Anda di halaman 1dari 17

TEORI PEMBELAJARAN KI HAJAR DEWANTARA

Dianjurkan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Kurikulum Pendidikan AUD
Oleh: Dr. Omang Komarudin, M.Ag

Disusun Oleh :

Lisma Halimatussa’diyah
2021.05.0174

Lutfiatul Munawaroh
2021.05.0175

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA
SUBANG
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai setiap masalah dalam kehidupan sehari-
hari terutama ketika kuliah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Subang, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .................................................................... 1


B. Rumusan masalah ............................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

1. Biografi Ki Hajar Dewantara …………........ ………..……... 4


2. Ajaran Ki Hajar Dewantara ……….............. ………………… 5
3. Pandangan Ki Hajar Dewantara
Tentang Pendidikan ……………………….................…………… 6
4. Kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan
Kontruktivisme …………………………...................……………. 7
5. Peranan Ki Hajar Dewantara
Dalam Pendidikan Indonesia saat ini …………………. 8

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ……………………………………...................…….…..
9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran-pemikiran tentang Pendidikan telah dimulai sejak zaman


Yunani kuno, yakni Ketika munculnya para filosof seperti Aristoteles, Socrates,
Decrates, Plato, dan lainnya. Filosof-filosof ini telah Menyusun berbagai filsafat
yang secara prinsip membahas persoalan ontology ( Hakikat realitas ),
epistemology ( pengetahuan ), dan aksiology (nilai). Hasil pemikiran mereka ini
memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perkembangan Pendidikan
hingga dewasa ini. Dari sekian banyak tokoh pemikir, tokoh-tokoh yang muncul
dalam perdebatan teori kebanyakan dari pemikir-pemikir barat dan Eropa, sedikit
atau jarang dari pemikir-pemikir Timur. Walaupun demikian, pemikir Timur pun
tak kalah visionernya, sebut saja pemikir dari ajaran islam misalnya Al-Ghazali,
Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di Indonesia, muncul tokoh karismatik
yang teguh pendirian dan visioner dalam persoalan Pendidikan, yakni Ki Hajar
Dewantara. Banyak hal yang dapat digali dari tokoh ini terutama tentang
Pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi
baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses Pendidikan yang benar
adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan
eksplorasi. Disinilah letak afinitas dari pedagogic, yaitu membebaskan manusia
secara komprehensif dari ikatatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau
dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu yakni mentransfer nilai
( transfer of value). Selain itu Pendidikan juga merupakan kerja budaya yang
menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas
yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan
partisipatif harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah biografi Ki Hajar Dewantara?


2. Bagaimanakah Ki Hajar Dewantara dengan Ajarannya?
3. Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan?
4. Apa kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan Konstruktivisme?
5. Bagaimanakah Peranan Ki Hajar Dewantara dalam perkemabangan Pendidikan di
Indonesia saat ini?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bagaimana biografi Ki Hajar Dewantara.


2. Memahami ajaran Ki Hajar Dewantara.
3. Agar mengetahui bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan
4. Mengetahui kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan Kontrustivisme.
5. Mengetahui peranan Ki Hajar Dewantara dalam Perkembangan Pendidikan di
Indonesia saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ki Hajar Dewantara

Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara


lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
Kolumnis, politis, dan pelopor Pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri perguruan Taman siswa, suatu Lembaga
Pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak Pendidikan seperti halnya para priyai maupun orang-orang Belanda.
Pernah ia dibuang ke negri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6
Sepetember 1913-1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia saat itu.
Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang Pendidikan, beliau
menjadi Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era
Pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1956 dan dimakamkan
dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira tinggi oleh
pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan
pemerintahan Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei
sebagai Hari Pendidikan Nasional.

1. Perubahan Nama dan Prinsip Hidup Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut


hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat
itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya ia dapat  bebas dekat dengan rakyat. Ki Hajar Dewantara sendiri
dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam
melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari
pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara. Oleh
karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan.

B.     Ki Hajar Dewantara dan Ajarannya.

Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh yang berjuang untuk member


jawaban terhadap pertanyaan: Pendidikan apakah yang cocok untuk anak-anak
Indonesia? Jawabannya adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan
pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa
yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa
bertujuan untuk membuat rakyat pandai, sebab Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan
bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu beliau
mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai
tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta
dengan tugas-tugasnya :

a.       Pertama adalah untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan


berjiwa merdeka, untuk menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu
mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang
merdeka.

b.      Kedua membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu


itu sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedang sekolah yang disediakan
oleh pemerintah Belanda sangat terbatas.

Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan


sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah
penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Falsafah
pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan,
melainkan juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia
sendiri. Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli.
Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman
Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara
dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara
mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas
kemerdekaan dan kodrat alam. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu
dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa,
yang meliputi:

a.       Asas Kemerdekaan, yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang
tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

b.      Arti Merdeka, adalah sanggup dan mampu untuk berdiri sendiri untuk


mewujudkan hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri
sendiri. Merdeka tidak hanya berarti bebas tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan
dan kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi.

c.       Asas Kodrat Alam, yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai
makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam
dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang
mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan
sewajarnya.

d.      Asas Kebudayaan, yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan


kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan
dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan.

e.       Asas Kebangsaan,  yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan,


malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas
kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu
dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa.

f.       Asas Kemanusiaan, yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah


perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa
cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya.

C.    Pandangan Ki Hajar Tentang Pendidikan

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara kedewasaan bisa diartikan sebagai


kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras
dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara
umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan
batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih
baik.

Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya


kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan
bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar
24 tahun.

“Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu


ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan
kertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas”.

Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik


mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman
Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan
pandca indra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk
daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk
menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan
cita-cita hidupnya.
Selain itu ajaran beliau yang tidak kalah penting adalah yang Konsep dasar
kependidikan Ki Hajar Dewantara yang sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan
bangsa Indonesia dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:

a.       “ing ngarsa sung tulada” berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di


depan dan harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa
menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila
guru mengajar menggunakan metode ceramah, ia harus benar-benar siap dan tahu
bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.

b.      “ing madya mangun karsa” yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik)


ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan
berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode
diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat memberi masukan-
masukan dan arahan.

c.       “tut wuri handayani” yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) berada


di belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan
sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengahmembangun semangat, di
belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing,
berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik.
1. Metode Among

Cara mengajar dan mendidik dengan menggunakan “metode Among” dengan


semboyan Tut Wuri Handayani artinya mendorong para anak didik untuk
membiasakan diri mencari dan belajar sendiri. Mengemong (anak) berarti
membimbing, member kebebasan anak bergerak menurut kemauannya. Guru atau
pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamat amati
dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik
dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari
luar atau perintah orang lain. Among berarti membimbing anak dengan penuh
kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak. Dengan demikian anak dapat
berkembang menurut kodratnya. Hubungan murid dan pamong seperti keluarga.
Murid memanggil gurunya dengan sebutan “ibu” atau “bapak” berbeda dengan
sekolah lain pada jaman itu yang memanggil gurunya dengan sebutan “tuan”,
“nyonya”, “nona”, “ndoro”, “den Behi” atau “mas Behi”.

2. Fatwa Sendi Kehidupan

Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan bahwa dalam mempelajari sesuatu


sebaiknya bersendikan “tetep-mantep-antep”, “ngandel-kendel-bandel-kandel” dan
“Neng-ning-nung- nang”
a.       “Tetep” atau tetap, maksudnya untuk mencapai apa yang kita kehendaki perlulah
kita selalu tetap dalam pekerjaan kita jangan selalu menengok kanan kiri. Kita harus
berjalan tertib dan maju, setia dan taat terhadap segala asas-asas kita. Kita harus
selalu “Mantep” atau berbesar hati, agar tidak akan ada kekuatan yang akan menahan
langkah kita atau membelokkan langkah kita. Sehingga dengan sendirinya perbuatan
kita akan “antep” atau berat (berbobot), sehingga tidak mudah kita ditahan, dihambat
atau dilawan.

