baik pada skala lokal, nasional dan internasional sangat cepat
terjadi dan menyentuh hampir semua bidang kehidupan adalah perkembangan pesat informasi
komunikasi dan teknologi yang memfasilitasi perubahan-perubahan tersebut sehingga menjadi
massif dan mendalam melalui ICT, batas-batas wilayah geografis sudah tidak berarti lagi karena
manusia dengan teknologi mampu menembus batas-batas tersebut hampir tanda ada halangan.
perubahan-perubahan yang terjadi sedikit banyaknya pasti akan berpengaruh terhadap dunia
pendidikan. paling tidak, ketika sebuah perubahan menjadi berita yang tersebar luaskan.
A. Pandangan DDI Terhadap Gender
kesetaraan gender adalah fenomena kehidupan kita, keseharian kita yang sangat wajar
dan tidak berlebihan. Sebab, manusia baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan sama.
"Sama, asal penciptaan-Nya dan sama pula akibat dari perbuatannya. Apakah itu menunjukkan
keimanannya, ketakwaannya, maupun manfaat mereka dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Jadi, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama . Dalam
Al-Qur'an disebutkan bahwa memang ada beda laki-laki dan perempuan, tetapi (keduanya)
bukan untuk dibeda-bedakan."Masing-masing [perempuan dan laki-laki] memiliki tugas dan
fungsi, sendiri-sendiri. Karena manusia memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Maka harus
ditaati, perbedaan ini. Kesetaraan gender adalah perintah dalam Islam. Artinya, kita tidak bisa
mendiskriminasi satu pihak , kita membela laki-laki juga yang haknya dikalahkan,"
"Seseorang yang berbuat baik, laki-laki dan perempuan sama di sini. Apabila hidupnya baik,
maka menjadi baik,"
B.Bidang Teologi
Istilah “Teologi Islam”, terdiri dari dua term yang memiliki pengertian tersendiri, yakni term
“teologi” dan term “Islam”. Bila kedua term ini, diketahui pengertiannya secara komprehensif,
kemudian dikaitkan antara term satu dengan term lainnya, maka pada gilirannya akan melahirkan
pengertian yang utuh tentang “Teologi Islam” secara akurat dan argumentatif.
Kata teologi yang bergandengan dengan islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-
fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan Manusia. (baca
lengkap di sini)
Mengenai pengertian Islam bila ditinjau dari segi leteral, ia merupakan kata tersusun dari huruf-
huruf s-l-m (‫م‬،‫ل‬،‫ )س‬yang berarti al-Inqiyad (sikap tunduk dan patuh), al-Istislam (sikap berserah
diri) dan al-Ikhlas (sikap ketulusan hati). Kemudian kata ‫ سلم‬tersebut berubah menjadi fi’il śulasy
mazid, yakni aslama, yuslimu, islaman, yang secara leksikal berarti selamat, damai, tunduk dan
sentosa. Jadi, pengertian Islam secara readaksional adalah menyelamatkan, mendamaikan,
menundukkan dan mensejahterakan manusia.
Islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan
penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga intisari yang terkandung
dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah diri, menudukkan diri atau taat sepenuh hati; kedua
masuk dalam al-Salam, yakni selamat sejahterah, damai hubungan yang harmonis. Dalam al-

52
Quran ditegaskan bahwa Islam adalah agama milik Allah (dinullah), Islam adalah agama yang
benar adanya (dinulqayyim), dan Islam adalah agama yang suci (fitrah Allah).
Berdasar pada rumusan pengertian tentang “teologi” dan “Islam”, maka “Teologi Islam” adalah
ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta
menurut perspetif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam
yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat).
Teologi Islam merupakan berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami
bahwa ia identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama, berbicara tentang
kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, termasuk soal wujud-Nya, keesaannya, dan
sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya,
persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya. Ilmu yang
membicarakan mengenai aspek-aspek yang disebutkan ini, disebut Teologi, dan karena
pembicaraannya dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai “Teologi Islam”.
Teologi Islam sebagai suatu disiplin ilmu belumlah dikenal di zaman Nabi saw. Meski demikian,
cikal bakal yang dapat mengarah kepada lahirnya teologi Islam di kemudian hari, telah terdapat
dalam ajaran dasar Islam sendiri.
C.Bidang Kebudayaan
Kebudayaan Islam merupakan bagian integral dari kehidupan umat Muslim di seluruh
dunia. Kebudayaan Islam mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari seni, arsitektur,
bahasa, pakaian, makanan, hingga tata cara ibadah. Kebudayaan Islam tidak hanya
mencerminkan identitas agama, tetapi juga merupakan cerminan dari nilai-nilai yang dijunjung
tinggi dalam ajaran Islam. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang pengertian
kebudayaan Islam dan bagaimana kebudayaan ini memengaruhi kehidupan umat Muslim di
berbagai belahan dunia.
1. Pengaruh Agama Islam dalam Kebudayaan
Kebudayaan Islam tidak dapat dipisahkan dari pengaruh agama Islam itu sendiri. Sejak awal
penyebaran Islam, ajaran-ajaran agama ini telah membentuk pola pikir, perilaku, dan gaya hidup
umat Muslim. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah dalam seni dan arsitektur. Seni
Islam memiliki ciri khas yang unik, dengan dominasi motif geometris dan kaligrafi Arab yang
indah. Begitu pula dengan arsitektur, masjid-masjid yang megah dan istana-istana yang dibangun
umat Muslim memiliki karakteristik yang khas dan mudah dikenali.
2. Aspek-aspek Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari umat Muslim. Salah satunya
adalah dalam tata cara berpakaian. Umat Muslim di berbagai negara memiliki pakaian tradisional
yang mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti hijab bagi wanita dan pakaian yang sopan bagi pria.
Selain itu, kebudayaan Islam juga tercermin dalam tata cara makan. Makanan halal dan thayyib
menjadi prinsip utama dalam tata cara makan umat Muslim, dan hal ini memengaruhi jenis
makanan yang dikonsumsi serta cara memasaknya.
3. Pentingnya Pemahaman Kebudayaan Islam
Pemahaman tentang kebudayaan Islam sangat penting, baik bagi umat Muslim maupun bagi
masyarakat non-Muslim. Bagi umat Muslim, pemahaman tentang kebudayaan Islam dapat
memperkuat identitas keislaman dan memperkokoh keimanan. Sedangkan bagi masyarakat non-
Muslim, pemahaman ini dapat memperluas wawasan tentang keberagaman budaya dan
memperkuat toleransi antar umat beragama.

