Anda di halaman 1dari 5

Untuk lebih mendalami lagi pentingnya KPKC, sambil menyadari tantangan halangan-halangan nyata di

atas, marilah melihat secara lebih khusus landasan rohaninya (spiritualitas yang menjelma). [Uraian
berikut ini diringkas dari John Fuellenbach, SVD, Throw Fire (Manila: Society of the Divine Word, 1998,
hal. 193-218)]

Kotbah dan perbuatan Yesus berpusat di sekitar Kerajaan Allah. Lukisan Kitab Suci yang paling baik
menggambarkan KA yang diberikan oleh Paulus: “Sebab Kerajaan Allah soal makanan dan minuman,
tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan kabar dari Roh Kudus” (Rm 14:17). [Kata 'kebenaran' di
dalam terjemahan Indonesia ini adalah kata untuk 'keadilan' / 'keadilan' misalnya di dalam The New
American Bible]. Ungkapan ini punya kesejajaran dengan perkataan Yesus: “Janganlah kuatir akan apa
yang akan kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula… .Tetapi terlebih dahulu Kerajaan Allah”
(bdk. Mt 6: 25-33 dan Lk 12: 22-31). Yesus berkata: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu…
Kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan” (Mt 11: 29-30).

Kutipan Paulus mencakup karunia-karunia pribadi, batiniah, rohaniah seperti misalnya dibenarkan di
hadapan Allah, damai di dalam pikiran dan hati karena pengampunan atas dosa-dosa. Namun lebih dari
itu, damai berarti terutama, keamanan tatanan sosial, dilawankan dengan perang; keadilan berarti dan
kebenaran di dalam hubungan sosial; dan damai merupakan rahmat yang dibawa oleh oleh oleh
keadilan (bdk. B. Viviano, The Kingdom of God in History, hal. 8). “Mencari Kerajaan Allah” dan “memikul
kuk” berarti mengabdikan diri demi Kerajaan itu dengan menghidupi nilai-nilai keadilan, damai dan
bahagia. Nilai-nilai ini bukan saja perasaan, melainkan hanya yang harus diwujudkan di dunia ini. Ketiga
hal inilah nilai-nilai dasar Kerajaan Allah.

Keadilam di dalam Perjanjian Lama

Terjemahan yang paling tepat untuk keadilan menurut Kitab Suci adalah HUBUNGAN-HUBUNGAN YANG
BENAR atau lebih baik lagi HUBUNGAN-HUBUNGAN YANG MENGHIDUPKAN. Hubungan ini mencakup:
dengan Allah, diri sendiri, tetangga baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian masyarakat, dan total
ciptaan.

Kata-kata Ibrani sedeq, mishpat, dan sedaqah bersama dengan hesed dan emeth berkenaan dengan
hubungan sosial dan pembelaan terhadap orang lemah dan korban, dengan kaum tertindas. Semuanya
ini sangat penting di dalam sikap dan tingkah laku orang Israel serta mencerminkan siapa Allah, yakni
perangkat lunak orang lemah dan membebaskan mereka dari para penindas. Allah Kitab Suci adalah
Allah yang peduli dengan hubungan-hubungan sosial serta cara hubungan itu dilembagakan di Israel.

Walter Brueggemann melukiskan: “Keadilan adalah memeriksa hal-hal apa yang menjadi bagian
seseorang dan memberikan itu kepadanya. Disini diatur pembagian barang secara benar dan hak atas
sumber-sumber yang dibutuhkan untuk hidup. Ada hal yang tidak dapat ditawar. Memang di dalam
rekayasa yang tidak seimbang di dalam proses sejarah, ada orang yang merampas dan menguasai hal-hal
yang menjadi milik orang lain. Kalau kita cukup lama menguasai milik orang lain, kita berpikir bahwa hal
itu adalah benar milik kita, dan kita lupa bahwa itu sebenarnya milik seseorang yang lain. Oleh karena itu
penebusan, penyelamatan adalah pekerjaan untuk 'memberikan kembali'. Menurut Kitab Suci kalau
terjadi perampasan milik, akan timbul masalah, kekacauan dan kematian. Maka keadilan Allah semenjak
awal mempunyai unsur dinamis dan transformatip.

Keadilan adalah mempersembahkan; manusia tidak dapat memahaminya dari diri sendiri. Hanya Allah
yang adil dan ukuran entah kita adil adalah sejauh mana kita terbuka kepada Allah dan mengenal Dia:
“mengenal Allah berarti melakukan keadilan” (bdk. Yer 22:16). Hanya orang yang membuka diri
terhadap Kerajaan Allah dan membiarkan dayanya yang “menghidupkan” itu meresapi dirinya dapat
tahu dengan sebenarnya arti dari hubungan-hubungan yang benar.

