Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN TEOLOGI

KRISTEN
DI DEKADE PERTAMA ABAD XXI
Sonny E. Zaluchu
Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologia Indonesia (STBI) Semarang
sonnyzaluchu@stbi.ac.id

PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan ini akan dibahas kecenderungan yang terjadi
dalam perilaku manusia di abad ke-21, tinjauan singkat terhadap pragmatisme,
rasionalisme dan empirisme, reposisi gereja di dalam perubahan dan lingkup
perkembangan teologis yang menjelaskan seperti apa rancang bangun sebuah
teologi terbentuk oleh zaman.

Kecenderungan Perilaku Manusia Abad ke 21


Abad 21 adalah salah satu abad yang menantang pemikiran manusia
terutama dalam memahami dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan
Allah. Mengapa? Salah satu ciri dalam abad ini adalah pencapaian yang luar biasa
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikian rupa sehingga orang menjadi
lebih bergantung pada semua pencapaian tersebut yang nyata-nyata menolong dan
meningkatkan efektifitas bahkan kualitas hidup. Teknologi seolah-olah telah
menjadi jawaban bagi semua kebutuhan manusia modern. Ruang dan waktu tidak
lagi menjadi batasan antar manusia untuk saling membangun hubungan. Informasi
bergerak dengan cepat melalui sambungan internet. Dunia yangs emual tersekat
oleh politik, budaya dan batas teritorial berubah menjadi global dan menyatu dalam
gerak dinamis teknologi yang semakin merasuk di dalam segala aspek kehidupan
manusia. Perkembangan tersebut memperlihatkan tanggap positif di satu sisi
selama teknologi itu digunakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Tetapi
tanggap negatif akan muncul manakala semua kemajuan tersebut, ternyata berbalik
menjadikan manusia sebagai objeknya, tersandera oleh hasil pikirannya sendiri
melalui sejumlah produk teknologi dan justru mereduksi makna Allah yang
transenden.

Salah satu contohnya adalah, kecenderungan manusia untuk semakin


berpikir praktis (pragmatisme), berorientasi pada pengetahuan atau akalnya
(rasionalisme) dan meringkas berbagai kerumitan, proses tradisional yang rumit
dan bertele-tele, dalam sebuah shortcut teknologi sehingga bukan saja tenaga dan
waktu yang di hemat, melainkan efektifitas dan efisiensi, termasuk didalamnya
urusan modal dan sumber daya manusia. Orientasi manusia berubah karena
mengarah pada hal-hal yang bisa dibuktikan, melibatkan pengalaman dan hasil
pengamatan yang otentik (empirisme). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dua
aliran filsafat yang pernah muncul di abad pertengahan (rasionalisme dan
empirisme) dan satu aliran filsafat abad sembilan belas (pragmatisme), seolah
kembali mendapat tempat di dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Inilah yang kelak membentuk kecenderungan baru teologi abad ke-21 yang
berusaha menyingkirkan Tuhan dari panggung aktifitas manusia dan membawa
pengaruh signifikan bagi pembentukan serta perkembangan teologi abad ke-
21. Hal ini akan dibahas pada bagian selanjutnya makalah ini.

Tinjauan Singkat Pragmatisme, Rasionalisme dan Empirisme

Pemikiran dan pola hidup untuk semakin pragmatis dengan


sendirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan di abad ke 21. Masyarakat
Amerika adalah contoh sangat konkret mengenai perilaku pragmatis melalui
American Ethos.1 Pengaruh dalam aliran ini dibentuk oleh filsafat pragmatis
yang salah satunya digagas oleh John Dewey (1859-1952). Dalam perilaku
keseharian, pragmatisme menjadi nilai-nilai vital kehidupan yang ikut
mengatur perilaku dan cara pandang masyarakat, terutama dalam
berhubungan dengan orang lain.2 Bagi masyarakat Amerika, sesuatu yang
penting, sebagaimana ditekankan oleh aliran filsafat ini, adalah konkrit,
terukur dan jelas penggunaanya.3 Dalam sudut pandang filsafat
pragmatisme, kebenaran sebuah teori dan pengetahuan harus bisa
dibuktikan melalui pengalaman dan tindakan manusia.4 Melalui pengalaman
tersebut, kebenaran dapat diuji untuk diterima atau ditolak.5

Bukan hanya soal pragmatisme, abad ke 21 juga mengantar manusia


untuk menjadi semakin rasional di dalam memahami segala sesuatu.
Rasionalisme adalah sebuah pandangan filsafat yang menekankan rasio
manusia sebagai penentu kebenaran.6 Dalam pandangan ini, segala sesuatu
dihakimi berdasarkan akal dan pikiran. Jika sesuatu mendapat penjelasan
secara rasional, maka sesuatu itu dapat diterima. Demikian sebaliknya.
Aliran ini pada awalnya dikembangkan oleh Descartes (1596-1650) seorang
filsuf Perancis sebagai responnya terhadap berbagai pergumulan dunia.7

1
W.T. Jones and Robert J. Fogelin, A History of Western Philosophy - The Twentieth
Century to Quine and Derrida (Orlando: Harcourt Brace College Publishers, 1997), 35.
2
Buku yang sangat bagus menguraikan pragmatisme dalam falsafah masyarakat
Amerika ditulis oleh Albertine Minderop, Pragmatisme Amerika (Jakarta: Obor, 2005).
3
Aliran ini pertama kali tumbuh Di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles
Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our
Ideas Clear” dan mempresentasikannya dalam sebuah pertemuan Methaphysical Club di
Cambridge, Massachusetts. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas
makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan
mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat
kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain
adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The
Varieties of Religious Experience”.
4
Robert Audi (Ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy (United Kingdom:
Cambridge University Press, 1999), 730.
5
Sonny Eli Zaluchu, “Sumbangan Pemikiran John Dewey Dalam Pendidikan” dalam
Jurnal Pasca Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia, Volume VI, Nomor 4, Oktober 2009,
halaman 38.
6
Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen Jilid 1 (Surabaya: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 2008), 63.
7
Aliran filsafat rasionalisme muncul pertama kali sebagai sebuah gerakan di daratan
Eropa (kecuali Inggris). Tokoh-tokoh lain yang mengembangkan aliran ini adalah Spinoza
(1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716) dan Blaise Pascal (1623-1662).
2
Satu aliran terakhir yang memberi ciri abad ke 21 adalah empirisme.8 Aliran
ini menekankan pengalaman sebagai titik tolak kebenaran. Empirisme adalah
kebenaran yang diterima melalui pengalaman, percobaan, penemuan dan
pengamatan yang telah dilakukan. Menurut Brown, berbeda dengan orang
rasionalis yang berusaha menegakkan sistem filsafat dengan memakai pikiran
berdasarkan kebenaran-kebenaran yang menurut dugaan orang terbukti dengan
sendirinya, penekanan empiris justru pada pengalaman yang datang melalui indera
manusia.9 Beberapa tokohnya antara lain John Locke (1632-1704), George Berkeley
(1685-1753) dan David Hume (1711-1776).

Menguatnya aliran filsafat seperti dikemukakan di atas hanyalah


sebuah contoh untuk mengantar memasuki pokok utama makalah ini, yakni
perkembangan teologi Kristen di dekade awal abad 21. Sesuatu yang
menguat akan mengarah pada sebuah kecenderungan. Jika kecenderungan
manusia abad 21 mengarah pada kekuatan pikirannya, pengalamannya dan
hal-hal yang praktis di dalam hidupnya, maka paling tidak hal itu akan
mempengaruhi cara pandang mereka dan rancang bangun teologis yang
mereka buat.

Reposisi Gereja dan Abad 21


Zaman yang berubah menuntut penyesuaian. Termasuk didalamnya gereja,
perlu melakukan tanggap terhadap perubahan yang demikian cepat yang
berlangsung disekitarnya. Gereja sendiri adalah hasil dari perubahan. Sebagai hasil
dari perubahan, gereja memiliki sejarah dan terus berkembang seiring perlananan
waktu. Menurut Th. Van den End sejarah gereja adalah kisah tentang
perkembangan-perkembangan dan perubahan yang dialami oleh gereja selama di
dunia ini. Yaitu kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk-bentuk yang
dipakai untuk mengabarkan Injil. End menganalogikan gereja sebagai sebuah pohon
yang awalnya merupakan sebuah tunas kecil, kemudian tumbuh dengan batang
yang besar dengan dahan, cabang dan ranting yang banyak, tidak sama ukurannya
dan bentuknya. Begitu pula halnya dengan gereja-gereja yang lahir dari jemaat
pertama yang berlainan: dalam hal tata gereja, tata kebaktian, dan ajaran (red.
teologinya). Tetapi semuanya itu berakar dalam tanah yang sama.”10 Sejak zaman
pantekosta berlangsung, gereja mengalami perubahan yang sangat pesat, baik dari
segi jumlah pengikutnya, tata caranya, organisasinya dan juga ajaran-ajarannya
(dalam hal ini katakan sebagai teologinya). Bahkan hingga kini gereja tumbuh di
dalam berbagai denominasi dan aliran yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal
tersebut membuktikan bahwa gereja dalam sejarahnya, telah mengalami
perkembangan yang demikian pesat sebagai tubuh Kristus di dunia. Dalam
perkembangan itu sendiri, gereja bukan hanya bertahan membangun dirinya dari
dalam, juga mempertahankan dirinya dari berbagai musuh yang secara sistematis
berniat menghancurkan gereja terutama dalam menghadapi ajaran-ajaran yang

8
Istilah ini berasal dari kata Yunani empeiria (=pengalaman) dan empeirikos
(=berpengalaman). Sejak abad kesembilan belas dan seterusnya, kata itu telah dipergunakan
untuk menunjukkan bermacam-macam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Gerakan ini dimulai di Inggris hampir bersamaan dengan mulainya aliran
rasionalisme di Eropa.
9
Brown, Colin. Filsafat dan Iman Kristen, 63.
10
Th. Van den End, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987), 7.
3
tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Fakta sejarah membuktikan, gereja mampu
bertahan dari gejolak-gejolak yang berlangsung secara internal.