53
D. Ruang Publik
Ruang publik adalah suatu ruang yang menjembatani antara negara dengan masyarakat
sipil.Ruang ini adalah ruang universal, dimana orang-orang berkumpul untuk mendiskusikan apa
saja yang perlu didiskusikan.
Melalui kontruksi teoritis kita juga harus mengembangkan demokrasi deliberatif. Dalam hal ini
negara kita juga perlu mempertimbangkan model demokrasi deliberatif sebagai alternative
model demokrasi. Ketika pemerintah mengambil kebijakan, maka ia harus memperhatikan
masyarakat, karena jika kebijakan yang diambil kontroversial maka akan segera muncul gerakan
protes, seperti gerakan mahasiswa,LSM, dan organ-organ publik lainnya. Disamping itu juga
media masa berperan menampung opini publik (publisitas) malah justru memproduksi opini
publik sendiri. Lebih ironis lagi, karena dimiliki oleh segelintir orang. Media masa mengarahkan
masyarakat lewat publisitas menuju budaya konsumurisme sebagai penopang kapitalisme.Untuk
itulah, ditengah kompleksitas problematika bangsa, demi mewujudkan masyarakat adil, makmur,
bahagia, dan harmoni kita membutuhkan kerangka baru.
E. Bidang Politik
Politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perumusan dan implementasi kebijakan
publik pemerintah. Berbagai tindakan dalam sistem politik (negara) yang meliputi proses
penentuan tujuan sistem dan pelaksanaan tujuan tersebut. Pada hakikatnya politik merupakan
fenomena terkait manusia yang selalu hidup bermasyarakat. Secara kodrat, ia adalah makhluk
sosial yang selalu dinamis dan berkembang. Karena itu, politik adalah gejala yang terwujud
dalam proses perkembangan manusia.
a.Tujuan Politik
Dikutip dari presentasi berjudul Definisi dan Ruang Lingkup Politik dari Open Course
Ware Universitas Pembangunan Jaya, Tujuan politik adalah Pengelolaan wacana, lembaga dan
pelaksanaannya untuk kehidupan manusia. Selain itu, tujuan politik adalah mengusahakan
kekuasaan sehingga dapat melaksanakan demokrasi dan menerapkan kekuasaan sesuai aturan
hukum, serta melindungi hak dan memastikan kewajiban penyelenggaraan serta warga negara
terlaksana dengan baik.
Contoh Perilaku Politik
Dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran SMAN 9 Garut mata pelajaran PPKn dijelaskan,
contoh perilaku politik meliputi
1. Di lingkungan sekolah
Berpartisipasi dalam pemilihan ketua kelas, ekstrakurikuler, dan OSIS.
Ikut serta dalam penyusunan anggaran dasar dan rumah tangga OSIS serta organisasi dalam
sekolah.
Mengikuti forum diskusi dan musyawarah di sekolah
2. Di lingkungan masyarakat
- Mengikuti forum warga.
- Memberikan suara dalam pemilihan ketua RT, RW, dan organisasi masyarakat lainnya.
- Berpartisipasi dalam pembuatan aturan bagi organisasi masyarakat, koperasi, RT-RW,
LMD.

54
3. Di lingkungan negara
- Ikut pemilu.
- Menyampaikan aspirasi dengan tertib.
A. Tujuan
1. Bagaimana pandangan DDI Terhadap Isu-isu Kontemporer di Era Milenial.
Secara prinsipil islam sama sekali tidak bertentangan dengan isu kontemporer, sebab kedatangan
islam justru untuk menghapuskan segala bentuk disknminasi, perbudakan dan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip humanisme. Justru islam mendukung kemajuan zaman dan upaya
mencerdaskan manusia menjadi lebih baik.
2. Mengetahui arti Isu-isu Kontemporer di Era Milenial.
Isu kontemporer adalah suatu pokok persoalan yang terjadi pada masa sekarang dan menjadi
permasalahan yang masih hangat dibicarakan. Isu kontemporer dapat berkembang karena
banyaknya masalah yang timbul akibat berbagai faktor baik dari internal maupun eksternal.

55
BAB XI
Perkembangan DDI di Era Demokrasi dalam Pemberdayaan
Perempuan
Abstrak
Kaum perempuan di dalam keluarga memiliki kesempatan terlibat dalam sebuah organisasi yang
mendukung kesejahteraan keluarga dan masyarakat sekitar. Peran perempuan khususnya kaum
ibu-ibu berperan penting dalam pemberdayaan ekonomi, salah satunya dengan berwirausaha.
Kesadaran ibu-ibu rumah tangga dalam berwirausaha merupakan modal awal menuju perluasan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan keluarga dan tidak melupakan tanggungjawab
sebagai ibu rumah tangga. Desa Padang lampe telah menggerakkan kaum perempuan melalui
organisasi Majelis Taklim. Saat ini kelompok Majelis Taklim Ummahat DDI di desa
Padanglampe sedang fokus pada kegiatan perintisan ekonomi mandiri yang merupakan mitra
PKM. Hal ini bertujuan untuk mensejahterakan keluarga melalui usaha yang telah direncanakan.
PKM ini bertujuan untuk memberikan pembekalan dan wawasan kepada ibu-ibu Majelis Taklim
Ummahat DDI Padang Lampe tentang perlunya pemberdayaan kelompok dalam meningkatkan
pendapatan keluarga. Metode PKM yang dilakukan adalah dengan memberikan materi teori dan
pelatihan pencatatan akuntansi sederhana, serta diskusi tentang kegiatan-kegiatan pembuatan
varian produk baru, bagi kelompok yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hasil yang
diperoleh dari PKM ini adalah peserta ibu-ibu Majelis Taklim Ummahat yang hadir sekitar 20
orang, semua antusias dalam mengikuti kegiatan pelatihan pencatatan akuntansi sederhana, serta
diskusi pembuatan produk varian baru, berjalan dengan baik untuk mendapatkan teori dan
pemahaman cara-cara pemberdayaan kelompok yang dapan menghidupi kelompoknya serta
dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Setelah mengikuti kegiatan ini Ibu-Ibu Majelis Taklim
sudah melakukan aktivitas bisnis yang dilakukan bersama. Jadi tidak hanya aktivitas yang
bersifat sosial tetapi juga aktivitas yang dapat menghasilkan atau meningkatkan pendapatan
keluarga.
Kata Kunci: Pemberdayaan Ekonomi;, Wirausaha;, Ekonomi Mandiri;.
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan teknologi sekarang ini dituntut adanya peningkatan sumberdaya
manusia yang dapat mengatasi permasalah yang semakin kompleks dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan hanya masyarakat di perkotaan dituntut mengembangkan diri tetapi masyarakat di Desa
perlu membekali diri mengahadapi era teknologi yang semakin maju, disinilah dibutuhkan fungsi
keluarga secara terpadu, seperti fungsi Pendidikan, fungsi ekonomi atau usaha, fungsi sosial
budaya, fungsi lingkungan dan fungsi lainnya yang perlu dibangun di masyarakat. Penguatan
fungsi ini tentunya diharapkan supaya setiap kelompok dalam suatu masyarakat dapat lebih
madiri, sejahtera dan mampu menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Salah satu
amanah dari undang-undang desa (UU No. 6 tahun 2014) adalah pembedayaan masyarakat desa
yaitu upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku serta pemanfaatan sumberdaya melalui kegiatan
atau program yang sesuai dan esensi kebutuhan yang ada di desa. Pemberdayaan masyarakat
yang baik seharusnya mampu mengakomodir berbagai aspek yang berkembang dan dibutuhkan
masyarakat.
Salah satu kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan adalah kelompok ibu rumah tangga.
Jika dilakukan pemberdayaan serta pendampingan tentunya tentunya tidak dipungkiri dapat
melakukan kegiatan yang dapat membatu pendapatan keluarga. Sama halnya dengan salah satu
kelompok ibu rumah tangga yaitu Majelis Taklim yaitu

