Anda di halaman 1dari 23

MISTIK KRISTIANI

Asal kata Mistik

Dalam Perjanjian Baru (Injil), misteri digunakan dalam kaitannya dengan


perumpamaan-perumpamaan “kepadamu telah diberikan misteri kerajaan Allah tetapi bagi
mereka di luar, segalanya diberikan dalam bentuk perumpamaan...(bdk. Mrk 4:11). Dalam
teks lain dikatakan “kepadamu dibeirkan kemampuan untuk mengetahui misteri-misteri
kerajaan Surga tetapi kepada mereka kemampuan itu tidak diberikan” (bdk. Mat 13:11).
Apakah misteri itu?

Louis Bouyer mengatakan bahwa kata Misteri dan Mistik tidak dapat dipisahkan.
Orang Yunani menggunakan untuk menunjuk pada upacara “agama misteri” mereka
sedangkan para pengarang kristiani menggunakan kata-kata ini dengan caranya yang khusus
dan khas. Para Bapa Gereja menggunakan kata misteri dan mistik, diterapkan pada misteri
Kristus. St Paulus mengatakan tentang mistrei Kristus – misteri salib “suatu batu sandungan
untuk orang-orang Yahudi dan untuk orang-orang Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk
mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah
kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1:23-24).

Louis Bouyer, berpendapat bahwa kata “mistik” digunakan oleh Bapa-Bapa Gereja
dalam tiga konteks: Pertama: ketika berbicara mengenai Kitab Suci. Kitab Suci itu mistik
sifatnya karena kitab suci memuat misteri Kristus. Kedua: berkaitan dengan Ekaristi yang
merupakan misteri iman. Maka, kata ini digunakan dalam konteks litugri yang mengyangkut
misteri besar yang dirumuskan dalam mada “Kristus telah wafat, Kristus telah bangkti,
Kristus akan datang kembali”. Ketiga: menyangkut pengalaman religius.

Arti masuk dalam Misteri Kristus:

- Mendekati Bapa yang selalu ditunjuk oleh Yesus dan berseru “Abba, ya Bapa”.....
- Masuk dalam misteri Tritunggal, dimana “aku dipersatukan dengan Yesus dan
dipenuhi oleh Roh Kudus, menjadi satu dengan Bapa. Misteri Bapa terselubung dalam
Yesus “barang siapa melihat Aku, melihat Bapa” (Yoh 14:9), demikian juga misteri
eskatologis tentang akhir zaman “Pada waktu itulah kamu akan tahu bawa Aku di
dalam Bapa-Ku dan kmau di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh 14:20).

1
- Bukan lari dari dunia tetapi terpusat pada salib-Nya artinya terpusat pada orang
misktin, ornag sakit, orang malang, orang tersingkir, di penjara, orang meninggal dan
semua orang menderita sebab dengan mereka Yesus mempersatukan diri.

Pengertian

Dalam KGK dikatakan “Kemajuan spiritual cenderung menuju kesatuan yang lebih
intim dengan Kristus. Persatuan ini disebut “mistis” karena ia berpartisipasi dalam misteri
Kristus melalui sakramen – ‘misteri suci’ – dan, di dalam Dia, dalam misteri Tritunggal
Mahakudus. Allah memanggil kita semua untuk bersatu erat dengan-Nya, meskipun hanya
segelintir orang yang dianugerahi rahmat khusus dan tanda-tanda luar biasa dari kehidupan
mistik ini, dengan tujuan mewujudkan anugerah cuma-cuma yang diberikan kepada semua
orang” (Katekismus Gereja Katolik 2014).

Misteri Kristus selalu merupakan pusat doa dan ibadat orang kristiani diungkapkan
dalam lambang kaya bermacam warna, salah satunya adalah lamabng Hati Kudus Yesus. Hati
Yesus ini merupakan lamabng mulia kehidupan Yesus di dalam diri-Nya dan cinta-Nya yang
tidak terhingga kepada Bapa dan kepada umat manusia. Masuk dalam Hati Yesus berarti
masuk tidak hanya ke dalam misteri Yesus sendiri melainkan jgua dalam misteri Bapa yang
diwahyukan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa masuk tidak hanya ke dalam penderitaan
Yesus sendiri melainkan juga dalam pnederitaan seluruh dunia yang dicintai-Nya.

Teologi Mistik Pertama

Dalam buku “Theologia Mistik”, Dionisius (VI) menggambarkan Musa mendaki


gunung dan masuk ke dalam kegelapan. Kegelapan ini disebut perubahan kesadaran. Inilah
keadaan pikiran yang dikosongkan dari gerak diskursif (menimbang-nimbang), yang
mengandung konsep-konsep (gambaran pikiran), tinggal berada dalam kesunyian dan
kekosongan. Maka, Dionisisus dalam memimbing muridnya ia memberikan insturksi kepada
muridnya bagaimana masuk ke dalam alam dia, alam kekosongan dan alam kehampaan.
Musa naik ke gunung dan memasuki awan tetapi tidak melihat Allah. Langkah yang
dilakukan oleh Dionisius bersifat pastoral, maka teologi mistik itu bersifat pastoral
(bimbingan) karena bertujuan menolong umat di jalan mereka menuju Allah.

2
Dioisisu memulai dengan sebuah doa kepada Allah Tritunggal:

Ya Tritunggal,
Dikau yang menglangkaui segala mahluk,
Dikau ang menglangkaui segala ilah-ilah
Dikau yang menglangkaui segala yang baik,
Dikau yang menjadi pembimbing umat Kristiani dalam kebijaksaaan ilahi
Bimbinglah diri kami untuk mencapai puncak mistik.

Tokoh Mistik dalam Kitab Suci

Kitab Suci menceritakan tentang “pekerjaan luar biasa” Allah, apa yang Dia lakukan bagi
umat-Nya dan bagaimana tanggapan mereka terhadap Dia. Hati nurani agama Yahudi sangat
peka terhadap sejarah sebagai tanda keselamatan dan sakral yang mengungkapkan rencana
Allah bagi dan bagi Israel. Dalam arti tertentu, sejarah adalah sakramen agama Israel.
Peristiwa-peristiwa yang bersifat kontingen dan khusus mengungkapkan realitas interaksi
antara Tuhan dan manusia.
Oleh karena itu, Kitab Suci bukanlah sebuah risalah sejarah dalam pengertian modern.
Para penulis suci menangkap makna mendalam, makna penyelamatan, dimensi mistik dari
peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, para Bapa Gereja dengan tepat mencari makna
mistik dan rohani dari Kitab-Kitab Ibrani. Fakta bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama
“memperoleh dan menyoroti makna penuhnya dalam Perjanjian Baru... dan pada gilirannya
menerangi dan menjelaskannya”1 menunjukkan karakter mistiknya.

Dalam konteks inilah kita dapat memahami apa yang dimaksud Santo Thomas Aquinas
dengan tulisannya: “Kitab Suci disebut hati Kristus karena justru mengungkapkan hati-Nya”. 2
Dijelaskan sama seperti keyakinan para Bapa Gereja tentang makna mistik Kitab Suci
sebagai landasan ortodoksi dan kehidupan Kristiani yang otentik.
Allah yang bersemayam dalam terang yang tak terjangkau, yang belum pernah dilihat dan
dilihat manusia" (1 Tim 6:16) menciptakan umat manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
Dengan mengkomunikasikan diri-Nya, Tuhan mempersatukan umat manusia dengan diri-Nya
1
DV, 15.
2
Sr. SYLVIA MARY, Pauline and Johannine Mysticism, hal. X.