Setiap masa yang berbeda akan menghasilkan tantangan dan persoalan


yang berbeda pula. Demikian juga di abad ke 21, yang dicirikan sebagai sebuah masa
dimana orang akan semakin pragmatis, rasional dan empiris, gereja akan
menghadapi tantangan tersendiri yang menuntut respon gereja untuk
mempersiapkan diri menghadapi semua itu. Injil yang menjadi sentra pemberitaan
gereja tentu akan banyak mengalami gugatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan
dan pendekatan rasionalistik. Hal ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi
gereja untuk semakin aktual dan mewujudkan perannya secara nyata, di tengah
masyarakat modern yang justru sedang bergerak ke arah sekular.

Penyesuaian apa yang dapat dilakukan oleh gereja? Paling tidak ada dua hal.
Pertama penyesuaian strategis, untuk merubah apa yang dipandang perlu dalam hal
ajaran, tata cara, organisasi dan strategi pemberitaan Injil; dan kedua, penyesuaian
yang bersifat konsolidatif, sebuah usaha untuk merapatkan barisan dan
memperkokoh ajaran gereja (yakni Injil) di tengah situasi dan alam pikiran manusia
yang secara tegas menarik batas antara hal-hal dunia (yang nyata, yang dimengerti
dan real) dengan hal-hal rohani (yang dianggap abstrak dan tidak nalar). Untuk hal
yang kedua ini, gereja perlu membangun kembali satu teologi yang benar-benar
berdiri atas kebenaran firman.

Lingkup Perkembangan Teologis

Makalah ini terbagi empat bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan dan
bagian keempat berisi uraian penutup dan kesimpulan. Di dalam makalah ini pada
bagian ketiga, akan dibahas beberapa kecenderungan dari berbagai perkembangan
terbaru dalam rancang bangun teologi yang mewarnai dekade pertama abad 21.
Pembahasan tersebut adalah usaha untuk mencoba membentuk gambaran terkini
perkembangan lingkup teologis berdasarkan tuntutan perubahan zaman dalam
sejarah gereja. Tentu akan terlihat perbedaan yang nyata dari masa sebelumnya. Itu
sebabnya pada bagian kedua makalah akan paparkan kembali secara singkat
sejarah teologi dan titik-titik penting yang memunculkannya ke permukaan.

Setiap zaman yang bergerak secara linier selalu menghasilkan satu corak
tertentu sebagai ciri dari zaman itu. Corak tersebut akan mewarnai pokok pikiran
apa yang dihasilkan di zaman itu. Sebagai contoh, ketika Zaman Renaissance
berlangsung, orang begitu mengagungkan karya seni sebagai sebuah prestasi dari
pencapaian manusia. Maka pada zaman itu, kehebatan manusia melalui karya seni
menjadi warna dari pola pikir manusia dalam menyusun rancang bangun
teologisnya. Sebagai sebuah ilmu yang memperbincangkan tentang Allah, teologi
juga menjadi sebuah arus yang mengalir kuat (dan tidak stagnan) di sepanjang garis
waktu.11 Pergerakan zaman, sekaligus memberikan gambaran dari perubahan,
perkembangan dan perbedaan teologis dari masa ke masa. Di dalam perubahan
itulah gereja dituntut untuk selalu mereposisi kembali dirinya.

Manusia selalu berusaha memahami Allahnya dan mempercakapkan


tentang Dia. Inilah yang menjadi salah satu alasan klasik, mengapa teologi tidak
pernah mati tetapi selalu berkembang. Warna dari rancang bangun teologi amat
ditentukan oleh corak zaman yang melahirkannya, termasuk latar belakang para

11
Berasal dari bahasa Yunani theos yang berarti Allah dan logos yang berarti pikiran,
perkataan, percakapan atau wacana.
4
pemikir yang menggagas ide-ide tersebut dan situasi-situasi yang berlangsung pada
waktu itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan teologi paling
tidak ditentukan oleh (a) corak zaman, (b) latar belakang para pemikir dan (c)
kebutuhan mendesak yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran teologis tersebut.

Teologi selalu berkembang bahkan erat kaitannya dengan sejarah gereja


tempat dimana teologi itu tumbuh dan berkembang. Demikian sebaliknya, selama
gereja bergerak di dalam jalur sejarah, maka teologi juga akan mengalami
perkembangan. Selama manusia hidup dan memikirkan tentang Allah-nya, maka
akan selalu lahir pemikiran dan perkembangan terbaru teologi. Yang membuat
perbedaan adalah sumber-sumber yang digunakan oleh para penggagas teologi
tidaklah sama. Ada yang menggunakan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran
tetapi lebih banyak juga yang menggunakan sumber-sumber lain. Di dalam
perjalanan sejarah perkembangan teologi, kita mengenal misalnya Agustinus,
Aquinas dan Hooker menggunakan Alkitab dan tradisi, filsafat serta ilmu
pengetahuan sebagai sumber dalam menciptakan sintesa-sintesa mereka yang
terpenting. Maka ketika setiap zaman menghasilkan aliran filsafat yang berbeda,
kemajuan pengetahuan yang berbeda, sistem dan tantangan yang berbeda, maka
dipastikan, sintesa yang kemudian lahir sebagai sebuah produk teologi, juga
mengalami perbedaan dari masa sebelumnya, mengalami perubahan dan
berkembang sesuai kebutuhan.

Aguinas dan beberapa tokoh sezamannya banyak sekali dipengaruhi oleh


filsafat Aristoteles. Hooker dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan tetang
tradisi yang berasal dari Aquinas dan gagasan baru dari zaman Renaisance.
Schleiermacher sangat kuat dipengaruhi oleh situasi pencerahan, filsafat Kant dan
aliran baru dari romantisisme dan immanentisme. Itu beberapa contoh dari sisi
teolog. Dari sisi bentuk teologi, kita mengenal lahirnya teologi reform sebagai reaksi
radikal atas berbagai kesalahan dan pelanggaran dalam lingkup gereja pada waktu
itu. Demikian halnya munculnya teologi politik, teologi kontemporer, dan berbagai
bentuk lain dari teologi, semua dipengaruhi oleh situasi dan kebutuhan zaman pada
waktu itu dan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan iman yang timbul atas
situasi tertentu. Hasilnya, rancang bangun dan keanekaragaman teologis. Menurut
Avis, keanekaragaman teologi tersebut adalah wajar dan muncul sebagai akibat
yang tak terelakkan dari dua sifat teologi itu sendiri. Pertama, hal tersebut
merefleksikan sifat dinamis dan kreatif teologi, yang didalamnya individu
menjawab dengan seluruh keberadaannya, dengan segenap hati dan pikiran,
pengungkapan Allah dalam alam yang kudus. Kedua, keanekaragaman ungkapan
teologi merefleksikan keanekaragaman keadaan yang didalamnya teologi
dijalankan.12 Meskipun demikian, arah dari semua pergerakan itu menuju ke satu
titik yakni tanggap iman manusia tentang Allah, terhadap Allah dan karya-Nya.

TINJAUAN SINGKAT SEJARAH GEREJA DAN TEOLOGI YANG DIHASILKAN


Percakapan sejarah teologi tidak dapat dilepas dari percakapan tentang
sejarah gereja karena hubungannya yang sangat erat. Di dalam bab ini akan dibahas
secara singkat perkembangan rancang bangunteologi di dalam sejarah gereja dari
abad pertama dan ajaran-ajaran teologi apa yang muncul serta tanggap (reaksi)
gereja terhadap perkembangan tersebut. Untuk membantu memahami uraian di
dalam makalah ini, pertama-tama akan diuraikan dahulu defenisi teologi dan

Paul Avis, “Apakah Teologi” dalam Paul Avis, Ambang Pintu Teologi (Jakarta: BPK
12

Gunung Mulia, 2001), 11.


5
sejarah teologi, kemudian tujuan dan maksud sejarah teologi dan yang terakhir
pembahasan singkat tentang periodisasi sejarah teologi.