56
kelompok ibu-ibu yang tujuan utamanya adalah membina dan mengembangkan hubungan yang
santun dan serasi antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama dan manusia dengan
lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT. Tujuan
majelis taklim sebenaranya merupakan kelompok sarana dakwah islamiah, yang dapat mengatur
kegiatannya sendiri berdasarkan musyawarak dan mufakat kelompok.
Desa Padanglampe adalah salah satu desa di Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan. Pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat rata-rata seorang petani dan berkebun.
Namun untuk perempuan rata-rata bekerja menjadi ibu rumah
tangga dan pengrajin rumahan. Desa Padanglampe dengan potensi lahan pertanian jeruk pamelo
terbesar di Sulawesi Selatan. Kelompok Majelis Taklim Ummahat DDI Padanglampe merupakan
kelompok keagamaan yang ada disekitar sekolah DDI, hal ini dimaksudkan agar ibu ibu rumah
tangga mempunyai kegiatan dan dapat mengisi waktu luangnya sebagai upaya penguatan
kapasitas masyarakat dalam rangka menaikkan pendapatan keluarga serta kemampuan untuk
berusaha sehingga nantinya kebutuhannya mampu dipenuhi secara mandiri. Regulasi
pemerintah, menegaskan bahwa pembentukan Majelis Taklim yang terdiri dari beberapa
kelompok atau ibu ibu rumah tangga, bertujuan untuk untuk meningkatkan pendapatan keluarga
melalui usaha ekonomi produktif. Ibu rumah tangga disini maksudnya adalah setiap orang atau
warga yang tidak memiliki sumber mata pencaharian dan/atau memiliki sumber mata
pencaharian, namun perlu adanya peningkatan pendapatan keluarga secara layak bagi kehidupan
keluarganya. Sasaran dari PKM ini adalah majelis Taklim Ummahat DDI Padanglampe.
Adanya pembentukan majelis taklim ini mendapat sambutan hangat dari ibu-ibu rumah tangga
yang ada di desa Padanglampe, dengan harapan usaha-usaha yang dilakukan dapat menambah
pendapatan keluarga serta tambahan pengetahuan dari kegiatan kegiatan yang dilakukan yang
bersifat sosial. Sampai saat ini usaha yang dilakukan adalah usaha kue-kue tradisional disamping
kegiatan pada aspek keagamaan. Namun usaha bisnis yang dilakukan kadang tidak aktif lagi
dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah rendahnya pemahaman ibu-ibu majelis
taklim tentang pengelolaan akuntansi pendapatan dan pengembangan usaha, Sehingga sulit
mengetahui berapa sebenarnya pendapatan yang dihasilkan dari usaha bisnis yang dilakukan dan
akhirnya laba tidak jelas untuk dibagi kepada ibu-ibu majelis taklim sebagai pendapatan
keluarga.
Dari gambaran kelompok mitra dan permasalahan yang dihadapi kelompok mitra di atas maka
perlu dikembangkan program pemberdayaan bagi kelompok mitra melalui PKM ini. Oleh karena
itu PKM ini merupakan program pemberdayaan masyarakat peran serta masyarakat. Konsep
pemberdayaan masyarakat yaitu upaya untuk membangun daya dengan mendorong motivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk
mengembangkannya (Ratnawati, Susi, 2011).
Sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi kelompok mitra di atas maka PKM ini akan
melakukan pendampingan bimbingan teknis pengelolaan usaha sehingga dapat meningkatkan
pendapatan keluarga. Kegiatan ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi
Majelis Taklim Ummahad DDI di Desa Padanglampe. Dalam kegiatan PKM ini akan terjadi
transfer pengetahuan, keterampilan dan penguasaan teknologi kepada mitra sehingga mitra
menjadi berdaya atau memiliki kekuatan untuk mengembangkan/membuka usaha lain dengan
tujuan untuk menambah pendapatan. Dengan sentuhan program PKM ini maka kelompok Mitra
akan mampu yaitu 1) Mampu mengelola usahanya 2) menambah pengetahuan ibu-ibu dalam
meningkatkan pendapatan keluarga.

57
METODOLOGI
Metode yang akan dikembangkan dalam PKM ini disesuaikan dengan status kelompok mitra
yang akan didampingi. Metode pelaksanaan dan pendekatan yang akan dikembangkan dalam
kegiatan PKM ini dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi kelompok mitra yaitu Majelis
Taklim Ummahat DDI Padanglampe. Sebelum dilaksanakan kegiatan PKM maka dilakukan
pertemuan dengan kelompok mitra, untuk mengetahui kesiapannya. Dalam pertemuan diuraikan
tentang tujuan program PKM dan manfaat mengikuti program dengan metode bimbingan teknis.
Metode bimbingan teknis ini sangat penting pada anggota kelompok mitra untuk menambah
pengetahuan sehingga terjadi perubahan kognitif. Artinya pola pikir yang diubah terlebih dahulu
untuk memudahkan proses kegiatan PKM selajutnya. Bentuk bimbingan teknis dapat dilakukan
melalui antar personal secara tatap muka. Selain itu bisa dilakukan secara kelompok, atau
melalui media. Metode ini juga sebagai ajang sosialisasi program.
Untuk mencapai target luaran maka metode yang digunakan adalah:
1. Pemaparan materi dengan memakai teknik ceramah interaktif dengan menggunakan
power poin. Adapaun materi yang diberikan adalah pentingnya pemberdayaan keluarga,
pentingnya membangun sistim komunal dalam masyarakat. Hal ini dilakukan suapaya kegiatan
tidak terkesan menggurui tetapi lebih pada sharing informasi sehingga tidak membuat bosan para
ibu, seperti tanya jawab terkait materi, dan demonstrasi yaitu dengan terjun langsung
menerapkan materi yang didapat.
2. Metode pelatihan yang dikembangkan dalam program PKM ini adalah Pelatihan Non
Tehnis, yang akan dikembangkan adalah berhubungan dengan permasalahan kelompok mitra.
Sehubungan dengan itu maka dalam pelatihan non tehnis orientasinya pada administrasi
keuangan kelompok mitra sebagai salah satu masalah yang dihadapi kelompok mitra. Oleh sebab
itu dalam pelatihan non teknis ini maka materi yang disajikan yaitu sebagai berikut:1)
Pengelolaan usaha (pencatatan akuntansi sederhana)/Manajemen keuangan kelompok mitra 2)
Penguatan Kelembagaan kelompok (pembuatan produk varian baru) mitra . Adapun pelaksanaan
pelatihan dengan pendekatan yang dikembangkan adalah Learning by doing artinya belajar
sambil bekerja/berusaha. Hal ini sangat penting karena untuk keberlanjutan usaha yang
dikembangkan dan pengembangan usaha. Pelatihan ini akan dilaksanakan berulang kali untuk
meningkatkan kemampuan ibu ibu majelis taklim dalam pengelolaan usahanya dan pencatatan
hasil usahanya Dalam proses pembejaran dikelompok ini didampingi oleh tim pengabdi.
Kegiatan pembelajaran merupakan dasar ibu-ibu majelis taklim memiliki pengetahuan dalam
pengelolaan usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bagian ini merupakan bagian utama artikel hasil penelitian dan biasanya merupakan bagian
terpanjang dari suatu artikel. Hasil penelitian yang disajikan dalam bagian ini adalah hasil
“bersih”. Proses analisis data seperti perhitungan statistik dan proses pengujian hipotesis tidak
perlu disajikan. Hanya hasil analisis dan hasil pengujian hipotesis saja yang perlu dilaporkan.
Tabel dan grafik dapat digunakan untuk memperjelas penyajian hasil penelitian secara verbal.
Tabel dan grafik harus diberi komentar atau dibahas.
Kegiatan PKM ini terlaksana dengan adanya kerjasama antara mitra majelis Taklim Ummahat
DDI Padanglampe dengan tim pengabdi. Hasil yang akan dicapai dalam PKM ini adalah
diharapkan ibu-ibu majelis taklim Ummat DDI Padanglampe menumbuhkan kemampuan
pemahaman, sikap dan kebiasaan Kerjasama dalam kelompok. Hasil kegiatan dari PKM ini,
lebih lanjut dapat meningkatkan keterampilan ibu-ibu, menambah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan bukan hanya kegiatan sosial tetapi kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan
kelompok dan pada akhirnya menambah pendapatan keluarga. Majelis Taklim DDI Ummahat

