Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Kerajaan Sorga / Kerajaan Allah merupakan salah satu topik terpenting dalam
berbagai aliran teologi yang berbeda yang setuju bahwa berita utama yang disampaikan
Yesus adalah tentang kerajaan Allah. Kerajaan berhubungan dengan sejarah Jemaat atau
Gereja maupun Sejarah dunia. Kerajaan Allah mencakup seluruh pekerjaan Allah melalui
Kristus yang menebus dalam dunia ini. Kristus adalah Raja di atas segala-galanya. Di mana
saja Kristus diterima dan diakui sebagai Raja, bukan hanya orang dibebaskan tapi seluruh
pola hidup diubah kutuk setan dan ketakutan kuasa bermusuhan terhadap manusia
dilenyapkan. Perubahan sebagai dampak agama Kristen dalam masyarakat animis,
membuktikan makna Kerajaan yang mencakup segala sesuatu. Kerajaan memasuki sejarah
dunia dengan berkat dan pembebasan, kuasa penyelamatan dan tirani berhala dan kuasa jahat
bermusuhan dengan manusia: tapi surga dan dunia baru, pemerintahan kemenangan, damai
sejahtera dan keselamatan riil, akan tercapai hanya melalui krisis terakhir dan universal.

BAB II

ISI

1.1. Arti dan Makna Kerajaan Sorga dalam Perjanjian Lama

Pada umumnya, para ahli setuju bahwa konsep kerajaan Allah yang berkembang
dalam Yudaisme bukan dalam makna area kekuasaan atau sebuah teritorial dengan seorang
raja yang memerintah di atasnya. Kata Ibrani untuk kerajaan adalah malkuth. C. H. Dodd,
seorang ahli Perjanjian Baru mengatakan bahwa malkuth merupakan kata benda abstrak yang
dapat berarti: kemerajaan, kuasa pemerintahan, pemerintahan atau kedaulatan. Secara
sederhana, ia mengartikan kerajaan Allah sebagai bertakhtanya Allah sebagai raja. 1 Dalam
Ulangan 17:14-20 berpandangan bahwa bagian ini menegaskan antisipasi YHWH akan
kemungkinan terbentuknya suatu bentuk pemerintahan monarki dalam umat. Dengan
demikian, YHWH tidak sepenuhnya menolak konsep raja-manusia, tetapi YHWH

1
C. H. Dodd, The Parables of the Kingdom (New York: Charles Scribner’s, 1961), 21.

1
menetapkan aturan main yang jelas, sebab kecenderungan terjadinya pelanggaran terhadap
ketetapan kerajaan imam yang telah dideklarasikan di Sinai sangat besar.2
2 Samuel 8:7, tatkala umat meminta seorang rajamanusia. Yang sebenarnya mereka
inginkan bukan sekadar seorang rajamanusia, tetapi lebih jauh mereka ingin
menginstitusionalisasi suatu kerajaan monarki baru yang ekslusif, yang pada akhirnya
mengizinkan pembangunan kekuatan militer, politik dan ekonomi yang kuat demi
kelanggengan eksistensi diri. Sikap ini tentu sama saja dengan menolak konsep kerajaan
imam yang telah dideklarasikan-Nya bagi mereka.3

1.2. Arti dan Makna Kerajaan Sorga dalam Perjanjian Baru

Sorga atau Kerajaan Sorga adalah kehidupan kekal yang dijanjikan Yesus kepada
orang-orang yang percaya kepada-Nya. Istilah "sorga" dipakai oleh penulis Alkitab menunjuk
pada tempat yang kudus di mana Allah saat ini berada. Kehidupan kekal, ciptaan yang
sempurna, tempat di mana Allah menghendaki untuk tinggal secara permanen dengan umat-
Nya (Wahyu 21:3). Tidak akan ada lagi pemisahan antara Allah dan manusia. Orang-orang
beriman sendiri akan hidup dengan kemuliaan, dibangkitkan dengan tubuh yang baru; tidak
akan ada penyakit, tidak ada kematian dan tidak ada air mata.

