Anda di halaman 1dari 12

 

Pengantar

            Merupakan sebuah aksioma bahwa salah satu tanda zaman kita
dewasa ini adalah maraknya ketidakadilan. Ketidakadilan itu berciri
mondial dan terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan, sosio-
religius, politik, budaya dan bahkan ketidakadilan ekologis. Realita itu
semakin mudah dilihat tatkala ada kelompok aliran kepercayaan dan
agama minoritas memperjungkan keadilan atas eksistensi dan ekspresi
religiositas mereka. Hal senada juga nampak ketika kaum perempuan
memperjuangkan keadilan dalam budaya patriarkal yang cenderung
mensubordinasi mereka; masyarakat adat memperjuangkan hak mereka
untuk diakui oleh pemerintah; kaum buruh yang berdemonstrasi untuk
memperoleh undang-undang, upah, waktu dan iklim kerja yang adil;
bahkan di tengah krisis lingkungan hidup yang kian dasyat saat ini, para
pejuang lingkungan hidup menyerukan perlu dan mendesaknya keadilan
yang berdimensi ekologis.

            Berhadapan dengan realitas ketidakadilan itu, dibutuhkan


kepekaan, solidaritas dan kerja sama semua pihak. Gereja Katolik sudah
lama menyadari ketidakadilan itu dan menyatakan komitmennya untuk
memperjuangkan keadilan demi menyingkirkan ketidakadilan. Komitmen
itu nampak jelas dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik. Melalui Dokumen
Sinode para uskup tahun 1971 Iustitia in Mundo (Keadilan dalam Dunia)
ditegaskan bahwa, “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam
perombakan dunia bagi kami nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki
pewartaan Injil, atau, dengan kata lain, perutusan Gereja demi penebusan
umat manusia serta pembebasannya dari tiap situasi penindasan” (IM
art.6). Sangat jelas di sini bahwa bagi Gereja Katolik, memperjuangkan
keadilan merupakan aspek yang hakiki atau sebagai dimensi konstitutif
yang harus menjadi ciri Gereja sendiri dan yang harus diwartakan kepada
dunia dewasa ini yang sarat dengan ketidakadilan.

            Pertanyaan-pertanyaan penting yang harus diajukan di sini adalah


apa sebenarnya keadilan itu menurut Gereja Katolik? Mengapa keadilan
itu menjadi ciri yang hakiki atau konstitutif bagi Gereja Katolik? Dan
bagaimana caranya agar keadilan terus menjadi bagiku hakiki atau
konstitutif bagi iman dan pewartaan Gereja Katolik? Mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan intisari dan tujuan tulisan ini.
Untuk itu, pada bagian pertama saya akan secara singkat menjelaskan
pendasaran biblis tentang keadilan; kemudian saya memperkenalkan
sedikit gagasan Thomas Aquinas dan dokumen Ajaran Sosial Gereja
tentang keadilan; dan akhirnya saya akan menjelaskan perihal penting
dan mendesaknya pendidikan keadilan.

 Keadilan Biblis: Relasi yang Baik dengan Allah dan Sesama

            Keadilan merupakan tema yang sangat sentral dalam Kitab Suci.
Kata keadilan disebutkan lebih dari seribu kali. Dalam Perjanjian lama,
kata yang dipakai untuk keadilan adalah kata
ibrani mishpath dan tsedeq/tsedeqah. Keadilan dalam kedua kata ini
mengacu baik perihal aspek internal pribadi seseorang maupun
menyangkut aspek eksternal yakni perihal relasi seseorang dengan yang
lain. Mishpath dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata justice,
lebih menekan keadilan sebagai sesuatu yang ada di luar manusia yakni
tentang aturan, norma dan hukum. Sedangkan kata tsedeq yang
diterjemahkan dengan rightiousness, lebih berbicara perihal integritas
pribadi seseorang (orang yang disebut adil). Dengan demikian, keadilan
mencakupi baik sebagai sebuah kebajikan (virtue) maupun sebagai tata
cara yuridis-perihal bagaimana para hakim menegakkan hukum dengan
baik dan adil dan bagaimana rakyat menaati hukum dengan baik dan
benar. (John Heagle, Justice Rising, 2010, hlm. 54)

