Anda di halaman 1dari 9

1

Pendahuluan

Setiap sistem teologi memiliki eskatologinya sendiri. Bila ada permulaan pasti ada
pula pengakhirannya, bukan dalam arti bahwa alam semesta tidak akan ada lagi seperti
sebelum diciptakan, namun dalam arti adanya pergantian dari bersifat sementara kepada yang
bersifat kekal. Ajaran Alkitab tentang eskatologi tidak hanya memedulikan nasib orang
secara perseorangan, tapi juga sejarah manusia. Menurut Alkitab, Allah tidak hanya
menyatakan diri-Nya melalui orang-orang yang mendapat ilham, tapi juga dalam dan melalui
peristiwa-peristiwa yang membebaskan umat-Nya, dan peristiwa yang terpenting dari
semuanya ialah kedatangan Anak-Nya Yesus Kristus. Isi dari penyataan ini tidak terbatas
pada kebenaran-kebenaran mengenai sifat dan tujuan Allah, tapi mencakup juga tindakan-
tindakan pelepasan umat-Nya dan firman yang diilhamkan yang menafsirkan makna
tindakan-tindakan tersebut. Karena Allah ialah Tuhan atas segala peristiwa sejarah, maka
penggenapan dari karya pelepasan oleh Allah mencakup juga pelepasan manusia dari sejarah,
yang berarti perubahan dunia ini menjadi suatu dunia yang baru.1

Jika kredibilitas dari harapan eskatologi pada akhirnya terletak dalam kesetiaan pada
Tuhan, maka perlu sekali untuk mencari pengetahuan akan natur ilahi yang dapat diketahui
melalui tindakan pengungkapan diri Allah. Bagi para teolog Kristen, Alkitab bukanlah suatu
buku yang didikte oleh Allah dimana untuk mencari jawaban atas pertanyaan, melainkan
adalah catatan tentang tokoh dan kejadian yang sudah secara istimewa memulai realitas
kehadiran ilahi yang bisa dilihat secara transparan. Meskipun Hebrew Bible ditulis dan
dikompilasi dalam periode antara 2000 sampai 3000 tahun lalu, masih terus relevan sampai
hari ini bukan hanya karena mencatat sejarah Israel yang bertemu dengan Allah, tetapi juga
karena penggambaran kuat yang diinspirasikan penulis Perjanjian Baru dan semua generasi-
generasi pemikir Kristen selanjutnya. Eskatologi terutama tergantung pada kekuasaan yang
bersifat imajinatif dari simbol untuk pembingkaian pengungkapan karena berusaha
mengungkapkan “apa yang tak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh
telinga” (1 Korintus 2:9, yang mengutip dari Yesaya 64 dan 65).2

1
Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2010), 1-11.
2
J. C. Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, Yale Nota Bene (New Haven: Yale University
Press, 2002), 53-54.
2

Isi

Dua aspek pendirian yang ditunjukkan dalam relasi pada topic eskatologi oleh penulis
Hebrew Bible langsung menyerang pembacanya. Pertama adalah kesenangan dunia ini di
masa hidup sekarang. Yang lainnya adalah keyakinan mereka bahwa Yahweh adalah Allah
yang bertindak dalam sejarah dan melakukan hal-hal baru.3 Tema eskatologi tidak hanya
dibahas pada Perjanjian Baru, melainkan sudah ada pada zaman Perjanjian Lama. Dengan
mengutip beberapa bagian dari Perjanjian Lama, Perjanjian Baru memberikan makna
eskatologi yang lebih universal dan menyajikan secara umum. Ada beberapa subtema dalam
tema eskatologi di Perjanjian Lama yang akan dibahas di bagian berikut ini.