58
merupakan kelompok ibu-ibu rumah tangga yang ada di DDI di kecamatan Padang Lampe
Kabupaten Pangkep. Majlis Ta’lim adalah Lembaga Pendidikan Non Formal Islam yang
diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak dan
bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia
dan Allah, manusia dan sesamanya dan manusia dan lingkungannya, dalam rangka membina
masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bila dilihat dari segi tujuannya,majelis ta’lim
termasuk lembaga atau sarana dakwah Islamiah yang secara self standing dan self disciplined
dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya,didalamnya berkembang prinsip
demokrasi yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat demi kelancaran pelaksanaan ta’lim
sesuai dengan tuntutan pesertanya. Majelis ta’lim juga merupakan lembaga pendidikan
masyarakat,yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam itu sendiri yang
kepentingannya untuk kemalahatan umat manusia.Oleh karena itu Majelis Ta’lim adalah
lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada “Ta’awun dan “Ruhama”u
bainahum. Hasbullah (2005) .
Kegiatan yang dilakukan pada PKM ini yang pertama adalah sosialisasi program kepada mitra.
Hasil dari sosialisasi ini terlaksana dengan baik, ini dapat dilihat pada saat kunjungan pertama ke
mitra (majelis taklim DDI Ummat) di Desa Padang Lampe Kabupaten Pangkep, ibu-ibu begitu
antusias menerima tim pengabdi dan adanya interaksi yang baik antara mitra dengan tim
pengabdi. Kunjungan kedua dengan melakukan pelatihan dengan cara belajar sambil bekerja
(Learning by doing). Kegiatan yang dilakukan mitra dilakukan pendampingan, setiap melakukan
kegiatan harus ada pencatatan usaha atau pencatatan sederhana (akuntansi sederhana). Hal ini
penting dilakukan untuk mengetahui berapa modal awal dan berapa keuntungan dari kegiatan
yang dilakukan. Soegoto dkk (2020). Demikian pula setiap kegiatan dilakukan diberikan
penguatan dengan cara inovasi dari variasi produk sesuai dengan ketersediaan bahan baku di
desa, mendiskusikan produk yang cocok dikembangkan oleh ibu-ibu. Dan yang tidak kalah
penting adalah memotivasi ibu-ibu majelis taklim DDI Padang Lampe agar memiliki minat
dalam berwirausaha serta kegiatan yang dilakukan selalu berkelanjutan sehingga hasilnya
maksimal untuk kelompok maupun pribadi ibu-ibu. Dari hasil pelatihan ini menunjukkan hasil
yang maksimal dimana ibu-ibu yang hadir sekitar 20 orang semua aktif dan semangat mengikuti
pelatihan.

Gambar 1. Pelaksanaan Kegiatan

Peran bidang pemberdayaan perempuan salah satu tugas utamanya adalah Peningkatan
ketahanan Keluarga dengan Pemberian keterampilan, untuk peningkatan kesejahteraan melalaui
pelatihan-pelatihan. Rohimi (2020) Pemberdayaan perempuan merupakan suatu upaya
peningkatan kemampuan, keterampilan, dan sikap agar mereka mampu memenuhi kebutuhan
dasar untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak. Program pemberdayaan prempuan yang

59
fokus dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan potensi perempuan untuk menciptakan
kemandirian dalam rangka membantu perekonomian keluarga. Program ini mendorong
perempuan yang ingin ikut serta dalam menopang kebutuhan keluarga dalam meningkatkan
pendapatan keluarga tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Program ini
menekankan pada upaya pengkondisian penumbuhan minat dan motivasi usaha tenaga terampil
bagi anggota keluarga melalui proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan
kelompok.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kegiatan yang dilakukan dengan mitra PKM, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Belum adanya pelatihan-pelatihan mendobrak kewirausahaan mandiri kepada ibu ibu
Majelis Taklim DDI Ummat, program hanyalah hanya bersifat sosial yaitu arisan dan pengajian
saja namun tidak mencakup upaya pelatihan kewirausahaan mandiri.
2. Majelis Taklim DDI Ummat sudah dapat melakukan pencatatan akuntansi sederhana
dalam usahanya, dan menciptakan varian produk baru dari bahan baku desa setempat.
3. Tumbuhnya kesadaran bagi ibu-ibu untuk melakukan kegiatan usaha yang dapat
menambah pendapatan keluarga.
4. Antusias ibu-ibu majelis taklim dalam mengikuti pelatihan walaupun rata-rata sebagai ibu
rumah tangga.
Dari hasil Pengabdian ini, kami menyarankan agar perlunya koordinasi majelis taklim antara
desa dikecamatan Padanglape, dan pemerintah setempat agar setiap kegiatan bisa berbagi ilmu
dan Kerjasama. sehingga tingkat kesejahteraan masing-masing keluarga di Desa dapat meningkat
secara bertahap. Diperlukan pendampingan pelatihan secara berkelanjutan guna monitoring dan
evaluasi terhadap program PKM yang sudah dilaksanakan,sehingga tidak hanya menja pelatihan
satu kali saja namun berkesinambungan.

