Anda di halaman 1dari 10

Tesis No.

19-Teologi

Apa yang dimaksud dengan Kristus adalah “asal”, dari sakramen-sakramen dengannya umat
beriman, yakni Gereja, berpartisipasi dalam misteri Paskah. Terangkanlah kodrat dan efek
keselamatan dari sakramen-sakramen
Struktur
1. Kristus adalah “asal” dari Sakramen-sakramen
1.1 Kristus sebagai Sakramen dari Allah
1.2 Kristus sebagai Sakramen Original
1.2.1 Kesaksian Kitab Suci
1.2.2 Sakramentalitas Yesus Kristus dalam Tradisi
1.3 Gereja adalah Sakramen Kristus: berpartisipasi dalam misteri Paskah-Nya
2. Kodrat Sakramen
3 Efek Keselamatan/Daya Guna Sakramen
3.1 Sakramen Inisiasi
3.1.1 Baptis
3.1.2 Krisma/Penguatan
3.1.3 Ekaristi
3.2 Sakramen Penyembuhan
3.2.1 Tobat/Rekonsiliasi
3.2.2 Pengurapan Orang Sakit
3.3 Sakramen Pelayanan dan Persekutuan
3.3.1 Tahbisan/Imamat
3.3.2 Perkawinan
Uraian Jawaban
1. KRISTUS ADALAH “ASAL” SAKRAMEN-SAKRAMEN1
Kristologi (ialah teologi mengenai diri Yesus Kristus serta karya-karya-Nya yang tidak
terpisah atau terceraikan) boleh diungkapkan dengan pertolongan kategori-kategori sakramental.
Ciri sakramental Kristus pada gilirannya melandaskan ciri sakramental Gereja-Nya. Kristus boleh
disebut sebagai “asal sakramen” atau sakramen pokok”, sedangkan Gereja-Nya merupakan
“sakramen induk” yang merealisasikan diri terutama dalam sakramen-sakramen yang merupakan
tindakan Gereja.
1.1 Kristus sebagai Sakramen dari Allah
Surat kepada Titus (Tit 2:11) menyebutkan (manusia) Yesus Kristus sebagai suatu epifania
kasih karunia Allah penyelamat manusia. Dengan demikian Yesus Kristus menjadi penampakan
realitas ilahi, yaitu daya penyelamatan-Nya (kasih-karunia), yang berupa pribadi manusiawi
mendekati manusia demi keselamatannya. Kristus merupakan suatu teofania, bahkan teofani yang
penuh. Maka tidak mengherankan bahwa justru dalam konteks epifani itu Yesus Kristus diberi gelar
“Allah Penyelamat (Tit 2:13; arti teks tidak seluruhnya pasti), kalaupun dalam ayat itu gelar tersebut
dihubungkan dengan parousia nanti. Tetapi epifani-Nya itu sudah diantisipasi dengan epifani-Nya
dalam sejarah (Tit 3.4).

1
C. Groenen, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud,
Struktur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 92-95.

