Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN


FILSAFAT DRIYARKARA
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan

Dosen: Sari, M.Pd

Disusun oleh:
Ayu Ristiani 1182080009
Cucu Nurlatifah 1182080011
Fauzia Nurul Mi`raj 1192080027
Irmalasari Nengsih 1192080035
Vina Azizah 1192080077

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih


lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah. Terima kasih juga kepada pihak yang sudah
ikut serta dalam pembuatan makalah kami yang berjudul “Hakikat Pendidikan
Dan Pembelajaran Berdasarkan Filsafat Driyarkara”.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pandangan tentang


ilmu pendidikan yang kami sajikan berdasarkan sumber referensi. Makalah ini
disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah SWT, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
meminta maaf karena ketidaksempurnaan makalah kami ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandung, 02 Maret 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ..................................................................................... 1
B. TUJUAN............................................................................................................ 2
BAB II ISI ............................................................................................................... 3
A. LANDASAN TEORI ....................................................................................... 3
1. Profil Driyarkara....................................................................................... 3
2. Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia .... 4
B. ULASAN MATERI ....................................................................................... 10
1. Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran berdasarkan filsafat diryarkara . 10
2. Hubungan Filsafat Driyarkara dengan Nilai-Nilai Islam ....................... 12
C. PERMASALAHAN DAN SOLUSI ............................................................ 13
D. SOLUSI DAN PENELITIAN ...................................................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusiawi sesudah


kelahirannya. Gagasan memanusiakan manusia diperjuangkan oleh Driyarkara,
dengan tidak mereduksinya ke dalam paradigma obyektifitas, rigid, dan tertutup.
Di satu sisi, manusia berbentuk materi seperti makhluk lainnya. Di sisi lain
manusia adalah persona yang memiliki kepribadian sebagai identitas khusus, tidak
dimiliki makhluk lain. Dengan personanya, manusia berbudaya membangun relasi
dengan yang lain. Relasi tersebut tidak akan mencapai kulminasi idealnya tanpa
pendidikan. Pada intinya, Driyarkara ingin mengungkapkan bahwasanya
pendidikan merupakan proses perubahan ganda: pertama perubahan dalam diri
manusia sendiri yang disebut sebagai eksistensia. Kedua di dalam pendidikan,
proses perubahan diri haruslah menyatu dengan perubahan masyarakat serta
budaya.
Perubahan zaman, selain memiliki keunggulan yang patut untuk
dibanggakan juga memiliki dampak negatif yang setia merongrong. Namun
dampak negatif itu tidak secara eksplisit dapat diserap, maka hanya sebagian
orang yang mampu mengidentifikasi dan menyadarinya. Moderenisasi, begitulah
kebanyakan orang menyebutnya, merambah hampir ke segala sisi: dari bidang
ekonomi, sosial, politik, ideologi, kultur termasuk pendidikan. Meskipun dalam
konteks historisnya moderenisasi muncul di belahan dunia Barat, namun
berangkat dari sanalah moderenisasi mulai merambah hampir keseluruh penjuru
dunia, sampai dengan Indonesia. Ide pembebasan yang menjadi creedo
moderenisasi menjadi basis tegaknya ekonomi melalui sistem kebutuhan-
kebutuhan terbuka. Artinya, suatu masyarakat yang tidak dapat mengikuti arus
gerak moderenisasi, yang ditandai oleh rasionalitas, logika ekonomi, teknologi,
dan ideologi akan menjadi hidangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lain
yang lebih modern. Begitupun dengan ruang pendidikan. Ruang pendidikan
dikatakan moderen apabila mengikuti logika ekonomi, atau katakanlah logika
pasar. Sederhananya, institusi pendidikan yang memiliki nilai jual akan menjadi
primadona yang banyak diminati. Sebaliknya, institusi pendidikan yang tidak
memiliki nilai jual, seketika gulung tikar. Pada titik paling radikal, potret
pendidikan seperti ini bisa dikatakan komodifikasi atau industrialisasi pendidikan.
Makalah ini akan mencoba memberi jawaban atas problem peralihan dalam
wilyah pendidikan yang dipengaruhi oleh perbahan zaman.

1
B. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran Berdasarkan


Filsafat Driyarkara
2. Untuk Mengetahui Hubungan Filsafat Driyarkara dengan Nilai-Nilai Islam
3. Untuk Mengetahui Masalah Kontribusi Pendidikan Humanis Religious
Driyarkara dalam Pendidikan Indonesia
4. Untuk Mengetahui Solusi Kontribusi Pendidikan Humanis Religious
Driyarkara dalam Pendidikan Indonesia