John R. Donahue dalam Biblical Perspective on Justice lebih menekankan


konsep keadilan dalam konteks relasi bangsa Israel. Keadilan adalah
perihal relasi yang baik; relasi yang baik dengan Allah maupun sesama.
Dan yang menjadi dasar dan sumber dari relasi terhadap sesama adalah
relasi yang baik dengan Tuhan; menaati perintah dan hukum Tuhan. Allah
itu adil karena Allah selalu bertindak sebagaimana seharusnya Allah.
Bangsa Israel juga adil karena mereka percaya pada janji Allah. Keadilan
merupakan sebauh kualitas intrinsik yang diungkapkan dalam relasi
manusia. Keadilan Allah terungkap dalam tindakan penyelamatan-Nya.
Ada banyak teks Kitab Suci, terutama Mazmur menggambarkan hal itu,
seperti Mzm 32:2; Mzm 71; Mzm. 82:3-4; Mzm 146:5-9; Mzm 82: 3-4.
Dalam Mazmur-mazmur itu diperlihatkan perihal kesetiaan pada
perjanjian Allah. Hal ini sangat jelas kita dengar dalam kata-kata nasihat
Musa tatkala mereka memasuki tanah terjanji, yaitu supaya bangsa Israel
mentaati perjanjian yang telah mereka buat denganTuhan (Ul 7:7-10a).
Relasi yang baik dengan Allah terangkum dalam apa yang disebut oleh
Yesus sebagai “hukum pertama dan terutama” (Mat 22:38). Musa juga
telah menyatakan hukum itu kepada bangsa Israel, “Tuhan itu Allah kita,
Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:4-5).
Allah sendiri menyampaikan larangan yang keras: “Akulah Tuhan Allahmu
yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.
Jangan ada padamu allah lain di samping Aku.” (Ul 5:6-7) (John R.
Donahue, Biblical Perspective on Justice, sebagaimana dikutip Walter J.
Burghardt, Justice a Global Adventure, 2004, hlm. 7-29).

Demikian juga halnya dengan umat Isreal. Mereka dikatakan adil ketika
mereka menjalin relasi yang baik dengan Tuhan, sesama dan dengan
ciptaan yang lain. Relasi yang baik dengan sesama didasari pada relasi
dengan perjanjian dengan Allah. Sebagai wujud kasih terhadap sesama,
umat Israel memberi perhatian khusus kepada mereka yang kesulitan dan
menderita (orang asing, pendatang, yatim piatu dan janda). Dasar bagi
sikap bangsa Isreal itu tidak lain adalah sikap Allah sendiri atau apa yang
telah Allah lakukan terhadap mereka. Sebagaimana kita baca dalam kitab
Ulangan, “Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang
asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Ul
10:19). Bagi bangsa Israel tidak semata-mata menjalankan hukum yang
dibuat manusia, melainkan melakukan sesuatu yang telah Allah lakukan
terhadap mereka. Melakukan keadilan berarti melakukan persis apa yang
telah Allah lakukan terhadap mereka. Keadilan mereka adalah keadilan
Allah/Yahwe. Bagi Israel, melakukan keadilan dipahami sebagai sebuah
pengungkapan kasih setia, baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Ada relasi yang begitu erat antara melakukan keadilan dan sembah bakti
kepada Allah. Tidak melakukan keadilan berarti tidak menyembah Allah.
Kitab Suci juga menggambarkan keadilan sebagai ciri, sifat dan kualitas
pada Allah. Dan kualitas yang sama hendaknya juga dimiliki oleh segenap
umat Isreal (Walter J. Burghardt, Justice a Global Adventure, 2004, hlm. 8).
Ada beberapa perikop yang memberi pendasaran pada gagasan tersebut:
Ulangan 32:4-5 (gunung batu yang pekerjaan-Nya sempurna, karena
segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan
benar Dia), Mazmur 7:10 (Engkau yang menguji hati dan batin orang, ya
Allah yang adil), Mazmur 119:137 (Engkau adil ya Tuhan dan hukum-
hukum-Mu benar), Mazmur 145:17 (Tuhan itu adil dalam segala jalan-Nya
dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya), Yesaya 30:18 (sebab
Tuhan adalah Allah yang adil, berbahagialah orang yang menanti-nantikan
Dia), dan Yesaya 45:21 (Allah yang adil dan Juruselamatku, tidak ada yang
lain kecuali Aku).

