Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT PARA TOKOH

MATA KULIAH : MANAJEMEN FILSAFAT PENDIDIKAN

DOSEN PENGAMPU : AHMAD ANSHORI, M.Pd

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 10:

SARIPATUS SHOLEHA (203210126)

SELLIN OKTIANA (203210133)

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDIN JAMBI


2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat, seningga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang mungkin sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca kami
menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun, khususnya dari Dosen mata kuliah guna menjadi acuan
dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jambi, 13 november 2022

Penyusun

Kelompok 12

2
DAFTAR ISI
COVER …………………………………..................................……………………………………..1

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ..2

DAFTAR ISI…………………………………………………………..………..................................3

BAB I PENDAHULUAN……………………………….………….…………..................................4

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................…............................4

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................…4

C. Tujuan penulisan ..............................................................................................................…5

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………..…............................6

A.Ki Hajar Dewantara...........................................................................................................6

B. Ivan Illich..........................................................................................................................11

C. Driyakarya.......................................................................................................................14

D. Paul Freire.......................................................................................................................18

E. Al-Gazali..........................................................................................................................23

BAB IV PENUTUP................................................................................................................27

A. Kesimpulan.........................................................................................................................27

B. Saran .................................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................28

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan
bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi,
akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Pendidikan
bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus dapat
meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus
menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik. Pendidikan
dalam arti mikro ( sempit ) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik
baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Sedangkan pendidikan dalam arti makro
( luas ) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu / pribadi dan lingkungan alam
semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya.
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai :

a. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan


b. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam
pertumbuhannya.
c. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang
dikehendaki oleh masyarakat.
d. .Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju dewasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk
mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun kelompok orang dengan tujuan untuk
mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan. Ada berbagai macam
konsep pendidikan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli dan diantaranya akan dibahas
dalam makalah ini.

B.Rumus masalah

1.Bagaimana konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ?

2.Bagaimana konsep pendidikan menurut Ivan Illich ?

3.Bagaimana konsep pendidikan menurut Driyakarya ?

4.Bagaimana konsep pendidikan menurut Paul Freire ?

5.Bagaimana konsep pendidikan menurut Al-Gazali?

4
C.Tujuan penulisan

1.Mendeskripsikan konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara.

2. Mendeskripsikan konsep pendidikan menurut Ivan Illich

3.Mendeskripsikan konsep pendidikan menurut Driyakarya.

4.Mendeskripsikan konsep pendidikan menurut Paul Freire

5.Mendeskripsikan konsep pendidikan menurut Al-ghazali

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ki Hadjar Dewantara
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Puji Nur Utami menuliskan biografi Ki Hajar Dewatara. Beliau dilahirkan di Yoyakarta
pada hari Kamis tanggal 2 Mei 1889. Pada masa kanak-kanak nama beliau adalah Raden Mas
Suwardi Suryaningrat. Ayah beliau bernama Pangeran Suryaningrat yang merupakan putra
sulung Sri Paku Alam ke-III (Utami, 2017).
Ibu beliau yakni permaisuri. Dengan demikian, Kemudian beliau menikah dengan Raden
Ajeng Sutartinah, putri dari Gusti Pangeran Harjo Sasraningrat, adik dari Gusti Pangeran
Harjo Suryaningrat (ayah Suwardi). Dengan demikian, Suwardi dan Sutartinah adalah
saudara sepupu. Jadi, keduanya merupakan cucu Paku Alam III.Dalam karya ilmiah oleh
Bartolomeus Samho, saat masa kanak-kanak Ki Hajar Dewantara sudah belajar dengan
suasana religi. Masalah kekurangan materi keluarganya, tidak menjadikan surutnya semangat
belajar beliau. Beliau hanya masuk ke Sekolah Dasar Belanda III. Kemudian setelah tamat
tahun 1904, Ki Hajar Dewantara mengalami kekhawatiran untuk meneruskan pendidikannya.
Selain kebingungan beliau karena masalah siapa yang akan membiayai sekolahnya, beliau
Konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara juga kebingungan beliau akan kemana
pula beliau harus meneruskan sekolahnya.
Dapat di maklumi, keluarga beliau tidak cukup berada dibandingkan dengan kerabat Paku
Alam yang lain. Selain itu, ayah beliau yang cacat netra (mata) menjadi salah satu alasan
terkait masalah pendidikannya. Ki Hajar sempat masuk sekolah guru di Yogyakarta, tetapi
tidak selesai, dan selama menempuh sekolah tersebut, datanglah tawaran beasiswa untuk
menjadi dokter. Kesempatan itu dengan sengaja di terima Ki Hajar Dewantara.
Selama masa kira-kira lima tahun di tahun 1905-1910 beliau menempuh pendidikan di
sekolah Dokter Jawa, akan tetapi beliau tidak sampai menyelesaikan pendidikannya
dikarenakan sakit keras yang cukup lama. Dan selama sakit beliau pasti tidak dapat fokus
memahami pelajaran, akibat yang timbul adalah beliau tidak naik kelas. Dan beasiswa beliau
ditarik kembali. Beliau meninggalkan sekolahnya dengan terpaksa karena tidak mampu
membiayainya. Tetapi karena kepandaian beliau dalam bahasa Belanda, membuat Direktur
Sekolah beliau terdorong mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakat beliau
tersebut.
Saat genap usia 40 tahun tanggal 3 Februari 1928 Raden Mas Suwardi Suryaningrat
berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara dan Raden Ajeng Sutartinah berganti nama
menjadi Nyi Hajar Dewantara. Sejak itu, beliau tidak menggunakan gelar kebangsawanan
didepan namanya. Hal tersebut dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hatinya. Dan tak lama setelah kembalinya beliau ke kampung
halaman, tepatnya pada tanggal 26 April 1959 beliau wafat dan jenazahnya dikebumikan di
makam Wijayabrata, yakni makam keluarga Taman Siswa. Dan untuk mengenang jasa dan
perjuangannya dibidang pendidikan maka hari lahir Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei
sampai saat ini di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

2. Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara


Gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan sudah menjadi citra tersendiri untuk
sejarah pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara adalah seorang pencetus pendidikan klasik
Indonesia (Yanuarti, 2017). Ciri utama dari pendidikan yang berpusat pada siswa adalah
bahwa guru menghormati siswa. Hal ini yang disebut dengan pendidikan yang sesuai dengan
pemikiran beliau. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu agar pendidikan tidak
membuang pokok kebudayaan yang menjadikan asing dengan realita pada anak didik.

6
Pendidikan harus membuat manusia di Indonesia mempunyai sifat peka dalam hal budi
pekerti. Sifat peka ini yang akan menjadikan manusia di Indonesia terbentuk menjadi pribadi
berbudi pekerti serta berkeheningan batin.
Ketika memutuskan terjun ke dunia pendidikan, tujuan utama yang ingin dicapai Ki Hajar
Dewantara dari pendidikan itu adalah terbentuknya generasi bangsaIndonesia yang mandiri,
penuh daya kreasi dan berbudi pekerti mulia. Tetapi beliau sadar, jika pendidikan yang
mengedepankan budi pekerti tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja, tapi juga
menjadi tanggungjawab masyarakat dan keluarga. Hal itu kemudian membuatnya memiliki
gagasan untuk membuat konsep pendidikan yang melibatkan ketiga lingkungan itu. Konsep
pendidikan yang dilaksanakan Ki Hajar Dewantara itu diberi nama “Tri Pusat Pendidikan”,
yaitu suatu pelaksanaan pendidikan dengan melibatkan alam keluarga, alam perguruan, dan
alam masyarakat untuk membentuk manusia-manusia yang unggul, berbudi pekerti
dan cerdas.
Bangsa yang maju tak dapat dijauhkan dari cara pandang dan cara berfikirnya yang
mencerminkan kesadarannya akan pentingnya memajukan sektor pendidikan sebagai tujuan
pokok kebangsaan. Saat ini masalah terkompleks bangsa Indonesia yakni penyesuaian
merancang dunia yang penuh dengan masalah yang makin kompleks dan sulit diramalkan. Di
Indonesia sudah cukup banyak orang yang “pintar”,tapi sulit menemukan orang yang
“benar”. Ini masalah yang harus disadari sebagai masalah yang serius bagi perkembangan
pendidikan.