Keadilan dan ibadat di dalam Perjanjian Lama

Di dalam PL keadilan syringe dengan ibadat. “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak? firman
Tuhan; “Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan lemak dari anak lembu
gemukan… Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan
bagi-Ku. Kalau kamu bulan baru dan sabat atau adakan pertemuan-pertemuan… .Aku benci melihatnya…
belajarlah baik-baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim,
perjuangkanlah perkara janda-janda ”(Ya 1: 11-17). Keadilan terhadap sesama adalah tanggungjawab
kemanusiaan yang utama dan terpenting, bahkan di atas kewajiban ibadat. Tidak ada doa, kesalehan,

Keadilan di dalam Perjanjian Baru

Di dalam PB paham tentang keadilan yang menghukum dengan tema Kerajaan Allah dimana keadilan
sebagai hubungan yang menghidupkan. Yesus mengalami Allah sebagai Bapa yang murah hati dan maha
cinta. “Hukum murah hati” dari Lk 6: 27-36 (“Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah
murah hati”) menggantikan “hukum kekudusan” dari Im 19: 2 (“Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan,
Allahmu, kudus ”) Sebagai norma sikap dan tingkahlaku keagamaan (bdk. Lk 10: 30-37: Dengan
melewatkan si korban imam itu murni secara ritual dan dia melaksanakan perintah hukum. Akan tetapi
Yesus menyatakan bahwa kemurahan hatilah yang berkenan pada Allah, bukan kekudusan yang tidak
mengindahkan kemurahan hati manusiawi).

Yesus mengerti bahwa Dia diutus untuk mengatur Perjanjian, memaklumkan Kerajaan. Dia menunjukkan
bahwa Kerajaan Allah adalah mencipta suatu persekutuan yang baru di mana semua orang menjadi
saudara dan saudari, tidak ada lagi marjinalisasi, sebaliknya semua berkumpul di dalam satu keluarga
besar yang terdiri dari orang-orang yang dicipta seturut gambaran dan rupa Allah. Kerajaan Allah
terbuka bagi setiap orang, mengatasi semua batasan-batasan, menjangkau semua orang dengan
mencipta hubungan-hubungan yang menghidupkan serta merangkul setiap orang dengan cinta dan
kemurahan hati, orang yang benar atau pendosa yang membutuhkan kasih pengampunan dari Allah.
Jadi, keadilan adalah paham kunci bagi Yesus untuk memahami seluruh hidup dan pelayanan-Nya.
Yang menjadi keputusan para murid adalah juga: pergi ke seluruh dunia dan mengumpulkan orang dari
semua bangsa, suku dan budaya ke dalam keluarga besar Allah, membangun keadilan Allah di bumi
(bdk. Mt 19:28; “Kedatangan Allah untuk menghakimi [Yunani krinein] bangsa-bangsa ”berarti bahwa
Dia akan membangun keadilan di tengah-tengah umat-Nya dan melalui mereka di antara semua bangsa;
Dia akan memberikan kepada dunia keadilan dan perdamaian yang baru. Inilah perutusan dasar para
murid / Gereja. “Menjadi murid berarti kaki di jejak kaki Yesus, dan di dalam kuasa Roh, melanjutkan
perutusan untuk memaklumkan dan menunjukkan tanda-tanda datangnya Kerajaan Allah itu secara
nyata sepanjang sejarah. Bersama-sama sebagai Gereja, persekutuan para murid yang dipanggil secara
istimewa menjadi 'alat' Kerajaan Allah di dalam sejarah.

Keadilan dan keutuhan ciptaan

Pokok mengenai keadilan, yang sebagai hubungan yang menghidupkan, juga mencakup hubungan kita
dengan alam. Kita tidak dapat menjadi manusiawi dan benar-benar manusiawi jika kita tidak
mengembangkan hubungan kita dengan alam sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kerajaan itu, yang
hadir sekarang disini, menuntut dari kita yang menyatakan diri murid Yesus hubungan yang
menghidupkan dengan alam.

Dari sudut pandang Kitab Suci, ciptaan adalah bagian dari tatanan moral yang tidak dapat diabaikan.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan itu simbiotik - saling mendukung, saling tergantung, hidup
bersama - bukan parasit terhadapnya. “Keselamatan berkenaan dengan penyembuhan dan, sama
seperti kosmos sendiri dapat dirusak dan dicabik-cabik oleh ketidakadilan, demikian pula kosmos itu
dapat disembuhkan oleh usaha manusia untuk membawa damai, yakni keseimbangan, kembali ke
hubungan manusia dengan tanah, udara, api, air, dan satu sama lain ”(Fox mengutipnya di dalam
Earthspirit, hal.49).

Damai

Damai adalah yang menyusul dimana keadilan meraja. Tidak mungkin ada damai tanpa keadilan. Damai
terkait dengan empat hubungan dasar kita: dengan Allah, diri kita sendiri, sesama dan alam. Damai
adalah mempersembahkan dari Allah, bukan sesuatu yang dapat kita hasilkan sendiri.

