Bagian I
Dasar Teologis Untuk
Konsep Pernikahan Kristen
Manusia, Bait Allah yang Hidup
1. Allah mengasihi umat manusia dan menciptakan mereka dari ketiadaan, “menurut
gambar dan rupa-Nya.” Dia memberi mereka kehidupan, kemauan, dan kebebasan,
dan meminta mereka untuk menggunakan karunia ini dengan baik. Pada abad
kedua, St. Theophilus, Uskup Antiokhia menjawab seseorang yang memintanya
untuk menunjukkan kepadanya Tuhannya dengan mengatakan, “Tunjukkan padaku
dirimu dan aku akan menunjukkan kepadamu Tuhanku.” (1)Ini berarti bahwa
manusia dapat mencerminkan Tuhan yang tidak terlihat dan mengungkapkan kasih
dan kemuliaan-Nya kepada alam semesta. Ini menyoroti keagungan dan tanggung
jawab yang kita miliki dalam kehidupan pribadi dan keluarga kita.
2. Pandangan Ortodoks tentang manusia dibedakan oleh suatu pendekatan, yang
menganggap manusia secara keseluruhan: tubuh, jiwa, dan roh. Jiwa memberi
kehidupan pada tubuh dan roh menjadikan seluruh tubuh dan jiwa sebagai makhluk
spiritual. Sepanjang perjalanan duniawinya, tujuan manusia adalah untuk menjaga
tubuh dan jiwanya dan membuat mereka dapat ditembus dan taat kepada Roh.
Manusia adalah satu kesatuan, dipanggil untuk menjadi “pengambil bagian dari
kodrat ilahi,”(2) Theosis oleh kasih karunia. Seseorang juga dapat “memadamkan
Roh,”(3) membungkam jiwa di dalam dirinya sendiri dan memperbudaknya pada
tubuh, sehingga melemahkan kesatuan keberadaan seseorang. Ini terjadi ketika
seseorang memberontak melawan kehendak Penciptanya dengan meninggalkan
Dia, memisahkan diri dari sumber kehidupan. Sang Pencipta, di sisi lain, tidak
meninggalkan umat manusia. Dia terus-menerus membuka bagi mereka jalan
pertobatan dan kemenangan atas kematian melalui hidup di dalam Kristus, yang
dengan kematian-Nya yang memberi hidup di Kayu Salib dan Kebangkitan
mengalahkan kerusakan dan kematian. Melalui Inkarnasi, Kematian, Kebangkitan,
dan Kenaikan tubuh-Nya ke surga, Tuhan telah menyucikan kodrat manusia. Dia
memberi manusia sarana untuk mengaktifkan kembali keadaan diciptakan menurut
gambar Allah. Melalui pengendalian nafsu, perolehan kebajikan, pengetahuan
tentang Alkitab, komitmen terhadap kehidupan Gereja, praktik sakramen, dan
perjumpaan dengan Kristus dan pelayanan-Nya dalam setiap orang, manusia
menjadi mampu mengatasi kematian dan melanjutkan jalan menuju Theosis.
3. Mempraktikkan pengendalian diri secara sadar dan dengan kehendak bebas,
manusia mengambil mottonya kata-kata Rasul Paulus: "Segala sesuatu halal bagiku,
tetapi tidak semua hal berguna."(4) Inilah yang dialami setiap orang Kristen dalam
kehidupan Gereja. Sakramen Gereja mengirimkan kehidupan ilahi kepada kita.
Alkitab menguatkan kita di dalam Tuhan dan menasihati kita untuk meniru Dia.
Puasa membentengi kita dari godaan dan hawa nafsu. Asketisme menjauhkan kita
dari nafsu. Persekutuan pernikahan di dalam Gereja memudahkan pasangan untuk
menempuh jalan "terbatas" namun mulia ini melalui perjuangan mereka bersama
di dalam Kristus, meniru Dia dan kerinduan bersama mereka akan kekudusan.
Dengan cara ini, mereka mencapai kesempurnaan mereka dan, melalui berdiamnya
Roh Kudus di dalam diri mereka, mereka membentuk inti Gereja, “bait Allah,”(5)
persekutuan keterbukaan kepada Allah, anak-anak mereka, dan orang lain, melalui
sakramen pernikahan.
1. Tuhan menetapkan sakramen pernikahan sejak awal ketika Dia berkata, “seorang
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging.” Dengan mengatakan “satu daging,” (6) Tuhan
mengartikan sebuah persatuan eksistensial permanen tidak hanya persatuan
emosional, tetapi juga persatuan dalam tubuh, pikiran, roh, dan semua kehidupan.
Dalam persatuan eksistensial ini, pasangan adalah ikon hidup dari Allah Tritunggal:
dua orang sekaligus bersatu dan berbeda, dipertemukan oleh Allah dalam satu
kesatuan yang mengharapkan kesempurnaan.
2. Kristus memberi kita pemahaman baru tentang kehadiran Allah dalam pernikahan
dengan melakukan mukjizat pertama-Nya pada pernikahan di Kana di Galilea.
Dengan demikian, Dia memberi pernikahan sebuah dimensi baru, tidak
membatasinya pada tujuan prokreasi manusia kuno (Prokreasi yaitu suatu
pengertian menikah hanya untuk mencari keturunan sehingga dalam prakteknya
terjadi poligami jika istri tak mempunyai keturunan) atau konsep hukum Romawi
sebagai sebuah kontrak social (Pernikahan hanya dianggap sebagai kontrak
legalistik sehingga kalau gak cocok bias cerai sesukanya).“Segala sesuatu telah
menjadi baru” dalam pernikahan melalui hadirat Kristus. Perkawinan Kristen
dengan demikian telah menjadi sakramen kudus, yang memenuhi pasangan dengan
rahmat Roh Kudus dan menyediakan bagi mereka “sukacita keselamatan” (7)di
dalam Kristus.
