Anda di halaman 1dari 26

TUGAS BELAJAR MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA

(DR. ALBERTUS SUJOKO, S.S., LIC. TH.)

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/III

PERTANYAAN

1. Jelaskanlah arti tanda (Sacramentum) sebagai kehadiran Tuhan yang hendak


menyelamatkan manusia!
2. Bagaimana perkawinan atau hidup rumah tangga menjadi tanda kehadiran Tuhan yang
ingin menyelamatkan keluarga itu?
3. Baca dan buatlah tafsiran dari Ef. 5:21-33 (Kasih Kristus adalah dasar hidup suami-istri)!
4. Jelaskanlah syarat-syarat perkawinan katolik yang sah!
5. Berikanlah contoh perkawinan yang tidak sah karena adanya cacat dalam kesepakatan
nikah (defectus consensus matrimonium)!

1|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


JAWABAN

1. Sacramentum

”The sacramental is to continue in some specific way the active presence of God in
our midst and its own way of doing this is through symbolical actions which belong to
worship.”1 Sakramen menjadi suatu bentuk konkret kehadiran Allah dalam hidup manusia.
Tanda dan simbol yang konkret dan nampak secara inderawi itu menjadi sebuah tanda
kehadiran dan pernyataan perjanjian antara Allah dan manusia sejak dahulu, yakni pada
zaman perjanjian lama-sebelum Yesus Kristus hingga kedatangan Yesus Kristus-yang
merupakan wujud nyata Allah yang transenden-bagi umat Israel serta dunia sampai sekarang
dan waktu yang akan datang.

Sakramen berasal dari kata Latin sacramentum yang digunakan untuk menerjemahkan
kata Yunani mysterion dalam Kitab Suci. Makna dasar mysterion berhubungan dengan
pengalaman akan Yang Ilahi, yakni suatu pengalaman batin yang tak terlukiskan dengan
kata-kata karena berjumpa dengan Yang Ilahi.2 Dalam perjanjian lama, mysterion ini
menunjuk pada peristiwa di mana Allah yang menyingkapkan rencana penyelamatan-Nya
dalam sejarah manusia. Perjanjian baru memandang bahwa rencana penyelamatan Allah yang
dinyatakan dalam sejarah itu kini terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Dengan demikian, kata
mysterion yang diterjemahkan menjadi sacramentum itu berarti rencana keselamatan Allah
yang diwujudkan dalam sejarah yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus.

Adapun, Tanda alamiah atau natural sign yang mana merupakan salah satu wujud
kehadiran yang Ilahi yang sejak zaman dahulu telah dirasakan, dihayati dan dipercayai. Tanda
maupun peristiwa yang terjadi pada zaman dulu itu, merupakan suatu bentuk penghayatan
akan suatu yang transenden yang hadir dalam tanda alam tersebut. Kepercayaan mengenai
tanda alam itu, kemudian disebut sebagai kepercayaan natural atau nature religion. Kemudian
kepercayaan ini terus berkembang dan mulai memperlihatkan pengetahuan tentang apa
maksud dari tanda alam itu. Maka hal itu disebut sakramentalisme kosmik yang mana melihat
tanda alam (kosmik) sebagai wujud kehadiran yang transenden. Setelah itu, muncul dalam
kalangan bangsa Israel yang menerima Sabda dan Wahyu Ilahi dari pengajaran dan
pemberitaan para nabi bahwa tanda-tanda yang mereka lihat dan hayati itu merupakan tanda

1
Lih. Marcel van Caster, God’s Word Today (London: 1966), hlm. 69.
2
Lih. Emanuel Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 62

2|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


kehadiran Allah. Dialah yang transenden itu, yang tak diketahui oleh manusia. Ini yang
menjadi sakramentalisme Perjanjian Lama bahwa Teofani atau kehadiran Allah itu dinyatakan
melalui Sabda dan tindakan-Nya terhadap bengsa Israel yang membawa mereka pada
kebebasan terhadap perbudakan di Mesir dan menuntun mereka masuk ke Tanah Kanaan
yang pun dinyatakan lewat tanda-tanda alamiah.

Tanda yang dulunya „tak kelihatan‟ itu, kini secara konkret telah nyata dalam diri
Yesus Kristus. Ia adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Allah perjanjian lama telah
diwahyukan dalam diri Yesus. Perjanjian lama itu kini mencapai kepenuhan dan puncaknya
dalam diri Yesus, maka Dialah puncak seluruh sakramentalitas. Dialah sakramen utama,
sakramen induk, sumber dari segala sakramen dan segala sesuatu yang bercirikan sakramen.
Semua hal dan realitas yang berciri sakramental selalu menunjuk pada realitas terakhir yakni
kehidupan bersama dengan Allah, maka pantas Yesus Kristus disebut Sakramen Hidup Allah
sendiri. Dalam Yesus Kristus, Hidup Allah dinyatakan dan diwahyukan bukan hanya sebagian
tetapi sempurna dan total.3

Di dalam setiap perbutan-Nya, Yesus memiliki dan menunjukkan kehadiran dan


kedekatan Allah sendiri pada manusia. Kehadiran Allah yang tersamar dalam perjanjian lama
dalam bentuk simbolisasi yang beranekaragam, yang misteri dalam setiap peristiwa melalui
sejarah manusia dalam tanda-tanda yang abstrak seperti dalam kisah Nabi Nuh lewat pelangi
yang menjadi tanda perjanjian antara Allah dan manusia4, kini dalam diri Yesus Kristus
menemukan bentuk ungkapan dan simbolisasinya secara spesial dan personal. Yesus Kristus
bukan hanya menampakkan kahadiran Allah bagi umat-Nya, tetapi juga the real sign and
symbol dari Hidup Allah sendiri bagi umat-Nya.

The seven Sacraments are describing a divine and loving of God to His People. It
realized and expressed in a human reality. For instance, the whole Church is one major
sacrament because the reality of the Spirit, supernatural, and invisible, is active and
expressed in the Church. The church is to continue this grace to all the people, no one except.
Therefore, the church is keeping the treasure of faith for all the time in many periods. 5 The
Sacraments are being something we never feel and getting but it has been being the power
and the presentation of God and his grace who never gone forever.

3
Lih. Emanuel Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 73
4
Lih. Scott Hahn, Swear to God: The Promise and Power of Sacrament (London: 2004), hlm. 5
5
Lih. Marcel van Caster, God’s Word Today (London: 1966).

3|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


Sakramen membawa kekuatan dan kuasa bagi manusia. Melalui Tujuh Sakramen
Gereja menyelamatkan orang-orang dari dosa dan menganugerahkan kehidupan baru dalam
Tuhan. “ The seven are meant to give grace at all life’s stages …” Gereja Katolik
mengajarkan ada 7 sakramen, yakni Pembaptisan, Penguatan atau Krisma, Ekaristi,
Rekonsiliasi atau Pengakuan dosa, Pengurapan Orang Sakit, Imamat, dan Pernikahan. Ini
merupakan wujud sakramentalitas Gereja dalam Kristus. Ketujuh sakramen ini dibicarakan
oleh para teolog dari abad pertengahan, ditetapkan sebagai dogma iman Gereja pada Konsili
Firenze (1439), Konsili Trente (1545-1563) memaklumkan ini sebagai dogma dan
ekskomunikasi bagi yang menolak dan Konsili Vatikan II (1962-1965) menegaskan bahwa
Sakramen Ekaristi merupakan sumber dan puncak kehidupan kristiani. Gereja juga
mengolompokkan sakramen dalam tiga kelompok yakni, sakramen-sakramen inisiasi,
penyembuhan dan pelayanan communio.

Unsur-unsur penting dalam ajaran Gereja menganai sakramen yakni Sakramen


diadakan oleh Kristus, tindakan, kehadiran dan karya Kristus sendiri yang hadir secara lestari
dan aktual. Tugas ini diserahkan kepada Gereja untuk dilaksanakan. Terdapat tujuh sakramen
yang menyalurkan rahmat, menguduskan dan menyelamatkan manusia dan memuliakan
Allah. keabsahannya tidak tergantung pada disposisi pelayannya namun, efektivitasnya
tergantung pada disposisi penerimanya.