Damai di dalam Perjanjian Lama

Untuk memahami di dalam PL kita menggunakan kata “shalom” yang menunjuk kepada keutuhan,
kesehatan dan kesejahteraan sempurna. Di dalam alam pikiran Yunani damai berarti tidak ada perang.
Di dalam alam pikiran lawan dari shalom bukan perang melainkan ketidakadilan (bdk. H. Hendrickx,
Peace, Anyone ?, hal. 10).
Paham mengenai shalom di dalam PL bisnis dengan sangat baik pada sebuah teks yang ditulis dua kali, di
dalam Mika dan Yesaya. … Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-
tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan
mereka tidak akan belajar lagi perang. Tetapi mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon
anggurnya dan di bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan, sebab mulut Tuhan
semesta alam yang mengatakannya (Mi 4: 3-4; lih. Yes 2: 4).

Mika memberikan gambaran keadaan bila para bangsa tunduk kepada Kerajaan Allah, dengan dua
perubahan mendasar: (1) tidak akan ada lagi perang atau latihan perang dan tidak ada lagi pabrik alat
perang; (2) kembali ke cara hidup sederhana dan damai, yang tidak cemas akan penumpukan terus-
menerus melainkan memupuk hubungan antar pribadi. Damai yang digambarkan disini menuntut
perubahan prioritas dimana ketamakan dan eksploitasi berakhir dan disimpan oleh tatanan hidup sosial
yang sama sekali baru. (NB dua hal besar yang menggoda manusia semenjak awal teristimewa pada
zaman kita: mentalitas perang dan mentalitas konsumer).

Ya 65: 20-23 memberikan gambaran lain kalau manusia melaksanakan damai Kerajaan Allah. Allah
merindukan bahwa tidak ada bayi yang akan mati, bahwa orang tua akan hidup layak, dan mereka yang
bekerja akan menikmati hasil pekerjaannya. Teks ini bukan berbicara mengenai hal-hal yang paling
menyenangkan hati Allah seperti orang yang sempurna berkembang dan bahagia, melainkan mengenai
hal-hal sederhana di dalam hidup manusia kini dan disini. Dan untuk mencapai hal itu masing-masing
orang dapat memberikan sumbangan dalam hubungan antar mereka, sehingga Kerajaan Allah itu tinggal
di tengah-tengah mereka. Inilah yang berkenan pada Allah.

Damai di dalam Perjanjian Baru

Bagi Yesus damai berarti keutuhan, mencakup unsur-unsur badani, sosial dan rohani. Waktu Yesus
menyembuhkan seseorang Dia berkata, “Pergilah dalam damai” (Mrk 5:34; Luk 8:48). Penyembuhan ini
bukan hanya badaniah melainkan juga sosial; orangnya dipersatukan kembali ke dalam masyarakat (Lk
8:48; Lk 7:50).

Damai sebagai hubungan yang benar dengan Allah atau dengan Kristus dekat dengan pendamaian dan
harmoni. Allah bertindak untuk memasukkan manusia kembali di dalam hubungan yang benar dengan
diri-Nya (Rm 5: 1; Kis 10: 10:36). Damai sebagai hubungan yang baik antara manusia adalah perluasan
logis dan alamiah dari pengertian tentang damai tsb. Hubungan yang benar dengan Allah harus
membawa hubungan yang baik di antara sesama manusia. Hidup di dalam damai berarti, secara positip,
hidup di dalam harmoni, dan secara negatip, menghindarkan tindakan yang mengakibatkan ketidak
harmonisan atau perselisihan (Mrk 9:50; 2Kor 13:11; Kol 3:15).

Damai yang diperoleh Yesus bagi kita melalui sengsara dan kematianNya, serta yang Dia tinggalkan dan
berikan bagi kita (Yo 14:27) memasukkan kita ke dalam hubungan yang benar dengan Allah dan sesama.
Kita lalu mengalami damai dalam batin dan pikiran, ketenangan dan ketenteraman. Damai sejahtera
Kutinggalkan bagimu. Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu ”(Yo 14:27). “Semuanya itu Kukatakan
kepadamu, kelola kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku” (Yo 16:33). Yesus membawa ke dunia ini
pendamaian dunia dengan Allah, damai eskatologis (Yo 20:19, 21, 26). Oleh karena itu, hal-hal yang
berkenaan dengan Kerajaan berkenaan dengan damai.

Di dalam Roh Kudus

Karena Kerajaan di dunia ini adalah antisipasi dari Surga baru dan Dunia baru, maka hanya Roh Kudus
yang dapat membawa Kerajaan itu. Sedangkan kita hanya dapat menerima pemberian Kerajaan itu
sebagai "rasa pendahuluan" atau "pertanda" dari yang akan datang. Setiap orang yang membuka dirinya
terhadap kehadiran Kerajaan itu sekarang akan menerima menerima tsb. Ukuran apakah seseorang
menerima Kerajaan itu di dalam dirinya, dan sejauh mana dia menerimanya, adalah sejauh mana
orangnya memberikan diri untuk membawa dan membangun keadilan, damai dan kenikmatan.

Anda mungkin juga menyukai