3
melalui persekutuan tertentu. Misalnya, sebelum berdosa, Adam dan Hawa menikmati
keintiman seumur hidup dengan Tuhan.Banyak teolog menyatakan bahwa Adam dan Hawa
mencintai semua makhluk di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam semua makhluk. Kondisi
rahmat yang mereka miliki menganugerahi mereka iman mistik yang jauh lebih unggul
daripada iman “biasa”, meskipun mereka masih belum memiliki visi bahagia. Mereka
memiliki pengetahuan mistik dan kecintaan kepada Tuhan yang hampir tak terlukiskan.
Abraham, Yakub, Musa, Samuel dan para bapa bangsa Perjanjian Lama lainnya
mengalami panggilan intim dari Tuhan, mereka diuji dalam iman mereka, mereka berperang
melawan Tuhan dan diberkati oleh-Nya, mereka berbicara dengannya seperti dengan seorang
teman. Mereka seringkali takut dan terdiam di hadapannya. Namun, mereka tampak berubah
karena pertemuan mereka, tertarik padanya sebagai kebaikan tertinggi dan yakin bahwa dia
membantu rakyatnya dalam segala hal yang mereka lakukan atau lakukan.
Musa dan Yakub mengaku pernah melihat Tuhan muka dengan muka dengan beberapa
perbedaan, tergantung seberapa langsung mereka memandang wajah-Nya (Kej 32.30; Kel
33.11-23; Bil 12.7; Ulangan 34.10). Yakub membual bahwa dia telah bergumul dengan
Tuhan dan selamat dari pengalaman yang membuatnya merasakan kekudusan Tuhan yang
luar biasa (Kej. 32:24 dst). Ketika Ayub bisa berkata kepada Tuhan: “Sekarang mataku
melihatmu” (Ayub 42.5), pertanyaan-pertanyaannya yang menyedihkan berhenti dan dia
merendahkan dirinya “dengan debu dan abu”.
Hal yang sama dapat dikatakan, dengan beberapa perbedaan, mengenai nabi-nabi besar
Perjanjian Lama. Misalnya, Elia, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea dan Amos dipanggil,
dengan cara yang sangat intim, untuk menjadi juru bicara Allah. Mereka mengalami Allah
sebagai kekudusan yang luar biasa dan sebagai “air hidup”, sumber segala kehidupan yang
sejati, manusia. yang selalu dapat mereka andalkan, berkat kekekalannya “cinta” (Yer 31,3).
Mereka yakin bahwa kehadiran Tuhan akan membuat mereka tak terkalahkan dalam perang
suci jika mereka menaati perintahnya.
Tuhan membiarkan firman-Nya berkobar di dalam hati mereka, membuat mereka mampu
mengucapkannya dan tidak mampu menahannya. Diberi wewenang untuk mewartakan
firman Allah sering kali berasal dari fakta bahwa para nabi “menghadiri nasihat Tuhan” (Yer
23.18). Pengetahuan mereka akan Allah menghasilkan kepercayaan yang tak tergoyahkan
pada kesetiaan Allah, pada kelembutan-Nya, pada kasih sayang-Nya, pada kasih-Nya, dan
pada murka-Nya.
Setelah menerima Roh Allah ke dalam hati mereka, beberapa orang bernubuat suatu saat
ketika seluruh umat Allah pada akhirnya akan menerima Roh Kudus. Nabi-nabi yang lain

4
mengajak orang-orang untuk bertobat dan mendesak adanya istirahat mistik pada hari Sabat
(Yes 30.15), yaitu istirahat di hadirat Allah.Nabi-nabi yang lain menubuatkan kedatangan
"Anak Manusia" (Dan 7) dan menetapkan landasan mistik mesianik yang menstimulasi hasrat
yang kuat akan "Dia yang akan datang" untuk menegakkan kekuasaan dan kekuasaan Tuhan
atas segalanya.
Banyak nabi Perjanjian Lama yang pada dasarnya adalah mistik dalam tindakan. 3
Pengalaman mereka yang mendalam akan Tuhan di masa sekarang membuat mereka peka
terhadap apa yang telah Tuhan lakukan bagi umat-Nya di masa lalu dan terhadap keadaan
sosial, politik dan ekonomi pada zaman mereka. Berkat pengalaman mistik akan Tuhan di
lubuk hati mereka, mereka memahami bahwa orang-orang pada zamannya tidak melakukan
kehendak Tuhan. Dengan cara ini, mereka mewujudkan pertanyaan-pertanyaan yang
membara pada zaman mereka. Melihat bagaimana Tuhan bertindak di masa lalu, ketika
umatnya taat atau tidak taat, para nabi pun tak segan-segan mengatakan apa yang akan Tuhan
lakukan untuk dan kepada mereka di masa depan.
Para leluhur dan nabi Perjanjian Lama adalah contoh dari mereka yang telah mengalami
Allah sebagai Yang Mahakudus, misteri yang luar biasa dan mempesona. Meskipun benar-
benar transenden, sama sekali berbeda, kegelapan yang paling unggul, Allah sangat dekat
dengan mereka dan merupakan Pribadi yang paling utama, Allah sebagai cahaya hidup
mereka.
Meskipun demikian, Tuhan yang benar-benar baik ini juga menarik, mempesona,
memabukkan, gembira, dan mempesona orang-orang yang menempatkan diri mereka di
hadapan-Nya. Orang Suci membangkitkan perasaan syukur, dedikasi, pujian, kepercayaan,
ketundukan, dan cinta yang radikal dan mentransformasikan. Ia dialami sebagai objek hasrat,
pencarian, dan aspirasi terdalam manusia. Bersatu dengan Tuhan ini, yang hidup dan benar,
adalah tujuan akhir dari setiap kehidupan manusia untuk dirinya sendiri. Ini adalah
mistisisme yang otentik. Para leluhur dan nabi mengajarkan bangsa Israel untuk
mengharapkan karunia iman yang sama seperti yang mereka sendiri terima. Umat beriman
Israel tentu saja mengalami persekutuan dengan Tuhan, kehadiran-Nya yang menyelamatkan,
tangan-Nya yang melindungi, kasih setia-Nya, dan beberapa di antaranya dengan cara yang
secara radikal membersihkan, mencerahkan, dan mempersatukan sehingga kehidupan mereka
diubahkan secara total.
Teks-teks Perjanjian Lama mengungkapkan perbedaan intensitas antara pengalaman
mistik para leluhur dan nabi dan iman yang hidup dari rata-rata orang Israel, namun teks-teks
3
G. SCHOLEM, Major Trends in Jewish Mysticism, New York, Schocken 1954, hal. 6-7.

5
tersebut tidak menjelaskan apa pun tentang perbedaan kualitatif tersebut. Konteks global dari
sejarah keselamatan dan hukum umum komunikasi diri Allah, kasih karunia, pada
kenyataannya, menunjukkan iman sebagai tempat teologis pengalaman mistik. Mazmur-
mazmur ini secara khusus membuktikan iman mistik Israel. Di sana kita menemukan
perasaan mistik akan ketidakterbatasan Tuhan, kedekatan-Nya dan kegembiraan persekutuan
dengan-Nya. Rasa lapar dan haus akan Tuhan, yang merupakan terang, kasih, air hidup dan
kehidupan itu sendiri, meresap dalam mazmur. “Tenanglah dan ketahuilah bahwa Akulah
Allah” (Mazmur 46:10) menandakan suatu hal yang mendalam dipanggil pada keyakinan
mistiknya.
Frekuensi kata “cinta “dan “kelembutan” menggarisbawahi keintiman intens yang ada
antara Tuhan dan umat-Nya. Mazmur membuktikan bahwa karena kita hidup dan bergerak
serta keberadaan kita di dalam Tuhan, maka tak seorang pun dapat luput dari kehadiran
kasih-Nya (Mazmur 139:7-18). Kehadiran Allah yang nyata, yang merasuki kehidupan Israel,
diwujudkan dalam berkat dan pujian yang terdapat dalam mazmur. Hal ini menunjukkan
bahwa orang beriman tidak terkalahkan karena keteguhan kasih Allah, Allah itu dapat
dipercaya dan patut dipuji dalam segala keadaan. 4 Dia dipuji bukan hanya karena
perbuatannya, tapi terutama karena siapa dirinya. Keindahan, kebaikan, kesucian dan kasih-
Nya memenuhi alam semesta dan kedalaman hati manusia. Pujian yang diungkapkan dalam
mazmur begitu tidak memihak sehingga pemazmur ingin lepas dari kematian hanya karena di
dalam sheol seseorang tidak dapat lagi memuji Tuhan. Memuji Tuhan, menurut pemazmur,
adalah kehidupan itu sendiri.
Perjanjian Lama memunculkan dan memuat janji yang diproyeksikan ke masa depan.
Yesus menyatakan: “...Banyak nabi dan orang-orang saleh ingin melihat apa yang kamu lihat
namun tidak mereka lihat, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar namun tidak
mendengarnya!” (Mat 13.17). Meskipun Tuhan memuaskan sebagian keinginan umat-Nya,
Israel mengalami bahwa “mereka tidak mencapai janji, karena Tuhan telah mempersiapkan
sesuatu yang lebih baik untuk kita... » (Ibr 11,39b-40). "Sesuatu yang lebih baik" itu tidak
diragukan lagi adalah Yesus Kristus yang menyatakan kepada orang-orang Yahudi:
"Abraham, ayahmu, bersukacita karena harapan dapat melihat hariku" (Yoh 8:56). Mistisisme
Perjanjian Lama tetap menjadi dasar awal bagi perjanjian baru Allah yang akan menjadikan
"pengetahuan tentang kemuliaan ilahi bersinar pada wajah Kristus" (2Kor. 4:6). Umat
manusia akan mampu merenungkan wajah manusia Tuhan dan kehidupan. Kristus yang
disalib dan bangkit memberikan kesaksian bahwa Allah bersatu secara definitif dan tidak
4
C. WESTERMANN, The Praise of God in the Psalms, Richmond Va, John Knox Press 1965.

