Disusun oleh:
Ayu Ristiani 1182080009
Cucu Nurlatifah 1182080011
Fauzia Nurul Mi`raj 1192080027
Irmalasari Nengsih 1192080035
Vina Azizah 1192080077
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
meminta maaf karena ketidaksempurnaan makalah kami ini.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. TUJUAN
2
BAB II
ISI
A. LANDASAN TEORI
1. Profil Driyarkara
Driyarkara lahir di lereng Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah, pada 13
Juni 1913, dan meninggal pada 11 Februari 1967 di usia 53 tahun 8 bulan.
Driyarkara lahir di desa Kedunggubah, sebelah Timur Puwerejo, Kedu, Jawa
Tengah, dengan nama Soehirman dan biasa dipanggil Djenthu, yang berarti
kekar dan gemuk. Soehirman berganti nama menjadi Driyarkara pada tahun
1935, ketika masuk Girisonta dan mulai hidup baru dalam Serikat Jesus, yang
anggotanya biasa dipanggil Jesuit. Driyarkara merupakan anak bungsu
keluarga Atmasendjaja dari empat bersaudara. Kakaknya terdiri dari dua
perempuan dan satu laki-laki.
Dari awal ia dilahirkan dari kondisi keluarga serta lingkungan sosial yang
sederhana dengan corak kedaerahan yang cukup kental. Pada dasarnya hal ini
mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap perjalanan
pemikirannya, disamping kondisi sosial ketika itu Indonesia mengalami
penjajahan oleh Belanda. Beliau termasuk anak yang beruntung karena
mampu mengenyam pendidikan pada masa kecilnya, seperti yang kita ketahui
bahwa sangat jarang anak negeri yang mampu bersekolah dimana sekolah saat
itu dikembangkan oleh penjajah Belanda. Berkat jasa pamannya Wirjasendjaja
yang bekerja sebagai lurah Desa Kedunggubah ia mampu memperoleh
kesempatan langka itu (Mohammad Indra. 2009)
Ia bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool, Cangkrep. Setelah itu
beliau lanjutkan pada HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Purworejo dan
Malang. Pada tahun 1929 ia masuk Seminari Menengah, sekolah menengah
khusus untuk calon imam Katolik, ini setingkat SMP dan SMA dengan
program humaniora Gymnasium di Negeri Belanda.
Setelah lulus, antara tahun 1935-1941, Driyarkara menghabiskan
waktunya untuk belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta, yang
pada waktu itu disebut Ignatius College. Tahun 1942-1943 Driyarkara belajar
teologi di Kolose Muntilan bersama rekan-rekannya sesama Jesuit, sebelum
Kolose Muntilan ditutup oleh Jepang. Setelah Kolose tersebut ditutup oleh
Jepang, Driyarkara dipanggil ke Yogyakarta untuk bergabung dengan
misionaris Belanda, termasuk didalamnya dosen-dosen filsafat, untuk masuk
interniran. Driyarkara diamanati untuk mengajar filsafat di Seminari Tinggi
Yogyakarta. (Asep Rifqi Abdul Aziz, 2006)
3
Tanggal 24 Juli 1947, Driyarkara ditugaskan oleh Mgr. Soegijapranata dan
pimpinan Serikat Jesus di Indonesia untuk menyelesaikan studi teologinya di
Maastricht, Belanda. Penugasan itu dilatarbelakangi anggapan bahwa dengan
diselenggarakannya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946,
sengketa antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda sudah selesai.
Meski pada kenyataannya belum juga usai. Dengan berat hati, Driyarkara
berangkat ke Belanda untuk menunaikan tugasnya. Bukan atas dasar ‘tega’
terhadap Indonesia, namun lebih pada ketaatan. Tahun 1949, Driyarkara
menyelesaikan studi teologinya, dilanjutkan dengan studi tentang kehidupan
rohani di Drogen, dekat Gent, Belgia. Kemudian pada tahun 1950-1952,
Driyarkara melanjutkan studi Doktoralnya di bidang filsafat di Roma, tepatnya
di Universitas Gregoriana, dengan disertasi doktoral berjudul Participationis
Cognitio In Existential Dei Percipienda Secundum Malebranche Utrum
Partem Hebeat (Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian tentang
Tuhan Menurut Malebranche’.Setelah menyelesaikan program studi
Doktoralnya, Driyarkara kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi pengajar
filsafat di Ignatiu College, Yogyakarta. Pada tahun 1955-1956, Driyarkara
diangkat menjadi pimpinan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata
Dharma, Yogyakarta, yang selanjutnya berubah menjadi FKIP (Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan), di mana Driyarkara tetap menjadi Dekannya.