Beberapa prikop dalam Injil Lukas (Luk. 4:43; 8:1; 9:11) menunjukkan bahwa pokok
mengenai Kerajaan Sorga terlihat dalam pemberitaan Yesus. Istilah Basileia tou Theou
(Kerajaan Allah) terutama dipakai dalam Injil ini untuk menunjuk kepada campur tangan
Allah dalam sejarah manusia untuk mendirikan kerajaanNya. Jadi ungkapan Kerajaan sorga
dalam Injil Lukas lebih menekankan aksi atau tindakan Allah dari pada pemberitaan tentang
Kerajaan surga itu sendiri. Dalam perkataan lain, tekanan yang sangat kuat tentang Kerajaan
sorga itu terletak pada diri Yesus sebagai wakil Allah yang melaluiNya pemerintahan Allah
itu terwujudkan.4

Terhadap pemberitaan Kerajaan Allah oleh Yesus, C.H. Dodd berpendapat bahwa
Kerajaan sorga adalah suatu eskatologi yang secara penuh telah terwujud pada masa kini. 5
2
Ibid. 35.
3
Konteks bagian ini, di mana dua anak Samuel yang diharapkan menjadi pemimpin yang tangguh bagi mereka
ternyata gagal dalam moralitas (8:1-5) padahal di pihak lain Filistin terus merongrong ekstistensi bangsa ini
sejak masa hakim-hakim, tentu menjadi dasar kuat untuk mendukung asumsi ini. Lih. juga penafsiran P. Kyle
McCarter Jr. terhadap perikop ini dalam bukunya 1 Samuel (AB; New York: Doubleday, 1980) 159-160. Lih. juga
analisis Gerhard Von Rad yang menyatakan bahwa, “In Israel the monarchy arose under Philistine pressure”.
4
I. Howard Marshall, Luke-Historian & Theologian, (Great Britain: Paternoster Press,1997), 129
5
C.H. Dodd, The Parable of The Kingdom, (London: SCM Press, 1961), 38

2
Menurut Conzelmann berpendapat bahwa waktu pemenuhan itu merupakan suatu periode
yang berlangsung sebelum kedatangan Kerajaan Allah, suatu periode penuh pengharapan
tetapi belum waktunya Kerajaan Allah itu. Sedangkan menurut Marshall bahwa kerajaan itu
telah datang selama pelayanan Yesus, namun pemenuhannya masih di depan. Karena itu,
Yesus sendiri berbicara baik masa kini maupun masa depan kerajaan itu.6

1.3. Kerajaan Sorga menurut agama Katolik

Kitab Suci menyebut surga sebagai tempat kediaman Allah (1Raj 8:30; Mzm 2:4; Mrk
11:25; Mat 5:16; Luk 11:15; Why 21:2), tempat kediaman para malaikat (Kej 21:17; Luk
2:15; Ibr 12:22; Why 1:4), tempat kediaman Kristus (Mrk 16:19; Kis 1:9-11; Ef 4:10; Ibr
4:14), dan tempat kediaman orang-orang kudus (Mrk 10:21; Flp 3:20; Ibr 12:22-24). Kitab
Suci memakai gambaran-gambaran yang dapat ditangkap oleh manusia dengan pengalaman
hidupnya untuk menunjukkan kebahagiaan surgawi, antara lain digambarkan sebagai Firdaus
yang baru, kenisah surgawi, Yerusalem baru, tanah air sejati, Kerajaan Allah. Terlihat bahwa
surga lebih banyak digambarkan sebagai sebuah ”tempat”. Katekismus Gereja Katolik
(KGK) lebih menekankan gambaran surga sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba
sempurna jika dibandingkan dengan kehidupan manusia di dunia.