Life & Death

Walau kedekatan negara seperti Mesir yang sangat kuat dalam hal ‘after-life’ dan
terobsesi dengan membuat ketentuannya secara detail, orang-orang Israel memusatkan
pengharapan mereka pada keadilan, kemakmuran, dan kehormatan di masa tua, yang dicapai
dalam perjalanan hidup di dunia ini. Harapan untuk masa depan diletakan pada kelanjutan
dari negara dan keluarga. Polkinghorne mengatakan, “The prophet’s vision of fulfilment is
when ‘old men and old women shall again sit in the streets of Jerusalem, each with staff in
their hand because of their great age’ (Zechariah 4:5).”4 Ketika dalam kitab Yehezkiel
mempunyai penglihatan yang besar tentang lembah dengan tulang-tulang kering yang
dihidupkan kembali dengan napas (ruach, spirit) oleh Tuhan Allah, adalah kembalinya Israel
dari pembuangan yang dinubuatkannya, penebusan dalam sejarah daripada sebuah
kebangkitan/pemulihan yang melebihi sejarah (Yehezkiel 37:1-14).5

3
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 54.
4
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 54.
5
Kenneth L. Barker and John R. Kohlenberger, Zondervan Niv Bible Commentary (Grand Rapids, Mich.:
Zondervan Pub. House, 1994), 1334.
3

Namun, Israel dapat dipastikan memohon pada Allah untuk pertolongan dalam
masalah ekstrim yang di hadapi dalam hidup, pengalaman simbolis sebagai pembebasan dari
‘lubang’. Walter Brueggemann mengatakan bahwa,

it is likely that it is unnecessary and unhelpful to distinguish the many rescues that occur in
life with Yahweh and the ‘‘BigOne’’ of life after death. All placements in the Pit are face to
face with the power of death, and physical death is only an extreme case, different in degree
but not in kind from all other threats to human life. It is characteristically enough in Israel to
assert that ‘‘the Pit’’ is a reality, and that when Yahweh can be mobilised, the grip and threat
of the Pit can be overcome.6

Menjadi seperti itu mungkin, tentu saja sebuah kasus yang hanya sebagai periode
alkitabiah yang akan segera berakhir. Bisa kita lihat lihat dua ayat dalam Hebrew Bible yang
menunjukkan secara jelas kearah takdir bersifat positif yang melebihi kematian, seperti yang
dikatakan Polkinghorne: “‘Your deeds shall live, their corpses shall rise. O dwellers in the
dust, awake and sing for joy! For your dew is a radiant dew and the earth will give birth to
those long dead’ (Isaiah 26:19); ‘Many of those who sleep in the dust of the earth shall
awake, some to everlasting life, and some to shame and contempt’ (Daniel 12:2).”7 Keduanya
terjadi dalam bagian yang mengenai dengan pergumulan negara dan penderitaan dan yang
karenanya bergumul dengan kebingungan yang timbul dari kenyataan bahwa pebghakiman
dan pembebasan dari Allah kelihatannya tidak dibawa dalam sajian dari sejarah sekarang.
Dalam periode antara Perjanjian Lama dan Baru, sebuah kepercayaan yang baik dalam takdir
melebihi kematian mulai berkembang diantara orang Yahudi. Pada saat Yesus, banyak sekali
termasuk orang Farisi yang menaruh harapan kebangkitan pada hari terakhir, meskipun orang
Saduki yang konservatif terus menolak kepercayaan tersebut (Kis. 23:8). 8

6
Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress
Press, 1997), 554.
7
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 56.
8
I Howard Marshall, The Tyndale New Testament Commentaries, vol. 5, The Acts of the Apostles: an
Introduction and Commentary (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing, 1980), 365.
4

God in History

Penyajian yang kuat oleh penulis Hebrew Bible tentang apa yang mungkin terletak
melampaui sejarah secara mencolok kontras dengan keyakinan Israel pada Allah mereka
sebagai Allah yang bertindak dalam sejarah. Keyakinan ini tidak muncul dari beberapa
optimisme yang mudah diperoleh, tetapi ditempa dalam malapetaka dan kekecewaan.9
Dalam tradisi dicatat tidak hanya pembebasan besar dari perbudakan saja yang terdapat di
kitab Keluaran dari Mesir, tetapi juga kehancuran bait dan deportasi yang terdapat pada
pembuangan ke Babilonia. Kejadian terakhir ini adalah titik terendah dalam sejarah nasib
Yehuda. Brueggemann menyebut hal ini ‘nullpunct’ (titik nol). Akan tetapi, dia juga melihat
itu sebagai momen misterius dimana sesuatu yang baru dibawa pada kelahiran,
mengekspresikan ‘the wounded but undefeated, affronted but not alienated, shamed but not
negated resolve of Yahweh to have a people as Yahweh’s own people in the world’.10
Brueggemann membandingkan pengalaman Yahudi akan harapan dalam kesulitan, dari janji
yang dijanjijkan ke inti dari kontradiksi, ke pengalaman Paskah Kekristenan.

