Anda di halaman 1dari 28

Materi kuliah Dogma semester V, VII dan M.

Div Sem V

1.. Apa syarat atau aksiom bertheologi?


Dari aksiom tersebutlah theologi dimulai. Berdasarkan alkitab, yang adalah Firman Allah,
Karl Barth mengambil posisi bahwa Keluaran 20: 2 (atau Firman 1) sebagai aksiom dalam
berteologi. Apakah itu sesuai?

2. Apa objek bertheologi?


Karena theologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang Allah, maka kita harus
menentukan objek bertheologi. Artinya apa bahan yang dapat dipertanggungjawabkan
sehingga kita bisa mempelajari tentang Allah? Firman Allah adalah satu-satunya bahan untuk
itu.

3. Pada masa awal reformasi, para reformator seperti Luther dan Kalvin bertahan dan
memposisisikan diri pada Alkitab. Mereka melihat bahwa hanya dalam Firman Tuhan
manusia akan menemukan tempat berpijak dalam seluruh kegiatan hidupya yang berpusat
dalam theologi.

4. Bertheologi adalah tindakan dasar dari orang percaya dan menjadi kegiatan yang
menggairahkan, karena bertheologi adalah suatu kegiatan yang menyangkut kehidupan:
panggilan mengenal sang pemberi kehidupan, memahami arti dan tujuan kehidupan serta
mendasari seluruh kehidupan orang percaya, pribadi dan komunitas.

5. Apa kata Firman Allah tentang Allah?


Itu sebabnya pertanyaan mendasar bagi kita dalam Dogma 1 ini adalah apa kata Alkitab
tentang Allah. Apakah mungkin kita menelusuri seluruh alkitab dalam satu semester ini?

6. Buku-buku dogmatik akan meneolong kita memahami Allah dalam Alkitab. Tetapi itu
bukan segala-galanya, karena pada saat tertentu kita akan melihatnya langsung dari alkitab
sehingga pemahaman kita akan lebih bertanggungjawab.

7. Tujuan:
Tujuan akhir tatap muka kita satu semester ini adalah agar kita memiliki pemahaman
tentang Allah sebagaimana yang dikatakan di dalam Alkitab. Pemahaman ini akan mendasari
kita memahami kristologi, pneumatologi da ekklesiologi serta berbagai theologi yang lain.

Dari aktualitas Perjanjian Lama

dalam artian metafisik atau keagamaan secara umum? Atau beralih kepada fakta, bahwa
Allah yang disaksikan dalam Perjanjian Baru tidak lain adalah Allah Israel? (Luk. 1:68;
Kis. 13:17; Mrk. 12:26f; Kis 3:13; Mrk. 10:18; Mat 4:7; Luk. 4:12)

1.1.1.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: Apakah dogmatika mengikuti
kebiasaan berbicara tentang Allah secara tradisional

1.1.
Berbeda dengan ajaran tentang Allah dalam theologia tradisional, pembicaraan tentang
Allah haruslah diarahkan secara khusus kepada Allah Israel yang disaksikan dalam
Perjanjian Lama.

1.1.2.
Yang dimaksud berbicara tentang Allah secara tradisional adalah berbicara tentang Allah
secara Alamiah. Di sini menyangkut pembuktian (Dieter Becker, hal. 58-59 dan Harun
Hadiwijono hal. 74-77):
1) kosmologis seperti tiga jalur pembuktian Thomas Aquinas:
kinetis (penggerak pertama), kausal (penyebab pertama) dan kontingen (hakekat
diri).
2) henologis (peningkatan kepadatan keberadaan).
3) teleologis (tujuan).
4) moralis (kebaikan).
5) etnologis
(pengakuan bangsa-bangsa).
6) eudemologis
(kerinduan akan kebahagiaan).
7) ontologis
(dari istilah "Allah“ itu sendiri).

1.1.3. Pada dasarnya pembuktian-pembuktian tersebut mengakar pada sifat-sifat Allah yang
supranaturalismus.

Terminologi supranaturalismu diperhadapkan dengan naturalismus atau yang supra


alamiah diperhadapkan dengan yang alamiah berkembang dari konsep dualismus filsafat
Yunani. Dari dualisme inilah theologia kristen mengembangkan ajarannya tentang Allah
dan kristologi yang berpuncak dalam ajaran dua dunia „Zwei-Naturen-Lehre“. Dengan
ajaran ini Perjanjian Lama dilihat sebagai buku filsafat, yang di dalamnya ditemukan ajaran
tentang Allah dalam tingkatan persiapan.Kristen menyadari terpisah dari Yahudidan dengan
demikian
kehilangan dasar sejarahnya.
Padahal:
1) Allah yang disaksikan dalam
Alkitab tidak bisa didefinisikan
dengan syarat apapun, dengan
perantaraan apapun dan dengan
kemungkinan atau sistem apapun.

2) Allah Abraham, Ishak dan Yakub


tidak termasuk ke dalam
kategori Allah Filsafat
dan Agama.

1.1.4. Theologia kristen tidak mendasarkan ajarannya tentang Allah dari Perjanjian Lama.

1.1.5. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau kita memahami Allah secara
tradisional metafisis, memasukkan pemahaman tentang Allah Israelke dalam kategori filsafat
keagamaan, maka dalam artian ini kita bisa melihat kenyataan dalam theologia yang
tradisionaltersebut bahwa „allah telah mati“.

1.1.6. Sebaliknya, kalau Alkitab dilihat sebagai buku kesaksian pertama tentang kedatangan
kerajaan Allah, maka perhatian akan tertuju pada penyataan diri Allah dan kedatangannya.
Kedatangan dapat dijelaskan demikian: Allah datang dalam Israel ke dunia (Jes. 40,3ff).
Kedatangannya mempunyai kekuatan yang membawa kepada perjumpaan (Jes. 62:11). Oleh
karena itu apa yan disasikan dalam perjanjian sangat semuanya sangat aktual.

1.1.7. Kedatangan Allah di Israel haruslah dipahami sebagai suatu bentuk kedatangan di
dalam suatu situasi tertentu.
Jadi dalam artian biblis, berbicara tentang Allah hanya dapat dilakukan dalam
hubungannya dengan sejarah, situasi, karya, kedatangan dan masa depan. Segala sesuatu
yang dibicarakan tentang atribut maupun keberadaan, itu harus dipahami dalam konteks di
atas. Jadi bukan metafisis. Jadi dalam dogmatika yang demikian, kita beralih dari yang
ontologis ke sejarah, yaitu sejarah penyataan diri Allah. Pertanyaan transendensi Allah
terjawab dalam imanensi pernyataan kedatanganNya, bukan dari atas, tetapi ke Israel untuk
dunia, untuk seluruh manusia.

1.1.8. Dengan demikian, kalau kita beralih ke penganalan akan Allah alkitab atau Allah
Israel, atau Allah Abraham, Ishak dan Yakub, maka kita tidak mengenal pengenalan alamiah
Allah Israel. Pengenalan akan Allah terjadi melalui pemilihan dan sejarah
kedatanganNya.Di mana Allah Israel memperkenalkan diriNya, disitu Dia dikenal. Kalau
Israel menerima atau menemukan pengetahuan akan Allah pada bangsa-bangsa lain, dan
kalau pengetahuan itu diterima sebagai unsur-unsur dari luar, maka itu haruslah dipahami
demikian, bahwa Allah Israel adalah pencipta seluruh dunia dan Tuhan atas seluruh bangsa
dan Allah.NamaNya akan dipermuliakan di seluruh dunia (Mz. 8:2; Jes. 6:3; Mz 36:6;
57:11; 108:5), dan oleh karena itu dapat dikenal dalam reflex keuniversalannya kekuasaan
dan anuerahNya yang tidak terbatas.

1.2. Konsep dan gambaran kedatangan Allah Israel harus dirumuskan kembali dalam artian
yang dasariah dan harus dipahami dalam aktualitas implisitnya.

1.2.1.
Ketika Allah memperkenalkan diriNya, Dia memperkenalkan diriNya dalam pemilihan
umatNya. Jadi Pemilihan berarti Allah datang ke Israel.

Itu berarti dalam perkenalan diriNya Allah menjalani jalan yang konkrit dalam sejarah dunia
kita dan itu terjadi sedemikian rupa ke dalam sejarah umatNya Israel. Jalan yang demikian
mengesampingkan segala kemungkinan bentuk pengenalan akan Allah yang lain. „...
Kegelapan menutupi bumi dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa. Tetapi terang TUHAN
terbit atasmu dan … dan bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu.“ (Jes
60:2-3)

1.2.2. Kedatangan Allah terjadi dalam kebebasan pilihanNya.


Kegagalan mendasar theologia kristen adalah penyangkalan dan penyingkiran pemilihan
Allah atas umatNya Israel, karena dengan demikian theologia kristen menolak pernyataan
diri Allah Israel sebagai aksiom bertheologia, dan dengan demikian theologia kristen tidak
memenuhi aksiom atau syarat.