Surga adalah persekutuan kehidupan abadi yang bahagia, sempurna dan penuh cinta
bersama Allah Tritunggal Mahakudus, bersama Perawan Maria, para malaikat dan orang
kudus. Surga merupakan keadaan bahagia sempurna, tertinggi dan definitif yang merupakan
tujuan terakhir menjadi kerinduan terdalam manusia. Kita hidup dalam ketidaksempurnaan,
sedangkan gambaran surga memuat unsur-unsur yang serba sempurna: damai sempurna,
kasih sempurna, terang yang sempruna, kemuliaan dan kebahagiaan sempurna, persatuan
sempurna dengan Allah dan para kudusnya dalam kehidupan kekal. Santo Paulus mengatakan
dalam 1Kor 2:9: ”Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pemah didengar oleh
telinga, dan yang tidak pernah timbul dalam hati manusia: semuanya itu disediakan oleh
Allah untuk mereka yang mengasihi Dia”. ”Hidup di dalam surga berarti ’ada bersama
Kristus’. Kaum terpilih hidup ’di dalam Dia’, mempertahankan, atau lebih baik dikatakan,
menemukan identitasnya yang sebenarnya, namanya sendiri”.

Yang boleh masuk surga adalah orang yang mati dalam rahmat dan persahabatan
dengan Allah dan disucikan sepenuhnya. Mereka akan hidup bersama dengan Kristus selama-
6
I. Howard Marshall, Op.cit, hlm. 129

3
lamanya dan diperkenankan memandang Allah dalam keadaan yang sebenarnya (1Yoh 3:2)
dari muka ke muka. Memandang Allah dalam kemuliaan surgawi-Nya biasa disebut sebagai
”pandangan yang membahagiakan” (Visio beatifica). Paus Benediktus XII mewakili pendapat
Gereja Katolik menyatakan: ”Kami mendefinisikan, berkat wewenang apostolik, bahwa
menurut penetapan Allah yang umum, jiwa-jiwa semua orang kudus … dan umat beriman
yang lain, yang mati sesudah menerima Pembaptisan suci Kristus, kalau mereka memang
tidak memerlukan suatu penyucian ketika mereka mati, … atau, kalaupun ada sesuatu yang
harus disucikan atau akan disucikan, ketika mereka disucikan setelah mati, … sudah sebelum
mereka mengenakan kembali tubuhnya dan sebelum pengadilan umum, sesudah Kenaikan
Tuhan, dan Penyelamat kita Yesus Kristus ke surga sudah berada dan akan berada di surga,
dalam Kerajaan surga dan firdaus surgawi bersama Kristus, sudah bergabung pada
persekutuan para malaikat yang kudus, dan sesudah penderitaan dan kematian Tuhan kita
Yesus Kristus, jiwa-jiwa ini sudah melihat dan sungguh melihat hakikat ilahi dengan suatu
pandangan langsung, dan bahkan dari muka ke muka, tanpa perantaraan makhluk apa pun”.

Konsili Vatikan II dalam konstitusi dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium art. 49)
mengatakan bahwa persatuan antara kita yang masih berada di dunia dengan para kudus di
surga tidak terputus bahkan semakin diteguhkan. Mereka yang telah bersatu dengan Kristus
membantu penyempurnaan hidup para anggota Gereja di dunia, menjadi perantara doa bagi
kita. Sebagai saudara dalam Kristus, para kudus di surga membantu kita yang masih ada
dalam kelemahan. Yesus mengalami kematian dan kebangkitan bukan untuk diri-Nya sendiri
tetapi demi seluruh umat manusia. Dengan kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus telah
”membuka” pintu surga bagi kita. Karunia hidup surgawi bagi umat manusia adalah buah
penebusan Kristus. Dia mengundang semua umat manusia yang percaya dan setia pada-Nya
untuk mengambil bagian dalam kemuliaan surgawi, di mana semuanya hidup bersatu dalam
kebahagiaan dan kehidupan sejati dengan Dia. Dengan demikian, peran Yesus Kristus yang
telah wafat dan bangkit adalah sebagai penyelamat sekaligus sebagai pengantara keselamatan
bagi seluruh umat manusia.7