Tujuh sakramen Gereja berhubungan erat antara kehidupan rohani dan jasmani. Secara
jasmani ada tujuh tahap penting kehidupan yakni lahir, tumbuh menjadi dewasa karena
makan, ketika sakit berobat dan dapat memilih tidak menikah atau menikah. Maka, dapat
dikatakan bahwa sakramen dalam Gereja merupakan satu bentuk relasi yang terikat satu
dengan yang lain dalam cinta yang mesra dengan Allah. Itu yang dirasakan setelah seseorang
menerima sakramen dalam hidupnya. Oleh sebab itulah, perkawinan dalam Gereja Katolik
bukanlah sekadar suatu hubungan baru yang dibangun oleh pria dan wanita namun,
merupakan suatu ikatan yang membuat mereka yang bersatu dalam perkawinan disatukan
dalam cinta yang mesra dengan Tuhan. Dengan demikian, perkawinan disebut sakramen
sebagaimana kedua mempelai menyatakan sacramentum (janji) 6mereka kepada Tuhan untuk
hidup bersama dengan konsekuensinya untuk seumur hidup.

6
Sacramentum from Latin Words Sacer, Sacrare (Latin) „solemn oath‟ means to hallow, sacred, used in Chatolic
Latin as a translation of Greek mustĕrion (myterion) „mystery‟. Sacraments are outward signs of inward grace,

4|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


2. Sakramen Perkawinan

Sakramen Pernikahan merupakan sumber istimewa dan upaya yang asli bagi
pengudusan suami-istri maupun keluarga Kristen. Pernikahan itu mengangkat lagi serta
mengkhususkan rahmat pengudusan Baptis. Berkat misteri wafat dan kebangkitan Kristus,
yang karena pernikahan suami-istri ikut menghayati secara baru, cinta kasih mereka
dimurnikan dan dikuduskan: “Cinta kasih itu oleh Tuhan dipandang layak dianugerahi kurnia-
kurnia khusus, anugerahanugerah rahmat dan cinta kasih yang menyembuhkan,
menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu”. Karunia Yesus Kristus tidak tuntas
dilimpahkan dalam perayaan Sakramen Pernikahan sendiri, melainkan menyertai suami-istri
seumur hidup mereka. Hal itu secara eksplisit ditegaskan oleh Konsili Vatikan II dengan
menyatakan, bahwa Yesus Kristus “tinggal bersama mereka, sehingga-seperti la mengasihi
Gereja serta menyerahkan Diri demi keselamatannya-begitu pula suami-istri saling mengasihi
dengan kesetiaan seumur hidup dengan saling menyerahkan diri ... Oleh karena itu suami-
istri Kristen memiliki Sakramen khas yang menguatkan mereka; mereka menerima semacam
pentakdisan dalam tugas-tugas serta martabat status hidup mereka. Berkat Sakramen itu,
sementara suami-istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam
keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus, yang memenuhi seluruh hidup mereka dengan
iman, harapan dan cinta kasih. Begitulah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka
sendiri dan saling pengudusan mereka, dan karena itu bersamasama berperanserta demi
kemuliaan Allah”.

Suami-istri Kristen tercakup dalam panggilan universal untuk kesucian. Bagi mereka
panggilan itu dikhususkan oleh Sakramen yang telah mereka rayakan, dan secara konkret
diwujudkan dalam kenyataan-kenyataan yang khas bagi hidup mereka selaku suami- istri
dalam keluarga. Dari situ timbullah rahmat serta tuntutan akan spiritualitas (corak khas hidup
rohani) suami-istri dalam keluarga, yang autentik dan mendalam. Spiritualitas itu menimba
inspirasinya dari tema-tema penciptaan, perjanjian, salib, kebangkitan, dan lambang, yang
berulang kali ditekankan oleh Sinode. Pernikahan Kristen sendiri, seperti Sakramen-Sakramen
lainnya, “yang tujuannya ialah menguduskan umat, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya
mempersembahkan ibadat kepada Allah”, merupakan tindakan liturgis untuk memuliakan
Allah dalam Yesus Kristus dan dalam Gereja. Dengan merayakannya suami-istri Kristen

instituted by Christ for our sanctification (Catechismus Concil. Trident., n. 4, ex. St. Augustine, “De
Catechizandis rudibus”).

5|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


menyatakan syukur terima kasih mereka kepada Allah atas kurnia luhur yang mereka terima,
yakni: mampu menghayati dalam hidup mereka sebagai suami-istri dalam keluarga cinta kasih
Allah sendiri terhadap umat manusia, dan cinta kasih Yesus Tuhan terhadap Gereja
mempelai-Nya. Dari Sakramen suami-istri menerima anugerah serta tanggung jawab untuk
menjabarkan dalam hidup sehari-hari pengudusan yang dilimpahkan atas diri mereka. Begitu
pula Sakramen itu memberi mereka rahmat serta kewajiban moril untuk mengubah seluruh
hidup mereka menjadi “korban rohani”. Apa yang oleh Konsili dinyatakan tentang kaum
awam berlaku juga bagi suami-istri dan orangtua Kristen, khususnya berkenaan dengan
kenyataan-kenyataan duniawi yang bersifat sementara, yang merupakan ciri perihidup
mereka: “Sebagai umat yang beribadat menjalani hidup yang kudus di mana pun juga, kaum
awam mentakdiskan dunia sendiri kepada Allah”

Persekutuan cinta kasih antara Allah dan umat-Nya, suatu unsur fundamental dalam
Perwahyuan dan pengalaman iman bangsa Israel, mendapat ungkapannya yang penuh makna
dalam perjanjian pernikahan yang diadakan antara pria dan wanita. Oleh karena itu
pernyataan inti Perwahyuan, yakni “Allah mencintai Umat-Nya”, diwartakan juga melalui
kata-kata yang hidup dan konkret pada saat mempelai pria dan wanita saling mengungkapkan
cinta kasih mereka selaku suami-istri: Ikatan cinta kasih mereka menjadi gambar dan lambang
Perjanjian, yang menyatukan Allah dan umat-Nya. Begitu pula dosa, yang dapat merugikan
perjanjian suami-istri melambangkan ketidaksetiaan umat terhadap Allah mereka:
penyembahan berhala ialah pelacuran, ketidaksetiaan ialah perzinahan, ketidaktaatan terhadap
hukum menggambarkan langkah meninggalkan cinta kasih Tuhan Sang Mempelai. Akan
tetapi ketidaksetiaan Israel tidak menghancurkan kesetiaan kekal Tuhan. Oleh sebab itu cinta
kasih Allah yang setia senantiasa diketengahkan sebagai pola hubungan cinta yang setia, yang
seharusnya mengikat suami-istri.

Yesus Kristus mempelai Gereja dan Sakramen Pernikahan Persekutuan antara Allah
dan umat-Nya mencapai pemenuhannya dalam Yesus Kristus Sang Mempelai, yang penuh
kasih dan menyerahkan Diri sebagai Penyelamat umat manusia, dengan menyatukannya
dengan diri-Nya sebagai Tubuh- Nya. Yesus mewahyukan kebenaran asli tentang pernikahan,
kebenaran “pada awal mula”. Dengan membebaskan manusia dari ketegaran hatinya, la
menjadikannya mampu mewujudkan kebenaran itu sepenuhnya. Perwahyuan itu mencapai
kepenuhannya yang definitif dalam kurnia kasih, yang dianugerahkan oleh Sabda Allah
kepada umat manusia dengan mengenakan kodrat manusiawi, dan dalam korban diri-Nya,

6|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


yang dipersembahkan oleh Yesus Kristus di salib demi mempelai-Nya, yakni Gereja. Dalam
korban itu diwahyukan seutuhnya Rencana yang oleh Allah dicantumkan dalam kemanusiaan
pria maupun wanita sejak mereka diciptakan. Dengan demikian pernikahan antara mereka
yang dibaptis menjadi lambang yang nyata bagi Perjanjian baru dan kekal, yang dimeteraikan
dalam darah Kristus. Roh Kudus, yang dicurahkan oleh Tuhan, menganugerahkan hati yang
baru, dan menjadikan pria maupun wanita mampu saling mengasihi seperti Kristus telah
mencintai kita. Kasih suami-istri mencapai kepenuhan yang merupakan tujuan intrinsiknya,
yakni cinta suami-istri, cara yang khas dan istimewa, cara mereka ikut serta dalam dan
dipanggil untuk menghayati cinta kasih Kristus sendiri, yang menyerahkan Diri di Salib. Pada
suatu halaman yang memang selayaknya termashur, Tertulianus dengan bagus
mengungkapkan keagungan serta keindahan kehidupan suami-istri dalam Kristus:
“Bagaimana saya akan mampu melukiskan kebahagiaan pernikahan, yang dijalin oleh Gereja,
dikukuhkan dengan suatu persembahan, dimeteraikan dengan suatu berkat, diwartakan oleh
para malaikat dan disahkan oleh Bapa? ... Betapa mengagumkan ikatan antara dua orang
beriman, yang ditandai oleh hanya satu harapan, satu keinginan, satu pelaksanaan, satu
pengabdian! Mereka berdua saudarasaudari, keduanya rekan sepengabdian. Tidak ada
pemisahan antara mereka dalam jiwa maupun dalam raga. Kenyataannya mereka itu sungguh
dua dalam satu daging; dan bila daging itu satu, satu pulalah roh mereka” dan merenungkan
sabda Allah dengan setia, Gereja telah mengajarkan secara resmi, dan tetap mengajarkan,
bahwa pernikahan mereka yang dibaptis merupakan salah satu di antara tujuh Sakramen
Perjanjian Baru Memang karena baptis manusia secara definitif berada dalam perjanjian baru
dan kekal, perjanjian pernikahan Kristus dengan Gereja. Dan berdasarkan integrasi yang tak
terhapuskan itulah persekutuan mesra hidup dan cinta kasih suami-istri, yang ditetapkan oleh
Sang Pencipta, diangkat dan ditampung ke dalam cinta kasih Kristus Sang Mempelai,
ditopang dan diperkaya oleh kuasa penebusan-Nya. Berdasarkan sifat sakramental pernikahan
mereka suami-istri saling terikat dengan cara yang sama sekali tak terpisahkan. Bahwa
mereka saling memiliki, secara nyata menghadirkan hubungan Kristus sendiri dengan Gereja
melalui lambang sakramental. Maka suami-istri terus menerus mengingatkan Gereja akan
kejadian di kayu Salib. Antara mereka sendiri dan bagi anak-anak suami-istri bersaksi tentang
keselamatan, yang mereka ikut menerima berkat Sakramen. Bagi peristiwa penyelamatan itu
pernikahan, seperti setiap Sakramen, merupakan kenangan, perwujudan konkret dan nubuat:
“Sebagai kenangan Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban mengenangkan
karyakarya agung Allah, dan memberi kesaksian tentangnya di hadapan anak-anak mereka.

7|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


Sebagai perwujudan konkret Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban melaksanakan
sekarang ini, satu terhadap yang lain dan di muka anak-anak mereka, tuntutan cinta kasih
yang memberi pengampunan dan penebusan. Sebagai nubuat Sakramen memberi mereka
rahmat dan kewajiban untuk hidup dan memberi kesaksian tentang harapan akan perjumpaan
dengan Kristus di masa mendatang”.

Seperti masing-masing di antara tujuh Sakramen, begitu pula pernikahan merupakan


lambang yang nyata bagi peristiwa penyelamatan, tetapi dengan caranya sendiri. “Suami-istri
ikut menerima keselamatan sebagai suami-istri, bersama-sama, sebagai pasangan. Maka
akibat pertama dan langsung pernikahan (“res et sacramentum”) bukanlah rahmat adikodrati
sendiri, melainkan ikatan pernikahan Kristen, rukun hidup yang khas Kristen antara dua
pribadi, sebab menghadirkan misteri penjelmaan Kristus serta misteri perjanjian-Nya. Isi
partisipasi dalam kehidupan Kristus pun bersifat khas. Cinta kasih suami-istri mencakup suatu
keseluruhan. Di situ termasuklah semua unsur pribadi: tubuh beserta nalurinalurinya disapa,
ada daya-kekuatan perasaan dan afektivitas, ada aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi
tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan dalam
satu daging, dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu
memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri timbal-balik yang
definitif; dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Dengan kata lain, itu perkara ciri-ciri
normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan istri, tetapi dengan makna baru, yang tidak
hanya menjernihkan serta meneguhkan mereka, melainkan mengangkat mereka juga,
sehingga mereka menjadi cetusan nilai-nilai yang khas Kristen”.7

Kan. 1055, paragraph 1 diakhiri dengan frasa: „Perjanjian Perkawinan‟… antara


orang-orang yang dibaptis dan diangkat Kristus Tuhan ke martabat sakramen. Ini merupakan
frasa induk dari kanon 1055. Ketentuan inilah yang mau ditegaskan bahwa Kristus tidak
mengadakan atau menciptakan sesuatu yang baru. Perkawinan adalah realitas ciptaan atau
lembaga natural yang sudah ada sejak dunia dan manusia dijadikan. Hal baru yang dibawa
dan dianugerahkan oleh Kristus kepada dunia dan manusia ialah menebus dan mengangkat
lembaga natural ini ke martabat sakramen. Meskipun demikian, kita bisa mengatakan bahwa

7
Bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (1981): Peranan Keluarga Kristen dalam
Dunia Modern (Jakarta, KWI:2019)

8|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


dengan menebus dan mengangkatnya ke martabat sacramental Yesus Kristus melakukan
„penciptaan baru‟ atas perkawinan.8

Persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang
Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau
persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi,
yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu
lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. 9

Kristus melimpahkan berkatNya atas cint kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal
dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menerut pola persatuan-Nya dengan Gereja.
Sebab seperti dahulu, Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan
kesetiaan10, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui
Sakramen Perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal beserta
mereka, supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya 11, begitu
pula suami-istri dengan saling menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tak
kunjung henti. Kasih sejati suami istri ditampung dalam cinta ilahi dan dibimbing serta
diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya
suami istri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam mereka
yang luhur sebagai ayah dan ibu. Oleh karena itu, suami isteri kristiani dikuatkan dan
bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan
sakramen yag khas. Berkat kekuatannyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-
isteri dalam keluarga; mereka dujiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka
dengan iman, harapan dan cinta kasih; mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan
makin saling menguduskan dan dengan demikian bersama-sama makin memuliakan Allah.

Tata penebusan menerangi dan menyempurnakan tata penciptaan. Perkawinan


alamiah, dengan demikian, sepenuhnya dipahami dalam terang pemenuhan Sakramen
Perkawinan: hanya dengan mengkontemplasikan Kristus orang mengenal secara mendalam
kebenaran tentang hubungan manusia. “Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang
menjelmalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. [...] Kristus, Adam yang Baru, dalam
pewahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia
8
Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik (Malang, Dioma: 2006), hlm.63-64.
9
Gaudium et Spes Art. 48.
10
Lih. Hos 2; Yer 3:6-13; Yeh 16 dan 23; Yes 54.
11
Lih. Ef 5:25.

9|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


bagi manusia, dan membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur” (GS, 22). Hal ini
sangat tepat dipahami dalam istilah sifat hakiki perkawinan, yang mencakup kebaikan suami
istri (bonum coniugum), yakni persatuan, keterbukaan terhadap hidup, kesetiaan, dan sifat-
tak-dapat-diceraikan. Dalam terang Perjanjian Baru, bahwa semua diciptakan melalui Kristus
dan bagi Dia (bdk. Kol 1:16; Yoh1:1 dst), Konsili Vatikan Kedua ingin mengungkapkan
penghargaannya kepada perkawinan kodrati dan unsur-unsur positif pada agama-agama lain
(bdk. LG, 16; NA, 2) dan berbagai budaya, terlepas dari keterbatasan dan kelemahan mereka
(bdk. RM, 55). Penegasan kehadiran “benih-benih Sabda” dalam budaya-budaya lain (bdk.
AG, 11) juga bisa berlaku untuk realitas perkawinan dan keluarga. Selain perkawinan kodrati
sejati, ada juga unsur-unsur positif yang ditemukan dalam bentuk-bentuk perkawinan pada
tradisi-tradisi agama lain. Meskipun demikian, bentuk-bentuk ini –masih berdasarkan pada
hubungan yang benar dan stabil antara seorang laki-laki dan seorang perempuan– diatur
sesuai Sakramen Perkawinan. Seraya mempertimbangkan kebijaksanaan manusiawi umat,
Gereja mengakui bahwa keluarga ini juga merupakan sel dasar yang diperlukan dan berbuah
dalam kehidupan bersama manusia. 12

Marilah kita memasuki ambang pintu rumah yang tenteram ini, dengan para anggota
keluarganya yang duduk mengelilingi meja perjamuan. Di tengah kita melihat ayah dan ibu,
sebuah pasangan dengan seluruh kisah kasih mereka. Mereka mewujudkan rencana awal
Allah yang secara jelas dikatakan oleh Yesus sendiri: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Mat
19:4). Kita mendengar sebuah gema dari perintah yang ditemukan di Kitab Kejadian: “Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24).

Dua bab awal yang agung dari Kitab Kejadian menghadirkan pasangan manusia dalam
kenyataan asalinya. Teks-teks asli Kitab Suci menyajikan beberapa pernyataan yang
menentukan. Pertama, yang diucapkan kembali oleh Yesus bahwa “Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka.” (1:27). Sungguh mengejutkan bahwa “gambar Allah” di
sini merujuk pada pasangan “laki-laki dan perempuan.” Apakah ini berarti bahwa Allah
sendiri bersifat seksual, ataukah ini berarti bahwa Allah memiliki pendamping ilahi, seperti
yang dipercayai oleh agama-agama kuno? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Kita

12
Lih. Relation Finalis Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan Dunia dewasa ini (Jakarta, KWI: 2018).

10 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
mengetahui bagaimana Kitab Suci dengan jelas menolak pemujaan terhadap kepercayaan
seperti itu, yang ditemukan di antara orang Kanaan di Tanah Suci. Transedensi Allah
dilestarikan, justru karena Ia juga adalah Sang Pencipta, kesuburan pasangan manusia
merupakan “gambaran” yang hidup dan efektif, yakni sebuah tanda nyata dari tindakan
penciptaan-Nya.

Pasangan yang mencintai dan melahirkan kehidupan adalah “seni pahat”


sesungguhnya yang hidup (bukan seni pahat dari batu atau emas yang dilarang oleh Sepuluh
Perintah Allah), yang mampu menyingkapkan Allah Sang Pencipta dan Penyelamat. Maka,
cinta yang subur menjadi simbol hidup batiniah Allah (bdk Kej 1:28; 9:7; 17:2-5, 16; 28:3;
35:11; 48:3-4). Itulah sebabnya mengapa kisah Kitab Kejadian, dengan mengikuti apa yang
disebut “tradisi imamat”, dilintasi berbagai urutan silsilah (bdk 4:17-22, 25-26; 5; 10;
11:1032; 25:1-4, 12-17, 19-26; 36): memang kemampuan pasangan manusia untuk
melahirkan kehidupan merupakan jalan melalui mana sejarah keselamatan berkembang.
Dengan demikian, hubungan pasangan yang subur menjadi gambaran untuk memahami dan
menggambarkan misteri Allah sendiri, karena dalam pandangan Kristiani terhadap Trinitas,
Allah dikontemplasikan sebagai Bapa, Putra dan Roh kasih. Allah Tritunggal merupakan
persekutuan cinta, dan keluarga adalah cerminannya yang hidup. Santo Yohanes Paulus II
menjelaskan hal itu ketika ia berkata, “Allah kita dalam misteri-Nya yang terdalam tidaklah
sendiri, tetapi merupakan sebuah keluarga, karena di dalam diri-Nya sendiri terdapat sifat
kebapakan, keputraan dan hakikat keluarga, yaitu cinta kasih. Cinta kasih itu, di dalam
keluarga ilahi, adalah Roh Kudus.” Oleh karena itu, keluarga bukannya tidak terhubung
dengan hakikat ilahi. Dimensi Trinitarian ini menemukan ungkapannya dalam teologi St.
Paulus yang menghubungkan pasangan dengan “misteri” persatuan Kristus dan Gereja (bdk.
Ef 5:21-33) 12. Tetapi Yesus, dalam refleksi-Nya tentang perkawinan, menunjukkan kepada
kita halaman lain dari Kitab Kejadian, dalam bab kedua, di mana tampak potret
mengagumkan pasangan dengan detil yang jelas. Kita hanya memilih dua. Pertama, kita
melihat laki-laki, yang sangat ingin mencari “penolong yang sepadan baginya” (ay 18, 20),
yang mampu mengusir kesendiriannya yang menggelisahkannya dan yang tidak dapat
ditenangkan oleh kedekatan dengan binatang-binatang dan seluruh ciptaan. Istilah asli Yahudi
menunjukkan kepada kita hubungan langsung, tatap muka, saling “berhadapan” – mata ke
mata– dalam dialog diam, karena di dalam kasih, kesunyian berbicara lebih nyaring daripada
kata-kata. Ini adalah perjumpaan dengan sebuah wajah, dengan seorang “engkau”, yang

11 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
mencerminkan kasih Allah sendiri dan adalah “milik yang unggul, seorang pembantu yang
serasi untuknya dan tiang penyangga” bagi seorang laki-laki, seperti dikatakan orang bijak
dalam Kitab Suci (Sir 36:24). Atau juga seperti yang dinyanyikan mempelai perempuan
dalam Kidung Agung dalam pernyataan yang mengagumkan akan kasih dan pemberian diri
timbal balik: “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia…” Aku kepunyaan
kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku” (2:16; 6:3). 13. Dari perjumpaan ini, yang
membebaskan manusia dari kesendiriannya, muncullah kelahiran baru dan keluarga. Inilah
rincian kedua yang dapat kami tunjukkan: Adam, yang juga merupakan laki-laki segala zaman
dan semua tempat di planet kita, bersama dengan istrinya melahirkan keluarga baru, seperti
diulangi olehYesus dengan mengutip Kitab Kejadian: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
(Mat 19:5; bdk. Kej 2:24). Kata “bersatu” atau “melekat”, dalam bahasa Ibrani asli
memperlihatkan keserasian yang mendalam, kelekatan fisik dan batin, sampai pada taraf di
mana kata itu dipakai untuk menggambarkan kesatuan kita dengan Allah: “Jiwaku melekat
kepada-Mu” (Mzm 63:8). Jadi persatuan perkawinan tidak hanya membangkitkan dimensi
seksual ataupun badaniah, tapi juga dalam pemberian diri sukarela dalam kasih. Akibat dari
kesatuan ini adalah bahwa mereka berdua “menjadi satu daging”, secara fisik dan dalam
kesatuan hati dan hidup mereka, dan akhirnya, dalam diri seorang anak, yang akan dilahirkan
oleh karena keduanya, yang akan membawa serta dalam dirinya, baik secara genetik maupun
spiritual, dua “daging” tersebut.13

Perkawinan muncul dari kehendak Sang Pencipta. Penegasan ini bisa punya dua arti.
Pertama bahwa di dalam Kitab Kejadian dan diulangi dalam Injil bahwa sejak awal mula
Allah menghendaki agar laki-laki dan perempuan menjadi satu. Kedua, bahwa jodoh itu
diimani sebagai kehendak dari Yang di Atas. Jodoh adalah pemberian dari Tuhan sehingga
yang mempertemukan suami-isteri adalah Tuhan sendiri. Pernyataan ini kiranya melukiskan
bagaimana pengalaman manusia sendiri mengajarkan bahwa mencari jodoh dan menikah itu
bukanlah hal yang semata-mata tergantung dari usaha manusia. Memang secara manusiawi
jodoh itu dijumpai dalam pergaulan dan relasi-relasi itu terjadi di anatara manusia. Namun
bahwa kemudian di antara relasi-relasi itu terjadilah pengalaman jatuh cinta kepada seseorang
dan bukan kepada lainnya adalah suatu karunia Tuhan juga.

13
Lih. Fransiskus, Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia (Jakarta, KWI: 2017).

12 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Setelah menikah bukan berarti perjalanan dan pengalaman iman berhenti. Perjalanan
hidup rumah tangga yang dapat bertahan dan harmonis juga membutuhkan penghayatan iman.
suami istri perlu memandang perkawinannya sebagai kehendak Tuhan bagi hidup mereka.
Dengan demikia, usaha menjaga nyala api cinta dan hubungan yang harmonis akan lebih
mudah. Penghayatan rohani itu juga akan sangat menolong pada saat mereka mengalami
krisis relasi dalam rumah tangga mereka.

Tanda kelihatan hubungan Kristus dan Gereja Mencintai pasangan berarti mencintai
Kristus. Kristus bersabda dalam Mat 25: 45, “Apa saja yang kamu lakukan untuk salah
seorang saudara-Ku, kamu lakukan untuk Aku.” Berarti Apa saja yang dilakukan oleh suami
kepada isterinya sama dengan dilakukan oleh suami itu untuk Kristus yang ada di dalam diri
isterinya. Demikian pula sebaliknya sang isteri terhadap suaminya. Menyadari diri sebagai
wakil Kristus yang mencintai manusia di dalam diri pasangan. Ibu Teresa dari Calcutta kalau
berjalan di antara orang miskin dan sakit sering terlihat memberkati mereka dengan
memberikan tanda salib di dahi. Hal itu untuk dari kesadaran bahwa di dalam dirinya ia
membawa Kristus kepada orang miskin dan sakit. Dalam Yoh 23: 19-20 juga dikatakan,
“kalau kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya diampuni.” Di sini Kristus menjelaskan
bahwa ia hadir di dalam diri kita manusia sebagai pelaku perbuatan. Maka, Suami menyadari
diri sebagai tanda dari cinta Tuhan Yesus kepada isterinya. Dan Demikian pula sebaliknya.