1
Tesis No. 19-Teologi

Maka di dalam diri Yesus Kristus terwujud suatu identifikasi antara apa yang dinyatakan
(dilambangkan), ialah Allah Penyelamat dan apa yang menyatakan (lambang), ialah manusia Yesus
Kristus. Barang siapa melihat Yesus, benar-benar melihat Bapa (Yoh 14:9). Namun apa yang dilihat
dan diraba-raba (bdk 1Yoh 1:1) ialah seorang manusia bukan Allah (bdk. Yoh 7:24; Flp 2:7). Maka
identitas tersebut tidak menghilangkan ciri lambang, ciri sakramental dari Yesus Kristus. Hanya
dengan diri Yesus, lambang dari Yang Ilahi mencapai puncaknya, menjadi sempurna, sehingga
Yesus menjadi pralambang, model bagi setiap lambang religius-sakramental yang sejati.
Setiap realitas keduniaan dapat menjadi suatu epifani, penampakan dari yang ilahi, yang juga
membiarkan dirinya didekati oleh manusia melalui dan berupa realitas keduniaan. Namun bagi
manusia setiap lambang dari yang ilahi menjadi sangat ambivalen nilainya. Ia benar-benar dapat
mengantar manusia kepada Yang Transenden, tetapi juga mudah merosot menjadi entah suatu idol,
sehingga manusia menyembah ciptaan sebagai Allah (realitas keduniaan yang begitu saja
diidentikkan dengan Yang Transenden), entah menjadi sebuah tanda signifikatif belaka, hampa dan
kosong (oleh karena Yang Transenden dicari diluar lambangnya).
Tetapi Yesus Kristus sebagai sakramen terluput dari kemerosotan ke kanan atau ke kiri itu.
Ia tidak dapat merosot menjadi sebuah “idol”, justru oleh karena atas dasar identifikasi tersebut yang
jasmani dan keduniaan sungguh-sungguh menjadi ilahi dan yang ilahi menjadi jasmani
(communicatio ideomatum). Manusia Yesus Kristus benar-benar Allah Penyelamat. Yesus pun tidak
dapat merosot menjadi sebuah lambang, tanda kosong yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang
lain di luar diri-Nya.
Yesus Kristus, sakramen Allah bukanlah barang statis (essentia, natura; hakikat, kodrat),
melainkan seorang pribadi yang dinamis. Dan demikian adanya, baik kalau ditinjau dari segi
mysterion maupun dari segi “sakramen”. Sehubungan dengan Kristus mysterion itu ialah dimensi tak
kelihatan, dimensi ilahi: apa yang nampak dan nyata, yakni Allah Penyelamat. “Sakramen” ialah
dimensi kelihatan, manusiawi-jasmani dan historis, apa yang menyatakan, yaitu manusia Yesus
Kristus. Adapun mysterion dalam Yesus Kristus memang sesuatu yang dinamis. Kalau Paulus
berbicara tentang mysterion Kristus, maka ia berpikir kepada “rencana” penyelamatan Allah yang
dilaksanakan. Jadi,
Allah yang nampak dengan tampilnya Yesus Kristus bukanlah Allah yang berkatup tangan dan
beristirahat, yang hanya berselubungkan manusia memperlihatkan diri-Nya untuk dikagumi.
Sebalinya, Allah Penyelamat ialah Allah yang (ingin) menyelamatkan dengan secara aktual
menawarkan diri-Nya sebagai keselamatan manusia yang dituju.
Guna menekankan segi dinamis itu boleh dikatakan sebagai berikut: Kristus bukan Allah
Penyelamat yang nampak berupa manusia historis, melainkan “tindakan” Allah dalam sejarah dan
di tengah-tengah manusia, kalaupun “tindakan” itu berupa manusia Yesus Kristus. Dengan Yesus
Kristus sebagai penguluran tangan-Nya, Allah secara aktif mendekati manusia, menyapa serta
memanggilnya justru dengan menawarkan diri-Nya sendiri. Tawaran Allah itu menjadi aktif dalam
sakramen-Nya, yaitu Kristus. Tawaran Allah itu tidak terlaksana dan terwujud hanya dengan
tampilnya manusia Yesus Kristus di dunia ini, misalnya dengan lahir-Nya (inkarnasi). Semua
perbuatan dan tindakan Yesus Kristus mewujudkan tawaran diri Allah, sebab semuanya merupakan
tindakan Allah Penyelamat yang menyatakan diri.

1.2 Kristus sebagai Sakramen Original2


Seluruh sejarah penyelamatan Allah berciri sakramental. Apabila seluruh sejarah
penyelamatan Allah yang telah dimulai dalam Perjanjian Lama itu kini mencapai kepenuhan dan
puncaknya dalam diri Yesus Kristus, maka Yesus Kristus juga menjadi puncak seluruh
sakramentalitas. Dengan kata lain, Yesus Kristus sendiri berciri sakramental. Dia boleh disebut
sebagai Sakramen, bahkan sebagai Sakramen Original, Sakramen Induk, sumber dari segala

2
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 72-73.