1.4. Kerajaan Sorga Menurut Para Tokoh Protestan

7
R. Hardawiyana, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta : Obor, 1998), 125.

4
Martin Luther, Zwingli dan Calvin adalah tokoh-tokoh dalam reformasi gereja.
Dikatakan sebagai tokoh reformasi, karena mereka mengkritik dan mereformasi ajaran gereja
Katolik Roma pada masa itu. Dikemudian hari, mereka juga menyebut gereja mereka “yang
direformasikan”. Antara aliran yang berkaitan erat dengan Martin Luther (1483-1546) di
Wittenberg dengan aliran yang berkaitan erat dengan Ulrich Zwingli (1484-1531) di kota
Zurich, Swis yang di dalamnya juga termasuk Johannes Calvin (1509-1564). Martin Luther,
Ulrich Zwingli dan Johannes Calvin merupakan tokoh-tokoh reformasi yang mengkritik
gereja Kalolik Roma pada masa itu, di mana terjadi krisis kepausan pada akhir abad
pertengahan, yang juga berkaitan dengan krisis rohani yang dialami oleh anggota-anggota
gereja.

Luther, Zwingli dan Calvin dalam teologinya berpandangan bahwa kebenaran ilahi
harus dicari dalam Alkitab, bukan dalam ajaran gereja sebagaimana yang banyak dirumuskan
oleh gereja Katolik Roma, dan bahwa keselamatan semata-mata hanya oleh anugerah Allah
melalui Yesus Kristus yang mati di kayu salib, dibangkitkan, dan naik ke surga untuk
menebus dosa-dosa manusia. Baik Luther, Zwingli dan Calvin memahami bahwa pelayanan
sakramen gereja tidak dapat menyelamatkan. Karena dalam teologi Luther, Zwingli dan
Calvin hanya Alkitab yang merupakan sumber kebenaran ilahi. Maka pemberitaan firman
(khotbah) menjadi titik sentral dalam ibadah, dibandingkan dengan sakramen yang dianggap
sangat penting dalam gereja Katolik Roma.

1.5. Gereja sebagai Gambaran Kerajaan Surga/Kerajaan Allah

Ketika Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus mulai memberitakan Injil, mereka
berkata: ”Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2; 4:17). Akan tetapi Mrk
1:15 Tuhan Yesus berkata: ”Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah
dan percayalah kepada Injil!”. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ungkapan ”Kerajaan
Sorga” adalah sama dengan ungkapan ”Kerajaan Sorga”. Isi harapan akan kedatangan
kerajaan Allah dalam kesempurnaannya itu biasanya diungkapkan dalam bentuk kebangsaan
Israel, sebagai umpamanya, bahwa Israel akan dibangun kembali sebagai bangsa, TUHAN
akan bertakhta di Yerusalem, para musuh Israel akan dibinasakan, dan lain sebagainya.
Selain daripada itu kedatangan kerajaan Allah yang secara sempurna itu dihubungkan dengan
kedatangan Mesias. Kemuliaan kerajaan Allah tadi bertindih tepat dengan kemuliaan
kerajaan perdamaian Mesias.

5
Seperti yang telah dikemukakan di atas, ketika Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus
memulai pekerjaan mereka, mereka memberitakan, bahwa kerajaan sorga telah dekat. Di
dalam pemberitaan tadi kerajaan Allah disebut kerajaan sorga, untuk menunjukkan bahwa
kerajaan itu berasal dari sorga, dari atas, diperintah dari atas. Kerajaan sorga juga dapat
disebut kerajaan Kristus, atau kerajaan Mesias, yaitu selama Kristus masih harus
menyelesaikan karya penyelamatanNya. Kelak, jikalau karya penyelamatan Kristus itu telah
selesai, kerajaan ini akan diserahkan kepada Allah Bapa (1 Kor 15:24).8