Keintiman suami-isteri adalah tanda sakramentalitas perkawinan. Ide ini


dikembangkan dalam Gerakan Marriage Encounter khususnya oleh Pembimbing ME
Internasional Padre Chuck Gallegher SJ. Tiap sakramen menghasilkan buah rahmat yang
khusus. Misalnya pembaptisan membuat orang lahir kembali dan menjadi anak Allah.
Sakramen tobat memberikan pengampunan dsa bagi peniten. Ekaristi memberikan Tubuh dan
darah Kristus. Sakramen perkawinan terletak dalam keintiman, keakraban, kesatuan antara
suami dan isteri, suatu hubungan kasih yang luar biasa dan meluap dalam hal keberanian
untuk berkorban dan menderita demi anak-anak, demi pekerjaan, demi pelayanan kepada
masyarakat, demi keterlibatan kepada Gereja. Keluarga yang kehidupan seksualnya harmonis,
indah dan puas bukan hanya dijauhkan dari perselingkuhan, melainkan disemangati juga
untuk berkorban dan menderita.

13 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
3. Kasih Kristus adalah Dasar Hidup Suami-Istri

Sakramentalitas Perkawinan terutama didasarkan pada ajaran Rasul Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Efesus. Di situ Rasul Paulus menggariskan perilaku kristiani di dalam
keluarga, yakni di antara suami dan istri (Ef 5:21-33). Ia memberikan pendasaran atau
motivasi teologis untuk setiap perilaku tersebut. di atas semuanya berlaku hukum dasar
“rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (5:21). Namun
untuk relasi suami istri Paulus memberi ajaran yang sedikit berbeda dengan norma tersebut,
karena ia lebih dipengaruhi oleh pandangan dan cara hidup yang berkembang dalam
zamannya. Ia membedakan peran dan fungsi atara suami dan istri: istri harus tunduk pada
suami dan suami harus mengasihi istrinya. Mengenai kasih suami kepada istri, Paulus
memberikan gambaran kasih Kristus yang telah menyerahkan DiriNya bagi Jemaat untuk
menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memnadikannya dengan air dan firman,
supaya dengan demikian ia menempatkan jemaat dihadapan DiriNya dengan cemerlang dan
kudus atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (5:25-27). Dengan
ini Paulus melihat teks Kej 2:24 yang mengatakan bahwa laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging,
sebagai satu „rahasia yang agung‟, yakni dalam kaitan dengan hubungan antara Kristus dan
GerejaNya (5:32). Jadi, yang dimaksud dengan „rahasia (mysterion) agung‟ ialah identifikasi
penuh antara kasih suami terhadap istri dengan cinta Kristus terhadap GerejaNya, yang adalah
„tubuhNya‟.

Teks Paulus sesuatu yang lebih daripada sebuah perbandingan, bahkan lebih daripada
sebuah kaitan sederhana antara „model‟dan „tiruan atau imitasi‟. Kristus sebagai model
bukanlah semata-mata sebuah contoh, yang diikuti atau diteladani oleh perkawinan duniawi.
Sebaliknya perkawinan duniawi dibentuk dalam hakikatnya yang terdalam oleh model Kristus
itu. Suami istri dan perkawinan duniawi menerima, menampung dan menghadirkan model
Kristus itu. Dalam perkawinan itu kristiani diwujudkan dan dipelihara relasi antara Kristus
dan GerejaNya. Dengan demikian, teks Paulus dalam Ef 5:21-33 memungkinkan Gereja
untuk menafsirkan perkawinan dalam arti „sakramental‟, bukan karena penggunaan kata latin
sacramentum dalam teks tersebut. kasih dan kesetiaan yang ada antara Kristus dan GerejaNya
bukanlah sekadar gambaran atau model perkawinan. Demikian pula, saling menerima dan
memberi antara suami istri tidaklah begitu saja merupakan gambaran atau kesamaan dari

14 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
pemberian diri Kristus kepada Gereja. Yang tepat ialah cinta kasih suami istri menjadi tanda
yang menghadirkan realitas, dalam arti epiphany dari kasih dan ksesetiaan Allah, yang
ditunjukkan sekali untuk selamaya dalam Yesus Kristus dan dihadirkan dalam Gereja.

Yesus mewahyukan kebenaran asli tentang pernikahan, kebenaran “pada awalnya”.


Dengan membebaskan manusia dari ketegaran hatinya, la menjadikannya mampu
mewujudkan kebenaran itu sepenuhnya. Perwahyuan itu mencapai kepenuhannya yang
definitif dalam kurnia kasih, yang dianugerahkan oleh Sabda Allah kepada umat manusia
dengan mengenakan kodrat manusiawi, dan dalam korban diri-Nya, yang dipersembahkan
oleh Yesus Kristus di salib demi mempelai-Nya, yakni Gereja. Dalam korban itu diwahyukan
seutuhnya Rencana yang oleh Allah dicantumkan dalam kemanusiaan pria maupun wanita
sejak mereka diciptakan28. Dengan demikian pernikahan antara mereka yang dibaptis
menjadi lambang yang nyata bagi Perjanjian baru dan kekal, yang dimeteraikan dalam darah
Kristus. Roh Kudus, yang dicurahkan oleh Tuhan, menganugerahkan hati yang baru, dan
menjadikan pria maupun wanita mampu saling mengasihi seperti Kristus telah mencintai kita.
Kasih suami-istri mencapai kepenuhan yang merupakan tujuan intrinsiknya, yakni cinta
suami-istri, cara yang khas dan istimewa, cara mereka ikut serta dalam dan dipanggil untuk
menghayati cinta kasih Kristus sendiri, yang menyerahkan Diri di Salib. Pada suatu halaman
yang memang selayaknya termashur, Tertulianus dengan bagus mengungkapkan keagungan
serta keindahan kehidupan suami-istri dalam Kristus: “Bagaimana saya akan mampu
melukiskan kebahagiaan pernikahan, yang dijalin oleh Gereja, dikukuhkan dengan suatu
persembahan, dimeteraikan dengan suatu berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan
oleh Bapa? ... Betapa mengagumkan ikatan antara dua orang beriman, yang ditandai oleh
hanya satu harapan, satu keinginan, satu pelaksanaan, satu pengabdian! Mereka berdua
saudarasaudari, keduanya rekan sepengabdian. Tidak ada pemisahan antara mereka dalam
jiwa maupun dalam raga. Kenyataannya mereka itu sungguh dua dalam satu daging; dan bila
daging itu satu, satu pulalah roh mereka”. Seraya menerima dan merenungkan sabda Allah
dengan setia, Gereja telah mengajarkan secara resmi, dan tetap mengajarkan, bahwa
pernikahan mereka yang dibaptis merupakan salah satu di antara tujuh Sakramen Perjanjian
Baru30 Memang karena baptis manusia secara definitif berada dalam perjanjian baru dan
kekal, perjanjian pernikahan Kristus dengan Gereja. Dan berdasarkan integrasi yang tak
terhapuskan itulah persekutuan mesra hidup dan cinta kasih suami-istri, yang ditetapkan oleh
Sang Pencipta31, diangkat dan ditampung ke dalam cinta kasih Kristus Sang Mempelai,

15 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
ditopang dan diperkaya oleh kuasa penebusan-Nya. Berdasarkan sifat sakramental pernikahan
mereka suami-istri saling terikat dengan cara yang sama sekali tak terpisahkan. Bahwa
mereka saling memiliki, secara nyata menghadirkan hubungan Kristus sendiri dengan Gereja
melalui lambang sakramental. Maka suami-istri terus menerus mengingatkan Gereja akan
kejadian di kayu Salib. Antara mereka sendiri dan bagi anak-anak suami-istri bersaksi tentang
keselamatan, yang mereka ikut menerima berkat Sakramen. Bagi peristiwa penyelamatan itu
pernikahan, seperti setiap Sakramen, merupakan kenangan, perwujudan konkret dan nubuat:
“Sebagai kenangan Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban mengenangkan
karyakarya agung Allah, dan memberi kesaksian tentangnya di hadapan anak-anak mereka.
Sebagai perwujudan konkret Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban melaksanakan
sekarang ini, satu terhadap yang lain dan di muka anak-anak mereka, tuntutan cinta kasih
yang memberi pengampunan dan penebusan. Sebagai nubuat Sakramen memberi mereka
rahmat dan kewajiban untuk hidup dan memberi kesaksian tentang harapan akan perjumpaan
14
dengan Kristus di masa mendatang”. Cinta kasih suami-istri mencakup suatu keseluruhan.
Di situ termasuklah semua unsur pribadi: tubuh beserta nalurinalurinya disapa, ada daya-
kekuatan perasaan dan afektivitas, ada aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan
yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan dalam satu
daging, dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan
sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri timbal-balik yang definitif; dan
kesatuan itu terbuka bagi kesuburan.