Definisi Teologi dan Sejarah Teologi


Para teolog memberikan beragam pendapat mereka tentang defenisi dari
teologi. Berikut ini beberapa rumusan yang diungkapkan oleh para teolog tersebut
tentang pemahaman mereka tentang apakah defenisi dari teologi itu.
Eka Darmaputra mengatakan, teologi adalah upaya untuk mempertemukan
secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dan “konteks,” antara
“kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual. Juga didefenisikan
sebagai, upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristen pada konteks, ruang,
dan waktu yang tertentu.13
E. Farley mengatakan teologi adalah suatu istilah yang menggambarkan
lingkup seluruh pokok studi, penelitian (tentang PL, PB, sejarah gereja, teologi
sistematika, ilmu berkhotbah, pendidikan agama Kristen dan konseling) dan
aplikasi dalam pendidikan atas sekolah teologi.14 (= arti luas).
B.B. Warfield (1851-1921) teolog ortodoks dari Princeton Seminary
mengatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan Allah dan hubungan
antara Allah dan alam semesta.15
W.G.T. Shedd (Guru besar Teologi Sistematis di Union Theological Seminary
tahun 1874-1890) mengatakan, teologi adalah suatu ilmu yang berhubungan
dengan Yang Tak Terbatas dan yang terbatas, dengan Allah dan alam semesta.”16
A.H. Strong (teolog Baptis) mengatakan bahwa teologi adalah ilmu tentang
Allah dan hubungan-hubungan antara Allah dan alam semesta.17
F. Schleiermacher (pionir teologi Liberal, 1768-1834) mengatakan bahwa
teologi adalah usaha menganalisis pengalaman kesadaran religius, yaitu perasaan
ketergantungan kepada yang mutlak.18
Paul Tillich (1886-1965) mengatakan bahwa teologi adalah interpretasi
metodologikal dari materi pokok iman Kristen.19
Louis Berkhoft mengatakan bahwa teologi adalah pengetahuan sistematis
tentang Allah, yang dari-Nya, oleh-Nya, melalui-Nya dan bagi-Nya segala sesuatu
berada.20

13
Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar (Malang: Gandum Mas,
1993), 2-3.
14
Daniel Lukas Lukito, Pengantar Teologia Kristen I (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
t.th), 11 dikutip dari E.Farley, Theologia: The Fragmentation and Unity of Theological
Education (Philadelphia: Fortress, 1983), 31-34.
15
Tomatala, 14.
16
Lukito, Pengantar, 14, mengutip dari W.G.T. Shedd, Dogmatic Theology, 2nd
(Nashville: Thomas Nelson, 1980), I: 16.
17
Ibid., 15. Mengutip dari A.H. Strong, Systematic Theology (Philadelphia: Judson,
1907, 1951), I:1.
18
Ibid., 15. Mengutip dari The Christian Faith, (Edinburgh: T. & T. Clark, 1956), 12.
19
Ibid., 16. Mengutip dari Systematic Theology (Chicago: University of Chicago, 1951),
I: 18.
20
Louis Berkhoft, Teologi Sistematika 1: Doktrin Allah, Dit. oleh Yudha Thianto
(Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993), 7.
6
Harun Hadiwijono, salah seorang teolog Indonesia mengatakan, teologi
adalah usaha manusia dengan pikirannya untuk meneliti Alkitab dengan
menggunakan alat-alat ilmu pengetahuan, agar dapat mengetahui kebenaran-
kebenaran ilahi.21
Paul Avis mengatakan bahwa teologi adalah berpikir dan berbicara tentang
Allah.22
Daniel Lukas Lukito: pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan
hubungannya dengan ciptaan-Nya seperti dipaparkan dalam Alkitab.23
Berdasarkan sejumlah definisi di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa
teologi memiliki lingkup utama tentang Allah. Segala sesuatu yang membicarakan
tentang Allah dengan berbagai pendekatannya, disebut sebagai teologi. Hasil dari
perbincangan ini terangkum dalam sebuah rancang bangun teologi.
Sedangkan sejarah teologi merupakan pengungkapan tentang teologi
Kristen sepanjang berabad-abad yang meliputi perkembangan, pertumbuhan, dan
perubahan teologi Kristen, yang mempelajari formasi (susunan) doktrin-doktrin
utama tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Keselamatan, Gereja, dan lainnya, untuk
melihat bagaimana doktrin-doktrin telah diformulasikan dan berkembang.24 Enns
menekankan bahwa arah dari gereja telah dipengaruhi oleh arah dari teologi.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa mengikuti perkembangan teologi dari masa
ke masa akan dengan sendirinya menjelaskan arah perkembangan gereja. Maka
dengan melihat posisi teologi di awal abad 21, posisi dan perkembangan gereja juga
dapat dengan sendirinya dipetakan (maping).

Tujuan Sejarah Teologi


Menurut Enns, sejarah teologi bertujuan untuk “menjabarkan asal usul
sejarah dogma dari gereja dan menelusuri rentetan perubahan dan
perkembangannya.”25 Dengan kata lain sejarah teologi adalah sebuah usaha yang
menjelaskan gerakan teologi yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Karena
itu sejarah teologi mempunyai beberapa usaha. Pertama, berusaha untuk
memahami formasi doktrin-doktrin, perkembangan, dan perubahannya, apakah
menjadi lebih baik ataukah lebih buruk. Yang sudah terjadi adalah:
1. Skolastikisme yang menekankan penalaran mempengaruhi teologi untuk
menjauhi kedaulatan Allah;
2. Reformasi mengembalikan kepada sentralitas Alkitab (Sola Scriptura), juga
mengembalikan teologi untuk menekankan anugerah (Sola Gracia), juga
mengembalikan teologi untuk menekankan iman (sola fide);
3. Pencerahan mengarahkan teologi ke arah kecenderungan kepada anti
supranatural. Sebagai dampaknya:
a. muncul sikap menolak Alkitab sebagai firman Allah yang diilhami oleh Allah.

21
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Cet. ke-5 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000), x.
22
Paul Avis, Ambang Pintu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 2.
23
Ibid., 17.
24
Paul Enns, The Moody Handbook of Theology Jilid 2 (Malang: Literatur SAAT,
2004), 19.
25
Ibid.
7
b. Muncul sikap menolak Alkitab sebagai yang berotoritas atas hidup manusia
dan menggantikan akal manusia sebagai penentu segala-galanya (yang
berotoritas).
Kedua, selain berusaha untuk memahami formasi (susunan) doktrin-
doktrin, perkembangan, dan perubahannya, sejarah teologi juga menjelaskan
gerakan teologi selama berabad-abad. Hasilnya bermafaat bagi kita untuk
mengetahui asal mula doktrin, serta bagaimana berkembang, dan bagaimana
doktrin itu kadang-kadang menyimpang dari kebenaran yang Alkitabiah dan
muncullah bidat.26 Sebetulnya, maksud Enns dengan sejarah teologi adalah usaha
yang memudahkan kita memahami perkembangan teologi yang berlangsung dari
setiap zaman. Melaluinya kita dapat mengetahui pencapaian teologi apa saja yang
telah terjadi, bagaimana bentuknya dan apakah dampak dari pencapaian tersebut.
Beberapa pertanyaan pentingnya adalah, ajaran apa saja yang muncul, apakah
doktrinnya bertentangan atau mendapat legitimasi Alkitab? Serta, bagaimana
respon gereja menghadapinya.
Banyak teolog yang membagi sejarah teologi. Tetapi dalam makalah ini
hanya digunakan satu saja, seperti yang dikelompokkan oleh Paul Enns.
Pengelompokkan lain dibuat oleh Tony Lane tidak beda terlalu jauh dan lebih terinci
karena Lane masih menambahkan beberapa rincian waktu yang secara spesifik
membagi masing-masing periode tersebut.27 Enns membagi empat kurun waktu
sejarah teologi yakni Teologi Abad Permulaan (1 s/d 590 AD); Teologi Abad
Pertengahan (590 s/d 1517 AD); Teologi Reformasi (1517 s/d 1750) dan Teologi
Modern (1750 s/d sekarang).28
Teologi Abad Permulaan adalah teologi yang dikembangkan melalui para
Bapa Apostolik. Inilah masa dimana rancang bagun teologi Alkitabiah tersusun
secara sistematis. Teologi ini sangat signifikan dan biblikal karena dikembangkan
oleh orang-orang yang masih hidup dan dekat dengan peristiwa-peristiwa
kehidupan Kristus dan rasul-rasul. Sumbangan yang mereka sampaikan adalah isu
penting tentang trinitas, keilahian dan kekekalan Kristus dan keselamatan. Pada
masa ini sudah muncul beberapa pengajaran yang menyimpang dari iman Kristen
seperti sekte-sekte Yahudi yang mencoba mempertahankan hukum Musa, ajaran-
ajaran Gnostik yang bertentangan dengan Injil, Marcions yang membentuk kanon
sendiri dan gerakan Montanis. Dalam Tulisan karangan Bapa-bapa Rasuli yang
dikenal dengan tulisan teologis pastoral seperti Didache dan Surat-surat Clemens
beredar dalam periode ini. Karangan-karangan tersebut membahas soal yang