2
BAB II

ISI

A. LANDASAN TEORI

1. Profil Driyarkara
Driyarkara lahir di lereng Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah, pada 13
Juni 1913, dan meninggal pada 11 Februari 1967 di usia 53 tahun 8 bulan.
Driyarkara lahir di desa Kedunggubah, sebelah Timur Puwerejo, Kedu, Jawa
Tengah, dengan nama Soehirman dan biasa dipanggil Djenthu, yang berarti
kekar dan gemuk. Soehirman berganti nama menjadi Driyarkara pada tahun
1935, ketika masuk Girisonta dan mulai hidup baru dalam Serikat Jesus, yang
anggotanya biasa dipanggil Jesuit. Driyarkara merupakan anak bungsu
keluarga Atmasendjaja dari empat bersaudara. Kakaknya terdiri dari dua
perempuan dan satu laki-laki.
Dari awal ia dilahirkan dari kondisi keluarga serta lingkungan sosial yang
sederhana dengan corak kedaerahan yang cukup kental. Pada dasarnya hal ini
mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap perjalanan
pemikirannya, disamping kondisi sosial ketika itu Indonesia mengalami
penjajahan oleh Belanda. Beliau termasuk anak yang beruntung karena
mampu mengenyam pendidikan pada masa kecilnya, seperti yang kita ketahui
bahwa sangat jarang anak negeri yang mampu bersekolah dimana sekolah saat
itu dikembangkan oleh penjajah Belanda. Berkat jasa pamannya Wirjasendjaja
yang bekerja sebagai lurah Desa Kedunggubah ia mampu memperoleh
kesempatan langka itu (Mohammad Indra. 2009)
Ia bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool, Cangkrep. Setelah itu
beliau lanjutkan pada HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Purworejo dan
Malang. Pada tahun 1929 ia masuk Seminari Menengah, sekolah menengah
khusus untuk calon imam Katolik, ini setingkat SMP dan SMA dengan
program humaniora Gymnasium di Negeri Belanda.
Setelah lulus, antara tahun 1935-1941, Driyarkara menghabiskan
waktunya untuk belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta, yang
pada waktu itu disebut Ignatius College. Tahun 1942-1943 Driyarkara belajar
teologi di Kolose Muntilan bersama rekan-rekannya sesama Jesuit, sebelum
Kolose Muntilan ditutup oleh Jepang. Setelah Kolose tersebut ditutup oleh
Jepang, Driyarkara dipanggil ke Yogyakarta untuk bergabung dengan
misionaris Belanda, termasuk didalamnya dosen-dosen filsafat, untuk masuk
interniran. Driyarkara diamanati untuk mengajar filsafat di Seminari Tinggi
Yogyakarta. (Asep Rifqi Abdul Aziz, 2006)

3
Tanggal 24 Juli 1947, Driyarkara ditugaskan oleh Mgr. Soegijapranata dan
pimpinan Serikat Jesus di Indonesia untuk menyelesaikan studi teologinya di
Maastricht, Belanda. Penugasan itu dilatarbelakangi anggapan bahwa dengan
diselenggarakannya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946,
sengketa antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda sudah selesai.
Meski pada kenyataannya belum juga usai. Dengan berat hati, Driyarkara
berangkat ke Belanda untuk menunaikan tugasnya. Bukan atas dasar ‘tega’
terhadap Indonesia, namun lebih pada ketaatan. Tahun 1949, Driyarkara
menyelesaikan studi teologinya, dilanjutkan dengan studi tentang kehidupan
rohani di Drogen, dekat Gent, Belgia. Kemudian pada tahun 1950-1952,
Driyarkara melanjutkan studi Doktoralnya di bidang filsafat di Roma, tepatnya
di Universitas Gregoriana, dengan disertasi doktoral berjudul Participationis
Cognitio In Existential Dei Percipienda Secundum Malebranche Utrum
Partem Hebeat (Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian tentang
Tuhan Menurut Malebranche’.Setelah menyelesaikan program studi
Doktoralnya, Driyarkara kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi pengajar
filsafat di Ignatiu College, Yogyakarta. Pada tahun 1955-1956, Driyarkara
diangkat menjadi pimpinan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata
Dharma, Yogyakarta, yang selanjutnya berubah menjadi FKIP (Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan), di mana Driyarkara tetap menjadi Dekannya.
Seiring perjalanan waktu, FKIP pun berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), namun tidak ada perubahan dalam struktur. Driyarkara
tetap menjadi Rektor sampai akhir hayatnya. Bahkan, selain menjadi Rektor
sejak awal tahun 1960, Driyarkara juga menjadi Guru Besar Luar Biasa di
Univertisat Indonesia dan Hassanudin. (Sudiarja, 2006.)

2. Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia


a. Mengedepankan Hakikat Kemanusiaan Secara Utuh Dalam Pendidikan
Driyarkara dalam dunia pendidikan yang mendasari IKIP Sanata
Dharma dalam mendidik mahasiswanya, sebagai berikut (P.J.Suwarno
1998.):
1. Intisari pendidik adalah suatu hubungan manusiawi antara pendidik
dan si terdidik dan antara terdidik satu sama lain, kedua belah pihak
saling membantu mewujudkan kemanusiaan mereka, tetapi ada
perbedaan yaitu yang satu lebih membimbing, yang lain lebih
dibimbing.
2. Pendidikan dilangsungkan dalam suatu hubungan pendampingan yang
bersifat dialogal dan dinamis, dimana kedua belah pihak membuka hati
dan pikiran dan menuju masa depan.