Setiap bentuk penundukan seksual harus dengan tegas ditolak. Maka, perlulah
menghindari penafsiran yang tidak tepat terhadap surat kepada umat di Efesus di mana Paulus
menyuruh agar para istri, “tunduk kepada suami” mereka (bdk. Ef 5:22). Di sini Santo Paulus
mengungkapkan hal itu dalam kategori budaya khusus pada waktu itu: namun perhatian kita
bukan pada lapisan budayanya, melainkan pada warta pewahyuan yang mendasari seluruh
perikop itu. Santo Yohanes Paulus II dengan bijaksana menyatakan: "Cinta menyingkirkan
setiap jenis penundukan di mana istri dapat menjadi hamba atau budak suaminya...
Masyarakat atau kesatuan yang harus mereka bangun melalui pernikahan didasari oleh
pemberian diri timbal balik, yang juga saling tunduk satu terhadap yang lain."162 Oleh karena
itu Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa "suami harus mengasihi istrinya sama

14
Bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (1981): Peranan Keluarga Kristen dalam
Dunia Modern (Jakarta, KWI:2019)

16 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
seperti tubuhnya sendiri" (Ef 5:28). Teks Kitab Suci sebenarnya mengajak kita semua untuk
mengatasi rasa puas diri dan untuk memperhatikan orang lain: "Rendahkanlah dirimu seorang
kepada yang lain di dalam takut akan Kristus" (Ef 5:21). Dalam perkawinan "saling tunduk"
mendapatkan makna khusus, dan itu dilihat sebagai pilihan bebas untuk saling memiliki yang
ditandai dengan kesetiaan, hormat dan perhatian. Seksualitas dengan demikian tak
terpisahkan dalam pelayanan persahabatan suami istri ini, karena dimaksudkan untuk
memastikan bahwa yang lain hidup dalam kepenuhan.

Cinta kasih yang sejati antara suami dan istri mengandaikan serta meminta adanya
sikap hormat yang mendalam dari pihak suami terhadap kesamaan martabat istrinya. Tulis
Santo Ambrosius: “Anda bukan majikannya, melainkan suaminya. la diberikan kepada anda,
bukan untuk menjadi budak anda, melainkan supaya menjadi istri anda. Tanggapilah
kepekaan hatinya terhadap anda, dan hendaknya anda penuh rasa terima kasih terhadap dia
atas cinta kasihnya”. Bersama istrinya suami harus menghayati “bentuk yang sangat khas
persahabatan pribadi”. Mengenai suami Kristen, ia diharapkan mengembangkan sikap baru
cinta kasih, seraya menampakkan kepada istrinya cinta kasih yang sekaligus lembut hati dan
kuat, seperti nampak pada Kristus terhadap Gereja. Maka dari itu, keluarga kristianiyang
berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara
Kristus dan Gereja, akan mennampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat
yang sungguh nyata di dunia dan hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih
suami istri. Melalui kesuburan yang dijiwai semangat pengorbanan, melalui kesatuan dan
kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotnya.

Para mempelai dan suami isteri diundang oleh sabda ilahi, untuk memelihara dan
memupuk janji setia mereka dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih
yang tak terbagi. Cukup banyak orang zaman ini, amat menghargai pula cinta kasih sejati
antara suami dan isteri, yang diungkapkan menurut adat istiadat bangsa dan kebiasaan zaman
yang terhormat.

4. Syarat-Syarat Sah

17 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Secara moral semua pihak harus yakin bahwa suatu perkawinan adalah sah. Imam
peneguh nikah, sang mempelai, para saksi, keluarganya dan semua yang hadir harus yakin
bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu adalah sah. Untuk sahnya perkawinan maka secara
garis besar ada 3 syarat yang harus dipenuhi:

1) Adanya kesepakatan bebas


2) Bebas dari halangan-halangan
3) Diteguhkan sesuai dengan forma canonica (aturan Gereja) Jika salah satu dari tiga
hal di atas tidak dipenuhi maka nikah tersebut tidak sah, dengan segala
konsekuensinya.
A. Adanya kesepakatan bebas. Syarat ini sangat penting dan menentukan bagi sahnya
perkawinan. Dan syarat ini dijamin dalam: sumpah waktu penyelidikan kanonik dan
pernyataan kesungguhan untuk menikah dan janji perkawinan dalam upacara peneguhan
nikah itu sendiri. Sudah dikatakan di atas bahwa dalam Kanon 1057 §2 dinyatakan,”
Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian
yang tidak dapat ditarik kembali.”
B. Bebas dari halangan-halangan

a. Halangan usia. Kan. 1083: bebas hari halangan usia. Pria sudah umur 16 tahun dan wanita
sudah umur 14 tahun. Dan Konferensi Waligereja berwenang untuk menetapkan usia yang
lebih tinggi. Syarat nikah ditentukan begitu rendah oleh Kodeks karena bila secara biologis
anak laki-laki dan perempuan sudah bisa melanjutkan keturunan, maka mereka sudah boleh
menikah.

b. Halangan Impotensi. Kan 1084: Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak
sebelum nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria atau pun dari pihak wanita, entah
bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri.

c. Halangan ikatan nikah sebelumnya. Kan 1085: Adalah tidak sah nikah yang dicoba
dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu
belum disempurnakan dengan persetubuhan.

d. Halangan tahbisan suci (Diakon, Imam, Uskup). Kan 1087: Adalah tidak sah perkawinan
yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.

18 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
e. Halangan kaul kekal kebiaraan: Kan 1088: Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba
dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam
suatu tarekat religius.

f. Halangan karena penculikan: Kan 1089: Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang
pria dan seorang wanita yang diculik adalah tidak sah.

g. Halangan aral crimen atau kejahatan khusus. Kan 1090: Adalah tidak sah nikah yang
dilakukan oleh seseorang dengan cara melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang
tertentu denan maksud supaya bisa menikah dengan janda/dudanya.

h. Halangan kerjasama dalam kejahatan khusus. Juga tidak sah nikah yang dilakukan oleh
orang yang bekerja sama secara fisik ataupun moril dalam pembunuhan seseorang dengan
maksud untuk menikahi janda/dudanya.

i. Halangan karena hubungan darah: Kan 1091: Tidak sah perkawinan antara mereka yang
berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah (Bapak dengan anak
gadisnya; ibu dengan anak laki-lakinya; opa/oma dengan cucunya) juga kalau hubungan itu
legitim saja, bukan alamiah (anak tiri, cucu tiri).

j. Halangan karena hubungan darah: Kan 1091 §1 tidak sahlah perkawinan antara mereka
semua yang mempunyai hunbungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik
yang legitim maupun yang natural. §2: dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak
sah sampai tingkat keempat inklusif. §3 halangan karena hubungan darah tidak
dilipatgandakan §4 perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak
yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis
menyamping tingkat kedua.

k. Halangan karena anak adopsi: Kan 1094: Tidak dapat menikah dengan sah mereka yang
mempunyai pertalian hukum karena adopsi, dalam garis lurus (ayah/ibu dan anak adopsi) atau
garis menyamping tingkat kedua (kakak/adik dengan kakak/adik adopsi).

C. Forma Canonica: Agar perkawinan sah menurut tatacara Gereja Katolik, maka
perkawinan itu harus dilangsungkan menurut aturan Hukum Gereja Katolik. Dan dalam
UU Perkawinan RI tahun 1974 juga dinyatakan bahwa “Perkawinan yang sah ialah
Perkawinan yang dilangsungkan menurut tatacara agama masing-masing dan kemudian
dicatat dalam Catatan Nikah Sipil.”

19 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
a. Di hadapan Imam dan dua saksi. Forma Canonica Tata Peneguhan Perkawinan Katolik
diatur dalam Kanon 1108: Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Imam dan
dua orang saksi.

b. Kanon 144: Kalau ada kekurangan pengetahuan mengenai aturan, maka Gereja melengkapi
(Ecclesia suplet)

c. Di hadapan peneguh awam. Kanon 1112: Di mana tiada imam dan diakon, Uskup dapat
mendelegasikan kepada seorang awam untuk meneguhkan perkawinan.

§2 menyatakan: Hendaknya dipilih awam yang cakap untuk:

a. Memberikan pelajaran kepada calon mempelai dalam hal ini perlu adanya persiapan
dalam perkawinan.

