1
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta-BPK, 2001) Hlm.3
2
E. sumaryono.Metode Filsafat Hermeneutik (Jakarta BPK-GM) Hlm. 13-14
1
Namun, definisi-definisi mengenai Allah ini merupakan definisi Filosofis. Allah yang
dibuktikan oleh para filsuf dan teolog Kristen adalah membuktikan eksistensi Allah Kristen,
karena mereka percaya bahwa Allah Kristen adalah satu-satunya Allah yang benar. 3
Ada banyak pendangan para Filsuf tentang Allah, dan ada juga pertentangan pendapat para
Filsuf mengenai “siapa Allah”. Perbedaan pendapat itu sangat tampak dalam pendapat
Kierkegaard, salah seorang filsuf Eksistensialisme, dia mengatakan bahwa Allah tidak dapat
ditangkap dalam pikiran manusia ; Allah tidak pernah masuk akal manusia yang terbatas (kalau
Karl Barth menekankan : “jangan lupa, engkau di bumi dan Allah di dalam surga”). Menurut
Kierkegaard, Allah tidak dapat dibuktikan, usaha membuktikan keberadaan Allah adalah hal
yang patut ditertawakan. Dia mengatakan : “Kalau Allah tidak ada, tidak mungkin membuktikan
hal itu, dan kalau Allah ada, usaha mencoba membuktikan Allah adalah usaha yang gila”.
Kepercayaan tidak perlu pembuktian eksistensi Allah, jadi Allah tidak dapat dikenal.4
Untuk lebih memberi pemahaman akan siapakah Allah menurut Filsafat. Maka, penulis
membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Pendapat para Filsuf tentang Allah
III. Pandangan Allah secara umum
IV. Filsafat KeTuhanan
V. Kesimpulan
2
Hanya bersifat jasmanialah yang dianggap nyata. Oleh karena di antara kaum Stoa ada juga
yang percaya adanya Allah, maka bagi mereka Allah juga bersifat jasmaniah, bendani,
dengan demikian Allah dipandang sebagai identik dengan alam.
b. Filsafat Yahudi
Setelah zaman pembuangan di Babel banyak dari antara bangsa Yahudi yang hidup
tersebar di luar Palestina, di Asia Kecil, Yunani dan Mesir.
Philo
Philo (30-50 SM) menyesuaikan agama Yahudi dengan filsafat Helenisme.
Menurut Philo, Allah adalah seorang tokoh yang adikodrati, yang secara mutlak
berbeda dengan kosmos dan harus dibedakan dengan kosmos. Hal ini sangat
bertentangan dengan pandangan filsafat Helenisme yang mengidentikkan Allah
dengan alam. Sebab Allah adalah roh yang transenden, yang tidak di dalam dunia ini,
melainkan di seberang sana. Secara negatif tentang Allah dapat dikatakan, bahwa Ia
tidak dijadikan, tidak memiliki sifat-sifat manusiawi, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, tidak berwujud. HakekatNya tidak dapat dikatakan bagaimana, sebab Ia tidak
bernama. Manusia hanya tahu, bahwa Allah ada, akan tetapi manusia tidak dapat tahu
apakah Dia, sebab Allah tidak dapat diuraikan bagaimana. Ia adalah Sang Ada (Ho
On). Namun demikian, menurut Philo secara positif, Allah itu adalah Esa, ia tidak
tersusun dari bagian-bagian. Ia memiliki kesempurnaan yang tinggi, keindahan yang
asali, kebaikan yang mutlak dan kemahakuasaan.
Jadi Philo menggambarkan Allah sebagai yang tidak dikenal secara mutlak,
sehingga Ia sama sekali tidak dapat dikatakan bagaimana. Allah juga dipandang
sebagai transenden dalam arti “yang bersemayam jauh di atas segala sesuatu”. Allah
yang demikian dipandang tidak layak untuk secara langsung menciptakan dunia. Oleh
karena itulah Ia memakai perantara-perantara, yang dapat disebut Idea-idea.