3. Keselamatan dan sukacita tidak diperoleh secara ajaib. Roh Kudus tidak
memaksakan kasih karunia-Nya kepada seorang manusia dengan mengabaikan
kebebasannya, melainkan menunggu dia untuk mengaktifkannya dengan sukarela
dengan berjuang untuk dibebaskan dari kuk dosa dan untuk bertumbuh dalam
“kepenuhan Kristus. ”(8)Adalah harapan Gereja bahwa pasangan menjadi sadar akan
rahmat yang diberikan kepada mereka dan mewujudkannya melalui doa setiap hari,
meninggalkan keegoisan dan cinta diri sendiri. Dengan cara ini, mereka dapat
dipenuhi dengan kasih akan Tuhan dan sesama mereka, sehingga Roh Kudus dapat
bertindak di dalam mereka dan memimpin mereka dalam perjalanan dari
perpecahan ke persatuan, dari dua tubuh menjadi “satu daging”, sebuah perjalanan
yang melambangkan hidup menurut “rupa Allah”, dalam hidup kasih ilahi yang
dimiliki oleh Bapa, Putra dan Roh Kudus.
1. Perjanjian Baru menggambarkan Tuhan Yesus Kristus sebagai Mempelai Pria dan
Gereja sebagai Mempelai Wanita. Rasul Paulus menyatakan bahwa dalam
perkawinan laki-laki dan perempuan “Rahasia Besar/Great Mysterion”(2) ketika ia
menyamakannya dengan misteri perkawinan Kristus dan Gereja, yang dengan
demikian merupakan gambaran kasih ilahi yang dinyatakan dalam Inkarnasi dan
Salib. Oleh karena itu, pernikahan adalah persatuan unik antara dua pribadi yang
terikat tidak hanya oleh hubungan cinta, tetapi juga oleh persatuan/panunggalan
mereka dengan Kristus. Selama ibadah pernikahan, pemberian mahkota kedua
mempelai terjadi atas nama Tritunggal Mahakudus karena cinta mereka satu sama
lain dan semua cinta berasal dari cinta Allah untuk umat manusia dalam nama
Tritunggal Mahakudus yang diberikan dengan sempurna. Para suami istri
menyatakan pemberian ini kepada satu sama lain, anak-anak mereka, kerabat
mereka dan saudara-saudara mereka di paroki dan dunia. Semua pemberian
mengandaikan pengorbanan diri dan cinta yang diberikan kepada yang lainya.
2. Salib, penyataan kasih Allah dalam pengorbanan Putra Terkasih-Nya, memegang
tempat sentral dalam kebaktian pernikahan. Itu ditempatkan dengan kitab Injil di
depan pengantin untuk mengingatkan mereka akan firman Tuhan: "Dan
barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku." (3)
salib adalah untuk secara sukarela menerima kesulitan hidup dan bersiap untuk
mengungkapkan cinta melalui pengorbanan diri dan pelayanan karena ini adalah
jalan menuju sukacita sejati, karena "melalui salib sukacita telah datang ke seluruh
dunia."(1)
3. Seluruh kehidupan Kristen didasarkan pada penghayatan kasih ini dengan Allah,
sesama, dan ciptaan dan, khususnya, antara suami dan istri. Kehidupan pernikahan
adalah “laboratorium” untuk mempraktikkan cinta ini, yang harus memiliki ciri-ciri
yang dijelaskan oleh Rasul Paulus: kesabaran, kesetiaan, meninggalkan
kecemburuan dan kesombongan, kebaikan, kedamaian batin, pengampunan,
pengorbanan, harapan kepada Tuhan, saling percaya dan bertahan dalam segala
hal.(2) Cinta ini tumbuh melalui upaya spiritual, menahan kehendak, mengendalikan
nafsu, dan upaya terus menerus untuk mengosongkan diri dari segala keburukan,
sikap egois. Cinta ini juga tumbuh melalui praktik kebajikan, dari "semua yang
benar, mulia, adil, murni, menyenangkan, dan terhormat."(3) Jelas dalam konteks
ini bahwa segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diterima,
karena merusak dasar dari hubungan yang seimbang.
Persatuan pasangan menjadi lengkap melalui praktik cinta dalam ketaatan, dan kepatuhan
dalam cinta. Melalui ketaatan timbal balik, setiap pasangan memenuhi peran dan
panggilannya dalam keluarga. Ketaatan bukanlah penyerahan kepada seseorang yang lebih
kuat atau lebih mengendalikan, tetapi pemberian diri, berdasarkan Kepercayaan kepada
Tuhan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan telinga dan hati terhadap
firman-Nya. Mendengarkan adalah salah satu ekspresi cinta, karena itu mencerminkan
perhatian pasangan kepada yang lain, inisiatif untuk berdialog, dan kegembiraan dalam
berbagi. Ungkapan "pria adalah kepala wanita" tidak menunjukkan peringkat yang lebih
tinggi, karena Kristus adalah kepala Gereja dan ini tidak menempatkan Dia dalam posisi
dominasi, melainkan dalam posisi kepemimpinan dalam arti pelayanan melalui
pengosongan diri.