Seiring perjalanan waktu, FKIP pun berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), namun tidak ada perubahan dalam struktur. Driyarkara
tetap menjadi Rektor sampai akhir hayatnya. Bahkan, selain menjadi Rektor
sejak awal tahun 1960, Driyarkara juga menjadi Guru Besar Luar Biasa di
Univertisat Indonesia dan Hassanudin. (Sudiarja, 2006.)
4
3. Dalam pendidikan di terdidik maupun pendidik menjadi manusia yang
otentik bebas dan berpancasila, yang melaksanakan dirinya dalam
suatu keseimbangan dengan sesame dalam keluarga, lingkungan kerja,
masyarakat dan Negara, dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam cinta
kasihNya, dan dengan alam sekitar yang dikuasai serta dihargai
olehnya.
4. Pendidikan dilangsungkan oleh manusia yang bereksistensi dalam
lingkungan Indonesia. Dan karena Indonesia sedang membangun,
maka semua pengetahuan, keterampilan, sikap yang menunjang
pembangunan diberi perhatian istimewa.
Kontribusi pemikiran Driyarkara dalam menyoroti pendidikan
merupakan sikap kritisnya terhadap dunia pendidikan. Kontribusi
pemikiran Driyarkara terbesar bagi proses pendidikan adalah
menjadikan pendidikan formal dengan mengedepankan hakikat
kemanusiaan secara utuh dalam pendidikan. Artinya, peserta didik
mampu berkembang secara humanis yang bersifat manusiawi dan
berperikemanusiaan, sehingga akan menciptakan keseimbangan antara
hati dan apa yang mereka lakukan, agar setiap peserta didik menjadi
manusia yang semakin mengerti baik dan buruk serta mampu
mengambil keputusan tepat dan berguna. Keputusan tidak hanya
untuk diri sendiri tetapi terkait dengan orang di sekitarnya karena,
humanisme sebagai filsafat pendidikan artinya suatu visi yang melihat
manusia sebagai yang bermartabat dan luhur.
Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia
muda merupakan rumusan filsafat pendidikan Driyarkara, yang
mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya. Manusia
berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan,
manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiawi-an-nya’ tanpa
pendidikan. Lain halnya dengan binatang. Binatang tidak perlu
pendidikan, karena pada hakikatnya tidak memiliki akal budi.
Sedangkan humanisasi merupakan proses lanjutan setelah hominisasi.
Dalam proses ini manusia mampu mencapai perkembangan lebih
lanjut, realisasi diri dalam laju budaya dan ilmu pengetahuan.
Humanisme adalah proses belajar untuk memanusiakan manusia yaitu
dengan cara memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Ciri-ciri
humanisme menurut Driyarkara adalah (Sudiarja, 2006) :
1) Memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan
dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme.
5
Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang
multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Selain
itu, sebagai negara yang plural Indonesia memiliki banyak sekali
suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama, dengan sifat plural
yang dimiliki tersebut negara Indonesia rawan akan konflik karena
lebih sulit menjaganya ketentraman dan keamanan masyarakat
yang homogen di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya
dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor
yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.
Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting,
khususnya dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme.
Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memberantas diskriminasi
dan meminimalisasi konflik. Di Indonesia, pendidikan
multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang
dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen,
terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru
dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di
Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi yang
dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak
berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan
nasional. (Arif Rohman, 2009.)