2
Tesis No. 19-Teologi

sakramen dan segala sesuatu yang berciri sakramental. Karena seluruh hal yang berciri sakramental
selalu menunjuk pada realitas terakhir, yakni kehidupan bersama dengan Allah, maka Yesus Kristus
pantas kita sebut Sakramen dari Allah sendiri. Dalam Yesus Kristus, Hidup Allah dinyatakan dan
diwahyukan kepada kita, bukan hanya setengah-setengah melainkan betul-betul penuh dan
sempurna. Apabila orang memandang dan mengalami Yesus Kristus, orang tersebut dengan
sendirinya mengalami Allah sendiri dan dengan demikian ia mengalami kehidupan bersama Allah
sendiri.
Pemahaman akan sakramentalitas Yesus Kristus itu memiliki dasar Kitab Suci dan Tradisi
Gereja yang kokoh. Di satu pihak, Yesus Kristus benar-benar manusia konkret yang pernah hidup,
namun di lain pihak, melalui Yesus Kristus itu kita bisa berjumpa dan mengalami Allah sendiri.
1.2.1 Kesaksian Kitab Suci3
Yesus Kristus adalah Sakramen Original. Itu berarti, Yesus Kristus dengan seluruh pribadi
dan karya-Nya menjadi tanda dan sekaligus menghadirkan secara utuh Allah sendiri. Maka Kitab
Suci Perjanjian Baru menyebut Yesus sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar Allah” (Ibr 1:3),
“gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, yang lebih utama dari segala yang diciptakan”
(Kol 1:15), “gambaran Allah” (2Kor 4:4). Secara khusus, kata mysterion, yang pada abad kemudian
diterjemahkan dengan sacramentum, memang menunjuk Yesus Kristus sendiri (Kol 2:2). Dalam teks
Kitab Suci kita, Yesus disebut rahasia Allah, yang aslinya menerjemahkan kata mysterion tou theou
(mysterion Allah). Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa seluruh pewahyuan diri dan karya
penyelamatan Allah tampak dan terlaksana dalam diri Kristus. Seluruh kemuliaan Allah tampak
dalam wajah Kristus (bdk. 2Kor 4:6) dan “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia”
(Kol 1:19).
Dengan demikian, apa yang dalam Perjanjian Lama yakni Allah sebagai Yahwe yang selalu
ada, bersama dan hadir bagi umat-Nya, kini tampak dan hadir dalam diri seorang pribadi yaitu Yesus
Kristus. Bagi umat Perjanjian Baru, Allah adalah Bapa yang hadir di dalam Yesus Kristus, Anak dan
Gambar Allah yang sempurna, yang melalui Dia dan di dalam Dia, Allah “secara pribadi” menjumpai
dan melawati umat-Nya.
Dari rangkaian kutipan Kitab Suci di atas, mau diungkapkan betapa Yesus kristus sungguh
Sakramen Hidup Allah sendiri. Kehadiran Allah, yakni apa yang dalam Perjanjian Lama masih
kelihatan agak tersamar dan muncul dalam aneka bentuk simbolisasi, kini dalam diri Yesus Kristus
menemukan bentuk ungkapan atau simbolisasinya secara istimewa dan personal. Yesus Kristus
bukan hanya menampakan diri Allah yang hadir bagi umat-Nya, tetapi juga simbol real dari Hidup
Allah sendiri bagi kita.

1.2.2 Sakramentalitas Yesus Kristus dalam Tradisi 4


Pemahaman akan sakramentalitas Yesus Kristus ini tetap dilanjutkan dalam tulisan para
Bapa Gereja. Sebutan Yesus Kristus sebagai mysterion juga digunakan oleh Ignatius dari Antiokhia.
Bagi Origenes, Yesus Kristus adalah Logos yang menjadi manusia dan sakramen besar dan pertama,
karena dalam kemanusiaan-Nya Allah menampakan diri dalam tanda. Dala Kristus, Allah menjadi
dekat dengan kita, sehingga kita dapat “menyentuh-Nya”. Bahkan Agustinus memberikan
keterangan yang lebih mendalam tentang sebutan Kristus sebagai sakramen. Sebab, Agustinus sudah
membedakan antara tanda luar (sacramentum tantum) dan isi sakramen, yaitu rahmat (res
sacramenti). Agustinus menyebut Kristus sebagai sacramentum dalam arti bahwa Yesus Kristus
menandakan Allah. Dalam diri Yesus Kristus tersembunyi dan terselubung Allah sendiri dan
sekaligus Yesus Kristus “berisi” Allah sendiri. Maka, Yesus Kristus dapat disebut sebagai “sakramen
keilahian dan kemanusiaan” yang tampak dalam daging. Demikianlah ada banyak Bapa Gereja
mengikuti penjelasan ini.

3
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 73-75.
4
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 76-78.

3
Tesis No. 19-Teologi

Ada macam-macam usaha penyebutan Yesus Kristus sebagai sakramen. Akan tetapi semua
sepakat dan penuh keyakinan mengenai sakramentalitas Yesus Kristus. Kini ada kesepakatan umum
bahwa sakramentalitas Gereja dan ketujuh sakramen harus selalu ditempatkan dalam makna dasar
Kristus sebagai sakramen. Siapapun dan apapun yang mau disebut sebagai sakramen haruslah
bertolak dan diukur dari satu-satunya Sakramen Utama atau Sakramen Induk, yakni Yesus Kristus.