4
3. Dalam pendidikan di terdidik maupun pendidik menjadi manusia yang
otentik bebas dan berpancasila, yang melaksanakan dirinya dalam
suatu keseimbangan dengan sesame dalam keluarga, lingkungan kerja,
masyarakat dan Negara, dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam cinta
kasihNya, dan dengan alam sekitar yang dikuasai serta dihargai
olehnya.
4. Pendidikan dilangsungkan oleh manusia yang bereksistensi dalam
lingkungan Indonesia. Dan karena Indonesia sedang membangun,
maka semua pengetahuan, keterampilan, sikap yang menunjang
pembangunan diberi perhatian istimewa.
Kontribusi pemikiran Driyarkara dalam menyoroti pendidikan
merupakan sikap kritisnya terhadap dunia pendidikan. Kontribusi
pemikiran Driyarkara terbesar bagi proses pendidikan adalah
menjadikan pendidikan formal dengan mengedepankan hakikat
kemanusiaan secara utuh dalam pendidikan. Artinya, peserta didik
mampu berkembang secara humanis yang bersifat manusiawi dan
berperikemanusiaan, sehingga akan menciptakan keseimbangan antara
hati dan apa yang mereka lakukan, agar setiap peserta didik menjadi
manusia yang semakin mengerti baik dan buruk serta mampu
mengambil keputusan tepat dan berguna. Keputusan tidak hanya
untuk diri sendiri tetapi terkait dengan orang di sekitarnya karena,
humanisme sebagai filsafat pendidikan artinya suatu visi yang melihat
manusia sebagai yang bermartabat dan luhur.
Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia
muda merupakan rumusan filsafat pendidikan Driyarkara, yang
mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya. Manusia
berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan,
manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiawi-an-nya’ tanpa
pendidikan. Lain halnya dengan binatang. Binatang tidak perlu
pendidikan, karena pada hakikatnya tidak memiliki akal budi.
Sedangkan humanisasi merupakan proses lanjutan setelah hominisasi.
Dalam proses ini manusia mampu mencapai perkembangan lebih
lanjut, realisasi diri dalam laju budaya dan ilmu pengetahuan.
Humanisme adalah proses belajar untuk memanusiakan manusia yaitu
dengan cara memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Ciri-ciri
humanisme menurut Driyarkara adalah (Sudiarja, 2006) :
1) Memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan
dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme.

5
Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang
multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Selain
itu, sebagai negara yang plural Indonesia memiliki banyak sekali
suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama, dengan sifat plural
yang dimiliki tersebut negara Indonesia rawan akan konflik karena
lebih sulit menjaganya ketentraman dan keamanan masyarakat
yang homogen di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya
dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor
yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.
Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting,
khususnya dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme.
Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memberantas diskriminasi
dan meminimalisasi konflik. Di Indonesia, pendidikan
multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang
dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen,
terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru
dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di
Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi yang
dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak
berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan
nasional. (Arif Rohman, 2009.)
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat
yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup
itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih
diinginkan serta diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan
cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup. Lahirnya
kebudayaan merupakan peran dari pendidikan dan adanya
pendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku. Pilihan-
pilihan dalam mendidik tidak lepas dari norma dan etika yang
berlaku dari kebudayaan tertentu, sedangkan keberlangsungan
budaya beserta perkembangannya juga merupakan campur tangan
dari proses mendidik. Intinya keduanya menjadi bagian penting
dalam keberadaan manusia sehingga menjadi kebutuhan dasar
bagi manusia. (Ihromi, 1996.)
2) Memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang
terus berubah;
Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan jaman,
supaya dapat bertahan terhadap segala macam perubahan karena
arus globalisasi. Karena perubahan tersebut dapat mencabut kita

6
dari akar-akar kebaikan yang telah diajarkan dalam pendidikan di
Indonesia. Maka dari itu, harus ada kolaborasi yang seimbang dari
pendidikan dan kebudayaan untuk bisa memastikan bahwa
keberadaan identitas nasional kita tidak hilang.
3) Mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta
menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan
(philosophically creative);
Peserta didik mampu meningkatkan karakter dirinya
sehingga mampu dijadikan contoh sebagai representasi dari
kepribadian nasional. Pendidikan dianggap mampu melahirkan
orang-orang yang memiliki intelektual tinggi. Jika kita ungkit
kembali perkataan Driyarkara mengenai tujuan manusia sebagai
proses memanusiakan manusia maka perhatian dari pendidik
adalah menjadikan anak didik ini sebagai manusia yang memiliki
karakter bangsanya. Pendidikan berada pada semangat
menciptakan kebudayaan dan berakhir kepada lahirnya sosok
manusia yang mampu mengkarakterkan dirinya sesuai dengan
cita-cita bangsa.
4) Memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki
kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic
excellence and sensitivity to justice and injustice)
Peserta didik diharapkan tidak hanya pandai dalam
akademik saja akan tetapi peserta didik diharapkan memiliki
sikap-sikap welas asih yang mampu peduli pada lingkungannya;
membedakan yang benar dan salah; dapat bersikap arif serta
bijaksana; menjunjung tinggi moralitas; memiliki kejujuran dalam
berperilaku sehari-hari; menerapkan nilai-nilai demokrasi,
keadilan dan kemanusiaan agar mampu menghadapi setiap kondisi
dan permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, negara,
dan dunia.
b. Pendidikan Karakter menurut Diryarkara
Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai- nilai etika yang baik. Nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat / komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, dan tanggungjawab (Driyarkara, 1980.)
Hak dan kewajiban dalam belajar menurut Driyarkara merupakan
fundamental (asasi), yang mempunyai kesamaan dengan hak–hak