 Yesus Kepenuhan Keadilan Allah

            Gagasan keadilan Israel nampak pengaruhnya dalam Sabda dan


pelayanan Yesus. Kata-kata Yesus di Sinagoga Nasaret, kampung-Nya
sendiri sebagaimana kita baca dalam Injil Lukas meringkas seluruh visi
dan misi Yesus di dunia: “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik orang miskin” (Lukas 4:
18). Kata-kata Yesus ini adalah kata-kata yang hampir sama dikemukakan
nabi Yesaya, “Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia
menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yes 42:1-4). Kita juga
mendengar kata Yesus dalam Injil Matius, Yang Kukehendaki ialah
belaskasihan, dan bukan persembahan” (Mat 12:7; 23:23). Sabda Yesus ini
selaras dengan yang dikatakan oleh nabi Hosea, “Sebab Aku menyukai
kasih setia, dan bukan korban sembelihan” (Hos 6:6).

            Yesus adalah pribadi yang benar dan adil (ho dikaios: bdk. Luk
23:47; Kis 3:14; 7:52; 22:14). Gambaran itu dapat kita lihat dalam sabda
dan sikapnya. Dalam Sabda Bahagia sangat nampak bagaimana Yesus
menjunjung tinggi orang yang melalukan keadilan dan kebenaran. Melalui
perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 29-37) juga
Yesus memberi gambaran tentang siapakah sesama kita? Sesama bukan
hanya orang yang sekelompok atau keluarga dengan kita melainkan
mereka yang mampu menunjukkan belaskasihan dan solidaritas kepada
yang lain. Dan melalui kisah tentang Lazarus dan orang miskin (Luk 16:19-
31) Yesus berbicara tentang penggunaan materi secara bijaksana demi
kehidupan kekal.

            Bagi Yesus, poin yang sangat penting dalam keadilan itu adalah
kasih. Yesus bersabda, “Aku memberi kalian perintah baru, kasihilah
sesamamu. Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu
haru saling mengasihi” (Yoh. 13; 34; 15:12). Dasar dari tindakan kasih kita
adalah karena kita telah dikasihi. Ahli Kitab Suci Sarah Ann Sharkey,
mengatakan bahwa kalau mau menemukan keadilan dalam diri Yesus,
kita harus membaca Injil Markus secara keseluruhan, dengan teliti kita
melihat dan meneliti Yesus, para murid-Nya dan juga karakter-karakter
lain khususnya orang-orang kecil, maka akan jelas bahwa bagi Yesus
keadilan adalah segala usaha dan tindakan yang dilakukan supaya relasi
itu menjadi baik adanya. Seluruh mukjizat penyembuhan dan juga
kedekatan dan usaha pertobatan orang berdosa yang dilakukan oleh
Yesus dapat dilihat dalam perspektif ini yakni supaya semuanya (relasi)
menjadi baik (Walter J. Burghardt, Justice a Global Adventure, ibid. hlm. 19).

            John Heagle membuat kesimpulan atas keadilan dalam perspektif


Biblis. Pertama, keadilan biblis tidak pertama-tama buah dari keberhasilan
menepati hukum atau aturan, melainkan dari pengalaman perjumpaan
dengan Allah pencipta dan pembebas. Kedua, keadilan merupakan cara
berada dan cara kerja Allah (Justice is something that God is and that God
does). Ketiga, keadilan adalah inisiatif Allah dalam sejarah; sejarah
keberpihakan kepada manusia yang miskin lemah dan sengsara. Keempat,
yang menjadi sasaran keadilan biblis ada dua hal, yakni melawan struktur
atau kelompok yang menciptakan ketidakadilan dan memberi perhatian,
perlindungan dan pemulihan kepada mereka yang lemah, miskin dan tak
bersuara. Kelima, keadilan biblis berciri relasional dan terarah pada
terciptanya kebaikan bersama (bonum Communae). Keenam, keadilan
biblis berarti melihat dengan mata Allah dan merasakan dengan hati
Allah. Keadilan merupakan panggilan mendesak untuk melihat,
merasakan dan menanggapi dengan penuh hasrat dan cinta akan
penderitaan orang miskin dan sengsara. Atau dalam bahasa dalam
bahasa Ajaran sosial gereja, preferential option for the poor (John
Heagel, Justice Rising: The Emerging Biblical Vision, hlm. 61-62).

 Thomas Aquinas: Keadilan sebagai Keutamaan dan Kesetaraan

Gagasan Thomas Aquinas (1225‐1275) tentang keadilan tertuang


dalam Summa Theologica I-II, Questions 57-122). Bagi Thomas Aquinas
keadilan adalah keutamaan yang menentukan bagaimana hubungan
orang dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai apa yang
sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional. Bagi
Thomas Aquinas, keadilan mencakup baik karakter internal maupun
eksternal seseorang; baik relasi seseorang dengan dirinya sendiri maupun
relasi dengan orang lain. Berbicara tentang keadilan berarti berbicara
tentang bertindak secara benar sebagaimana orang tersebut
mengharapkan orang lain berbuat yang benar kepadanya. Keadilan
adalah suatu kebiasaaan/habitus dengan mana seseorang menjaga hak
setiap orang. Kebiasaan itu harus mandarah daging dalam pribadi
seseorang sehingga menjadi sebuah kehendak yang tetap (Bernard V.
Brady, Essential Catholic Sosial Thought, 2008, hlm. 58-59).

Thomas Aquinas membagi keadilan menjadi tiga jenis. Pertama, keadilan


distributif (iustitia distributiva) yang menyangkut hal‐hal umum, seperti
jabatan, pajak dll. Hal‐hal ini harus dibagi menurut kesamaan
geometris. Kedua, Keadilan komutatif (iustitia commutativa) menyangkut
barang yang ditukar antar pribadi seperti jual‐beli dll.  Ketiga, Keadilan
legal (iustitia legalis) menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal ini.
Termasuk pula keadilan legal ialah pandangan yang bijaksana atas
perkara‐perkara hukum. Keadilan legal ini menuntut supaya orang tunduk
pada semua undang‐undang, karena undang‐undang itu menyatakan
kepentingan umum.  Maka keadilan legal ini disebut juga keadilan umum
(iustitia generalis). Akhirnya, bagi Thomas Aquinas, Kesetaraan adalah
bentuk umum dari keadilan (ibid). Jadi dapat disimpulkan bahwa bagi
Thomas Aquinas keadilan itu didefinisikan sebagai keutamaan dan
sebagai kesetaraan.
 Rerum Novarum (1891): Keadilan Sebagai Fairness dan Keberpihakkan

Ensiklik Rerum Novarum Paus Leo XIII juga berbicara tentang tema


keadilan (art. 17). Gagasan Thomas Aquinas tentang keadilan sangat
bepengaruh terhadap Leo XIII. Sebagaimana telah kita lihat dalam
gagasan keadilan Thomas Aquinas yang mencakup aspek internal dan
eksternal, kedua aspek in juga jelas dalam Rerum Novarum. Leo XIII
menekankan pentingya pertobatan personal dan juga aksi sosial. Perlu
dicatat bahwa perhatian utama Leo XIII perihal nasib orang miskin (buruh)
pada zamanya. Melalui Rerum Novarum ia bermaksud untuk membela
martabat dan hak kaum buruh. Menurut Leo XIII, Keadilan membutuhkan
baik kesetaraan maupun fairness. Dalam konteks majikan dan buruh, Leo
XIII tidak tidak bermaksud berbicara tentang keadilan dalam konteks
kesataraan antara kaum buruh dan majikan, tetapi bagi dia yang penting
di sini adalah fairness (kelayakan); upah yang layak bagi para buruh sesuai
dengan kerja mereka dan demi kebutuhan keluarga mereka. Paus bagi
Leo XIII melangkah lebih jauh lagi Ketika dia mengatakan bahwa keadilan
mesti lebih dari sekedar kesetaraan dan kelayakan, tetapi menyangkut
perhatian dan keberpihkkan terhadap mereka yang miskin dan lemah
(Bernard V. Brady, Essential Catholic Sosial Thought, 2008, hlm. 74).

 Iustitia in Mundo: Keadilan sebagai Dimensi Konstitutif Pewartaan


Injil

Sinode para Uskup Sedunia 1971 menyadarkan Gereja akan peran dan
misinya untuk mewartakan keadilan di dunia. Di hadapan tanda-tanda
zaman (ketidakadilan), orang Katolik mendengarkan Sabda Tuhan, agar
kita mampu membawa ke dalam dunia rencana ilahi untuk keselamatan
dunia. Dokumen ini menekankan pentingnya membaca tanda-tanda
zaman, yakni zaman yang diwarnai oleh ketidakadilan, menjaga martabat
manusia dan perkembangan manusia dan membela hak untuk hidup. Apa
sebenarnya keadilan itu? Dokumen ini tidak menjelaskannya. Dokumen ini
hanya menyebutkan bahwa “kegiatan demi keadilan merupakan dimensi
hakiki atau konstitutif bagi pewartaan Injil” (art. 6); Gereja juga diingatkan
untuk pertama-tama mempraktekkan keadilan ke dalam Gereja sendiri
(art. 40-46); Gereja perlu mengupayakan pembinaan/pendidikan keadilan
(art. 49-58).