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat
yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup
itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih
diinginkan serta diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan
cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup. Lahirnya
kebudayaan merupakan peran dari pendidikan dan adanya
pendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku. Pilihan-
pilihan dalam mendidik tidak lepas dari norma dan etika yang
berlaku dari kebudayaan tertentu, sedangkan keberlangsungan
budaya beserta perkembangannya juga merupakan campur tangan
dari proses mendidik. Intinya keduanya menjadi bagian penting
dalam keberadaan manusia sehingga menjadi kebutuhan dasar
bagi manusia. (Ihromi, 1996.)
2) Memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang
terus berubah;
Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan jaman,
supaya dapat bertahan terhadap segala macam perubahan karena
arus globalisasi. Karena perubahan tersebut dapat mencabut kita
6
dari akar-akar kebaikan yang telah diajarkan dalam pendidikan di
Indonesia. Maka dari itu, harus ada kolaborasi yang seimbang dari
pendidikan dan kebudayaan untuk bisa memastikan bahwa
keberadaan identitas nasional kita tidak hilang.
3) Mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta
menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan
(philosophically creative);
Peserta didik mampu meningkatkan karakter dirinya
sehingga mampu dijadikan contoh sebagai representasi dari
kepribadian nasional. Pendidikan dianggap mampu melahirkan
orang-orang yang memiliki intelektual tinggi. Jika kita ungkit
kembali perkataan Driyarkara mengenai tujuan manusia sebagai
proses memanusiakan manusia maka perhatian dari pendidik
adalah menjadikan anak didik ini sebagai manusia yang memiliki
karakter bangsanya. Pendidikan berada pada semangat
menciptakan kebudayaan dan berakhir kepada lahirnya sosok
manusia yang mampu mengkarakterkan dirinya sesuai dengan
cita-cita bangsa.
4) Memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki
kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic
excellence and sensitivity to justice and injustice)
Peserta didik diharapkan tidak hanya pandai dalam
akademik saja akan tetapi peserta didik diharapkan memiliki
sikap-sikap welas asih yang mampu peduli pada lingkungannya;
membedakan yang benar dan salah; dapat bersikap arif serta
bijaksana; menjunjung tinggi moralitas; memiliki kejujuran dalam
berperilaku sehari-hari; menerapkan nilai-nilai demokrasi,
keadilan dan kemanusiaan agar mampu menghadapi setiap kondisi
dan permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, negara,
dan dunia.
b. Pendidikan Karakter menurut Diryarkara
Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai- nilai etika yang baik. Nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat / komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, dan tanggungjawab (Driyarkara, 1980.)
Hak dan kewajiban dalam belajar menurut Driyarkara merupakan
fundamental (asasi), yang mempunyai kesamaan dengan hak–hak
7
kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyarkara menyatakan bahwa
“setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan dengan Pancasila
tentu bukan merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban asas” (Subanar G.
2013.)
Pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dapat
dibentuk melalui jenjang pendidikan formal, informal, dan pendidikan non
formal.
1. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah- sekolah pada umumnya. pendidikan karakter di
lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi
keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi
anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ
(intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual
quotient). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak
didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah
sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita. Jika itu
berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul
kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar
tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu
jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
(Doni Kusuma,2007.)
2. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, Taman
Pendidikan Al Quran, Sekolah Minggu, berbagai kursus,
bimbingan belajar, program-program pemberantasan buta
aksara, pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C; Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), dan sebagainya. Pendidikan karakter
dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang
diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan,
kursus kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan
singkat, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi
massa. Demikian pula pendidikan karakter dapat dilakukan pada
kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang taruna,
keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan
penanggulangan bencana alam. (Doni Kusuma, 2007.)
3. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan di lingkungan
keluarga yang berupa ajaran tata- krama, sikap dan tingkah laku
yang diajarkan pada keluarga semenjak peserta didik lahir.
Pendidikan informal dapat juga disebut pendidikan yang ada di
8
masyarakat, atau pendidikan yang dialami oleh seseorang oleh
lingkungannya. (Doni Kusuma, 2007.)
Driyarkara menyatakan bahwa:
“Bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan
perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah,
misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai
perbuatan mendidik karena dirongrong oleh konsep yang salah”
(Danuwinanta, F., SJ. 2006.)
Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarkara ingin menunjukkan
lemahnya institusi suatu keluarga. Dalam pernyataan tersebut tersirat
bahwa orang tua memasukkan anak ke sekolah bukan untuk membuat
anaknya menjadi pandai, dan cakap dalam segala hal. Akan tetapi,
pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa anak sekolah supaya
mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, tanpa diimbangi
dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak itu sendiri.
Sehingga, wajar apabila pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil
dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan
humanis sesuai dengan pemikiran Driyarkara. (Sudiarja,2006.)
c. Tujuan Pendidikan Menurut Driyarkara
Tujuan sejati dari pendidikan menurut Driyarkara adalah pertumbuhan
dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi
pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai
masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat
tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang
humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan
keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan
pembelajaran yang bersifat aktif- positif dan berdasarkan pada minat dan
kebutuhan siswa baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ),
afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan
pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Pendidikan
hendaknya membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi, berguna dan
berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat
proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang
handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus
memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang
cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis. Menurut Driyarkara supaya
pendidikan dapat mencapai tujuannya, maka pendidikan harus mencakup
tiga aspek, yaitu pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan
kompetensi. (Driyarkara, 1980..)
9
Driyarkara sendiri menyadari bahwa pemikirannya tentang pendidikan
lebih bersifat teoritis dari pada praktis, walaupun ada sedikit pemikiran
praktisnya soal pendidikan menengah. “Munculnya pandangan teoritis
tentang pendidikan itu adalah suatu yang niscaya, artinya sesuatu yang
tidak bisa tidak terjadi [...]” kata Driyarkara. Semua karya Driyarkara
tentang pendidikan dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik teoritis”, bukan
praktis, yaitu pemikiran yang bersifat kritis, metodis, dan sistematis
tentang realitas atau fenomena yang disebut pendidikan. Dia berusaha
merumuskan teorisasi dan universalisasi perihal pendidikan, bukan semata
ilmu praktis. Tulisan-tulisan Drijarkara perihal pendidikan adalah sebuah
usaha untuk merumuskan sebuah pemikiran ilmiah tentang pendidikan. p
Kritis di sini berarti orang tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diterimanya atau yang muncul dalam benaknya; semua pernyataan dan
afirmasi harus memiliki dasar yang cukup. Metodis berarti bahwa dalam
proses berpikir dan menyelidiki, orang menggunakan suatu cara tertentu
yang logis dan tidak serampangan. Sistematis berarti bahwa segala yang
dirumuskannya itu merupakan suatu koherensi dan satu kesatuan utuh,
menyeluruh, dan berhubungan satu dengan yang lain. (Sudiarja, 2006.)
B. ULASAN MATERI
10
Driyarkara, fenomena pendidikan adalah perbuatan yang diberi arti. Pada
dasarnya, perbuatan memiliki sifat netral, bisa dipastikan tidak ada perbuatan
yang an sich sudah memiliki muatan pendidikan. Misalnya, ayah sedang
membaca. Si anak bisa katakana secara langsung bahwa ayah sedang
membaca, dan rasanya mustahil mengatakan bahwa ayah sedang mendidik.
Kecuali si anak memberikan arti dari perbuatan ayahnya yang sedang
membaca.
Gagasan tentang memberikan arti pada setiap perbuatan fenomena
Pendidikan senada dengan para eksistensialis memandang validitas
pengetahuan dalam pendidikan. Berangkat dari asumsi, individu
bertanggungjawab penuh atas pengetahuannya para eksistensialis selanjutnya
menyatakan validitas pengetahuan yang mewarnai dunia pendidikan
ditentukan oleh nilai dan arti yang didapatkan oleh setiap individu. Jadi,
bernilai atau tidaknya perbuatan sangat tergantung pada manusia yang
memandang perbutan tersebut.
Penelitian Driyarkara tidak berhenti pada fenomena pendidikan.