Persiapan pernikahan hendaklah dipandang dan dilaksanakan sebagai proses bertahap dan
berkelanjutan. Persiapan itu mencakup tiga tahap pokok, yakni: persiapan jauh, persiapan
dekat dan persiapan langsung. Persiapan jauh sudah mulai pada masa kanak-kanak berupa
latihan yang bijaksana dalam keluarga, untuk membantu anak-anak menyadari, bahwa
mereka dibekali dengan sifat-sifat kejiwaan yang kaya dan kompleks, dan dengan
kepribadian yang khas beserta kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya sendiri.
Pada masa itulah ditanam penghargaan terhadap semua nilai manusiawi autentik, dalam
hubungan-hubungan antar pribadi maupun sosial, dengan segala implikasinya bagi
pembentukan watak-perangai, bagi cara mengendalikan dan memanfaatkan dengan tepat
kecenderungan-kecenderungannya sendiri, bagi cara memandang dan menghadapi sesama
dari jenis lawan, dan sebagainya. Cukup penting juga, khususnya bagi umat Kristen,
pembinaan rohani dan kateketis yang andal, yang akan menunjukkan, bahwa pernikahan itu
suatu panggilan dan perutusan yang sejati, tanpa mengesampingkan kemungkinan
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dalam panggilan untuk imamat atau hidup religius.

Berdasarkan landasan itu selanjutnya dan tahap demi tahap akan dibangun tahap
persiapan dekat. Sejak umur yang sesuai dan melalui katekese yang memadai, seperti dalam
proses katekumenat, tahap persiapan itu mencakup suatu persiapan yang lebih khusus untuk
menerima Sakramen-Sakramen, seolah-olah untuk menggalinya ulang. Katekese yang
diperbaharui bagi kaum muda dan bagi para anggota umat lainnya yang menyiapkan diri bagi
pernikahan Kristen, mutlak perlu, supaya Sakramen dapat dirayakan dan dihayati dalam

20 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
keadaan jiwa moril serta rohani yang tepat. Pendidikan keagamaan bagi kaum muda – pada
saat yang tepat dan sesuai dengan berbagai persyaratan konkret – perlu diintegrasikan dengan
persiapan untuk kenyataan hidup sebagai pasangan suami-istri. Persiapan itu hendaknya
menyajikan pernikahan sebagai hubungan antar pribadi antara pria dan wanita, yang tiada
hentinya harus dikembangkan. Lagi pula hendaknya mendorong mereka yang berkepentingan
untuk mempelajari hakikat seksualitas pernikahan dan keibu-bapakan yang bertanggung
jawab, disertai dengan pengetahuan medis dan biologis yang pokok dan berkaitan. Selain itu
hendaknya persiapan itu memperkenalkan kepada mereka yang berkepentingan cara-cara
yang tepat untuk mendidik anak-anak, serta membantu mereka memperoleh apa yang pada
dasarnya dibutuhkan untuk kehidupan keluarga yang teratur, misalnya pekerjaan yang tetap,
sumbersumber keuangan yang memadai, administrasi yang efisien, pengetahuan tentang
kerumahtanggaan. Akhirnya janganlah diabaikan persiapan untuk kerasulan keluarga, untuk
solidaritas persaudaraan dan kerjasama dengan keluarga-keluarga lain, untuk keanggotaan
aktif dalam kelompokkelompok, perserikatan-perserikatan, gerakan-gerakan serta usaha-
usaha demi kepentingan manusiawi dan Kristen bagi keluarga.

Persiapan langsung bagi perayaan Sakramen Pernikahan hendaknya diadakan dalam


bulan-bulan dan minggu-minggu langsung menjelang pernikahan, untuk memberi makna, isi
serta bentuk yang serba baru kepada apa yang disebut penyelidikan prapernikahan yang
disyaratkan oleh Hukum Kanonik. Persiapan itu tidak hanya dibutuhkan bagi setiap
pernikahan, melainkan masih lebih mendesak lagi bagi pasangan-pasangan yang sudah
bertunangan, yang masih menampakkan kekurangan-kekurangan atau kesulitan-kesulitan
perihal ajaran dan praktik hidup Kristen.

b. Cakap melaksanakan liturgi perkawinan dengan baik.

Hal ini mengenai bagaimanan perayaan pernikahan itu dirayakan dengan semestinya.
Yang mana Lazimnya pernikahan Kristen memerlukan perayaan liturgi, yang dalam bentuk
kebersamaan dan jemaat mengungkapkan sifat hakiki gerejawi dan sakramental perjanjian
nikah antara orangorang yang telah dibaptis. Sejauh merupakan tindakan sakramental
pengudusan, perayaan pernikahan – yang diintegrasikan dalam liturgi, yakni puncak tindakan
Gereja serta sumber daya pengudusannya165 – dalam dirinya (“per se”) sudah harus sah,
layak dan subur. Di situ terbentang luas bidang kepedulian pastoral, supaya
kebutuhankebutuhan yang timbul dari hakikat perjanjian nikah, yang diangkat menjadi
Sakramen, dapat ditanggapi sepenuhnya, begitu pula supaya tata-tertib Gereja mengenai

21 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
persetujuan bebas, halangan-halangan, bentuk kanonik dan upacara aktual perayaan dipatuhi
dengan setia.

Perayaan hendaklah sederhana dan anggun, seturut norma-norma yang ditetapkan oleh
para pemimpin Gereja yang berwenang. Termasuk kewenangan mereka pula – menanggapi
situasi konkret waktu maupun tempat pun selaras dengan norma-norma yang ditetapkan oleh
Takhta suci – untuk mencantumkan dalam perayaan liturgi unsur-unsur khas masingmasing
kebudayaan, yang berguna untuk mengungkapkan secara lebih jelas makna manusiawi dan
religius yang mendalam, yang ada pada perjanjian pernikahan, asal saja unsur-unsur itu tidak
mengandung sesuatu yang tidak selaras dengan iman serta moralitas Kristen. Sejauh
merupakan lambang, perayaan liturgi harus diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga juga
dalam kenyataan lahiriahnya menjadi pewartaan Sabda Allah dan pengikraran iman pada
pihak jemaat beriman.

Dedikasi pastoral di sini hendaklah diungkapkan melalui persiapan yang saksama dan
sungguhsungguh untuk membawakan Liturgi Sabda, dan melalui pembinaan iman mereka
yang berperan serta dalam perayaan, dan terutama pasangan yang menikah.

Sejauh merupakan tindakan sakramental Gereja, perayaan liturgi pernikahan harus


melibatkan jemaat Kristen, disertai partisipasi penuh, aktif dan bertanggung jawab pada pihak
semua yang hadir, sesuai dengan tempat dan tugas masing-masing, yakni: mempelai wanita
dan pria, imam, para saksi, kaum-kerabat, handai taulan, para anggota umat beriman lainnya,
yang semuanya menjadi warga jemaat, yang menampilkan serta menghayati misteri Kristus
dan Gereja-Nya. Untuk perayaan pernikahan Kristen dalam lingkup kebudayaan serta tradisi-
tradisi para leluhur, hendaklah dipatuhi prinsip-prinsip yang diutarakan di atas.

c. Di hadapan dua orang saksi saja. Kan 1116: - dalam bahaya mati - di luar bahaya mati, asal
diperkirakan dengan arif bahwa dalam satu bulan ke depan peneguh nikah yang berwenang
tidak akan datang.

d. Dispensasi dari forma canonica: Kanon 1127 §2: Jika terdapat kesulitan besar untuk
mentaati tata peneguhan kanonik, maka Uskup dapat memberikan dispensasi dari tata
peneguhan kanonik itu dalam masing-masing kasus; Tapi demi sahnya harus ada suatu bentuk
tata peneguhan publik. §3: Dilarang mengadakan peneguhan nikah ulangan. Nikah tidak
pernah bisa diulangi. Dilarang mengadakan peneguhan nikah di mana Imam dan Pendeta
melakukan uparanya masing-masing untuk kedua pasangan.

22 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
5. Defectus Consensus Matrimonium

Defectus consensus dalam hal yang menyangkut kesepakatan perkawinan15 ditegaskan


mengenai berhubungan dengan kurangmampuan dalam penggunaan akal budi, cacat berat
dalam penilaian disreksi mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan
yang harus diserahkan dan dietrima secara timbal-balik, dan alasan psikis yang mana
berdampak pada ketidakmampuan dalam mengemban dan menjalankan kewajiban-kewajiban
hakiki perkawinan. Menyangkut hal-hal tersebut, dalam masyarakat pada umumnya sering
kali muncul problematika dan prahara dalam pernikahan. Salah satu contoh adalah kasus
mengenai KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga. Kasus ini sangat marak terjadi di
Indonesia dewasa ini. Kekerasan ini menyangkut banyak aspek dalam hidup pernikahan.