6
dapat diubah lagi dengan umat-Nya. "Perantara aliansi baru" (Ibr 9:15) mendirikan,
mengungkapkan dan membuat mistisisme dapat diakses dalam bentuknya yang paling murni
dan tak tertandingi.

Perjanjian Lama
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, ada beberapa tokoh mistika antara lain:

1. Abraham
Kehidupan mistik adalah sebuahperjalanan iman yang radikal dan iman yang hidup.
Abraham menjadi model perjalanan iman ini dapat dilihat dalam peristiwa hidup Abraham
seperti: sikap meninggalkan keluarga/negerinya dan pergi ke tempat/tanah yang akan
ditunjukan oleh Allah (bdk. Rom 4:3); mengurbankan anak tunggal (bdk. Ibr 11:17). Dalam
diri Abraham tidak ada rasa tidak percaya yang menyebahkan Abraham goyah terhadap janji
itu…(bdk. Rom 4:19). Apa yang melatarbelakangi sehingga Abraham memiliki iman yang
radikal dan hidup? Abraham percaya pada Allah demi Allah seperti halnya Abraham
berharap pada Allah demi Allah. Abraham percaya karena ia percaya seperti halnya Abraham
berharap karena ia berharap “dengan berharap melawan apa yang diharapkan, ia percaya
bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa” (Rom 4:18). Iman Abraham harus menjalani
pemurnian. St Yohanes dari salib berkata “Abraham terkecoh dalam pemahamannya
mengenai nubuat. Jika ia bertindak menurut pemahamannya, ia pasti akan salah karena
pemilikan tanah tidak akan terjadi pada masa hidupnya” atau Abraham harus meninggalkan
pemahamannya agar ia dapat berjalan menapaki jalan iman.
Pola dalam pengalaman mistik adalah “kehilangan segala untuk menemukan segala”.
Dalam Dei Verbum I, 5 dikatakan “ketaatan iman (Rom 16:26) harus diberikan kepada Allah
yang berwahyu, suatu ketaatan yang dijadikan sarana orang menyerahkan seluruh dirinya
secara bebas kepada Allah, dengan mempersembahkan ketundukan akal budi dan kehendak
secara penuh kepada Allah yang berwahyu; dan dengan bebas menerima kebenaran yang
diwahyukan oleh Allah. Jika iman ini akan ditunjukkan maka rahmat Allah dan pertolongan
Roh Kudus dalam diri orang harus mendahului dan menolong dengan menggerakkan hati
dan mengarahkannya kepada Allah, dengan membuka mata pikiran dan dengan memberikan
sukacita serta kemudahan bagi setiap orang dalam mengamini kebenaran serta
memperayainya. Agar dapat dihasilkan pemahaman yang semakin mendalam mengenai
wahyu, Roh Kudus itu pula senantiasa memurnikan iman dengan rahmat-rahmat-Nya”. Iman

7
itu adalah tindak ketaatan atau kepasrahan atau keberserahan, suatu komitmen seluruh pribadi
manusia; dan iman itu menghantar orang ke hubungan pribadi dengan Allah.

2. Musa
Kehadiran mistik itu kadang-kadang dimulai dengan sebuah pengalaman Allah yang hadir
penuh cinta, mengesan dalam dan tidak dapat dihapus lagi. Dalam pengalaman Musa,
kehadiran Tuhan itu sangat nyata di tengah nyala api yang keluar dari semak-semak “lalu
Musa menutupi mukanya karena ia takut memandang Allah” (Kel 3:6).
Biasanya api itu menghancurkan dan memusnahkan menjadi debu akan tetapi api
kehadiran Allah ini tidak membinasakan apa-apa. Sebaliknya api kehadiran Allah memberi
hidup. Dalam kehadiran ini, Allah memanggil Musa dengan menyebut namanya: “Musa,
Musa” menunjukan bahwa Musa dicintai secara istimewa dan Musa dipanggil secara khusus.
Allah juga memperkenalkan diri-Nya, dengan nama “Aku adalah Aku”. Arti kehadiran Allah:
Pertama: Kehadiran Allah itu tidak tanpa gerak, dimanis, penuh gerak. Allah
menyatakan kepada Musa “kehadiran-Ku sendiri akan membimbing engkau dan memberi
ketenteraman kepadamu” (Kel 33:14).
Kedua: Memimpin. Kehadiran ini memimpin Musa dengan bangsanya melintasi padang
gurun, bagaikan awan di waktu siang dan tiang bernyala di waktu malam “Tuhan berjaan di
depan mereka pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun merek adi jalan, dan apada
waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang
dan malam” (Kel 13:21).
Ketiga: Memberi keberanian. Kehadiran ini memberi keberanian, kegembiraan, percaya
diri, kekuatan, kuasa. Disaat Musa menggagap dan menggigil, mau menolak tugasnya yang
amat besar itu, maka suara Tuhan meneguhkan “Bukankah Aku akan menyertai kamu...” (Kel
3:12). Keharian Tuhan itu penuh daya, memimpin seperti tiang awan saat siang dan tiang api
saat malam. Santo Yohanes Salib menulis madah dalam tulsiannya (malam gelap):
o… terang yang menuntun
o… malam lebih cerah daripada fajar
o... malam yang mempersatukan
Sang Cinta dengan kekasih-Nya
mengubah Sang kekasih menjadi Cintanya
Dari madah, menunjuk pada cara Tuhan menuntun sangat mengagumkan, menuntun
melintasi padang gurun, menuju tanah yang dijanjikan yang berarti penyatuan diri dengan

8
Dia, penuh cinta. Ciri khas dalam perjalanan misitk bagi tradisi Yahudi-Kristiani adlaah
kehadairan yang menuntun.
Bagi Musa, pusat hidup mistik adalah persahabatannya dengan Allah “dan Tuhan
berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seornag berbicara kepada
sahabatnya” (Kel 33:11). Musa dalam dialog dengan Allah, selalu mendahului dengan
berkata “Jika aku berkenan dihadapan-Mu” seakan-akan Musa mau mengatakan “Jika
Engkau sunguh mencintai aku, dan aku tahu bahwa Engkau memang seperti itu…”. St
Theresia dari Avila berkata bahwa “doa itu tidak lain daripada persahabatan mesra, kerap
brebicara dari hati ke hati dengan Dia..”. Maka, Musa membicarkana masalah-masalahnya,
mengeluarkan kekecewaan, mengajukan permohonan kepada sahabat. Apakah Musa pernah
melihat Allah? Apakah Musa mencapai “visio beatifica”? Dalam tradisi teologi yang
memiliki penadasaran dalam kitab Keluaran bahaw Musa tidak melihat Tuhan (bdk. Kel
33:19-20). Jika Musa tidak meliaht Allah, lalu apa sifat pengalamannya itu? Gregorius dari
Nisa dalam bukunya “Hidup Musa” melihat Msua masuk dalam kegelaan kelam, menyatakan
bahwa Musa mendapatkan pengelihatan Allah secara langsung tetapi pengelihatan itu gelap.
Gregorius dari Nisa menggambarkan bagaimana akal budi melintasi semua pengelihatan
indera, mengatasi pengelihatan angan-angan, mengatasi semua pengetahuan dan pemikiran
sampai ia melihat Tuhan dalma kegelapan:
“Meninggalkan segala sesuatu yang diketahui, tidak hanya yang ditankap oleh
indera tetapi juga apa yang dipikirkan oleh akal budi sebagai pengelihatan, ia terus masuk
lebih dalam, hingga karena dambaan budi akan pengetahuan ia dapat mendekati
yang tak kelihatan dan tak dapat dimengerti lalu ia melihat Tuhan. Inilah pengetahuan
sejati yang ia cari: ini penglihatan, yang isinya tidak melihat sebab apa yang dicari itu
mengatasi segala pengetahuan, karena dari segala pihak dipisahkan oleh
ketidaktahuan oleh semacam kegelapan”.
Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan (pengalaman mistik) menjadikan Musa sebagai:
 Nabi besar: “seperti Musa yang dikenal Tuhan dengan berhadapan muka, tidak ada
lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel” (Bil 34:10).
 Pembuat Hukum
 Pemimpin bansa dan pembentuk jemaat
 Pengalaman misitk pada Musa bukan untuk dirinya sendiri melainkan menjadi
pengalaman seluruh umat Israel; sebab mereka itu; untuk menjadi pengikut Musa
mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut (bdk 1 Kor 10:2).