1.2.3. Allah berjalan bersama Israel ke dalam suatu perjumpaan yang selalu baru.
Bagi umat Israel, Allah merupakan „Dia yang selalu datang secara baru“: dalam anugerah
dan hukum (Hab. 3:3; Jes. 56:1;59:19;60:1;a 2:14). Kedatangan Allah dalam perkataanNya
dan Dia tidak diam (Mz. 50:2)

1.2.4. Allah datang di dalam dan bersama Israel kepada bangsa-bangsa.


Dia datang seperti arus dari tempat yang sempit (partikulaitas) (Jes. 59:19) untuk
memperlihatkan karyaNya di Israel bagi seluruh bangsa-bangsa secara universal (Jes.
40:3). Dia datang memperkenalkan diriNya kepada seluruh bangsa-bangsa dalam kuasa
namaNya (Mal. 1:11,14).

1.2.5. Perjanjian Lama sebagai sejarah kedatanganNya tetap aktual bahkan sampai ke
dalam Perjanjian Baru. Aktualitas ini menjadi prasyarat iman dan pengenalan akan Allah (I
Kor 10:11; 2 Ptr 1:19). Bukan hanya Wahyu 1:8 (Akulah alpha dan omega), tetapi
keseluruhan Perjanjian Baru mengakui akan Allah yang telah datang.
Dengan demikian Perjanjian Baru ada memenuhi aksiom atau syarat Firman 1 atau Allah
Israel yang telah datang dan memperkenalkan diriNya ketika dia memilih umatNya. Ini tidak
menyalahi bahwa Allah di datang ke seluruh bangsa-bangsa di dalam Kristus untuk
mengaktualkan universalitas pemilihan Allah atas umatNya Israel.

1.2.6. Perkenalan diri Allah kepada Israel bukan berarti bahwa kedatangan Allah tidak lagi
dapat dikomunikasikan dengan perkataan tentang Allah secara metafisik keagamaan.
Sebagaimana Israel juga dicetak melalui bahasa dan kebudayaan dan keagamaan
sekitarnya, maka itu berarti tidak menutup kemungkinan untuk diskusi dengan perkataan
tentang Alah dalamfilsafat.

1.3. Jahudi dan Kristen hidup diatas dasar Perjanjian Lama.


Dengan demikian melalui kedatangan Allah mereka sama-sama mengetahui dan bersama-
sama menyongsong masa depannya.

1.3.1. Martin Buber mengatakan terhadap orang kristen: "Bagi kalian Perjanjian Lama
merupakan sebuah serambi, tetapi bagi kami merupakan tempat suci. Tetapi dalam ruangan
ini kita boleh bersama-sama tinggal, bersama-sama memperdengarkan suara. Itu berarti,
bahwa kita bisa bekerja bersama-sama menarik makna dari firman yang hidup". Dari
perkataan Buber ini kita bisa menangkap bahwa orang kristen memahami dan menerima
Perjanjian Lama sebagai sebuah pengantar. Sejarah Israel paling-paling hanya dilihat
sebagai sejarah pendahuluan dan Firman Allah dalam Perjanjian Lama hanya sebagai kata
pengantar.

1.3.2. Namun demikian beberapa Theolog mulai melihat aktualitas Perjanjian Lama,
aktualitas pemilihan Allah atas umat Israel, seperti Dietrich Bonhoeffer (dalam bukunya
Wederstand und Ergäbung halaman 176) mengatakan: „Siapa yang ingin cepat-cepat
menemukan diri dan beriman Perjanjian Baru, menurut pendapat saya bukanlah orang
kristen“. Apa yang dikatakan oleh Bonhoeffer ini bisa dilihat dalam penerapannya seperti
Za 2:11 yang mengatakan bahwa „Aku datang dan diam di tengah-tengahmu“. Bagi orang
kristen perkataan ini menjadi kenyataan di dalam Yesus Kristus. Namun pengakuan ini
merampok dari dasarnya, yaitu Israel, kalau gereja menyatakan dirinya sebagai pengganti
Israel dalam rencana keselamatan Allah dan seolah olah gereja mengambil alih posisi umat
pilihan Allah atas Israel.

1.3.3. Untuk itu Judentum harus membantu kristentum keluar dari pemahaman yang keliru.
Keduanya harus merupakan nasehat dan peringatan satu bagi yang lain (Leo Baeck).Di sisi
lain, siapa yang tidak lagi menyadari akan kedatangan Allah, tetapi hanya memestakan
ketelahdatanganNya, maka dia memisahkan diri dari dari tuntutan Allah dan dari
messianismus.
1.3.4. Apakah jemaat kristen masih mendengarkan suara synagoge?
Pertanyaan ini membawa pada keharusan bahwa gereja dan synagoge harus saling
mendengar, dilaksanakan di atas fundament Perjanjian Lama.
Dalam dialog ini keduanya menyongsong masa depan Allah: awal kedatangan kerajaanNya,
puncak penampakanNya bagi seluruh ciptaan.
Dalam perspektiv kedatangannya yang terakhir inilah tempat iman kristen akan Messias-
Christus. Kristen mengakui, bahwa Allah Israel melawat dan melepaskan umatnya(lk. 1:68).
Dia menggenapi janjiNya dan meneguhkan, bahwa dia sendiri datang dan
merendahkan dengan sangat dalam(Za. 2:10).

2. Nama Allah.
Allah dari kerajaan yang mengubahkan dunia itu adalah Allah Israel, yang memperkenalkan
diri dengan namaNya dan menyatakan diriNya dengan tindakannya.
Dialah adalah Allah yang datang dalam sejarah dan mematahkan seluruh ketertutupan
sejarah.
2.2. Dalam namaNya Allah Israel berfirman dan bertindak di dalam umatNya Israel, dia
memberi dirinya untuk dikenal dan membuka dirinya kepada seruan orang-orang pilihanNya.
2.3. Penggambaran rahasia nama Allah dalam sejarah kedatanganNya merupakan permulaan
yang tidak bisa dihindarkan dan sangat penting bagi ajaran trinitas.
2.4. Kalau perkenalan nama Allah terjadi dalam tindakan anugerah yang memilih, maka
haruslah disadari: Tidak ada hubungan terhadap Allah tersebut yang dapat dicapai.
2.5. Dalam perspektif sejarah kedatangan kerajaan Allah, perjumpaan dengan Perjanjian
Lama mempunyai arti yang langsung dan aktual, karena ketika di dalamnya nama Allah
dinyatakan, maka janji kebebasan menjadi nyata: Nama Allah adalah janji kebebasan.

2.6. Allah datang kepada manusia, ketika dia mencari, menyapa dan memanggil, mengambil
dan membawa mereka dengan firmanNya yang mengubah hubungan-hubungan dengan
janjiNya ke masa depan yang dibukanya sendiri.
2.7. Allah Israel menyatakan diriNya sendiri dalam sejarah politis umatNya sebagai
kekuasaan pembebasan, sebagai Allah pembebasan dan Allah eksodus.
2.       Nama Allah.
Pada pendahuluan mata kuliah ini ditekankan bahwa Allah Israel adalah aksiom atau syarat
berteologi. Seluruh theologia dimulai dan dibangun di atas dasar aksiom tersebut.
Pembuktian dari alkitab sendiri memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama masih tetap aktual di
dalam Perjanjian Baru. Sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa Allah Israel dalam PL juga
Allah yang diakui dalam PB (pokok bahasan 1).
Pokok bahasan 2 ini akan menyoroti NAMA Allah Israel. Dengan kata lain: Nama Allah
sebagai titik berangkat ajaran tentang Allah, yang memuat antithese terhadap setiap bentuk
ontologi, yang mempersyaratkan keallahan yang abstrak dan keberadaan transendensinya.
2.1. Allah Israel adalah Allah dari kerajaan yang mengubahkan dunia, yang
memperkenalkan diri dengan namaNya dan menyatakan diriNya dengan tindakannya. Dialah
Allah yang datang dalam sejarah dan mematahkan seluruh ketertutupan sejarah.

2.1.1. Deus non est in genere: Allah Israel tidak bisa didefinisikan dalam konsep "Allah“
secara umum. Allah Israel adalah Allah di dalam kekonkritan (concretissimum) perkenalan
nama diriNya. Di sisi lain pemahaman umum bahwa Allah tidak punya nama. Allah yang
memperkenalkan dan menyatakan diriNya dengan namaNya sendiri bukanlah Allah untuk
diriNya sendiri, yang keberadaanNya atau ketidakberadaanNya bisa didiskusikan, seolah-olah
Dia merupakan objek untuk didiskusikan atau judul pelarian dari petualangan berpikir.

2.1.2. Allah Israel adalah Allah yang datang dalam sejarah umatNya, yang memulai
perjalanan kedatanganNya dengan pemilihan dan perjanjian dan yang tujuannya adalah
perubahan dan pembaharuan ciptaan. Nama Allah dan kedatanganNya merupakan
perlawanan terhadap monotheismus abstrak.Monotheismus abstrak seringpergunakansebagai
konsep umum.Nama Allah tidak bisa dipahami dari terminologi atau kategori teoritis
monotheismus, karena "Penyataan Allah, kalau itu benar-benar penyataan, membuktikan
dirinya sebagai satu-satunya kemungkinan, yang tidak bisa dipilih oleh manusia, kecuali
bahwa dia hanya dapat memahami dirinya sebagai yang terpilih (Barth KD II/1, hal. 155).
Karena Nama Allah sebagai titik berangkat dan kedatanganNya merupakan bentuk
pemilihan, maka itu berarti bahwa Nama Allah dan kedatanganNya merupakan suatu
anugerah yang memberi masa depan bagi dunia,
karena dalam Israel dia datang ke dunia bangsa-bangsa dan namaNya akan diagungkan
oleh bangsa-bangsa. Dengan ini segala bentuk ketertutupan dunia sudah dibuka oleh
kedatanganNya dalam sejarah yang dibuktikan oleh namaNya sendiri.

