Anda di halaman 1dari 8

SIFAT – SIFAT GEREJA

KELOMPOK 2
ANGGOTA KELOMPOK:
1. ARISA SEBAYANG
2. CLARENSIA ANJALI
3. DAVID PARTOGI
4. DELIMA SARI
5. INDAH GRACE
6. ROBY VRANSISCO
GEREJA YANG SATU

Menurut Ensiklopedi Gereja, “Gereja adalah satu karena bersatu dalam iman, pembaptisan,
perayaan ekaristi dan pimpinan di seluruh dunia. Kesatuan ini harus dibina, dijaga, dipelihara
dalam semangat saling mengampuni dan menghormati. Kesatuan ini bukan keseragaman yang
dipaksakan atau tidak mengindahkan kebebasan wajar Gereja-Gereja partikular. Oleh karena itu
ciri Gereja yang satu menuntut suatu communio dengan Gereja Roma atau sekurang-kurangnya
tidak terpisah daripadanya (ex-communicatio).”

Gereja yang satu adalah Gereja yang percaya akan kehendak Allah, sebagaimana tertulis dalam
Kitab Suci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus hendaknya berhimpun menjadi Umat
Allah (1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12).

Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhinneka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja
Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah
semacam kekompakan organisasi atau kerukunan sosial. Yang utama bukan soal struktur
organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan
dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan.
Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah
tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut
pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-
Nya di salib. Ketiga, Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat
beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta
membimbing seluruh Gereja (KGK art.813).

Kesatuan Gereja punya dua aspek yang berhubungan satu sama lain, yaitu Gereja satu ke luar
dan Gereja satu ke dalam. Gereja satu ke luar yang berarti untuk membawakan atau
mewartakan Kerajaan Allah. Kristus hanya mendirikan satu Gereja saja. Sedangkan Gereja satu
ke dalam berarti Gereja satu dalam ajaran, wahyu yang diwartakan, pengakuan iman,
pembagian rahmat, dan pemerintahan. Kesatuan bukanlah kesamaan mutlak. Dalam Gereja
terdapat perbedaan pelayanan, kebudayaan, fungsi dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu tidak
menghilangkan kesatuan Gereja (bdk. 1Kor 12:4-6). Sebaliknya kesatuan adalah bukti
kebenaran perutusan Kristus. Gereja yang benar adalah Gereja di mana ada kesatuan dalam
ajaran, pengakuan iman, kebaktian, kehidupan sakramental dan pimpinan.

Gereja yang satu memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman
dalam panggilan hidup yang berbeda-beda dan beraneka bakat serta talenta, tetapi saling
bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman budaya dan tradisi
memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada intinya, cinta kasih haruslah
merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah para anggotanya saling dipersatukan dalam
kebersamaan dan saling bekerjasama dalam persatuan yang harmonis.

“Kesatuan” Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam
pengakuan iman yang satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-
sakramen, dan struktur hierarki berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan diwariskan
melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai contoh, kita ikut ambil bagian dalam Misa di Medan,
Jakarta, Bali, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Singapore, Malaysia atau di manapun. Misanya,
bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain sebagainya sama terkecuali bahasa yang
dipergunakan dapat berbeda.

Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:


- Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi
kesatuan yang dinamis. Iman adalah prinsip kesatuan batiniah Gereja.
- Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk
mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari
Gereja.
- Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sakramental: kebaktian dan sakramen-
sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).

Kesatuan Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara orang
beriman yang hidup bersama dalam satu negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan
tantangan masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam
menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh melampaui
batas-batas Gereja dan terarah kepada kesatuan semua orang yang “berseru kepada Tuhan
dengan hati yang murni” (2Tim 2: 22).

Usaha yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “dalam Gereja” misalnya:
- aktif dalam kehidupan Gereja,
- setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya:
- lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain,
- lebih melihat kesamaan daripada perbedaan,
- mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.
GEREJA YANG KUDUS
Kudus sebetulnya berarti “yang dikhususkan bagi Tuhan.” Maka, pertama-tama “kudus” (suci)
itu menyangkut seluruh bidang keagamaan. Yang kudus itu adalah Allah.

Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk
bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya. Gereja yang
kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar.

Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat
Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus
(bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu
dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi
(Mat 16:18).

Gereja itu kudus karena sumber dari mana Gereja berasal, ke mana arah yang dituju Gereja,
dan unsur-unsur Ilahi yang ada di dalam Gereja adalah kudus. Kekudusan (kesucian) Gereja
adalah kekudusan (kesucian) Kristus. Gereja menerima kekudusan (kesucian) sebagai anugerah
dari Allah dalam Kristus oleh iman. Kesucian Gereja tidak datang dari Gereja itu sendiri, tetapi
datang dari Allah dan dipersatukan dengan Kristus oleh Roh Kudus. Kristus ada dalam Gereja
dan selalu menyertai Gereja sampai akhir zaman.