Plotinos (284-269 SM)
Plotinos lahir di Lykopolis (Mesir). Pada waktu berumur 28 tahun ia tertarik
dengan Filsafat. Menurut Platinos, Allah tidak termasuk dunia ini, tetapi termasuk
dunia yang tidak diamati, yang mengatasi dunia ini. Ia adalah Esa, tanpa
pembandingan, dalam arti bahwa Ia tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga,
3
karena tiada sesuatu di sampingnya. Akal manusia tidak dapat menembus sampai
kepadanya, sebab di dalam pikiran manusia senantiasa ada subyek dan obyek, masih
senantiasa ada perbuatan memikir dan pikiran. Oleh karena itu keadaan Allah tidak
dapat diuraikan bagaimana. padanya tiada predikat, tiada sifat.
c. Filsafat Patristik
Zaman ini adalah zaman bapa-bapa gereja, dimana para pemikir Kristen menentukan
sikap mereka terhadap Filsafat Yunani. Zaman ini meliputi zaman di antara para rasul
hingga kira-kira awal abad ke 8. Para pemikir Kristen pada zaman Patristik mengambil
sikap bermacam-macam, ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang
sebagai hasil pemikiran manusia semata-mata. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat
Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan Injil.
Ada dua bagian Zaman Patristik ini, diantaranya adalah Patristik Timur dan Patristik Barat.
Patristik Timur
Irenaeus (202 M)
Menurutnya Allah adalah Esa, oleh karena itu tidak mungkin, bahwa sejak semula ada
sesuatu yang di atas Allah atau di bawahNya. Sang pencipta segala mahkluk adalah Allah
sendiri, bukan “Ilah” yang lebih rendah.
Klemens (150-215 M)
Menurut Klemens, filsafat pada dirinya memang dapat memimpin orang kepada
pengetahuan tentang Allah, sebab Filsafat dapat memimpin kepada pengetahuan, bahwa
Allah adalah sebab segala sesuatu.
Origenes (185-254 M)
Menurutnya Allah adalah transenden, yang tidak dapat dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa
serta tidak berubah. Allahlah pencipta segala sesuatu, baik yang bersifat rohani maupun
yang bersifat bendawi. Origenes mengajarkan penciptaan yang kekal abadi. Sebelum dunia
diciptakan, Allah bekerja menciptakan dunia yang lain, yang mendahului dunia tempat kita
berdiam.
4
Hanya Allahlah yang tanpa awal, sedang dunia berawal. Awal dunia adalah juga awal
waktu. Dunia dan waktu berhubungan secara timbal-balik. Ketika Allah menciptakan,
dimulailah juga waktu.
Patristik Barat
Aurelius Augustinus (354-430)
Menurutnya hakekat Allah adalah Allah begitu mengatasi segala gagasan dan pengertian,
sehingga segala pengetahuan kita tentang Dia lebih menampakkan hal ketidaktahuan,
artinya kita lebih dapat mengatakan “Allah itu bukan apa” daripada “Allah itu apa”. Akan
tetapi bukanlah Agnotisme6. Sebab maksud Augustinus hanya mengatakan, bahwa Allah
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori yang dimiliki manusia. Allah adalah
roh yang esa, yang tidak bertubuh, tidak berubah, akan tetapi berada di mana-mana serta
meliputi segala sesuatu, sehingga tiada sesuatupun yang di atasnya. Manusia tidak dapat
mengenal Allah secara sempurna. Augustinus mengajarkan bahwa Allah yang Esa dalam
zatNya itu, tiga dalam pribadiNya atau Allah yang Esa itu berada dengan tiga cara, yaitu
sebagai Bapa, sebagai Anak dan sebagai Roh Kudus.
Dionisius
Menurutnya Allah adalah asal segala yang ada, yang keadaanNya transenden secara
mutlak, sehingga tidak mungkin memikirkan tentang Dia dengan cara yang benar, dan
memberikan kepadaNya nama yang tepat. hal ini disebabkan karena Ia mengatasi segala
yang ada, segala yang dapat dipikir manusia. Allah adalah terang, terang yang begitu
gemilang, sehingga mata manusia terlalu lemah untuk mengamatiNya. akibat terang itu
bagi manusia menjadi kegelapan. Sekalipun demikian manusia harus dapat menjadikan
matanya biasa menerima terang itu, sehingga manusia dapat mengenal Allahnya.
6
Agnotisme merupakan ajaran yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dikenal, bahkan belum tentu ada.
