Anda di halaman 1dari 11

Tesis No.

15-Teologi

Terangkanlah ajaran Kristen tentang penciptaan: iman bangsa Israel dan Gereja Purba;
poin-poin utama dalam perkembangan doktrinal dan skema atau garis besar teologi
sistematik!

Kerangka Jawaban
1. Pengantar 1
2. Iman tentang penciptaan segala sesuatu oleh Allah. 2
2.1 Iman bangsa Israel tentang Penciptaan. 2
2.2 Iman Gereja Purba tentang Penciptaan 3
3. Poin-Poin Perkembangan Doktrinal 4
3.1 Pencipta adalah Allah Tritunggal 4
3.2 Dunia Diciptakan Demi Kemuliaan Allah 4
3.3 Allah Mencipta dalam Kebijaksanaan dan Cinta 5
3.4 Allah Mencipta dari Ketiadaan 5
3.5 Allah Menciptakan Satu Dunia yang Teratur dan Baik 6
3.6 Kesatuan Penciptaan dan Sejarah Keselamatan 6
4. Teologi Sistematik Mengenai Penciptaan 6
4.1 Allah Sebagai Pencipta 7
4.1.1 Allah Menciptakan dengan SabdaNya 7
4.1.2 Allah secara Bebas Mengaruniakan Diri 7
4.1.3 Allah Memelihara dan Menopang Ciptaan 8
4.2 Dunia Sebagai Keterciptaan 8
4.3 Hakekat dan Peran dari Ciptaan Spiritual dan Material serta Manusia 8
4.4 Ajaran tentang Penyelenggaraan Ilahi yang Menetap 9
4.5 Pandangan Tentang Kejahatan di Dunia 10

1. Pengantar
Pertanyaan di atas meminta untuk menjelaskan bagaimana iman kekristenan tentang
penciptaan. Tentu iman itu harus didasarkan pada iman bangsa Israel karena kekristenan berakar
pada iman bangsa itu. Iman kekristenan tentang penciptaan juga mempunyai dasar dari iman
gereja purba. Kedua dasar itu membentuk doktrin iman gereja sekarang ini. Namun karena
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, pemahaman tentang penciptaan dapat diteropong
dari ilmu-ilmu lain. Dengan demikian terbukalah spekulasi dan pertanyaan tentang penciptaan
terhadap iman gereja. Oleh karena itu para teolog berspekulasi dan mengembangkan teologi
sistematik tentang penciptaan.

1
Tesis No. 15-Teologi

2. Iman tentang penciptaan segala sesuatu oleh Allah.

2.1 Iman bangsa Israel tentang Penciptaan.


Pengalaman Keluaran dan Pembuangan membuat bangsa Israel menarik kesimpulan
bahwa YHWH itu adalah yang telah mengerjakan mukzijat penciptaan dunia. Allah yang telah
membebaskan mereka itu adalah Sang Pencipta. Kisah penciptaan dan kisah penyelamatan
merupakan dua lapisan tradisi yang pada awalnya tidak tergantung satu sama lain, tetapi kemudian
saling mempengaruhi. Berbeda dengan mitos-mitos bangsa-bangsa lain di sekitar Israel yang
terarah kepada kosmologi, maka kisah kejadian dalam alkitab lebih menyangkut sejarah, dalam
hal ini “sejarah purba”. Hal ini berarti bahwa kisah biblis ini menyajikan dalam bentuk cerita dan
secara model, ciri-ciri dasariah yang ada pada bangsa manusia sebagai yang teralami. Kisah
penciptaan yang diimani oleh bangsa Israel dibangun atas dua tradisi, yakni J (tradisi Yahwis) dan
P (tradisi kodeks Imam).
Tradisi Yahwis, yang bersifat mitis-antropomorfis, menandaskan bahwa Allah adalah
pencipta yang bersifat penebus. Manusia adalah ciptaan yang paling unggul di antara semua
ciptaan karena kepada manusia diserahkan kemampuan untuk mengolah dan memelihara bumi.
Lebih lagi, manusia dipanggil untuk percaya pada perintah Allah dan untuk saling menolong
sebagai laki-laki dan perempuan. Namun kelebihan itu disalahgunakan oleh manusia sehingga
manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa manusia adalah menolak percaya kepada Allah (Kej 3; Kej
4:3-26; Kej 11:1-9). Tanggapan Allah atas keberdosaan manusia bukan balas dendam, melainkan
sebagai hakim yang murah hati (Kej 2:17; Kej 3:9-13; Kej 3:21; Kej 4:9 dan Kej 6:8).
Tradisi Priester mengakui bahwa Allah adalah pencipta dan ciptaan-Nya adalah unik dan
tidak terbandingkan. Penciptaan terlaksan melalui Firman-Nya, pembicaraan-Nya yang berupa
perintah. Kata kerja yang mengungkapkan tindakan tersebut ialah bara. Kata ini merupakan istilah
teknis untuk menyatakan aktivitas Allah. Allah ditempatkan sebagai subyek penciptaan. Sejalan
dengan itu ditekankan juga bahwa penciptaan bersifat Allah sentris dengan tujuan untuk
menekankan kemuliaan Allah. Allah menciptakan dunia bagi penyataan kemuliaan, kuasa,
hikmat, dan kebaikan-Nya yang kekal. Tindakan bara Allah pada awal mula yang disebut dalam
Kej 1:1 dihadapkan dalam ayat 2 pada kekacauan demi untuk memperlihatkan bahwa hanya Allah
sajalah yang menciptakan hidup dan keteraturan. Dalam peristiwa penciptaan manusia, Allah rela
mengambil keputusan meriah (Kej 1:26). Menurut gambar-Nya sendiri bangsa manusia diciptakan
Allah dalam kesatuan ketegangan antara dua jenis, dan dengan demikian manusia ditentukan
untuk “berkuasa” atas alam hewani. Manusia juga diharapakan mencerminkan sifat dan sikap
Allah dalam segala hal, termasuk dalam hal berkuasa.
Hari ketujuh dari Sang Pencipta mempunyai arti lebih besar daripada hanya teladan untuk
menjaga istirahat Sabat. Dari dirinya sendiri hari itu melambangkan kehendak ilahi untuk
memberkati, menguduskan dan menyelesaikan. Pencipta yang rela menebus itu bersumpah tidak
akan membinasakan lagi segala yang hidup setelah peristiwa air bah.
Para nabi, terkhusus Deutero Yesaya mengungkapkan bahwa penciptaan dan pembebasan
terlaksana supaya bangsa Israel dapat menjadi “terang untuk bangsa-bangsa” (Yes 42:6-7) yang
membebaskan. Selain itu diungkapkan juga inti tema penciptaan yakni rencana penyelamatan
Allah yang mengarah pada penciptaan baru. Tuhan mencipta terus-menerus dalam sejarah dan
tertuju kepada keselamatan (Yes 43). Dalam konteks itu, campur tangan Allah pada ciptaan tetap
ditonjolkan dalam Deutro Yesaya. Trito Yesaya melukiskan dengan tekanan-tekanan universalitas