b.  “Ngandel” atau percaya maksudnya yakin kepada penguasa (Tuhan) dan kekuatan


diri. “Kendel” atau berani, yaitu menghindarkan rasa takut atau
wasangka. “Bandel” atau tahan, tawakal, hatinya kuat menderita. “Kandel” atau
tebal, yang meskipun menderita namun kuat badan dan tubuhnya. Keempat tabiat ini
saling berhubungan : “barang siapa dapat percaya tentu akan berani, lalu mudahlah ia
tawakal dan dengan sendirinya ia akan tebal tubuhnya.”
c.       “Neng”, berarti “meneng” yaitu tenteram lahir batinnya. “Ning” dari
perkataan “wening” dan “bening” berarti jernih pikirannya, mudah dapat
membedakan barang yang hak dan batal, yang benar dan yang salah

d.      “Nung” dari kata “hanung” berarti kuat, sentosa dalam kemauannya, yaitu


kokoh dalam segala kekuatannya, lahir dan batin, untuk mencapai apa
yangdikehendakinya “Nang” yaitu “menang” atau dapat “wewenang” atau berhak
atas buah usahanya.

Keempat tabiat ini saling berhubungan : barang siapa dapat “neng” tentu


mudah ia akan berpikir “ning”, lalu menjadi kuat atau “nung” kemauannya, dan
dengan sendirinya akan “menang”.

D.     Ki  Hajar Dewantara dan Konstruktivisme

Ki Hajar Dewantara dan konstruktivisme dalam pendidikan mempunyai


kesamaan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-
mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur
yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang
dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah
pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).

Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan


1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-
dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan
bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature)
dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar”,
Ki Hadjar menunjukkan Keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya,
baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam
pembentukan watak seseorang.

Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hajar teori konvergensi


diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang
disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan.
Faham Tua dan Faham Baru”, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan
‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam
hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat
dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis
dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya
belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan
bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia
yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya.
Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan
metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan
yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi
secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta
memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.
Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan
penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui
berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus
menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan
pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam
pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar. Dengan itu, ia
bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang
butuhkan dalam kehidupan.
Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki
Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar.
Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar
menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa=dhawuh). Ki Hadjar
mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan
hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan
pengajaran, teladan dan pembiasaan” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan
dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan
membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam
memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka
“ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala
pekerjaan dan keadaan.”
Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut
Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang
siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta
membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna
dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia
memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa
dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar
sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-
saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan
untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada
pengajar.
Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat
memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan
pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. 
Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hajar adalah
pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori
yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan
Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl
Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki
Hadjar yang banyak merujuk mereka.
Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan
melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hajar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang
berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai
bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia
menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma,
melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di
masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi
pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan
konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya
dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa
ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-
pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

E . Peranan Ki Hadjar Dewantara Dalam Perkembangan Pendidikan Di


Indonesia Saat Ini

Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara,


Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang
sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk
dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha
bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka
tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).

Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”


sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri
merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang
mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya,
mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh
sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu
sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah
(kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia
dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat,
mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi
bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas,
moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani
dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai
Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo
Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan
perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke
guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya
menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik
untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah
fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.

Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang


mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka
banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3
Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik dan spiritualistik. Nasionalistik
maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara
politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam
(natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip
dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan,
keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan
dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka
hak setiap individu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta
didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual,
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan
memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap
individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan,
pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri,
setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian
merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna,
dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam
pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati
dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar,


hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau
masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru
teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa,
menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan
kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang guru
akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat
besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi
kehidupan sosial peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah
pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan
aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun
orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka
seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap,
dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian
‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati
setiap manusia lain. Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik
pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang
guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan
professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan
kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’,
‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya
‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan
sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’
tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.

Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan perilaku


professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar
dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan
guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi
inilah guru juga harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator?
Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik seperti
motivasi dari pendidikan Ki Hajar itu sendiri.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan


sistem pendidikan di Indonesia  adalah sistem Among. Ajarannya yang terkenal ialah
tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan).
Sistem Pendidikan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara
merupakan sebuah pola pendidikan yang berusaha menyambungkan kembali benang
merah kejayaan Indonesia pada masa lampau sehingga harkat dan martabat bangsa
kita Kembali terangkat. Perumusan sistem pembelajaran ini berusaha menekankan
pada aspek keluhuran budaya dan keseimbangan manusia dalam daya cipta, rasa dan
karsa. Kita diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak dan membatasi pertumbuhan
potensi anak yang diakui berbeda-beda setiap individunya.
DAFTAR PUSTAKA

Nata Abudin. 2005. Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam Di


Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai