Pengantar
Merupakan sebuah aksioma bahwa salah satu tanda zaman kita
dewasa ini adalah maraknya ketidakadilan. Ketidakadilan itu berciri
mondial dan terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan, sosio-
religius, politik, budaya dan bahkan ketidakadilan ekologis. Realita itu
semakin mudah dilihat tatkala ada kelompok aliran kepercayaan dan
agama minoritas memperjungkan keadilan atas eksistensi dan ekspresi
religiositas mereka. Hal senada juga nampak ketika kaum perempuan
memperjuangkan keadilan dalam budaya patriarkal yang cenderung
mensubordinasi mereka; masyarakat adat memperjuangkan hak mereka
untuk diakui oleh pemerintah; kaum buruh yang berdemonstrasi untuk
memperoleh undang-undang, upah, waktu dan iklim kerja yang adil;
bahkan di tengah krisis lingkungan hidup yang kian dasyat saat ini, para
pejuang lingkungan hidup menyerukan perlu dan mendesaknya keadilan
yang berdimensi ekologis.
Keadilan merupakan tema yang sangat sentral dalam Kitab Suci.
Kata keadilan disebutkan lebih dari seribu kali. Dalam Perjanjian lama,
kata yang dipakai untuk keadilan adalah kata
ibrani mishpath dan tsedeq/tsedeqah. Keadilan dalam kedua kata ini
mengacu baik perihal aspek internal pribadi seseorang maupun
menyangkut aspek eksternal yakni perihal relasi seseorang dengan yang
lain. Mishpath dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata justice,
lebih menekan keadilan sebagai sesuatu yang ada di luar manusia yakni
tentang aturan, norma dan hukum. Sedangkan kata tsedeq yang
diterjemahkan dengan rightiousness, lebih berbicara perihal integritas
pribadi seseorang (orang yang disebut adil). Dengan demikian, keadilan
mencakupi baik sebagai sebuah kebajikan (virtue) maupun sebagai tata
cara yuridis-perihal bagaimana para hakim menegakkan hukum dengan
baik dan adil dan bagaimana rakyat menaati hukum dengan baik dan
benar. (John Heagle, Justice Rising, 2010, hlm. 54)
Demikian juga halnya dengan umat Isreal. Mereka dikatakan adil ketika
mereka menjalin relasi yang baik dengan Tuhan, sesama dan dengan
ciptaan yang lain. Relasi yang baik dengan sesama didasari pada relasi
dengan perjanjian dengan Allah. Sebagai wujud kasih terhadap sesama,
umat Israel memberi perhatian khusus kepada mereka yang kesulitan dan
menderita (orang asing, pendatang, yatim piatu dan janda). Dasar bagi
sikap bangsa Isreal itu tidak lain adalah sikap Allah sendiri atau apa yang
telah Allah lakukan terhadap mereka. Sebagaimana kita baca dalam kitab
Ulangan, “Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang
asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Ul
10:19). Bagi bangsa Israel tidak semata-mata menjalankan hukum yang
dibuat manusia, melainkan melakukan sesuatu yang telah Allah lakukan
terhadap mereka. Melakukan keadilan berarti melakukan persis apa yang
telah Allah lakukan terhadap mereka. Keadilan mereka adalah keadilan
Allah/Yahwe. Bagi Israel, melakukan keadilan dipahami sebagai sebuah
pengungkapan kasih setia, baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Ada relasi yang begitu erat antara melakukan keadilan dan sembah bakti
kepada Allah. Tidak melakukan keadilan berarti tidak menyembah Allah.
Kitab Suci juga menggambarkan keadilan sebagai ciri, sifat dan kualitas
pada Allah. Dan kualitas yang sama hendaknya juga dimiliki oleh segenap
umat Isreal (Walter J. Burghardt, Justice a Global Adventure, 2004, hlm. 8).
Ada beberapa perikop yang memberi pendasaran pada gagasan tersebut:
Ulangan 32:4-5 (gunung batu yang pekerjaan-Nya sempurna, karena
segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan
benar Dia), Mazmur 7:10 (Engkau yang menguji hati dan batin orang, ya
Allah yang adil), Mazmur 119:137 (Engkau adil ya Tuhan dan hukum-
hukum-Mu benar), Mazmur 145:17 (Tuhan itu adil dalam segala jalan-Nya
dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya), Yesaya 30:18 (sebab
Tuhan adalah Allah yang adil, berbahagialah orang yang menanti-nantikan
Dia), dan Yesaya 45:21 (Allah yang adil dan Juruselamatku, tidak ada yang
lain kecuali Aku).
Yesus adalah pribadi yang benar dan adil (ho dikaios: bdk. Luk
23:47; Kis 3:14; 7:52; 22:14). Gambaran itu dapat kita lihat dalam sabda
dan sikapnya. Dalam Sabda Bahagia sangat nampak bagaimana Yesus
menjunjung tinggi orang yang melalukan keadilan dan kebenaran. Melalui
perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 29-37) juga
Yesus memberi gambaran tentang siapakah sesama kita? Sesama bukan
hanya orang yang sekelompok atau keluarga dengan kita melainkan
mereka yang mampu menunjukkan belaskasihan dan solidaritas kepada
yang lain. Dan melalui kisah tentang Lazarus dan orang miskin (Luk 16:19-
31) Yesus berbicara tentang penggunaan materi secara bijaksana demi
kehidupan kekal.
Bagi Yesus, poin yang sangat penting dalam keadilan itu adalah
kasih. Yesus bersabda, “Aku memberi kalian perintah baru, kasihilah
sesamamu. Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu
haru saling mengasihi” (Yoh. 13; 34; 15:12). Dasar dari tindakan kasih kita
adalah karena kita telah dikasihi. Ahli Kitab Suci Sarah Ann Sharkey,
mengatakan bahwa kalau mau menemukan keadilan dalam diri Yesus,
kita harus membaca Injil Markus secara keseluruhan, dengan teliti kita
melihat dan meneliti Yesus, para murid-Nya dan juga karakter-karakter
lain khususnya orang-orang kecil, maka akan jelas bahwa bagi Yesus
keadilan adalah segala usaha dan tindakan yang dilakukan supaya relasi
itu menjadi baik adanya. Seluruh mukjizat penyembuhan dan juga
kedekatan dan usaha pertobatan orang berdosa yang dilakukan oleh
Yesus dapat dilihat dalam perspektif ini yakni supaya semuanya (relasi)
menjadi baik (Walter J. Burghardt, Justice a Global Adventure, ibid. hlm. 19).
Sinode para Uskup Sedunia 1971 menyadarkan Gereja akan peran dan
misinya untuk mewartakan keadilan di dunia. Di hadapan tanda-tanda
zaman (ketidakadilan), orang Katolik mendengarkan Sabda Tuhan, agar
kita mampu membawa ke dalam dunia rencana ilahi untuk keselamatan
dunia. Dokumen ini menekankan pentingnya membaca tanda-tanda
zaman, yakni zaman yang diwarnai oleh ketidakadilan, menjaga martabat
manusia dan perkembangan manusia dan membela hak untuk hidup. Apa
sebenarnya keadilan itu? Dokumen ini tidak menjelaskannya. Dokumen ini
hanya menyebutkan bahwa “kegiatan demi keadilan merupakan dimensi
hakiki atau konstitutif bagi pewartaan Injil” (art. 6); Gereja juga diingatkan
untuk pertama-tama mempraktekkan keadilan ke dalam Gereja sendiri
(art. 40-46); Gereja perlu mengupayakan pembinaan/pendidikan keadilan
(art. 49-58).
Penutup