2.2. Dalam namaNya Allah Israel berfirman dan bertindak di dalam umatNya Israel, dia
memberi dirinya untuk dikenal dan membuka dirinya kepada seruan orang-orang pilihanNya.
2.2.1. Theologia hanya bisa mulai berpikir dan berbicara ketika Allah sendiri telah bicara,
dibicarakan dan akan berbicara. Ketika Allah memperkenalkan namaNya, maka pada saat itu
Allah telah mengucapkan kata yang menentukan, karena kata tersebut merupakan
keseluruhan diriNya. Kalau Allah bertindak di dalam firmanNya, dan firman yang paling
menentukan adalah namaNya sendiri, maka nama Allah dapat dilihat sebagai firman mula-
mula, dan dengan demikian perkenalan diri Allah dengan namaNya merupakan jaminan
bahwa Allah bertindak dan akan terus bertindak di dalam sejarah manusia dan dunia. Itu
sebabnya nama Allah "aku adalah aku“ sering diartikan dengan "aku hadir untukmu dan akan
selalu hadir bagimu“.

2.2.2. Konsekuensi dari pemahaman di atas adalah, bahwa setiap berbicara tentang hakekat
Allah maka pembicaran tersebut tidak ada artinya, jika tidak berbicara di dalam kekonkritan
pernyataan PL. Hanya dalam perspektif kekonkritan sejarah, Allah dipahami sebagai janji
dan kemerdekaan atau sebagai pembawa perubahan dan pembaharu dunia di dalam
kedatangan kerajaanNya.

2.2.3. Dapat dipahami kalau Judentum menguduskan nama Allah dan tidak berani menyebut
namaNya. Bagi orang Jahudi, Allah bukan tanpa nama. Pertanyaan yang perlu dijawab: Apa
arti nama Allah?

2.2.4. Dalam Kel. 3:14 disebutkan nama Allah yang tidak dalam artian pernyataan
keberadaan Allah secara filisofis, sebagaimana dalam terjemahan septuaginta. Nama JHWH
berasal dari akar kata hjh.
Pernyataan Nama tersebut mempunyai arti:
1) Keterbukaan akan masa depan,
2) Kuasa dan kemuliaan Allah, dan dengan demikian Dia memberi kesempatan untuk
mengalami kuasa dan kemuliaanNya,
3) keberadaan bersama dan kehadiran untuk umatnya Israel,
4) kesetiaan Allah sebagai konsekuensi keberadaanNya, dan
5) keterbukaan dan kesiapan mengikat diriNya kepada umatnya Israel, keterbukaan yang
mencakup kepenuhan keselamatan dan pertolongan bagi setiap orang yang memuliakan
namaNya. Kelima arti nama tersebut mencetak dan menentukan setiap pembicaraan tentang
Allah, yaitu Allah yang menyapa manusia dengan "Aku“ yang personal, bukan konsep.
Dengan nama tersebut, manusia dimampukan untuk mengenalNya.
2.3. Penggambaran rahasia nama Allah dalam sejarah kedatanganNya merupakan
permulaan yang tidak bisa dihindarkan dan sangat penting bagi ajaran trinitas. Di Israel nama
tersebut dipuja dan diagungkan (Mz. 9:3; 72:19: 99:3) tetapi juga dicemarkan (Jes. 52:5; Yeh.
43:7). Namun pada zaman akhir janji ganda akan digenapi: bahwa umat Allah akan
memuliakan namaNya (Jes. 52:6 dan juga bangsa-bangsa akan menghormati nama Allah
(Mz. 86:9; 102:16) akan dihormati.

2.3.2. Yesus juga memenuhi janji tersebut. Dia berdoa kepada BapaNya, bahwa dia telah
memberitakan nama Allah (Joh 17:6). Allah umat Israel akan dikenal (Kis. 13:16) di dalam
Yesus.
Di dalam Allah Israel tercakup keselamatan yang holistik.
Perbedaan antara “aku” Jesus Kristus dan “AKU” dalam Kel. 3:14 bisa dibaca kembali
tulisan Bertold Klappert.

2.3.3. Jika nama Allah dipahami sebagai aksiom berteologi, dan jika ajaran tentang trinitas
sebagai tradisi iman kristen harus dibaca kembali dalam aksiom tersebut, maka haruslah
mengikuti teladan yang diberikan Yesus dalam doa Bapa kami “dikuduskanlah namaMu”
maka kekudusan nama Allah haruslah menjadi kriteria tentang trinitas (Mz. 66). Kailua itu
betul ajaran tentang trinitas tentu berhubungan dengan formulasi berkat Harun (Bilangan
6:22-27) yang juga dirumuskan trinitatis, dimana yang memberkati adalah Nama Allah.
Ketika hari trinitas dalam tahun gereja, berkat Harun sering dikhotbahkan memperlihatkan
bahwa keduanya berhubungan.

2.3.4. Kalau atau karena ajaran trinitas harus dipertahankan, maka rumusan itu harus dilihat
secara baru dari Alkitab dengan mengingat kriteria akan kekudusan Nama Allah di atas. Hal
tersebut didorong oleh fakta bahwa ajaran trinitas gereja mula-mula merupakan suatu dialog
dengan tradisi filsafat metafisik. Fakta tersebut mengikuti tradisi kitab Ibrani dalam sikap
dialog yang positif terhadap elohim dari dunia sekitar Israel tetapi membatasi diri dari Baal,
sehingga elohim dipahami sebagai predikat untuk Adonai (Kej. 14:18-22).

2.3.5. Melihat kembali ajaran trinitas dalam terang Alkitab berarti sebuah sebuah pengakuan
bahwa ajaran tentang trinitas mempunyai akarnya dalam PL dan PB. Dalam pengertian ini
maka nama Jesus tidak menggantikan nama Allah dan Jesus tidak menggantikan Adonai,
tetapi Jesus menggantikan temple (Yoh.2:18-22), dan oleh karena itu dia adalah logos Allah,
yang didalamnya Allah mengambil tempat. Dalam pengertian ini, Allah datang secara terus
menerus secara baru, dalam Firman Allah yang adalah Yesus Kristus, Allah juga datang
menyapa manusia secara baru.

2.4. Kalau perkenalan nama Allah terjadi dalam tindakan anugerah yang memilih, maka
haruslah disadari: Tidak ada hubungan terhadap Allah tersebut yang dapat dicapai. Bahwa
Allah yang memilih bukan manusia memilih Allah dan menentukan dirinya sendiri menjadi
orang yang terpilih, pola dasarnya sudah diperlihatkan terlebih dahulu dalam PL.
2.4.1 Karena pemilihan tidak bisa dilepaskan dari artian dasar nama Allah, dan karena
kristologis haruslah theologis, maka Jesus Kristus juga mengaktualkan pola dasar pemilihan
tersebut, dimana bukan manusia yang memilih Dia, tetapi Dia yang memilih manusia (Joh.
15:16).

2.4.2. Dengan pola dasar penerimaan umat Allah atas pilihanNya (Ul. 7:6ff) ini pulalah
penerimaan bangsa-bangsa atas pilihan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dimengerti
kalau Karl Barth mengatakan intisari Alkitab adalah pemilihan Allah. Itu sebabnya kita dapat
memahami Karl Barth sebagai teolog yang membagun theologianya diatas pemilihan
umatNya yang tidak bisa dilepaskan dari perkenalan diriNya di dalam namaNya (KD II/2 hal
215ff).

2.4.3. Orang yang dipilih dan disapa oleh Allah dalam perkenalannNya dengan namaNya,
mereka sendiri juga akan dipanggil dengan namanya (Jes. 43:1) dan dalam nama Allah (Jes.
63:19). Jadi makna kehidupan, hubungan dengan Allah bukan sesuatu yang diraih tetapi
sesuatu yang diberikan.

2.5.1. Perjanjian Lama membuka dan membiarkan terbuka sejarah kedatangan kerajaan
Allah. Sejarah kedatangan kerajaan Allah merupakan sejarah yang daripadanya seluruh
sejarah dunia memperoleh arti dan tujuanSejarah kedatangan kerajaan Allah ini haruslah
dipahami dari kedatangan Allah ke dunia di dalam Israel secara horizontal.

2.5.2. Oleh karena sifat kedatangan Allah yang bukan pilihan manusia tetapi atas inisiatif
Allah untuk memilih dan bersama-sama Israel dan dengan demikian memilih dan bersama-
sama dengan bangsa-bangsa, maka segala spekulasi kedatangan kerajaan ditiadakan. Tetapi
sekaligus menunjukkan kedatangan kerajaan Allah itu adalah suatu yang pasti. Kepastian itu
ada dalam nama Allah yang adalah janji dan kebebasan.