60
BAB XII
Pandangan DDI Terhadap HAM
Latar Belakang
DDI berakar dari didirikannya Madrasah Arabiyah Islamiyah di Makngkoso pada 21
Desember 1938 oleh A.G.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Sebelumnya, Ambo Dalle bersama
A.G.H. Muhammad As’ad al-Bugisi mendirikan madrasah sejenis di Sengkang pada 1930 yang
kini dikenal sebagai Podok Pesantren As’adiyah. Madrasah binaan Ambo Dalle tersebut
mendapat sambutan luas dari masyarakat Sulawesi Selatan sehingga MAI mulai dibuka di
beberapa daerah di Sulawesi Selatan.
Untuk meningkatkan kinerja MAI-MAI yang sudah menyebar, para petinggi MAI bersepakat
untuk mendirikan organisasi yang memayungi madrasah-madrasah tersebut. Beberapa nama
untuk lembaga baru ini sudah bermunculan, seperti Nashrul Haq dari A.G.H Muhammad Abdul
Pabbajah, al-Urwatul Wutsqa dari A.G.H. Muhammad Tahir Usman, dan Darud Da'wah wal
Irsyad dari A.G.H. Abdurrahman Firdaus yang kemudian terpilih sebagai nama organisasi.
Musyawarah pembentukan DDI diadakan pada 17 Februari 1947 di MAI Mangkoso dengan
mengundang alim ulama dan guru-guru MAI se-Sulawesi Selatan. Hasil dari musyawarah
tersebut berupa struktur pengurus organisasi dengan A.G.H. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai
ketua umum pertama DDI dan A.G.H. Muhammad Daud Ismail sebagai ketua mudanya. Kantor
pusat pertama DDI berada di Mangkoso sebelum kemudian dipindahkan ke Pare-pare pada 1950.
Selama Orde Lama, DDI tak menyatakan afiliasi politik kepada partai tertentu. Anggota DDI
dibebaskan untuk memilih partai apa pun tanpa membawa nama DDI, seperti A.G.H.
Abdurrahman Ambo Dalle yang bergabung ke PSII. Pada masa Orde Baru, sebagian petinggi
DDI masuk ke Golongan Karya atas desakan pemerintah pusat. Pada 1993, kantor pusat DDI
dipindahkan lagi ke Makassar.
Setelah A.G.H. Abdurrahman Ambo Dalle wafat pada 1996, jabatan Ketua Umum Pengurus
Besar Darud Da'wah wal Irsyad (PB DDI) dipegang sementara oleh A.G.H Sanusi Baco. sampai
pada Muktamar DDI berikutnya pada 1999. Pada muktamar tersebut, terjadi ketegangan di antara
peserta muktamar tentang komposisi baru PB DDI. Pihak yang tidak puas membentuk
kepengurusan tandingan dengan nama DDI Ambo Dalle (DDI AD). Perselisihan tersebut baru
diselesaikan pada 28 Februari 2015 saat PB DDI dan DDI AD berikrar islah di hadapan A.G.H.
Alie Yafie.
ada secara praktik keagamaan tergolong sebagai Muslim Tradisionalis seperti Nahdatul Ulama di
Jawa.
Meskipun DDI dan NU merupakan dua organisasi terpisah, sebagian anggota DDI sejak Orde
Baru juga bergabung ke NU atas dasar persamaan aliran. Salah satu tokoh DDI yang juga
berkiprah di NU ialah A.G.H Alie Yafie yang pernah menjabat sebagai Rais Am Syuriah PBNU
pada 1991-1992. Pada 2001, A.G.H Abdul Muis Kabry yang ketika itu menjabat sebagai Ketua
Umum PB DDI bergabung ke PKB atas permintaan Gusdur.
A. Deskripsis Historis Ham
Hak asasi manusia atau lebih di kenal dengan singkatan HAM, telahmenjadi sebuah hak mutlak
yang di miliki oleh manusia semenjak mereka lahir.Pengertian HAM ini memiliki banyak
penafsiran tentang HAM tersebut, tapi yangjelas HAM adalah hak dasar dari manusia yang
mereka bawa sejak mereka lahirdan merupakan anugrah dari Tuhan kepada manusia tersebut
sehingga tidak dapat di ganggu gugat oleh manusia lainnya atau orang lain. Hak-hak tersebut
meliputi:

61
1. Hak Hidup
Hukum islam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak hidup manusia. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan syariat yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa
manusia melalui larangan untuk membunuh dan menetapkan hukuman qishash bagi pelaku
pembunuhan
2. Hak kebebasan beragama
Kebebasan dan kemerdekaan manusia merupakan bagian yang penting dalam islam,
tidak terkecuali kebebasan dalam beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing individu.
Karenanya, Islam sangat melarang adanya tindakan pemaksaan keyakinan agama kepada orang
telah menganut agama tertentu.
3. Hak bekerja dan mendapatkan upah
Bekerja dalam islam tidak hanya dipandang sebagai hak tetapi juga merupakan
kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin.
4. Hak persamaan dan keadilan
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu
kriteria (ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain.
5. Hak kebebasan berpendapat
Islam memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal pikiran mereka
terutama untuk menyatakan pendapat mereka yang benar sesuai dengan batas-batas yang
ditentukan hukum dan norma-norma lainnya.
6. Hak atas jaminan sosial
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup
minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut antara lain “kehidupan fakir miskin harus
diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang punya”.
7. Hak atas harta benda
Dalam ajaran islam hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi. Sesuai dengan martabat,
jaminan dan perlindungan terhadap milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Oleh
karena itu, siapapun juga bahkan penuasa sekalipun, tidak diperbolehkan merampas hak milik
orang lain, kecuali untuk kepentingan umum, menurut tata cara yang telah ditentukan lebih
dahulu.
B. Pandangan Agama-agama Terhadap Ham
Islam sangat menjunjung hak-hak semua umat manusia. Islam tidak hanya menjadikan HAM
sebagai hak asasi manusia, tetapi juga sangat focus pada kemungkinan dan keharusan akan
harmonisasi hukum Islam dan HAM.
HAM dalam hukum Islam bukan saja mengakui hak antar sesama manusia (huququl
ibad) tetapi hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah swt
(huququllah).
Menurut A. Baderin problem yang dihadapi sepanjang perjalanan umat manusia adalah
menghormati posisi manusia sebagai makhluk yang amat mulia. Pro dan kontra dalam
mengimplementasikan Hak Asasi Manusia di kalangan kaum muslimin masih sering terjadi
sampai saat ini.