3. Karya Tulis Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara menulis menulis beberapa karya beliau, dikarenakan
kepedulian beliau pada pendidikan dan kebudayaan. Dan karyakarya tersebut yang
hingga sekarang masih banyak digunakan sebagai rujukan penelitian tentang
pendidikan dan kebudayaan.
a) Buku pertama yakni membahas Pendidikan. Buku ini khusus membahas tentang
gagasan dan pemikiran beliau dalam bidang pendidikan diantaranya tentang hal
Pendidikan Nasional yang bermanfaat bagi kehidupan bersama dengan kemerdekaan
manusia menjadi anggota dari persatuan rakyat (Dewantara, 1977).
b) Buku kedua membahas Kebudayaan. Isi dari buku ini memuat tulisan-tulisan
mengenai kebudayaan dan kesenian. Kebudayaan sering juga dengan kultur yang
artinya adalah buah dari keadabanmanusia atau suatu usaha perbaikan hidup manusia.
Kultur atau kebudayaan itu mempunyai berbagai macam sifat, tetapi karena semuanya
adalah adab, maka semua kebudayaan atau kultur itu selalu bersifat tertib (Dewantara,
1967).
c) Buku ketiga yaitu membahas tentang Politik dan Kemasyarakatan. Isi buku ini
memuat tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia
imperialis Belanda, dan tulisan mengenai pemuda dan perjuangannya.

d) Buku keempat membahas tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis: Ki Hajar
Dewantara yang menjabarkancerita kehidupan dan perjuangan hidup perintis dan
pahlawan kemerdekaan Ki Hajar Dewantara (Utami, 2017).

4. Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia


Menurut Suroso dalam jurnal Scholaria, “Ki Hajar Dewantara merupakan satu dari sedikit
tokoh yang secara intens mencurahkan perhatiannya dibidang pendidikan dimasa pergerakan
dan awal kemerdekaan” (Suroso, 2011). Dalam karya ilmiah jurnal tentang filsafat
pendidikan Ki Hajar Dewantara dan sumbangannya bagi pendidikan Indonesia oleh Henricus
Suparlan, Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang belajar yaitu: “Pandangan Ki Hadjar

7
Dewantara tentang belajar terlihat pada konsep mengenai Tri Pusat Pendidikan, bahwa anak
didik tidak semata-mata hanya belajar di sekolah tapi juga dalam keluarga dan masyarakat
(dalam alam pemuda).Pendidikan keluarga mendidik anak-anak dengan sebaik mungkin yang
meliputi jasmani dan rohani. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perilaku pendidikan
yang diupayakan dalam keluarga” (Suparlan, 2015).
Memajukan bertumbuhnya budi pekerti yang dengan kata lain disebut dengan karakter
yaitu berarti jiwa yang sudah berazaz hukum kebatinan. Orang yang sudah memiliki sifat
budi pekerti itu pasti selalu memikirkan dan merasakan segala sesuatu dengan menggunakan
ukuran dan dasar-dasar yang sudah ditetapkan. Budi pekerti bukan konsep yang bersifat teori
tentang baik buruk, baik salah, seperti yang dipahami oleh masyarakat luas. Akan tetapi
pengajaran budi pekerti mengandung makna pentransfer materi tentang kehidupan jiwa atau
perikeadaban manusia. Atau dengan kata lain, kaharusan memberi keterangan dan penjelasan
mengenai budi pekerti secara lebih luas (Muthoifin & Jinan, 2015).
Kemudian seorang yang berpikir maju adalah yang berpikir cerdas kognisi/ tahu banyak
dan banyak tahu dan kecerdasannya itu memerdekakan diri dari jenis-jenis pembodohan.
Manusia yang sehat fisik adalah selain sehat secara jasmani, juga lebih mempunyai
pemahaman yang baik tentang fungsi tubuhnya dan memahami fungsi tersebut untuk
membebaskan diri dari segala dorongan kearah tindakan kejahatan.Manusia yang sehat
fisiknya mampu mengendalikan dorongan-dorongan dan tuntutan tubuh. Dengan melalui
pengendalian tersebut, berpikir maju dan berbudi pekerti maju mendapat dukungan untuk
menyatakan kebebasan diri dari segala bentuk penindasan diri yang serakah di satu sisi dan
memiliki kemampuan untuk menegaskan diri. Jadi kemajuan fisik dipahami sebagai kekuatan
untukmemperjuangkan kebebasan dan keterampilan (Samho & Yasunari, 2010).
Keluarga adalah pusat dari pendidikan awal dan terpenting, karena keluarga sangat
berpengaruh bagipertumbuhan sikap budi pekerti setiap manusia. Tujuan pendidikan di
keluarga adalah memberi nasehat, anjuran yang bisa mengarahkan anak pada perbuatan baik,
kepribadian yang baik, dan juga mampu menguasai diri sendiri untuk mencapai kebahagiaan
lahir dan batin, dunia dan akhirat (Yohana,2017).
Lingkungan sekolah adalah kelanjutan dari alam keluarga. Di sekolah ini, tugas pendidikan
diserahkan kepada pengajar seperti guru, dan sebagainya. Di sekolah anak mendapatkan
berbagai informasi tentang ilmu pengetahuan dan bakat yang perlu dikembangkan dalam
kehidupannya. Orang tua mengajar dan mendidik anaknya hanya sebatas di rumah, tetapi
seorang guru mengajarkan ilmunya di sekolah, majelis-majelis ilmu, atau rumah-rumah yang
memungkinkan menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran.Tri Pusat yang selanjutnya
adalah pemuda/masyarakat. Pada hakikatnya masyarakat adalah suatu kumpulan dari
keluarga yangsatu dan lainnya terkait oleh tatanan aturan. Masyarakat merupakan suatu alat
penghubung sosial yang mempunyai dampak yang besar dalam pengembangan dan
pemberdayaan potensi anak didik. Dan di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa
organisasi, lembaga, perkumpulan yang dari itu semua menjadi wadah dan peluang untuk
mendapat pengalaman-pengalaman dan pertukaran pikiran masyarakat. Masyarakat/ pemuda
harus diakui dan digunakan untuk menyokong pendidikan.
Dalam pergerakannya orang tua hanyalah sebagai penasehat dan pemberikebebasan
secukupnya pada pemuda. Orang tua hanya mengamati dan bertindak jika memang sudah
diperlukan. Pergerakan pemuda jaman sekarang semakin terlihat memisahkan anak-anak
dengan alam keluarganya, dan ini yang akan menjadikan bahaya bagi diri pemuda itu sendiri,
juga jika pendidikan yang berkedok ke barat-baratan yang dialami sebagian besar dari anak-
anak. Dimana seharusnya pemuda itu membentuk sebuah pergerakan yang dapat menyokong
untuk pendidikan menuju kecerdasan budi pekerti. Maka pergerakan pemuda perlu untuk
diakui sebagai pusat pendidikan.

8
5. Tiga Fatwa Pendidikan
Pendidikan nasional menurut paham Ki Hajar Dewantara, dalam Taman Siswa yakni
pendidikan yang berlandaskan garis kehidupansuatu bangsa yang ditujukan bagi keperluan
kehidupan yang bisa menjunjung derajat Negara dan rakyat, agar Indonesia dapat
bekerjasama demi kemuliaan manusia di seluruh dunia. Maka,KiHajar Dewantara
mengunggulkan ajaran tentang pendidikan atau yang biasa disebut dengan tiga fatwa Ki
Hajar Dewantara, yaitu:
Pertama, artinya ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas
manusia. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada, maka mantep yang berarti tidak dapat
diundur lagi akan menyusul(Dewantara, 1977). Tetep dimaknai ketetapan berpikir komitmen.
Artinya pikiran tidak mudah goyah oleh pikiran baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
pendidikan. Sementara antep diartikan sebagai kepercayaan diri untuk terus berpikir maju
untuk menghadapi bermacam-macam tantangan hidup. Sedangkan mantep diartikan memiliki
orientasi jelas menuju tujuan pasti, yaitu kebebasan diri sebagai pribadi, masyarakat, dan
dunia.
Kedua, ngandel artinya percaya akan memberikan pendirian yang teguh yang kemudian
kendel (berani) dan bandel (tidak lekas ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri. Ngandel
diartikan sebagai teguh pendirian, karena pendidikan itu harus dengan kondisi diri yang teguh
pendirian atau orang yang mempunyai prinsip dalam hidupnya. Dan pendidikan juga
menjadikan manusia agar menjadi pribadi yang berwibawa dalam menegakkan kebenaran
dan keadilan atau disebut dengan istilah kendel. Kemudian istilah bandel menunjukkan
bahwa seorang yang terdidik adalah yang tahan uji, segala cobaan dengan tawakal, tidak
lekas ketakutan.
Ketiga, artinya kesucian pikiran dan kebatinan, dan kalau sudah ada tiga- tiganya itu,
maka kemenangan akan jadi kebahagiaan tersendiri. Fatwa ketiga ini dapat pula diartikan
bahwa pendidikan pada tataran terdalam yang bercorak religius.
Pendidikan itu menciptakan perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang),dan
renungan (nung). Menurut beliau, kekuasaan akan datang saat seseorang telah
mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin serta hati.Fatwa Ki Hajar Dewantara
tersebut tetap penting karena memiliki arti yangberkualitas kemanusiawian. Fatwa tersebut
tetap terlihat mempunyai relevansi bagi konteks pendidikan Indonesia saat ini terutama jika
penerapannya ditujukan membangun jiwa seorang pemimpin dalam diri anak-anak Indonesia.
Artinya, mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang
teguh, memiliki pikiran suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian
menjadi jaminan kearah terciptanya kepemipinan yang memerdekakan kemanusiaan setiap
pribadi di Indonesia secara utuh dan penuh.