2
Tesis No. 15-Teologi

bahwa di akhir zaman akan dijadikan “langit yang baru dan bumi yang baru” (65:17; 66:22), di
mana secara definitif Allah membuktikan diri-Nya lebih besar daripada bait-Nya dan umat-Nya.

2.2 Iman Gereja Purba tentang Penciptaan

Iman Gereja Purba berakar pada iman bangsa Israel akan penciptaan Oleh Allah. Tetapi
yang membuat iman bangsa Israel dan iman Gereja Purba mempunyai perbedaan adalah kehadiran
Yesus Kristus yang merupakan Putera Allah, Allah yang hadir secara nyata di tengah-tengah
umat-Nya. Maka iman Gereja Purba tentang penciptaan akan sangat dikaitkan dengan hidup,
pewartaan dan karya Yesus di dunia ini. menghubungkan penciptaan dengan penyelamatan Allah
dalam Kristus. Kristus merupakan pewahyuan Allah yang hadir dalam rupa manusia. Kristus
diakui sebagai reinterpretasi kebijaksanaan Allah, agen pelaksana penciptaan, manifestasi
kekuasaan Allah. Selanjutnya, Kristus mengutus para pengikutnya untuk mewartakan Kerajaan
Allah yang adalah tujuan yang dikehendaki Allah dari penciptaan dunia.
Injil Sinoptik menyatakan bahwa dengan Sabda-Nya, Yesus menunjukkan kerajaan Allah
dengan paham hidup (Mrk 9:43) dan diteguhkan-Nya dengan praksis hidup yang dilaksanakan-
Nya. Yesus mencintai alam ciptaan (menyembuhkan ciptaan yang sakit dan menderita) dan
memuji Sang Pencipta hingga akhir hidup-Nya. Kehadiran Yesus memulihkan tata asali Sang
Pencipta: misalnya tentang hubungan laki-laki dan perempuan (Mrk 10:2-12), penafsiran hari
Sabat (Luk 13:10-17). Kehadiran Yesus juga mau mengubah survive dari yang lebih kuat dengan
melibatkan diri demi hak orang-orang paling kecil, paling lemah, paling miskin, orang-orang yang
telah hilang (Luk 4:18; 6:20; 19:10).
Penginjil Yohanes dalam prolognya (1:1-18) mengangkat satu kata kunci yang punya
hubungan dengan penciptaan yakni Firman/Logos. Istilah Logos dipakai di kalangan para Stoa
dalam menggambarkan prinsip budi ilahi ‘logos spermatikos’ yang menyebabkan bertumbuhnya
ciptaan alamiah. Kaum Stoa menggunakan ide ini sebagai alat untuk menerangkan proses
penciptaan dunia. (Philo, salah satu pengikut Stoa tidak memikirkan Logos sebagai pribadi. Ia
juga tidak menuntut prawujud Logos tersebut secara tegas. Terlebih lagi, ia menyangkal akan
adanya inkarnasi Logos. Penyangkalan Philo akan inkarnasi ini bertolak belakang dengan
penekanan Yohanes. Dalam Injilnya, Yohanes sangat menekankan inkarnasi Logos/Firman yang
telah menjadi manusia. Inkarnasi Logos terjadi dalam Yesus Kristus). Yohanes menunjukkan
bahwa sebelum penciptaan, Logos telah ada, ‘Pada mulanya adalah Firman’ (1:1). Ungkapan
tersebut menunjukkan adanya kemiripan dengan Kej 1:1 walaupun Yohanes menunjukkan bahwa
sebelum penciptaan, Firman telah ada. Yohanes menekankan bahwa Logos yang ada sekarang
merupakan Logos yang sudah ada sebelum penciptaan. Penekanan kontinuitas Logos
menyingkirkan segala kemungkinan penciptaan yang terlepas dari Allah. Ketakterputusan proses
penciptaan digambarkan dengan keberadaan hubungan antara Bapa dan Anak (1:2-3).
Menurut Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, penciptaan berada dalam
Kristus, ‘Karena di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu, yang ada disurga maupun yang ada
di bumi, yang kelihatan dan yang tak kelihatan, baik singgasana maupun kerajaan, baik
pemerintah maupun penguasa, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia’ (1:16). Perikop
itu berbicara tentang peranan Kristus dalam proses penciptaan. Kristus adalah gambar Allah.
Dalam Kristus dinyatakan hakekat dan keberadaan Allah. Di dalam Dialah segala ciptaan yang
ada diciptakan dan kepada Dialah tertuju semua ciptaan dan akan mengalami
kepenuhan/kesempurnaan. Kristus menjadi tujuan semuanya (pandangan Kristologis) dan
3
Tesis No. 15-Teologi

menjadi penyelamat semuanya (pandangan Eskatologis). Selain itu, Paulus juga mengatakan
bahwa Kristus sebagai kebijaksanaan Allah (1 Kor 24:30). Oleh Kristus, segala sesuatu telah
dijanjikan dan karena Dia kita hidup (1 Kor 8:6).

3. Poin-Poin Perkembangan Doktrinal


3.1 Pencipta adalah Allah Tritunggal

Thomas Aquinas dalam refleksi teologisnya (melanjutkan pandangan Augustinus)


menyatakan bahwa penciptaan memiliki kaitan erat dengan aspek Trinitas Allah. Allah Bapa
menunjukkan kepenuhan diriNya dalam Putera. Bapa yang bersifat kekal adalah asal-usul Putera.
Kesatuan antara Bapa dan Putera terangkum dalam relasi cinta. Kesatuan Pribadi itu
menginspirasikan Roh Kudus.
Penciptaan berasal mula pada Citra yang sama yakni Pribadi Sabda (Bapa dan Putera) dan
pada Cinta yang sama yakni Pribadi Roh. Kesatuan yang tak terpisahkan dari karya cipta Putera
dan Roh dengan karya cipta Bapa dipratandai dalam Perjanjian Lama (bdk. Mz 33:6; 104:30; Kej
1:2-3), kemudian diwahyukan dalam Perjanjian Baru, dan akhirnya dinyatakan secara jelas dalam
iman Gereja, “Hanya satu adalah Allah dan Pencipta… Dialah Bapa, Dialah Putera, Dialah
pengasal, pembentuk, yang oleh Diri sendiri (SabdaNya dan kebijaksanaan-Nya) mengadakan
segala sesuatu” (Ireneus, haer 2,30,9). Berdasarkan paham itu, Credo Gereja menekankan
bahwa Ciptaan adalah karya bersama Tritunggal Mahakudus. (lih, KGK. no. 292).

3.2 Dunia Diciptakan Demi Kemuliaan Allah

Kitab Suci dan Tradisi selalu mengajar dan memuji kebenaran pokok: Dunia diciptakan
demi kemuliaan Allah (Konsili Vatikan I). Sebagaimana St. Bonaventura menjelaskan bahwa
Tuhan menciptakan segala sesuatu bukan untuk menambah kemuliaan-Nya, melainkan untuk
mewartakan dan menyampaikan kemuliaan-Nya. Tuhan tidak mempunyai alasan lain untuk
mencipta selain cinta-Nya dan kebaikan-Nya. Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang
dibuka dengan kunci cinta.
Konsili Vatikan I merumuskan bahwa Allah telah mencipta dalam kebaikan-Nya dan
kekuatan-Nya yang mahakuasa. Dengan mencipta, Allah tidak bermaksud untuk menambah
kebahagiaan-Nya, juga bukan untuk mendapatkan kesempurnaan melainkan untuk mewahyukan
kesempurnaan-Nya. Hal itu tampak melalui segala sesuatu yang diberikan-Nya kepada makhluk
ciptaan. Keputusan itu adalah sepenuhnya bebas: menciptakan sejak awal waktu dari ketiadaan
sekaligus kedua ciptaan (yang rohani dan jasmani).
Adalah kemuliaan Allah bahwa kebaikan-Nya menunjukkan diri dan menyampaikan diri.
Untuk itulah dunia ini diciptakan. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus
Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah
kasih karunia-Nya yang mulia (Ef 1:5-6). Karena kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup;
tetapi kehidupan manusia adalah memandang Allah. Apabila wahyu Allah melalui ciptaan sudah
sanggup memberi kehidupan kepada semua orang yang hidup di bumi, betapa lebih lagi
pernyataan Bapa melalui sabda harus memberikan kehidupan kepada mereka yang memandang
Allah. Tujuan akhir ciptaan ialah bahwa Allah akhirnya menjadi semua dalam semua (1 Kor
15:28) dan sekaligus kebahagiaan ciptaan.