1.6. Hubungan Gereja dengan Kerajaan sorga

Sekarang harus diteliti hubungan khusus antara kerajaan itu dan gereja, dengan menerima
bahwa kumpulan murid-murid Yesus sebagai cikal bakal gereja, atau gereja itu sendiri.
Dalam idiom alkitabiah, kerajaan itu tidak diidentifikasikan dengan subyeknya. Mereka
adalah umat pemerintahan Allah yang memasukinya, hidup di dalamnya, dan diperintah
olehnya. Gereja adalah masyarakat kerajaan itu, tetapi bukan kerajaan itu sendiri. Murid-
murid Yesus adalah milik kerajaan itu sebagaimana kerajaan itu adalah milik mereka, tetapi
mereka bukan kerajaan itu. Kerajaan adalah pemerintahan Allah, sedangkan gereja adalah
masyarakat manusia.9

Tiap orang yang mengakui Tuhan Allah sebagai Rajanya, ia adalah rakyat kerajaan sorga.
Oleh karena itu maka gereja atau jemaat Allah dapat dirumuskan sebagai umat Allah atau
persekutuan rakyat kerajaan sorga, yang dengan perantaraan Injil dan sakramen kudus, telah
dikumpulkan oleh Kristus dari segala bangsa, untuk dijadikan tubuhNya yang dikepalaiNya
sendiri. Perbedaan antara kerajaan Sorga dan gereja dapat dikatakan demikian: kerajaan sorga
adalah karya Allah yang besar dan mulia untuk memenuhi dan menyelesaikan janjiNya
tentang keselamatan di dalam Kristus, sedang gereja adalah umat yang telah dipilih dan
dipanggil oleh Tuhan Allah untuk mendapat bagian dari keselamatan yang terkandung di
dalam kerajaan sorga. Berhubung dengan itu maka yang direalisasikan terlebih dahulu adalah
kerajaan sorga, setelah itu gereja. Kerajaan sorga menjadi tujuan terakhir dari seluruh sejarah
dunia ini. Kerajaan sorga tadi mendatangkan karunia sera hukuman, mencakup segala zaman.
Sebaliknya gereja adalah umat, yang karena pilihan serta janji-janji Tuhan Allah di dalam
Kristus dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang besar serta mulia. Jadi dapat dikatakan,

8
R.N. Flew, Jesus His Church (1943) dikutip dalam George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru: Jilid 1,
(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), hlm. 145.
9
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2009), hlm. 366.

6
bahwa kerajaan sorga memang diungkapkan di dalam gereja. Sebab di dalam gereja itu
diungkapkan bahwa kerajaan sorga memberi kelepasan serta keselamatan. Sekalipun
demikian gereja tidak boleh diidentikkan dengan kerajaan sorga. Gereja adalah buah
penyataan kerajaan sorga. Gereja adalah persekutuan para orang yang menanti-nantikan
keselamatan yang terkandung di dalam kerajaan sorga, serta tempat para orang menerima
karunia serta daya kuasa kerajaan sorga itu. Selain daripada itu gereja adalah juga
persekutuan para orang yang terpanggil untuk menjadi sarana berkembangnya kerajaan sorga
dengan perantaraan pengakuan mengenai Kristus, serta dengan perantaraan ketaatan mereka
terhadap peraturan-peraturan dan undang-undang kerajaan, apalagi dengan perantaraan
pemasyhuran Injil kerajaan itu kepada seluruh dunia. Demikianlah hubungan antara kerajaan
sorga dan gereja.10

