MAKALAH
Pendidikan Agama
Dosen Pembimbing :
KHAIRI, S.Pd, M.Pd, M.Hum
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Demokrasi yang dianut oleh ideologi ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia
berhak membuat peraturan hidupnya, sebagai konsekuensi logis dari ide pemisahan agama
dari kehidupan. Oleh karena itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber
kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji
kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya. Rakyat berhak
mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk
mengubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam
sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara yang digaji
untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh
rakyat. Sekalipun demokrasi berasal dari ideologi ideologi ini, akan tetapi
kurang menonjol dibandingkan dengan sistem ekonominya. Buktinya sistem kapitalisme di
Barat ternyata sangat mempengaruhi elite pemerintahan sehingga mereka tunduk kepada
para kapitalis seperti pengusaha besar, pemilik modal, dan konglomerat. Bahkan hampir-
hampir dapat dikatakan bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di
negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah ciri khas
dari ideologi ini, sebab komunis pun juga menyuarakannya dan menyatakan bahwa
kekuasaan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat bila ideologi ini dinamakan
ideologi kapitalisme, bukan demokrasi.
5
Kelahiran ideologi ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia
menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat.
Para pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka
timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan
cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak. Sedangkan yang
lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia.
Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih
cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian
menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat
untuk tidak mempermasalahkan agama, apakah agama diakui atau ditolak. Sebab, yang
menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.
Ide ini dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) antara pemuka agama yang
menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka –dengan mengatasnamakan
agama– dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan
dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari
adanya agama, akan tetapi juga tidak memberikan peran dalam kehidupan. Yang mereka
lakukan tidak lain memisahkannya dari kehidupan. Aqidah sekuleristik ini, yang
memisahkan agama dari kehidupan, pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak
langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia,
dan hidup, serta mengakui adanya Hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok
agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama.
Dengan pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta,
manusia, dan hidup, serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, sebab
mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan bahwa agama harus
dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka,
karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka
menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada
sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
2. Sosialisme
Adapun sosialisme, termasuk komunisme, tegak atas dasar aqidah materialisme,
yaitu pandangan bahwa alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi belaka, dan
6
bahwasanya materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi
inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud sebelum
alam materi ini.
Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari kalau alam ini diciptakan
oleh Allah Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian dalam segala
sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang
berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan
menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya
materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam
otak. Materi adalah pangkal aktivitas berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang
berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti
mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta
mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui
hanya kehidupan dunia ini saja.
Meskipun kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme ini berselisih pendapat dalam
ide dasar tentang manusia, alam, dan hidup, akan tetapi keduanya sepakat bahwa nilai-nilai
yang paling tinggi dan terpuji pada manusia adalah nilai-nilai yang ditetapkan oleh
manusia itu sendiri. Dan bahwasanya kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-
besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah. Keduanya juga sependapat dalam
memberikan kebebasan pribadi bagi manusia, bebas berbuat semaunya menurut apa yang
diinginkannya selama ia melihat dalam perbuatannya itu terdapat kebahagiaan. Maka dari
itu tingkah laku atau kebebasan pribadi merupakan sesuatu yang diagung-agungkan oleh
kedua ideologi ini.
Akan tetapi kedua ideologi tersebut berbeda pandangannya tentang individu dan
masyarakat. Kapitalisme adalah ideologi individualis, yang berpendapat bahwa masyarakat
terbentuk dari individu-individu. Ideologi ini tidak memprioritaskan pandangannya
terhadap masyarakat secara utuh, namun lebih mengutamakan pandangannya terhadap
individu. Oleh karena itu, dalam kapitalisme kebebasan individu harus dijamin. Dan
sebagai jaminan atas kemerdekaannya, masing-masing individu bekerja untuk memelihara
eksistensi masyarakat. Bertolak dari sinilah kebebasan beraqidah (yakni memilih
7
sekehendaknya agama dan kepercayaan) adalah sebagian dari apa yang mereka agung-
agungkan, sama halnya dengan kebebasan ekonomi yang mereka bangga-banggakan.