1.3 Gereja adalah Sakramen Kristus: berpartisipasi dalam Misteri Paskah-Nya5


Gereja adalah sakramen Yesus Kristus. Gereja sebagai sakramen Yesus Kristus berarti
bahwa Gereja adalah simbol real yang menghadirkan Yesus Kristus sendiri beserta seluruh karya
penebusan-Nya bagi dunia. Gereja menampakan secara manusiawi-historis Tuhan Kita Yesus
Kristus dan karya penebusan-Nya kepada masyarakat dunia. Yang penting digarisbawahi di sini ialah
bahwa yang menjadi penyelamatnya itu bukan Gereja tetapi Yesus Kristus sendiri. Gereja hanya
menjadi bentuk lahiriah-manusiawi-historis dari Yesus Kristus Sang Penyelamat, yang kelihatan dan
terdengar, yang teraba dan tersentuh serta dirasakan oleh manusia konkret pada hari ini. Fokus dan
pusat yang menghadirkan misteri kehidupan bersama Allah tetaplah Yesus Kristus. Sedangkan
Gereja membantu orang-orang zaman ini untuk mengenal dan berelasi dengan Yesus Kristus itu
secara terjamin. Dalam arti itulah, Gereja merupakan sakramen. Gereja hanya menjadi sakramen
sejauh berhubungan dengan Yesus Krsitus. Hanya dalam Kristus itulah Gereja menjadi sakramen.
Bahkan hanya melalui Kristuslah Gereja mempunyai arti dan makna di dunia ini.
Justru dalam hubungannya dengan Kristus itulah sakramen-sakramen Gereja mendapat
makna dan relevansinya. Sebab Kristus sendirilah yang merupakan mysterion atau Sakramen sejati.
Dalam diri Kristus, karya keselamatan Allah terlaksana secara historis dan personal, yakni dalam
bentuk diri seorang Person-Pribadi. Yesus Kristus adalah Allah sendiri yang hadir dan menyertai
umat-Nyaaa. Allah menyertai umat-Nya tidak hanya melalui kehadiran dalam awan, angin, guntur
ataupun apa seeperti dalam Perjanjian Baru tetapi melalui rupa dan bentuk manusia sendiri, yakni
Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi simbol yang real dan hidup dari kehadiran Allah dan sekaligus
menghadirkan keselamatan yang hanya berpangkal dan mungkin dikerjakan oleh Allah saja. Itulah
makna pokok Yesus Kristus sebagai satu-satunya sakramen. Semua hal yang berciri sakramental dan
yang mau disebut sakramen mesti mengalir dari hubungannya dengan Yesus Kristus. Sakramen-
sakramen Gereja sendiri mempunyai makna dan perannya justru untuk menghadirkan Yesus Kristus
dan karya penebusan-Nya agar sampai di tengah umat manusia di segala zaman.
Demikianlah sakramen-sakramen adalah pelaksanaan diri Gereja. Di satu pihak, melalui
perayaan sakramen-sakramen kita berjumpa dengan Kristus sendiri sebagai Kepala dan sekaligus
tindakan seluruh Gereja sebagai tubuh Kristus itu. Di lain pihak, perayaan sakramen-sakramen
merupakan tindakan seluruh Gereja. Di sini, Kristus dan Gereja tidak bertindak sendiri-sendiri dalam
perayaan sakramen-sakramen. Keduanya bertindak dalam satu-kesatuan tindakan perayaan atau
ibadat. Kristus selalu hadir dan bertindak dalam dan bersama Gereja demikian juga Gereja pun selalu
bertindak dalam dan bersama Kristus. Dalam perayaan sakramen-sakramen itu tindakan Gereja
sebenarnya menjadi ungkapan dan pelaksanaan dirinya sendiri. Artinya, melalui perayaan sakramen-
sakramen itu diungkapkanlah sekaligus terlaksanalah apa yang kita sebut dengan Gereja (bdk. SC
2).
Konsili Vatikan II mengambil kata “sakramen” untuk menunjuk Gereja. Dengan pemakaian
istilah “sakramen” di atas yang menunjuk kepada Gereja, Konsili Vatikan II bermaksud untuk
menampilkan suatu metode konseptual di antara metode-metode lain yang digunakan untuk
mengatasi triumpalisme, ekklesial, klerikalisme dan juridisme serta menghadirkan misteri Gereja
yang tersembunyi dalam bentuknya yang tampak dan hanya melalui iman yang jelas untuk
mengungkapkan dan menegaskan bahwa Gereja di satu sisi sungguh kelanjutan dari Yesus Kristus
dan kembali kepada-Nya, di sisi lain Gereja merupakan tanda dan sarana yang lengkap untuk

5
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 84-86.

4
Tesis No. 19-Teologi

melayani manusia dan dunia. Konsep ini tepat untuk menghubungkan dan membedakan struktur
yang tampak dan kandungan Gereja.
Eklesiologi sakramental konsili kemudian bermaksud melihat Gereja secara relatif; dalam
hubungannya dengan yang lain, penyelamat sejati Yesus Kristus dalam Roh Kudus seturut kehendak
Bapa. Sakramen “Gereja” menurut Konsili Vatikan II ada dalam pelayanan terhadap keselamatan
seluruh umat manusia. Konsili dalam dokumen-dokumen teologis yang jelas melukiskan pelayanan
dengan sangat tepat sebagai martirya atau pelayanan terhadap Sabda Allah, sebagai leiturgia,
koinonia, kerigma dan sebagai diakonia. Konsili juga mendeklarasikan dalam frase-frase yang
empatik bahwa Gereja tidak sempurna dalam pelayanannya; malahan Gereja sendiri merupakan
persiapan dan bersama dengan sakramennya akan musnah (LG no. 40). Allah sendirilah yang
menetapkan penyelamat dan akan menyelesaikannya hingga sempurna.