26
Ibid.
27
Berkenaan dengan penggolongan di atas, Tony Lane membuat periodisasi
perkembangan teologi dengan sedikit perbedaan: I. Gereja Bapa-Bapa Gereja sampai Tahun
500 M; II. Tradisi Timur Sejak Tahun 500 M; III. Gereja Barat pada Abad Pertengahan tahun
500 – 1500 M; IV. Reformasi dan Reaksi, 1500 – 1800; dari jaman ini dimunculkan penjelasan
tentang kelompok Lutheran, Calvinis, Anabaptis, dan reaksi Gereja Katolik Roma; V. Pemikiran
Kristen di Dunia Modern setelah Tahun 1800. Selama dua ratus tahun bermunculan berbagai
aliran: 1) Kaum Liberal, 2) Kelompok Evanglikal, 3) Neo-Ortodoksi, 4) Para Eksistensialis, 5)
Teologi Kontemporer, 6) Teologi pihak Katolik Roma, dan 7) Iman Se-Dunia. Berdasarkan dua
pembagian itu dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, dua pembagian itu tidak berbeda. Jika
tampak berbeda, itu disebabkan Tony Lane merinci isi beberapa periode ke dalam bagian-
bagiannya. Dan rincian itu menjadikan pembagian zaman itu lebih jelas. Pembagian ini dibahas
lengkap dalam buku Tony Lane, Runtut Pijar – Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005).
28
Ibid., 20-23.
8
dihadapi jemaat Kristen pada waktu itu, misalnya apa makna PL bagi gereja
Kristen.29
Secara spesifik, periode abad permulaan ini dibagi lagi dalam 4 kelompok
oleh Cairns.30 Pembagiannya adalah sebagai berikut :
(a) Abad Pertama – masa para Bapa Apostolik yang menyusun ajaran-ajaran
dasar kekristenan. Tokoh yang muncul di wilayah Barat adalah Clement
of Rome sedangkan dari wilayah Timur seperti Polykarpus, Ignatius,
Papias.
(b) Abad Kedua – masa para apologet dimana kekristenan dan ajarannya
dikukuhkan, dipertahankan dan dibela. Di wilayah Barat muncul
Tertullian sedangkan dari wilayah Timur muncul Aristides, Justin
Martyr, Tatian, Theopilus.
(c) Abad Ketiga – masa para Bapa Gereja, dimana terjadi polemik antar
ajaran dan serangan dari doktrin palsu yang menyesatkan terhadap
doktrin dasar kekristenan. Pada era ini, pengajaran yang berbasis tradisi
mencoba menyusup masuk ke dalam ajaran asli. Tokoh Barat yang
muncul adalah Irenius, Tertulian dan Cyprian. Sedangkan tokoh Timur
yang muncul adalah Clement dan Origen. Pada masa ini gereja terbagi
dua secara kontras dan sistemaris yakni Wilayah Timur di Alexandria
dan Wilayah Barat di Antiokhia. Di kedua kota inilah kemudian
berkembang dua mahzab teologi yang pengaruhnya dirasakan hingga
sekarang.
(d) Abad Keempat – masa keemasan dimana Alkitab mengalami
penyelidikan secara serius. Dogmatika muncul di masa ini. Tokoh gereja
Barat antara lain Jerome, Ambrose dan Augustine. Sedangkan dari
wilayah Timur muncul Athanasius dan Basil dari Caesarea.
Kelompok sejarah bagian kedua adalah abad pertengahan. Di dalam era abad
ini, rancang bangun teologi mengandung banyak sekali distorsi pengajaran Alkitab,
terutama pada paruh pertama abad pertengahan saat renaissance berkembang
pesat. Pandangan para tokoh renaissance sangat berpengaruh dalam kehidupan
berteologi, dimana pengaruh dari kombinasi antara filsafat Plato dan Humanisme
telah melahirkan kebangkitan kebebasan individu yang menjadi pusat dari
segalanya. Akibatnya terjadi pengagungan ‘human nature’, sehingga menghilangkan
kepercayaan manusia kepada standar kebenaran absolut. Otoritas gereja dalam
pendidikan moral juga menjadi lemah. Bahkan teologi yang berkembang pada masa
itu tidak memiliki pertanggung –jawaban biblika yang kuat.31 Namun demikian
kondisi itu justru menjadi benih ‘Reformasi’ yang berbuah pada abad ke-16-17.32
Perubahan secara signifikan dalam teologi baru terjadi pada paruh terakhir abad
pertengahan. Bibit reformasi mulai digulirkan di dalam gereja akibat sikap gereja
yang sudah sangat duniawi (disebut sebagai masa masa kegelapan – berlangsung
antara tahun 500 s/d 1500). Inilah yang kemudian mengawali gerakan reformasi
oleh Marthin Luther yang dilakukannya dengan berani. Skolastik sebagai usaha para

29
B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi – Pengantar ke dalam Ilmu Teologi
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 36-37.
30
Earle E. Cairns, Christianity Through The Centuries (Michigan: Grand Rapids, 1973),
76.
31
Francis A. Schaeffer, How Should We Then Live? (Illionis: Crossway Books, 2005),
30.
32
Sudarmanto, Teologi Kontemporer, diktat kuliah di STT Tanjung Enim, mengutip dari
Yakub Susabda, Teologi Modern I (1990), 2.
9
sarjana membelas imannya dengan pandangan rasional, muncul di abad ini. Salah
satu skolastik yang terkenal adalah Thomas Aquinas. Kalau pada zaman sebelumnya
teologi belum mengalami perkembangan, justru di abad pertengahan terjadi hal
yang sebaliknya. Mulai tahun 1100 s/d 1500, perkembangan yang sangat pesat
terjadi dalam bidang teologi. Mengapa? Kalau dulu teologi hanya dipelajari kalangan
terbatas di dalam gereja dan biara (sehingga penafsirannya sepihak), kini bisa
dipelajari dan dikembangkan oleh awam melalui fakultas-fakultas teologia yang
muncul di berbagai universitas Eropa.
Dalam periode ini juga terjadi perdebatan tentang filioque yang kemudian
memisahkan gereja Barat dan Timur. Gereja Barat mengakui bahwa Roh Kudus
keluar dari Bapa dan dari Anak (la filioque) sedangkan Gereja Timur tidak mengakui
itu. Perbedaan yang makin kontras antara gereja Barat dan Timur sudah tidak bisa
dikompromikan lagi. Pada tahun 1054 terjadi pemisahan. Gereja Barat berpusat di
Roma sedangkan Gereja Timur berpusat di Konstantinopel.33
Periode ketiga adalah reformasi. Periode ini mrupakan satu titik balik
terpenting dalam rancang bangun teologi yang membawa Alkitab sebagai satu-
satunya kebenaran dan dasar pijakan utama. Pada masa ini berkembang teologi
yang mendorong kembali pada Alkitab dan menegakkan ajaran yang benar tentang
kekristenan (akibat penyimpangan yang terlalu jauh dari praktek dalam gereja
katolik yang mengutamakan tradisi). Tokoh yang muncul adalah Marthin Luther,
John Calvin, Ulrich Zwingli. 34 Merekalah yang berperan dalam memunculkan teologi
protestan yang pengaruhnya berlangsung hingga saat ini. Dalam periode ini, ilmu
pengetahuan juga semakin maju dan berkembang. Ajaran gereja yang menyebutkan
bahwa bumi sebagai pusat tata surya diruntuhkan oleh lahirnya teori Copernicus
yang ternyata membuktikan bahwa justru mataharilah yang menjadi pusat tata
surya dan bumi mengelilingi matahari. Kolombus juga berhasil mendarat di benua
Amerika sehingga membuktikan bahwa teori bumi datar tidaklah benar. Gereja
Katolik mulai digugat dengan gerakan kembali ke sumber iman Kristen yakni
Alkitab dan menggeser secara radikal posisi tradisi dalam gereja. Keinginan untuk
memperbaiki gereja semakin kuat dan menyebar di seluruh Eropa. 35 Gereja
protestan sebagai buah kandung reformasi tumbuh dengan pesat dan
mengembangkan sendiri rancang bangun teologinya, yang sama sekali berbeda
dengan teologi katolik.
Bagian terakhir dari periodisasi Ernns adalah teologi zaman modern. Pada
awalnya teologi ini dipengaruhi oleh zaman pencerahan yang membawa orang-
orang pada sentralitas manusia dan kemampuan penalarannya.36 Pada masa

33
Gereja Timur kemudian berkembang dengan tradisi yang sangat kuat misalnya di
Rusia dan Yunani dan menekankan spiritualitas liturgi gerejawi. Istilah ortodoks kemudian
melekat pada gereja-gereja Timur.
34
Mathin Luther seorang imam gereja Katolik memakukan 95 tesis di pintu gereja
Wittenberg sebagai protes resminya atas berbagai penyimpangan di dalam gereja. Hari dimana
ia melakukan itu, 31 Oktober 1517 dikenal sebagai hari lahirnya gerakan reformasi yang
kemudian melahirkan agama Kristen Protestan.
35
Semboyan terkenal gerakan ini adalah Sola Gratia (hanya oleh anugerah), Sola Fide
(hanya oleh iman) dan Sola Scriptura (hanya oleh Alkitab).
36
Abad ke-18 (1700-1800) disebut abad pencerahan (Jerman: Aufklarung atau Inggris:
Enlightenment). Selama abad ini terjadi perubahan dramatis dalam kebudayaan Eropa dimana
orang makin percaya kepada terang cerah akal dan daya pikir. Akal menjadi orientasi utama
yang dipercaya membimbing manusia. Segala tradisi yang selama ini berlaku di dalam seluruh
aspek, diteliti menggunakan akal budi. Tidak lagi ada hal yang dianggap benar hanya karena
10
reformasi, suatu tradisi gereja akan ditolak jika tidak sesuai Alkitab. Tetapi di zaman
pencerahan, Alkitablah yang justru dikaji secara kritis terlepas dari ajaran
gerejawi.37 Dalam fase ini berkembang berbagai ajaran teologi seperti melalui
sejumlah teolog modern seperti Immanuel Kant, Friedrich Schleiermacher, George
Hegel. Kemudian pada awal tahun 1900 terjadi perubahan baru dengan munculnya
Karl Bath dengan neo-ortodoksnya, Paul Tillich dengan Systematic Theology-nya.
Dalam kurun waktu ini juga muncul berbagai aliran baru dalam teologi
modern seperti teologi liberal dan teologi-teologi yang bersifat lokal. Jika
dibandingkan dengan periodisasi pertama, sejarah teologi memperlihatkan kepada
kita, telah terjadi perubahan yang demikian besar dalam dinamika dan arus teologi
disetiap zaman. Teologi masa abad pertama misalnya yang sangat menekankan
kemurnian ajaran, sudah tidak mendapat tempat lagi di abad modern dimana yang
terjadi justru sebaliknya; keilahian Kristus dipertanyakan, hal-hal yang semula
diagungkan di abad pertama seperti kematian dan kebangkitannya secara jasmani,
digugat dalam perkembangan teologi modern.
Satu yang menarik dalam periodisasi ini adalah berlangsungnya Konsili
Vatikan II yang kemudian merombak platform teologi Gereja Katolik secara
mengejutkan. Sejak reformasi berlangsung, gereja ini semakin tertutup dalam
ajarannya dan perubahan. Tetapi melalui konsili II, modernitas menjadi isu penting
dalam gereja. Perubahan akibat modernitas tidak lagi dipandang sebagai sebuah
momok tetapi didekati melalui sebuah dialog untuk menciptakan perjumpaan,
terutama terhadap berbagai hal yang berlangsung atau terjadi di luar gereja. Gereja
menjadi lebih terbuka untuk usaha-usaha dialog yang ekumenis.38 Sebelum Vatikan
II, gereja terkesan hati-hati dengan gerakan ekumenis tersebut. Tetapi pasca Vatikan
II, gereja Katolik terlihat aktif dan mendorong dialog eikumenis dengan gereja-
gereja yang terpisah dari tahta apostolik Roma seperti gereja-gereja Timur, gereja-
gereja Barat dan gereja-gereja lain. Hubungan antar- gereja menjadi harmonis dan
komunikatif. Bahkan sebelum penutupan konsili, sudah terbentuk Kelompok Kerja
Sama (Joint Working Group) antara gereja Katolik Roma dengan Dewan Gereja-
gereja Sedunia.39 Hal baru semacam ini telah membuat gereja secara institusional
tidak lagi berjarak dengan dunia, tetapi justru ikut mewarnai dunia. Gereja juga
membuka wawasan baru di dalam hal misi. Salah satu dokumen adalah Ad Gentes,
dekrit tentang kegiatan misioner gereja. Gereja bukan lagi dianggap sebagai pusat
misi itu sendiri melainkan Kerajaan Allah. Dalam hal ini, konsili memberi hormat
dan tempat pada pusat-pusat kebudayaan lokal, agama-agama lain dan sikap positif
pada dunia; yang dianggap oleh gereja sebagai tempat dimana Allah aktif bekerja
dalam usaha penyelamatan-Nya. Satu langkah ke arah pluralisme juga sudah
dilakukan melalui Konsili Vatikan II ini. Para Bapa Konsili mengakui adanya unsur-
unsur yang baik dan benar di dalam agama-agama lain, serta terdapat hal-hal yang
berharga, baik secara keagaamaan maupun manusiawi. Di dalam agama-agama lain
itu juga terdapat kebenaran iman dan benih-benih Sabda Allah. Oleh karena itu
gereja mengajak dan mendorong pendekatan dialogis terhadap penganut agama lain
dan kerja sama yang tulus dengan mereka.40