5
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Thomas mengakui kemampuan rasio insani untuk mengenal adanya Allah. Namun adanya
Allah tidak dapat dikenal secara langsung, tetapi melalui ciptaan-ciptaan. Aquinas percaya
bahwa eksistensi Allah harus ditetapkan dengan sarana berbeda dan setelah itu, mempelajari
siapa Allah akan membawa ke pengetahuan akan kodrat Allah. `
Anselmus (1033-1109 M)`
Menurutnya Iman mengandalkan, bahwa Allah pasti ada, ada dua cara untuk membuktikan
bahwa Allah ada. Anselmus mengupayakan untuk memberikan suatu “bukti” akan Allah yang
akan dapat berjalan berdasar budi, tetapi yang akan sesuai dengan iman Kristennya : “Budi
rasional saja dari semua ciptaan mampu untuk menjalankan penyelidikan mengenai pengada
tertinggi”. Anselmus mendefenisikan Allah sebagai : “yang-lebih-besar-daripadanya-tidak-dapat-
dipikirkan.” Anselmus mengklaim bahwa :7
Allah adalah pengada terbesar yang dapat dipahami.
Lebih besar untuk berada dalam kenyataanlah daripada hanya di dalam pikiran.
Maka Allah ada.
6
Konsep-Konsep Mengenai Allah
Unsur-unsur dasar dari pandangan teistik. Ada tiga unsur dasar dari pandangan teistik
tentang Allah, yang membicarakan sifat Allah sendiri, sifat penciptaan dan sifat aktivitas Allah,
antara lain:
1. Allah ada diluar maupun didalam dunia ini. Menurut teisme, Allah bukanlah dunia
(alam semesta )ini, melainkan diluarnya atau melampauinya. Artinya ialah, Allah
adalah transenden. Alam semesta bersifat tertentu atau terbatas dan Allah bersifat
tidak terbatas. Allah ada didalam semesta ini. Maksudnya ialah Allah secara imanen
hadir sebagai kuasa yang menopang alam semesta.
2. Penciptaan adalah dari yang tidak ada. Menurut teisme bahwa eksistensi dunia
bergantung pada Allah. Tanpa pemeliharaan kreatif oleh Allah, maka dunia tiadk
akan ada.Yang dimaksud dengan kaum teis sebagai ‘dari yang tidak ada’ ialah
dulunya pasti tidak ada apa-apa sebelum dia menjadikan sesuatu. Oleh karena itu,
menurut pendapat kaum teis, Allah tidak menciptakan dunia ini dari sesuatu
apapun.
3. Allah dapat bertindak secara adikodrati dalam dunia. paham teisme percaya
bahwa dunia sangat bergantung pada satu Allah yang maha kuasa, yang
menciptakan dan yang terus menerus menopang dunia. Oleh karena itu, jika ini
benar maka konsekuensi logisnya adalah bahwa Allah dapat juga campur tangan
dalam dunia ini. Penganut teisme tidak percaya bahwa hukum alam bersifat pasti
dan tidak dapat di ubah, karenanya tidak dapat di ganggu gugat. Mereka
menganggap hkum alam adalah gambaran dari cara Allah biasa bekerja dalam
ciptaannya.
7
Dua unsur pokok deisme ialah perspektifnya mengenai sifat Allah dan sifat dunia, antara
lain:
1. Allah berada diluar dunia. Penganut deisme percaya kepada Allah yang transenden.
Allah adalah melampaui alam semesta; Dia adalah sang pencipta dunia. Dalam hal
ini deisme menentang dualisme yang menganggap dunia dan Allah sebagai dua
realitas yang sama-sama kekal. Bagi penganut deisme keberadaan dunia bergantung
kepada Allah dan tidak lepas dari Dia.
2. Dunia ini berjalan secara alamiah. semua penganut deisme percaya dunia berjalan
sesuai dengan hukum alam, namun mereka tidak sependapat mengenai alasan
naturalisme mereka. Sebagai penganut deisme menganggap Allah tidak dapat
secara kodrati campur tangan di dunia, sementara sebagian yang lain mengatakan
bahwa Dia tidak mau melakukan itu.
