19-Teologi
Apa yang dimaksud dengan Kristus adalah “asal”, dari sakramen-sakramen dengannya umat
beriman, yakni Gereja, berpartisipasi dalam misteri Paskah. Terangkanlah kodrat dan efek
keselamatan dari sakramen-sakramen
Struktur
1. Kristus adalah “asal” dari Sakramen-sakramen
1.1 Kristus sebagai Sakramen dari Allah
1.2 Kristus sebagai Sakramen Original
1.2.1 Kesaksian Kitab Suci
1.2.2 Sakramentalitas Yesus Kristus dalam Tradisi
1.3 Gereja adalah Sakramen Kristus: berpartisipasi dalam misteri Paskah-Nya
2. Kodrat Sakramen
3 Efek Keselamatan/Daya Guna Sakramen
3.1 Sakramen Inisiasi
3.1.1 Baptis
3.1.2 Krisma/Penguatan
3.1.3 Ekaristi
3.2 Sakramen Penyembuhan
3.2.1 Tobat/Rekonsiliasi
3.2.2 Pengurapan Orang Sakit
3.3 Sakramen Pelayanan dan Persekutuan
3.3.1 Tahbisan/Imamat
3.3.2 Perkawinan
Uraian Jawaban
1. KRISTUS ADALAH “ASAL” SAKRAMEN-SAKRAMEN1
Kristologi (ialah teologi mengenai diri Yesus Kristus serta karya-karya-Nya yang tidak
terpisah atau terceraikan) boleh diungkapkan dengan pertolongan kategori-kategori sakramental.
Ciri sakramental Kristus pada gilirannya melandaskan ciri sakramental Gereja-Nya. Kristus boleh
disebut sebagai “asal sakramen” atau sakramen pokok”, sedangkan Gereja-Nya merupakan
“sakramen induk” yang merealisasikan diri terutama dalam sakramen-sakramen yang merupakan
tindakan Gereja.
1.1 Kristus sebagai Sakramen dari Allah
Surat kepada Titus (Tit 2:11) menyebutkan (manusia) Yesus Kristus sebagai suatu epifania
kasih karunia Allah penyelamat manusia. Dengan demikian Yesus Kristus menjadi penampakan
realitas ilahi, yaitu daya penyelamatan-Nya (kasih-karunia), yang berupa pribadi manusiawi
mendekati manusia demi keselamatannya. Kristus merupakan suatu teofania, bahkan teofani yang
penuh. Maka tidak mengherankan bahwa justru dalam konteks epifani itu Yesus Kristus diberi gelar
“Allah Penyelamat (Tit 2:13; arti teks tidak seluruhnya pasti), kalaupun dalam ayat itu gelar tersebut
dihubungkan dengan parousia nanti. Tetapi epifani-Nya itu sudah diantisipasi dengan epifani-Nya
dalam sejarah (Tit 3.4).
1
C. Groenen, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud,
Struktur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 92-95.
1
Tesis No. 19-Teologi
Maka di dalam diri Yesus Kristus terwujud suatu identifikasi antara apa yang dinyatakan
(dilambangkan), ialah Allah Penyelamat dan apa yang menyatakan (lambang), ialah manusia Yesus
Kristus. Barang siapa melihat Yesus, benar-benar melihat Bapa (Yoh 14:9). Namun apa yang dilihat
dan diraba-raba (bdk 1Yoh 1:1) ialah seorang manusia bukan Allah (bdk. Yoh 7:24; Flp 2:7). Maka
identitas tersebut tidak menghilangkan ciri lambang, ciri sakramental dari Yesus Kristus. Hanya
dengan diri Yesus, lambang dari Yang Ilahi mencapai puncaknya, menjadi sempurna, sehingga
Yesus menjadi pralambang, model bagi setiap lambang religius-sakramental yang sejati.
Setiap realitas keduniaan dapat menjadi suatu epifani, penampakan dari yang ilahi, yang juga
membiarkan dirinya didekati oleh manusia melalui dan berupa realitas keduniaan. Namun bagi
manusia setiap lambang dari yang ilahi menjadi sangat ambivalen nilainya. Ia benar-benar dapat
mengantar manusia kepada Yang Transenden, tetapi juga mudah merosot menjadi entah suatu idol,
sehingga manusia menyembah ciptaan sebagai Allah (realitas keduniaan yang begitu saja
diidentikkan dengan Yang Transenden), entah menjadi sebuah tanda signifikatif belaka, hampa dan
kosong (oleh karena Yang Transenden dicari diluar lambangnya).
Tetapi Yesus Kristus sebagai sakramen terluput dari kemerosotan ke kanan atau ke kiri itu.