dulu dianggap benar. Melalui eksperimen, orang akan meneliti sendiri apakah itu benar atau
tidak.
37
Pendetakan ini mengawali metoda histroris kritis yang terkenal itu.
38
Thomas Hidya Tjaya, “Janganlah Takut Menghadapi Dunia,” dalam Eddy Kristiyano
(Ed), Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai, (Jakarta: OBOR, 2006), 224.
39
Martin Harun, “Dekrit Tentang Ekumenisme”, dalam Eddy Kristiyano (Ed.), Konsili
Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai (Jakarta: OBOR, 2006), 85-93.
40
L. Madya Utama, “Dari Misi ke Evangelisasi,” dalam Eddy Kristiyano (Ed), Konsili
Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai (Jakarta: OBOR, 2006), 98-107.
11
Teologi di abad ke-20 semakin berkembang ke arah yang baik tetapi tidak
semua yang baik dapat dipertanggung-jawabkan secara biblikal. Fenomena
munculnya arus teologi liberal, neo-liberal, neo-ortodoks dan berbagai faham
teologi lain sebagai hasil historis kritis (seperti teologi eksistensial, teologi Allah
mati, teologi proses, teologi pembebasan) justru menghilangkan firman Tuhan yang
berotoritas itu sebagai sebuah kedaulatan tertinggi.
Mengamati timeline ringkas perkembangan teologi di atas bukan saja
membuat kita memahami dinamika di dalam lingkup teologi sejak abad pertama
hingga modern, tetapi mengerti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam
arus utama teologi yang secara signifikan membawa dampak bagi gereja.

KECENDERUNGAN PERKEMBANGAN TEOLOGI ABAD 21


Jika timeline perkembangan teologi diamati dengan seksama maka muncul
satu pertanyaan penting, bagaimanakah perkembangan rancang bangun teologi
modern di dekade pertama abad ke-21? Itulah yang akan di bahas di dalam bab
berikut ini. Pembahasannya disampaikan dalam bentuk bagian demi bagian.

Kecenderungan Menuju Teologi Imanensi


Dengan memperhatikan berbagai fenomena yang ada dan tren yang muncul
di dalam abad ke-21 sebagai abad dimana ajaran filsafat pragmatisme, rasionalisme
dan empirisme kembali mendapat tempatnya, manusia akan memiliki
kecenderungan untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan bertitik tolak semata-
mata pada alam dan natur manusia yakni akal budi. Inilah yang disebut dengan
teologi imanensi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi penjelasan bahwa imanen artinya
berada dalam kesadaran atau akal budi.41 Secara harafiah artinya ‘tinggal di dalam’.
Penjelasan dari Tom Jacobs sangat bagus tentang arti kata ini. Dikatakannya, imanen
adalah salah satu sifat Alllah dimana Dia tidak hanya berada di atas sana dan
terpisah dengan ciptaanNya (transenden) melainkan juga ada di dalam dunia
meskipun tidak berasal dari dunia (imanen). 42 Daniel Lukito menangkap memang
terdapat satu kecenderungan teologi di abad ke-21yang dibangun di atas landasan
imanensi. Sebagai akibatnya, Allah yang transenden itu menjadi hilang dan lebih
banyak menjelma di dalam kehidupan manusia di dunia. Keberadaan Allah
dianggap menyerap dan berbaur di dalam seluruh alam, peristiwa dan kehidupan
manusia.43 Bahaya dari bangun teologi semacam ini adalah menghilangkan setiap
aspek transendensi Allah dan mereduksi Allah yang transenden itu ke dalam hal-hal
praktis, terlihat dan terukur bahkan terancam dijadikan sama dengan dunia. Sifat
kemahakuasaan dan supernatural Allah tidak diterima di dalam lingkup teologi
imanensi. Memusatkan bangun teologi atas imanensi, seperti kata Jacobs, membawa

41
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
42
Tom Jacobs, SJ, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 77-79.
43
Daniel Lukas Lukito, “Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21 – Sebuah
Kajian Retrospektif dan Prospektif” dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan VERITAS, I No 1,
April 2000, halaman 3-6.
12
bahaya monisme44 atau bahkan panteisme.45 Yang menjadi pertanyaan adalah,
mengapa imanensi ini mendapat tempat? Orang modern yang semakin rasional,
empirik dan pragmatis dalam kehidupannya sehari-hari, juga akan cenderung
berpikiran sama di dalam memaknai Allah dan hubungannya dengan Allah.
Ditambah dengan arah pergerakan dunia dan semua produknya ke hal-hal yang
semakin praktis akan membuat dasar pijakan yang kokoh bagi teologi ini untuk
berkembang. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana seharusnya?
Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh Grenz dalam bukunya yang sangat
bagus tentang 20th Century Theology. Teologi Kristen terbaik adalah teologi yang
harus dibangun secara seimbang antara dua kebenaran ilahi yang paling hakiki
yakni transendensi dan imanensi. Pada satu tangan, Allah terhubung dengan dunia
secara transenden. Karena itu, Dia bukan bagian dari dunia dan melebihi alam
semesta. Pengkhotbah mengatakan bahwa “Allah ada di Surga dan engkau di bumi”
(Pkh 5:1). Sementara itu di tangan yang lain, Allah tampil sebagai pribadi yang
imanen, yang artinya hadir di dalam ciptaan-Nya. Dia ada di dalam sejarah manusia,
mengatur dan mengontrol alam semesta dan berada di dalam setiap proses yang
berlangsung dalam dunia ini. Seperti Rasul Paulus katakan dalam salah satu
kotbahnya kepada orang-orang Yunani dalam sebuah pertemuan di Aeropagus, “di
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kisah 17:28). 46 Penekanan pada
imanensi hanya akan membuat teologi berkembang mendukung perkembangan
zaman yang makin sekular dan makin jauh dari kebenaran hakiki yang
sesungguhnya yakni firman Allah.

Menguatnya Teologi Sekularisasi


Teologia sekularisasi akan menjadi salah satu pilar teologi abad ke-21
dimana akan banyak orang yang semakin berpikir, bertindak dan berperilaku
dengan cara memisahkan secara radikal dan tegas antara hal-hal sekular dan hal-
hal yang sakral. Akibatnya, hal-hal yang sakral tersebut akan semakin terkunci di
ruang yang paling pribadi dan dalam pengaruh yang makin dipersempit areanya47.
Sebagai abad yang bercorak teknologi, agama yang sakral dan segala sesuatu yang
sifatnya supernatural, tidak mendapat tempat dalam sistem budaya dan sosial.
Sekularisasi banyak mengambil alih paradigma, nilai dan bahkan tindakan manusia.
Orang mulai fokus pada hal-hal yang duniawi, yang ada di dalam dunia ini daripada
urusan supernatural di dalam gereja. Dampaknya, pandangan orang mengenai iman
Kristen mulai berubah dan mengalami pergeseran. Masyarakat berpaling pada azas-
azas ideologi lain sebagai sebuah tanggap sejarah atas perkembangan pemikiran
baru di tengah arus modernitas. Salah satu penyebabnya adalah struktur
pembentukan masyarakat Barat yang di awali dengan pra-anggapan pra-anggapan