62
C. Paradigma Teori Ham Versi Barat dan Islam
Islam merupakan Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan
konsep itu muncul lebih dahulu dibanding dengan konsep HAM ala pemikiran Barat.
HAM menurut pandangan barat semata-mata bersifat anthroposentris artinya segala sesuatu
berpusat kepada kepentingan dan kebebasan manusia. Dengan demikian manusia sangat
dipentingkan. Sebaliknya HAM menurut pandangan Islam bersifat theosentris, artinya segala
sesuatu berpusat kepada Allah sebagai Tuhannya.
Karenanya, paradigma HAM ala barat yang jauh dari paradigma agama, tidak bisa dipaksakan
untuk diterapkan di tengah-tengah umat islam yang nilai-nilai HAM selalu bersandar kepada
Allah dan nilai-nilai aturan dalam agama.
D. Moralitas Agama atau Universalitas Nilai
Moralitas Agama adalah sikap manusia berkenaan dengan kepatuhannya terhadap
perintah Tuhan secara langsung, dalam arti manusia mengandaikan Tuhan secara langsung
sebagai pengawas tindakan moral tersebut, sedangkan Universalitas Nilai adalah prinsip atau
standar yang diakui oleh banyak orang di seluruh dunia sebagai dasar bagi tingkah laku yang
baik dan benar.
A. Tujuan
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap Ham
Islam sangat menjunjung hak-hak semua umat manusia. Islam tidak hanya menjadikan
HAM sebagai Hak Asasi Manusia, tetapi juga sangat focus pada kemungkinan dan keharusan
akan harmonisasi hukum Islam dan HAM.
Dalam perspektif islam sebagai mana yang dikonsepsikan Alquran, Hak Asasi Manusia
bersesuaian dengan Hak-hak Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa konsep Hak Asasi
Manusia dalam pandangan islam bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun
merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan dari Allah SWT.
2. Manfaat Ham bagi islam
- HAM adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesenang-wenangan.
- HAM mengembangkan saling menghargai antara manusia
- HAM mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk menjamin
bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar.

63
BAB XIII
Konsep DDI atas Demokrasi dan Civil Society, Pesanteren, DDI

1. Latar belakang masalah


Kesenjangan antara konsep demokrasi dan civil society dengan peran pesantren dan Darud
Da’wah wal irsyad (DDI) menarik perhatian dalam konteks sosial dan politik Indonesia.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan berbasis pada partisipasi rakyat dalam pengambilan
keputusan, sementara civil society mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam proses tersebut.
Namun, dalam konteks Indonesia, pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan Islam
tradisional, seringkali memiliki peran yang signifikan dalam membentuk nilai-nilai sosial dan
politik masyarakat. Di sisi lain, Darud Da’wah wal irsyad (DDI) sebagai organisasi yang
mempromosikan dakwah Islam juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menggerakkan
opini dan memengaruhi pola pikir masyarakat terhadap berbagai isu, termasuk dalam ranah
politik dan demokrasi. Perbincangan yang mendalam mengenai bagaimana pesantren dan DDI
memengaruhi konsep demokrasi serta peran civil society di Indonesia menjadi esensi dalam
memahami dinamika sosial, politik, dan agama dalam konteks bangsa ini.
Konsep civil society, negara, dan demokrasi merupakan bahan diskursus menarik dalam
beberapa dekade belakangan ini. Ketiga konsep ini merupakan elemen yang saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan jika membicarakan kehidupan politik suatu negara. Konsep civil society
atau yang sering disebut masyarakat sipil terkadang dipertentangkan dengan konsep negara. Hal
ini terjadi disebabkan oleh pengaruh rezim yang berkuasa di suatu negara dapat mempengaruhi
kehidupan civil society. Jika rezim yang berkuasa tersebut bersifat otoritarian bahkan totalitarian
maka tidak akan terbentuk civil society, dan dalam suatu negara yang demokratis maka dapat
ditemukan civil society yang diharapkan menjadi penyeimbang kekuasaan negara serta
menjembatani antara negara dan masyarakat.
Secara spesifik, konsep civil society dan demokrasi juga memiliki hubungan yang sangat
erat. Namun hubungan tersebut bersifat dialektis, artinya civil society dan demokrasi saling
mempengaruhi, terkadang demokrasi dapat dijadikan variabel dependen dan disisi yang lain
demokrasi dapat dijadikan variabel independen. Alexis de Tocqueville dalam tulisannya
Democracy in America, menyatakan bahwa civil society merupakan kelompok penyeimbang
kekuatan negara. Kekuatan politik dan masyarakat sipil menjadi kekuatan utama dalam
membentuk demokrasi yang kuat dan bertahan lama di Amerika. Alagappa berargumen bahwa
civil society merupakan variabel kunci yang menjelaskan liberalisasi politik dan transisi menuju
demokrasi serta perkembangan dari civil society menjadi prasyarat dari konsolidasi demokrasi
(Alagappa, 2004). Studi di beberapa negara di Asia, memberikan gambaran bahwa ada hubungan
antara civil society dan demokrasi serta peran civil society organizations dalam mempercepat
terjadinya perubahan politik yang lebih terbuka. Studi tentang civil society dan demokrasi juga
pernah dikaji oleh para sarjana (Fioramonti, L., & Fiori, 2010; Hadiwijoya, 2012; Lidauer, 2012;
Marta, A., Suwaryo, U., Sulaeman, A., & Agustino, 2020; Mavrikos-Adamou, 2010; Mietzner,
2012; Pitidol, 2016; Sommerfeldt, 2013).
Berdasarkan studi yang telah dilakukan tersebut yang lebih banyak menitik beratkan pada
pengalaman empiris negara-negara di dunia dalam mengelola civil society dalam proses
demokratisasi. Sementara itu, yang menjadi kekuatan dan karakteristik kajian ini adalah studi ini
berkontribusi dalam memberikan penjelasan tentang civil society seperti apa yang dapat
mewujudkan consolidated democracy, karena banyaknya asosiasi masyarakat tidak menjamin
terwujudnya demokrasi di suatu negara. Untuk itu, tulisan ini berusaha melihat hubungan antara
civil society, demokrasi dan demokratisasi sehingga dapat dilihat sebagai konsep yang saling
berkaitan dalam aspek teoritis maupun dalam tataran empiris.

64
2. Rumusan masalah
a) Bagaimana konsep demokrasi dan civil society dapat dijelaskan dalam konteks Indonesia,
dan sejauh mana pesantren berperan dalam pembentukan serta pengembangan nilai-nilai
demokratis di dalamnya?
b) Apa peran Darud Da’wah wal irsyad (DDI) dalam mengartikulasikan pandangan
keagamaan terhadap konsep demokrasi, dan bagaimana hal ini mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam ranah politik?
c) Bagaimana dinamika interaksi antara pesantren, DDI, dan masyarakat dalam membentuk
civil society yang responsif terhadap nilai-nilai demokrasi di Indonesia?