2 KODRAT SAKRAMEN
Kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Latin, sacramentum. Kata
sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus atau
bidang yang suci. Kata Latin sacrare berarti menyucikan, menguduskan atau mengkhususkan
sesuatu bagi bidang yang suci. Kata sacramentum menunjuk pada tindakan penyucian atau hal yang
menguduskan. Adapun dalam masyarakat Romawi kuno dahulu, sacramentum juga digunakan
menurut dua pengertian yang sangat konkrit tetapi religius juga. Pertama, kata sacramentum
menunjuk sumpah prajurit yang digunakan untuk menyatakan kesediaan diri seseorang untuk
mengabdikan diri atau menguduskan diri bagi dewata atau negara. Kedua, kata sacramentum
menunjuk pada uang jaminan atau denda yang ditaruh dalam suatu kuil dewa oleh orang-orang yang
berperkara dalam pengadilan. Pihak yang menang boleh mengambil kembali uangnya, sementara
yang kalah harus menyerahkan uang jaminannya menjadi milik dewa atau negara. 6
Kata sacramentum ini digunakan oleh orang Kristen abad II untuk menerjemahkan kata
Yunani, mysterion. Kata mysterion itu dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani, sod yang berarti
menutup mulut atau mata sebagai reaksi atas pengalaman yang mengatasi nalar, yakni suatu
pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Dengan demikian, makna dasar mysterion
berhubungan dengan pengalaman akan Yang Ilahi, yakni suatu pengalaman batin yang tak
terlukiskan dengan kata-kata karena berjumpa dengan Yang Ilahi. Makna dasar mysterion ini
kemudian disimpulkan oleh Kitab Suci Perjanjian Lama dengan menunjuk pada dinamik Allah yang
menyingkapkan diri-Nya atau rencana penyelamatan-Nya dalam sejarah manusia.
Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Baru melanjutkan bahwa rencana penyelamatan Allah
yang dinyatakan dalam sejarah itu kini telah terlaksana secara penuh dan sempurna dalam diri Yesus
Kristus. Jadi, semua pembicaraan mengenai sakramen hanya mungkin dan berarti jika berpangkal
dari Yesus Kristus. Yang menarik: setiap kali mysterion dibicarakan dalam Kitab Suci, sakramen
dalam arti ketujuh sakramen tidak disinggung. Sebaliknya, apabila sakramen dalam pengertian
ketujuh sakramen dibicarakan, maka mysterion tidak disinggung. Baru pada masa abad pertengahan
sakramen mengalami penyempitan makna yakni 7 sakramen sebagaimana yang tertuang dalam
Katekismus Gereja Katolik (KGK) hingga sekarang. 7
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), sakramen-sakramen Perjanjian Baru ditetapkan
oleh Kristus. Ada tujuh sakramen Gereja, di antaranya: Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi,
Pengakuan Dosa, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan dan Perkawinan. Ketujuh sakramen ini
mencakup semua tahap dan saat-saat penting kehidupan seorang Kristen: mereka memberikan
kelahiran dan pertumbuhan, penyembuhan dan perutusan kepada iman orang Kristen. Jadi, ada
semacam keserupaan antara tahap kehidupan kodrati dan tahap kehidupan rohani. Selanjutnya, KGK
kemudian mengelompokkan ketujuh sakramen itu dalam tiga bagian: pertama, sakramen inisiasi

6
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 61-62.
7
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja…, hlm. 62-63. Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi
Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 329-330.

5
Tesis No. 19-Teologi

Kristen(Baptis, Penguatan, Ekaristi). Kedua, sakramen penyembuhan (Tobat dan POS) dan ketiga,
sakramen persekutuan dan perutusan umat beriman (Tahbisan dan Perkawinan).8
Berbicara tentang apa itu sakramen tidak terlepas dari tanda dan simbol. Pada hakikatnya,
setiap tanda atau simbol bersangkut paut dengan tata kehidupan bersama atau dalam relasi seseorang
dengan orang lain. Orang biasa membedakan antara tanda simbol. Nyatanya, ada begitu banyak
ragam pandangan mengenai makna tanda dan simbol. Tanda (sign dari bahasa Latin: signum)
dipahami sebagai sesuatu yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu, gejala, bukti,
pengenal, lambang atau petunjuk. Sedangkan simbol atau lambang adalah tanda yang menyatakan
suatu hal atau mengandung maksud tertentu. 9
Kalau orang berkata mengenai “sakramen” maka yang dimaksudkan ialah simbol religius
(keagamaan). Pada umumnya boleh dibedakan dua macam simbol religius: pertama, simbol
ekspresif. Artinya: sebuah realitas fisik (benda atau perbuatan) menjadi ekspresi dari suatu
pengalaman subjektif batiniah (keyakinan, perasaan, dsb) terhadap Yang Transenden. Melalui
simbol ekspresif itu orang lain pun dapat sampai kepada pengalaman batiniah yang sama. Adapun
sebuah sakramen termasuk ke dalam simbol religius yang kedua: simbol representatif, yaitu sebuah
lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman biasa
dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sebab realitas itu memperlihatkan diri dalam
simbol.10