Sementara itu kita melihat bahwa mazmur ratapan mengekspresikan dalam istilah
yang lebih pribadi, sebuah keyakinan yang sama akan kesetiaan Allah. dimulai dengan
mengekspresikan keluhan secara terus terang atas pengalaman akan ‘keadaan ditinggalkan’
yang jelas, kemudian diakhiri dengan memuji Allah karena kepedulian ilahi-Nya yang tak
berkesudahan (Mazmur 13:1 dan 5). Memang para nabi terkait dengan peristiwa pembuangan
dimana sangat jelas berbicara tentang kemampuan Allah untuk menciptakan suatu hal yang
tak biasa dalam sejarah dengan membawa menjadi apa yang sepenuhnya baru.

9
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 58.
10
J C. Polkinghorne and Michael Welker, eds., The End of the World and the Ends of God: Science and Theology
On Eschatology, ed. J C. Polkinghorne and Michael Welker, Theology for the Twenty-First Century (Harrisburg,
Pa.: Trinity Press International, 2000), 145-48.
5

Kedua, Yesaya menegaskan bahwa Allah tidak terikat pada repetisi perbuatan-
perbuatan-Nya yang terakhir (Yes. 42:9, 43:19). Yehezkiel memberikan dengan sangat detail
deskripsi dari ‘Bait Suci yang baru’ (Yeh. 40-44) yang nantinya akan menggantikan yang
telah dihancurkan oleh pasukan Nebukadnezar. Yeremia kelihatannya meneruskan pada
Perjanjian Allah dengan Israel yang baru (Yer. 31:31-34) dimana hukum ilahi akan ditulis
didalam hati manusia (band. Yeh.36:26-27). Dalam Bahasa Ibrani kata new (chadash) tidak
sangat umum dalam Alkitab, tetapi signifikan proporsi dari peristiwanya sendiri ditemukan
pada ketiga nabi ini.11

Tentu saja, hal baru yang Allah hadirkan dilihat oleh para nabi seperti terletak di masa
depan yang terbentang dari sejarah sekarang. Ketiga, Yesaya, nabi yang kembali dari
pembuangan, bahwa kita menemukan proklamasi yang jelas dari harapan akan hal baru yang
lebih radikal. Pada Yesaya 64:17 dan 25, yang terakhir menggemakan kembali di bagian awal
yaitu Yesaya 11:6-9. Disini kita bisa melihat sumber dari apa yang tumbuh dalam
kepercayaan orang Kristen akan tujuan/maksud Allah untuk mengadakan ‘ciptaan baru’.12

Apocalyptic

Belum lagi sikap yang radikal pada masa depan diekspresikan dalam jenis tulisan
yang disebut ‘apokaliptik’, dimana banyak kepercayaan dikembangkan dari tradisi kenabian.
Seperti yang sudah disebutkan, sebuah apokalips/kiamat adalah ‘pembukaan’ akan rahasia-
rahasia surga, baik tentang natur alam surga itu sendiri, atau tentang tujuan dan akhir dari
sejarah.13 Sebagian dari Kitab Daniel (pasal 7-12) adalah tulisan dalam Perjanjian Lama yang
paling mencolok. Karakteristik apokaliptik kitab ini muncul pada masa-masa pencobaan dan
persekusi (Kitab Daniel ditulis selama masa persekusi akan iman Yahudi oleh Kerajaan
Babilonia) dan bahwa hal itu menggambarkan kehendak Allah mendatangkan bencana yang
dahsyat dari perubahan radikal dimana pada zaman itu di transmisikan ke dalam zaman baru,
dimana kejahatan benar-benar dikalahkan dan pemerintahan Allah sepenuhnya didirikan dan
bisa dilihat oleh mata.14 Waktu transisi ini sering kali dihadirkan seperti didahului oleh satu
periode duka yang besar dan tak tertandingi (Dan. 12:1).