2.5.3. Walaupun ditekankan bahwa Allah memperkenalkan diri dengan namaNya secara
konkrit,
2.5.4. tetapi juga harus dipahami bahwa dalam pernyataan dirinya di situ Allah tersembunyi,
dan di dalam ketersembunyiannya di situ Dia menyatakan diri.
Dua dimensi ini merupakan cirri khas PL dan PB. Tidak seorangpun pernah melihat Allah
(Joh. 1:18) demikian juga Musa dalam semak belukar yang terbakar (…). Oleh karena Allah
Israel adalah janji dan kebebasan, maka Perjanjian Lama mempunyai arti yang aktual bagi
theologia Kristen. Ini dimungkinkan dari penyataan nama Allah sendiri.

2.6. Allah datang kepada manusia, ketika dia mencari, menyapa dan memanggil,
mengambil dan membawa mereka dengan firmanNya yang mengubah hubungan-
hubungan dengan janjiNya ke masa depan yang dibukanya sendiri.

2.6.1. Firman Allah pertama-tama datang dan firman itu berada dalam perjalanan realisasi.
Allah berfirman. itu bukanlah symbol. Itu adalah Firman yang bertindak dan menjadi
peristiwa, peristiwa yang tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa lain. Itu adalah Firman
yang mengubahkan dan memperbaharui, yang mencari manusia.

2.6.2. Karena namaNya mempunyai artian masa depan, maka itu berarti bahwa Allah sendiri
adalah masa depan manusia. Itu sebabnya penantian manusia hanyalah penantian akan Allah
atau penantian akan kedatangan kerajaan Allah (Mz. 130:6). Sebagai pengharapan iman
selalu tertuju ke depan, terarah pada masa depan (Ayub 11:1f). Manusia hidup dari janji
Allah, yang di dalam Kristus adalah ya dan amen (2 Kor 1:20).
2.7. Allah Israel menyatakan diriNya sendiri dalam sejarah politis umatNya sebagai
kekuasaan pembebasan, sebagai Allah pembebas dan Allah eksodus. Pada awal kedatangan
kerajaan Allah adalah tindakan pembebasan yang tidak terbandingkan dengan tindakan
apapun.
Dalam tindakan ini Allah Israel menyatakan. Dia memberi dirinya untuk dikenal. Dia adalah
kuasa pembebasan.
Itu bukan ide atau percakapan tentang pembebasan, itu adalah tindakan pembebasan. Allah
Israel menyatakan dan memperkenalkan diri sebagai Allah pembebas.
2.7.2. Kalau tindakan pembebasan itu dilakukan dalam sejarah politis umatnya, ini mau
memperlihatkan bahwa hal ini merupakan suatu yang sama sekali baru, dimana Allah terlibat
dalam peristiwa politis, bukan allah yang steril dari dunia.

2.7.3. Dari perspektif ini iman Perjanjian Lama bukanlah sebuah agama keselamatan.
Sayangnya agama Kristen selalu mengidentifikasi diri sebagai agama keselamatan sama
seperti agama-agama pada umumnya (Bonhoeffer, Ergebung und Erlösung hal 368).
Harusnya pembebasan Allah atas umatnya dari Mesir dipahami sebagai pembebasan dalam
situasi politis yang konkrit. Dalam pengertian ini maka keselamatan diartikan sebagai
pembebasan. Pembebasan ini mencetak dan memberi model terhadap seluruh pembebasan di
dalam Alkitab hingga pada penantian akan keselamatan eskatologis dalam Deutero Yesaya
(Yes. 40-55) yang mewartakan keselamatan mada zaman akhir sebagai eksodus kedua.
Kuduskanlah Nama TUHAN, Allahmu, maka kerajaanNya dan kehendakNya turun atasmu.
Kuduskanlah Nama TUHAN, Allahmu, maka kerajaanNya dan kehendakNya turun atasmu.
Pada pendahuluan mata kuliah ini ditekankan bahwa Allah Israel adalah aksiom atau syarat
berteologi. Seluruh theologia dimulai dan dibangun di atas dasar aksiom tersebut.
Pembuktian dari alkitab sendiri memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama masih tetap aktual di
dalam Perjanjian Baru. Sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa Allah Israel dalam PL juga
Allah yang diakui dalam PB (pokok bahasan 1).
Pokok bahasan 2 ini akan menyoroti NAMA Allah Israel. Dengan kata lain: Nama Allah
sebagai titik berangkat ajaran tentang Allah, yang memuat antithese terhadap setiap bentuk
ontologi, yang mempersyaratkan keallahan yang abstrak dan keberadaan transendensinya.

2.1. Allah Israel adalah Allah dari kerajaan yang mengubahkan dunia, yang
memperkenalkan diri dengan namaNya dan menyatakan diriNya dengan tindakannya. Dialah
Allah yang datang dalam sejarah dan mematahkan seluruh ketertutupan sejarah.

2.1.1. Deus non est in genere: Allah Israel tidak bisa didefinisikan dalam konsep "Allah“
secara umum. Allah Israel adalah Allah di dalam kekonkritan (concretissimum) perkenalan
nama diriNya. Di sisi lain pemahaman umum bahwa Allah tidak punya nama. Allah yang
memperkenalkan dan menyatakan diriNya dengan namaNya sendiri bukanlah Allah untuk
diriNya sendiri, yang keberadaanNya atau ketidakberadaanNya bisa didiskusikan, seolah-olah
Dia merupakan objek untuk didiskusikan atau judul pelarian dari petualangan berpikir.
2.1.2. Allah Israel adalah Allah yang datang dalam sejarah umatNya, yang memulai
perjalanan kedatanganNya dengan pemilihan dan perjanjian dan yang tujuannya adalah
perubahan dan pembaharuan ciptaan. Nama Allah dan kedatanganNya merupakan
perlawanan terhadap monotheismus abstrak. Monotheismus abstrak sering pergunakan
sebagai konsep umum.Nama Allah tidak bisa dipahami dari terminologi atau kategori teoritis
monotheismus, karena "Penyataan Allah, kalau itu benar-benar penyataan, membuktikan
dirinya sebagai satu-satunya kemungkinan, yang tidak bisa dipilih oleh manusia, kecuali
bahwa dia hanya dapat memahami dirinya sebagai yang terpilih (Barth KD II/1, hal. 155).
Karena Nama Allah sebagai titik berangkat dan kedatanganNya merupakan bentuk
pemilihan, maka itu berarti bahwa Nama Allah dan kedatanganNya merupakan suatu
anugerah yang memberi masa depan bagi dunia,
karena dalam Israel dia datang ke dunia bangsa-bangsa dan namaNya akan diagungkan
oleh bangsa-bangsa. Dengan ini segala bentuk ketertutupan dunia sudah dibuka oleh
kedatanganNya dalam sejarah yang dibuktikan oleh namaNya sendiri.

2.3.1. Pengakuan akan Allah yang dikenal di Jehuda dan namaNya yang diagungkan di
Israel (Mz. 76:2) memperlihatkan penggambaran rahasia-nama Allah dalam sejarah
kedatanganNya.

Di Israel nama tersebut dipuja dan diagungkan (Mz. 9:3; 72:19: 99:3) tetapi juga dicemarkan
(Jes. 52:5; Yeh. 43:7). Namun pada zaman akhir janji ganda akan digenapi: bahwa umat
Allah akan memuliakan namaNya (Jes. 52:6 dan juga bangsa-bangsa akan menghormati
nama Allah (Mz. 86:9; 102:16) akan dihormati.

2.3.2. Yesus juga memenuhi janji tersebut. Dia berdoa kepada BapaNya, bahwa dia telah
memberitakan nama Allah (Joh 17:6). Allah umat Israel akan dikenal (Kis. 13:16) di
dalam Yesus. Di dalam Allah Israel tercakup keselamatan yang holistik. Perbedaan antara
“aku” Jesus Kristus dan “AKU” dalam Kel. 3:14 bisa dibaca kembali tulisan Bertold
Klappert.

2.3.3. Jika nama Allah dipahami sebagai aksiom berteologi, dan jika ajaran tentang trinitas
sebagai tradisi iman kristen harus dibaca kembali dalam aksiom tersebut, maka haruslah
mengikuti teladan yang diberikan Yesus dalam doa Bapa kami “dikuduskanlah namaMu”
maka kekudusan nama Allah haruslah menjadi kriteria tentang trinitas (Mz. 66). Kalau itu
betul ajaran tentang trinitas tentu berhubungan dengan formulasi berkat Harun (Bilangan
6:22-27) yang juga dirumuskan trinitatis, dimana yang memberkati adalah NAMA ALLAH.
Ketika hari trinitas dalam tahun gereja, berkat Harun sering dikhotbahkan memperlihatkan
bahwa keduanya berhubungan.

2.3.4. Kalau atau karena ajaran trinitas harus dipertahankan, maka rumusan itu harus dilihat
secara baru dari Alkitab dengan mengingat kriteria akan kekudusan Nama Allah di atas. Hal
tersebut didorong oleh fakta bahwa ajaran trinitas gereja mula-mula merupakan suatu dialog
dengan tradisi filsafat metafisik. Fakta tersebut mengikuti tradisi kitab Ibrani dalam sikap
dialog yang positif terhadap elohim dari dunia sekitar Israel tetapi membatasi diri dari Baal,
sehingga elohim dipahami sebagai predikat untuk Adonai (Kej. 14:18-22).