3 EFEK /DAYA GUNA SAKRAMEN11


Apakah yang sebenarnya diberikan oleh sakramen-sakramen? Atau apa yang dirayakan
dalam sakramen-sakramen Gereja? Dalam Konsili Trente secara eksplisit ditegaskan bahwa
sakramen-sakramen Perjanjian Baru menganugerahkan rahmat pengudusan yang ditandakan kepada
penerima sakramen. Mengenai daya guna sakramen, Konsili Trente menegaskan satu hal yang
menjadi keyakinan Gereja Katolik yakni bahwa sakramen-sakramen Gereja menyampaikan rahmat
keselamatan yang datang dari Allah kepada manusia. Konsili Trente tidak menolak bahwa iman itu
perlu untuk memperoleh keselamatan dan pengudusan. Akan tetapi, Trente ingin menyatakan bahwa
sakramen-sakramen juga perlu. Sakramen-sakramen bukanlah sekadar tanda iman belaka yang
kosong dan tanpa arti melainkan melalui sakramen-sakramen, orang benar-benar memperoleh
rahmat keselamatan dan pembenaran dari Allah.
Konsili Trente juga menandaskan bahwa daya guna sakramen itu ex opere operato bukan ex
opere operantis. Ex opere operantis secara harafiah berarti menurut karya yang mengerjakan. Ini
berarti bahwa daya guna sakramen tergantung pada disposisi pelayan sakramen itu. Gereja
berpegang pada prinsip ex opere operato yang berarti bahwa daya guna sakramen itu tidak
tergantung pada disposisi pelayan (maupun penerima) akan tetapi semata-mata bergantung pada
tindakan Allah sendiri. Allah berkarya dan menganugerahkan rahmat dalam setiap
perayaan sakramen yang dilaksanakan secara tepat atau sah. Menurut Trente, istilah ex opere operato
bukanlah merupakan konsepsi magis, sebab dengan konsepsi ini, bukan pertama-tama dari ritus-
upacaranya yang membuat rahmat mengalir, melainkan semata-mata bergantung pada Allah. Jadi,
obyektifitas daya guna sakramen bergantung pada karunia Allah, bukan pada hidup moral
pelayannya.
Selanjutnya, dengan sakramen-sakramen hampir setiap peristiwa hidup kaum beriman yang
hatinya sungguh siap “dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paskah: sengsara,
wafat, dan kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua sakramen menerima daya kekuatannya.
Jadi, rahmat pengudusan tidak lain menunjuk karunia keselamatan Allah yang terlaksana melalui
Yesus Kristus sebagaimana mencapai puncaknya dalam misteri paskah Kristus. Dengan demikian

8
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 312.
9
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 31-32.
10
C. Groenen, Sakramentologi…, hlm. 20-21
11
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gerej…, hlm. 182-189.

6
Tesis No. 19-Teologi

isi dari daya guna sakramen dalam perspektif ini adalah kehidupan bersama Allah itu sendiri. Jadi,
setiap sakramen memberikan efek atau akibat yang berbeda terhadap kebersamaan kita dengan
Allah.

3.1 Efek/Daya Guna Sakramen-sakramen Inisiasi


3.1.1 Sakramen Baptis12
⮚ Menjadi Anggota Gereja (Tubuh Kristus)
Pembaptisan menjadikan kita anggota-anggota Tubuh Kristus sekaligus menggabungkan
kita ke dalam Gereja. Dengan demikian oramng yang telah dibaptis bukan lagi miliknya sendiri
melainkan milik Dia, yang telah wafat dan bangkit untuk kita. Melalui baptisan, seseorang pun
mengambil bagian dalam imamat Kristus, dalam perutusan-Nya sebagai imam, nabi dan raja. Juga
di dalamnya ikut berpartisipasi dalam imamat bersama umat beriman. Dan dengan baptisan juga,
orang yang telah dibaptis “dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah.

⮚ Demi Pengampunan Dosa


Dengan pembaptisan, orang yang dibaptis itu memperoleh penghapusan dosa, baik dosa asal
maupun dosa pribadi. Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apapun yang dapat
menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah.
⮚ Menerima Meterai yang Tak Terhapuskan
Orang yang dibaptis menjadi serupa dengan Kristus, karena melalui pembaptisan ia
digabungkan bersama Kristus. Pembaptisan menandai anggota Gereja dengan satu meterai rohani
yang tidak dapat dihapuskan, satu tanda bahwa ia termasuk bilangan Kristus. Tanda ini tidak dapat
dihapuskan oleh dosa mana pun. Karena itu, pembaptisan diterimakan satu kali untuk selamanya,
maka tidak dapat diulangi.

