Anda di halaman 1dari 5

Nama : John Lenon Nainggolan

NIM : 140510027
Semester : X (Sepuluh)
M. Kuliah : Ekklesiologi (UAS)
D. Pengampu : Raidin Sinaga Lic. S. Th.

SIFAT-SIFAT GEREJA KATOLIK

Hakikat Gereja sebagai sakramen dan misteri merupakan gambaran karya Allah yang
mewahyukan diri dalam sejarah hidup manusia. Kata Sakramen menjelaskan sisi konkrit dan
insani dari karya Allah sedangkan misteri memperlihatkan segi ilahi dan tak kelihatan. Pada
masa sebelum para rasul, Gereja diyakini telah memiliki empat sifat (Notae ecclesiae). Keempat
sifat adalah SATU, KUDUS, KATOLIK, dan APOSTOLIK. Keempat sifat ini, yang tidak boleh
dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja
tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu
satu, kudus, katolik dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu.

GEREJA YANG SATU


Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan.
Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah
tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-
Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di
salib. Ketiga, Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat
beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta membimbing
seluruh Gereja.
Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam
Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (Ef 4:3-6) yang mungkin
dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu
babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang

1
hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan
babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam
Gereja Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah
semacam kekompakan organisasi atau kerukunan sosial. Yang utama bukan soal struktur
organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan
dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari. Kristus mengangkat Petrus menjadi katua para rasul,
supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus
menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan.
Gereja yang satu itu terungkap dalam:
 kesatuan iman para anggotanya. Kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi
kesatuan yang dinamis. Iman adalah prinsip kesatuan batiniah Gereja.
 Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk
mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari
Gereja.
 Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-
sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja
adalah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kesatuan
Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang
hidup bersama dalam satu Negara atau daerah yang sama. Kesatuan Gereja terarah kepada
kesatuan yang jauh melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang. Kesatuan
Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili
memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.

GEREJA YANG KUDUS


Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus
untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam
kekudusanNya. Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana
keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus. Gereja itu

2
kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena
unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus. Gereja didirikan dan dijiwai oleh
Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya. Gereja bertujuan untuk
kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia.
Gereja yang kudus, tidak dimaksudkan kesalehan para anggotanya melainkan kekudusan
Kristus yang melalui Roh Kudus disampaikan Kristus kepada tubuh-Nya. Kekudusan Kristus itu
ialah kesatuan-Nya dengan Allah, Bapa-Nya. Gereja dikatakan Kudus sejauh Allah yang menjadi
pendirinya. Dengan demikian, Gereja karena imannya dikatakan Kudus sebab Gereja mengambil
bagian dalam kekudusan Allah. Dasar Gereja yang Kudus adalah jaminan kehadiran Kristus
dalam Roh-Nya yang berdiam dalam hati manusia, sebagai hasil karya sekaligus kediaman Allah
sendiri. Oleh karena itu, kekudusan Gereja tampak dalam dimensi teologisnya. Walaupun
demikian, karena kelemahan dan keberdosaan para anggotanya maka selain kudus, Gereja juga
harus selalu disucikan. Pengudusan dan pemuliaan Allah dalam Kristus merupakan tujuan semua
karya Gereja.

GEREJA YANG KATOLIK


Gereja bersifat Katolik dalam arti bahwa Kristus secara universal hadir dalam Gereja dan
bahwa Ia telah mengutus Gereja untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia, seperti dikutip dalam
Kitab Suci “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19).
Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh
dunia”. Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada
tempat yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum.
Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana
ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini
mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya
untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja
telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja
seluruhnya.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-
gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang

3
mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal. Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi
dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan
masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam rahmat dan keselamatan yang ditawarkan
serta iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun).
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam
keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti
dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu,
melainkan identitas yang bersifat dinamis, yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan
diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman
Tuhan sendiri (Mrk 16:16; Luk 10:16).

GEREJA YANG APOSTOLIK


Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para rasul, dan tetap
berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para
rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah ada sejak jaman Gereja perdana.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan,
memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para
pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang
di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan
sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup, melainkan Gereja.
Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan
pelayanannya.
Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak
dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan
hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai
norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus
mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak
hanya bertanggungjawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya.
Gereja apostolik artinya warisan iman seperti yang kita dapati dalam Kitab Suci dan
Tradisi Suci dilestarikan, diajarkan dan diwariskan oleh para rasul. Di bawah bimbingan Roh

4
Kudus, Roh kebenaran, Magisterium (otoritas mengajar Gereja yang dipercayakan kepada para
rasul dan penerus mereka) berkewajiban untuk melestarikan, mengajarkan, membela dan
mewariskan warisan iman. Di samping itu, Roh Kudus melindungi Gereja dari kesalahan dalam
otoritas mengajarnya. Meski seturut berjalannya waktu, Magisterium harus menghadapi
masalah-masalah terkini, seperti perang nuklir, eutanasia, pembuahan in vitro, prinsip-prinsip
kebenaran yang sama diberlakukan di bawah bimbingan Roh Kudus.

Sumber Bacaan:

Konferensi Wali Gereja Indonesia. Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta:


Kanisius, 2013.
Konsili Vatikan II, “Lumen Gentium”, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh
R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993.

Anda mungkin juga menyukai