44
Monisme adalah teori filsafat yang memandang bahwa segala sesuatunya pada
dasarnya adalah satu. Monisme beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara Tuhan pencipta
dan ciptaanNya. Ini menjadi dasar kepercayaan theistic yang kemudian di bawa kepada
panteisme. Panteisme adalah paham yang memandang Allah ada di dalam segala-galanya dan
segala-galanya adalah Allah.
45
Jacobs, Paham Allah, 78.
46
Stanley J. Grenz dan Roger E. Olson, 20th Century Theology – God and the world in
a transitional Age (Illionis: InterVarsity Press, 1992), 11.
47
Sonny Eli Zaluchu, “Mengkritisi Teologi Sekularisasi,” Kurios 4, no. 1 (2018): 26–
38, https://doi.org/https://doi.org/10.30995/kur.v4i1.31.
13
sekuler (non-keagaamaan) dimana aktifitas beragama dipandang sebagai sebuah
pilihan yang sangat pribadi bagi individu.48
Dalam pandangan Karel Dobbelaere sekularisasi adalah suatu proses dalam
masyarakat yang telah mengalami perubahan-perubahan struktural, di dalam mana
suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan
menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem
lainnya; proses ini membuat klaim-klaim tentang pencakupan segalanya itu
kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasi dan
terprivatisasi.49 Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau
norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin
digantikan oleh norma-norma sekular atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak
dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, politik,
hubungan sosial, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.50 Bahaya dari teologi yang
dibangun dengan cara seperti ini sangat jelas. Manusia sesungguhnya diarahkan
semakin menjauh dari Tuhan. Jika dibiarkan terus tanpa kontrol, maka pintu bagi
sekularisme menjadi terbuka selebar-lebarnya.51 Titik tolak teologi sekularisasi
adalah munculnya penafsiran baru soal kehidupan kekristenan. Teologi ini adalah
hasil dari pemikiran para teolog Barat yang dipengaruhi oleh semangat modernisme
yaitu rasionalisme dan sekularisme, yang sebetulnya adalah ciri masyarakat abad
ke-20.
Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada
alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Para teolog ini
beranggapan bahwa alam yang lebih nyata dan kerajaan yang sebenarnya adalah
realitas yang ada saat ini yaitu dunia. Sebagai milik Allah, manusia bukan berarti
tanpa dunia. Manusia tinggal dan berada di dalam dunia dan harus menemukan
sikap yang sebenarnya terhadap Allah dan dunia. Sikap yang benar itu adalah
membiarkan Allah tetap Allah dan dunia tetap dunia.52 Sebagai akibat semakin

48
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. (Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia, 2005), 197.
49
Karel Dobbelaere, “The Secularization of Society? Some Methodological
Suggestions”, dalam Jeffrey K. Hadden & Anson Shupe (Eds.), Secularization and
Fundamentalism Reconsidered: Religion and the Political Order (New York: Paragon House,
1989), 27-44.
50
Ibid., hal.38.
51
Sekularisasi tentu saja berbeda dengan sekularisme. Pengertian yang sangat
radikal dari sekularisme adalah sebuah upaya penolakan atau pengusiran agama dan
pemikiran religius dari kehidupan manusia. Bahkan dapat mengarah pada usaha untuk
menyangkal Tuhan seutuhnya (atheis). Pusat kehidupan sepenuhnya adalah dunia ini
melalui akal budi manusia. Sekularisme menekankan pada usaha yang menggeser
bahkan menyingkirkan Allah dari realitas kehidupan. Akibatnya, Allah tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang ada, Allah menjadi sesuatu yang abstrak dan tak
terjangkau; sebaliknya, segala sesuatu dianggap lahir dari proses alamiah, natural; atau,
sebagai proses yang berlangsung dalam dunia ini, yang dapat dipahami secara rasional
berkat kemampuan akal budi manusia yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bedanya dengan sekularisasi adalah posisi agama yang masih diakui walau
tidak lagi mendapat peran publik. Sekularisasi tidak langsung menyangkal eksistensi
Allah dan menginjinkan seseorang memeluk agamanya secara pribadi. Keyakinan
seseorang melalui agamanya tidak boleh mencampuri berbagai persoalan yang ada di
tengah masyarakat.
52
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad ke-20 (Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia, 2004), 50.
14
sekulernya masyarakat di zaman modern, terjadi perubahan radikal di dalam
memandang gereja, ajarannya dan terhadap kitab suci. Gereja dan otoritas kitab suci
mulai dipertanyakan dan beberapa isinya dianggap tidak relevan lagi. Muncul
pendekatan baru terhadap kita suci dengan memperlakukannya sebagai produk
literer. Dalam anggapan ini, Alkitab diperlakukan sebagai dokumen-dokumen yang
lahir dari sejarah. Inilah yang kemudian melahirkan pendekatan yang bersifat kritis-
historis terhadap Alkitab. Terdapat banyak tokoh dan teolog yang ikut menggagas
teologi sekularisasi seperti Thomas J.J Altizer, William Hamilton, Gabriel Vahanian
dan Richard Rubenstein.53 Pokok pikiran mereka mendukung konsep Allah mati di
dalam dunia modern.54
Salah seorang teolog yang mencoba melakukan pendekatan baru dengan
dengan dunia modern adalah Friederich Gogarten (1887), seorang pakar di dalam
ilmu teologi. Gogarten memikirkan suatu konfrontasi iman Kristen dengan realitas
dunia yang telah berubah menjadi sekuler. Menurutnya, sekularisasi adalah produk
iman Kristen sendiri; sebuah gejala post-Kristen sebagai akibat yang wajar terjadi.
Iman Kristen mendorong manusia untuk menguasai dan mengelola bumi. Manusia
bukan hanya manusia yang tanpa Allah melainkan juga bukan manusia yang tanpa
dunia. Manusia berada di antara Allah dan dunia dan harus menemukan sikap yang
sebenarnya terhadap keduanya. Itulah sebabnya Gogarten setuju membiarkan Allah
tetap Allah dan manusia tetap manusia. Untuk itu, Gogarten membedakan dua
macam sekularisasi. Yang pertama adalah sekularisasi yang tetap terikat pada iman
Kristen dan itulah yang harus diperjuangkan. Jangan sampai sekularisasi berubah
jadi sekularisme (bentuk kedua), yakni sekularisasi yang melepaskan diri dari iman
Kristiani. Sekularisme merupakan penyelewengan dari sekularisasi. Inilah yang
menjadi tugas iman Kristen di dalam teologi sekularisasi, melindungi sekularisasi
agar tidak menyeleweng menjadi sekularisme.55
Tokoh kedua yang mendukung teologi sekularisasi ialah Dietrich
Bonhoeffer (1906-1945). Belajar teologi di Union Theological Seminary New York
sebelum akhirnya menjadi dosen teologi di Berlin. Ia juga sempat belajar di
Universitas Tubingen. Saat kembali ke Jerman Bonhoeffer adalah salah seorang
penentang Nazi dan arogansi Hitler dengan ras Arya-nya. Aktifitas politiknya
membuat ia dilarang berbicara di depan umum dan juga dilarang menulis atau
mengedarkan buku. Ia ditangkap dan dipenjarakan tahun 1943 dan dihukum mati
oleh Nazi pada tahun 1945, beberapa hari sebelum Jerman menyerah pada sekutu.
Di dalam penjara ia menulis sebuah karya yang terkenal Letters and Papers from
Prison. Pemikirannya sangat terinspirasi oleh Karl Bath. Bonhoeffer mendukung
pemikiran Gogarten mengenai kemampuan akaliah manusia yang telah

53
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology (Grand Rapids: Bakes
Books, 1992), 169-172.
54
F.W. Nietzsche dalam salah satu bagian bukunya Die Frohliche Wissenschaft (“Ilmu
Pengetahuan Yang Menggirangkan”) untuk pertama kalinya memproklamasikan mengenai
‘kematian Tuhan’. Di dalam bagian itu, Nietzsche menceritakan seorang gila yang berlari di
pasar saat pagi cerah dengan membawa dian di tangannya sambil berseru-seru, “Aku mencari
Tuhan! Aku mencari Tuhan!” Orang-orang menertawakannya dan balik bertanya, “Apakah
Tuhan hilang atau tersesat seperti anak kecil? Apakah Ia bepergian atau berimigrasio?”. Orang
gila itu melompak ke tengah-tengah mereka dan berteriak, “Tuhan binasa. Aku berkata
kepadamu. Kita telah membunuhNya. Kamu dan aku”. Oleh karena orang-orang itu tidak
mengerti apa yang dimaksudkannya, ia pergi mengembara ke gedung-gedung gereja di kota dan
berteriak: “Apa gedung-gedung gereja ini, jika bukan makan dan nisan-nisan Tuhan?” Pokok
pikiran Nietzsche dapat di selami dalam sebuah buku terbaru berjudul “Para Pembunuh Tuhan”
yang diterbitkan oleh Kanisius (2009).
55
Harun Hadiwijono, hal. 53-53.
15
berkembang sehingga menjadikan dunia menjadi sekuler. Itu adalah bagian dari
sejarah yang mau tidak mau harus disikapi. Dalam pandangan Bonhoeffer,
sekularisasi telah mengakhiri keberadaan agama. Dalilnya yang terkenal
menyebutkan bahwa zaman sekarang ini adalah zaman akhir religi karena sudah
bukan zamannya lagi orang dipengaruhi dengan kata-kata yang saleh.56
Bagaimanapun teologi sekularisasi bukanlah teologi yang membawa
kembali otoritas Alkitab sebagai firman Allah yang hidup. Pandangan orang sekuler
terhadap Alkitab justru bertolak belakang dengan misi dan keberadaan Alkitab itu
sendiri sebagai penyataan khusus Allah kepada manusia. Bahkan kalau dunia ini
disebut sekular, maka tugas orang Kristen bukanlah menjadi ikut sekular seperti
dunia tetapi justru mengubah dunia dengan menggaraminya menggunakan firman
Allah.