3.1.2 Sakramen Krisma (Penguatan)13


Buah dari sakramen krisma adalah pencurahan Roh Kudus dalam kelimpahan, sebagaimana
yang pernah dialami oleh para Rasul pada hari Pentakosta. Berkat pencurahan ini, rahmat baptis
ditumbuhkembangkan dan diperdalam sehingga:
⮚ kita pun semakin dijadikan sungguh-sungguh anak Allah dan membuat kita berkata,
“Abba, ya Bapa” (Rm 8:15)
⮚ kita dipersatukan lebih erat dengan Kristus
⮚ dalam diri kita bertambah karunia-karunia Roh Kudus
⮚ mengikat kita lebih sempurna dalam relasi dengan Gereja
⮚ kita pun semakin dianugerahkan kekuatan khusus Roh Kudus untuk bertindak
sebagai saksi-saksi Kristus di dalam menyebarluaskan dan membela iman dengan
perkataan dan perbuatan, mengakui nama Kristus dengan lebih berani dan supaya
kita tidak pernah malu karena salib.

12
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 312. Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi
Sistematika 2…, hlm. 382.
13
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 332.

7
Tesis No. 19-Teologi

3.1.3 Sakramen Ekaristi14


Efek sakramen ini tampak dalam buah-buah komuni:
⮚ Komuni memperdalam persatuan kita dengan Kristus.
Buah utama dari penerimaan Ekaristis di dalam komuni adalah persatuan yang erat dengan
Yesus Kristus. Kehidupan di dalam Kristus mempunyai dasarnya di dalam perjamuan Ekaristi:
“Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa
memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57).
⮚ Komuni memisahkan kita dari dosa.
Tubuh Kristus yang kita terima dalam Komuni, telah “diserahkan untuk kita” dan dara yang
kita minum telah “dicurahkaan untuk banyak orang demi pengampunan dosa”. Karena itu, Ekaristi
tidak dapat menyatukan kita dengan Kristus, tanpa serentak membersihkan kita dari dosa-dosa yang
telah dilakukan dan melindungi kita terhadap dosa-dosa baru.
⮚ Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi Membangun Gereja.
Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus
menyatukan orang yang menyambutnya dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh:
Gereja. Komuni membaharui, memperkuat dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang
telah dimulai dengan pembaptisan. Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah
satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu (1Kor 10:16-17).
⮚ Ekaristi mewajibkan kita terhadap kaum miskin
Supaya dengan ketulusan hati menerima Tubuh dan Darah Kristus yang diserahkan untuk
kita, kita juga harus mengakui Kristus di dalam orang-orang termiskin.
3.2 Efek Sakramen-sakramen Penyembuhan
3.2.1 Sakramen Tobat dan Pendamaian15
⮚ Perdamaian dengan Allah.
“Seluruh hasil pengakuan ialah bahwa ia memberi kembali kepada kita rahmat Allah dan
menyatukan kita dengan Dia dalam persahabatan yang erat”. Dengan demikian tujuan dari hasil
sakramen pengakuan dosa adalah perdamaian dengan Allah. Bagi mereka yang menerima sakramen
pengakuan ini dengan penuh sesal dan khidmat, dapat menyusullah “perdamaian dan kegembiraan
hati nurani, dihubungkan dengan Roh yang kuat” (Konsili Trente:DS 1674). Sakramen pendamaian
dengan Allah sungguh mengakibatkan “kebangkitan rohani”, satu penempatan kembali ke dalam
martabatdan dalam kekayaan kehidupan anak-anak Allah, dan yang paling bernilai adalah
persahabatan dengan Allah.
⮚ Mendamaikan kita dengan Gereja
Dosa melemahkan atau memutuskan persekutuan persaudaraan. Sakramen pengakuan
memperbaharuinya dan mengikatnya lagi. Ia menyembuhkan orang yang diterima kembali dalam
persekutuan Gereja dan membangkitkan suatu pengaruh segar atas kehidupan Gereja yang menderita
karena dosa dari salah satu anggotanya. Pendosa diterima kembali ke dalam persekutuan para kudus
dan diperkuat oleh pertukaran kekayaan rohani. Pertukaran ini terjadi di antara semua anggota Tubuh
Kristus yang hidup, entah mereka yang sekarang masih dalam peziarahan maupun mereka yang
sudah ada dalam tanah air surgawi.

14
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 353-354
15
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 372.