Contoh KDRT yang pada umumnya yang menjadi korban adalah isteri dan anak. Alfa
sebagai suami dan Benedicta sebagai isteri telah menikah selama 5 tahun dan dikaruniai
seorang putera. Mereka awalnya hidup seperti keluarga pada umumnya selama kurang dari 5
tahun sebelum terjadi kekerasan. Kemudian suatu ketika istrinya ingin keluar dan pergi untuk
urusan pribadi yang menyangkut pekerjaannya. Tetapi suaminya tidak mengizinkannya.
Istrinya tetap ingin pergi. Akhirnya terjadi kekerasan di maa suaminya memukul istrinya.
Tidak hanya itu, suaminya mempunyai kebiasaan yang mana hamper setiap hari berpesta pora
dan mabuk-mabukkan. Istrinya tetap sabar. Namun, sering kali bahkan di depan umum
suaminya memukul istrinya bahkan ia meninggalkan istrinya secara sepihak dan mencari
„yang lain‟ dan juga ia melampiaskan emosinya juga itu pada anaknya. Akhirnya, istri dan
anaknya ditelantarkan. Dengan melihat hal itu maka, apa yang menjadi pandangan Gereja
untuk menjawab problematika perkawinan demikian? Memang ada yang mengatakan itu
harus dibicarakan baik-baik namun, bukan hanya mabuk-mabukan dan tindak kekerasan tetapi
ada juga perselingkuhan dan bahkan tindakan pada anak secara fisik dan mental juga kepada
isterinya maka, masalah ini harus ditindaklanjuti dan dilakukan tindakan secara preventif
karena telah menyeleweng dari aturan dan kesepakatan dalam perkawinan. Maka,
permasalahan ini pun berkaitan dengan Kan. 1097 §1 yang mana menyatakan bahwa jika ada

15
KHK, BAB IV KESEPAKATAN PERKAWINAN

23 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
kekeliruan mengenai diri seseorag yang mana hal ini menyangkut suaminya maka, dengan itu
membuat perkawinan dinyatakan tidak sah.16

Dalam sebuah artikel mengenai KDRT dikatakan demikian, Domestic violence usually
happens because of wrong understanding on human dignity and family life. Violence against
wife or husband or children is a concrete prove that a couple excludes the essential ends of
marriage, which are the good of spouses (bonum coniugum) and the good of offspring
(bonum prolis) as mentioned in canon 1055§1 of the Code of Canon Law. Therefore, domestic
violence which is occurred from the beginning of marriage, makes the marriage invalid.
According to the Code of Canon Law, the parties have a right to process an anullement of
their marriage based on domestic violence as caput nullitatis. This article seeks to study the
so called KDRT (violence in family) from the perspective of the Canon Law and its
implication to possibility of anullement of marriage.17

Perkawinan dari hakikatnya merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang bebas
antara dua orang yang berbeda seksualitas untuk membentuk diantara mereka persekutuan
seluruh hidup dan dari kodratnya terarah para kesejahteraan pasangan suami-isteri dan
kesejahteraan anak (kanon 1055). Karena itu tindak kekerasan dalam rumah tangga atau
dalam perkawinan dapat menyebabkan tidak sahnya perkawinan tersebut. Beberapa
kemungkinan tidak-sahnya perkawinan karena adanya tindak kekerasan, antara lain:

 Kanon 1103 menyatakan bahwa yang sejak semula menikah karena keterpaksaan atau
ketakutan besar yang berasal dari luar dirinya, menikah secara tidak sah. Ini berarti
bahwa tidak sahlah pernikahan yang dilangsungkan oleh pasangan suami dan isteri,
bukan karena kemauan dan kehendak bebasnya sendiri, melainkan karena paksaan dan
ancaman orang lain atau karena ketakutan besar yang datang dari orang lain. Dalam
konteks ini tindak kekerasan memaksakan kehendak pada orang lain untuk menikah
membuat yang bersangkutan tidak memiliki kebebasan untuk menikah, sehingga
kesepakatan nikahnya cacat (defectus consensus).
 Kanon 1095.3°19 menyatakan bahwa yang sejak semula, karena alasan psikis, tidak
mampu memenuhi kewajiban hakiki perkawinan, yaitu persekutuan seluruh hidup,
menikah secara tidak sah. Karena itu pasangan yang sejak semula mengalami kelainan
atau gangguan psikologis, hingga tidak mampu mengemban kewajiban hakiki
16
Bdk. Kan. 1097-§1. Kekeliruan mengenai diri orang (error in persona) membuat perkawinan tidak sah.
17
Robertus Rubiyatmoko, Artikel KDRT dalam Perkawinan Kanonik Tinjauan Yuridis, hlm. 1.

24 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
perkawinan, dinyatakan tidak dapat mengucapkan janji perkawinan. Kelainan atau
gangguan psikologis ini dapat menyebabkan orang dengan mudah melakukan tindak
kekerasan terhadap pasangannya. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang
mengalami kelainan psiko-seksual, seperti sadistis, sado-masokis dan hypersexual;
kecanduan narkotika hingga mengalami instabilitas kepribadian.
 Kanon 1101 menyatakan bahwa yang sejak semula dengan kemauan positif menolak atau
mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan, menikah secara tidak sah. Yang
dimaksudkan dengan unsur-unsur hakiki perkawinan adalah perjanjian sebagai unsur
konstitutif perkawinan, persekutuan sebagai obyek perkawinan, kesejahteraan sebagai
tujuan perkawinan, dan unitas serta indissolubilitas sebagai sifatsifat perkawinan.
Penolakan atau pengecualian atas unsur-unsur ini merupakan tindak kekerasan melawan
esensi dan martabat luhur perkawinan itu sendiri. Itu juga berarti tindak kekerasan
terhadap pasangan yang menghendaki perkawinan yang benar. Karena itu suami atau
isteri, misalnya, yang sejak semula mencelakai pasangannya atau tidak mempedulikan
kesejahteraan lahir dan batin pasangannya, telah melakukan tindak kekerasan melawan
tujuan perkawinan untuk mensejahterakan pasangan (contra bonum coniugum). Demikian
juga orangtua yang tidak mengupayakan kesejahteraan anak, misalnya dengan menolak
kehadirannya, melakukan pembunuhan dan aborsi atas anaknya, menelantarkan
pendidikannya, telah melakukan tindak kekerasan tehadap hak anak atas
kesejahteraannya ( bdk. kanon 1055). UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, pasal 52-66 juga membicarakan hak anak. Secara khusus pasal 58 UU tersebut
menegaskan hak anak atas perlindungan terhadap segala macam bentuk kekerasan dalam
rumah tangga18.

Berhadapan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga atau perkawinan ini, Gereja
katolik berusaha untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Hal ini ditempuh dengan dua
tindakan, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat kuratif. Tindakan preventif adalah
tindakan pencegahan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, baik sejak sebelum
maupun setelah perkawinan dilangsungkan, yaitu dengan menekankan makna dan tujuan

18
Pasal 58
(1) setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual, selama dalam pengasuhan orangtua atau walinya, atau
pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orangtua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap
anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

25 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
luhur perkawinan dengan segala akibat yang melekat padanya (lih. kanon 1063)19. Sedangkan
tindakan kuratif ditempuh melalui dua langkah, yakni langkah pastoral dan langkah yudisial.

Langkah pastoral dilakukan untuk membantu pasangan suami dan isteri agar berdamai
kembali setelah mengalami konflik akibat tindak kekerasan diantara mereka. Sedangkan
langkah yudisial ditempuh untuk menganulasi atau menyatakan batal perkawinan yang tidak
sah karena adanya tindak kekerasan yang terjadi sejak semula diantara pasangan suami dan
isteri. Langkah yudisial ini menjadi kewenangan para hakim dan pengadilan Gereja katolik
untuk memprosesnya, sebagaimana diatur dalam kanon 1671-1685. Dengan pernyataan batal,
pasangan suami isteri dibebaskan dari semua akibat yang muncul dari ikatan perkawinan yang
pernah dilangsungkannya. Karena itu demi menjaga dan melindungi martabat luhur
perkawinan dan demi membela keadilan dan kebenaran serta demi kepentingan individu
maupun Gereja, perkawinan-perkawinan yang tidak sah karena tindak kekerasan dalam rumah
tangga ini dapat dinyatakan batal melalui proses pengadilan gerejani.

19
Kan. 1063 – Para gembala jiwa-jiwa wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masingmasing memberikan
pendampingan kepada umat beriman kristiani, supaya status perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani
serta berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan itu terutama harus diberikan:
10 dengan khotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda serta dewasa, juga dengan
menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman kristiani mendapat pengajaran
mengenai makna perkawinan kristiani dan tugas suami-istri serta orangtua kristiani;
20 dengan persiapan pribadi untuk memasuki perkawinan, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian
dan tugas-tugas dari statusnya yang baru;
30 dengan perayaan liturgi perkawinan yang membawa hasil agar dengan itu memancarlah bahwa suami-istri
menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan
Gereja-Nya;
40 dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi
perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci
dan semakin penuh.

26 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A

Anda mungkin juga menyukai