2. Tanggapan Dogmatis Tentang Kerajaan Sorga/ Kerajaan Allah

Melalui Injil Sosial, Rauschenbusch ingin kembali menempatkan doktrin Kerajaan


Allah sebagai pusat dari teologi. Seluruh doktrin yang lain haruslah diinterpretasikan (ulang)
di bawah terang doktrin ini. Tulisan ini mencoba melihat apa dan bagaimana karakteristik
doktrin Kerajaan Allah menurut Rauschenbusch, latar belakang filsafat di balik pemikiran
Rauschenbusch, dan implikasinya terhadap doktrin Kerajaan Allah, doktrin dosa dan doktrin
keselamatan. Setelah itu akan diberikan kajian terhadap pemikiran Rauschenbusch dari sudut
pandang teologi Injili. Menurut Rauschenbusch, Kerajaan Allah merupakan suatu doktrin
yang semestinya menjadi sentral dari sebuah sistem teologi. Para nabi Perjanjian Lama
sampai dengan masa Yohanes Pembaptis pun selalu memberikan tekanan pada tema Kerajaan
Allah. Yesus pun selalu berbicara tentang Kerajaan Allah. 11

Dalam perkembangan sejarah, nama dan ide tentang gereja mulai mendominasi,
sementara nama dan ide tentang Kerajaan Allah ternyata “tenggelam.” Hal ini terjadi karena
10
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 369-370.
11
Pokok-pokok pikiran Rauchenbusch dituangkan dalam tiga buku, yaitu Christianity and the Social Crisis
(1907) yang memberi penekanan pada panggilan untuk mengaplikasikan iman dalam kehidupan sehari-hari.
Buku keduanya adalah Christianizing the Social Order (1913) yang mengecam kapitalisme yang pada waktu itu
tengah merajalela dan mengorbankan manusia untuk perdagangan semata-mata. Buku yang terakhir
ditulisnya adalah masterpiece-nya, yaitu A Theology for the Social Gospel (1917) yang mencoba memberikan
suatu pemaparan yang sistematik tentang Injil Sosial. Oleh karena tulisan-tulisan inilah, Walter Rauschebusch
seringkali disebut sebagai “bapak” dari Injil Sosial (Lih. Mark A. Noll, “Rauschenbusch, Walter” dalam
Evangelical Dictionary of Theology [EDT] [Gen. Ed. Walter L.Elwell; Grand Rapids; Baker, 1984] 912-913).

7
teologi mulai kehilangan kontak dengan Injil Sinoptik, yang banyak memberikan penekanan
pada berita tentang Kerajaan Allah. Bahkan pada zaman reformasi, gereja pun tidak
membawa pengaruh yang besar untuk mengangkat doktrin Kerajaan Allah. Reformasi gereja
hanya membawa pengaruh dalam pemahaman secara eskatologis tentang Kerajaan Allah.
Menurut Rauschenbusch, sudah semestinya doktrin Kerajaan Allah mulai menempati posisi
sentral dalam teologi Kristen. Kerajaan Allahlah berita utama dari Yesus Kristus. Oleh karena
itu, dengan menempatkan doktrin Kerajaan Allah sebagai sentral dari teologi, maka akan
didapatkan suatu sistem teologi yang berdasar dan sesuai dengan Kitab Suci.12

Kerajaan Allah tidak terbatasi oleh waktu, karena Allah sendiri, yang hadir dalam
kerajaan itu juga tidak terbatasi oleh waktu. Kerajaan Allah bersifat kekinian sekaligus
keakanan. Tetapi aspek keakanan dari Kerajaan Allah merupakan rahasia Allah. Oleh karena
itu segala penafsiran tentang aspek keakanan Kerajaan Allah, yang tidak membawa makna
bagi masa kini, haruslah ditinggalkan. Karakteristik yang kedua adalah sifat ilahi dan
progresif. Kerajaan Allah bersifat ilahi, progresif dan nyata. Kerajaan inilah yang dilihat oleh
orang-orang kudus Perjanjian Lama sebagai puncak rencana Allah atas dunia ini. Di dalam
Kerajaan Allah inilah tindakan penyelamatan Allah membebaskan manusia dari keegoisan
dan ketidakmampuan secara moral. Karakteristik yang ketiga adalah sifat komunal. Kerajaan
Allah tidak berkaitan dengan Allah saja. Kerajaan Allah berkaitan juga dengan sesama
manusia. Setelah karya keselamatan Allah yang membebaskan manusia dari keegoisan dan
ketidakmampuan secara moral, manusia bersama-sama dengan manusia lain, akan
mewujudkan kerajaan di dalam kehidupan.13