Falsafah ideologi ini tidak membatasi kebebasan tersebut, akan tetapi negara membatasai
dengan menggunakan kekuatan militer dan ketegasan undang-undangnya. Namun demikian
negara hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan.
Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian
Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah kalamullah
dan juga harus ada iman terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu,
Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib
diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula bahwa sesudah kehidupan
dunia ada yang harus diimani, yaitu Hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam
kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya,
yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya. Manusia terikat pula dengan
pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua perintah dan menjauhi semua
larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan kehidupan dunia dengan sesudahnya.
8
Karena manusia wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah, maka tujuan-
tujuan utama untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan oleh manusia, akan tetapi berasal
dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Aturan ini selalu tetap
keadaannya, tidak akan berubah atau berkembang. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi
manusia, menjaga akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamanan dan
negara, adalah tujuan-tujuan utama yang tetap, yang tidak akan berubah ataupun
berkembang. Untuk menjaganya ditetapkan sanksi-sanksi yang tegas. Maka dibuatlah
hukum-hukum yang menyangkut hudud (sanksi) dan uqubat (pidana, hukuman,
pelanggaran terhadap peraturan negara) untuk memelihara tujuan-tujuan yang bersifat baku
tadi.
Dengan demikian pelaksanaan pemeliharaan tujuan-tujuan ini wajib adanya, karena
merupakan perintah-perintah dan larangan-larangan dari Allah SWT, bukan hanya karena
menghasilkan nilai-nilai materi, yakni mashlahat dan keuntungan bagi masyarakat dan
negara.
Demikianlah hendaknya setiap muslim dan juga negara dalam menjalankan seluruh
aktifitasnya menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya,
karena negaralah yang mengatur seluruh urusan rakyat. Dan dengan melaksanakan
aktivitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya inilah yang
melahirkan kebahagiaan bagi setiap muslim. Dari sini jelaslah bahwa kebahagiaan itu,
bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani dan memperoleh kesenangan material semata,
melainkan mendapatkan keridlaan Allah SWT.
Untuk menjamin ini, Islam memandang masyarakat (jamaah) sebagai satu kesatuan
yang menyeluruh, tidak terpecah-pecah. Islam memandang bahwa individu merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jamaah. Hanya saja posisi seperti ini tidak identik
dengan gerigi dalam roda, melainkan merupakan bagian dari suatu keseluruhan –
sebagaimana tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Islam memperhatikan individu
sebagai bagian dari jamaah, bukan individu yang terpisah. Perhatian ini akan melestarikan
eksistensi jamaah. Pada waktu yang bersamaan, Islam juga memperhatikan keberadaan
jamaah yang menjadi wadah dan terdiri dari bagian-bagian tertentu, yaitu individu-individu
yang ada di dalam jamaah. Perhatian ini dapat melestarikan individu-individu sebagai
bagian yang tak terlepas dari jamaah. Rasulullah SAW bersabda :
9
Sedangkan Islam memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia
suatu aturan hidup untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dia mengutus Sayyidina
Muhammad SAW guna membawa aturan-Nya untuk disampaikan kepada manusia.
Konsekuensinya, kehidupan ini harus dijalankan sesuai dengan aturan tersebut. Oleh karena
itu, masyarakat yang telah menerima Islam senantiasa mempelajari persoalan hidup yang
selalu berkembang, lalu berijtihad memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan Al-
Quran dan As-Sunnah.
3. Tolak Ukur Perbuatan
Adapun dari segi tolak ukur bagi segala macam perbuatan dalam kehidupan,
ideologi komunisme memandang bahwa dialektika materialisme –yaitu aturan
materialisme– merupakan tolak ukur dalam kehidupan manusia. Dengan berkembangnya
aturan materialisme, berkembang pula tolak ukurnya.
Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa tolak ukur perbuatan dalam
kehidupan adalah ”kemanfaatan”. Dengan asas inilah segala perbuatan diukur, dinilai, dan
dilakukan.
Namun, Islam memandang bahwa tolak ukur perbuatan-perbuatan dalam kehidupan
adalah halal dan haram, yakni perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Jadi,
yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak akan mengalami
perkembangan maupun perubahan. Islam tidak menjadikan manfaat sebagai tolok ukur,
melainkan hanya hukum syara’ semata.