6. Semboyan dan Metode


Meskipun Ki Hajar Dewantara belajar kependidikan di barat, yang dasarnya berupa
perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan, beliau tidak ingin menggunakan
sistem pendidikan barat tersebut di Indonesia. Dalam pendidikan di Indonesia menurut beliau
tidak memakai dasar “perintah”, akan tetapi memakai dasar tertib dan damai. Bangsa
Indonesia selalu menjaga atas berlangsungnya kehidupan batin anak, dan harus dijauhkan
dari sikap paksaan. Dasar “hukuman” itu maksudnya untuk mencegah kejahatan. Itulah
tandanya setiap peraturan tidak akan bisa sempurna. Sedangkan “ketertiban” dalam
pendidikan Barat jelas sudah hanya hukuman dan paksaan. Oleh karena itu dasar pendidikan
kita menjadi tertib dan damai.

9
Menurut Ki Hajar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter orang
Indonesia adalah tidak dengan paksaan. Orang Indonesia yang termasuk bagian dari bangsa
timur adalah memakai nilai-nilai tradisional yang berupa kehalusan rasa, hidup dengan kasih
sayang, cinta akan kedamaian, dan sopan dalam tutur kata serta tindakan. Nilai-nilai tersebut
telah dimulai dari anak yang masih berusia dini. Semua itu menjadi syarat kita akan berusaha
mendatangkan rakyat yang merdeka, dalam arti yang sebenar-benarnya yaitu: lahirnya tidak
terperintah, batinnya bisa memerintahkan sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan
sendiri. Oleh karena bangsa Indonesia berdasar pada nilai tradisional tersebut, maka Ki Hajar
Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan yang hingga saat ini menjadi kekhasan
tersendiri bangsa Indonesia yang tidak mengikut pada metode barat. Tiga semboyan tersebut
adalah: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani Kemudian
dari beberapa penjelasan diatas, secara tersirat dijelaskan bahwa Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani bermakna pribadi seseorang yang baik adalah
disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah
semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang disekitarnya bisa
merasakan situasi yang baik dan bersahabat, sehingga kita dapat menjadi manusia yang
bermanfaat di masyarakat.
Ketiga semboyan tersebut apabila kita maknai serta hayati bersama merupakan akar dan
ujung tombak dari peran serta guru dalam menjalankan roda pendidikan nasional. Semboyan
inipun sejalan dengan yang diuraikan oleh Abidin dalam (Susilo,2018) bahwa tugas dan
fungsi guru didalam kelas tidak hanya transfer of knowledge,akan tetapi inti dari tugas guru
adalam mengembangkan, mengarahkan danmemberikan motivasi.

B. Ivan Illich

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Ivan Illich

Ivan Illich lahir di Wina, Austria pada september 1926. Ia sebagai anak sulung dari tiga
bersaudara, dan tergolong sebagai anak yang taat pada ajaran Gereja. Saat merenungkan
keberadaanya sebagai anak yang harus mengikuti orang tuanya dan anak yang tak pernah
belajar di sekolah tertentu, Illich menyebutkan bahwa ia sempat berpindah-pindah tempat
tinggal selama empattahun yaitu di Dalmania, Wina, dan Prancis ataupun dimanapun orang
tuanya berada. Baru di rumah kakeknya di Wina, ia bertempat tinggal selama tahun 1930-an.
Saat masih anak-anak ini, perkembangan intelektual Illich bertambah bukan hanya karena
belajar dari sejumlah guru-guru privat yang mengajarkan berbagai bahasa (dan dikuasainya
kemudian) dan membaca buku-buku dari perpustakaan pribadi neneknya, melainkan juga
dengan interaksinya dengan cendekiawan-cendekiawan penting yang menjadi sahabat orang
tuanya(seperti Rudolf Steiner; Raine Maria Rilke, Jacques Maritan, dan dokterkeluarganya
sigmund Freud). Illich dianggap terlalu muda untuk bersekolah,sehingga ia tidak segera
dimasukkan ke sekolah, meskipun sudah menunjukkan kecerdasannya( Abuddin
Nata,2012:276).

Pada tahun 1938, serdadu Hitler menduduki austria, sebagai putra Insinyur Dalmatia yang
kaya dan Ibu Yahudi Sephardic, Illich menjadi korban diskriminasi NAZI terhadap etnos
Yahudi. Pada tahun 1941, bersama ibu dan saudara kembarnya, mereka meninggalkan
Austria dan tinggal di Italia.Walaupun ia sulit menjelaskan keputusannya, pada periode inilah
Illichmemasuki biara.

10
Pada usia 24 tahun, Illich ditahbiskan menjadi pastur dan meraih gelar master dalam
bidang teologi dan filsafat dari Gregorian University, Roma.Tak lama kemudian, ia
memperoleh gelar doktor filsafat sejarah dari University of Salzburg dengan bimbingan
Profesor Albert Auer dan Michael Muechlin. Tulisan Auer teologi penderitaan (theologi of
suffering) abad ke-12 dianggap sangat relevan dengan pemikiran illich, dan dengan ini pula
Illich berhasil menyelesaikan tesis doktoralnya tentang metode sejarah dan filsafat Arnold
Toynbee. Selain itu, Illich juga mempelajari kimia lanjut (kristalografi) di University of
Florence(Abuddin Nata,2012:276-277).

Sungguhpun kecerdasan, sofistifikasi, dan kesalehannya mendukung Illich sebagai calon


ideal untuk tugas diplomatik dari Vatikan, namun pandangan Illich terhadap dimensi
institusional gereja yang kemudian diungkapkan dalam tulisan-tulisannya membuatnya
menolak belajar di collegio (sekolah berasrama). Gereja di Nobili Ecclesiastici. Berkenaan
dengan ini, maka padatahun 1951. Ia memilih meninggalkan Roma untuk mengikuti program
pascadoktoral dengan menulis disertasi tentang kimia (alchemy) berdasarkan karya Santo
Albertus Magnus di Princeton University.

Akan tetapi, sesampainya di New York pada malam hari, sebuah percakapan setelah
makan malam di rumah seorang temannya menyebabkan Illich membatalkan rencana
tersebut. topik percakapan mereka adalah masalah orang Puerto Rico di New York. Tak lama
kemudian, ia menjumpai Kardinal Spellman untuk minta tugaskan di tengah jemaat Puerto
Rico. Kardinalmemenuhi keinginan pastur muda ini, dan menugaskan ke Incarnation Parish
di Washington Hightes, komunitas yang secara historis terdiri dari orang Irlandia yang
mengalami derasnya aliran masuk imigran Puerto Rico.Menurut keuskupan Agung New
York, masalah orang Puerto Rico adalah mengintegrasikan para imigran ke dalam agama
Katolik Amerika sebuah ide yang dianggap chauvanistik oleh Illich dan sangat bertentangan
dengan kasih Kristus. Menurut Illich, “Superioritas kultural itu sangat kuat sebagaimana
manifestasi dosa asal berupa kekacauan bahasa Bibel. Proses memperoleh rahmat”. Tegasnya
melibatkan penelanjangan total nilai-nilai budaya,indahnya kemiskinan budaya(Abuddin
Nata,2012:276-277).