7
kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyarkara menyatakan bahwa
“setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan dengan Pancasila
tentu bukan merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban asas” (Subanar G.
2013.)
Pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dapat
dibentuk melalui jenjang pendidikan formal, informal, dan pendidikan non
formal.
1. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah- sekolah pada umumnya. pendidikan karakter di
lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi
keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi
anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ
(intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual
quotient). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak
didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah
sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita. Jika itu
berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul
kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar
tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu
jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
(Doni Kusuma,2007.)
2. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, Taman
Pendidikan Al Quran, Sekolah Minggu, berbagai kursus,
bimbingan belajar, program-program pemberantasan buta
aksara, pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C; Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), dan sebagainya. Pendidikan karakter
dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang
diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan,
kursus kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan
singkat, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi
massa. Demikian pula pendidikan karakter dapat dilakukan pada
kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang taruna,
keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan
penanggulangan bencana alam. (Doni Kusuma, 2007.)
3. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan di lingkungan
keluarga yang berupa ajaran tata- krama, sikap dan tingkah laku
yang diajarkan pada keluarga semenjak peserta didik lahir.
Pendidikan informal dapat juga disebut pendidikan yang ada di

8
masyarakat, atau pendidikan yang dialami oleh seseorang oleh
lingkungannya. (Doni Kusuma, 2007.)
Driyarkara menyatakan bahwa:
“Bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan
perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah,
misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai
perbuatan mendidik karena dirongrong oleh konsep yang salah”
(Danuwinanta, F., SJ. 2006.)
Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarkara ingin menunjukkan
lemahnya institusi suatu keluarga. Dalam pernyataan tersebut tersirat
bahwa orang tua memasukkan anak ke sekolah bukan untuk membuat
anaknya menjadi pandai, dan cakap dalam segala hal. Akan tetapi,
pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa anak sekolah supaya
mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, tanpa diimbangi
dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak itu sendiri.
Sehingga, wajar apabila pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil
dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan
humanis sesuai dengan pemikiran Driyarkara. (Sudiarja,2006.)
c. Tujuan Pendidikan Menurut Driyarkara
Tujuan sejati dari pendidikan menurut Driyarkara adalah pertumbuhan
dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi
pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai
masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat
tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang
humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan
keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan
pembelajaran yang bersifat aktif- positif dan berdasarkan pada minat dan
kebutuhan siswa baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ),
afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan
pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Pendidikan
hendaknya membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi, berguna dan
berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat
proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang
handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus
memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang
cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis. Menurut Driyarkara supaya
pendidikan dapat mencapai tujuannya, maka pendidikan harus mencakup
tiga aspek, yaitu pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan
kompetensi. (Driyarkara, 1980..)

9
Driyarkara sendiri menyadari bahwa pemikirannya tentang pendidikan
lebih bersifat teoritis dari pada praktis, walaupun ada sedikit pemikiran
praktisnya soal pendidikan menengah. “Munculnya pandangan teoritis
tentang pendidikan itu adalah suatu yang niscaya, artinya sesuatu yang
tidak bisa tidak terjadi [...]” kata Driyarkara. Semua karya Driyarkara
tentang pendidikan dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik teoritis”, bukan
praktis, yaitu pemikiran yang bersifat kritis, metodis, dan sistematis
tentang realitas atau fenomena yang disebut pendidikan. Dia berusaha
merumuskan teorisasi dan universalisasi perihal pendidikan, bukan semata
ilmu praktis. Tulisan-tulisan Drijarkara perihal pendidikan adalah sebuah
usaha untuk merumuskan sebuah pemikiran ilmiah tentang pendidikan. p
Kritis di sini berarti orang tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diterimanya atau yang muncul dalam benaknya; semua pernyataan dan
afirmasi harus memiliki dasar yang cukup. Metodis berarti bahwa dalam
proses berpikir dan menyelidiki, orang menggunakan suatu cara tertentu
yang logis dan tidak serampangan. Sistematis berarti bahwa segala yang
dirumuskannya itu merupakan suatu koherensi dan satu kesatuan utuh,
menyeluruh, dan berhubungan satu dengan yang lain. (Sudiarja, 2006.)

B. ULASAN MATERI

1. Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran berdasarkan filsafat diryarkara


Driyarkara sebagai salah seorang filsuf pendidik humanis di
Indonesia menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk
memanusiakan manusia muda. Pengertian Driyarkara tersebut menyiratkan
pendidikan itu sebagai suatu kegiatan yang human. Manusia lebih dipandang
sebagai subjek bukan objek semata. Dikatakan sebagai subjek, karena
manusia sebagai peserta didik harus menentukan arahnya sendiri dalam
proses pendidikan menuju pada kedewasaan.
Driyarkara memandang pendidikan bukan sebagai ide; rancangan
yang tersusun dalam pikiran, cita-cita yang terletak di sini ataupun di sana
tanpa adanya perubahan. Melainkan sebagai realitas terbuka, dinamis, atau
katakanlah sebagai aktivitas. Pendidikan adalah suatu pengembangan dan
perkembangan yang aktif. Maka, untuk memahami gagasan tentang
hominisasi dan humanisasi, Driyarkara masuk melalui fenomena pendidikan.
Lebih jauh lagi, Driyarkara meletakan fenomena pendidikan sebagai objek
ilmu mendidik.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan relitas
yang begitu kompleks, dengan warna-warni fenomena. Pertanyaannya, dari
sekian banyak fenomena manakah yang dapat dikategorikan fenomena
Pendidikan? Driyarkara menjelaskannya dengan sangat hati-hati. Menurut