Ada beberapa unsur khusus yang menyangkut panteisme. masing-masing mungkin terlihat
berlawanan dengan teisme, antara lain:
2. Sifat penciptaan. Penciptaan bukan dari yang tidak ada, seperti dalam teisme.
penciptaan adalah ex deo (dari Allah). hanya ada satu substansi dalam alam semesta
ini dan segala sesuatu merupakan emanasi darinya.
3. Hubungan Allah dengan dunia. Penganut pentaisme menganggap Allah dan alam
semesta adalah satu. Oleh karena itu, realitas apapun yang ada dalam alam semesta
ini adalah realitas dari Allah.
8
Konsep Panenteistik mengenai Allah
1. Hubungan Allah dengan dunia. Teisme mengklaim bahwa dunia bergantung pada
Allah, tetapi Allah tidak bergantung pada dunia. Namun pandangan panenteisme
menandaskan bahwa Allah bergantung pada dunia sama seperti dunia bergantung
kepada Allah.
2. Nilai dan kejahatan. Semua kejadian di dunia ini, termasuk perbuatan yang baik
dan indah, dipelihara atau disimpan dalam sifat kosekuen Allah. Sifat konsekuen ini
karena diperkaya oleh nilai yang dicapai didalam dunia kadang kadang oleh
penganut panenteismedisebut sifat ‘superject’ Allah. Kejadian yang pada saat
tertentu yang tidak cocok dengan kesatuan dari keseluruhan yang positif disebut
‘jahat’. Tetapi, jenis kejadian yang sama pada suatu saat lain dikemudian hari di
proses dunia yang terus berlangsung bisa cocok dengan keseluruhan itu dan
karenanya disebut dengan ‘baik’.
Finete godism adalah kategori yang luas yang mempunyai dua sub-kategori yaitu
pandangan bahwa ada ilah terbatas dengan satu kutub dan pandangan terdapat ilah terbatas
dengan dua kutub panenteisme. Oleh karena itu, ada banyak tumpang tindih. dengan demikian
untuk memahami finete godism ialah dengan membandingkan teisme.
1. Sifat terbatas. terisme mengatakan bahwa kekuasaan dan kebaikan Allah tidak
terbatas. paham keterbatasan (finitism) menganggap ini luar biasa mengingat
kejahatan di dunia terus ada dan merajalela. Jika Allah maha kuasa, Dia pasti dapat
9
membinasakan kejahatan, dan jika dia maha baik, Dia tentu akan
membinasakannya. Allah pasti terbatas kuasa dan atau kebaikannya. Kepercayaan
pada Allah yang mutlak berkuasa dan sempurna tidak menjelaskan mengenai
kejahatan-kejahatan yang tanpa alasan (masuk akal)-pembunuhan, kekejaman dan
ketidak adilan didalam dunia ini, belun lagi menyebut kurangnya campur tangan
Allah terhadap ketidakmanusiawian manusia terhadap manusia.
4. Allah yang terbatas tidak dapat menyelesaikan kejahatan. Ilah yang terbatas tidak
dapat menjamin kemenangan atas kejahatan. Hanya Allah yang maha baik dan
maha kuasa dapat menyakinkan kita bahwa perjuangan kita untuk kebaikan tidak
sia-sia. Dan tanpa jaminan ini maka motifasi yang tepat untuk kebaikan akan
kurang.
5. Kejahatan bukan bukti bahwa Allah terbatas. kejahatan dan ketidak sempurnaan
dalam dunia ini tidak membuktikan bahwa Allah bersifat terbatas. Allah
mempunyai maksud baik tertentu dengan maksud kejahatan itu, apakah itu kita
ketahui maupun tidak kita ketahui, tetapi hanya Dia ketahui. satu satunya cara orang
untuk dapat membantah kemungkinan ini adalah dengan mengetahui pikiran Allah
atau dengan membuktikan bahwa Allah tidak ada. oleh karena penganut anti-teisme
10
tidak mempunyai akses untuk mengetahui pikiran Allah dan tidak berhasil
membuktikan bahwa Allah tidak ada, maka orang tidak perlu membuang keyakinan
kepada satu Allah yang tidak terbatas. Penganut teisme mungkin sependapat bahwa
ini bukan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin ada, tetapi dia mendasarkan
bahwa itulah cara yang tepat untuk mendapatkan dunia yang paling tepat. Artinya,
mungkin mengijinkan kejahatan merupakan prakondisi untuk mencapai kebajikan
yang paling besar (sebagaimana rasa sakit yang semtara sering merupakan jalan
paling baik untuk menuju kesenangan yang kekal) 8.