11
Richard Bauckham and Trevor A. Hart, Hope Against Hope: Christian Eschatology at the Turn of the
Millennium (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1999), 78.
12
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 59.
13
Leon Morris, Apocalyptic, Tyandale Paperback (London: Inter-Varsity Press, 1973), 20-25.
14
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 60.
6

Further Eschatological Themes

Sejumlah tema-tema lain yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang mana Gereja
Kristen menemukan sumber yang bermanfaat bagi refleksi eskatologinya sendiri. Ayat yang
paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru adalah Mazmur 110:1: ‘Demikianlah firman
TUHAN kepada tuanku: "Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu
menjadi tumpuan kakimu”’. Tidak diragukan lagi ini secara original adalah sebuah ekspresi
dari kepercayaan bahwa Allah akan memberikan kemenangan atas musuh-Nya di bumi, tetapi
diinterpretasikan sebagai simbol dari pembahasan surgawi di tangan kanan Allah, ayat ini
membantu gereja mula-mula untuk memikirkan bagaimana Ketuhanan Kristus berkaitan
dengan Ketuhanan yang fundamental dari Allah Israel. Namun otoritas yang diberikan masih
tetap tersirat dan terselubung.15

Dalam Ibrani 2:8 mengatakan, “Tetapi sekarang ini belum kita lihat, bahwa segala
sesuatu telah ditaklukan kepada-Nya.” Oleh karena itu orang bisa mengharapkan sebuah
peristiwa masa depan yang dimana apa yang sekarang tersembunyi akan dimanifestasikan di
kemunculan akhir (parousia) dari Tuhan kita Yesus Kristus (band. Kisah 3:20-21).
Pengertian kedatangan kedua sebagai simbol dari pemulihan nama baik untuk Ketuhanan
Kristus (band. 1 Kor. 15:28) adalah yang masih dapat kita peroleh saat ini.16

Sebuah tema yang ditekankan sepanjang Perjanjian Lama adalah berkat dan kutuk
yang mengalir dari penghakiman Allah didalam sejarah atas taat dan tidak taat. ‘Lihatlah, aku
memperhadapkan kepadamu pada hari ini berkat dan kutuk’ (Ul. 11:26). Patrick Miller
menekankan bahwa tujuan ilahi adalah berkat dan bukan kutuk.17 Dalam janji Abraham,
orang-orang yang mendapatkan berkat dalam Dia adalah jamak, sedangkan orang yang tidak
adalah tunggal (Kej. 12:3). Menurut pandangan Miller, “critical to a proper understanding of
judgement is an awareness of its ultimately ‘redemptive’ purpose”.18

Tema yang penuh harapan ini diperkuat dengan gambar dari ‘Perjamuan Mesianik’.
Menurut Polkinghorne mengenai Yesaya 25:6 yang berisi, “TUHAN semesta alam akan
menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan
yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar” mengatakan:

15
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 61.
16
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 62.
17
Polkinghorne and Welker, The End of the World, 165.
18
Polkinghorne and Welker, The End of the World, 161.
7

The Christian will think of Jesus’ many meals at which sinners and outcasts were welcome,
of the parable of the wedding feast (Matthew 22:1– 10, par.), of the Last Supper, and of the
continuing celebration of the Eucharist throughout the centuries. We are even told that at
this great feast God will ‘swallow up death for ever’ (Isaiah 25:8). 19

Konsep Mesias (‘yang diurapi’) adalah pemikiran Kristen yang membawa makna
eskatologis yang kuat sebagai pemenuhannya dalam Tuhan Yesus yang bangkit (siapa yang
mendapat gelar ‘Kristus’ adalah setara dengan Mesias di tradisi Yunani) telah dipahami dan
dieksplorasi. Dalam Perjanjian Lama, rajalah yang diurapi Tuhan, dan harapan akan mesias,
yang biasanya diekspresikan dengan menggunakan metafora lain seperti ‘Cabang’, berasal
dari Daud, yang tindakannya dalam sejarah akan memulihkan kemuliaan kerajaan terdahulu
(contoh Yes.9:6-7; 11:1-5, meskipun lihat juga ayat 6-9, untuk indikasi simbolis harapan
yang lebih radikal; Zak. 3:8-10, tetapi lihat juga 4:11-13, dimana dua orang yang diurapi
disebutkan). 20