10
Driyarkara, fenomena pendidikan adalah perbuatan yang diberi arti. Pada
dasarnya, perbuatan memiliki sifat netral, bisa dipastikan tidak ada perbuatan
yang an sich sudah memiliki muatan pendidikan. Misalnya, ayah sedang
membaca. Si anak bisa katakana secara langsung bahwa ayah sedang
membaca, dan rasanya mustahil mengatakan bahwa ayah sedang mendidik.
Kecuali si anak memberikan arti dari perbuatan ayahnya yang sedang
membaca.
Gagasan tentang memberikan arti pada setiap perbuatan fenomena
Pendidikan senada dengan para eksistensialis memandang validitas
pengetahuan dalam pendidikan. Berangkat dari asumsi, individu
bertanggungjawab penuh atas pengetahuannya para eksistensialis selanjutnya
menyatakan validitas pengetahuan yang mewarnai dunia pendidikan
ditentukan oleh nilai dan arti yang didapatkan oleh setiap individu. Jadi,
bernilai atau tidaknya perbuatan sangat tergantung pada manusia yang
memandang perbutan tersebut.
Penelitian Driyarkara tidak berhenti pada fenomena pendidikan.
Driyarkara menggali lebih dalam tentang gambaran dasar pendidikan atau
jiwa pendidikan. Secara eksplisit, Driyarkara menggunakan pendekatan
fenomenologi dalam menenentukan gambaran dasar pendidikan. Bukan
hanya mengamati segala sesuatu–dalam konteks pendidikan, fenomena
Pendidikan yang tersurat tapi juga yang tersirat. Sederhananya, melalui
fenomena, Driyarkara mencoba menangkap noumena. Driyarkara ingin
menyampaikan bahwa fenomenologi tidak berhenti dalam memandang
segala sesuatu yang nampak saja, melainkan memberi arahan pada manusia
untuk mencapai tingkat kesadaran dalam situasi yang kompleks.
Jiwa pendidikan, menurut Driyarkara bukanlah rumusan yang jatuh
ataupun dipetik dari langit, melainkan dari realitas yang kompleks. Jiwa
pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Dalam konteks perbuatan
mendidik, jiwa pendidikan dimaknai sebagai tindakan yang memanusiakan
manusia muda, tindakan yang mengangkatnya ke taraf insani. Untuk sampai
pada gagasan jiwa pendidikan, Driyarkara menggunakan medium pergaulan
antara pendidik dan peserta didik. Driyarkara mengandaikan pergaulan
sebagai ladang, yang di dalamnya tumbuh perbuatan mendidik. Hal itu
dikarenakan dibalik pergaulanyang diposisikan sebagai gejala Pendidikan
terdapat hubungan resiprokal antara pendidik dan peserta didik yang
dinamakan pendidikan.
Driyarkara menjelaskan tentang perbuatan mendidik secara lebih
terperinci. Mendidik, menurut Driyarkara termasuk dalam golongan aktivitas
fundamental. Artinya, perbuatan yang seolah-olah menyentuh akar
kehidupan manusia, sehingga dapat merubah dan menentukan arah hidup.
Kata kuncinya ada pada mengubah dan mentukan arah hidup manusia.
Berangkat dari tergolongnya mendidik ke dalam aktivitas fundamental, maka
antara pendidikan dan pelaksanaannya terdapat perbedaan. Seperti cinta dan

11
bentuk kongkritnya, benci juga dengan bentuk kongkritnya. Singkat kata,
perbuatan mendidik merupakan penjelmaan dari sesuatu. Orang tua, sebagai
pendidik mempunyai konsep tentang manusia; manusia yang baik adalah
manusia yang tidak merendahkan dirinya dengan meminta-minta. Sebelum
memarahi anaknya, sebagai peserta didik, tatkala si anak mengulurkan
tangan sebagai tanda meminta sesuatu dari orang lain. Dari sini bisa
dipahami, larangan akan meminta-minta adalah penjelmaan dari konsep
manusia baik menurut orang tua. Kalau diperhatikan secara teliti, Driyarkara
masih mengandaikan nilai-nilai yang lahir dari budaya sebagai pijakan untuk
menjalankan pendidikan secara kongkret.

2. Hubungan Filsafat Driyarkara dengan Nilai-Nilai Islam


Manusia dalam Al-Qur’an memiliki karâmah dzâtiyyah (kemulian inheren
yang bersifat universal) yang membedakannya dengan seluruh makhluk
sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Isrâ/17:70) sebagai berikut,

Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam…”

Karâmah dzâtiyyah yang ditegaskan dalam ayat tersebut terkait


dengan semua manusia dan dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali.
Dan Karâmah kedua adalah karâmah iktisâbiyyah (kemulian yang
dicari/diupayakan) yang tidak dimiliki oleh semua manusia namun hanya
dimiliki kaum khawas yang berhasil meraih maqam karâmah.
Penjelasan di atas memberikan pesan bahwa Islam adalah ajaran
yang memanusiakan manusia seperti menurut dalam gagasan Driyarkara
tentang memanusiakan manusia . Seluruh hukum Islam tidak ada yang
tidak menghormati hak asasi manusia. Adanya sebagian kalangan yang
menilai bahwa hukum Islam tidak manusiawi dan bahkan melanggar hak
asasi manusia (HAM) adalah karena salah penafsiran dan kedangkalan
memahami Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar utama hukum Islam.
kita harus belajar memanusiakan manusia dalam seluruh aspek
kehidupan kita: aspek sosial, politik dan agama. Bila aspek sosial kita
tidak memanusiakan manusia maka tawuran, kejahatan kemanusiaan dan
pelbagai instabilitas sosial akan terjadi dan menjadi tontonan harian kita.
Bila politik kita tidak memanusiakan manusia maka hoaks dan
pembunuhan karakter lawan politik dan kegaduhan politik akan menjadi
“santapan biasa”. Dan bila agama kita tidak memanusiakan manusia maka
mungkin saja kita dapati orang-orang yang sangat religius (ahli shalat dan

12
puasa, misalnya) tapi tega berbuat aniaya kepada orang lain.Bukankah
Nabi saw pernah mengingatkan kita supaya kita jangan semata mengukur
keislaman dan keimanan seseorang hanya dengan banyaknya shalat dan
puasa dan beliau justru menyuruh kita menguji keislaman seseorang
dengan kejujuran berbicara dan bertindak serta menunaikan amanat.
Dengan kata lain, cara gampang mengukur kebaikan keislaman seseorang
adalah dengan cara bahwa kalau orang tersebut kita titipi uang tidak
berkurang dan kalau kita titipi omongan tidak bertambah.
Jadi, memanusiakan manusia harus menjadi pola pikir dan pola
sikap kita. Memanusiakan manusia harus menjadi dasar pendidikan dan
pembelajaran kita. Kita tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan
dan fisik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dan memanusiakan manusia
harus menjadi dasar pendidikan keluarga kita. Rumah dan keluarga kita
harus “steril” dari penggunaan kata-kata sarkasme (seperti bodoh, kunyuk
dan pelbagai nama binatang lainnya) karena ini tidak memanusiakan
manusia.

C. PERMASALAHAN DAN SOLUSI

Driyarkara ialah seorang pendidik humanis di Indonesia menyatakan bahwa


pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia muda. Manusia
lebih dipandang sebagai subjek bukan objek semata. Dikatakan sebagai
subjek, karena manusia sebagai peserta didik harus menentukan arahnya
sendiri dalam proses pendidikan menuju pada kedewasaan. Driyarkara
menyiratkan pendidikan itu sebagai suatu kegiatan yang humanis-religius
(Driyarkara, 1980).
Pendidikan humanis religius mengutamakan pembelajaran aktif dan
menggunakan metode dialog dalam suasana pembelajaran yang dirancang
dengan menghadirkan Tuhan, dalam suasana nyaman, aman, ramah, santun,
bahagia. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara (1977):
“Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Bagaimana praktik pendidikan humanis religius di berbagai sekolah?
Apakah para pendidik di sekolah-sekolah Indonesia telah mencerminkan
pendidik yang humanis-religius? Apakah para pendidik telah memahami
tujuan pendidikan nasional yang bersifat humanis religius tersebut?

13
Praktik pendidikan yang tidak humanis-religius berdasarkan penelitian
Ariefa Efianingrum diperoleh fenomena sebagai berikut:
Di sebuah SD di Yogyakarta, SD Tugu. Ketika upacara bendera terdapat
siswa yang berbicara dengan temannya dan tidak memperhatikan amanat
pembina upacara, kemudian seorang guru menghampiri siswa yang mengobrol
tersebut dan menendangnya sehingga jatuh tersungkur. Dengan alasan siswa
perlu dihukum untuk mengajarkan kedisiplinan karena telah berbuat
kesalahan. Sementara guru tidak berpikir panjang bahwa hukuman yang
diberikan akan berdampak buruk bagi siswa itu sendiri dan siswa lainnya.
Bukankah guru itu seharusnya di gugu dan di tiru, seharusnya akan lebih baik
jika anak tersebut setelah melaksanakan upacara dibawa ke ruang guru untuk
kemudian diberi nasehat, penjelasan, dan pengertian akan pentingnya
kedisiplinan yang bertujuan menanamkan rasa nasionalisme atau siswa dapat
mendapatkan hukuman seperti membuat karya tulisan mengenai pentingnya
upacara bendera bagi siswa (Ariefa Efianingrum, 2010).
Adapun kasus lain di sebuah sekolah dasar negeri di Yogyakarta yang
memiliki gang bermain berdasarkan merek handphone (HP) yang dimiliki.
Khusus siswa yang memiliki merek HP mahal berkumpul dengan sesamanya,
sedangkan siswa yang tidak memiliki HP atau memiliki tetapi HP biasa saja,
mereka ini tidak boleh masuk dalam kelompok eksklusif tersebut. Mereka
hanya bermain dengan sesama pemilik HP mahal. Hal tersebut telah diketahui
guru tetapi guru membiarkan saja seolah bukan suatu masalah besar yang
harus diselesaikan. Hal tersebut karena guru kurang peka terhadap persoalan
yang dihadapi di kelas dengan peserta didiknya. Dari fenomena ini guru
seolah melepas tanggung jawab mendidik dan beranggapan bahwa tugasnya
hanya sampai pada pengajaran saja. Masalah pembentukan karakter peserta
didiknya seolah bukan tugasnya, tetapi tugas orang tua masing-masing.
Seharusnya guru dapat membimbing peserta didiknya untuk membentuk
solidaritas dan saling mengasihi, dan tidak membiarkan hal tersebut terjadi
karena akan berpotensi konflik antar peserta didik. Ki Hadjar Dewantara juga
mengatakan bahwa pendidikan itu hendaknya dilaksanakan dengan prinsip
asah, asih, asuh (Rukiyati, 2013).
Demikian gambaran singkat fenomena pendidikan di SD yang ada di
Yogyakarta. Dari fenomena tersebut dapat diketahui bahwa walaupun
pendidikan nasional kita telah menetapkan tujuan pendidikan yang bersifat
humanis religius, tetapi dalam upaya mencapai tujuan tersebut ada beberapa
sekolah yang tidak sesuai berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai
permasalahan tersebut perlu diatasi dengan berbagai solusi yang sistemik.
Maka, penting bagi para pengambil kebijakan, dalam hal ini Mendikbud dan
jajarannya dapat menengok kembali praktik pendidikan yang telah