Berkembangnya Teologi Akhir Zaman


Abad ke-21 adalah abad dimana teologi eskatologis (dari bahasa Yunani
yang berarti ‘terakhir’) akan kembali menjadi isyu teologi terpenting. Baru-baru ini
film tentang akhir zaman berjudul 2012 menjadi bahan pembicaraan yang ramai.
Film itu diangkat dari sejumlah buku konspiratif yang disusun berdasarkan
penanggalan kalender suku bangsa Maya yang meramalkan bahwa pada tanggal 21
bulan 12 tahun 2012, terjadi pergantian menuju tahun baru dalam penanggalan
Maya. Hebohnya penanggalan ini muncul karena bangsa Maya meyakini bahwa
dalam siklus penanggalan mereka, tanggal tersebut sekaligus menandai era baru di
dalam sejarah manusia.57 Pada titik inilah teori konspirasi mulai muncul dan seperti
efek domino, kiamat tahun 2012 menjadi topik paling hangat. Berbagai pakar mulai
melihat kemungkinan itu dari sudut pandangan keilmuan masing-masing. Apalagi
dalam konteks kebudayaan Maya, disetiap akhir siklus kalender mereka,
menyongsong abad yang baru, selalu terjadi bencana alam, saking hebatnya dapat
menghancurkan sebuah peradaban.58 Apakah ini yang disebut kiamat?
Persoalan yang selalu terulang dari sebuah teologi eskatologis adalah tidak
ada seorangpun yang mampu meramalkan dengan tepat kapan sebetulnya kiamat
atau akhir zaman itu berlangsung dan dengan cara apa Tuhan bekerja. Banyak bidat-
bidat dan pengajaran Kristiani yang sesat dalam membangun teologi akhir
zamannya, selalu berakhir dalam situasi yang sama, ramalan mereka akhirnya tidak
terbukti. Pertanyaannya, mengapa ini menjadi sebuah tren di abad ke 21? Bisa jadi,
pragmatisme, rasionalisme dan empirisme telah mengikis sikap peduli manusia
terhadap hal-hal yang sakral. Sementara itu, dalam pergumulan menjalani hidup di
dunia ini terbukti bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan oleh manusia dengan
segala kehebatan dan kepintarannya. Artinya, natur manusia yang terbatas itu
selalu mengikuti pencapaian apapun yang telah berhasil dilakukan manusia. Itulah
sebabnya muncul pengharapan akan keadaan yang jauh lebih baik, pengharapan
akan masa depan yang menjamin kehidupan kekal.
Ciri khusus dari eskatologi Kristen adalah sifat sentralitas Kristus.
Kedatangan-Nya yang kedua kalinya akan menandai berakhirnya era manusia dan
mulainya era pemerintahan seribu tahun. Eskatologis bukan hanya mengajak orang
untuk merenungkan secara pribadi tentang nasib akhir dirinya, tetapi lebih untuk

56
Ibid., hal 55.
57
Lawrence E. Joseph, Kiamat 2012 – Investigasi Akhir Zaman (Jakarta: Gramedia,
2009), 14-15.
58
Kukuh Mulyanto, 2012 – Akankah Kiamat Benar Benar Terjadi? (Yogyakarta:
Pustaka Timur, 2009), 15.
16
membiarkan perspektif pengharapan yang ada didalamnya mempengaruhi
kehidupan secara menyeluruh.59 Jika teologi semacam ini yang dibangun, maka
tentulah alkitabiah. Tetapi perkembangan teologi akhir zaman yang berkembang
belakangan ini justru tidak memiliki ciri eskatologi Kristen dan terjebak pada
konspirasi yang dirancang oleh pandangan agama lain, para ilmuwan dan scientific
dan juga oleh penulis-penulis buku popular. Bahaya membangun teologi eskatologi
yang melenceng dari natur kekristenan sangat mengerikan. Terjadi penipuan dan
rekayasa, bahkan munculnya sikap manipulatif untuk membentuk opini manusia,
termasuk dalam membentuk opini orang percaya melalui kutipan firman Tuhan.
Eskatologis akhir zaman seharusnya membangkitkan pengharapan
mesianik yang kuat dan bukan justru membangun ketakutan atau kekuatiran.
Alkitab memang secara tegas menyatakan bahwa akhir zaman akan tiba secara
misterius. Tetapi Alkitab sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang kapan
tepatnya terjadi. Misteri di dalam tema ekstatologis telah menarik banyak minat
teolog dari masa ke masa yang telah mencoba mengembangkan dan
menafsirkannya. Besar kemungkinan bahwa dalam menyongsong paruh kedua abad
ke-21 yang akan datang, tema eskatologis ini akan semakin menjadi bahan
pembicaraan sekaligus perdebatan baik di kalangan teolog, gereja maupun awam.
Di antara sejumlah alasannya, faktor melemahnya teologi kemakmuran yang
sempat mendominasi pengajaran teologi abad kedua puluh, telah membuka
kesempatan bagi hadirnya tema eskatologis sebagai rancang bangun pengganti yang
akan populer.

Bentuk Baru Teologi Liberal


Bursa buku teologi di Indonesia akhir-akhir ini menjadi semakin ramai
dengan hadirnya sejumlah bacaan yang selama ini terkesan tabu dibicarakan dalam
lingkup teologi gereja. Bacaan-bacaan yang oleh gereja mula-mula digolongkan
sebagai bidat dan ajaran sesat, justru telah menarik minat kalangan akademik untuk
menyelidikinya dan memperkaya pengetahuannya. Setelah dunia teologi
dihebohkan dengan penemuan makam Talpiot maka bermunculan berbagai teori
konspiratif tentang Yesus, kredibilitas keilahian-Nya dan orisinalitas ajaran-Nya
dalam Injil. Hadirnya buku-buku yang membeberkan injil-injil tersembunyi seperti
Injil Filipus, Injil Maria Magdalena, Injil Yudas dan juga keberadaan surat-surat yang
selama ini tertutup dari kalangan awam seperti Surat Henokh, telah memancing
perdebatan seru tentang keilahian Yesus Kristus.
Sebetulnya isu tersebut di atas bukan hal yang baru dalam dunia teologi.
Tetapi melihat tren yang ada dalam perkembangan pengetahuan (penemuan-
penemuan baru dari naskah-naskah kuno dan sifat publisitasnya yang gencar),
tantangan Injili yang terbesar di abad ke-21 adalah menghadapi rancang bangun
teologi liberal yang makin solid dan meluas. Salah satu usaha dari kelompok liberal
ini adalah membuang semua unsur yang bersifat supernatural dalam kekristenan.
Usaha yang paling nyata dilakukan oleh kelompok Yesus Seminar.
Yesus Seminar adalah kelompok para sarjana Alkitab liberal yang bergabung
dengan satu tujuan yakni mengkaji keotentikan kitab-kitab Injil melalui
penyelidikan ilmiah mengenai perbuatan dan perkataan Yesus.60 Asumsi mereka

59
Sinclair B. Ferguson, David F. Wright dan J.I. Packer, New Dictionary of Theology
Jilid 2 (Malang: Literatur SAAT, 2009), 65.
60
Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama (Malang: Gandum
Mas, 2009), 184-185.
17
adalah Injil tidak otentik kecuali jika dibuktikan terbalik.61 Kesimpulan dari
kelompok ini sangat mencengangkan. Menurut mereka, Yesus tidak pernah
menuntut diri-Nya sebagai Mesias dan tidak bernubuat tentang akhir zaman.
Ucapan Yesus pada malam perjamuan kudus dianggap sebagai rekaan para murid,
dan doa bapa kami tidak diajarkan oleh Yesus melainkan disusun oleh para
pengikut-Nya.62 Kelompok ini semula terdiri dari 200 anggota tetapi berkurang
menjadi 74 orang pada saat mereka mempublikasikan buku penelitian mereka The
Five Gospels. Mereka dengan seksama memeriksa keempat Injil (termasuk juga Injil
Thomas) dan berusaha menemukan autentisitas setiap perkataan Yesus.63 Berbeda
dengan edisi tradisional yang menggunakan warna merah untuk perkataan Yesus,
kelompok Yesus seminar menggunakan empat warna. Jika itu berwarna merah,
maka itu adalah perkataan Yesus. Merah muda berarti, kedengarannya seperti
perkataan Yesus. Warna abu-abu artinya, itu mungkin perkataan Yesus. Sedangkan
warna hitam artinya, telah terjadi kesalahan.64
Rancang bangun teologi liberal di abad ke-21 akan semakin mencari bentuk-
bentuknya yang baru dan tentu saja semua usaha itu akan langsung menyerang inti
Kekristenan yang selama ini bertahan hingga ribuan tahun yakni keilahian Yesus
Kristus. Dengan dipadukannya berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi,
sejarah dan penelitian ilmiah ke dalam ilmu teologi, maka tidak tertutup
kemungkinan di abad ke-21 akan terjadi banyak gugatan yang lebih sistematis
dengan bobot yang lebih besar terhadap isu-isu dasar kekristenan. Teologi liberal
dapat menjelma di dalam berbagai forum dan sekolah-sekolah Alkitab untuk
menghancurkan dasar kekristenan yang paling hakiki.
Hadirnya sejumlah Injil tersembunyi dalam ranah publik patut diwaspadai
sebagai usaha teologi liberal yang tersamar dalam memberikan informasi
menyesatkan kepada masyarakat yang selama ini menjadikan Alkitab sebagai
pegangan satu-satunya terhadap kebenaran. Keberadaan buku-buku tersebut dapat
menggoncang iman. Melihat berbagai tanda dan ciri perkembangan masyarakat
modern di abad ke-21, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan demi gugatan
terhadap Alkitab dan kebenaran ilahi Yesus Kristus akan semakin mengkristal.
Inilah tantangan utama bagi gereja agar umat Tuhan tidak terpengaruh oleh
berbagai situasi tersebut dan tetap memegang teguh kepercayaannya.
Terdapat banyak kecenderungan dan perkembangan lain yang mungkin
menjadi ciri rancang bangun teologi abad ke-21 tetapi paling tidak, empat analisis
di atas dapat membuka wawasan kita mengenai bentuk teologi apa yang