Ia tidak dapat merosot menjadi sebuah “idol”, justru oleh karena atas dasar identifikasi tersebut yang
jasmani dan keduniaan sungguh-sungguh menjadi ilahi dan yang ilahi menjadi jasmani
(communicatio ideomatum). Manusia Yesus Kristus benar-benar Allah Penyelamat. Yesus pun tidak
dapat merosot menjadi sebuah lambang, tanda kosong yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang
lain di luar diri-Nya.
Yesus Kristus, sakramen Allah bukanlah barang statis (essentia, natura; hakikat, kodrat),
melainkan seorang pribadi yang dinamis. Dan demikian adanya, baik kalau ditinjau dari segi
mysterion maupun dari segi “sakramen”. Sehubungan dengan Kristus mysterion itu ialah dimensi tak
kelihatan, dimensi ilahi: apa yang nampak dan nyata, yakni Allah Penyelamat. “Sakramen” ialah
dimensi kelihatan, manusiawi-jasmani dan historis, apa yang menyatakan, yaitu manusia Yesus
Kristus. Adapun mysterion dalam Yesus Kristus memang sesuatu yang dinamis. Kalau Paulus
berbicara tentang mysterion Kristus, maka ia berpikir kepada “rencana” penyelamatan Allah yang
dilaksanakan. Jadi,
Allah yang nampak dengan tampilnya Yesus Kristus bukanlah Allah yang berkatup tangan dan
beristirahat, yang hanya berselubungkan manusia memperlihatkan diri-Nya untuk dikagumi.
Sebalinya, Allah Penyelamat ialah Allah yang (ingin) menyelamatkan dengan secara aktual
menawarkan diri-Nya sebagai keselamatan manusia yang dituju.
Guna menekankan segi dinamis itu boleh dikatakan sebagai berikut: Kristus bukan Allah
Penyelamat yang nampak berupa manusia historis, melainkan “tindakan” Allah dalam sejarah dan
di tengah-tengah manusia, kalaupun “tindakan” itu berupa manusia Yesus Kristus. Dengan Yesus
Kristus sebagai penguluran tangan-Nya, Allah secara aktif mendekati manusia, menyapa serta
memanggilnya justru dengan menawarkan diri-Nya sendiri. Tawaran Allah itu menjadi aktif dalam
sakramen-Nya, yaitu Kristus. Tawaran Allah itu tidak terlaksana dan terwujud hanya dengan
tampilnya manusia Yesus Kristus di dunia ini, misalnya dengan lahir-Nya (inkarnasi). Semua
perbuatan dan tindakan Yesus Kristus mewujudkan tawaran diri Allah, sebab semuanya merupakan
tindakan Allah Penyelamat yang menyatakan diri.
2
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 72-73.
2
Tesis No. 19-Teologi
sakramen dan segala sesuatu yang berciri sakramental. Karena seluruh hal yang berciri sakramental
selalu menunjuk pada realitas terakhir, yakni kehidupan bersama dengan Allah, maka Yesus Kristus
pantas kita sebut Sakramen dari Allah sendiri. Dalam Yesus Kristus, Hidup Allah dinyatakan dan
diwahyukan kepada kita, bukan hanya setengah-setengah melainkan betul-betul penuh dan
sempurna. Apabila orang memandang dan mengalami Yesus Kristus, orang tersebut dengan
sendirinya mengalami Allah sendiri dan dengan demikian ia mengalami kehidupan bersama Allah
sendiri.
Pemahaman akan sakramentalitas Yesus Kristus itu memiliki dasar Kitab Suci dan Tradisi
Gereja yang kokoh. Di satu pihak, Yesus Kristus benar-benar manusia konkret yang pernah hidup,
namun di lain pihak, melalui Yesus Kristus itu kita bisa berjumpa dan mengalami Allah sendiri.
1.2.1 Kesaksian Kitab Suci3
Yesus Kristus adalah Sakramen Original. Itu berarti, Yesus Kristus dengan seluruh pribadi
dan karya-Nya menjadi tanda dan sekaligus menghadirkan secara utuh Allah sendiri. Maka Kitab
Suci Perjanjian Baru menyebut Yesus sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar Allah” (Ibr 1:3),
“gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, yang lebih utama dari segala yang diciptakan”
(Kol 1:15), “gambaran Allah” (2Kor 4:4). Secara khusus, kata mysterion, yang pada abad kemudian
diterjemahkan dengan sacramentum, memang menunjuk Yesus Kristus sendiri (Kol 2:2). Dalam teks
Kitab Suci kita, Yesus disebut rahasia Allah, yang aslinya menerjemahkan kata mysterion tou theou
(mysterion Allah). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa seluruh pewahyuan diri dan karya
penyelamatan Allah tampak dan terlaksana dalam diri Kristus. Seluruh kemuliaan Allah tampak
dalam wajah Kristus (bdk. 2Kor 4:6) dan “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia”
(Kol 1:19).