9
Perjanjian Baru

a. Mistik Yesus
Yesus Kristus adalah dasar dari semua mistik Kristiani. Karena kesatuan permanen
kodrat manusia dengan Pribadi ilahi sang Sabda, Yesus Kristus tidak hanya memiliki
pengetahuan ilahi, tetapi juga pengetahuan manusiawi yang langsung, langsung, dan unik
tentang Bapa, tentang diri-Nya sebagai Putra, dan tentang Roh Kudus. 5 Kesadaran Trinitas
Yesus dapat didefinisikan sebagai kesadaran mistik dalam arti tertinggi. Lebih jauh lagi,
kesatuan antara kodrat manusia dan keilahian Yesus adalah fondasi dan tujuan kehidupan
mistik: kemampuan untuk berserah diri secara total dan sempurna dalam kasih Tuhan yang
menginginkan kita bersatu dengannya sepenuhnya. Yesus menyatakan bahwa “tidak ada
seorang pun yang mengenal Anak selain Bapa dan tidak ada seorang pun yang mengenal
Bapa selain Anak dan siapa pun yang kepadanya Anak memilih untuk menyatakan Dia” (Mat
11:27). Dalam ayat ini dan ayat-ayat lain dalam Perjanjian Baru (Yoh 7:29; 8:55), Yesus
berbicara tentang pengenalannya yang intim, penuh, pribadi, berbakti, dan penuh kasih akan
Bapa. Dia tahu bahwa dia datang dari Bapa (Yoh 5:23) dan bahwa Dia akan kembali kepada-
Nya (Yoh 8:14). Persatuan yang Ia nikmati dengan Bapa memenuhi pengetahuannya. Dia
mendengarkan perkataan Bapa (Yoh 8.26). Hubungan Yesus dengan Bapa begitu akrab
sehingga Bapa memberi tahu Dia memahami segala sesuatu yang diperbuatnya (Yoh 5:20).

Yesus “mengenal” Bapa dalam pengertian alkitabiah sepenuhnya: pengetahuan


pengalaman yang penuh kasih. Dia tidak hanya mengenal Bapa dalam kasih pada tingkat
yang belum pernah diketahui sebelumnya, namun dia juga dapat berbagi pengalamannya
dengan Bapa kepada orang lain (Mat 11.27; Yoh 1.18). Karena Dia adalah Sabda Bapa,
terang dan hidup, dalam arti yang mutlak, Dia dapat memberikan hikmat, terang dan
kehidupan di dalam hati orang-orang yang mengasihi Dia (Ef 3:17). Lebih jauh lagi, melihat
Kristus berarti melihat Bapa (Yoh 14:19). Mendengarkan Dia berarti mendengarkan Bapa
(Luk 10:16). Mengenal Kristus berarti mengenal Bapa dan pengetahuan mistik tentang Bapa
dan Putra ini adalah hidup yang kekal (Yoh 17.3). Mengasihi Kristus berarti dikasihi oleh
Bapa, Allah yang diungkapkan oleh Yesus sebagai kasih itu sendiri (Yoh 14.21; 1 Yoh 4.8).
Yesus berjanji bahwa semua orang yang percaya akan menjadi satu dengan Dia dan Bapa.
5
Cf. K. RAHNER, Dogmatic Reflections on the Knowledge and Self-Consciousness of Christ in Theological
Investigations V, (trad. k. H. KRUGER) Baltimore, Helicon, 1966, hal. 193-215.

10
Mereka akan merasakan kasih ilahi yang ada antara Dia dan Bapa dan bahwa mereka juga
akan menjadi satu, sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh. 17:20).

Sebagai kasih Bapa yang tak bersyarat, nyata dan nyata bagi umat manusia, Kristus
adalah tanda nyata yang mengandung makna yang terutama mistisik yaitu kesatuan total dan
kesatuan dengan kasih Allah. Namun harus digarisbawahi, bahwa persatuan dan kesatuan
yang diwartakan Yesus bukanlah peleburan di dalam Tuhan, melainkan berdiam dan tinggal
di dalam Dia. Inilah misteri cinta mistik: dua orang atau lebih menjadi satu, namun tak
seorang pun kehilangan identitas individualnya.

Beberapa pakar telah menggarisbawahi penggunaan kata “Abbà” yang Yesus gunakan
(Bapa atau Ayah) ketika berbicara kepada Tuhan. 6 Karena keintiman kata ini, tidak ada orang
Yahudi di zaman Yesus yang pernah menyapa Tuhan dengan cara ini. Berdoa kepada Tuhan
dengan kasih sayang seperti itu akan menimbulkan skandal terhadap kepekaan agama
Yahudi. Penggunaan kata “Abba” oleh Yesus ketika memanggil Bapa sangatlah unik.
Dengan cara yang penuh rahasia, hormat, taat, namun juga intim dan akrab, Yesus menyebut
Allah sebagai “Ayahnya”. Kata ini menangkap misteri identitas dan misi Yesus: hubungan
penuh dan taat dengan Bapa. Karena kedalaman di mana Dia dan Bapa adalah satu, Yesus
menganggap dirinya sebagai Putra, sebagai wahyu otentik dari Bapa. Oleh karena itu,
kesadaran berbakti Yesus adalah model hubungan intim mistik sempurna dengan Bapa.

Pada zaman Yesus, orang-orang Yahudi yakin bahwa, dengan kematian para nabi
terakhir, Roh Kudus telah tertahan karena dosa-dosa Israel. Hanya pada akhir zaman Roh
Kudus akan datang untuk memuaskan hasrat besar Israel akan kehadiran Tuhan. Dalam
konteks ini, pernyataan Yesus yang tidak biasa bahwa Ia sendiri memiliki Roh Kudus
sangatlah penting. Injil menggambarkan Yesus sebagai orang yang digerakkan oleh Roh,
ketika Dia bekerja dengan kuasa Roh, dan sebagai orang yang akan mengirimkan Roh ini ke
dalam kematian-Nya.

Injil Yohanes menggambarkan Roh Kudus bukan sebagai Dia yang mengilhami
kegiatan kerasulan Yesus, tetapi sebagai Dia yang “menghibur” untuk melanjutkan dan
menyelesaikan pelayanan ini. Bagi Yohanes, Roh Kudus adalah Yesus yang lain (Yoh
14:16), atau sekadar Roh Yesus, Roh kebenaran (Yoh 14:17). Yesus menegaskan bahwa
hanya melalui kematian-Nya yang menebus, Roh Kudus akan dicurahkan secara definitif

6
Cf. J. JEREMIAS, New Testament Theology, New York, Scribner’s 1971, hal. 61-68.

11
(Yoh 7:39). Lebih jauh lagi, Roh Kudus adalah air hidup yang dijanjikan Yesus dan mengalir
dari hati-Nya yang hancur (Yoh 7:38; 19:34).