Dua konsep lain dari Perjanjian Lama digunakan oleh penulis Perjanjian Baru dengan
signifikansi eskatologi. Yang pertama adalah sosok dari Anak Manusia, digambarkan dari
penglihatan yang hebat dari Daniel 7, dimana Dia datang sebelum zaman kuno sebagai buku
yang dibuka dalam penghakiman. Keempat Injil meletakan frasa ‘Anak Manusia’ pada bibir
Yesus dan (dengan pengecualian dari Yoh. 12:34) tidak pada yang lain. Sedangkan yang
kedua adalah penglihatan langsung atau wahyu surga (Kis. 7:56, Why. 1:17; 14:14).21

Kemudian yang terakhir kita juga harus memperhatikan mengenai Sabat. Signifikansi
eskatologinya menjadi tema penting dalam tulisan-tulisan Jürgen Moltmann. Dia melihat
istirahat Sabat sebagai beristirahatnya ketidakberhentian arus waktu sekarang, memaksakan
kembalinya ritme atas linieritasnya, mengingat kembali peristirahatan Alla setelah kisah
penciptaan (Kej. 2:1-3), dan mengarah kepada Sabat yang tiada akhir (biasanya disebut ‘hari
ke delapan’), dimana akan menjadi konsumasi penciptaan. “Every Sabbath celebration is a
messianic intermezzo in time, and when the messiah comes, he will bring the final messianic

19
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 62-63.
20
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 63.
21
Polkinghorne, The God of Hope and the End of the World, 64.
8

Sabbath for all God’s created beings’.22 Moltmann menghubungkan Sabat dengan Shekinah,
kemuliaan yang berdiam di hadirat Allah di tengah umat-Nya. Kata itu sendiri tidak muncul
dalam Hebrew Bible, tetapi kenyataannya kepada siapa itu ditujukan adalah simbolisasi dari
tiang api dari perjalanan Kitab Keluaran dan awan kemuliaan yang dikatakan untuk mengisi
Bait Salomo pada saat dedikasinya (1Raj. 8:10-11, lihat juga Kel. 40:34-35, Yeh. 10:15-22).
Moltmann melihat Sabat sebagai simbol dari penebusan waktu dan Shekinah sebagai simbol
penebusan ruang.23

Kesimpulan

Kita bisa mengkonklusikan bahwa materi Perjanjian Lama dengan kembali ke Yesaya
Kedua, yang berbicara dalam nama TUHAN, menyatakan kepada Israel yang dibuang,
‘janganlah takut’ (Yes. 41:10 dan 14). Walter Brueggemann mengatakan, “The antidote
seems modest in the face of the threat. Unless the antidote is uttered by one who is
trustworthy. Everything depends upon that”.24 Pokok persoalan eskatologi dan satu-satunya
dasar pengharapan yang cukup/memadai, adalah kesetiaan Allah yang tak berkesudahan.

22
Jürgen Moltmann, The Coming of God: Christian Eschatology (Minneapolis: Fortress Press, 1996), 138.
23
Moltmann, The Coming of God, 279-308.
24
Polkinghorne and Welker, The End of the World, 154.
9

Bibliography

Barker, Kenneth L., and John R. Kohlenberger. The Expositor's Bible Commentary: Abridged Edition.
Grand Rapids, Mich.: Zondervan Pub. House, 1994.

Bauckham, Richard, and Trevor A. Hart. Hope Against Hope: Christian Eschatology at the Turn of the
Millennium. Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1999.

Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis:


Fortress Press, 1997.

Marshall, I Howard. The Tyndale New Testament Commentaries. Vol. 5, The Acts of the Apostles: an
Introduction and Commentary. Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing, 1980.

Moltmann, Jürgen. The Coming of God: Christian Eschatology. Minneapolis: Fortress Press, 1996.

Morris, Leon. Apocalyptic. Tyandale Paperback. London: Inter-Varsity Press, 1973.

Polkinghorne, J C., and Michael Welker, eds. The End of the World and the Ends of God: Science and
Theology On Eschatology. Theology for the Twenty-First Century. Harrisburg, Pa.: Trinity
Press International, 2000.

Polkinghorne, J C. The God of Hope and the End of the World. Yale Nota Bene. New Haven: Yale
University Press, 2002.

Anda mungkin juga menyukai