Driyarkara menggali lebih dalam tentang gambaran dasar pendidikan atau
jiwa pendidikan. Secara eksplisit, Driyarkara menggunakan pendekatan
fenomenologi dalam menenentukan gambaran dasar pendidikan. Bukan
hanya mengamati segala sesuatu–dalam konteks pendidikan, fenomena
Pendidikan yang tersurat tapi juga yang tersirat. Sederhananya, melalui
fenomena, Driyarkara mencoba menangkap noumena. Driyarkara ingin
menyampaikan bahwa fenomenologi tidak berhenti dalam memandang
segala sesuatu yang nampak saja, melainkan memberi arahan pada manusia
untuk mencapai tingkat kesadaran dalam situasi yang kompleks.
Jiwa pendidikan, menurut Driyarkara bukanlah rumusan yang jatuh
ataupun dipetik dari langit, melainkan dari realitas yang kompleks. Jiwa
pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Dalam konteks perbuatan
mendidik, jiwa pendidikan dimaknai sebagai tindakan yang memanusiakan
manusia muda, tindakan yang mengangkatnya ke taraf insani. Untuk sampai
pada gagasan jiwa pendidikan, Driyarkara menggunakan medium pergaulan
antara pendidik dan peserta didik. Driyarkara mengandaikan pergaulan
sebagai ladang, yang di dalamnya tumbuh perbuatan mendidik. Hal itu
dikarenakan dibalik pergaulanyang diposisikan sebagai gejala Pendidikan
terdapat hubungan resiprokal antara pendidik dan peserta didik yang
dinamakan pendidikan.
Driyarkara menjelaskan tentang perbuatan mendidik secara lebih
terperinci. Mendidik, menurut Driyarkara termasuk dalam golongan aktivitas
fundamental. Artinya, perbuatan yang seolah-olah menyentuh akar
kehidupan manusia, sehingga dapat merubah dan menentukan arah hidup.
Kata kuncinya ada pada mengubah dan mentukan arah hidup manusia.
Berangkat dari tergolongnya mendidik ke dalam aktivitas fundamental, maka
antara pendidikan dan pelaksanaannya terdapat perbedaan. Seperti cinta dan
11
bentuk kongkritnya, benci juga dengan bentuk kongkritnya. Singkat kata,
perbuatan mendidik merupakan penjelmaan dari sesuatu. Orang tua, sebagai
pendidik mempunyai konsep tentang manusia; manusia yang baik adalah
manusia yang tidak merendahkan dirinya dengan meminta-minta. Sebelum
memarahi anaknya, sebagai peserta didik, tatkala si anak mengulurkan
tangan sebagai tanda meminta sesuatu dari orang lain. Dari sini bisa
dipahami, larangan akan meminta-minta adalah penjelmaan dari konsep
manusia baik menurut orang tua. Kalau diperhatikan secara teliti, Driyarkara
masih mengandaikan nilai-nilai yang lahir dari budaya sebagai pijakan untuk
menjalankan pendidikan secara kongkret.
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam…”
12
puasa, misalnya) tapi tega berbuat aniaya kepada orang lain.Bukankah
Nabi saw pernah mengingatkan kita supaya kita jangan semata mengukur
keislaman dan keimanan seseorang hanya dengan banyaknya shalat dan
puasa dan beliau justru menyuruh kita menguji keislaman seseorang
dengan kejujuran berbicara dan bertindak serta menunaikan amanat.
Dengan kata lain, cara gampang mengukur kebaikan keislaman seseorang
adalah dengan cara bahwa kalau orang tersebut kita titipi uang tidak
berkurang dan kalau kita titipi omongan tidak bertambah.
Jadi, memanusiakan manusia harus menjadi pola pikir dan pola
sikap kita. Memanusiakan manusia harus menjadi dasar pendidikan dan
pembelajaran kita. Kita tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan
dan fisik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dan memanusiakan manusia
harus menjadi dasar pendidikan keluarga kita. Rumah dan keluarga kita
harus “steril” dari penggunaan kata-kata sarkasme (seperti bodoh, kunyuk
dan pelbagai nama binatang lainnya) karena ini tidak memanusiakan
manusia.