8
Tesis No. 19-Teologi

3.2.2 Sakramen Pengurapan Orang Sakit16


⮚ Satu anugerah khusus Roh Kudus
Rahmat pertama sakramen ini ialah kekuatan, ketenangan dan kebesaran hati untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan satu penyakit berat atau dengan kelemahan
karena usia lanjut. Rahmat ini adalah anugerah Roh Kudus yang membaharui harapan dan iman
kepada Allah dan menguatkannya melawan godaan dan musuh yang jahat, melawan godaan godaan
untuk berkecil hati dan rasa akan kematian. Bantuan Tuhan melalui kekuatan Roh-Nya hendak
membawa orang sakit menuju kesembuhan jiwa, tetapi juga menuju kesembuhan badan, kalau itu
sesuai dengan kehendak Allah. Dan “jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni”.
⮚ Persatuan dengan sengsara Kristus
Oleh rahmat sakramen ini, orang sakit menerima kekuatan dan anugerah untuk
mempersatukan diri lebih erat lagi dengan sengsara Kristus. Di sini, sengsara sebagai akibat dosa
asal, mendapat satu arti baru: ia menjadi keikutsertaan dalam karya keselamatan Allah.
⮚ Rahmat Gerejani
Dalam upacara orang sakit, Gereja mendoakan orang sakit di dalam persekutuan para kudus.
Sebaliknya orang sakit menyumbangkan melalui rahmat sakramen demi pengudusan Gereja dan
kesejahteraan semua orang, untuk siapa Gereja menderita dan menyerahkan diri kepada Allah Bapa
melalui Kristus.
⮚ Persiapan untuk perjalanan terakhir
Pengurapan orang sakit membuat kita secara definitif serupa dengan kematian dan
kebangkitan Kristus yang telah dimulai oleh pembaptisan. Ia menyempurnakan urapan-urapan kudus
yang membina seluruh hidup kristen: urapan pembaptisan mencurahkan hidup baru bagi kita;
penguatan meneguhkan kita untuk perjuangan hidup ini. Sedangkan urapan terakhir ini membekali
akhir hidup kita di dunia ini dengan satu tanggul kuat berhadapan dengan perjuangan-perjuangan
akhir sebelum masuk ke dalam rumah Bapa.

3.3 Efek Sakramen-sakramen Pelayanan untuk Persekutuan


3.3.1 Sakramen Tahbisan17
⮚ Meterai yang tidak terphapuskan
Oleh rahmat khusus dari Roh Kudus, sakramen ini membuat penerima serupa dengan
Kristus, supaya ia sebagai alat Kristus melayani Gereja-Nya. Tahbisan memberi kuasa kepadanya,
agar ia bertindak sebagai wakil Kristus, Kepala, dalam ketiga fungsi-Nya sebagai Imam, Nabi dan
Raja. Demikian juga, keikutsertaan dalam martabat Kristus ini diberikan satu kali untuk selamanya
sekaligus memberi tanda rohani yang tidak terhapus dan tidak dapat diulangi atau dikembalikan.
⮚ Rahmat Roh Kudus
Oleh rahmat Roh Kudus yang ada dalam sakramen ini, orang yang ditahbiskan menyerupai
Kristus, Imam, Guru dan Gembala yang harus ia layani. Rahmat ini menyanggupkan orang yang
menerimanya untuk membimbing Gereja-Nya dengan teguh dan bijaksana sebagai seorang bapa dan
gembala serta rahmat ini pun mendorongnya untuk mewartakan Injil tanpa pamrih kepada semua
dan terutama terhadap orang miskin, sakiot dan berkekurangan.

16
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 383-384.
17
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 398-399

9
Tesis No. 19-Teologi

3.3.2 Sakramen Perkawinan18


⮚ Ikatan Perkawinan
Dari perkawinan sah timbul ikatan antara suami-istri yang dari kodratnya bersifat tetap dan
eksklusif karena janji perkawinan dimeterai oleh Allah sendiri. Bahkan cinta kasih suami-istri yang
sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi.
⮚ Rahmat sakramen perkawinan
Dalam perkawinan kristiani suami-istri memiliki karunia yang khas di tengah umat Allah.
Rahmat khusus sakramen perkawinan itu dimaksudkan untuk menyempurnakan cinta suami-istri dan
untuk memperkuat kesatuan mereka yang tidak dapat diceraikan. Berkat rahmat ini “para suami-istri
dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk
menjadi suci (LG 11). Dan Kristus sendirilah sumber rahmat ini.

Daftar Pustaka

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. 1993.
Groenen, C. OFM. Sakramentologi. Yogyakarta: Kanisius. 1990
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995.
Martasujita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Bitora, 19 Februari 2014 Disusun oleh: Paskal Hanoe

Catatan:
Tesis ini telah dikoreksi oleh P. Kornelus Sipayung, Lic.S.Th.

18
Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah. 1995, hlm. 411-412.

10

Anda mungkin juga menyukai