Gereja adalah persekutuan untuk penyembahan, sementara Kerajaan Allah adalah


persekutuan kebenaran. Kerajaan Allah sebagai persekutuan kebenaran akan ditingkatkan
dengan penghapusan industri perbudakan dan lenyapnya perkampungan kumuh, dan gereja
hanyalah hasil yang tidak langsung dari perubahan sosial itu. Kerajaan Allah adalah satu-
satunya alasan utama kehadiran gereja di dunia. Gereja sudah semestinya mewujudkan misi
Kerajaan Allah, yaitu menciptakan suatu tatanan kehidupan yang baik dan teratur sesuai
dengan satu hukum etika, yaitu kasih. Sementara Kerajaan Allah tidaklah dibatasi oleh gereja
dan segala aktivitasnya. Kerajaan Allah dapat bekerja melalui institusi-institusi sosial,
keluarga dan pemerintah. Akibat pola pemikiran di atas, yaitu penempatan doktrin Kerajaan
12
Walter Rauschenbusch, A Theology for the Social Gospel (Nashville: Abingdon, 1987) 131.

13
Ibid. 142.

8
Allah yang dipahami dalam arti etis, penafsiran Rauschenbusch terhadap doktrin-doktrin
yang lain menjadi berbeda sama sekali. Ia menafsirkan (ulang) doktrin-doktrin lain seperti
doktrin dosa dan keselamatan di bawah terang doktrin Kerajaan Allah. Rauschenbusch
melihat dosa sebagai penghalang bagi terciptanya suatu persekutuan kebenaran dan keadilan
di antara umat manusia. Dosa adalah pikiran-pikiran yang bersifat asosial ataupun yang
melawan tatanan sosial.14

Kerajaan Allah bukanlah soal keadilan sosial, tetapi soal penebusan dan pembebasan
dari dosa. Hal ini menegaskan keyakinan bahwa terwujudnya Kerajaan Allah adalah semata-
mata tindakan Allah sendiri. Seperti yang dinyatakan dalam Mat. 24:34 bahwa pada saat
konsumasi final dari Kerajaan Allah, orang percaya akan menerima (bukan mewujudkan)
kerajaan itu.15

Pemikiran teologis tentang Kerajaan Surga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan
bermacam-macam kecenderungan dalam sejarah pemikinan teologis. Ahli teologi Roma
Katolik sering mengikuti Agustinus dan menyamakan Kerajaan Allah dengan gereja di dunia.
Melalui hierarki gereja, Kristus diwujudkan sebagai Raja Kerajaan Allah, ruang
lingkup Kerajaan adalah sama dengan batas kekuatan dan kekuasaan gereja di dunia,
Kerajaan diperluas melalui misi dan perkembangan gereja di dunia. Dalam perlawanannya
terhadap hierarki Roma Katolik, para reformator menekankan makna rohani dan tidak
terlihatnya Kerajaan itu, dan cenderung (secara salah) mengutip Lukas 17:20 dan ayat-ayat
berikutnya untuk mendukung pendapat itu. Mereka bilang, Kerajaan Surga ialah kedaulatan
rohani yang diberlakukan Kristus melalui pemberitaan firman-Nya dan karya Roh Kudus.
Gerakan reformasi tidak melupakan segi Kerajaan sebagai rencana penyelamatan sejarah, tapi
di bawah pengaruh gerakan Pencerahan dan Pietisme Kerajaan diartikan secana individu
sebagai kedaulatan kasih karunia dan damai dalam hati manusia. Dalam teologi liberal
terutama di bawah pengaruh Kant, pandangan ini dikembangkan secara moralistis, sehingga
Kerajaan disamakan dengan tersebarnya damai, kasih dan kebenaran.