14
dilaksanakan dan mengevaluasi apakah sejalan dan mengarah pada
tercapainya tujuan pendidikan nasional yang bersifat humanis religius atau
justru mencederai tujuan tersebut. Perlu ada sosialisasi dan internalisasi terus-
menerus kepada para guru dan praktisi pendidikan agar dapat menjalankan
tugas mendidiknya sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis-religius.

D. SOLUSI DAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan di atas bahwa masih terdapat beberapa sekolah


yang belum melaksanakan pendidikan humanis religius berdasarkan filsafat
driyarkara secara sempurna. Hal ini diakibatkan karena adanya pendidik dan
juga peserta didik yang belum memahami arti dari pendidikan humanis
religius dalam dunia pendidikan dan pembelajaran serta penndidik dan peserta
didik belum dapat mengaplikasi pendidikan humanis religius. Masalah
tersebut dapat dilakukan dengan adanya sosialisasi pemahaman mengenai
konsep manusia sebagaimana manusia sebagai dasar pengembangan
pendidikan humanis religius. Konsep manusia yang menjadi dasar
pengembangan pendidikan humanis religius tidak dapat dilepaskan dari
hakikat manusia itu sendiri. Pembahasan kemanusiaan yang utuh dalam
dimensi horizontal dan dimensi vertikalnya telah dikemukakan oleh pemikir

Indonesia (Notonagoro, 1987) sebagai berikut:


Manusia adalah makhluk monopluralis. Manusia itu dalam keutuhannya
dapat dilihat dari tiga aspek/dimensi: susunan kodrat, sifat kodrat, dan
kedudukan kodrat. Susunan kodrat manusia itu terdiri dari dua unsur:
raga/badan dan jiwa (cipta, rasa, karsa, pikir, hati) yang keduanya tidak

Gambar C.1 Susunan Kodrat Manusia


Sumber: Slideshare.net
terpisahkan selama hidup di dunia sebagai kesatuan monodualis.
Sifat kodrat manusia itu terdiri dari dua aspek, sifat manusia sebagai
makhluk individu dengan segala keunikannya dan sifat manusia sebagai
makhluk sosial; keduanya hendaknya berjalan secara seimbang dalam

15
merespon berbagai kepentingan. Kedudukan kodrat manusia juga mempunyai
dua aspek monodualis, yaitu manusia sebagai makhluk otonom, mempunyai
kebebasan dalam menentukan kehidupannya sekaligus mempunyai tanggung
jawab dalam berbagai tindakan yang dipilihnya, dan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang akan kembali kepadaNya dengan mempertanggungjawabkan
semua amal perbuatannya.
Landasan filsafati manusia sebagai makhluk monopluralis membawa
implikasi dalam pendidikan humanis religius. Bagaimana mendidik peserta
didik agar menjadi orang yang humanis religius sesuai kondratnya sebagai
makhluk monopluralis.
1. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan susunan kodrat
manusia.
Manusia sebagai makhluk beraga, maka pendidikan harus mengarah
pada tujuan jasmani yang sehat sehingga dapat tumbuh kembang dan
beraktivitas secara optimal. Hal tersebut telah direalisasikan pada
pendidikan di Indonesia dengan adanya kurikulum yang memuat
pendidikan jasmani atau olahraga.
Manusia sebagai makhluk berjiwa (cipta, rasa, karsa, hati, pikir),
maka pendidikan harus mmengarah pada upaya mengaktualisasikan
potensi cipta/pikir/nalar/rasio manusia sehingga menjadi orang yang
cerdas secara intelektual dan berkompeten di bidang masing-masing.
Manusia juga harus mengaktualisasikan potensi rasa sehingga menjadi
orang yang peka (homo recentis). Demikian pula, manusia muda perlu
dididik dengan mengaktualisasikan potensi karsa (kehendak baik)
sehingga menjadi orang yang bermoral baik, berkarakter atau berakhlak
mulia.
2. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan sifat kodrat
manusia.
Hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial perlu dikembangkan agar menjadi aktual dalam kehidupan.
Pengembangan sifat individu dalam pendidikan merupakan upaya untuk
mewujudkan diri peserta didik sebagai pribadi yang unik dan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai dengan potensi masing-masing.
Oleh karena itu, pendidik tidak boleh menyamaratakan peserta didik.
Pemahaman pendidik akan keunikan pribadi masing-masing peserta didik
merupakan dasar untuk mewujudkan sifat kodrat individual dalam diri
peserta didik. Di sisi lain, pendidikan juga berfungsi untuk mewujudkan
sifat sosial dalam diri peserta didik dengan berbagai bahan, metode,
media yang dirancang sebagai satu kesatuan. Perwujudan manusia
sebagai makhluk sosial dalam relasi dengan masyarakat sekitar, bangsa