4
Tesis No. 15-Teologi

3.3 Allah Mencipta dalam Kebijaksanaan dan Cinta

Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya (bdk. Keb 9:9). Dunia beserta isinya
bukanlah hasil dari salah satu kebutuhan, satu takdir yang buta atau kebetulan saja. Dunia bersama
isinya merupakan berasal dari kehendak Allah yang bebas. Dia berkenan membuat mahluk ciptaan
mengambil bagian dalam ada-Nya, dalam kebijaksanaan-Nya dan dalam kebaikan-Nya. Dalam
kasih-Nya yang kudus, Allah telah memutuskan untuk hidup bersama suatu kenyataan di luar diri-
Nya yang dijadikan-Nya justru untuk itu. Sebagai realitas tercipta, dunia ini berbeda secara hakiki
dengan Allah sendiri yang tiada tara dan tiada bandingnya. Namun demikian, Allah telah berkenan
memberikan kepada dunia ini bagian dalam kemuliaan dan cinta kasih-Nya sendiri.
Kehendak dan keputusan Allah untuk menciptakan dunia beserta isinya bukan suatu
tindakan yang semena-mena. Kehendak Allah itu menunjukkan hakikat-Nya sendiri sebagai cinta
kasih yang kudus. “sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-
Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (Why 4:11). “Tuhan, betapa banyak perbuatan-Mu,
sekaliannya Kau jadikan dengan kebijaksanaan” (Mzm 102:24). “Tuhan itu baik kepada semua
orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm145:9)

3.4 Allah Mencipta dari Ketiadaan

Terminologi yang dipakai untuk menerangkan poin in adalah creatio ex nihilo. Terminilogi
ini mengungkapkan sebuah pernyataan iman akan transendensi Allah dan tindakan Allah dalam
mencipta. Gereja menggunakan ide creatio ex nihilo pada abad II untuk menjawab paham
kosmologi Yunani, agama, Filsafat tentang pra-eksistensi alam dan dunia.
Terminologi creatio ex nihilo dapat ditemukan dalam tulisan Theophilus dari Antiokia,
Tertulianus, Ireneus, dan Pastor Hermas. Tulisan itu dibuat untuk melawan penganut Plato
menyangkut paham keabadian Tuhan, materi dan dualisme Gnostik. Dengan paham creatio ex
nihilo, Tertulianus menjelaskan bahwa Allah bersifat transenden dan ADANYA melebihi dunia
materi. Allah mencipta tetapi tidak dicipta. Ireneus dari Lyon menjelaskan bahwa Allah
menciptakan segalanya dalam kebebasan dan kuasa-Nya. Ia menciptakan segala yang kelihatan
maupun tak kelihatan. Karena itu, Dia adalah Allah atas segalanya. Segala ciptaan mutlak
tergantung pada Allah.
Pada abad IV berkembang aliran Panteisme, Neo-Platonis, dan dualisme Manikheis. Panteis
mengajarkan kesetaraan Allah dengan jagat raya. Neo-Platonis mengajarkan bahwa dunia berasal
dari sistem emanasi. Dunia berasal dari Yang Satu, yang ada di balik dan mengatasi semua
pengalaman. Kepada yang satu itu, ciptaan akan kembali melalui purifikasi, pengetahuan, dan
cinta. Manikheisme mengajarkan bahwa terdapat dua keilahian yang bertentangan satu sama lain,
yaitu yang baik dan yang jahat. Allah menciptakan keduanya.
Melawan ajaran yang berkembang pada abad IV di atas, Agustinus memberi tanggapan
dengan menekankan bahwa Allah melampaui semesta alam dan penciptaan oleh Allah bersifat
lebih radikal daripada pra-eksistensi. Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak membutuhkan
sesuatu yang ada lebih dahulu dan tidak membutuhkan bantuan apapun. Ciptaan itu pun tidak
mengalir secara paksa dari substansi ilahi. Allah mencipta dari ketidakadaan dengan tetap
menekankan unsur kebebasan mutlak.

5
Tesis No. 15-Teologi

3.5 Allah Menciptakan Satu Dunia yang Teratur dan Baik

Allah menciptakan dunia dengan kebijaksanaan: dari yang khaos ke yang punya aturan.
“Akan tetapi segala-galanya telah Kauatur menurut ukuran, jumlah dan timbangan” Keb 11:20.
Segenap ciptaan ditentukan untuk manusia, yang adalah citra Allah. Manusia dipanggil untuk
mempunyai hubungan pribadi yang baik dengan Allah, karena tugas menjaga dunia yang baik dan
teratur itu diserahkan kepada manusia. Apa yang Allah katakan kepada manusia melalui ciptaan-
Nya, dapat diketahui oleh akal budi manusia. Hal itu dapat terjadi karena kepada manusia ikut
ambil bagian dalam cahaya budi ilahi. Manusia harus mempunyai sikap rendah hati dan hikmat
terhadap Pencipta dan karya-karya-Nya.
Allah menciptakan dunia beserta isinya dengan kebaikan-Nya. Segala ciptaan, terutama
manusia yang diterangi budi ilahi, mengambil bagian dalam kebaikan itu. Allah menghendaki
bahwa segala ciptaan merupakan hadiah kepada manusia. Hadiah itu bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan sebagai warisan yang ditentukan untuknya dan dipercayakan kepadanya. Maka dengan
demikian, segala ciptaan itu (termasuk dunia jasmani) baik adanya diciptakan Tuhan dan juga
ketika diserahkan kepada manusia.