Roh ini akan memimpin umat Kristiani kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13) dan
membuat Yesus selalu hadir di antara umat-Nya (Mat 28:20). Karena Roh, sebagai
"Penghibur yang lain" (Yoh 14:16) juga merupakan kehadiran permanen Yesus di antara para
pengikut-Nya setelah penampakan-penampakan pada Paskah berhenti, maka Roh Kudus akan
mempunyai hubungan yang sama dengan orang-orang Kristiani.

Yesus mengalami Bapa secara penuh kegembiraan sebagai Allah, di atas kita, Roh
Kudus secara penuh kegembiraan, sebagai Tuhan di dalam kita, dan diri-Nya sebagai Anak,
atau Tuhan bersama kita. Karena hati nurani Yesus yang pada hakikatnya adalah Tritunggal,
semua mistik Kristiani yang autentik bersifat Tritunggal. Kesadaran Yesus akan Tritunggal
terwujud secara tidak langsung dalam berbagai cara: Pertama, dia tidak segan-segan
mengampuni dosa, suatu kegiatan yang membuat skandal dan membuat kagum orang-orang
sezamannya. Pemimpin, raja, nabi Yahudi manakah yang berani mengampuni dosa? Kedua,
Yesus menggunakan kata “amin” dengan cara yang benar-benar baru, bukan untuk
mendukung atau menerima perkataan orang lain, namun untuk memperkenalkan kata-katanya
sendiri dan dengan demikian menempatkannya dalam konteks ilahi. Mirip dengan pernyataan
para nabi Perjanjian Lama, “Demikianlah firman Tuhan”, Yesus tidak segan-segan
mengatakan “Demikianlah Aku berkata kepadamu”. Ketiga, Yesus berbicara dengan
keyakinan dan otoritas yang belum pernah ada sebelumnya. Berbeda dengan para pemuka
agama pada zamannya, yang mengumpulkan sebanyak mungkin bukti dari masa lalu, Yesus
berbicara dengan penuh wibawa (Mrk 1:22). Ia bahkan mengaku lebih besar dari Bait Suci
(Mat 12:6), daripada Yunus (Mat 12:41), daripada Salomo (Mat 12:42), sehingga
menempatkan dirinya di atas tradisi terbaik Perjanjian Lama. Hal ini terutama terlihat dalam
kaitannya dengan posisinya terhadap hukum Yahudi tentang pembunuhan, perceraian,
perzinahan, hukum pembalasan dan sumpah.

Seperti banyak pendiri agama, Yesus memberikan nasihat tentang cara hidup,
berkhotbah bahwa kerajaan Allah ada di antara manusia karena Dia hadir. Para pendengarnya
dihadapkan pada tawaran keselamatan definitif dari Allah, campur tangan kerajaan-Nya ke
dalam sejarah umat manusia, karena Yesus sendiri hadir. Dia memanggil orang-orang untuk
melakukannya iman, untuk mengikuti dan mengambil keputusan akhir mengenai kerajaan
Allah, sehingga keputusan-keputusan tersebut tidak dapat dipisahkan dari pilihan

12
mendasarnya baginya. “Selanjutnya Aku berkata kepadamu: barangsiapa mengakui Aku di
hadapan manusia, maka Anak Manusia pun akan mengakuinya di hadapan para malaikat
Allah; tetapi barangsiapa menyangkal Aku di hadapan manusia, ia ditolak di hadapan
malaikat-malaikat Allah” (Luk 12:8-9). Kristus mengharapkan murid-murid-Nya memikul
salib setiap hari, menyangkal diri, dan kehilangan nyawa demi Dia. Tidak ada tokoh
Perjanjian Lama yang pernah berbicara seperti ini.

Namun perlu digarisbawahi bahwa Yesus datang bukan “untuk meniadakan hukum
Taurat dan kitab para nabi…melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Yesus, pada
intinya, adalah putra dari suatu bangsa yang hidup sesuai dengan Perjanjian Lama. Menerima
lingkungan sosial dan keagamaan dari mana dia berasal, dia berkhotbah dalam bahasa dan
dengan konsep dan gambaran pada masanya. Lebih jauh lagi, dia bahkan menafsirkan dirinya
dan misinya berdasarkan Perjanjian Lama, yang di dalamnya hampir semua yang dia katakan
telah dikatakan. Meskipun terdapat kesinambungan penting dalam Yesus dari Perjanjian
Lama ke Perjanjian Baru, terdapat juga diskontinuitas. Dia melampaui lingkungan
Yahudinya, para bijak, para pendiri agama, para filsuf pada zamannya. 7 Kepastian Yesus
mengenai hubungannya dengan Bapa dan dengan Roh tidak berasal dari argumen filosofis
atau dari cerita tradisi kuno umat-Nya atau dari meditasi. Pengalaman unik dari Bapa dan
Roh Kudus merasuki segala sesuatu yang Dia lakukan. Pendiri agama manakah yang telah
dibangkitkan dari kematian sebagai penegasan Tuhan atas identitas dan misi-Nya atau telah
memberikan perintah baru kepada para pengikutnya untuk mengasihi orang lain sebagaimana
Dia mengasihi mereka (Yoh. 15:12 dst)? Tidak mengherankan jika murid-murid Yesus
memahami bahwa mereka berada di hadapan lebih dari sekedar nabi atau rabi lain dan
menyembah dia sebagai “Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28).

Melalui pelayanannya, sengsara dan kematiannya, karunia Rohnya dan penampakan


kebangkitannya, murid-murid Yesus mengalami penyucian, pencerahan dan transformasi
mistik. Ketika mereka menerima, pada tingkat pengalaman, Roh Kudus pada hari Minggu
Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1 dst), transformasi mistik mereka menjadi lebih mendalam.
Sejak saat itu, dengan kuasa Roh, mereka mampu dan ingin mengkhotbahkan apa yang telah
dilakukan Allah di dalam Kristus bagi umat-Nya. Roh telah mengubah mereka dari segelintir
murid menjadi Tubuh mistik Kristus, menjadi Gereja.

7
Cf. H. KUNG, On Being a Christian, Garden City N.Y., Doubleday, 1976, hal. 119-149.

13
b. Mistik Paulus

Ungkapan “di dalam Kristus” merangkum kehidupan mistik Paulus, yang dimulai
pada saat perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit di jalan menuju Damaskus (Kisah 9:1-
19; 22:3-16; 26:12-18 ; Gal 1:12). Peristiwa ini mengubah Saul yang membenci Yesus dan
umat Kristiani menjadi Paulus. Ia menyangkal masa lalunya sebagai “sampah”, rela
mengorbankan segalanya dan rela melakukan apa pun untuk “mendapatkan Kristus” (Filipi
3:2-11).

Paulus tidak hanya menegaskan bahwa pertemuan ini adalah penampakan terakhir
Kristus yang bangkit (1 Kor 15:8), namun ia juga menegaskan bahwa pertemuan ini
menegaskan haknya untuk menjadi rasul Yesus Kristus. “Belum pernahkah aku melihat
Yesus, Tuhan kita?” (1 Kor 9:1), kata Paulus untuk membela "pelayanannya" sebagai rasul
bagi bangsa-bangsa lain (Rm. 11:13). Lebih jauh lagi, Paulus memberitakan “bukan Injil
manusia”, melainkan Injil yang diterimanya “melalui wahyu Yesus Kristus” (Gal 1:12). Perlu
digarisbawahi bahwa sama seperti “manusia di dalam Kristus”, Paulus dengan gembira
diangkat ke “surga ketiga”, tidak diketahui apakah dengan tubuhnya atau di luar tubuhnya
dan “dia mendengar perkataan yang tak terkatakan” (2 Kor 12:2).

Paulus jelas mengalami penyucian yang diberikan Tuhan yang membuatnya keluar
dari pengalaman ini "hancur total", dengan sensasi "menerima hukuman mati" (2 Kor 1,8-9).
Duri yang ditempatkan oleh Tuhan dalam daging Paulus dan siksaan dari "utusan" Setan
menyebabkan dia sangat kesakitan. Namun, melalui penderitaan, dia mengetahui bahwa
hanya Kristus Yesus yang dapat dan telah menyelamatkan dia “dari tubuhnya yang akan
mati” (Rm. 7:24).