4. Pandangan Terhadap Masyarakat
Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideologi komunisme memandang
bahwa masyarakat adalah kumpulan unsur yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam,
dan manusia. Semua itu merupakan satu kesatuan, yaitu materi. Tatkala alam dan segala
sesuatu yang ada di dalamnya berkembang, manusia pun turut berkembang, yang akhirnya
menjadikan masyarakat berkembang secara keseluruhan. Oleh karena itu, masyarakat
komunis tunduk kepada evolusi materi, sementara manusia harus terus berusaha untuk
mempercepat transformasi yang bertolak belakang (antithesa) dengan kehendaknya. Ketika
masyarakat berkembang, individu akan turut berkembang pula. Individu akan bergerak dan
selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti putaran gigi pada sebuah roda.
Ideologi kapitalisme memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu.
Apabila urusan individu ini teratur, maka dengan sendirinya urusan masyarakat akan teratur
pula. Titik perhatiannya adalah individu-individu saja. Sementara tugas negara adalah
12
bekerja untuk menjamin kepentingan individu. Dari sinilah, ideologi ini disebut juga
individualisme.
Sedangkan ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak
adalah aqidah, disamping pemikiran, perasaan, dan peraturan yang lahir dari aqidah. Oleh
karena itu apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam
diterapkan di tengah-tengah rakyat, barulah terbentuk masyarakat Islam. Dengan demikian,
masyarakat itu tidak sekedar tersusun dari individu-individu, melainkan terdiri dari
kumpulan manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan.
Islam juga memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan
membentuk sebuah jamaah, namun tetap tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali
jika mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta diterapkannya peraturan di
tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan sesama manusia adalah faktor
kemashlahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang
kemashlahatan, juga perasan mereka, sehingga rasa ridla dan marahnya menjadi sama,
ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai
macam persoalan, maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota masyarakat. Apabila
terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemashlahatan, berbeda
perasaannya, berbeda rasa ridla dan marahnya, berbeda pula peraturan yang digunakan
untuk memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terdapat hubungan dengan
sesama manusia dan tidak akan terbentuk masyarakat. Maka, masyarakat Islam terbentuk
dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Inilah yang mewujudkan adanya
hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri
khas.
Seandainya seluruh manusia itu muslim, sedangkan pemikiran-pemikiran yang
dibawanya adalah kapitalisme-demokrasi, sementara perasaan-perasaan pada mereka
adalah bahwa Islam itu agama ritula semata (tanpa disertai aturan kehidupan), atau
perasaan nasionalisme; sedangkan aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-
demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak Islami sekalipun mayoritas
penduduknya adalah orang-orang Islam.
5. Metode Penerapan Peraturan
Dilihat dari segi penerapan aturan, ideologi komunisme mengajarkan hanya negara
adalah satu-satunya institusi yang berhak menerapkan peraturan melalui kekuatan militer
13
dan undang-undang. Negara yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap urusan
individu dan kelompok masyarakat. Negara pula yang berhak mengubah peraturan.
Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa negara adalah pihak yang
mengontrol kebebasan. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negara
akan mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah sarana untuk
menjamin adanya kebebasan. Akan tetapi jika seseorang tidak mengganggu kebebasan
yang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun ia
rela, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori tindakan melanggar kebebasan. Dalam hal
ini negara tidak akan turut campur. Jadi, terwujudnya negara adalah untuk memberi
jaminan agar ada kebebasan.
Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa peraturan hidup dilaksanakan
oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya.
Sementara teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil, yang dapat dirasakan
oleh jamaah. Juga dengan adanya sikap tolong menolong antara umat dengan negara dalam
melakukan amar ma‟ruf nahi munkar. Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab
terhadap urusan jamaah. Negara tidak mengurus kepentingan individu, kecuali bagi mereka
yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan
selamanya, tidak ada evolusi (dalam peraturan). Negara, dalam hal ini terwujud pada
Khalifah, memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ jika
ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat.
14