Setelah melapor ke Incarnation Parish, ia mulai mengembangkan danmempraktikkan


pendekatan yang sangat berbeda. Pertama, Illich mempelajari bahasa spanyol selama tiga
bulan. Tiga minggu pertama,latihan Illich dalam program Berlitz mampu mengasah
kemampuan bahasa Spanyolnya melalui interaksi tatap muka dengan para imigran Puerto
rico. Kedua, tidak seperti orang Amerika, Illich melibatkan diri dalam pola-pola budaya
orang Puerto Rico untuk memahami secara lebih baik bagaimana bisa bersahabat dengan
mereka. Ia bukan hanya berpartisipasi dalam aktivitas budaya Puerto rico di New York, tetapi
juga berlibur ke Puerto Rico. Ketiga, Illich meneliti dan mempelajari karakter khas imigran
Puerto Rico, bagaimana imigran mereka berbeda dengan pola-pola imigran sebelumnya ke
Amerika Serikat dan bagaimana kondisi historis Puerto Rico memengaruhi sifat khas orang-
orang Puerto Rico sebagai penganut Katolik. Ia menuliskan temuannya tersebut dalam esai
berjudul Not Foreingners Yet Foreign(Abuddin Nata,2012:277).

11
Buku-bukunya antara lain :

1. Celebration of Awareness A Callfor for Institutional Awareness (1970)

2. Deschooling Society (1971)

3. Tools for Conviviality (1973)

4. Energy and Equity (1973)

5. Medical Nemesis (1974)

6. Descholling Society and Medical Nemesis telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
(dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Sekolah dan Batas-batas Pengobatan; Penerbit Sinar
Harapan dan Yayasan Obor Indonesia). Pustaka Pelajar menerbitkan Matinya Gender dan
Menggugat Pendidikan(Ivan Illich, et al.,2000:165)

Esai-esai Ivan Illich juga banyak tersebar di: The New York Review,The Saturday
Review, Esprit, Kursbuch, Siempre, Amerika, Commowealth,espreuves dan Temps Moderns.
Adapun buku Desholling Society, mendapatpenghargaan World Board of Education(Ivan
Illich,2000:165)

Pada awal 1990-an Illich didiagnosa mengidap kanker, sebagaimana ia sampaikan ide-
idenya dalam Medical Nemesis akhirnya ia memutuskan untuk mengelola sendiri
penyakitnya dibawah nasihat seorang dokter. Pada 2 Desember 2002 Illich menghembuskan
nafas terakhirnya(Zulfatmi,2013:227)

2. Konsep Pemikiran Pendidikan Ivan Illich

Ivan Illich adalah salah seorang yang dianggap berideologi anarkisme pendidikan.
Anarkisme pendidikan adalah sudut pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan
kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mewujudkan sepenuh-
penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan(William F. O‟neil,2008:482).

Sebagai pemikir Humanis dan Religius, Illich cenderung mendefinisikan pendidikan dalam
arti luas. Baginya pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala sesuatu yang ada
dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan. Jadi
pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar sesorang sepanjang hidupnya. Illich
juga menyadari bahwa hak setiap orang untuk belajar dipersempit oleh kewajiban sekolah.
Menurutnya, sekolah mengelompokkan orang dari segi umur yang didasarkan pada tiga
premis yang diterima begitu saja, anak hadir disekolah, anak belajar disekolah, dan anak
hanya bisa diajar di sekolah(Baharudin,2014:131).

Kewajiban bersekolah secara tidak terelakkan membagi suatu masyarakat dalam kutub-
kutub saling bertentangan. Kewajiban sekolah juga menentukan peringkat atau kasta-kasta
Internasional. Semua negara diurutkan seperti kasta dimana setiap posisi suatu negara dalam
pendidikan ditentukan dengan jumlah rata-rata masyarakat bersekolah tentu ini
menyakitkan.Sekolah yang diselenggarakan di zamannya berkata bahwa mereka membentuk

12
manusia untuk masa depan. Tapi mereka tidak meloloskan manusia ke masa depan sebelum
manusia itu telah mengembangkan toleransi tinggi terhadap cara-cara hidup para leluhurnya,
sekolah-sekolah menawarkan pendidikan untuk hidup dan bukan pendidikan dalam
kehidupan sehari-hari Sekolah juga hanya mampu menjejalkan asumsi kepada para murid
bahwa pendidikan hanya berharga bila diperoleh lewat sekolah, lewat proses konsumsi
berjenjang (kelas 1, naik ke kelas2, dst). Para murid belajar bahwa derajat keberhasilan
individu yang akan dinikmati masyarakat bergantung pada seberapa besarkah ia
mengonsumsi pelajaran, bahwa belajar tentang dunia lebih bernilai ketimbang belajar dari
dunia.

Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan memangmerupakan sasaran yang


sangat didambakan dan dapat dilaksanakan. Tetapi mengidentikkan hal ini dengan kewajiban
bersekolah merupakan suatu kekeliruan yang mirip dengan anggapan bahwa keselamatan
sama dengan gereja. Maka, kegagalan sekolah dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bukti
bahwa pendidikan itu mahal sekali, sangat rumit, hanya untuk segelintir orang, dan sering
merupakan tugas yang hampir mustahil(Baharudin,2014:131-132)

Pendidikan universal melalui sekolah tidak mudah dilaksanakan. Jauh lebih mudah kalau
pendidikan universal ini diupayakan melalui lembaga alternatif yang dibangun menurut gaya
sekolah yang ada sekarang. Sikap baru para guru terhadap murid maupun penambahan saran
dan prasarana pendidikan (di sekolah maupun di rumah) tidak akan menghasilkan pendidikan
universal. Demikian pula meskipun tanggung jawab pendidik akhirnya diperluas sedemikian
rupa sehingga menjangkau seluruh masa kehidupan anak didik, pendidikan universal tetap
tidak tercapai.Pencarian saluran-saluran (funnels) pendidikan yang baru sebagaimana
dilakukan sekarang ini, harus dibalik menjadi pencarian kelembagaan, yaitu: jaringan-
jaringan (webs) pendidikan yang meningkatkan kesempatan bagi setiap orang untuk
mengubah setiap momen dalam hidupnya menjadi momen belajar, berbagi pengetahuan, dan
peduli satu sama lain(Baharudin,2014:132)

Menurut Illich, wajib sekolah menimbulkan polarisasi dalam masyarakat. Negara dinilai
seperti kasta-kasta yang derajat pendidikannya ditentukan jumlah rata-rata banyaknya tahun
pendidikan yang dilaksanakan bagi warganya, suatu penilaian yang berkaitan erat dengan
pendapatan per kapita. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama merupakan tujuan
yang dapat dilaksanakan. Namun, menyamakannya dengan keharusan bersekolah sama
kelirunya dengan anggapan keselamatan gereja. Sekolah telah menjadi agama yang dianut
proletar modern dan memberikan janjihampa dan keselamatan kepada kaum miskin di zaman
teknologi sekarang ini.Negara kebangsaan telah memeluknya, mengatur warganya mengikuti
jenjang jadwal sekolah, dan mendapatkan ijazah, tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara
inisiasi dan penasbihan jabatan keagamaan pada zaman dahulu(Muhammad Thobroni dan
Arif Mustofa,2013:365).

Secara garis besar pemikiran pendidikan Ivan Illich adalah membatasi peran sekolah(Abudin
Nata:278).

13
C. Driyakarya

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Driyakarya

Driyarkara lahir di lereng Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1913, dan
meninggal pada 11 Februari 1967 di usia 53 tahun 8 bulan. Driyakarya lahir di desa
Kedunggubah, sebelah Timur Puwerejo,Kedu, Jawa Tengah, dengan nama Soehirman dan
biasa dipanggil Djenthu, yang berarti kekar dan gemuk. Soehirman berganti nama menjadi
Driyarkara pada tahun 1935, ketika masuk Girisonta dan mulai hidup baru dalam Serikat
Jesus, yang anggotanya biasa dipanggil Jesuit. Driyarkara merupakan anak bungsu keluarga
Atmasendjaja dari empat bersaudara.Kakaknya terdiri dari dua perempuan dan satu laki-
laki.Perjalana pendidikan Driyakara dimulai dari sekolah Volkschool dan Vevolgschool di
Cangkrep, lalu dilanjutkan dengan HIS (Hollandsch Inladsche School) di Purworejo dan
Malang. Jarak yang harus ditempuh dari rumahnyake Cangkrep sekitar 5 km, sedangkan ke
Purworejo 8 km.Semuanya ia tempuh dengan berjalan kaki. Wirjasendjadja, lurah Desa
Kedunggubah dan juga paman Driyakara memiliki peran penting dalam perjalanan
pendidikan formalnya. Wirjasendjadja selalu mendukung Driyakara untuk terus belajar(Asep
Rifqi Abdul Aziz,2016:130).