Tuhan kita Sendiri adalah sumber dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara dan
jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja” (Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya, melalui Dia
dan bersama Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa
Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui sakramen-
sakramen. Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa dan sembah sujud, serta perbuatan-
perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan yang kelihatan.

Masing-masing kita sebagai anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui
Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat pengudusan,
dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke
dalam umat kudus Allah. Dengan rahmat Tuhan, kita berjuang mencapai kekudusan.

Gereja kita telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup para
kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada para kudus
besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Kita manusia yang rapuh, dan terkadang kita
jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan sekali lagi kita melanjutkan perjalanan
di jalan kekudusan.

Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang merasa diri
benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa terindah dalam Misa
dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami,
tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski individu-individu warga Gereja rapuh dan malang,
jatuh dan berdosa, Gereja terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.

Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:


- saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah
- memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup untuk mencapai kekudusan
- merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang
merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb
GEREJA YANG KATOLIK
Katolik dari kata Latin, catholicus yang berarti universal atau umum. Nama yang sudah dipakai
sejak awal abad ke II M, pada masa St. Ignatius dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri katolik ini
mengandung arti Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam
menerapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Gereja bersifat universal, umum dan terbuka.

Bersifat universal artinya, Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara
katolik di seluruh dunia, dimana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta
berbagai tata liturgi yang sama di manapun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk
menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili
Vatikan ke II menegaskan arti kekatolikan itu : “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala
bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja memajukan dan
menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik.
Gereja yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat
manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya”
(LG. 13).

Bersifat umum artinya, Gereja itu katolik karena Gereja dapat hidup di tengah segala bangsa
dan memperoleh warganya dari semua bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus
mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja,
melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa
Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh penjuru dunia.

Bersifat terbuka artinya, Gereja itu katolik karena ajarannya dapat diwartakan kepada segala
bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan
luhur. Gereja terbuka terhadap semua kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat yang luhur
tanpa kehilangan jati dirinya. Sebenarnya, Gereja bukan saja dapat menerima dan merangkum
segala sesuatu, tetapi Gereja dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya. Oleh sebab
itu, yang katolik bukan saja Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya, sebab dalam
setiap jemaat hadirlah seluruh Gereja. Setiap jemaat adalah Gereja yang lengkap, bukan
sekedar “cabang” Gereja universal. Gereja setempat merupakan seluruh Gereja yang bersifat
katolik.

Gereja bersifat katolik berarti terbuka bagi dunia, tidak terbatas pada tempat tertentu, bangsa
dan kebudayaan tertentu, waktu atau golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja
tampak dalam: Rahmat dan keselamatan yang ditawarkannya.

Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri ke dalam dunia. Dalam
keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti
dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu,
melainkan merupakan suatu identitas yang dinamis, yang selalu dan dimana-mana dapat
mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja
bersumber dari firman Tuhan sendiri (Mrk 16:16; Luk 10:16)

Gereja itu bersifat dinamis. Maka Gereja dapat dikembangkan lebih nyata atau diwujudkan
dengan cara:
- Bersikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat-istiadat, bahkan agama bangsa
mana pun.
- Bekerja sama dengan pihak mana pun yang berkehendak baik untuk mewujudkan nilai-
nilai yang luhur di dunia ini.
- Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk
umat manusia.
- Memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan masyarakat,
sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang
baik dan siapa saja yang berkehendak baik.
GEREJA YANG APOSTOLIK
Apostolik berasal dari kata Yunani, “Apostello” (mengutus, menguasakan) yang berarti utusan,
suruhan, wakil resmi yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolik” kemudian dipakai untuk
menyebut para rasul.

Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus sebagai batu penjuru,
sudah ada sejak zaman Gereja Perdana. Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih
mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun
temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak
boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat
dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik
bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut
seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya.

Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu
diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup,
tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senantiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai
norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Seluruh Gereja tidak
hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya.

Singkatnya, Gereja disebut apostolik karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus
Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
- Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul.
- Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
- Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.

Gereja yang apostolik berarti Gereja yang berasal dari para Rasul dan tetap berpegang teguh
pada kesaksian iman mereka, yang mengalami secara dekat peristiwa Yesus.

Gereja yang apostolik tidak berarti bahwa Gereja terpaku pada Gereja Perdana. Gereja tetap
berkembang di bawah bimbingan Roh Kudus dan tetap berpegang pada Gereja para Rasul
sebagai norma imannya. Hidup Gereja tidak boleh bersifat rutin, tetapi harus dinamis.

Usaha mewujudkan Keapostolikan Gereja adalah:


- Setia mempelajari injil sebagai iman gereja para rasul
- Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret kita dengan iman Gereja para rasul
- Setia dan loyal kepada hierarki sebagai pengganti para rasul

Anda mungkin juga menyukai