Sebenarnya, pengalaman ini membuat Paulus bermegah atas hinaan, kesengsaraan,


penganiayaan dan malapetaka yang dideritanya demi Kristus (2 Kor. 11:21 dst). Meskipun
“dia selalu membawa kematian Yesus di dalam tubuhnya” (2 Kor 4:10), dia merasakan kuasa
Kristus bekerja melalui kelemahannya (2 Kor 12:9-10). Oleh karena itu, ia hanya ingin
bermegah “di dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6,14), “tidak mengenal apa pun di
antara kamu selain Yesus Kristus dan Dia yang disalibkan” (1 Kor 2:2 ), untuk
“menyempurnakan apa yang kurang dari penderitaan Kristus demi tubuh-Nya yaitu Gereja”
(Kol 1,24). Satu-satunya keinginan Paulus adalah untuk mengenal Kristus dan "kuasa
kebangkitan-Nya" dan "untuk ikut serta dalam penderitaan-Nya, menjadi seperti Dia dalam
kematian, dengan harapan untuk mencapai kebangkitan dari antara orang mati" (Filipi 3:11).

14
Tuhan mencerahkan Paulus dengan cara mistik sehingga dia dapat memperoleh
"kecerdasan penuh dalam segala kekayaannya dan mencapai pengetahuan sempurna tentang
misteri Tuhan, yaitu Kristus, di mana semua harta hikmat dan pengetahuan tersembunyi ( Kol
2, 2-4). Bagi Paulus, misteri yang diberitahukan kepadanya “melalui wahyu”, “misteri yang
tersembunyi selama berabad-abad”, tidak lain adalah “misteri Kristus” (Ef. 3:1 dst), “yang di
dalamnya tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (Kol 2.3), “Kristus, kekuatan
Allah dan hikmat Allah” (1 Kor 1.24). Dalam pernyataan yang luar biasa tentang pencerahan
mistik, Paulus menulis: Tuhan yang bersabda, “Hendaklah terang bersinar keluar dari
kegelapan", bersinar dalam hati kita untuk membuat pengetahuan tentang kemuliaan ilahi
yang bersinar pada wajah Kristus bersinar" (2Kor 4:6).

Allah juga secara mistik mengubah Paulus "menjadi gambar [Kristus] dari kemuliaan
ke kemuliaan" (2Kor. 13:8). “Ditakdirkan untuk menjadi serupa dengan gambar Putra-Nya”
(Rm 8,29), Paulus mengalami bahwa baginya hidup adalah Kristus dan mati adalah
keuntungan” (Filipi 1,21). Karena Paulus menemukan dirinya “di dalam Kristus” seperti
dalam lingkungan mistik di mana ia hidup, bergerak dan berada, ia mengalami bahwa
“berada di dalam Kristus berarti menjadi ciptaan baru” (2 Kor 5, 17; Gal 6 ,15).

Setelah bertransformasi secara radikal di dalam Kristus, Paulus merasakan bahwa


bukan lagi dia yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam dia (Gal. 2:20). Oleh
karena itu, sudah pasti “bahwa baik maut, maupun kehidupan, baik malaikat-malaikat,
maupun pemerintah-pemerintah, baik masa kini, maupun masa depan, baik kuasa-kuasa, baik
di ketinggian, maupun di dalam, maupun makhluk lain apa pun tidak akan mampu
memisahkan kita dari cinta kasih kepada-Nya. Allah di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”
(Rm 8:38-39).

Menurut Paulus, Tuhan adalah Roh (2Kor 3:17), yang melaluinya kasih Allah
dicurahkan ke dalam hati kita" (Rm 5:5). Roh inilah yang menuntun Paulus untuk mengalami
Tuhan dalam Perjanjian Lama, terutama sebagai “Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Ef
1:3; 2 Kor 1:3; 11:31). Roh Yesus mengajarkan kepada Paulus keyakinan penuh kasih dan
keintiman seperti yang Yesus sendiri nikmati bersama Bapa.

Paulus memandang bahwa hampir jelas bahwa semua umat Kristiani, terutama
melalui baptisan dan Ekaristi, memiliki akses yang relatif mudah dalam hidup mereka untuk
mengalami pengalaman akan Bapa, Putra dan Roh. Meskipun ia berbicara tentang
"sempurna" (1 Kor 2.6) dan "spiritual" (1 Kor 2.15), ia mengharapkan iman Tritunggal yang

15
matang dari semua orang Kristen. Menurut Paulus, mereka tidak menerima roh perbudakan,
melainkan roh Allah, roh anak-anak (Rm. 8:14-15). Jadi, ketika “kita berseru "Ya Abba,
Bapa!" Roh sendirilah yang membuktikan kepada Roh kita bahwa kita adalah anak-anak
Allah” (Rm 8.15-16).

Aspek penting lainnya dari mistisisme Paulus “di dalam Kristus” adalah dimensi
Trinitasnya. Mistik Trinitas Paulus menyarankan dia untuk berdoa: “Untuk alasan inilah aku
bertekuk lutut di hadapan Bapa, yang darinya setiap kebapaan di surga dan di bumi
mengambil namanya, sehingga Dia dapat mengaruniai kamu, sesuai dengan kekayaan
kemuliaan-Nya, untuk dikuatkan secara luar biasa oleh Roh-Nya di dalam batin manusia.
Semoga Kristus berdiam di dalam hatimu melalui iman dan dengan demikian, berakar dan
berlandaskan kasih, kamu dapat memahami bersama semua orang kudus apa itu lebar,
panjang, tinggi dan dalamnya dan untuk mengetahui kasih - raja Kristus yang melampaui
segala pengetahuan , supaya kamu dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah" (Ef 3:14-19).

Berakar dan berpijak demikian, umat Kristiani mengalami gaya hidup yang lebih kaya
(Ef 1.8-9), penuh kasih, sukacita, kedamaian, pengendalian diri, kelembutan, kesabaran,
kebajikan (Gal 5.22), yang membuat mereka mampu memikul beban satu sama lain (Gal
5.22). 6:2). Sesungguhnya, kata Paulus, “tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada
telinga yang mendengar, dan tidak ada yang pernah memasuki hati manusia, semua ini telah
disediakan Tuhan bagi mereka yang mengasihi Dia. Tetapi Allah telah menyatakannya
kepada kita melalui Roh” (1 Kor 2:9-10).

c. Mistik Yohanes

Jika ungkapan “di dalam Kristus” merangkum mistisisme Trinitas Paulus, maka
mistisisme Yohanes dapat diringkas dalam ungkapan “Ia tinggal di dalam Aku”. Yohanes
mengajarkan “jika apa yang kamu dengar dari mulanya masih ada di dalam kamu, maka
kamu juga akan tetap tinggal di dalam Putra dan di dalam Bapa” (1 Yohanes 2:24). Tentu
saja, ini adalah “firman hidup” (1 Yoh 1,1-3), Firman yang menjadi manusia, hidup kekal,
yang menyertai Bapa dan menjadi nyata bagi kita. Menurut Yohanes, tidak hanya Bapa dan
Anak yang tinggal di dalam orang Kristiani, tetapi juga “urapan yang diterima dari-Nya tetap
ada di dalam mereka” (1 Yohanes 2:27), yaitu Roh Yesus, Roh kebenaran ( Yohanes 14:14-
17). Dan dengan ini kita mengetahui bahwa Kristus diam di dalam kita “oleh Roh yang
dianugerahkan-Nya kepada kita” (1 Yohanes 3:24).

16
Bagi Yohanes, Tuhan adalah cinta. Oleh karena itu, “dia yang hidup dalam kasih,
diam di dalam Allah dan Allah diam di dalam dia” (1 Yoh 4:16). Hanya dengan syarat kita
saling mengasihi maka Allah akan berdiam dan menyempurnakan kasih-Nya di dalam kita (1
Yoh. 4:12). Tuhan adalah kasih dan kita tahu apa itu kasih karena Kristus mati secara spontan
untuk kita (1 Yohanes 3:16). Faktanya, kita dapat mengasihi hanya karena Allah terlebih
dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Oleh karena itu, kita pun hendaknya rela mati demi
orang lain (1 Yohanes 3:16). Inilah dasar dari perintah baru Yesus, “agar kamu saling
mengasihi; sama seperti Aku telah mencintaimu, demikian pula kamu pun harus saling
mencintai. Dengan demikian setiap orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13,34-35).