3.6 Kesatuan Penciptaan dan Sejarah Keselamatan

Sejak semula penciptaan terarah kepada pembebasan dari dosa oleh dan dalam Kristus.
Alam ciptaan mempunyai potensi untuk ditebus sampai dengan unsur-unsurnya yang jasmani dan
badani karena dijadikan oleh Allah pencipta yang baik. Bapa, Putera dan Roh telah melakukan
karya penciptaan itu secara bersama-sama. Itulah sebabnya sejarah terarah kepada satu tujuan:
segala sesuatu yang diciptakan itu akan dipersatukan dalam Kristus sebagai Kepala yang
mengepalai tubuh yang mencakup seluruh jagat raya dan terdiri dari semua orang yang telah
ditebus.
Rencana semula untuk mengangkat manusia melebihi alam kodratnya sebagai ciptaan
belaka dan menjadikannya partner, rekan kerja, bahkan sahabat dan anak-Nya diinterupsi oleh
jatuhnya Adam ke dalam dosa. Tetapi rencana Allah tak pernah dapat doboikot oleh siapapun
juga. Tuhan memulai kembali karnya-Nya dari semula untuk membarui, memperbaiki dan
menyusunnya kembali dalam Putera-Nya yang telah menjelma. Jatuhnya manusia berarti bahwa
seluruh bangsa manusia itu binasa. Oleh karena itu, Putera Allah harus menjadi manusia untuk
menghasilkan re-kreasi, penciptaan kembali bangsa manusia.
Dengan merekapitulasi manusia asali secara demikian berarti seluruh bangsa manusia
diperbarui dan dipulihkan. Akibat-akibat buruk dari ketidaktaatan Adam yang pertama
dihancurkan. Allah merekapitulasi dalam diri-Nya pembentukan manusia yang purba supaya
dapat mematikan dosa, menanggalkan maut dan menghidupkan manusia. Tuhan menjadikan baru
segala sesuatu dalam peristiwa rekapitulasi itu. Rekapitualsi itu mengakibatkan bahwa
dipersatukannya kembali manusia dengan Allah dan diangkat menjadi anak Allah.

4. Teologi Sistematik Mengenai Penciptaan

Penciptaan merupakan dasar yang melandasi keselamatan. Keselamatan diiawali dan


dipralambangkan dengan perjanjian antara Yahwe dengan bangsa Israel dan kemudian
dikukuhkan secara definitip dalam pribadi Yesus Kristus.
6
Tesis No. 15-Teologi

Uraian teologi sistematik ini bertitik tolak dari Kitab Suci yang menempatkan Allah
sebagai pencipta. Dalam uraian ini, pembicaraan tentang penciptaan memang harus berangkat dari
subyek penciptaan yakni Allah. Sejalan dengan itu pula, pembicaraan mengenai penciptaan
dengan sendirinya harus menyinggung ciptaan. Maka, pokok-pokok pikiran di bawah ini
merupakan bagian penting untuk diketahui :

4.1 Allah Sebagai Pencipta

4.1.1 Allah Menciptakan dengan SabdaNya

Di dunia Timur Kuno, perkataan mengandung kekuatan. Demikianlah Sabda Ilahi diakui
memiliki daya mencipta. Istilah Ibrani “dabar” dipakai untuk menunjukkan bahwa Allah memiliki
daya untuk menunjukkan kuasaNya (lih Yes 55:11, Yer 23:29). Hanya saja agak mengherankan
bila menyelami kesaksian PL mengenai penciptaan dengan Sabda. Kesaksian penciptaan dengan
Sabda cukup jarang terjumpai dalam PL . Ini menunjukkan bahwa asal-usul paham penciptaan
dalam PL bukanlah terletak pada mitologi alam dunia Timur Kuno melainkan harus dicari pada
pengalaman bangsa Israel sendiri dalam memaknai sejarah keselamatannya.
Kisah Penciptaan dalam Kej 1 (tradisi P) sebenarnya bertujuan untuk melawan mitologi
penciptaan Timor Kuno yang dipengaruhi oleh alam pikiran Babilonia. Kej 1 merupakan
interpretasi baru atas penciptaan. Kej 1 ini menekankan kemuliaan Allah mengatasi segala-
galanya. Allah menciptakan dunia melulu dengan SabdaNya.. Penafsiran ini lahir dari refleksi
bangsa Israel tentang sejarahnya. Dalam refleksi itu, melalui Sabda, Allah melaksanakan karya-
karyaNya dan karya itu dilihat mengagumkan, mengandung keselamatan dan serba baik. Israel
melihat sejarah mereka sebagai peristiwa sabda, sebagai dialog dan sebagai tanggapan atas Sabda
Allah.

4.1.2 Allah secara Bebas Mengaruniakan Diri

Roh Kudus adalah kurnia utama dalam penciptaan, dan penciptaan sendiri merupakan
kurnia kedua cinta Allah. Ungkapan ini nampaknya bertolak belakang dengan peristiwa
penciptaan. Hanya saja perlu dimengerti bahwa penciptaan terlaksana sebagai partisipasi pada
kemuliaan Allah yang pantas dicintai. Penentuan motif di atas tentu disertai refleksi teologis
demikian: Allah mencipta berdasarkan kemurahanNya yang bebas dan bahwa hanya Allahlah
pencipta itu. Karya penciptaan Allah yang bebas seperti itu merupakan implikasi dari kebenaran
Kitab Suci yang menekankan bahwa penciptaan oleh Allah adalah dasar dan sumber keselamatan.
Aspek kebebasan Allah ini dapat dilihat dalam perjanjian Allah dengan bangsa Israel.
Allah memilih dan membimbing Israel sebagai umatNya semata-mata karena kemurahanNya. Ini
adalah bukti sejarah atas keselamatan Allah yang nyata dirasakan bangsa Israel. Bukti ini
memuncak pada Perjanjian baru yakni dalam inkarnasi PuteraNya Yesus Kristus demi
keselamatan umat manusia secara universal. Di sini ditekankan bahwa kebebasan Allah
menyelamatkan manusia merupakan rangkuman dari rencana dan kebebasanNya untuk
menciptakan dunia sejak awal. Dengan kebebasan itu, Ia melaksanakan segalanya terutama untuk
menyatukan umat dalam Gereja di bawah Kristus sebagai Kepala (bdk. Ef. 1:10-11). Kehendak
Allah untuk mencipta itu tidak terpikirkan oleh manusia.