PEMBAHASAN
A. Konsep Demokrasi Dan Civil Society Dapat Dijelaskan Dalam Konteks Indonesia
Di konteks Indonesia, konsep demokrasi merujuk pada sistem pemerintahan yang melibatkan
partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Ini mencakup hak untuk
memilih, kebebasan berekspresi, perlindungan hak asasi manusia, serta keadilan dalam hukum.
Sementara civil society mengacu pada jaringan lembaga, organisasi non-pemerintah, dan
kelompok masyarakat yang berperan dalam mengawasi pemerintahan, mendorong partisipasi
masyarakat, serta memperjuangkan isu-isu sosial, politik, dan kemanusiaan. Pesantren, sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki peran yang signifikan dalam membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai demokratis di Indonesia. Mereka bukan hanya pusat pendidikan
agama, tetapi juga seringkali menjadi pusat pengembangan sosial, budaya, dan politik di
masyarakat. Pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga sering menjadi
tempat di mana diskusi tentang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan partisipasi aktif dalam
masyarakat dilakukan.
Pesantren seringkali menjadi tempat di mana para santri tidak hanya mempelajari agama, tetapi
juga mendiskusikan isu-isu sosial dan politik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Para
ulama atau tokoh agama yang terkait dengan pesantren juga memiliki pengaruh yang besar
dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap berbagai isu, termasuk konsep demokrasi.
Mereka sering menjadi pemimpin opini yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak
masyarakat terhadap nilai-nilai demokratis. Namun, peran pesantren dalam pembentukan nilai-
nilai demokratis tidak selalu homogen. Ada variasi besar antara pesantren satu dengan yang
lainnya, tergantung pada pendekatan pendidikan, orientasi agama, dan pengaruh ulama yang
terlibat di dalamnya. Beberapa pesantren mungkin lebih terbuka terhadap ide-ide demokratis dan
mendorong partisipasi aktif dalam masyarakat, sementara yang lain mungkin lebih konservatif
dalam pendekatannya. Dalam keseluruhan, peran pesantren dalam pembentukan dan
pengembangan nilai-nilai demokratis di Indonesia dapat dianggap sebagai bagian penting dari
proses sosialisasi politik dan pembentukan opini masyarakat terhadap konsep-konsep demokrasi
dan civil society.

B. Peran Darud Da’wah wal irsyad (DDI) Dalam Mengartikulasikan Pandangan Keagamaan
Terhadap Konsep Demokrasi, Dan Bagaimana Hal Ini Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Dalam Ranah Politik
Darud Da’wah wal irsyad (DDI) memiliki peran penting dalam mengartikulasikan pandangan
keagamaan terhadap konsep demokrasi di Indonesia. Sebagai organisasi yang mempromosikan
dakwah Islam, DDI seringkali menjadi wadah di mana pandangan-pandangan keagamaan

65
ditransmisikan kepada masyarakat. DDI tidak hanya menyampaikan pesan agama secara umum,
tetapi juga mencoba menghubungkan prinsip-prinsip agama dengan konteks sosial dan politik
yang ada. Pandangan keagamaan yang diartikulasikan oleh DDI seringkali mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam ranah politik dengan beberapa cara:
1. Penafsiran tentang Demokrasi
DDI sering memberikan penafsiran agama tentang konsep demokrasi, menjelaskan sejauh mana
nilai-nilai demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini dapat mempengaruhi
pandangan masyarakat terhadap sistem politik yang ada dan membantu mereka memahami
keterkaitan antara nilai-nilai agama dan partisipasi dalam proses politik.
2. Mengarahkan Pemikiran Politik
DDI sering memiliki pengaruh yang kuat dalam mengarahkan pemikiran politik masyarakat.
Pandangan-pandangan yang diungkapkan oleh para pemimpin DDI dapat mempengaruhi sikap
politik, preferensi pemilihan, dan prioritas politik masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai
keagamaan.
3. Mobilisasi dan Partisipasi
Melalui pengajaran, ceramah, dan kegiatan sosial, DDI dapat memobilisasi masyarakat untuk
terlibat dalam kegiatan politik yang dianggap sesuai dengan pandangan keagamaan yang mereka
sampaikan. Ini bisa termasuk ajakan untuk memilih, mendukung calon yang dianggap sesuai
dengan nilai-nilai agama, atau bahkan terlibat secara langsung dalam proses politik.
Penting untuk dicatat bahwa pandangan DDI tentang demokrasi dan politik tidak selalu
homogen. Seperti halnya pesantren, ada variasi dalam penafsiran agama dan pendekatan
terhadap keterlibatan politik. Beberapa bagian dari DDI mungkin lebih cenderung mendukung
partisipasi politik yang aktif, sementara yang lain mungkin lebih menekankan aspek keagamaan
yang lebih tradisional dan kurang terlibat secara langsung dalam ranah politik. Namun demikian,
DDI secara keseluruhan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi cara
pandang masyarakat terhadap demokrasi, politik, dan partisipasi dalam ranah politik, terutama
dalam konteks nilai-nilai keagamaan yang mereka ajarkan dan advokasikan.

C. Dinamika Interaksi Antara Pesantren, DDI, Dan Masyarakat Dalam Membentuk Civil
Society Yang Responsif Terhadap Nilai-Nilai Demokrasi Di Indonesia
Dinamika interaksi antara pesantren, Darud Da’wah wal irsyad (DDI), dan masyarakat
merupakan faktor penting dalam membentuk civil society yang responsif terhadap nilai-nilai
demokrasi di Indonesia.
1. Pengaruh Pesantren dan DDI
Pesantren dan DDI memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
sosial di masyarakat. Mereka tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga sering
menjadi tempat di mana pemikiran-pemikiran keagamaan dikomunikasikan dan diterjemahkan
ke dalam konteks sosial dan politik. Pengaruh yang dimiliki oleh para ulama, guru agama, atau
pemimpin DDI dalam pesantren menjadi kunci dalam menyebarkan pandangan tentang
demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai agama.
2. Sosialisasi Politik dan Pendidikan
Pesantren seringkali menjadi tempat di mana sosialisasi politik awal terjadi. Diskusi-diskusi
mengenai nilai-nilai demokrasi dan tanggung jawab sosial diintegrasikan dengan ajaran agama.
DDI juga memiliki peran dalam mengedukasi masyarakat tentang bagaimana prinsip-prinsip
Islam dapat diimplementasikan dalam kehidupan politik sehari-hari.

66
3. Pengaruh dalam Membentuk Opini
Baik pesantren maupun DDI memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik. Pandangan
mereka tentang demokrasi, hak-hak politik, dan kewajiban warga negara sering kali
mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap sistem politik dan keterlibatan mereka dalam
proses politik.
Partisipasi Aktif: Pesantren dan DDI dapat memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dan politik yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Hal ini dapat
termasuk pembentukan komunitas yang aktif dalam advokasi atau organisasi sosial yang
berupaya untuk memperjuangkan nilai-nilai demokratis. Namun, dalam konteks kompleksitas
sosial dan politik Indonesia, dinamika interaksi antara pesantren, DDI, dan masyarakat juga
dapat mengalami ketegangan atau konflik. Ada variasi pandangan dan penafsiran terhadap nilai-
nilai demokrasi di antara pesantren dan DDI yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat dan
konflik di antara mereka. Keseluruhan, peran pesantren, DDI, dan dinamika interaksi dengan
masyarakat membentuk fondasi yang penting dalam pembentukan civil society yang responsif
terhadap nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Bagaimana nilai-nilai agama, pemikiran politik, dan
partisipasi masyarakat terhubung dan berinteraksi menjadi kunci dalam memahami bagaimana
civil society berkembang dan merespons konsep demokrasi di Indonesia.