16
dan negara, bahkan masyarakat global perlu dirancang dalam sistem
pendidikan terlebih di era informasi sekarang ini.
3. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan kedudukan kodrat
manusia.
Pendidikan humanis religius dalam implementasinya juga berfokus
pada kedudukan kodrat manusia. Kodrat manusia sebagai makhluk yang
otonom, bebas untuk memilih dan melakukan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional, dan moral merupakan salah satu
aspek penting dalam pendidikan humanis religius. Pendidikan yang
humanis religius dapat mengaktualisasikan potensi spiritualitas dalam
diri manusia yang harus diwujudkan. Dasar-dasar spiritualitas-religiusitas
dalam pendidikan telah menjadi bagian asasi dalam kehidupan manusia,
terlebih di Indonesia yang secara tegas menyatakan sebagai bangsa yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk yang percaya kepada
Tuhan, tidak ada kebebasan tanpa pertanggungjawaban kepadaNya.
Pendidikan humanis religius perlu dikembangkan karena masyarakat
dibingungkan tentang masalah-masalah moral, etika dalam kekacauan
sosial, politik dan ekonomi serta budaya. Penting bagi para pendidik dan
semua pihak yang mempunyai kepekaan dan kesadaran moral dalam
merespon dan memikirkan cara jalan keluar mengenai perbaikan nilai-
nilai kehidupan.
Dalam mengaktualisasi hakikat kodrat manusia, pendidikan
diharapkan dapat mewujudkan kodrat kemanusiaan yang utuh. Segala
potensi manusia dapat diaktualisasikan di dalam pendidikan. Hal tersebut
juga sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu untuk mendukung,
mendorong, dan memfasilitasi perkembangan peserta didik sebagai
manusia yang utuh (a whole human being) (Armstrong, 2006). Demikian
pendidikan humanis religius dapat dikembangkan dengan berlandaskan
pandangan mengenai manusia sebagai makhluk monopluralis
sebagaimana dikonsepkan oleh Notonagoro.

17
BAB III

PENUTUP

Driyarkara menggagas bahwa dalam pendidikan itu harus memanusiakan


manusia muda yang digagas oleh Driyarkara. Maksudnya menyadari akan
kemanusiaan dan juga kekhasan yang dimiliki oleh setiap manusia, menyadari
akan tingginya nilai budaya akan menjadi mediaum menjaga diri dari pengaruh
negative arus globalisasi. Driyarkara juga menyiratkan pendidikan itu sebagai
suatu kegiatan yang humanis-religius. Pendidikan humanis religius perlu
dikembangkan karena masyarakat belum memahami secara betul mengenai
masalah-masalah moral, etika dalam kekacauan sosial, politik dan ekonomi serta
budaya. Penting bagi para pendidik dan semua pihak yang mempunyai kepekaan
dan kesadaran moral dalam merespon dan memikirkan cara jalan keluar mengenai
perbaikan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karena itu pentingnya bagi kita semua memahami pendidikan humanis
religius bahwa sesungguhnya konsep manusia adalah menjadi dasar
pengembangan pendidikan humanis religious serta tidak dapat dilepaskan dari
hakikat manusia itu sendiri. Pembahasan kemanusiaan yang utuh dalam dimensi
horizontal dan dimensi vertikalnya menurut Notonagoro bahwa manusia adalah
makhluk monopluralis. Manusia itu dalam keutuhannya dapat dilihat dari tiga
aspek/dimensi: susunan kodrat, sifat kodrat, dan kedudukan kodrat. Susunan
kodrat manusia itu terdiri dari dua unsur: raga/badan dan jiwa (cipta, rasa, karsa,
pikir, hati) yang keduanya tidak terpisahkan selama hidup di dunia sebagai
kesatuan monodualis.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ariefa Efianingrum, dkk. 2009/2010. Pengembangan Model Pendidikan Respek


untuk Mencegah Kekerasan di Sekolah. Laporan Penelitian Strategis
Nasional, Lembaga Penelitian UNY.
Arif Rohman, 2009. Politik Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang
Mediatama, hal. 55.
Asep Rifqi Abdul Aziz, 2006. Konsep Homanisasi dan Humanisani Menurut
Driyarkara. Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat: IAIN Surakarta
Armstrong, Thomas. 2006. The Best School: How human development research
should inform educational practice. Virginia: Association for Supervision
and Curriculum Development.
Danuwinanta, F., SJ. (editor), 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 363.
Doni Kusuma, 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, Jakarta: Grasindo, 2007. hal. 84-88.
Driyarkara. 1980. Driyarkara tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Ihromi, 1996. Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hal. 70.
Mohammad Indra, 2009. Relasi Yang Kuat Antara Pendidikan Dengan
Kebudayaan Masyarakat Serta Pembentukan Karakteristik Bangsa,
Jurnal Skripsi, Jakarta: Universitas Indonesia., hal. 89.
Notonagoro. 1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
P. J. Suwarno, 1998. Sanata Dharma Menemukan Jalannya (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Yayasan Sanata Dharma, hal. 53-55.
Rukiyati. 2013. Percikan Pemikiran Pendidikan Humanis Religius. Jurnal UNY.
13(1).
Subanar G. B, (editor), 2013. Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Masa Kini,
Yogyakarta: Penerbit USD, Hal. 60.
Sudiarja, dkk, 2006. Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir
yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, hal.
389.

19
Tim Penyusun. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara - Bagian Pertama:
Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

20

Anda mungkin juga menyukai