7
Tesis No. 15-Teologi

4.1.3 Allah Memelihara dan Menopang Ciptaan

Engkau mengasihi segala yang ada dan Engkau tidak benci kepada barang apa pun yang
telah Kau buat. Sebab andaikata Kau benci sesuatu, niscaya tidak Kau ciptakan. Bagaimana
sesuatu dapat bertahan, jika tidak Kau kehendaki, atau bagaimana dapat tetap terpelihara, kalau
tidak Kau panggil? Engkau menyayangi segala-galanya sebab itu adalah milik-Mu (Keb 11:24-
26). Kutipan dari kitab Kebijaksanaan ini mau menyatakan bahwa Allah itu tetap memelihara dan
menopang perjalanan ciptaan hingga saat ini.
Sesudah penciptaan, Allah tidak menyerahkan ciptaan-Nya begitu saja kepada nasibnya.
Ia tidak hanya memberi adanya dan eksistensi pada seluruh ciptaan, tetapi Dia juga memelihara
seluruhnya setiap saat. Allah juga memberikan kepada ciptaan kemungkinan untuk
berusaha/bergiat sehingga dapat mengantarnya menuju tujuannya. Mengakui dan menghidupi
ketergantungan yang sepenuhnya kepada Pencipta menghasilkan kebijaksanaan dan kebebasan,
kegembiraan dan kepercayaan.

4.2 Dunia Sebagai Keterciptaan


Allah menciptakan segalanya dengan baik adanya. Tidak ada satupun dari ciptaan itu
mempunyai keadaan yang buruk. Sebagai ciptaan tentu tidak sama dengan pencipta yang memiliki
sifat mutlak. Maka, semua ciptaan memiliki sifat tidak mutlak (sementara/ada awal dan akhir).
Segala ciptaan yang akan memiliki akhir itu bersatu walau beraneka ragam. Semua ciptaan dapat
bersatu karena berasal dari Pencipta yang sama. Alam semesta, karya ciptaan Allah, bukanlah
rumah hantu atau dongeng melainkan suatu realitas yang dapat dipercaya. Manusia dapat
berorientasi dan membuat rncana di dalam alam semesta. Segenap ciptaan memiliki maksud dan
tujuan. Dengan demikian segala ciptaan bukanlah kebetulan melainkan melainkan sengaja
diciptakan. Tujuan penciptaan adalah supaya menjadi ada dan berkembang, lebih lanjut supaya
semua bersekutu dengan Allah. Bersekutu dengan Allah berarti dunia ii mempunyai hubungan
erat dengan keselamatan.

4.3 Hakekat dan Peran dari Ciptaan Spiritual dan Material serta Manusia

Syahadat para rasul mengakui bahwa Allah adalah “Pencipta langit dan bumi”. Sejalan
dengan itu, pengakuan iman dari konsili Nikea-Konstantinopel menjelaskan akan adanya “dunia
kelihatan” dan “dunia tak kelihatan”. Dalam Kitab Suci, pasangan kata “langit dan bumi” berarti
segala sesuatu yang ada yakni seluruh ciptaan. Dalam KS itu juga disebut adanya ikatan dalam
ciptaan sekaligus mempersatukan dan membedakan langit dan bumi. Bumi adalah dunia manusia.
Sementara langit atau surga dapat berarti cakrawala, atau juga “tempat” Allah yang sesungguhnya
karena Allah adalah Bapa kita di surga (Mat 5:16). Dengan itu, surga menjadi tempat kemuliaan
yang definitif. Di situ, surga berarti tempat makhluk-makhluk rohani, malaikat-malaikat, yang
mengelilingi Allah.
Bila demikian konsep pemahaman akan ciptaan, bagaimana dimengerti hakekat dan peran
ciptaan entah itu ciptaan spritual, material ataupun manusia ?
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada. Semua ciptaan merupakan bagian dari
seluruh ciptaan yang diciptakan oleh Allah. Makhluk-makhluk yang semata-mata bersifat
rohaniah (spritual) adalah para malaekat.Merka itu merupakan bagian dari ciptaan. Adanya
malaekat (yang bersifat rohaniah, makhluk yang tak bertubuh) nyata dalam Kitab Suci dan Tradisi.
8
Tesis No. 15-Teologi