67
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/49097697/Ke_DDI_an
"Majelis Syuyukh PB DDI Buka Pra Muktamar Darud Dawah wal-Irsyad ke-22". Kementerian
Agama RI Provinsi Sulawesi Selatan. 20 Desember 2021.
"Sejarah As'adiyah". Pondok Pesantren As'adiyah Pusat Sengkang. 19 September 2013.
"Sejarah Lahirnya Darud Da'wah wal Irsyad (DDI)". Pondok Pesantren Azzikra DDI. 3 Februari
2019.
Kambie, AS (1 Januari 2016). Kambie, AS, ed. "TRIBUNWIKI: Sejarah NU Sulsel, dari 1930-
an Hingga Era Milenial". Tribunnews.com.
"Sejarah Berdirinya Darud Da'wah wal Irsyad (DDI)". Pondok Pesantren DDI al-Ihsan Kanang.
22 Oktober 2018.
"Ulama Keindonesiaan nan Bersahaja: In Memoriam AGH Dr. HC. Sanusi Batjo, Lc". Islam
Rahmah. 20 Juni 2021.
http://azhararsyadbangkit.blogspot.co.id/2012/03/sejarah-singkat-ddi.html
https://www.azzikraddi.sch.id/sejarah-lahirnya-darud-dawah-wal-irsyad-ddi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Darud_Da%27wah_wal_Irsyad
https://www.kompasiana.com/nurmifta51215/61fe36cebb448656b6784cc2/sejarah-
perkembangan-ddi-dalam-dunia-islam?page=2&page_images=1
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-sulawesi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
http://dadank22.blogspot.com/2008/11/menelusuri-awal-masuknya-islam-di.html
yatim, Badri .1993.Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II.Jakarta:Raja Grafindo
Persada
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia.Yogyakarta:Gama University Press
Harun, Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII / M.Yogyakarta: Kurnia
Kalam Sejahtera
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Hasan, M. T. 2006. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sistem
Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Departemen Agama RI. 1978. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/penafsir Al-Qur’an.
Departemen Agama RI. 2013. Alquran dan Terjemahannya. Solo: Tiga Serangkai. Effendi,
Onong Ochyana. 1993.Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

68
Hafidhiddin, Didin. 2001. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ilahi, Wahyu. 2010.Komunikasi Dakwah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kabry, Abd.Muiz. 2006. Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) Dalam Simpul Sejarah Kebangkitan
dan Perkembangan. Parepare: DDI.
Kaffie, Jamaluddin. 1993.Psikologi Dakwah. Surabaya: Indah.
Lubis, Satria Hadi. 2011. Menggairakan Perjalanan Halaqah: Kiat Agar Halaqah Lebih Dahsyat
Full Manfaat. Yogyakarta: Pro You.
M, Lexi J. 2002. Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Ma’arif, Bambang S. 2010. Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi.
Bandung: Simbiosa Rekamata Media.
Mulyana, Deddy. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munawir,Ahmad Warson. 1997.Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.
Munir, M. dkk, 2003.Metode Dakwah. Jakarta: Kencana.
Faten Hamama, Metode Wetonan (Mengaji Tudang)…
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 2008. Sejarah Nasional V Zaman Kebangkitan Nasional
dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Qardhawi, Yusuf. 2010. Fiqhi Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: PT Mizan Publika.
Sadiman, Arif. dkk, 1996. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafika Persada.
Said, Ahmad Rasyid A. 2009. Darud Dakwah Wal Irsyad Abdurrahman Ambo Dalle Mangkoso
dalam Perpektif Sejarah, Organisasi dan Sistem Nilai. Barru: Pondok Pesantren DDI
Abdurrahman Ambo Dalle Mangkoso
UU No. 6 tahun 2014, tentang Desa
Hasbullah,Kapita Selekta Pendidikan Islam,Rajawali Pers,Jakarta,1995
Nikmah, N., Safrina, N., & Farida, L. (2019). Pelatihan Pengelolaan Keuangan Keluarga Bagi
Kelompok Yasinan Ibu-Ibu Komplek Rahayu Jalan Pramuka Banjarmasin. Jurnal Impact :
Implementation and Action, 1(2), 131-137.
Putri, Oktaviani Nindya dkk, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, PROSIDING KS:
RISET & PKM, Vol. 2 No. 2.
Rohimi, Perempuan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Teori, Entitas dan Perannya Di
Dalam Pekerjaan Sektor Informal), Indonesia: Guepedia, 2020.
Ratnawati, Susi. 2011.Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Pedesaan Melalui
Pengembangan kewirausahaan ISSN. 1978-4724 Jurnal Kewirausahaan Volume 5 Nomor 2,
Desember 2011
Soegoto, A., Lintong,, D., Mintalangi , S., & Soeikromo , D. (2020, Maret). Meningkatkan Peran
Ibu Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Keuangan. Jurnal Pengabdian Dan Pemberdayaan
Masyarakat, 4(1), 141
http://padanglampe.desa.id/profil/sejarah/

69
Alagappa, M. (2004). Civil society And Political Change in Asia: Expanding and Contracting
Democratic Space. USA: Stanford University Press.
Baker, G. (2002). Civil society and Democratic Theory Alternative Voices. USA dan Canada:
Routledge.
Beetham, D. (2005). Democracy: A Beginner’s Guide. London: Oneworld Publications.
Beittinger-Lee, V. (2010). (Un) Civil society and Political Change in Indonesia: A Contested
Arena. USA and Canada: Routledge.
Brysk, A. (2000). Democratizing civil society in Latin America. Journal of Democracy, 11(3),
151–165.
Cohen, J & Andrew, A. (1992). Civil society and Political Theory. Cambridge, Massachusetts,
London: Massachusetts Institute of Technology Press.
Culla, A. S. (2006). Rekonstruksi Civil society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia Challenges. London: The Johns Hopkins Press Ltd.
Diamond, L., et al. (1997). Consolidating the Third Wave Democracies: Regional Challenges.
Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Edwards, M. (2004). Civil society.
USA: Odyssey Press Inc.
Eliaeson, S. (2006). Building Democracy and Civil society East of the Elbe. London dan New
York: Routledge.
Fioramonti, L., & Fiori, A. (2010). Civil society after democracy: The evolution of civic activism
in South Africa and Korea. Journal of Civil society, 6(1), 23–38.
Gaffar, A. (2006). Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Glasius, M. (2010). Uncivil society. International encyclopedia of civil society.
Hadiwijoya, S. S. (2012). Negara, Demokrasi dan Civil society. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hikam, M. . (1996). Demokrasi dan Civil society. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Kurniawan, L. J & Hesti, P. (2012). Negara, Civil societ & Demokratisasi Membangun Gerakan
Sosial dan Solidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan. Malang: INTRANS Publishing

70

Anda mungkin juga menyukai