61
Hasil penyelidikan mereka diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Authentic Words of Jesus,
The Five Gospel, What Did Jesus Really Say? Diterbitkan tahun 1993.
62
N.T Wright, Who Was Jesus? (Grand Rapids: William B. Eerdmans P.C., 1994), 17-
18.
63
Metode yang mereka pakai untuk mengambil keputusan apakah sebuah ayat betul
sebagai perkataan Yesus, sangat tidak ilmiah. Mereka melakukan pemungutan suara. Pertama,
mengumpulkan ucapan-ucapan yang dianggap dari Yesus, kemudian dibagi dalam kategori,
yaitu perumpamaan, aforisme, percakapan dan cerita-cerita mengandung ucapan Yesus. Ucapan
yang pendek dianggap lebih asli. Kedua, mereka melakukan pemungutan suara oleh yang hadir.
Jika asli maka diberi warna merah (nilai 3/75%), mungkin asli diberi warna merah muda (nilai
2/50%), mungkin tidak asli diberi warna abu-abu (nilai 1/25%) dan tidak asli sama sekali diberi
warna hitam (nilai 0). Hasilnya, 82% ucapan yang dikatakan Yesus dalam Injil adalah tidak
benar-benar diucapkan oleh-Nya.
64
Robert Funk, Roy Hoover dan Jesus Seminar, The Five Gospels: The Search fot the Authentic
Words of Jesus (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), 37, seperti dikutip dalam Douglas
Groothuis, Jesus in an age of Controversy (Jakarta: Verbum Dei Books, 2008), 17.

18
berkembang di zaman modern ini dan dapat membaca kemana arahnya. Melalui
fenomena tersebut, gereja tentu saja dituntut untuk bersikap dan memposisikan
diri.

PENUTUP
Dalam bagian penutup ini akan dibahas bagaimana sebaiknya gereja
membangun suatu rancangn bangun teologi di tengah berbagai tantangan dan
derasnya konsekuensi akibat kemajuan zaman di abad ke-21.
Pertama, gereja perlu membangun kembali teologi Kristen abad ke-21 yang
memberikan jawaban terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan di dalam
penelitian Alkitab. Dalam hal ini, gereja tidak perlu takut goncang ataupun
terintimidasi. Fakta sejarah selalu membuktikan bahwa Allah ikut membela gereja-
Nya dan itulah yang akhirnya membuat gereja bisa bertahan di sepanjang sejarah
yang penuh dengan pergolakan. Jika pada masa-masa sebelumnya pernah terjadi
usaha para bapa Apologetik membela imannya, maka tantangan kontroversial yang
mengguncang iman Kristen di abad ke-21 ini hanya dapat dihadapi dengan
kontruksi ajaran yang benar dan usaha untuk tetap berdiri di atas ajaran itu.
Rancangan bangun teologi abad ke-21 memang menjadi sebuah kebutuhan
mendesak yang perlu dipikirkan gereja supaya usaha menggarami dunia ini tidak
terhambat dengan berbagai perkembangan yang justru bertolak belakang dari iman
dan ajaran Kristen yang ada.
Kedua, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah rancang bangun teologi
selalu disusun berdasarkan kebutuhan zaman. Maka kebutuhan zaman di abad ke-
21 perlu diidentifikasi oleh teolog-teolog Injili supaya melalui rancangan bangun
tersebut, teologi Injili dapat menjadi jawaban ditengah derasnya arus modernisasi
dan globalisasi dunia. Kini semua orang bisa menafsirkan Alkitab secara bebas dan
bebas pula menggunakannya untuk kepentingan apapun. Bahkan semua orang bisa
bebas untuk percaya Alkitab atau tidak. Melalui rancang bangun teologia abad ke-
21, kekristenan akan dilahirkan dalam zaman yang serba post-modern ini sebagai
satu-satunya jalan bagi kebahagiaan, kebenaran dan keselamatan. Munculnya
agama-agama lain dan agama-agama alternatif sebagai ciri masyarakat modern
jangan dianggap sebagai ancaman terhadap kekristenan. Justru melalui fenomena
tersebut, kekristenan dapat memposisikan dirinya sebagai satu-satunya teologi
tahan uji yang membawa pada jalan keselamatan.
Ketiga, teologi yang muncul di abad ke-21 tidak lagi bersifat holistik. Juga
tidak akan muncul teolog-teolog dunia seperti yang pernah terjadi masa
sebelumnya. Yang bermunculan adalah teolog-teolog lokal yang terkonsentrasi
untuk membahas isu-isu lokal. Untuk itu perlu dipersiapkan jalur formal yang
memadai bagi para teolog lokal ini, misalnya melalui jalur pendidikan resmi, agar
saat berteologi, mereka memiliki dasar pijakan yang kokoh dan tidak goyah
menghadapi arus liberalisme dalam kekristenan.
Keempat, salah satu fenomena yang harus disikapi oleh teologi Kristen di
abad ke-21 adalah kecenderungan manusia untuk mempertanyakan transendensi
Allah dan sifat-sifat supernatural-Nya. Hal ini terjadi karena manusia sudah
terkooptasi oleh kemajuan berpikir sainstik dan teknologi dan lebih berpusat pada
dirinya sendiri. Usaha-usaha yang menggugat kekristenan akan menjadi agenda
terpenting disepanjang abad ini. Maka gereja perlu merapatkan barisan dan tidak
lagi terpecah di dalam denominasi sehingga bersaing memperebutkan jemaat.
Kelima, salah satu keberhasilan gereja mula-mula di zaman para rasul dan
Bapa Apostolik adalah kuatnya mereka dalam memegang ajaran dan tidak
bersandar pada pengertiannya sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi landasan
19
utama bagi penyusunan ajaran teologi abad ke-21, sebuah teologi yang membawa
kita semua mendekat dan lebih dekat lagi pada-Nya. Seperti firman Tuhan ajarkan,
dalam Yeremia 9:23-24, "Janganlah orang bijaksana bermegah karena
kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah
orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah,
baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku,
bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di
bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN."

REFERENCES
Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge
University Press, 1999.
Avis, Paul. Ambang Pintu Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Berkhoft, Louis. Teologi Sistematika 1: Doktrin Allah. Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia, 1993.
Braaten, Carl E. And Robert W. Jenson. A Map of Twentieth Century Theology.
Minneapolis: Fortres Press, 1995.
Brown, Colin. Filsafat dan Iman Kristen Jilid 1. Surabaya: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 2008.
Cairns, Earle E. Christianity Through The Centuries. Michigan: Grand Rapids, 1973.
Conn, Harvie M. Teologia Kontemporer. Malang: Literatur SAAT, 2008.
den End, Th. Van. Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987.
Drewes, B.F. dan Julianus Mojau, Apa Itu Teologi – Pengantar ke dalam Ilmu Teologi.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology Jilid 2. Malang: Literatur SAAT, 2004.
Ferguson, Sinclair B., David F. Wright dan J.I. Packer, New Dictionary of Theology Jilid
2. Malang: Literatur SAAT, 2009.
Grenz, Stanley J. dan Roger E. Olson, 20th Century Theology – God and the world in a
transitional Age. Illionis: InterVarsity Press, 1992.
Groothuis, Douglas. Jesus in an age of Controversy. Jakarta: Verbum Dei Books, 2008.
Hadden, Jeffrey K. & Anson Shupe (Eds.), Secularization and Fundamentalism
Reconsidered: Religion and the Political Order. New York: Paragon House,
1989.
Hadiwijono, Harun. Pemikiran Reformatoris Abad ke-20. Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia, 2004.
Jacobs, SJ, Tom. Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2002.
Jones, W.T. and Robert J. Fogelin. A History of Western Philosophy - The Twentieth
Century to Quine and Derrida. Orlando: Harcourt Brace College Publishers,
1997.
Joseph, Lawrence E. Kiamat 2012 – Investigasi Akhir Zaman. Jakarta: Gramedia,
2009.

20
Kristiyano, Eddy (Ed). Konsili Vatikan II Agenda Yang Belum Selesai. Jakarta: OBOR,
2006.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
2005.
Lukito, Daniel Lukas. Pengantar Teologia Kristen I. Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
t.th.
Lukito, Daniel Lukas. “Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21 – Sebuah
Kajian Retrospektif dan Prospektif” dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan
VERITAS, I No 1, April 2000, halaman 3-6.
Lumintang, Stevri Indra. Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum
Mas, 2009.
Mulyanto, Kukuh. 2012 – Akankah Kiamat Benar Benar Terjadi? Yogyakarta: Pustaka
Timur, 2009.
Schaeffer, Francis A. How Should We Then Live? Illionis: Crossway Books, 2005.
Smith, David L. A Handbook of Contempporary Theology. Grand Rapids: Bakes Books,
1992.
Sudarmanto, Teologi Kontemporer, diktat kuliah di STT Tanjung Enim, t.th.
Tucker, Ruth A. Another Gospel – Berbagai Kepercayaan. Malang: Gandum Mas, 1989.
Tomatala, Y. Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar. Malang: Gandum Mas, 1993.
Wright, N.T. Who Was Jesus? Grand Rapids: William B. Eerdmans P.C., 1994.
Zaluchu, Sonny Eli. “Sumbangan Pemikiran John Dewey Dalam Pendidikan.” Jurnal
Pasca Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia VI, no. 4 (2009): 34-43.
Zaluchu, Sonny Eli. “Mengkritisi Teologi Sekularisasi.” Kurios 4, no. 1 (2018): 26–
38. https://doi.org/https://doi.org/10.30995/kur.v4i1.31.

21

Anda mungkin juga menyukai