Anda di halaman 1dari 3

Nama : Andriansyah Sebastian Farel

NIM : 1192070012

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi


1. Tanah Subur Agama Melahirkan Bioetika

Sebagai salah satu disiplin ilmu, bioetika belum genap berusia setengah abad. Kurang
lebih satu dekade sebelum kelahiran bioetika di Amerika Serikat, dunia pelayanan kesehatan
mengalami kemajuan pesat diantaranya berbagai teknologi mulai diperkenalkan, praktik
transpalasi mulai dilakukan di rumah sakit. Akan tetapi, penelitian serta pengembangan
teknologi yang melibatkan manusia menimbulkan masalah sosial dan etis. Berdasarkan hal
tersebut, Senator Walter F. Mondale dari Minnesota mengumumkan rencana pembentukan
yang disebut sebagai A Commission on Ethical and Social Implications of Health Science
and Development. Setahun setelah komisi etik kepresidenan itu terbentuk, berdirilah sebuah
pusat kajian nirlaba dan nonpartisan bernama The Hasting Center di Washington DC, yang
mengkhususkan diri dalam penelitian dan pengembangan bioetika. Sementara itu, lembaga
dengan misi dan tujuan yang kurang lebih sama bernama The Kennedy Institute of Bioethics
pun didirikan tahun 1971 di Georgetown University, Washington DC. Setahun sebelumnya,
Van Rensselaer menerbitkan sebuah artikel berjudul Bioethics, the Science of Survival, dan
diikuti oleh penerbitan bukunya berjudul Bioethics: Bridge to the Future (1971).
Tahun 1973 Albert R. Jonsen, diangkat sebagai Associate Professor Bioetika di School of
Medicine, University of California, San Francisco (UCSF). Jonsen memaknai kiprahnya
dalam pengajaran etika praktis sebagai hal yang baru karena menuntut dia untuk
menanggalkan seluruh pemahamannya sebelum mengembangkan pemikiran etisnya. Seorang
profesor bernama Richard McCormick (1923-2000), merupakan orang yang berjasa juga
dalam kelahiran bioetika di Amerika Serikat. McCormick sering dimintai pendapat mengenai
masalah manusia yang dijadikan sebagai objek penelitian.
Perkembangan yang sangat kreatif dari ajaran Gereja Katolik mengenai etika medis
muncul selama abad ke-7 sampai dengan ke-12. Abad ke-12 ditandai dengan terbitnya
hukum kanonik modern. Kemudian pada abad ke-13 merupakan masa kelahiran teologi
skolastik yang mencapai puncaknya pada pemikiran Thomas Aquinas. Di abad ke-14 dan ke-
15 lahir banyak karya yang dimana karya tersebut berfungsi sebagai buku petunjuk bagi para
imam dan pendengar dalam pengakuan dosa.
Awal tahun 1621, Paolo Zacchia, seorang dokter Roma, menerbitkan beberapa jilid
karyanya berjudul Questiones Medico-legales. Karya ini sebetulnya merupakan usaha
menjembatani jurang antara teologi, pengobatan, dan hukum, serta menyertakan pengetahuan
medis. Pada abad ke-19, teologi moral sudah tidak sanggup dalam memecahkan masalah etis
dari dunia kedokteran. Kemudian Gereja Katolik menciptakan apa yang disebut sebagai
“pastoral medicine”. Di abad ke-20, mulai mengalami perkembangan yang positif ditandai
dengan munculnya buku-buku lain mengenai “pastoral medicine” atau etika medis. Karya
Albert Niedermeyer, membahas mengenai topik-topik di bidang etika medis, termasuk di
masalah psikiatri dan psikoterapi. Sementara itu, etika medis mulai muncul di Amerika
Serikat di abad ke-20.

2. Bioetika Mencari Kemandirian?


Deskripsi Kevin Wm. Wildes S.J. tepat adanya, bahwa para ahli etika atau teologi moral
Katolik dan dunia kedokteran dengan sejuta masalah yang ditimbulkannya bertemu dalam
sebuah titik peleburan yang sama, yakni the experience of finitude. Akan tetapi, titik
petemuan tersebut tidak bertahan lama, karena gereja katolik mulai merasa bahwa mereka
tidak lagi berbicara kepada masyarakat yang homogen tetapi masyarakat yang memiliki ajaran
moral yang beragam. Gereja katolik mengalami berbagai kesulitan mengenai mereflesikan
ajaran-ajaran moral dewasa yang diantaranya pertama, konsep martabat manusia bahwa
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri, justru didekonstruksi. Paus
Benediktus XVI menegaskan kembali mengenai martabat manusia sebagai authoritative
guidance bahwa manusia memiliki martabat yang mulia sebagai pribadi (person) bukan
sesuatu (something), atau sekadar seseorang (someone). Kemudian menurut Eilidh Campbell
St. John dan Stuart Blacker, bahwa apa pun perilaku yang menyangkal manusia sebagai
pribadi yang bermartabat adalah penghinaan (blasphemy) kepada Allah sendiri.
Kedua, pemikiran para filsuf yang justru mempertanyakan apakah “martabat manusia”
termasuk sebuah konsep yang bermanfaat bagi bioetika itu sendiri. Dr. Adam Schulman,
misalnya, dalam karangannya berjudul Bioethics and the Question of Human Dignity yang
diterbitkan dalam buku Human Dignity and Bioethics mempertanyakan “Apakah martabat
manusia adalah sebuah konsep yang bermanfaat dalam bioetika?” Di sini kata “manfaat”
sengaja digunakan Schulman untuk mengingatkan kita bahwa penerapan konsep apapun
dalam bioetika harus bisa menjadi penjelas terhadap keseluruhan isu bioetika Jika tidak,
konsep “martabat manusia” tidak punya manfaat apa-apa bagi bioetika. Menurut Schulman,
martabat manusia dalam tradisi Yudeo-Kristiani adalah konsep yang tidak memadai jika
diterapkan dalam bioetika karena akan menimbulkan masalah moral lainnya yang lebih rumit
dalam bioetika yang sulit dipecahkan.

3. Mendiskusikan Metode
Mencermati rancangan buku Etika (1993) lalu Pengantar Etika Bisnis (2000), dan Etika
Biomedis (2011), jelas terlihat usaha mengembangkan sebuah etika terapan. Namun,
metodologi apakah yang digunakan Prof. Bertens dalam mengembangkan bioetika?
Pendekatan atau metode kasuistik dan pendekatan berbasis-prinsip (aprinciple-based
approach) bisa dianggap sebagai dua metode pengembangan bioetika yang secara khusus
menarik minat Prof. Bertens. Dengan kasuistik dimaksud sebagai “usaha memecahkan kasus-
kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis umum”. Namun,
pendekatan kasuistik tergolong pendekatan induktif karena sifatnya yang menekankan kasus
dan tinjauan ke belakang dianggap kurang peka pada penilaian terhadap akibat-akibat
tindakan yang lebih sistematis dan ilmiah.
Dalam pendekatan berbasis prinsip, Tom Beauchamp dan James F. Childress
menawarkan empat prinsip utama dalam bioetika, yakni prinsip menghormati otonomi
(respect for autonomy), prinsip tidak melakukan keburukan (non-maleficence), prinsip
melakukan kebaikan (beneficence),dan prinsip keadilan (justice). Pendekatan berbasis prinsip
ini termasuk pendekatan deduktif.

Anda mungkin juga menyukai