Karena Yesus dan Bapa adalah satu (Yohanes 10:30), mistisisme Yohanes menuntut
agar semua orang Kristen harus menjadi satu. “Inilah hidup yang kekal: supaya mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah
Engkau utus” (Yoh 17:3). Inilah sebabnya Yesus berdoa agar “semuanya menjadi satu: sama
seperti Engkau, Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, semoga mereka juga menjadi
satu di dalam kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku” (Yoh
17:21). Jika kasih yang dimiliki Bapa dalam mengasihi Yesus ada pada murid-murid Yesus,
maka Yesus sendiri juga ada pada mereka (Yoh. 17:26).

Seperti pokok anggur sejati yang dipangkas oleh Bapa, seseorang harus tetap tinggal
di dalam Kristus agar dapat menghasilkan buah (Yoh. 15:1-10). Yesus adalah terang sejati
yang menerangi semua orang (Yoh 1:9), sejak Sabda menjadi manusia, hanya Kristus yang
dapat diketahui tentang Bapa. Yesus adalah bait suci yang sejati (Yoh 2:21), tempat tinggal
sejati kehadiran Bapa. Karena Yesus ada di dalam Bapa dan Bapa ada di dalam dia, maka
siapapun yang melihat Kristus melihat Bapa (Yoh 14.9-10). Oleh karena itu, Yohanes
mengajak pembaca untuk merenungkan sifat-sifat kemanusiaan-ilahi yang diperlihatkan
Yesus selama kehidupannya di dunia.

Menurut Yohanes, Kristus yang bangkit akan menarik segala sesuatu kepada diri-Nya
ketika Ia dibangkitkan dari bumi (Yoh 12.32). Roh hanya dapat dicurahkan pada saat Yesus
disalib, karena darah dan air mengalir dari dada-Nya yang terkoyak (Yoh 7.38-39; 19.34).
Oleh karena itu, hanya Yesus sebagai roti hidup, pemberi dan sumber air hidup yang tahu
memuaskan rasa lapar mistik dan memuaskan dahaga. Umat Kristen berdiam secara mistik di
dalam Kristus khususnya melalui baptisan dan Ekaristi. Hanya dia yang dilahirkan dari “air

17
dan Roh” (Yoh 3:5) yang bisa masuk ke dalam kerajaan Allah. Dan hanya dia yang “makan
dagingku dan minum darahku, tinggal di dalam aku, dan aku di dalam dia” (Yoh 6:56 .

Ringkasan

Karena semua alasan yang disebutkan di atas, asal muasal mistisisme Kristiani yang
sebenarnya tidak dapat ditemukan dalam pengaruh filsafat Yunani, namun dalam Alkitab.
Asal-usul tradisi mistik Kristen”8 pertama-tama dan terutama ada dalam Kitab Suci, bukan
dalam Neoplatonisme. Meskipun tradisi mistik Kristen diperkaya oleh Neoplatonisme dan
saat ini diperkaya oleh agama-agama Timur, mistisisme Kristiani yang otentik memandang
pada spiritualitas, yang sangat mistik, dari Perjanjian Baru dan kesadaran Tritunggal akan
Yesus yang mencapai puncaknya pada kematian dan kebangkitan-Nya yang menyelamatkan.
Baik kesadaran mistik Yesus maupun mistisisme Perjanjian Baru, secara umum, tidak dapat
dipahami tanpa pengetahuan tentang mistisisme Perjanjian Lama.

Umat Kristiani melihat kematian dan kebangkitan Yesus sebagai teladan sejati dari
kehidupan mistik dalam segala kemurniannya. Kematian Yesus yang menyelamatkan di kayu
salib memberikan contoh pengabaian mistik terhadap segala sesuatu yang menghibur, nyata,
terbatas, untuk berserah diri sepenuhnya pada misteri kasih Bapa yang tak bersyarat. Salib
Yesus mengingatkan umat Kristiani bahwa mereka dapat dan harus mencintai sampai akhir,
karena Roh dilahirkan di dalam darah. Merenungkan salib kita memahami perintah baru
Yesus: kita tidak hanya harus mengasihi Tuhan dengan segenap keberadaan kita, kita tidak
hanya harus mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, tetapi kita juga dipanggil untuk
mengasihi sebagaimana Kristus sendiri telah mengasihi kita (Yohanes 13.34; 15.12) .

Kebangkitan tubuh Yesus adalah wahyu terakhir dari penerimaan dan konfirmasi
Bapa atas tindakan penyerahan penuh kasih pada cinta tanpa syarat. Lebih jauh lagi, ini
adalah benih ciptaan baru, visibilitas sakramental dari perkawinan mistik yang definitif antara
Tuhan dan seluruh ciptaan. Tubuh Yesus yang telah bangkit dan dimuliakan adalah inti dari
semua mistisisme: penyatuan dan transformasi cinta seluruh ciptaan dengan dan di dalam
cinta Tuhan, yang di dalam Kristus benar-benar dapat menjadi "ciptaan baru" (2 Kor 5,17).
Karl Rahner menulis: “Karena Yesus Kristus menebus seluruh ciptaan dalam kasih-Nya,
bersama dengan kemanusiaan, mistisisme Kristen bukanlah penolakan terhadap dunia atau

8
Cf. A. LOUTH, The Origins of the Christian Mystical Tradition from Plato to Denys, New York, Oxford University
Press 1981.

18
perjumpaan dengan keseluruhan yang tak terbatas, melainkan penerimaan dunia dalam
perjumpaan cinta dengan yang pribadi Tuhan”.9

Selain mistisisme Tritunggal dan yang berpusat pada Kristus yang disalib dan bangkit,
Perjanjian Baru juga mengajarkan aspek gerejawi, sosial dan sakramental dari mistisisme
Kristiani yang otentik. Aspek-aspek ini terutama muncul dalam penekanan Perjanjian Baru
pada Tubuh Mistik Kristus dan liturgi, khususnya pada baptisan dan Ekaristi. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika penggunaan kata “mistik” dalam umat Kristiani merujuk
pada pengalaman liturgi Yesus Kristus, yang selalu hadir dalam Gereja. Oleh karena itu,
secara ringkas, kehidupan mistik Kristiani terutama haruslah bersifat Tritunggal, bersifat
gerejawi, bersifat sakramental dan tidak dapat dipisahkan dengan Kristus yang disalib dan
bangkit.

Konsep dan karakteristik mistik Kristiani:

1. Pencarian Kesatuan dengan Allah

Mistik Kristiani menekankan keinginan untuk mencapai kesatuan dengan Allah, di mana jiwa
manusia menyatu dengan Keberadaan Ilahi. Tujuan mistik bukan hanya pemahaman
konseptual atau pengetahuan teologis, tetapi juga pengalaman langsung dan pribadi dengan
kehadiran Allah.

2. Doa dan Meditasi

Penganut mistik Kristiani sering mengamalkan doa mendalam dan meditasi sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Doa ini bisa menjadi doa kontemplatif, di mana
individu merenungkan keagungan dan kehadiran Allah tanpa banyak kata-kata.

3. Pengalaman Ekstasis

Mistik Kristiani kadang-kadang melibatkan pengalaman ekstasis, di mana individu merasa di


luar dirinya sendiri dan mendekati kehadiran Ilahi dengan cara yang luar biasa. Pengalaman
ini dapat mencakup perasaan sukacita, kegembiraan spiritual, atau bahkan ketidakmampuan
untuk merasakan batas-batas fisik.

4. Penglihatan dan Wahyu

9
K. RAHNER & H. VORGRIMLER, Mysticism, in Dictionary of Theology, New York, Crossroad, 1981, hal. 326.

19
Mistik Kristiani jgua tentang pengalaman penglihatan atau wahyu, di mana mereka menerima
pencerahan atau pandangan rohaniah khusus. Penglihatan ini bisa mencakup gambaran
tentang kehidupan rohaniah, makna eksistensial, atau bahkan gambaran tentang kemuliaan
surga.