Dalam lingkungan pietis dan heberapa sekte, pengharapan akan kedatangan Kerajaan
kelak tetap dipegang tapi tanpa melihat arti positif dari Kerajaan itu bagi hidup di dunia ini.
Berlawanan dengan pengertian dualistis Kerajaan itu, timbul tafsiran sosial tentang Kerajaan

14
Ibid. 162.
15
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 34; Ridderbos, The Coming of The Kingdom, (Philadelphia: Presbyterian and
Reformed, 1962), hal 250.

9
menekankan hanya makna riil dan komunalnya. Pengertian ini menimbulkan pandangan
radikalisme sosial dan menimbulkan juga pengertian evolusioner tentang perkembangan.
Bertentangan dengan tafsiran Kerajaan yang bersifat merohanikan, moralistis dan
evolusionen, maka masa kini ahli Perjanjian Baru kembali lagi menekankan makna asli
Kerajaan dalam pemberitaan Yesus, makna yang berhubungan erat dengan sejarah
keselamatan dan eskatologi. Beberapa ahli menafsirkan segi eskatologis Kerajaan secana
ekstrim, sehingga peluang menembusi dunia sekarang terlupakan. Tapi akhir-akhir ini makna
Kerajaan Allah untuk masa kini lebih diperhatikan. Makna tersebut dibawa dalam perspektif
sejarah keselamatan, yaitu gerak maju pekerjaan dinamis dari Allah dalam sejarah, dengan
penggenapan akhir sebagai tujuannya.16

BAB III

PENUTUP

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Kerajaan Surga/ Kerajaan Allah bukan
berbicara suatu wilayah dengan batas-batasnya yang jelas, melainkan menggambarkan

16
Caird and George, "The New Bible Dictionary", (Inter-Varsity Press: England,1988), hal 254-260.

10
kedaulatan dan pemerintahan Allah yang berlaku secara penuh dalam sejarah manusia.
Melalui pemaparan diatas kita dapat merefleksikan bagi kehidupan kita bahwa keselamatan
sudah diberikan Yesus kepada kita terlihat dalam hidup, kematian dan kebangkitanNya.
Keselamatan yang sudah kita terima harus dijaga, dan kita harus memiliki pengaharapan
kepada Yesus melalui kedatanganNya kedua kali dalam Kerajaan Allah. Pengharapan akan
kedatangan KerajaanNya harus ditunjukkan dengan ketaatan kita kepadaNya. Seperti
pemaparan diatas kita diajak untuk “berjaga-jaga”, sebab kita tahu bahwa pasti akan datang
KerajaanNya walaupun kita tidak dapat memastikan kapan kedatangan Kerajaan itu. Selain
itu kita juga diajak untuk melaksanakan pertobatan yang sebenar-benarnya sehingga kita
dapat menjadi bagian dalam pemenuhan Kerajaan Allah yang akan datang. Kita menjadi
pelaksana firmanNya bukan hanya pendengar firmanNya, sebab dalam Injil Lukas mengenai
aksi adalah bagian penting dalam menyambut Kerajaan Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Howard Marshall,
1997 Luke-Historian & Theologian, Great Britain: Paternoster Press.

C.H. Dodd,

11
1961 The Parable of The Kingdom, London: SCM Press.

R. Hardawiyana, SJ,
1998 Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta : Obor

R.N. Flew, Jesus His Church (1943) dikutip dalam George Eldon Ladd,
2002 Teologi Perjanjian Baru: Jilid 1, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Harun Hadiwijono,
2009 Iman Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,), hlm. 366.

Guthrie,
1962 Teologi Perjanjian Baru 34; Ridderbos, The Coming of The Kingdom,
Philadelphia: Presbyterian and Reformed.

Caird and George,

1988 "The New Bible Dictionary", Inter-Varsity Press: England.

12

Anda mungkin juga menyukai