Tahun 1929 Driyakara masuk Seminari Menengah, Sekolah Menengah khusus calon
imam Katolik setingkat dengan SMP dan SMA,dengan Program Studi Humaniora
Gymnasium di Negeri Belanda.Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah di Seminari,
Driyakara mulai menempuh pendidikan tinggi untuk calon imam bergabung dengan Serikat
Jesus. Selama dua tahun mempelajari ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora
(bahasa Latin, Yunani kuno serta sejarah kebudayaan Timur dan Barat) guna persiapan untuk
studi filsafat. Semuanya dijalani Driyakara di Girisonta. Antara tahun 1935-1941, Driyakara
menghabiskan waktunya untuk belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta,
yang pada waktu itu disebut Ignatius College.

Tahun 1942-1943 Driyakara belajar teologi di Kolose Muntilan bersama rekan-rekannya


sesama Jesuit, sebelum Kolose Muntilan ditutup oleh Jepang. Setelah Kolose tersebut ditutup
oleh Jepang, Driyakara dipanggil ke Yogyakarta untuk bergabung dengan misionaris
Belanda,termasuk didalamnya dosen-dosen filsafat, untuk masuk interniran.Driyakara
diamanati untuk mengajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta.Disamping menjalankan
tugasnya sebagai dosen, Driyakara juga acapkali belajar teologi secara otodidak sebagai
persiapan untuk di tahbiskanmenjadi imam Katolik. Driyakara ditahbiskan pada tanggal 6
Januari tahun 1947 oleh Mgr. Soegijapranata S.J. yang berkedudukan di Semarang dan
membawahi umat Katolik di sebagian Jawa Tengah dan seluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Tanggal 24 Juli 1947, Driyakara ditugaskan oleh Mgr. Soegijapranata dan pimpinan
Serikat Jesus di Indonesia untuk menyelesaikan studi teologinya di Maastricht, Belanda.
Penugasan itu dilatarbelakangi anggapan bahwa dengan diselenggarakannya perjanjian
Linggarjati pada tanggal 15 November 1946, sengketa antara Republik Indonesia dan
Kerajaan Belanda sudah selesai. Meski pada kenyataannya belum juga usai. Dengan berat

14
hati, Driyakara berangkat ke Belanda untuk menunaikan tugasnya. Bukan atas dasar ‘tega’
terhadap Indonesia, namun lebih pada ketaatan.

Tahun 1949, Driyakara menyelesaikan studi teologinya, dilanjutkan dengan studi tentang
kehidupan rohani di Drogen, dekat Gent, Belgia. Kemudian pada tahun 1950-1952, Driyakara
melanjutkan studi Doktoralnya di bidang filsafat di Roma, tepatnya di Universitas
Gregoriana, dengan disertasi doktoral berjudul Participationis Cognitio In Existential Dei
Percipienda Secundum Malebranche Utrum Partem Hebeat (Peranan Pengertian Partisipasi
dalam Pengertian tentang Tuhan Menurut Malebranche’. Setelah menyelesaikan program
studi Doktoralnya, Driyakara kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi pengajar filsafat di
Ignatius College, Yogyakarta. Pada tahun 1955-1956, Driyakara diangkat menjadi pimpinan
PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma, Yogyakarta, yang selanjutnya
berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), di mana Driyakara tetap
menjadi Dekannya. Seiring perjalanan waktu, FKIP pun berubah menjadi IKIP (Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan), namun tidak ada perubahan dalam struktur.

Driyakara tetap menjadi Rektor sampai akhir hayatnya. Bahkan, selain menjadi Rektor
sejak awal tahun 1960, Driyakara juga menjadi Guru Besar Luar Biasa di Univertisat
Indonesia dan Hassanudin.Selain di dunia akademis, Driyakara juga aktif di dunia politik.
Pada tahun 1960 dia diangkat menjadi anggota MPRS. Kemudian pada tahun 1965 dia
menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).Tapi sayang sejak bulan
januari 1965, dewan ini tidak pernah mengadakan rapat. Hal itu berimbas pada fungsinya
sebagai aparatus Negara yang minim fungsi. Akhirnya, setelah berbagai macam peristiwa
terlewati,sekitar tanggal 11 Maret 1966, Presiden membentuk DPA(S) baru. Dia salah satu
anggota dari 18 orang yang menentang berdirinya dewan tersebut secara resmi, dengan alasan
selama Driyakara menjabat sebagai anggota DPA tidak pernah dimintai nasihat. Selain itu,
pendirian DPA(S) tidak memenuhi prosedur yang berlaku(Asep Rifqi Abdul Aziz,2016:131-
132).

2. Konsep Pemikiran Pendidikan Drikarya

Konsep Pendidikan menurut Driyarkara Pembicaraan dan diskusi-diskusi mengenai


seorang Nicolaus Driyarkara SJ tak kan pernah terlepas dari pemikiran-pemikirannya yang
sangat menarik dikembangkan khusunya dalam dunia pendidikan. Filsuf Indonesia ini
mencoba memberikan diri, bakan talenta dan kemampuannya demi bangsa ini lewat
pendidikan. Dalam dunia pendidikan katolik khususnya bidang filsafat akan selalu
bersinggungan dengan buah-buah pemikiranya yang menjadi sumbangsih bagi perkembangan
ilmu berpikir di Indonesia ini (Edy Prasetyo, 2009).

Dalam Oktaviano Donald (2012),Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan


sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi dan
humanisasi”. Pemikiran Driyarkara kiranya dapat mencegah pendidikan yang berorientasikan
gambaran manusia yang tidak fundamental. Gambaran Driyarakara tentang pendidikan
sebagai suatu aktifitas fundamental, pemanusiaan manusia muda kiranya merupakan suatu
antisipasi yang efektif untuk meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan (Oktaviano
Donald, 2012).
15
Dalam Oktaviano Donald (2012), Driyarkara merumuskan definisi pendidikan dalam
tiga rumusan yang satu sama lain tidak terpisah, melainkan saling memuat. Tiga rumusan itu
adalah sebagai berikut: Berdasarkan pemanusiaan yang dilakukan pendidik dan anak didik:
pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, di mana terjadi
pemanusiaan anak, dengan mana dia berproses untuk akhirnya memanusia sendiri sebagai
manusia purnawan. Berdasarkan ide mengenai hominisasi dan humanisasi: pendidikan adalah
hidup bersama dalam kesatuan tri tunggal bapak-ibu-anak, di mana terjadi pembudayaan
anak, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia
purnawan. Berdasarkan pandangan mengenai pelaksanaan nilai-nilai: pendidikan adalah
hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, di mana terjadi pelaksanaan nilai-
nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia
purnawan.

Yang pertama, Bagi Driyarkara, kesatuan hidup terwujud nyata terutama dalam
perkawinan. Perkawinan adalah pelaksanaan cinta kasih dalam kesatuan hidup. Cinta kasih
itu antara dua pribadi yang sama tingginya, derajatnya, haknya. Dua pribadi menjadi satu;
dua aku menjadi kita. Itulah ideal perkawinan. Dalam kesatuan hidup lalu muncullah
keturunan. Kesatuan cinta kasih, selain biologis, juga merupakan kesatuan jasmani-rohani.
Anak manusia itu tidak hanya lahir dari badan, melainkan juga “lahir dari jiwa”. Karena
terdapat anak, kesatuan itu menjadi lebih erat. Kesatuan hidup ini dapat disebut Bhinneka
Tunggal atau tritunggal karena ketiganya merupakan konfigurasi tersendiri. Jadi hubungan
bapak, ibu dan anak merupakan relasi Bhineka Tunggal, tempat perwujudan primer dari
pendidikan. Yang kedua, dalam bagian Fenomena Pendidikan Driyarkara menulis tentang
pendirian-pendiriannya mengenai pendidikan: bahwa pendidikan merupakan kegiatan sadar
untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi dan humanisasi”.
Menurut Driyarkara, hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum, yakni
memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal.