2.3.5. Melihat kembali ajaran trinitas dalam terang Alkitab berarti sebuah sebuah pengakuan
bahwa ajaran tentang trinitas mempunyai akarnya dalam PL dan PB. Dalam pengertian ini
maka nama Jesus tidak menggantikan nama Allah dan Jesus tidak menggantikan Adonai,
tetapi Jesus menggantikan temple (Yoh.2:18-22), dan oleh karena itu dia adalah logos Allah,
yang didalamnya Allah mengambil tempat. Dalam pengertian ini, Allah datang secara
terus menerus secara baru, dalam Firman Allah yang adalah Yesus Kristus, Allah juga datang
menyapa manusia secara baru

2.4. Kalau perkenalan nama Allah terjadi dalam tindakan anugerah yang memilih, maka
haruslah disadari: Tidak ada hubungan terhadap Allah tersebut yang dapat dicapai.
Bahwa Allah yang memilih bukan manusia memilih Allah dan menentukan dirinya sendiri
menjadi orang yang terpilih, pola dasarnya sudah diperlihatkan terlebih dahulu dalam PL.
Karena pemilihan tidak bisa dilepaskan dari artian dasar nama Allah, dan karena kristologis
haruslah theologis, maka Jesus Kristus juga mengaktualkan pola dasar pemilihan tersebut,
dimana bukan manusia yang memilih Dia, tetapi Dia yang memilih manusia (Joh. 15:16).

2.4.2. Dengan pola dasar penerimaan umat Allah atas pilihanNya (Ul. 7:6ff) ini pulalah
penerimaan bangsa-bangsa atas pilihan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat
dimengerti kalau Karl Barth mengatakan inItu sebabnya kita dapat memahami Karl
Barth sebagai teolog yang membagun theologianya diatas pemilihan umatNya yang
tidak bisa dilepaskan dari perkenalan diriNya di dalam namaNya (KD II/2 hal
215ff). intisari Alkitab adalah pemilihan Allah.
2.4.3. Orang yang dipilih dan disapa oleh Allah dalam perkenalannNya dengan namaNya,
mereka sendiri juga akan dipanggil dengan namanya (Jes. 43:1) dan dalam nama Allah (Jes.
63:19).
Jadi makna kehidupan, hubungan dengan Allah bukan sesuatu yang diraih tetapi
sesuatu yang diberikan.

2.5. Dalam perspektif sejarah kedatangan kerajaan Allah, perjumpaan dengan Perjanjian
Lama mempunyai arti yang langsung dan aktual, karena ketika nama Allah dinyatakan di
dalamnya (PL), maka janji kebebasan menjadi nyata: Nama Allah merupakan janji
kebebasan.

2.5.1. Perjanjian Lama membuka dan membiarkan terbuka sejarah kedatangan kerajaan
Allah. Sejarah kedatangan kerajaan Allah merupakan sejarah yang daripadanya seluruh
sejarah dunia memperoleh arti dan tujuan. Sejarah kedatangan kerajaan Allah ini haruslah
dipahami dari kedatangan Allah ke dunia di dalam Israel secara horizontal.

2.5.2. Oleh karena sifat kedatangan Allah yang bukan pilihan manusia tetapi atas inisiatif
Allah untuk memilih dan bersama-sama Israel dan dengan demikian memilih dan
bersama-sama dengan bangsa-bangsa, maka segala spekulasi kedatangan kerajaan ditiadakan.
Tetapi sekaligus menunjukkan kedatangan kerajaan Allah itu adalah suatu yang pasti.
Kepastian itu ada dalam nama Allah yang adalah janji dan kebebasan.

2.5.3. Walaupun ditekankan bahwa Allah memperkenalkan diri dengan namaNya secara
konkrit, tetapi juga harus dipahami bahwa dalam pernyataan dirinya di situ Allah
tersembunyi, dan di dalam ketersembunyiannya di situ Dia menyatakan diri.
Dua dimensi ini merupakan cirri khas PL dan PB. Tidak seorangpun pernah melihat Allah
(Joh. 1:18) demikian juga Musa dalam semak belukar yang terbakar (…). Oleh karena Allah
Israel adalah janji dan kebebasan, maka Perjanjian Lama mempunyai arti yang aktual bagi
theologia Kristen. Ini dimungkinkan dari penyataan nama Allah sendiri.

2.6. Allah datang kepada manusia, ketika dia mencari, menyapa dan memanggil,
mengambil dan membawa mereka dengan firmanNya yang mengubah hubungan-hubungan
dengan janjiNya ke masa depan yang dibukanya sendiri.
2.6.1. Firman Allah pertama-tama datang dan firman itu berada dalam perjalanan realisasi.
Allah berfirman. Itu bukanlah symbol. Itu adalah Firman yang bertindak dan menjadi
peristiwa, peristiwa yang tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa lain. Itu adalah Firman
yang mengubahkan dan memperbaharui, yang mencari manusia.

2.6.2. Karena namaNya mempunyai artian masa depan, maka itu berarti bahwa Allah sendiri
adalah masa depan manusia. Itu sebabnya penantian manusia hanyalah penantian akan Allah
atau penantian akan kedatangan kerajaan Allah (Mz. 130:6). Sebagai pengharapan iman
selalu tertuju ke depan, terarah pada masa depan (Ayub 11:1f). Manusia hidup dari janji
Allah, yang di dalam Kristus adalah ya dan amen (2 Kor 1:20).

2.7. Allah Israel menyatakan diriNya sendiri dalam sejarah politis umatNya sebagai
kekuasaan pembebasan, sebagai Allah pembebas dan Allah eksodus. Pada awal kedatangan
kerajaan Allah adalah tindakan pembebasan yang tidak terbandingkan dengan tindakan
apapun. Dalam tindakan ini Allah Israel menyatakan. Dia memberi dirinya untuk dikenal. Dia
adalah kuasa pembebasan. itu bukan ide atau percakapan tentang pembebasan, itu adalah
tindakan pembebasan. Allah Israel menyatakan dan memperkenalkan diri sebagai Allah
pembebas.

2.7.2. Kalau tindakan pembebasan itu dilakukan dalam sejarah politis umatnya, ini mau
memperlihatkan bahwa hal ini merupakan suatu yang sama sekali baru, dimana Allah terlibat
dalam peristiwa politis, bukan allah yang steril dari dunia.

2.7.3. Dari perspektif ini iman Perjanjian Lama bukanlah sebuah agama keselamatan.
Sayangnya agama Kristen selalu mengidentifikasi diri sebagai agama keselamatan sama
seperti agama-agama pada umumnya (Bonhoeffer, Ergebung und Erlösung hal 368).
Harusnya pembebasan Allah atas umatnya dari Mesir dipahami sebagai pembebasan dalam
situasi politis yang konkrit. Dalam pengertian ini maka keselamatan diartikan sebagai
pembebasan. Pembebasan ini mencetak dan memberi model terhadap seluruh pembebasan di
dalam Alkitab hingga pada penantian akan keselamatan eskatologis dalam Deutero Yesaya
(Yes. 40-55) yang mewartakan keselamatan mada zaman akhir sebagai eksodus kedua.
Kuduskanlah Nama TUHAN, Allahmu, maka kerajaanNya dan kehendakNya
turun atasmu.
Firman TUHAN
Pada bagian ini akan didiskusikan tentang firman Allah, yang tidak terlepas dari bagian
terdahulu bahwa Allah Israel sebagai Aksiom (pendahuluan) dan NAMA Allah Israel (pokok
bahasan 2).
Firman Allah yang dimasudkan adalam 10 firman. 10 Firman merupakan sentral dalam
Perjanjian Lama dan dipahami sebagai pusat dari seluruh pentateuch, yang pada gilirannya
juga pusat dari nubuatan para nabi, karena nubuatan diartikan sebagai firman Tuhan yang
datang pada para nabi untuk umatNya dan artinya juga bagi bangsa-bangsa.
Kalau dikatakan firman Tuhan atau firman Allah, yang dimaksudkan adalah firman Allah
Israel, yang mempunyai nama serta yang aktual di dalam Perjanjian Baru.

3.1. Seperti halnya tindakan, perkataan dan Firman Allah merupakan petunjuk ke dalam
kebebasan atau kemerdekaan: Puncaknya adalah firman 1, yang berada di dalam kontext
peristiwa pembebasan yang mendasar dan terarah pada kekuasaan Allah perjanjian serta ingin
memelihara kekuasaan tersebut di hadapan kekuasaan-kekuasaan lain yang tidak
meyelamatkan.
3.1.1. Allah yang datang adalah Allah yang memerintah.
Dia berbicara kepada manusia dan dengan kekuatan firmanNya menempatkan manusia dalam
perjalanan kebebasan, yang dibukaNya sendiriDalam 10 firman Allah keseluruhan kehendak
Allah yang menuntut, membebaskan dan memimpi dalam rumusan yang padat dan
kaya diformulasikan.