Penegasan Sinode bahwa “keadilan merupakan dimensi konsitutif


pewartaan Injil” sungguh menantang orang Katolik untuk mewujudkan
bahwa keadilan bukanlah suatu opsi (pilihan), bukan juga sebuah
tambahan pada Kabar Gembira, melainkan keadilan merupakan bagian
hakiki, menyangkut keberadaan Gereja sendiri.

Desakan Sinode untuk menjadikan keadilan sebagai dimensi konstitutif


pewartaan Injil semakin mudah dipahami tatkala keadilan dimaknai dalam
konsep Biblis sebagaimana yang telah dikemukakan di atas sebagai ciri,
sifat dan kualitas pada Allah. Gereja yang mewartakan keadilan tidak lain
mewartakan Allah yang berlaku adil. Keadilan begitu melekat pada Allah
sendiri yang kita imani, yang kita sembah dan yang kita wartakan.
Berbicara tentang keadilan berarti mewartakan Allah Pencipta yang
menciptakan segala sesuatu baik adanya; Allah tidak menghendaki hal-hal
yang tidak baik, termasuk ketidakadilan. Memperjuangkan keadilan
berarti mewartakan Allah yang membebaskan manusia dari perbudakan
dan penindasan. Tatkala Gereja berjuang bagi para korban ketidakadilan
berarti Gereja sedang menjadi sakramen keberpihakkan Allah kepada
orang miskin dan tertindas.

 Penutup

            Salah satu desakan penting dari dokumen Iustitia in Mundo adalah


perlunya Pendidikan keadilan. Pendidikan keadilan itu penting agar orang
Katolik menjadi ragi Injil dalam hidup sehari-hari, mulai dari keluarga,
sekolah, tempat kerja atau di mana pun mereka berada (art. 49).
Pendidikan sejati harus menanamkan keadilan, cinta dan kesederhanaan.
Hal itu akan melahirkan kesadaran kritis, yang memampukan orang untuk
merefleksikan tentang masyarakat mereka dan pelbagai macam nilai yang
terkandung di dalamnya. Pendidikaan juga memampukan orang untuk
meninggalkan nilai-nilai sosial yang bertentangan dengan keadilan.
Pendidikan keadilan juga dapat membangkitkan kesadaran untuk
mengetahui situasi sosial (ketidakasilan) dan membentuk orang untuk
mau bekerja bagi kemajuan sosial, termasuk memajukan keadilan.
Pendidikan keadilan itu harus bersifat praktis, yakni menghantar orang
pada aksi, partisipasi dan kontak langsung dengan realitas ketidakadilan.
Salah satu poin penting Isi dari Pendidikan keadilan itu adalah respek atau
penghormatan terhadap pribadi dan martabat manusia. Tempat pertama
dan terutama bagi Pendidikan keadilan adalah keluarga (Bernard V.
Brady, Essential Catholic Sosial Thought, 2008, hlm. 176).

Hal yang menarik dari dokumen Iustitia in Mundo adalah ajarannya untuk


menjadikan liturgi seabagai momen pembinaan atau pendidikan keadilan.
Melalui liturgi yang merupakan “jantung” Gereja, kepada kita
diperdengarkan ajaran dan juga teladan para nabi dan juga Yesus kristus
dan para Rasul yang memperjuangkan keadilan. Pembinaan pembabtisan
merupakan persiapan awal bagi pembinaan kesaadaran dan kepekaan
akan keadilan. Melalui sakramen pertobatan harus ditegaskan aspek
sosial dosa dan sakramen. Akhirnya, Ekaristi membentuk persekutuan
dan tempat bagi pelayanan terhadap sesama (art. 58).

            Akhirnya, dengan mengikuti perspektif bibilis tentang keadilan


sebagai ciri, sifat dan kualitas pribadi, maka jelas apa yang menjadi
sasaran dari Pendidikan keadilan yaitu untuk membentuk pribadi-pribadi
yang adil. Pendidikan keadilan membantu melahirkan pribadi orang
Katolik yang mampu membaca tanda-tanda zaman; pribadi yang peka
terhadap situasi ketidakadilan; pribadi yang selalu memikirkan dan
mengupayakan kebaikan bersama (bonum Communae) dan peduli pada
penderitaan sesama.

Anda mungkin juga menyukai