Berbeda dengan binatang, manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusia sesudah
kelahirannya. Di situlah peran pendidikan. Sesudah masuk dalam lingkup manusiawi dengan
memenuhi kodratnya niscaya, pendidikan selanjutnya memanusiakan manusia secara khusus
dalam proses humanisasi. Humanisasi adalah perkembangan kebudayaan yang lebih tinggi,
seperti tampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan. Manusia turun
tangan dalam mengangkat alam menjadi alam manusiawi. Tidak ada batas antara hominisasi
dan humanisasi.Tidak akan ada hominisasi tanpa humanisasi sedikit pun. Yang ketiga,
Driyarkara menegaskan bahwa pengejaran nilai-nilai merupakan unsur yang mengorganisir
dan datangnya dari pihak pendidik. Tidak ada unsur yang hanya melulu dari satu pihak:
perkembangan anak pun mempersatukan perbuatan-perbuatan yang bersifat mendidik
sehingga tidak tercerai-berai; tidak terpisah-pisah tanpa hubungan, melainkan merupakan
suatu kesatuan.

Guru menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar. Dalam istilah Driyakarya
dalam Suparno (2004), guru menjalankan fungsinya membantu anak didik berkembang
menjadi manusia yang lebih utuh. Guru harus mampu mengusahakan agar anak didik
berkembang dan berhasil. Bila ada anak didik yang nakal dan lambat berpikir, ia harus dapat

16
mecari jalan bagaimana dapat membantu mereka. Sejalan dengan seorang dokter mengobati
pasien, bagaimana dapat menyembuhkan pasien bukan pertama-pertama minta upah (Hamzah
Nur, 2009).

Berkenaan dengan proses pendidikan karakter dalam Juneman (2010), Mardiatmadja


mengungkapkan bahwa karena nilai berkenaan dengan hakikat manusia, maka pendidikan
harus mulai dengan membantu peserta didik untuk mengenal manusia dalam kemandiriannya
(kebebasan, kemerdekaan) yang otentik. Selanjutnya, nilai kebersamaan juga amat penting.
Kebebasan/kemandirian manusia dalam relasi dengan “yang lain” itu terjalin dalam rangkaian
“pedoman-pedoman” yang masuk akal. Selanjutnya peserta didik perlu dibantu untuk
menangkap bahwa nilai harus dikejar dan dicapai.

D. Paul Freire

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Paul freire

Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia


mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu
pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut
membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas. Freire mulai belajar di Universitas
Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan
psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar
berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-
sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa
de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya
sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka(Samuel Bowles dan Herbert
Gintis,2001:428).

 Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama
bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire
mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai
teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama
Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat
untuk  ikut memilih dalam pemilu(ibad:428).

 Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari
Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan

secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan
menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil
menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri(ibad:429).

  Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire
dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri
untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan

17
Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang
pertama,Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.

Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di
Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal,
Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa
Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena
perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan
Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di
Brasil dan memulai proses liberalisasi. Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke
Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja
se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk  pembaruan pendidikan di
bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik. Pada
1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980.

Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak


sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT
menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris
Pendidikan untuk São Paulo. Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi
Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.
Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan
menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip
Freire. Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa
penghargaan yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk
Pembangunan Internasional Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama istrinya,
Elza Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian Paulo Freire
menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik
dari Plato, tetapi juga dari para pemikir  Marxis dan anti kolonialis.

2. Konsep Pemikiran Pendidikan paulo freire

Konsep pendidikan menurut paulo freire yaitu kebebasan, Kebebasan secara umum
berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana
saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk
di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak,
sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga
mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua
kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan dan
kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk(Ibad:430).

Sementara pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”.Kaitan antara


pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan.Kata Driyarkara, pendidikan
adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi
dewasa, menjadi lebih manusiawi(“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan
massifikasi jalur kultural.Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi

18
pendidikan”.Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang
berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan(Ibad:430).

Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang
dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama,menyiapkan generasi muda untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan.Kedua,mentranfer atau
memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga,mentransfer
nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat
bagi kelangsungan hidup ( survive) masyarakat dan peradaban.

Dalam perkembangan berikutnya,ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, se jalan


dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi
sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan
sekaligus sebagai agen pembaharuan. Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam
pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan pendidikan
disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya. Kepentingan pendidikan
seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya
lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa depan secara akurat dan memadai. Maka,
muncullah berbagai kritik terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat
pendidikan telah mengalami stagnasi,yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam
pendidikan(Ibad:431).

Salah satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere. Menurut
Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri,
termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat
dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas.
"Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang
menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah
melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep
pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya,
sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis
pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-
ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang
sesungguhnya.

Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence) Keprihatinan
Friere terhadap kaum tertindas (oppressed ) telah mendorong dirinya untuk mengantisipasi
persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas yang
menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran
mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka,
untuk menolak citra diri tersebut harus menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggung
jawab. Kebebasan hanyabias “direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.

Di dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm
sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;“(manusia)
menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak
19
dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak bebas, jika ia tahu
tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka tidak tahu. Karena ia
tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa yang tidak dikenalnya dan ia
akan mengiakan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia
semakin tidak berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.

Manusia modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah
dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa disadari oleh
manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilankan kemampuan untuk memilih dan
mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian tidak terbiasa untuk
menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya menerima apa adanya dari hasil
penafsiran penguasa atau kaum“elit”.

 Jika kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan
renaissance itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai
ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan
teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung,yang menjadi “cita-cita”,nya
adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara
bebas. Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko bahwa yang kita butuhkan adalah
pembebasandari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan “dari rasa cemas, rasa keharusan
untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh
wewenang yang lebih tinggi atau oleh adat kebiasaan”.

Melalui pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan


bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan
teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”,
maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan memformulasikannya dalam
sebuah model “penyadaran(conscientizacao). Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah
upaya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di
sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan
sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.

“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire)
merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi
oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu
secara syechochical  berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi
(yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan
sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang
melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada
dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-
wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau
tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu
yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk
mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada
20
bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya
diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang messnindas. Harus ada
kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita
terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. Upaya menggerakkan
kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang
revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga.

Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem


borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis.
Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran
kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan
yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan
ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru
adalahtatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh
atas masyarakat keseluruhan. Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan
realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan
pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan
yang membebaskan.

Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan
sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui
transformasi dan subversi terhadap  pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang
“didepositokan” dalam buku- buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan
dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual. Kebebasan tentu ada batasnya.
Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh
“kaum tertindas” tersebut.Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan
tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan
menimbulkan anarkhisme.

Oleh sebab itu,kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa
kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin
pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk
membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan
langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata
kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan
yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk
meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang
membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" ( submerged society) kepada
masyarakat terbuka (open society).

E.Al-gazali

1.Riwayat hidup dan pendidikan AL-gazali

Nama lengkapnya adalah Hujjatul Islam Abu Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Gazali, karena kedudukannya yang tinggi dalam Islam, maka ia diberi gelar

21
hujjatul Islam. Ia dilahirkan pada tahun 450 H. di Kota Thus kota kedua di Khurasan setelah
Naisabur. Ayahnya adalah seorang pemintal wol yang hasilnya dijual sendiri di tokonya di
Thus. Menjelang ajalnya, ia berwasiat kepada seorang sufi yang juga teman karibnya untuk
memelihara kedua anaknya yang masih kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad dengan
menyerahkan sedikit harta warisan untuk kedua anaknya tersebut. Sahabatnya, sufi itu
menerima wasiat dengan baik, setelahharta warisan itu habis, sementara sufi tersebut hidup
dalam keadaan fakir miskin,maka ia menyerahkan al-Gazali dan saudaranya kepada sebuah
madrasah di Thus agar mendapatkan pendidikan dan dan perawatan yang layak. Di madrasah
inilah potensi intlektual dan spritual al-Gazali tumbuh dan berkembang hingga
akhirhayatnya. Dalam perekembangannya, situasi struktural dan kultural masyarakat
padamasa hidupnya turut mempengaruhi pemikirannya(Zainal Abidin Ahmad,1975:1975).

Al-Gazali mempelajari dasar-dasar fiqih di kampung halamannya sendiri,setelah itu ia


merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Naisabur.
Di Jurjan, ia mengkaji lebih dalam tentang fiqh dengan berguru kepada kepada seorang pakar
fiqh yang bernama Abu al-Qasim Ismail bin Mus‟idah al-Ismai‟ili (Imama Abu Nasr al-
Isma‟ili). Setelah kembali ke Thus, al-Gazali berangkat lagi ke Naisabur, di tempat ini ia
belajar kepada Imam Abu al-Ma‟ali al-Juwaini dalam bidang ilmu fiqh, ilmu debat, mantik,
filsafat dan ilmukalam. Berbekal kecerdasan, kerajinan dan ketekunan yang dimilkinya, maka
dalam waktu yang relatif singkat ia menjadi ulama besar dalam mazhab fiqh syafi‟iyah dan
dalam teologi al-Asy‟ariyah, bahkan ia dikagumi oleh gurunya sendiri, al-Juwaini dan juga
ulama pada umumnya(Marsuki, et.al.,2005:13).