3.1.2. Gesetz (hukum) und Evangelium (kabar gembira) atau Evangelium und Gebot
(perintah)? Biasanya orang memahami yang pertama. Pola hukum dan kabar gembira
mengikuti pola teologia yang mengatakan bahwa manusia jatuh dalam dosa dan masuk dalam
wilayah hukum. Itu sebabnya membutuhkan kabar gembira yang datang dalam Yesus
Kristus. Akhirnya Perjanjian Lama dibaca dalam kacamata ini. Pola ini berbeda dengan Ex
20. Pertama bukan hukum. Tetapi pemilihan mendahului hukum. Allah memilih Israel.
Pemilihan adalah kabar gembira. Demikian halnya dengan pendahuluan exodus
memperlihatkan Allah membebaskan Israel umatnya dari penindasan.
Pembebasan adalah kabar gembira. Setelah kabar gembira barulah perintah. Jadi kabar
gembira mendahului tuntutan berarti memampukan umat melakukan sesuai tuntutan untuk
hidup sebagai umat pilihan yang dibebaskan.
3.1.3. Kalau ada perintah tentu ada pendengar perintah dan ada yang memerintahkan.
Pendengar tentu akan mendengar, mengerti dan melakukan perintah kalau pendengar
mengenal siapa yang ememerintahkan dan mempunyai hubungan dengannya. Hubungan
tersebut diperkuat dan diteguhkan oleh inisiatif Allah yang memerintahkan itu memilih dan
memebebaskan mereka.

3.1.4. Jika itu artinya bagi umat pilihan, apa artinya bagi umat yang ikut terpilih dalam
Kristus? "Dekalog merupakan hukum kehidupan yang dinyatakan oleh Allah, semua ada di
bawah kekuasaan Kristus yang menghidupkan. Dia adalah pembebasan dari kekuasaan lain
yang sewenang-wenang. Dia membuka diri pada orang yang percaya sebagai hukum pencipta
dan pendamai. Dekalog adalah bingkai yang di dalamnyaketaatankehidupanmanusia
dimungkinkan. Dia membebaskan manusia kepada kehidupan yang bebas di bawah
kekuasaan Kristus.“ (Dietrich Bonhoeffer, Ethik hal 349).

3.1.5. Jadi 10 firman Tuhan bukanlah kumpulan perintah moral, tetapi harus dipahami dari
Ex 20:2-3. Dalam terjemahan „jangan ada padamu …“ memperlihatkan bahwa yang disapa
itu konkrit dan mempunyai hubungan dengan yang menyapa. Jadi bukan sekedar rumusan
tidak ada Allah lain selain aku (perlu dibandingkan dengan ayat kursi dalam islam), tetapi
jangan ada padamu!!!

3.1.6. Dengan pemahaman yang demikian maka dapatlah dimengerti jika Allah yang
membebaskan itu adalah Allah yang memerintahkan sesuatu, maka berikut ini secara
berturut-turut perlu dilihat sebagai konsekuensinya (Ulangan 6:13; Mat 4:10; Ex 20:5; 34:14),
(Ulangan 30:11ff atau Roma 10:6ff). Karena Allah yang membebaskan memimpin kepada
kepenuhannya, oleh karena itu perintahnya harus digenapi, „totum bonum nostrum Deo
adscribendum est.“ (Luther)

3.2. Dalam perjumpaan dengan Allah, larangan menyembah berhala membebasakan umat
Allah dari setiap bentuk pembatasan gambaran dan bayangan yang dibawa dari luar.
Itu hanya menunjuk pada pada Nama dan Firman Allah Israel.

3.2.1. Firman ke 2 (Ex 20:4) pada dasarnya melarang membuat gambar lain (Ex 20:4):
1), Larangan tersebut bukan didasarkan atas pemahaman pertentangan antara suatu yang
kelihatan dan yang tidak kelihatan, jasmaniah dan rohaniah.
Oleh karena itu larangan penyembahan berhala tidak bisa dipahami sebagai sebuah bentuk
pengendalian atau reaksi atas keyakinan keberagamaan primitif yang terpenjara pada hal-hal
yang tampak dan jasmaniah.
2) Dalam ibadat agama-agama sekitar, yang dengannya Israel bersentuhan dan berhubungan,
jarang sekali gambar disatukan dengan keallahan yang harus disembah.
3) Ibadat pada zaman kuno didasarkan pada iman, bahwa ada kekuasaan-kekuasaan illahi
yang tidak terbatas dan tidak bisa diduga memenuhi dunia. Kalau larangan penyembahan
berhala diartikan sebagai upaya mengatasi pemahaman iman agama kuno, maka motif
tersebut patut dipertanyakan dan dicurigai.

3.2.2 Israel pernah jatuh pada pembatasan Allah ketika mereka membuat patung lembu
emas. Pembatasan tersebut justru memperlihatkan bahwa Allah dapat dijangkau dan dibatasi
oleh manusia, Allah menjadi pelarian manusia dari keterbatasannya.Atau dengan kata lain
Allah menjadi projeksi kebutuhan, keinginan dan harapan manusia. Itu sebabnya Allah dibuat
dari barang-barang berharga.

3.2.3. Larangan penyembahan berhala membebaskan pengenalan akan Allah dari setiap
keinginan dan materi duniawi dan dari setiap pengenalan akan Allah yang salah dan
membahayakan. Allah yang digambarkan oleh manusia, bukan lagi Allah yang hidup.
Dengan demikian perintah atau Firman Tuhan membebaskan manusia dari setiap gambar.
3.2.4. Pandangan yang mengatakan bahwa Allah dikenal dan dibatasi pada Nama dan
Firman, pada dasarnya juga sudah melanggar Firman ke 2. Itu sebabnya kalau 10 Firman
Allah dibaca sebagai satu kesatuan, menjadi jelas bahwa Firman ke 2 diperjelas oleh Firman
ke 3 yang hanya mengacu kepada Nama Allah (Ex 20:7).

Calvin menarik 3 hal penting dari perintah tersebut tersebut:


1) Apa yang kita pikirkan dan katakan tentang dia haruslah menyaksikan kemuliaanNya dan
melayani kekudusan namaNya.
2) Kita dituntut mengarahkan diri kepada firmanNya dan mengenal kehendaknya.
3) Kita harus mengenal tindakanNya dan memuji hikmat, keadilan dan kebaikanNya. Karl
Barth pada tahun 1935 berkhotbah: “… Saudara-saudara hanya akan berjuang dengan benar
dan akhirnya dimahkotai, kalau kalian justru melepaskan diri dari pemberhalaan diri,
sehingga menjadi sangat bebas mengenal firman Allah.
Dengan perintah menguduskan hari sabat Allah menuntut tidak hanya keseluruhan tindakan
manusia, tetapi juga tindakan khusus manusia, bukan hanya keseluruhan waktunya, tetapi
juga waktu khususnya. Karena hari istirahat merupakan petunjuk dan janji akan ketenangan
yang menyelamatkan dan kedamaian di dunia yang akan datang. Dalam Perjanjian Lama
sabbat tanda kegenapan atau keutuhan ciptaan. Dalam perjanjian baru hari pertama minggu
adalah hari Tuhan sebagai tanda kebangkitan dan dengan demikian sebagai awal ciptaan yang
baru (Kraus §170). Dengan demikian hari peristirahatan menunjuk sebagai proton dan
eschaton: yang pertama dan terakhir, sebagai hari khusus yang di dalamnya kegenapan
ciptaan dan janji kedatangan kerajaan kebebasan (kemerdekaan) tercakup. Dengan perintah
menguduskan hari sabat Allah menuntut tidak hanya keseluruhan tindakan manusia, tetapi
juga tindakan khusus manusia, bukan hanya keseluruhan waktunya, tetapi juga waktu
khususnya. Karena hari istirahat merupakan petunjuk dan janji akan ketenangan yang
menyelamatkan dan kedamaian di dunia yang akan datang. Itu sebabnya dalam penafsiran-
penafsiran perintah ini ditujukan kepada jemaat, yang mempercakapkan kedatangan kerajaan
Allah dan keutuhan Ciptaan. Pada gilirannya hari peristirahatan membuka arti dan tujuan
eskatologis bagi seluruh hari kerja dan pekerjaan. Dengan demikian hari peristirahatan
adalah hari yang ditentukan Allah dari rangkaian hari-hari yang ada sebagai hari khusus yang
memaknai seluruh hari, peristirahatan khusus yang memaknai seluruh kerja. Perintah harus
bekerja selama 6 hari tidak boleh tidak diindahkan (Ex 20:9). Jadi hari bebas kerja
merupakan tanda, bahwa kerja manusia (baik atau buruk) memenuhi hari-harinya, bukan
merupakan kepenuhan kehidupannya. Bahwa kepenuhan kehidupan manusia bukan pekerjaan
dan karyanya, atau sola gratia, bukan hanya semboyan reformasi, tetapi reformasi
menemukannya dari alkitab yang dimulai dalam kisah penciptaan dan kisah keluarah (Ex 20).
Tindakan khusus pengudusan hari sabbat, pengambilan jarak dari pekerjaan, menempatkan
bagi iman sebuah akhir yang menyelamatkan dan membebaskan dan membebaskan diri dari
keyakinan pada karya prestasi sendiri. Bekerja bukanlah kehidupan tetapi bekerja untuk
kehidupan. Jika bekerja adalah kehidupan, maka hari tanpa kerja atau peristirahatan tidak lain
adalah hari reproduksi kekuatan kerja. Itu berarti kerja identik dengan kehidupan. Yang
dimaksudkan oleh firman ke 4 bukanlah dalam artian ini, tetapi bahwa seluruh waktu ada di
tangan Allah dan ada dalam tuntutan Allah. Hari sabbat adalah milik Allah dan bukan
manusia. Siapa yang menguduskan hari sabat, artinya mengambil jarak dari pekerjaan seperti
biasanya, berarti dia mengembalikan apa yang menjadi milik Allah: waktu (Roma 11:36).
3.3. Dengan perintah menguduskan hari sabat Allah menuntut tidak hanya keseluruhan
tindakan manusia, tetapi juga tindakan khusus manusia, bukan hanya keseluruhan waktunya,
tetapi juga waktu khususnya. Karena hari istirahat merupakan petunjuk dan janji akan
ketenangan yang menyelamatkan dan kedamaian di dunia yang akan datang.