8
Norman L. Geisher dkk, Filsafat dari Perspektif Kristiani, (Malang: Gandum Mas, 2002 ), hlm. 295-313
11
dibuktikan secara teoritis, tetapi Kant ingin memperlihatkan bahwa percaya kepada Allah dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Filsafat Ketuhanan yang mau menelusuri jejak-jejak Tuhan sampai pada pengakuan bahwa
nalar manusia menemukan batasnya. Akan tetapi, manusia tidak dapat bertanya terus. juga
tentang Allah. Filsafat bertujuan untuk meringankan beban masalah nalar, bahkan bagi hati
manusia, kiranya tidak akan meyakinkan orang yang tidak dapat atau mau percaya. Agama
ternyata tidak perlu memusuhi nalar. Dengan perantaraan nalar agama sendiri dapat mencapai
dimensinya yang lebih mendalam. Hanya kalau Allah menjadi pertanyaan, Allah juga dapat
menjadi jawabannya. 9
V. Kesimpulan
Ahli Filsafat yang berpikir tentang Allah sudah mesti beriman atau tidak beriman, atau
acuh tak acuh : bagaimanapun juga, ia harus mengambil sikap. Yang dituntut dari padanya ialah
agar jangan menggantikan argumen-argumen akal dengan kepercayaannya pro atau kontra
Allah ; agar jangan membebani akal itu dengan kepercayaannya dan jangan berlaku curang
dalam permainan. Ahli filsafat bukanlah orang yang melayang-layang. Kejujuran menuntut agar
ia hanya dinilai berdasarkan kebenaran tinjauannya serta kecermatan jalan pikirannya.10
Demikianlah para Filsuf itu memberikan pemahaman tentang Allah. ada banyak
pertentangan diantara mereka. Ada yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Esa dan tiga dalam
pribadiNya dan yang lain mengatakan bahwa Allah itu adalah transenden dan Allah adalah sebab
segala sesuatu. Namun, satu hal yang perlu kita pegang bahwa walaupun banyak pendapat para
teolog mengenai Allah, kita harus mengetahui bahwa Allah adalah Esa dan sumber dari segala
sesuatu dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan untuk mengenal Allah tidak cukup hanya
mengandalkan akal saja seperti kebanyakan para Filsuf, seharusnya juga diikuti dengan iman.
Orang yang beriman kepada Allah memberikan “real assent” kepada proposisi : “Ada
satu Allah”. Maksud itu dapat dijelaskan dengan menyebutkan beberapa sifat Allah antara lain :
11
9
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta –Bpk Gm), Hlm 19, 21-22
10
Louis Leahy, Masalah KeTuhanan Dewasa ini, (BPK-GM, Kanisius, 1982), Hlm 15
11
Nico Syukur Dister OFM.Filsafat Agama Kristiani, (BPK-GM dan Kanisius, 1985), Hlm.67
12
Tunggal, Maha Esa dan Berpribadi, Dialah yang memulai, mempertahankan dan
menyelesaikan segala sesuatu, Ia menjiwai Hukum dan tata tertib, Dialah
penyelenggara moral.
Ia maha Agung dan Unik ; sama dengan diriNya sendiri, Ia tidak sama dengan
segala sesuatu yang bukan Dia dan hanya merupakan makhluk ciptaanNya saja,
Berbeda dengan, tak tergantung pada semuanya itu.
Ia ada dengan sendirinya, tidak terbatas secara mutlak, Ia ada sejak kekal dan
selalu ada, bagi Dia tiada yang sudah lalu akan datang ;
Dialah segala kesempurnaan, dan kepenuhan serta teladan setiap keunggulan yang
dapat dipikirkan, kebenaran itu sendiri, kebijaksanaan, Cinta kasih, Keadilan,
Kesucian.
Ia Maha Kuasa, Maha Tahu, Hadir di mana-mana, Tak terpahami.
Demikianlah sifat-sifat Allah yang diartikan oleh Kristiani secara umum, dengan kata lain
ada banyak cara untuk memandang Allah, karena setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-
beda tentang konsep Allah.
13