6. Transformasi Hidup

Pengalaman mistik seringkali diikuti oleh transformasi hidup yang signifikan. Individu yang
mengalami mistik mungkin mengalami perubahan sikap, nilai-nilai, dan prioritas hidup
mereka sebagai hasil dari hubungan yang mendalam dengan Allah.

7. Pentingnya Keheningan dan Kontemplasi

Mistik Kristiani juga menekankan pentinganya keheningan dan kontemplasi sebagai cara
untuk mendengarkan suara ilahi dan meresapi kehadiran Allah dalam hati dan jiwa.

20
MISTIK DAN HIDUP

Salah satu msalah yang serius dalam kehidupan rohani adalah pemisahan antara doa
dan hidup. Doa dan hidup tidak dapat dipisahkan, seharusnya “biar hidup mengalir ke dalam
doa dan biarkan doa mengalir ke dalam hidup”. Salah satu contonya Bunda Maria. Dalam
peristiwa kelahiran Yesus dalam Injil Lukas dikatakan “tetapi Maria menyimpan segala
perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19). Apa yang direnungkan Maria
dalam hatinya? Tentunya perjalanan dari Nazaret, ditolak dipenginapan, kelahiran Anak,
kunjungan para gembala. Hidupnya mengalirlah kedalam doanya. Maria menimbang-
nimbang di dalam hati peristiwa-peristiwa pada hari-hari itu. Ini bukan doa diskursif: tetapi ia
mengenyam, merasakan, meresapi, mengagumi, kehadiran kontemplatif kepada Tuhan,
kepada dirinya dan kepada hidup.

Fiat: Kontemplasi Maria

Doa Maria diresapi oleh kata mistiknya “sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah
padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Dalam fiat ini, Maria seakan-akan berkata
“biar saja Tuhan bertindak; aku tidak akan menaruh rintangan di jalan-jalan-Nya, aku
menyambut baik tindakan-Nya; aku akan menanggapi-Nya”. Dengan fiat ini, sesuatu yang
berbobot terjadi, tidak hanya didalam arahim Maria tetapi juga di dalam budi dan hatinya.
Revolusi di dalma hati terjadi, ketika ia menerima panggilan dan arah hidupnya. Maka,
seorang wanita dengan suara nyaring berseru “brbahagialah ibu yang telah mengandung
engkau dan susu yang telah menyusui engkau” (Luk 11:27). Hal ini menunjukan bahwa
kesucian Maria bukanlah keibuan badaninya melainkan bahwasannya ia menerima sabda
Tuhan secara utuh. Kata-kata ini merupakan suatu ungkapan pujian terhadap Maria sebagai
Bunda Yesus menurut daging. Mungkin, Bunda Yesus tidak dikenal secara pribadi oleh
wanita tersebut; nyatanya, ketika mulai dengan kegiatan sebagai Messian Maria tidak
menyertai-Nya melainkan tetap tinggal di Nazareth. Orang dapat mengatakan bahwa kata-
kata itu dengan cara demikian mengantarkan Maria ke luar dari ketersembunyiannya. 10 Tetapi
atas pujian yang diserukan oleh wanita tersebut terhadap Maria yang merupakan ibu-Nya
menurut daging, Yesus menjawab dengan cara yang mencolok: ”yang berbahagia ialah
mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya” (Luk. 11:28). Dia ingin
mengalihkan perhatian dari keibuan yang dipahami melulu sebagai ikatan daging, dan

10
RM, 20.

21
mengarahkannya kepada ikatan misteri rohani yang berkembang karena mendengarkan dan
memeliharan sabda Allah.

Maria mengucapkan fiat ini dengan iman. Dalam iman Dia mempercayakan dirinya
kepada Allah tanpa batasan apapun dan “menyerahkan diri sepenuhnya sebagai hamba Allah
kepada pribadi dan karya Puteranya”.11 Iman Maria dapat juga dibandingkan dengan iman
Abraham, yang oleh Santo Paulus dinamakan “bapa kita dalam iman” (bdk. Rm. 4:12).
Dalam rencana penyelamatan wahyu Alla, iman Abraham merupakan awal Perjanjian Lama;
iman Maria ketika Pemakluman merupakan awal Perjanjian Baru. Seperti Abraham
“berharap dan percaya juga, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa” (bdk. Rm. 4:18),
demikian juga Maria, pada pewartaan malaikat, menjanjikan keperawanannya (“Bagaimana
mungkin, karena aku tidak bersuami?”), percaya bahwa karena kuasa Yang Mahatinggi,
karena kuasa Roh Kudus, Dia akan menjadi Bunda Putera Allah, sesuai dengan kuasa Allah
Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan
disebut kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35).12

Namun demikian, kata-kata Elisabeth “Terberkatilah yang percaya” tidak hanya


berlaku pada saat khusus pewartaan malaikat itu saja. Memang pewartaan tersebut
merupakan saat puncak iman Maria dalam menantikan Kristus, tetapi hal itu juga merupakan
titik awal perjalanan menyeluruh “menuju Allah”, jiarah imannya secara menyeluruh. Maka
dalam perjalanan tersebut, dengan cara yang cemerlang dan penuh kepahlawanan, memang
selalu dengan sifat kepahlawanan yang makin besar “ketaatan” yang Ia janjikan kepada
Sabda Wahyu Allah akan terpenuhi. “Ketaatan iman” Maria selama masa jiarahnya akan
menunjukkan persamaan yang menakjubkan dengan iman Abraham. Seperti juga Bapa
Bangsa Umat Allah, demikian juga Maria, selama perjalanan tersebut rahmat yang
dikaruniakan kepada Maria “yang percaya” akan diwahyukan dengan kejernihan yang
istimewa. Percaya itu artinya “meninggalkann diri sendiri” kepada kebenaran Sabda Allah
yang hidup, karena mengetahui dan menyadari dengan kerendahan hati. Fiat ini merupakan
kunci mistik dan fiat itu spontan segera datang pada bibir Maria, karena Maria sudah
mendapat penerangan sebelumnya “salam Engkau yang dirahmati, Tuhan sertamu” (Luk
1:28)

Kontemplasi cara Maria ini berniali tinggi untuk mengambil keputusan. Oleh karena
orang masuk dalam kesadaran, dimana Tuhan hadir; orang membwa masuk masalah yang
11
LG, 56.
12
RM, 14.

22
tidak diputuskan dalam kekosongan ini. Ini bukan perkara berusaha mencari jawaban tetapi
soal hadir dan membiarkan keputusan dijatuhkan di dalam lubuk jiwa. Maria menajdi teladan
dalam menimbang-nimbang perkara dalam hati, salah satunya pada saat Maria melihat
putranya dihukum secara tidak adil dan disalibkan. Doa yang mencekam. Jika kita
menimbang-nimbang perkara dalam hati, jika kita dapat diam, meskipun neraka bergolak di
dalam diri kita, lalu fiat akan muncul; fiat ini akan membangktikan tenaga baru dengan
harapan dan kekuatan yang datang dari Tuhan. Biarlah Tuhan yang bertindak di dalam diri.

Dalam dokumen konsili Gaudium es Spes menganjurkan uamt Kristiani untuk


mengembangkan di dalam dirinya kesadaran akan dunia dan perhaitan terhadap seluruh
keluarga manusia; “kegembiraan dan harapan, kepedihan dan kecemasan sekalian bangsa
manusia pada abad ini, khususnya mereka yang miskin dan tertimpa penderitaan apa saja, itu
juga merupakan kegembiraan dan harapan, kepedihan dan kecemasan para pengikut
Kristus”.13 Di sini konsili meminta supaya kita jadi seirama dengan dunia membina kepekaan
dalam hati dan rasa belaskasih kepada yang miskin dan menderita. Inilah buah dari doa.
Dengan berkembangnya doa dan kesadaran, dalam hati tidak hanya memikirkan kegembiraan
dan penderitaan pribadi melainkan juga kegembiraan dan penderitaan seluruh dunia; “Maria
ikut menderita”. Doa melahirkan pribadi yang bisa mempengaruhi orang lain (revolusi).

13
GS.

23

Anda mungkin juga menyukai