3.3.1. Dalam Perjanjian Lama sabbat tanda kegenapan atau keutuhan ciptaan. Dalam
perjanjian baru hari pertama minggu adalah hari Tuhan sebagai tanda kebangkitan dan
dengan demikian sebagai awal ciptaan yang baru (Kraus §170). Aetiology Dengan demikian
hari peristirahatan menunjuk sebagai proton dan eschaton: yang pertama dan terakhir,
sebagai hari khusus yang di dalamnya kegenapan ciptaan dan janji kedatangan kerajaan
kebebasan (kemerdekaan) tercakup Dengan perintah menguduskan hari sabat Allah menuntut
tidak hanya keseluruhan tindakan manusia, tetapi juga tindakan khusus manusia, bukan hanya
keseluruhan waktunya, tetapi juga waktu khususnya. Karena hari istirahat merupakan
petunjuk dan janji akan ketenangan yang menyelamatkan dan kedamaian di dunia yang akan
datang.

3.3.2. Itu sebabnya dalam penafsiran-penafsiran perintah ini ditujukan kepada jemaat, yang
mempercakapkan kedatangan kerajaan Allah dan keutuhan Ciptaan. Pada gilirannya hari
peristirahatan membuka arti dan tujuan eskatologis bagi seluruh hari kerja dan pekerjaan.
Dengan demikian hari peristirahatan adalah hari yang ditentukan Allah dari rangkaian hari-
hari yang ada sebagai hari khusus yang memaknai seluruh hari, peristirahatan khusus yang
memaknai seluruh kerja. Perintah harus bekerja selama 6 hari tidak boleh tidak diindahkan
(Ex 20:9). Jadi hari bebas kerja merupakan tanda, bahwa kerja manusia (baik atau buruk)
memenuhi hari-harinya, bukan merupakan kepenuhan kehidupannya.

3.3.3. Bahwa kepenuhan kehidupan manusia bukan pekerjaan dan karyanya, atau sola
gratia, bukan hanya semboyan reformasi, tetapi reformasi menemukannya dari alkitab yang
dimulai dalam kisah penciptaan dan kisah keluaran (Ex 20). Tindakan khusus pengudusan
hari sabbat, pengambilan jarak dari pekerjaan, menempatkan bagi iman sebuah akhir yang
menyelamatkan dan membebaskan dan membebaskan diri dari keyakinan pada karya prestasi
sendiri.
3.3.4. Bekerja bukanlah kehidupan tetapi bekerja untuk kehidupan. Jika bekerja adalah
kehidupan, maka hari tanpa kerja atau peristirahatan tidak lain adalah hari reproduksi
kekuatan kerja. Itu berarti kerja identik dengan kehidupan.

Yang dimaksudkan oleh firman ke 4 bukanlah dalam artian ini, tetapi bahwa seluruh waktu
ada di tangan Allah dan ada dalam tuntutan Allah.

Hari sabbat adalah milik Allah dan bukan manusia. Siapa yang menguduskan hari sabat,
artinya mengambil jarak dari pekerjaan seperti biasanya, berarti dia mengembalikan apa yang
menjadi milik Allah: waktu (Roma 11:36).

3.4. Perintah menghormati orang tua membuat anak tidak hanya bertanggung jawab untuk
pelaksanaan hak hidup orang tuanya yang menjadi tua, tetapi juga untuk kesiapan hidup di
masa tua yang membahagiakan. Di bawah perintah ini kebebasan untuk hidup bagi orang tua
dan anak menjadi taruhan.

3.4.1. Dalam tradisi penafsiran, perintah menghormati orang tua (Ex 20:12) telah dibebani
dengan salah pengertian. Dalam katekismus besar Luther mengajarkan ketaatan kepada ayah
dalam arti di rumah, pemerintahan, sekolah, tempat kita bekerja, dan gereja (Wa 301, 147ff).
Demikian juga Calvin melihat arti perintah ini bagi ketaatan secara gradual dalam hubungan-
hubungan kekuasaan dan gereja (adakah pengaruhnya ini terhadap poda tohonan hapanditaon
ke 7: Ingkon unduk do tu uluan?). Dengan artian ini maka perintah ke 4 diartikan secara
patriarkalis, sehingga dibawah perintah Allah menempatkan hubungan-hubungan kekuasaan
yang tidak menjamin kebebasan dan kemerdekaan. Demikian juga Calvin melihat arti
perintah ini bagi ketaatan secara gradual dalam hubungan-hubungan kekuasaan dan gereja
(adakah pengaruhnya ini terhadap poda tohonan hapanditaon ke 7: Ingkon unduk do tu
uluan?). Dengan artian ini maka perintah ke 4 diartikan secara patriarkalis, sehingga dibawah
perintah Allah menempatkan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak menjamin kebebasan
dan kemerdekaan.

3.4.3. Perintah ini sesungguhnya dialamatkan kepada anak yang semakin dewasa, yang
kepadanya tanggung jawab terhadap kehidupan orang tuanya yang menjadi tua diembankan.
Tetapi juga bukan hanya hak hidup, melainkan juga kebahagiaan hidup di masa tua.
Penyerahan tanggung jawab anak terhadap orang tua merupakan akhir dari kebebasan anak,
sebaliknya adalah kebebasan yang tidak bertanggung jawab.

3.4.4. Perintah kelima adalah sebuah perintah yang disertai dengan janji (Ef 6:2f). Janji ini
merupakan pusat dari perintah yang lain bahwa: Allah menghendaki kehidupan orang-orang
yang dia sapa. Mereka haruslah orang-orang yang bebas bagi kehidupan orang dan terhadap
kehidupannya sendiri, bukan terpenjara atau terjerat atau terpaksa. Seluruh perintah Allah
ada di bawah syarat kebebasan hidup tersebut.

3.5. Perintah “engkau jangan membunuh“ melindungi kehidupan dari kesewenang-


wenangan dan keinginan untuk menghancurkan. Ini terutama berhubungan dengan rencana
atau perbuatan tersembunyi.

3.5.1. Sepuluh perintah Allah berada di bawah terang pendahuluan bahwa Allah Israel
memerintah, memimpin dan membebaskan. 5 perintah dalam agama Buddha:
1) Jangan membunuh makhluk hidup,
2) Jangan ambil yang bukan diberikan bagimu,
3) Jangan menipu,
4) Jangan meminum minuman yang memabukkan, dan
5) Jangan berbuat cabul.
Perintah Allah juga mempunyai refleks atau pancaran secara universal.Dalam alkitab
perintah tersebut berada dalam konteks kedatangan Allah. Hal ini menyangkut pembebasan
manusia dari segala bentuk yang menghancurkan hidup manusia.

3.5.2. Apa itu kehidupan? Sangat banyak definisi kehidupan, tergantung bidang atau sudut
pandang. Secara teologis kehidupan haruslah dibicarakan dari pemberi kehidupan, dari
pencipta. Akhirnya, kepada Allah Israel kehidupan harus dipertanggungjawabkan dan
disyukuri, karena Dialah mengambil inisiatif mengikat perjanjian dengan umatnya, ikatan
yang memberi makna kehidupan, dimana masa depan manusia yang diciptakan dijamin dan
dipelihara. Dengan demikian, manusia ditentukan, dalam kebebasan hidup di hadapan Allah
dan bersama-sama dengan Allah.
Hidup adalah yang diberikan atau dipinjamkan.
3.5.3. Pengakuan bahwa tubuh adalah tempel bagi roh kudus (1. Kor. 6:19) ingin
memperlihatkan kepenuhan tujuan kehidupan dan pentingnya kehidupan tubuh, dan tidak
bisa dipahami bahan antara untuk mencapai tujuan, yaitu hal-hal yang rohani. Tujuan awal
kehidupan manusia adalah segambar dengan Allah, dengan demikian mengisi tuntutan
kehidupan tubuhnya dalam kebebasan (sebagaimana kebebasan Allah). Dengan demikian
kehidupan manusia ditentukan Allah sebagai kehidupan yang diterima dan dikasihi Allah.

3.5.4. Alber Schweitzer merumuskan sikap takut dan hormat terhadap kehidupan. Hidup
adalah hidup dalam hubungannya dengan Allah Israel, pencipta dan pemelihara serta yang
menjamin kehidupan manusia, Allah yang memberi perintah untuk melindungi kehidupan.