Kata “malaekat” berarti “utusan”. Tugas sebagai utusan inilah yang paling banyak dilakukan oleh
para malaekat seperti diungkapkan dalam Kitab Suci. Mengenai eksistensi malaekat ini, St.
Agustinus mengatakan, “malaekat adalah jabatan mereka, bukan hakekat mereka. Bila engkau
mencari nama dari hakekat mereka, hakekatnya adalah ‘roh’; jika engkau mencari nama dari
jabatan mereka, jabatan mereka adalah ‘malaekat’; dari hakekatnya mereka adalah ‘roh’, dari apa
yang mereka lakukan, adalah ‘malaekat’.”
Demikian pula, segala ciptaan yang bersifat jasmaniah (material) juga berasal dari tangan
Allah. Mahkota dari segala ciptaan adalah umat manusia, karena hanya manusia yang diberi
karunia untuk mengetahui dan mencintai Allah. Dari segala ciptaan material, hanya manusialah
yang diperuntukkan untuk hidup selama-lamanya dalam hubungan cinta kasih dengan
penciptanya. Manusia adalah kesatuan jiwa dan badan. Jiwa manusia diciptakan secara langsung
oleh Allah. Tubuh manusia dipastikan dapat mati, namun dipastikan juga akan bangkit lagi dalam
kebangkitan pada akhir jaman.
Manusia adalah ciptaan Allah yang begitu rupa sehingga ia terarah kepada perjumpaan
dengan Allah. Manusia diciptakan sebagai mahluk yang strukturnya responsif: ia diaksudkan
menjawab Sabda Allah yang menyapanya dan tertuju kepada kebersamaan dengan Allah. Manusia
tidak hanya responsif, melainkan juga untuk membalas kasih Allah. Kasih hanya dapat dibalas
dengan kasih. Oleh karena itu, harus kita katakan bahwa manusia dibangun atas kasih dan untuk
kasih. Dalam kasih manusia menjadi dirinya sendiri dan berkembang.
Manusia diperlengkapi dengan kebebasan. Namun kebebasan itu bukan kebebasan murni
atau mutlak karena manusia bukanlah Allah. Manusia ada dalam dunia yang menentukan dan
membatasinya. Cinta kasih merupakan bentuk pelaksanaan diri yang tertinggi bagi kehendak
manusia yang bebas.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa sejak dari awal mula, Allah menciptakan
pria dan wanita sama sepenuhnya dalam hal martabatnya sebagai pribadi manusia. Meskipun
masing-masing lengkap dalam diri mereka sendiri, namun Allah menciptakan pria dan wanita
untuk yang lain dan menghendaki mereka agar mereka bersama-sama membentuk persekutuan
pribadi-pribadi dan menjadi sumber dalam meneruskan hidup manusia.

4.4 Ajaran tentang Penyelenggaraan Ilahi yang Menetap

Penyelenggaraan ilahi (dikenal juga dengan ungkapan providentia Dei) merupakan sebuah
pengakuan iman akan penyertaan Allah kepada ciptaan-Nya. Manusia melihat sejarahnya bahwa
Allah tidak membiarkan ciptaan-Nya berjalan dan bertumbuh sendiri setelah penciptaan. Dalam
penyelanggaraan-Nya, Allah melindungi (konservasi) dan “turut bertindak” dalam kehidupan
manusia menuju akhir. Manusia tetap mengalami ketergatungan terhadap Allah. Wujud
ketergantungan manusia itu menyejarah sebagaimana terangkum dalam Kitab Suci.
Ketergantungan pada Allah ini juga bukan hanya berlaku pada masa lalu, namun tetap berlangsung
dalam hidup sehari-hari dan pada masa sekarang sampai akhir jaman.
Mengapa manusia tetap mengalami “campur tangan” (=pemeliharaan) Allah dalam
hidupnya? Manusia mengalami ketergantungan itu supaya manusia mampu memasuki
kesempurnaan terakhir Allah sebagaimana direncanakan Allah. Manusia yang hidup di dunia
masih berada di “tengah jalan” (in statu viae). Memang manusia saat diciptakan Allah sudah
memiliki kebaikan dan kesempurnaan dalam dirinya sendiri. Namun sebagai ciptaan Allah,
manusia belum benar-benar menyelesaikan proses penciptaan. Karena itu, manusia tidak dapat
9
Tesis No. 15-Teologi

keluar dari tangan Sang Pencipta. Allah masih perlu menghantar ciptaanNya menuju
penyelesaiannya melalui campur tanganNya. Campur tangan Allah atas hidup manusia inilah yang
dinamakan Providentia Dei (Penyelenggaraan Ilahi). Penyelenggaraan ini berlangsung selama
hidup manusia.
Pemeliharaan Allah pada ciptaanNya bersifat konkrit dan langsung, baik perkara besar
maupun perkara kecil, baik sudah menyejarah maupun akan datang. Kitab Suci (PL dan PB) secara
tegas menyatakan bahwa pemeliharaan Allah itu bertujuan untuk menekankan kedaulatan Allah
yang absolut dalam setiap peristiwa hidup. Kitab PL memberikan gambaran pemeliharaan kepada
bangsa Israel. Kitab PB menunjukkan peranan Yesus sebagai bentuk konkrit kepedulian Allah
Bapa terhadap segenap umat manusia.
Penyelenggaraan ilahi dalam kitab PL didasarkan akan kepercayaan kepada Allah yang
Mahakuasa. Penyelenggaraan ini telah dimulai sejak penciptaan dan berlanjut dalam bentuk
perlindungan kepada bangsa Israel. Pemeliharaan Allah terhadap Israel dikukuhkan dalam wujud
perjanjian. Dasar iman Israel akan penyelenggaraan Allah terhadap bangsa mereka adalah
pewahyuan Allah dalam sejarah dan pengalaman bangsa mereka. Mereka mengalami bahwa Allah
itu baik (Mz 9;2; 26:7; 40:6; 17:17; 72:18). Yesaya juga menegaskan bahwa Allah hadir dalam
sejarah bangsa Israel (Yes 9:5; 28:29; 29:14).
Dalam PB, penyelenggaraan ilahi tampak jelas dalam diri Yesus Kristus. Ia hadir di dunia
untuk menyampaikan warta gembira Kerajaan Allah, “Allah menjaga dan meperhatikan ciptaan-
Nya” (Mat 6:25-34; 10:29-31). Dalam penderitaan dan wafat-Nya, Yesus menunjukkan rencana
penyelamatan Allah kepada segenap manusia (Luk 24:26).
Penyelenggaran ilahi sebagaimana ditunjukkan Yesus dalam PB bukanlah pertama-tama
terfokus pada harmoni dengan alam ciptaan, melainkan ajakan untuk hidup dalam Kristus secara
bebas dan taat. Konsekuensinya ialah penderitaan yang diterima Yesus bukanlah dilihat sebagai
nasib melainkan sebagai bentuk kepercayaan dan cinta mendalam kepada Allah. Maka melalui
perjanjian baru dalam Kristus, setiap manusia maupun ciptaan lain dipanggil untuk masuk dalam
kepenuhan akhir melalui Putra Allah, Yesus Kristus.
Tentang paham penyelenggaraan ilahi, Magisterium Gereja memberikan pendapatnya
melalui Konstitusi Dogmatis “Providentia Dei” dari Konsili Vatikan I. Ajaran magisterium ini
bertujuan untuk membendung paham ateisme, deisme, fatalisme, dan dualisme. Pokok ajaran yang
ditandaskan magisterium tersebut yakni:
a. Allah mewahyukan Diri dengan Bebas
b. Hubungan Allah dengan ciptaan-Nya dalam kebebasan
c. Kebaikan, Kebijaksanaan, Kuasa Allah yang nyata dalam sejarah keselamatan
d. Kebaikan Allah dikenal melalui iman dan pengharapan.
e. Penantian “Hari Tuhan” dengan usaha dan tindakan, bukan dengan cara “atraxia” stoa.
f. Iman akan penyelenggaraan ilahi berlangsung dalam doa dan syukur.