Dengan demikian, apa yang dalam Perjanjian Lama yakni Allah sebagai Yahwe yang selalu
ada, bersama dan hadir bagi umat-Nya, kini tampak dan hadir dalam diri seorang pribadi yaitu Yesus
Kristus. Bagi umat Perjanjian Baru, Allah adalah Bapa yang hadir di dalam Yesus Kristus, Anak dan
Gambar Allah yang sempurna, yang melalui Dia dan di dalam Dia, Allah “secara pribadi” menjumpai
dan melawati umat-Nya.
Dari rangkaian kutipan Kitab Suci di atas, mau diungkapkan betapa Yesus kristus sungguh
Sakramen Hidup Allah sendiri. Kehadiran Allah, yakni apa yang dalam Perjanjian Lama masih
kelihatan agak tersamar dan muncul dalam aneka bentuk simbolisasi, kini dalam diri Yesus Kristus
menemukan bentuk ungkapan atau simbolisasinya secara istimewa dan personal. Yesus Kristus
bukan hanya menampakan diri Allah yang hadir bagi umat-Nya, tetapi juga simbol real dari Hidup
Allah sendiri bagi kita.
3
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 73-75.
4
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 76-78.
3
Tesis No. 19-Teologi
Ada macam-macam usaha penyebutan Yesus Kristus sebagai sakramen. Akan tetapi semua
sepakat dan penuh keyakinan mengenai sakramentalitas Yesus Kristus. Kini ada kesepakatan umum
bahwa sakramentalitas Gereja dan ketujuh sakramen harus selalu ditempatkan dalam makna dasar
Kristus sebagai sakramen. Siapapun dan apapun yang mau disebut sebagai sakramen haruslah
bertolak dan diukur dari satu-satunya Sakramen Utama atau Sakramen Induk, yakni Yesus Kristus.
5
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 84-86.
4
Tesis No. 19-Teologi
melayani manusia dan dunia. Konsep ini tepat untuk menghubungkan dan membedakan struktur
yang tampak dan kandungan Gereja.
Eklesiologi sakramental konsili kemudian bermaksud melihat Gereja secara relatif; dalam
hubungannya dengan yang lain, penyelamat sejati Yesus Kristus dalam Roh Kudus seturut kehendak
Bapa. Sakramen “Gereja” menurut Konsili Vatikan II ada dalam pelayanan terhadap keselamatan
seluruh umat manusia. Konsili dalam dokumen-dokumen teologis yang jelas melukiskan pelayanan
dengan sangat tepat sebagai martirya atau pelayanan terhadap Sabda Allah, sebagai leiturgia,
koinonia, kerigma dan sebagai diakonia. Konsili juga mendeklarasikan dalam frase-frase yang
empatik bahwa Gereja tidak sempurna dalam pelayanannya; malahan Gereja sendiri merupakan
persiapan dan bersama dengan sakramennya akan musnah (LG no. 40). Allah sendirilah yang
menetapkan penyelamat dan akan menyelesaikannya hingga sempurna.
2 KODRAT SAKRAMEN
Kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Latin, sacramentum. Kata
sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus atau
bidang yang suci. Kata Latin sacrare berarti menyucikan, menguduskan atau mengkhususkan
sesuatu bagi bidang yang suci. Kata sacramentum menunjuk pada tindakan penyucian atau hal yang
menguduskan. Adapun dalam masyarakat Romawi kuno dahulu, sacramentum juga digunakan
menurut dua pengertian yang sangat konkrit tetapi religius juga. Pertama, kata sacramentum
menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk menyatakan kesediaan diri seseorang untuk
mengabdikan diri atau menguduskan diri bagi dewata atau negara. Kedua, kata sacramentum
menunjuk pada uang jaminan atau denda yang ditaruh dalam suatu kuil dewa oleh orang-orang yang
berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang boleh mengambil kembali uangnya, sementara
yang kalah harus menyerahkan uang jaminannya menjadi milik dewa atau negara. 6
Kata sacramentum ini digunakan oleh orang Kristen abad II untuk menerjemahkan kata
Yunani, mysterion. Kata mysterion itu dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani, sod yang berarti
menutup mulut atau mata sebagai reaksi atas pengalaman yang mengatasi nalar, yakni suatu
pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Dengan demikian, makna dasar mysterion
berhubungan dengan pengalaman akan Yang Ilahi, yakni suatu pengalaman batin yang tak
terlukiskan dengan kata-kata karena berjumpa dengan Yang Ilahi. Makna dasar mysterion ini
kemudian disimpulkan oleh Kitab Suci Perjanjian Lama dengan menunjuk pada dinamik Allah yang
menyingkapkan diri-Nya atau rencana penyelamatan-Nya dalam sejarah manusia.
Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Baru melanjutkan bahwa rencana penyelamatan Allah
yang dinyatakan dalam sejarah itu kini telah terlaksana secara penuh dan sempurna dalam diri Yesus
Kristus. Jadi, semua pembicaraan mengenai sakramen hanya mungkin dan berarti jika berpangkal
dari Yesus Kristus. Yang menarik: setiap kali mysterion dibicarakan dalam Kitab Suci, sakramen
dalam arti ketujuh sakramen tidak disinggung. Sebaliknya, apabila sakramen dalam pengertian
ketujuh sakramen dibicarakan, maka mysterion tidak disinggung. Baru pada masa abad pertengahan
sakramen mengalami penyempitan makna yakni 7 sakramen sebagaimana yang tertuang dalam
Katekismus Gereja Katolik (KGK) hingga sekarang. 7
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), sakramen-sakramen Perjanjian Baru ditetapkan
oleh Kristus. Ada tujuh sakramen Gereja, di antaranya: Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi,
Pengakuan Dosa, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan dan Perkawinan. Ketujuh sakramen ini
mencakup semua tahap dan saat-saat penting kehidupan seorang Kristen: mereka memberikan
kelahiran dan pertumbuhan, penyembuhan dan perutusan kepada iman orang Kristen. Jadi, ada
semacam keserupaan antara tahap kehidupan kodrati dan tahap kehidupan rohani. Selanjutnya, KGK
kemudian mengelompokkan ketujuh sakramen itu dalam tiga bagian: pertama, sakramen inisiasi
6
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 61-62.
7
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja…, hlm. 62-63. Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi
Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 329-330.
5
Tesis No. 19-Teologi
Kristen(Baptis, Penguatan, Ekaristi). Kedua, sakramen penyembuhan (Tobat dan POS) dan ketiga,
sakramen persekutuan dan perutusan umat beriman (Tahbisan dan Perkawinan).8
Berbicara tentang apa itu sakramen tidak terlepas dari tanda dan simbol. Pada hakikatnya,
setiap tanda atau simbol bersangkut paut dengan tata kehidupan bersama atau dalam relasi seseorang
dengan orang lain. Orang biasa membedakan antara tanda simbol. Nyatanya, ada begitu banyak
ragam pandangan mengenai makna tanda dan simbol. Tanda (sign dari bahasa Latin: signum)
dipahami sebagai sesuatu yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu, gejala, bukti,
pengenal, lambang atau petunjuk. Sedangkan simbol atau lambang adalah tanda yang menyatakan
suatu hal atau mengandung maksud tertentu. 9
Kalau orang berkata mengenai “sakramen” maka yang dimaksudkan ialah simbol religius
(keagamaan). Pada umumnya boleh dibedakan dua macam simbol religius: pertama, simbol
ekspresif. Artinya: sebuah realitas fisik (benda atau perbuatan) menjadi ekspresi dari suatu
pengalaman subjektif batiniah (keyakinan, perasaan, dsb) terhadap Yang Transenden. Melalui
simbol ekspresif itu orang lain pun dapat sampai kepada pengalaman batiniah yang sama. Adapun
sebuah sakramen termasuk ke dalam simbol religius yang kedua: simbol representatif, yaitu sebuah
lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman biasa
dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sebab realitas itu memperlihatkan diri dalam
simbol.10
8
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 312.
9
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 31-32.
10
C. Groenen, Sakramentologi…, hlm. 20-21
11
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 182-189.
6
Tesis No. 19-Teologi
isi dari daya guna sakramen dalam perspektif ini adalah kehidupan bersama Allah itu sendiri. Jadi,
setiap sakramen memberikan efek atau akibat yang berbeda terhadap kebersamaan kita dengan
Allah.
12
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 312. Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi
Sistematika 2…, hlm. 382.
13
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 332.
7
Tesis No. 19-Teologi
14
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 353-354
15
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 372.
8
Tesis No. 19-Teologi
16
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 383-384.
17
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 398-399
9
Tesis No. 19-Teologi
Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. 1993.
Groenen, C. OFM. Sakramentologi. Yogyakarta: Kanisius. 1990
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995.
Martasujita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Bitora, 19 Februari 2014 Disusun oleh: Paskal Hanoe
Catatan:
Tesis ini telah dikoreksi oleh P. Kornelus Sipayung, Lic.S.Th.
18
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 411-412.
10