3.5.5. Dalam Ulangan 27:24 ada tekanan kata “tersembunyi”. Tekanan tersebut diartikan
dalam Mat 5:21ff diperlihatkan dalam sikap yang kelihatan hingga yang tersembunyi dalam
hati, sebagai tempat segala yang jahat (Mark 7:22).
Di bawah pemahaman akan kehidupan seperti di ataslah harus dinilai Euthanasia, bunuh diri
dan penggguguran kehamilan. Batas terakhir kehidupan kita, dalam hubungannya dengan
orang lain, adalah kehidupan orang lain itu sendiri.
Hidup yang mengasihi adalah hidup yang menghidupkan orang lain, sebaliknya kebencian
mengharapkan kematian bagi orang lain. Kebencian adalah bentuk pembunuhan, yang
membatasi kebebasan hidup orang lain. Perintah Tuhan justru melindungi hak dan kebebasan
hidup orang lain.

3.6. Perintah “engkau jangan berzinah” melindungi kewibawaan dan kebebasan


kebersamaan hidup pasangan suami isteri. Ini menyangkut segala bentuk pemikiran,
perkataan dan tindakan yang merusak dan menghancurkan pasangan suami isteri.

3.6.2. Perintah ini jelas ingin melindungi hak dan kesucian kebersamaan hidup pasangan dari
kekuatan seksual yang merusak, yang banyak memainkan peranan pada ibadat-ibadat kuno.
Perlindungan ini jelas dilakukan demi kebebasan dan kebahagiaan kebersamaan hidup
pasangan. Puncak penghormatan terhadap pasangan dalam PL tampak dari pemakaiannya
sebagai metafor untuk ikatan perjanjian antara Allah dan Israel (Hosea 2:16ff,20ff;3:1ff).
Tidak heran ikatan antara Allah dan Israel sering dipakai sebagai gambaran asli kebersamaan
hidup pasangan, cinta dan kesetiaan, serta keandalan.
Gambaran ini juga terus mentradisi hingga masa-masa para rasul, seperti dalam Ef 5:31ff.
Dengan demikian pasangan dapat dilihat sebagai suatu pancaran dari ikatan perjanjian, suatu
gambaran pemilihan dan gambaran kehidupan bersama dengan Israel dan dengan seluruh
jemaat kristen.

3.6.3. Pasangan dapat didefenisikan sebagai bentuk pertemuan antara laki-laki dan
perempuan, dimana keduanya dengan pilihan bersama mengambil keputusan bersama untuk
hidup bersama-sama yang eksklusif dan bertanggung jawab, unik dan selamanya. Hanya
cinta dan kebebasanlah yang menentukan pasangan. Bukanlah gereja atau negara yang
menentukan pasangan. Negara hanya meneguhkan pasangan untuk hidup bersama dengan
masyarakat dan memberi perlindungan kepadanya sebagai pasangan. Gereja menunjukkan
dan mengingatkan akan perjanjian Allah, yang memanggil kepada hidup berpasangan dan
memberi kesempatan serta mempersatukan pasangan, yang telah saling menemukan dan
sekarang ingin hidup bersama di hadapan dan bersama dengan Allah.

3.6.4. „Berjanjilah (kalian para pasangan): perhatikanlah, bahwa itu bukan janji palsu! Kalau
terlalu cepat berjanji; demikianlah akibatnya terjadi perzinahan!“ (F. Nietzsche). dibalik
perintah “jangan berzinah“ lebih jauh menunjuk pada pemikiran, perkataan dan tindakan
yang tidak merusak pasangan atau yang melindungi pasangan yang telah memilih untuk
hidup bersama. Tidaklah tugas gereja untuk hadir sebagai lembaga pemerintahan pengesah
pernikahan, namun gereja terpanggil, menunjukkan kewibawaan dan kebebasan kebersamaan
hidup pasangan sebagai suatu yang harus dihormati dan sangat berharga.

3.7. Dalam konteks Tora, perintah „jangan mencuri“ berlaku untuk pencurian manusia
(penculikan). Dengan pemahaman ini haruslah dikritisi tradisi penafsiran yang berlaku dan
mempertanyakan secara baru arti perintah tersebut dalam hubungannya dengan perampasan
kebebasan dan eksploitasi tenaga kerja manusia.

3.7.1. Tafsiran Albrecht Alt „Das Verbot des Diebstahls im Dekalog“ 1953 seharusnya
mewarnai etika kristen. Dalam Talmud: „Guru kita mengajarkan: Engkau jangan mencuri.
Dalam hal ini kitab (PL) bicara pencurian manusia“. Kalaupun ada pencurian ternak atau
benda (Ex 22:1; Ef 4:28), perintah „jangan membunuh“ haruslah ditafsirkan dari konteks
aslinya!
2) Penggandaan perintah dalam perintah ke 10, larangan yang berisi pendalaman dari
perintah „jangan mencuri“. Tekanannya lebih kearah motif terdalam, yaitu masalah keinginan
atau hasrat. Kata gaanab „mencuri“ menunjuk pada pencurian manusia.

3.7.2. Pencurian atau penculikan manusia bisa diterjemahkan kepada perampasan kebebasan
manusia. Sehingga berbagai bentuk perampasan kebebasan manusia pada zaman sekarang
seperti eksploitasi tenaga kerja, berbagai bentuk perbudakan modern dan penjualan manusia
(anak-anak dan wanita) ada dibawah ancaman tuntutan perintah tersebut. Dengan demikian
perintah jangan mencuri, karena hubungannnya dengan kebebasan manusia, akhirnya
bermuara kepada persoalan hak asasi manusia yang harus diperhatikan oleh masyarakat dan
negara.
Itu sebabnya perintah „engkau jangan mencuri dan engkau jangan membunuh“ merupakan
dua perintah yang saling terkait dan harus memberi inspirasi dan dasar bagi seluruh sikap dan
tindakan dalam rangka melindungi kehidupan manusia.
Dengan demikian hak asasi manusia bukanlah kerinduan manusia belaka tetapi juga menjadi
pusat perhatian Allah Israel di dalam perintahNya.
3.7.3. Menjadi catatan penting untuk hal ini:
1) Negara-negara barat sering menyuarakan perlindungan manusia atauhak-hak asasi
manusia dari perbudakan eksploitasi. Tetapi perbudakan latent seperti eksploitasi „dunia
ketiga“ dilakukan demi kesejahteraan „negara-negara maju“.

2) Kenyataan tersebut tidak harus menjadi alasan bahwa kita menjadi tidak menghormati
hak asasi manusia, dengan alasan bahwa thema hak asasi manusia adalah produksi negara-
negara barat. Tidak harus membuang kebenaran, karena orang lain menyalahgunakan
kebenaran tersebut.

3.7.4. Pemahaman terhadap „jangan membunuh“ dari konteks aslinya memberikan


memperluas dan memperdalam cakupan perintah tersebut: Mulai dari harta benda sampai
kepada perampasan kebebasan manusia. Konsekuensinya: mulai dari berbagai bentuk
perlindungan terhadap hak asasi manusia hingga pada penyediaan lapangan pekerjaan atau
memberi kesempatan kepada orang lain untuk bekerja.
3.8. Perintah „Engkau jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia“ berhubungan
dengan situasi di depan pengadilan, khususnya menyangkut pernyataan di bawah sumpah.
Perintah Allah ini melindungi hak dan kehormatan sesama manusia.

3.8.1. Pertama-tama perintah tersebut tidak menyangkut kebohongan yang biasa atau umum,
melainkan kebohongan di depan pengadilan yang berhubungan dengan situasi khusus
pernyataan saksi, yang padanya kehormatan atau aib, hidup atau mati bergantung (Amsal
19:5,9; 21:28; Psl 15:3). Itu sebabnya saksi harus betul paham akan kebenaran atau menuntut
penyelidikan-penyelidikan. 3.8.2. Seringkali kebenaran atau kebohongan pernyataan tidak
bisa dibuktikan, kalau itu dikatakan di bawah sumpah. Pada bangsa-bangsa di sekitar Israel,
sumpah sebagai fenomena keagamaan dikaitkan dengan sesuatu yang kudus. Bersumpah
demi sesuatu yang kudus. Di Israel sumpah ada di bawah seruan kepada TUHAN, Allah
Israel. Bukan kepada sesuatu yang kudus, tetapi kepada Allah yang hidup, yang
memperlihatkan kehadirannya yang menghidupkan di dalam tindakan-tindakanNya yang
membebaskan dalam sejarah. Dia dikenal dan dihormati sebagai saksi (Jer
16:14-15; 23:7-8).

3.8.3. Kaitan perintah dengan situasi khusus di pengadilan ini ingin memperlihatkan bobot
atau arti sebuah kebenaran atau kebohongan. Perintah ini ingin melindungi kebebasan, hak
dan kehormatan manusia. Inilah arti yang paling mendasar dan mendalam perintah tersebut.
Allah bukanlah satu fungsi dalam dunia pengadilan, tetapi seluruh pikiran, perkataan dan
tindakan manusia terjadi di hadapanNya.

3.8.4. Sumpah justru membuat kebohongan manusia menjadi tampak. Sumpah bisa
dipahami sebagai ciri khas kekuasaan dusta. Dengan perintah ini diperlihatkan bahwa Allah
berpihak dan berjuang untuk sesama manusia yang diancam oleh kekuasaan kebohongan.
Dusta keluar dari kekuasaan yang jahat (Yoh 8:44; 1 Yoh 3:8ff) tetapi kebenaran keluar
mendahului kasih (1 Kor 13:6; Ef 4:25).
3.9. Perintah kesepuluh tentang kepemilikan melindungi kebebasan manusia dari
ketamakan dan perampokan.

Anda mungkin juga menyukai