13
Praktik pendidikan yang tidak humanis-religius berdasarkan penelitian
Ariefa Efianingrum diperoleh fenomena sebagai berikut:
Di sebuah SD di Yogyakarta, SD Tugu. Ketika upacara bendera terdapat
siswa yang berbicara dengan temannya dan tidak memperhatikan amanat
pembina upacara, kemudian seorang guru menghampiri siswa yang mengobrol
tersebut dan menendangnya sehingga jatuh tersungkur. Dengan alasan siswa
perlu dihukum untuk mengajarkan kedisiplinan karena telah berbuat
kesalahan. Sementara guru tidak berpikir panjang bahwa hukuman yang
diberikan akan berdampak buruk bagi siswa itu sendiri dan siswa lainnya.
Bukankah guru itu seharusnya di gugu dan di tiru, seharusnya akan lebih baik
jika anak tersebut setelah melaksanakan upacara dibawa ke ruang guru untuk
kemudian diberi nasehat, penjelasan, dan pengertian akan pentingnya
kedisiplinan yang bertujuan menanamkan rasa nasionalisme atau siswa dapat
mendapatkan hukuman seperti membuat karya tulisan mengenai pentingnya
upacara bendera bagi siswa (Ariefa Efianingrum, 2010).
Adapun kasus lain di sebuah sekolah dasar negeri di Yogyakarta yang
memiliki gang bermain berdasarkan merek handphone (HP) yang dimiliki.
Khusus siswa yang memiliki merek HP mahal berkumpul dengan sesamanya,
sedangkan siswa yang tidak memiliki HP atau memiliki tetapi HP biasa saja,
mereka ini tidak boleh masuk dalam kelompok eksklusif tersebut. Mereka
hanya bermain dengan sesama pemilik HP mahal. Hal tersebut telah diketahui
guru tetapi guru membiarkan saja seolah bukan suatu masalah besar yang
harus diselesaikan. Hal tersebut karena guru kurang peka terhadap persoalan
yang dihadapi di kelas dengan peserta didiknya. Dari fenomena ini guru
seolah melepas tanggung jawab mendidik dan beranggapan bahwa tugasnya
hanya sampai pada pengajaran saja. Masalah pembentukan karakter peserta
didiknya seolah bukan tugasnya, tetapi tugas orang tua masing-masing.
Seharusnya guru dapat membimbing peserta didiknya untuk membentuk
solidaritas dan saling mengasihi, dan tidak membiarkan hal tersebut terjadi
karena akan berpotensi konflik antar peserta didik. Ki Hadjar Dewantara juga
mengatakan bahwa pendidikan itu hendaknya dilaksanakan dengan prinsip
asah, asih, asuh (Rukiyati, 2013).
Demikian gambaran singkat fenomena pendidikan di SD yang ada di
Yogyakarta. Dari fenomena tersebut dapat diketahui bahwa walaupun
pendidikan nasional kita telah menetapkan tujuan pendidikan yang bersifat
humanis religius, tetapi dalam upaya mencapai tujuan tersebut ada beberapa
sekolah yang tidak sesuai berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai
permasalahan tersebut perlu diatasi dengan berbagai solusi yang sistemik.
Maka, penting bagi para pengambil kebijakan, dalam hal ini Mendikbud dan
jajarannya dapat menengok kembali praktik pendidikan yang telah
14
dilaksanakan dan mengevaluasi apakah sejalan dan mengarah pada
tercapainya tujuan pendidikan nasional yang bersifat humanis religius atau
justru mencederai tujuan tersebut. Perlu ada sosialisasi dan internalisasi terus-
menerus kepada para guru dan praktisi pendidikan agar dapat menjalankan
tugas mendidiknya sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis-religius.
15
merespon berbagai kepentingan. Kedudukan kodrat manusia juga mempunyai
dua aspek monodualis, yaitu manusia sebagai makhluk otonom, mempunyai
kebebasan dalam menentukan kehidupannya sekaligus mempunyai tanggung
jawab dalam berbagai tindakan yang dipilihnya, dan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang akan kembali kepadaNya dengan mempertanggungjawabkan
semua amal perbuatannya.
Landasan filsafati manusia sebagai makhluk monopluralis membawa
implikasi dalam pendidikan humanis religius. Bagaimana mendidik peserta
didik agar menjadi orang yang humanis religius sesuai kondratnya sebagai
makhluk monopluralis.
1. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan susunan kodrat
manusia.
Manusia sebagai makhluk beraga, maka pendidikan harus mengarah
pada tujuan jasmani yang sehat sehingga dapat tumbuh kembang dan
beraktivitas secara optimal. Hal tersebut telah direalisasikan pada
pendidikan di Indonesia dengan adanya kurikulum yang memuat
pendidikan jasmani atau olahraga.
Manusia sebagai makhluk berjiwa (cipta, rasa, karsa, hati, pikir),
maka pendidikan harus mmengarah pada upaya mengaktualisasikan
potensi cipta/pikir/nalar/rasio manusia sehingga menjadi orang yang
cerdas secara intelektual dan berkompeten di bidang masing-masing.
Manusia juga harus mengaktualisasikan potensi rasa sehingga menjadi
orang yang peka (homo recentis). Demikian pula, manusia muda perlu
dididik dengan mengaktualisasikan potensi karsa (kehendak baik)
sehingga menjadi orang yang bermoral baik, berkarakter atau berakhlak
mulia.
2. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan sifat kodrat
manusia.
Hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial perlu dikembangkan agar menjadi aktual dalam kehidupan.
Pengembangan sifat individu dalam pendidikan merupakan upaya untuk
mewujudkan diri peserta didik sebagai pribadi yang unik dan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai dengan potensi masing-masing.
Oleh karena itu, pendidik tidak boleh menyamaratakan peserta didik.
Pemahaman pendidik akan keunikan pribadi masing-masing peserta didik
merupakan dasar untuk mewujudkan sifat kodrat individual dalam diri
peserta didik. Di sisi lain, pendidikan juga berfungsi untuk mewujudkan
sifat sosial dalam diri peserta didik dengan berbagai bahan, metode,
media yang dirancang sebagai satu kesatuan. Perwujudan manusia
sebagai makhluk sosial dalam relasi dengan masyarakat sekitar, bangsa
16
dan negara, bahkan masyarakat global perlu dirancang dalam sistem
pendidikan terlebih di era informasi sekarang ini.
3. Proses pendidikan ditujukan untuk mengaktualisasikan kedudukan kodrat
manusia.
Pendidikan humanis religius dalam implementasinya juga berfokus
pada kedudukan kodrat manusia. Kodrat manusia sebagai makhluk yang
otonom, bebas untuk memilih dan melakukan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional, dan moral merupakan salah satu
aspek penting dalam pendidikan humanis religius. Pendidikan yang
humanis religius dapat mengaktualisasikan potensi spiritualitas dalam
diri manusia yang harus diwujudkan. Dasar-dasar spiritualitas-religiusitas
dalam pendidikan telah menjadi bagian asasi dalam kehidupan manusia,
terlebih di Indonesia yang secara tegas menyatakan sebagai bangsa yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk yang percaya kepada
Tuhan, tidak ada kebebasan tanpa pertanggungjawaban kepadaNya.
Pendidikan humanis religius perlu dikembangkan karena masyarakat
dibingungkan tentang masalah-masalah moral, etika dalam kekacauan
sosial, politik dan ekonomi serta budaya. Penting bagi para pendidik dan
semua pihak yang mempunyai kepekaan dan kesadaran moral dalam
merespon dan memikirkan cara jalan keluar mengenai perbaikan nilai-
nilai kehidupan.
Dalam mengaktualisasi hakikat kodrat manusia, pendidikan
diharapkan dapat mewujudkan kodrat kemanusiaan yang utuh. Segala
potensi manusia dapat diaktualisasikan di dalam pendidikan. Hal tersebut
juga sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu untuk mendukung,
mendorong, dan memfasilitasi perkembangan peserta didik sebagai
manusia yang utuh (a whole human being) (Armstrong, 2006). Demikian
pendidikan humanis religius dapat dikembangkan dengan berlandaskan
pandangan mengenai manusia sebagai makhluk monopluralis
sebagaimana dikonsepkan oleh Notonagoro.
17
BAB III
PENUTUP
18
DAFTAR PUSTAKA
19
Tim Penyusun. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara - Bagian Pertama:
Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
20