4.5 Pandangan Tentang Kejahatan di Dunia

Kejahatan merupakan penolakan atas panggilan Allah untuk hidup sebagai ciptaan yang
baik, untuk melaksanakan perjanjian dengan Allah, untuk menjadi bagahagia, dan untuk
mengupayakan kesempurnaan sejati sebagaimana direncanakan Allah sejaak awal mula. Mengapa
kejahatan ada di tengah-tengah ciptaan? Pertanyaan ini merupakan sebuah ungkapan

10
Tesis No. 15-Teologi

ketidakpuasaan atas situasi yang bertentangan dengan situasi baik. Dampak dari kejahatan adalah
penderitaan bagi manusia.
Gregorius dari Nyssa mengatakan bahwa penderitaan merupakan akibat dari hilangnya
kebaikan dalam diri manusia. Penyebabnya adalah kejahatan yang bersumber dari kehendak bebas
manusia. Di sini kehendak bukanlah diartikan sebatas kecenderungan melainkan sudah jatuh pada
kenyataan perbuatan. Allah memberikan kecakapan kepada manusia untuk berbuat menurut
kehendaknya sendiri. Letak persoalannya adalah manusia tidak memakai kebaikan yang
seharusnya ia miliki. Hilangnya kebaikan membuat kejahatan ada dan berkuasa.
Allah bukanlah pencipta kejahtan. Pengarang Kebijaksanaan menuliskan bahwa Allah
tidak menciptakan maut bagi manusia dan tidak menyenangi kebinasaan manusia (Keb 1:13).
Hanya saja maut telah masuk ke dunia karena tipu daya setan (Keb 2:24). Kejahatan adalah
pekerjaan setan. Sebaliknya, Allah tidak mau dan tidak ingin melakukan yang jahat, baik yang
bersifat moral maupun fisik, karena hakekat Allah adalah cinta kasih. Oleh karena itu, Dia tidak
dapat berbuat lain selain mencinta. Allah tidak menghapus kejahatan dari dunia dan
menjadikannya sebagai ujian kesetiaan manusia terhadap diri-Nya dalam rangka mempertahankan
kebaikan.
Kendatipun setan ada dan bekerja di dunia, Allah tidak membiarkan manusia binasa karena
kejahatan. Allah tetap memelihara dan melindungi ciptaan-Nya yang luhur itu. Allah tetap ambil
bagian dalam kehidupan manusia di dunia. Secara nyata Allah hadir melalui perantaan Putera-
Nya Yesus Kristus. Ini adalah proyek inkarnasi “Allah hadir di tengah dunia”. Yesus merupakan
perwujudan cinta Allah yang terbesar bagi dunia, bukan lagi sebatas bangsa Israel melainkan
menyangkut segenap manusia. Kebaikan Allah ini berpuncak pada pengorbanan Yesus di salib.
Pandangan di atas menjawab sikap skeptis atas ketidakmampuan Allah mengatasi
kejahatan. Adanya kejahatan bukanlah dipahami sebagai pertanda tidak adanya Allah atau bahkan
sebagai tanda ketidakmahakuasaan Allah. Kenyataan akan adanya kejahatan jelas tidak menjadi
alasan untuk menolak Allah. Keberadaan kejahatan tergantung pada kecenderungan manusia
menggunakan kebebasan yang diberikan Allah untuk berbuat baik.

Sumber:
Katekismus Gereja Katolik
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Kompendium Sepuluh Berakar Bibilika dan
Berbatang Patristika (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
New Chatolic Encyclopedia, volume IV – XI (Washinton DC, University of America, 1967
R. Hardawiryana SJ., Penciptaan dalam Tata Keselamatan dalam Seri Puskat no. 194
(Yogyakarta: Publikasi Puskat, {tt.}
Roberth Butterworth SJ, “The Theology of Creation” dalam seri Theology Today no. 5
(London: Geoffrey Chapman, 1969), hlm. 419-423.

Dikerjakan oleh Eno Samosir

11

Anda mungkin juga menyukai