Selanjutnya al-Gazali meninggalkan Naisabur setelah imam al-Juwaini wafat pada tahun
1085 M. Dari Naisabur, ia menuju Bagdad dan menjadi guru besar di Madrasah Nidzamiyah
yang didirikan perdana menteri Nidzam al-Mulk(Samsul Nizar,2002:86).

Al-Gazali wafat pada usia 55 tahun tepat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/19
Desember 1111 M. di Thus, ia dimakamkan di sebelah Timur benteng di makam Thaberran,
berdekatan dengan makam penyair besar, Firdausi(Thamil Akhyan Dasoki,1993:63).

2.Konsep pendidikan menurut Al-gazali

1). Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan dalam perspektif al-Gazali ada dua, yaitu pertama, tercapainya insān
kāmil (kesempurnaan insani) yang berorientasi pada taqarrub kepada Allah Swt. Kedua,
tercapainya insān kāmil (kesempurnaan isani) yang berorientasi kepada kebahagian dunia dan
akhirat(Abu Muhammad Iqbal,2013:14).

Nampaknya al-Gazali menempatkan dunia sebagai salah satu tujuan pendidikan,


meskipun demikian, ia menegaskan bahwa mempersiapkan diri untuk untuk masala-masalah
dunia hanya sebagai sarana menuju kebahagian hidup di alam akhirat yang lebih utama dan
lebih kekal.

2).Konsep Ilmu

22
Menurut al-Gazali, proses belajar yang dilakukan seseorang adalah usaha orang tersebut
mencari ilmu yang akan dipelajarinya. Berkaitan dengan itu, ia berpendapat bahwa ilmu yang
dipelajari dapat dipandang dari dua segi, yaitu ilmu sebagi proses dan ilmu sebagai objek.

a. Ilmu Sebagi Proses

Sebagai proses, al-Gazali mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga. Pertama, ilmu hissiah,
yaitu ilmu yang diperoleh melalu alat indra. Misalnya, seseorang belajar melalui alat
pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Dari hasil pengindraan itulah seseorang mendapat
ilmu. Kedua, ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kegiatan nalar (akal). Ketiga,
ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses
pengindraan atau berpikir, melainkan melalui hati dalam bentuk ilham(Baharuddin, et.
al.,2009:42).

b. Ilmu Sebagai Objek

Sebagai objek, al-Gazali membagi ilmu menjadi tiga. Pertama, ilmu yang tercelah secara
mutlak seperti sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan, ilmu-ilmu ini tidak ada manfaatnya baik
di dunia maupun di akhirat. Kedua, ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun
banyak, seperti ilmu ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta
ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan
melaksanaknnya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri
kepada kepada Allah serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Ketiga, ilmu yang dalam
kadar tertentu terpuji,tetapi mendalminya tercela, seperti ilmu ketuhanan, cabang ilmu filsfat,
bila ilmu-ilmu tersebut diperdalam akan menimbulkan kekufuran dan ingkar(Al-Imâm Abi
Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Gazali,2008:52-55).

Selanjutnya al-Gazali menegaskan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama
dengan segalah cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan
daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat manusia yang termulia karena dengan akal itulah
amanah Allah diterima oleh manusia(Al-Imâm Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-
Gazali,1993:21).

3). Jenis Ilmu

Metode yang dugunakan dalam mengkaji ilmu disesuaikan dengan ilmu sebagai objek
kajian. Karena itu, metode kajian selalu sesuai dengan ilmu yang akan dikaji. Menurut al-
Gazali, ilmu terdiri dari dua jenis, yaitu ilmu kasbi (khusûli) dan ilmu ladunni (kudûri) ilmu
kasbi diperoleh melalui cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara secara
konsisten melalui proses pengamatan,penelitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini bisa
diperoleh oleh manusia pada umumnya(Baharuddin, et. al.:43).

Sedangkan ilmu ladunni (kudûri) adalah orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses
perolehan ilmu pada umumnya, akan tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya
Ilahi dalam qalb. Dengan hadirnya cahaya Ilahi tesbut, semua pintu ilmu terbuka menerangi
kebenaran, terserap dalam kesadaran intlek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu
langsung dari Tuhan. Untuk bisa memperoleh ilmu teresbut, maka harus melalui proses

23
pensucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan melakukan riadat, seperti berpuasa dan
bersikir(Baharuddin, et. al.:43)

4). Metode Belajar

Menurut al-Gazali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu ada dua macam,yaitu
pendekatan ta’lîm insânî dan ta’lîm rabâni(Baharuddin, et. al.:44).

a. Ta’lîm insânî

Ta’lîm insânî adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini adalah cara
umum yang dilakukan orang, dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat- alat
indrawi. Proses ta’lîm insânî ini dibagi dua(Baharuddin, et. al.:44).

●Pores eksternal melalui belajar

Menurut al-Gazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi aktifitas eksplorasi
pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Seorang guru mengeksporasi ilmu
yang dimilikinya untuk disampaikan kepada muridnya,sedangkan murid menggali ilmu dari
gurunya demi untuk mendapatkan ilmu.Selanjutnya al-Gazali menganologikan menuntut
ilmu dengan menggunakan proses belajar mengajar ini seperti seorang petani (guru) yang
menanam benih (ilmu yang dimiliki oleh guru) di tanah (murid) sampai ia menjadi pohon
(perilaku). Kematangan dan kesempurnaan jiwa sebagi hasil belajar oleh al-Gazali
diibaratkan sebagai pohon yang telah berbuah.

● Proses internal melalui proses tafakkur

Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam berbagai dimensinya wawasan spritual
dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakkur ini dapat dilakukan apabila jiwa dalam
keadaan suci. Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan kekuatannya ke
titik nol, maka ia seakan-akan berdiri di depan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan
dengan guru. Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan manusia masuk di dalamnya.

b. Ta’lîm rabâni

Pendekatan ini merupakan belajar dengan bimbimgan Tuhan. Seseorang akan


mendapatkan pengetahuan dari Allah jika kondisi jiwanya dalam keadaan suci, tidak tercemar
dari perbuatan dosa dan nista, jiwanya hanya ditujukan kepada Allah. Dan ia juga mengharap
akan kemurahan dan kebesaran Allah. Dengan ketulusan dan kesucian jiwa tersebut, Allah
menjadikan dirinya lauh (lembaran suci) dan qalam, lalu Allah lukiskan di dalam lembaran
tersebut seluruh ilmuNya(Baharuddin, et. al.:48).

Dengan demikian, ilmu ladunni (kudûri) adalah ilmu yang diperoleh tanpa ada sarana atau
medium antara jiwa dan Allah. Ilmu ini diperoleh orang-orang tertentu,ibaratnya sorot cahaya
dari lentera gaib yang tertuju ke hati yang suci, kosong dan lembut(Al-Gazali, al-Risalah al-
Ladunniah2002:152).

24
Beradasarkan uraian di atas, nampaknya al-Gazali sangat terpengaruh dengan ilmu tasauf
yang digeluti dan dianutnya dalam pembagian dan proses memperoleh ilmu. Konsep ilmu
ladunni (kudûri) persfektif al-Gazali, meskipun nampak kurang rasional, tapi itu tidak berarti
mustahil diperoleh oleh orang-orang tertentu yang bisa mendekatkan (taqarrub) diri kepada
pemilik ilmu yang sebenarnya yaitu Allah Swt.

