Anda di halaman 1dari 14

NAMA ANGGOTA

KELOMPOK 3
AGAMA
KRESENTIUS AGUNG SAPUTRA
LUSIA ELVIRA SUE SARE
MARIA APLONIA ANGEL SANI
MARIA CELINA LALI
YULIANA ELISABETH MESO
BAB 2
Sifat-Sifat Gereja Katolik
 Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil dan dihimpun
oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah
suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusul
era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
 Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota
jemaat satu sama lain, dan juga dengan kepala jemaat yang kelihatan,
yakni uskup; lagi pula mempersatukan para uskup satu sama lain dengan
pusatnya di Roma.
 Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwaiNya, Gereja
bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diriNya sendiri kudus.
 Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar
di seluruh dunia sehingga mencakup semua.
 Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah”
jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta
para Rasul (apostoloi), seperti Keuskupan Yerusalem (Yakobus),
Antiokhia (Petrus), Roma (Petrus), Konstantinopel (Andreas).
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan
rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan
dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu
Ilahi, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu
bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat
A. Gereja Kristus yang Satu
• 1. Arti Gereja yang Satu
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus
Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk
menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang
mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam
satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua
belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model
“tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan
Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman baik dalam Gereja Katolik sendiri,
sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi atau kerukunan
social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi
Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-
hari.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya para rasul
tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar
kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh
dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing
uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan
dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa
perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan
terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen
supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap
dalam:
• Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan
iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi
kesatuan yang dinamis. Iman adala prinsip
kesatuan batiniah Gereja.
• Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis):
hierarki mempunyai tugas untuk
mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat
sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari Gereja.
• Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan
sacramental: kebaktian dan sakramen-
sakramen merupakan ekspresi simbolis
kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
• 2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri
kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi
Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana kesatuan Ilahi itu
diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat besar.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang
“Allah telah berkenan menghimpun orang-orng yang beriman akan Kristus
menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. Tetapi,
bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen?
Perpecahan dan keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan
oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial Gereja yang tampak
melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur
sosial itu sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan
yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah belah, justru karena struktur-
struktur yang mau menyatakan kesatuan masing-masing kelompok itu.
Meski demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan
satu Gereja yang kelihatan, yang sungguh bersifat universal dan diutus ke
seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan tetap
mempersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan
konkret harus berkembang dan disempurnakan terus-menerus. Oleh karena
itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya mencari “persekutuan”
(communion) dengan semua saudara dalam iman, walaupun bentuk
organisasinya mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan
konkret antara umat beriman yang hidup bersama dalam satu
Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan
masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan
iman dalam menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah
kepada kesatuan yang jauh melampaui batas-batas Gereja dan
terarah kepada semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan
hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap
umat Kristen sendiri. Usaha yang dapat digalakkan untuk
memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
• aktif dalam kehidupan Gereja,
• setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.
• Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya
• lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan
kesamaan daripada perbedaan,
• mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan
bersama, dsb.
• Kesatuan Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja
di luar bidang esensial Injili memungkinkan keanekaragaman.
Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.
• B. Gereja Kristus yang Kudus
• 1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang
Mahakudus untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan
manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan 48).
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum
rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu
menentukan sikap terhadap para pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan
dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan
menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan
orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa para pendosa itupun
anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh
warganya dan pemukanya memang para pendosa yang masih berdosa dan akan
berdosa. Itulah mengapa Gereja harus senantiasa menguduskan diri dengan
memperbarui terus menerus (UR 4:6)
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan
sebegitu dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau
tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai
kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan
menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja
melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa
St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus
yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu
bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena
tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur Ilahi
yang otentik di dalamnya adalah kudus.
• Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja
didirikan oleh Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari
Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11).
• Tujuan dan arah Gereja dalah kudus. Gereja bertujuan untuk
kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia
• Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh
Kudus sendiri
• Unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus,
seperti ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen
• Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus
melalui pembabtisan dan diserhakan kepada Kristus serta
dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang kudus.
Semua itu tidak berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci),
namun ada juga yang mencapai kekudusan heroik. Semua
dipanggil untuk kekudusan.
• 2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja

Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita
mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah,
yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi
Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja,
membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus.
Kekudusan juga terungkap dengan “aneka cara pada masing-masing orang”.
Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua,
melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus,
yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf
misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang
sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut
pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya
Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap
dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus”
itu menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat,
waktu, barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri.
Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup
kehidupan Tuhan

• Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja,


misalnya:
• saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah
• memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk mencapai
kekudusan
• merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang
merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb
• C. Gereja yang Katolik
• 1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik
Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”.
Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat
yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum.
Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di
mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”.
Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir
bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok
bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap
jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau
sebagian. Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja
setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang
dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar
ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan
ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja
Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui
Paus sebagai pemimpin Gereja universal.
Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata
“universal” pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:

Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat
tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu.
Kekatolikan Gereja tampak dalam:
• rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,
• iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu
perlu diusahakan antara lain
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan
agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam
mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu
dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani diharapkan memiliki jiwa yang besar
dan keterlibatan penuh dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat
member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja
yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri
kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap
mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti
dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada
bentuk lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis,
yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan diri,
bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja
bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
• D. Gereja yang Apostolik

1. Arti Gereja yang apostolik

Apostolik berasal dari kata Yunani, “ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang


berate utusan, suruhan, wakil resmi yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian
dipaki untuk menyebut para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal
dari para rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa
Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah ada sejak
jaman Gereja perdana.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan,
memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para
pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”,
yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu
diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup,
melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam
segala bidang dan pelayanannya.
Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana,
yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang,
melainkan segala kelangsungan iman dan pengakuan.

Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul
yang diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
• Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari para
rasul.
• Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
• Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
• 2. Mewujudkan keapostolikan Gereja
Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya
merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang
hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan
permulaan imannya. Karena pewartaan para rasul dan
penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka
sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam
kesetiaan kepada Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah
kesatuan hidup, yang pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi.
Secara konkret, tradisi terus-menerus terjadi antara situasi
gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus
senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret
berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul.
Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
• Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja
para rasul.
• Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret dengan iman
Gereja para rasul
• Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul

Anda mungkin juga menyukai