5). Konsep Pembelajaran

Pandangan al-Gazali tentang pembelajaran meliputi bagaimana seharusnya siswa belajar,


tugas adan adab guru, ketiga komponen tersebut adapat diuraikan sebagai
berikut(Muhammad Iqbal,:38):

a. Menciptakan rasa aman, kasi sayang, dan lingkungan yang kondusif sehingga
memungkinkan siswa belajar belajar dengan nyaman. Guru hendaknya menyangi dan
memperlakukan siswa dengan lemah lembut, sebagaimana ia menyayangi putranya sendiri.
Bahkan dalam kitab Ihya’ ulûm al-dîn, al-Gazali menegaskan bahwa guru adalah orang tua
yang sebenarnya, ia berargumenbahwa orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita,
mereka yang menyebabkan kita lahir di dunia yang fana. Sedangkan seorang guru
memberikan ilmu untuk mencapai kehidupan yang kekal.

b. Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat pemahaman siswa, seorang
guru yang mengajar siswa harus meneyesuaikan dengan kondisi fisik dan tingkat intlektual
siswanya.

c. Guru harus mengedepankan keteladanan, karena seorang siswa belajar bukan semata-mata
mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh guru, tetapi siswa juga memperhatikan
penampilan, sikap dan segala tingkah laku guru yang tampak. Menurut al-Gazali, guru yang
tidak mengamalkan ilmu yang diajarkan dibaratkan jarum yang memberi pakian kepada
orang lain sementara ia sendiri telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menyinari
sekitarnya, tetapi dirinya sendiri terbakar.

d. Guru sebaiknya mengunakan metode praktek (demonstrasi). Metode ini sangat berguna
untuk menguatkan ingatan siswa dan menambah ilmu ilmu lain yang belum dipelajari.

e. Guru dianjurkan membimbing dan menasihati siswa dan melarang mereka dari akhlak
tercela. Akhlak tercela meliputi hasad, iri hati, marah, rakus, sombong dan lain sebagainya.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa nasihat hendaknya dilakukan dengan cara yang halus,
misalnya sindiran atau kiasan, karena jika dilakukan dengan dengan terang-terangan, hal ini
akan merendahkan harga diri siswa.

f. Guru sebaiknya mengajarkan satu disiplin ilmu secara mendalam kemudian melakukan
tafakkur, nampaknya al-Gazali lebih mementingkan kualiatas ilmu yang diperoleh oleh siswa,
bukan dari segi kwantitanya(Muhammad Iqbal,:38-40).

25
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

26
konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu: a) memajukan budi pekerti setiap
manusia yang berarti bersatunya gerak pikiran dan kehendak, yang kemudian menimbulkan
tenaga; b) memajukan cara berfikir manusia dengan berpikir realitas, cerdas dan
kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari ketidaktahuan; dan c) dari pemikiran Ki Hajar
Dewantara tersebut dapat diklarifikasi bahwa pemikirantersebut masih relevan hingga saat
ini.
Konsep pendidikan menurut van Illich cenderung mendefenisikan pendidikan dalam arti
luas.Baginya pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala sesuatu yang ada
dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan. Jadi
pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar sesorang sepanjang hidupnya. Illich
juga menyadari bahwa hak setiap orang untuk belajar dipersempit oleh kewajiban
sekolah.Menurutnya, sekolah mengelompokkan orang dari segi umur yangdidasarkan pada
tiga premis yang diterima begitu saja, anak hadir disekolah, anak belajar disekolah, dan anak
hanya bisa diajar di sekolah.Secara garis besar pemikiran pendidikan Ivan Illich adalah
membatasi peran sekolah.
Pendidikan menurut Driyarkara adalah pemanusiaan manusi muda. Pengangkatan manusia
muda ke taraf insani dan itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik yang
jumlah dan macamnya tak terhitung.
Friere basis gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran kritis untuk membuka
kesadaran “kaum tertindas”, Friere menginginkan adanya kesadaran akan bahaya budaya
industri, sekalipun manusia telah berhasil meningkatkan standar hidupnya, tetapi dalam
waktu yang sama budaya itu cenderung untuk menempatkan manusia pada posisi tercerabut
dari akar kemanusiaannya.
Konsep pendidikan menurut Imam al-Ghazali adalah suatu proses jiwa untuk memahami
makna sesuatu sebagai upaya pembentukan akhlakul karimah guna mendekatkan (taqarrub)
diri kepada Allah demi mencapai keselamatan di dunia dan di akherat. Konsep pembelajaran
al-Ghazali menekankan pada persyaratan akhlak sebagai basis utama , akan tetapi al-Gazali
lebih cenderung pada pengajar (al-Mu’allim). Artinya, interaksi guru dan siswa dalam proses
pembelajaran harus saling menjunjung etika tanpa harus mematikan kreativitas dan dinamika
belajar. al-Gazali menjadikan akhlak sebaga basis pemikiran mereka dalam melakukan
kontruksi pemikiran pendidikan.
B.Saran
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah pada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik, dan tentunya masih jauhdari sempurna karena kesempurnan hanya
milik allah SWT. Oleh karena itu, masih perlu kritik dan saran yang membangun serta
bimbingan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

DAFTAR PUSTAKAH

Ahmad, Abidin, Zainal, Riwayat Hidup Imam al-Gazali. Jakarta: Bulan Bintang,1975.

Al-Gazali,Muhammad, al-Risalah al-Ladunniah. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 202.

27
Al-Gazali,Muhammad, Ihyâ Ulûm al-Dîn, al-Juz I. Cet.I; Lubnân: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
2008.

Al-Gazali,Muhammad, Ihyâ Ulûm al-Dîn, al-Juz V. Cet.I; Lubnân: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,
2008.

Al-Gazali,Muhammad, Mukhtashar Ihyâ Ulûm al-Dîn. Cet. I; Lubnân: Dâr al-Fikr, 1993.

Asep Rifqi Abdul Aziz(2016).“Konsep hominisasi dan humanisasi menurut Drikarya”,Jurnal


Pemikiran islam dan filsafat.

Baharuddin, et. al., Teori Belajar dan Pembelajaran. Cet.I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Baharudin , „‟Gagasan Ivan Iliich dalam Buku Descholling Society,„‟ Terampil, 2 Januari,
2014, 118.

Bowles, Samuel dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat


Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Dasoki, Akhyan, Thamil, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Thoha Futra,1993.

Dewantara, K. H. (1967). Kebudayaan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewantara, K. H. (1977). Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

F. O‟neil, William. Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008.

Hamzah Nur. (2009). Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Jurnal Medtek. Volume 1 Nomor
2. Diakses 8 desember 2022.

Illich, Ivan. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah terj. Sonny Keraf. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2000.

Iqbal, Muhammad, Abu, Konsep Pemikiran al-Gazali Tentang Pendidikan. Cet. I;Jaya Star
Nine, 2013.

Juneman. (2010). Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan (Lptk) Dalam


Tantangan: Konvergensi Ilmu Pendidikan Dengan Psikologi Sosial Serta Hikmah
Pembelajaran Lintas Budaya Dalam Merajut Proses Pendidikan Berkarakter Dan Berbudaya.
Proceedings Of The 4th International Conference On Teacher Education; Join Conference
UPI & UPSI Bandung, Indonesia. Diakses 8 desember 2022 Juni 2015 .

Marsuki, et.al., dalam Wacana Jurnal Studi Islam, Vol. V (Surabaya: IAIN Sunan Ampel,
2005).

Muthoifin, M., & Jinan, M. (2015). Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara: Studi Kritis
Pemikiran Karakter dan Budi Pekerti Dalam Tinjauan Islam. Jurnal Studi Islam, 16(2), 171.

28
Nata, Abuddin. Pemikiran pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2012.

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.Jakarta:
Ciputat Press, 2002.

Oktaviano Donald. (2012). Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda.


Diakses 8 desember 2022. http://kampusbebeck.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-
false-en-us-x-none.html

Samho, B., & Yasunari, O. (2010). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-
Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Universitas Katolik Parahyangan
Bandung.

Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi


Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 25(1), 63.

Suroso, S. (2011). Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Belajar dan Pembelajaran.


Scholaria: Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 1(1), 46–72.

Susilo, S. V. (2018). Refleksi Nilai-nilai Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Upaya-


upaya Mengembalikan Jati Diri Pendidikan Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas, 4(1), 33–41.

Thobroni, Muhammad. dan Mustofa, Arif. Belajar dan Pembelajaran. Yogjakarta:Ar-Ruzz


Media, 2013.

Utami, P. N. (2017). Konsep Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Institut


Agama Islam Negeri Salatiga.

Yanuarti, E. (2017). Pemikiran Pendidikan Ki. Hajar Deantara dan Relevansinya dengan
Kurikulum 13. Jurnal Penelitian, 11(2), 237–266.

Yohana, N. (2017). Konsepsi Pendidikan Dalam Keluarga Menurut Pemikiran Ki Hadjar


Dewantara dan Hasan Langgulung. Jurnal Ilmiah Kajian Islam, 2(1), 5.

Zulfatmi, „‟Reformasi Sekolah (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ivan Illich),‟‟Didaktika,


Agustus, 2013, 221.

29

Anda mungkin juga menyukai